Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

6

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Konteks Masalah

Irian Jaya merupakan salah satu dari lima pulau besar di Indonesia. Irian
Jaya kemudian resmi berganti nama menjadi Papua pada 1 Januari 2000 dibawah
pemerintahan presiden KH Abdurrahman Wahid sesuai atas tuntutan masyarakat
Papua. Pulau ini terletak diujung timur Indonesia dengan luas 421.981 kilometer
persegi. Wilayah Papua ini dihuni oleh etnis Papua yang memiliki penanda warna
kulit sangat gelap, kecoklatan atau hitam, kadang-kadang hampir mendekati,
tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Etnis Papua
sangat berbeda dalam warna kulit dengan etnis Melayu yang dominan ada di
Indonesia, kadang-kadang agak hitam atau kecoklatan dengan rambut sangat kasar
dan kering. Di Papua sendiri terdapat keanekaragaman latar belakang ras, yaitu
Negroid, Melanosoid, Mikronesia, dan Mongoloid. Keanekaragaman penduduk
Papua juga dapat terlihat dari 250 bahasa yang digunakannya. Pada beberapa

daerah di Papua, penduduk menggunakan bahasa lokal dengan dialeg berbedabeda.
Dilihat dari letak geografis, Papua terletak kurang lebih 1o dari Selatan
katulistiwa, antara 130

O

Bujur Barat dan 141

O

Bujur Timur sedangkan secara

topografis, Papua terbagi dalam tiga wilayah. Pertama , wilayah “kepala burung”,
yang mencakup Manokwari, Fakfak, Sorong, Kaimana, Teminabuan, Bintuni,
Ransiki, Ayamaru, dan Windesi. Kedua, wilayah pegunungan tengah sampai
utara, yakni Jayawijaya, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak, Numfor, Supiori, Sarmi,
dan Jayapura. Ketiga , wilayah selatan pegunungan tengah, yakni Mimika, Asmat,
dan Merauke. Pulau papua ini pemerintahan kolonial dibagi menjadi dua bagian
dengan menarik suatu garis perbatasan dari utara ke selatan yang membagi pulau
ini menjadi dua, yaitu Nieuw Guniea atau sekarang Papua dibagian barat dan

Papua New Guinea di bagian Timur.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

7

Provinsi Papua sangat kaya dengan berbagai potensi sumberdaya alam.
Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50%
perekonomian Papua, dengan tembaga, emas, minyak dan gas menempati posisi
teratas yang dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah itu. Pada bidang
pertambangan, provinsi ini memiliki potensi 2,5 miliar ton batuan biji emas dan
tembaga, semuanya terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu, masih
terdapat beberapa potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah 6,3 juta ton,
batu gamping di atas areal seluas 190.000 ha, pasir kuarsa seluas 75 ha dengan
potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 jura ton, marmer sebanyak 350
juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi,
nikel

dan


krom

(http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-

papua/sumber-daya-alam).
Papua tidak hanya memiliki kekayaan alam dari sisi pertambangan yang
melimpah namun wilayah Papua juga memiliki potensi pariwisata yang yang
terkenal seperti Taman Nasional Lorentz yang merupakan salah satu kawasan
konservasi

istimewa yang tidak biasa seperti kawasan lainnya karena pada

tanggal 12 Desember 1999 PBB melalui United Nation Educational Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) secara resmi menetapkannya sebagai situs

alam warisan dunia yang memiliki kurang lebih 43 jenis ekosistem. Potensi
parawisata lain yang dimiliki oleh Papua adalah Kepulauan Raja Ampat yang
merupakan salah satu destinasi menyelam terbaik di dunia. Raja Ampat memiliki
memiliki konsentrasi kehidupan laut terbesar di dunia yang terdiri dari 75%

spesies karang, lebih dari 10 ribu spesies ikan, kura-kura, ikan hiu dan manta yang
belum

terjamah

oleh

banyak

orang

(http://lifestyle.sindonews.com/read/1075578/156/raja-ampat-taman-nasionalkomodo-tempat-menyelam-terbaik-dunia-1452304501).
Kekayaan alam yang kaya di Papua ditambah dengan jumlah penduduk
yang tidak padat yaitu sekitar 3,6 juta seharusnya mampu menjadi indikator Papua
untuk menjadi daerah yang maju dan makmur. Namun kenyataannya, Papua
merupakan provinsi tertinggal, dengan kemiskinan tertinggi serta Indeks
Pembangunan Manusia paling rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara


8

Sebagai perbandingan, IPM Nasional tahun 2011 mencapai 72,77%, sedangkan
IPM Papua mencapai 65,36%. Angka melek huruf Nasional mencapai 92,99%
sedangkan Papua mencapai 75,91%. Demikian juga tingkat kesenjangan
kemiskinan Papua jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Jika
kemiskinan nasional mencapai 11,66% maka Papua berada pada kisaran 30,66%
(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php.index-beritabulanan/2014/desember2013/568-affirmative-action-jalan-pintas-pendidikanpapua).
Masalah kemiskinan yang dimiliki oleh Papua kemudian menjadi
penghambat utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Jika pemerintah dan
berbagai pihak tidak memberikan perhatian khusus bagi daerah Indonesia Timur
yang masih tertinggal dalam hal mutu dan kualitas pendidikan maka akan timbul
ketimpangan sosial. Pendidikan adalah ujung tombak dari pemecahan masalah
kesejahteraan masyarakat tertinggal saat ini dengan majunya pendidikan maka
diharapkan generasi muda dapat kembali ke daerah asalnya mampu untuk
membangun tanah kelahirannya.
“Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua yaitu
Bapak Elias Wonda di Papua, untuk mewujudkan
implementasi pendidikan, memang masih terkendala dengan

beberapa persoalan, yaitu selain permasalahan teknis seperti
tenaga pendidik yang masih minim, juga ditambah dengan
lokasi sekolah yang berjauhan, kondisi topografis, demografi
dan geografi wilayah Papua yang berada di kawasan dataran
tinggi dan pegunungan tempat sekolah berada. Bahkan untuk
mencapai sebuah sekolah yang terletak di kawasan
pegunungan, harus menggunakan transportasi udara yang
kemudian harus disambung dengan berjalan kaki (Friastuti
dalam Syahputra, 2015:3)”.
Usaha dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan Papua juga masih
terdapat kendala lainnya. Salah satu kendalanya adalah banyak tenaga pengajar
yang tidak bertahan di tempat tugasnya khususnya di daerah terpencil di Papua
dan distribusi tenaga pengajar yang masih tidak merata di Papua ditambah dengan
kurangnya infrastruktur sekolah dan pengawasan pendidikan yang masih sangat
rendah

dibandingkan

dengan


daerah

lainnya

di

Indonesia.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

9

(http://m.republika.co.id/berita/pendidikan/11/04/06/lj8hm9-infrastrukturhambata-peningkatan-pendidikan-di-papua).
Pemerataan dan keterbukaan akses pendidikan sangat penting untuk
memperkokoh kekuatan dan kesatuan bangsa. Keutuhan berbangsa tercermin dari
tingkat pendidikan yang merata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Lemahnya latar belakang pendidikan pada salah
satu bagian wilayah, menyebabkan lemahnya kekuatan rantai persatuan sebagai
bangsa. Upaya untuk mengatasi dan memperkuat rantai kesatuan berbangsa

tersebut, salah satunya melalui peningkatan akses dan penuntasan pendidikan
tinggi bagi daerah terpinggirkan dan daerah yang mengalami ketertinggalan dalam
pendidikan

khususnya

bagi

daerah

Papua

(https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=UvofV_DPJsLhuQS_puYAg#q=program+adik+papua).
Usaha pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dalam mengatasi permasalahan ketertinggalan pendidikan di Papua adalah
melakukan berbagai program prioritas untuk mencapai kemajuan dan percepatan
pembangunan pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satu program
yang dilaksanakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi, Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) dan Majelis Rektor Perguruan tinggi
Negeri Indonesia (MRPTNI) yaitu Afirmasi Pendidikan Tinggi bagi Putra-Putri

asli Papua dan Papua Barat (ADIK Papua). Program ADIK Papua memberikan
kesempatan bagi generasi muda Asli Papua untuk bisa mengikuti pendidikan
tinggi negeri bersama dengan mahasiswa lain dari seluruh Indonesia.
Sampai saat ini ADIK Papua masih terus ditingkatkan kualitasnya dari
tahun ke tahun. Melihat tujuan dari Program ADIK Papua ini adalah memberikan
kesempatan kepada putra-putri Asli Papua lulusan SMA sederajat yang berprestasi
akademik baik, untuk memperoleh pendidikan tinggi di PTN terbaik;
mendapatkan calon mahasiswa baru putra-putri Asli Papua melalui seleksi
nasional dan seleksi khusus bagi siswa berprestasi akademik di SMA sederajat;
menyiapkan sumber daya manusia putra-putri asli Papua yang berkualitas untuk
berkontribusi dalam pembangunan nasional. Program ini meningkat dari tahun ke
tahun. Kuota beasiswa ADIK di tahun 2014 baru sebesar 269 orang, namun pada

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

10

tahun


2015

kuota

penerimanya

naik

menjadi

434

orang

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php.index-beritabulanan/2014/desember2013/568-affirmative-action-jalan-pintas-pendidikanpapua). Adanya peningkatan penerima Program ADIK Papua dapat menjadi
jawaban salah satu permasalahan ketertinggalan pendidikan Papua mengingat
bahwa semakin banyak sumber daya manusia Papua yang dipersiapkan untuk
membangun peningkatan kesejahteraan Papua.
Lulusan dari program Afirmasi ini diharapkan akan menjadi kaum
intelektual baru yang akan kembali dan membangun tanah Papua. Program ini

memberi kesempatan kepada calon mahasiswa untuk memilih jurusan pendidikan
sesuai minat dan kemampuan akademik. Program studi yang sudah disiapkan
adalah: Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Teknik, Pertanian,
Akuntansi, Statitiska, Keguruan dan Ilmu Pendidikan di 39 perguruan tinggi
negeri di Indonesia. Salah satu perguruan tinggi negeri yang bekerjasama dengan
program ADIK Papua adalah Universitas Sumatera Utara (USU).
Universitas Sumatera Utara mulai menerima mahasiswa Afirmasi sejak
tahun pertama diadakan yaitu tahun 2012 dengan jumlah mahasiswa 17 orang
sebagai angkatan I, angkatan II (2013) berjumlah 12 orang, angkatan III (2014)
berjumlah 17 mahasiswa dan angkatan IV (2015) berjumlah 26 orang. Mahasiswa
asal Papua yang berjumlah 72 orang tersebut tersebar di 8 Fakultas yakni,
Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Pertanian, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi dan Keperawatan . Di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik terdapat 2 mahasiswa asal Papua yakni di jurusan
Ilmu Politik dan Ilmu Kesejahteraan Sosial (pra penelitian dengan Agustinus –
anggota IMP (Ikatan Mahasiswa Papua) Sumut, 2015).
Program ADIK Papua yang telah dikerjakan oleh pemerintah ini tidak
sepenuhnya berjalan lancar hal ini dikarenakan banyak mahasiswa Papua kembali
ke tanah kelahirannya sebelum menyelesaikan studinya. Wakil Rektor I USU,
Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D mengatakan bahwa mahasiswa asal Papua
kurang rajin atau kurang usaha dalam mengikuti perkuliahan. Beberapa dari
mereka ada yang meminta pindah jurusan karena tidak mampu mengikuti
perkuliahan. Ada pula yang sudah tidak masuk kuliah seminggu dengan alasan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

11

yang sama bahkan ada mahasiswa yang kembali ke Papua tanpa melapor ke
Universitas (Syahputra, 2014: 6-7). Hal ini menunjukkan ada ketidakyakinan
terhadap kemampuan yang mereka miliki, rasa rendah diri, dan konflik dalam diri
mereka akibat dari kondisi sekitar mereka yang jauh dari harapan. Padahal untuk
bisa menerima beasiswa ini mereka telah melewati proses seleksi di daerahnya
yang secara nasional dirancang dalam beberapa tahapan, dimulai dari tahapan
pendataan dan pendaftaran, seleksi/ujian, pembekalan, mobilisasi, registrasi,
pembiayaan, pembinaan dan pembimbingan belajar agar mahasiswa dapat
menyelesaikan pendidikan tingginya dengan tuntas dan hasil yang baik.
Mahasiswa asal Papua harus merantau dan meninggalkan keluarga serta
tanah kelahirannya untuk sebuah tujuan untuk perbaikan kualitas pendidikan. Di
lingkungan yang baru mereka harus berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda
jauh dengan latar belakang budaya mereka. Dengan latar belakang budaya yang
sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara komunikasi yang telah
terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan dari pribadi individu
tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan variasi
latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat mereka menjadi
orang asing di lingkungan itu (Maulida, 2014:3).
Pada awal berinteraksi dengan lingkungan baru mahasiswa asal Papua
cenderung tidak percaya diri dan menarik diri untuk berkomunikasi dengan
lingkungan barunya. Hal ini dikarenakan adanya kecemasan, perasaan takut
ditolak, tekanan dari dalam diri dalam menghadapi budaya yang belum pernah
mereka kunjungi sebelumnya. Keterbatasan pengetahuan tentang budaya tempat
tinggal mereka sekarang dan ditambah dengan adanya perbedaan budaya yang
sangat jauh dengan budaya mereka membuat mereka stress secara psikologis
dalam pertemuan-pertemuan antarbudaya serta merasa tidak nyaman dalam
berkomunikasi dengan lingkungannya (pra penelitian dengan Agustinus, 2015).
Medan merupakan kota Metropolitan dengan berbagai kemajemukan dan
keragaman budaya yang ada. Budaya yang pluralis dan heterogen di Kota Medan
membuat setiap penduduknya diperhadapkan pada interaksi antarbudaya termasuk
mahasiswa Papua yang tinggal di kota Medan. Masa kuliah mahasiswa Papua
yang mencapai 4 tahun atau lebih diperlukan suatu modal dalam berkomunikasi

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

12

antarbudaya dalam berinteraksi dengan lingkungan tempat mereka menuntut ilmu
dan ini menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti.
Kecemasan bagaimana harus berkomunikasi ketika memasuki lingkungan
budaya yang baru adalah hal yang wajar. Namun, jika hal tersebut berkelanjutan
dan terus terjadi maka individu yang memasuki budaya baru tersebut akan
mengalami tekanan mental yang mengarah pada kondisi ketidaknyamanan dan
merasa tertolak di lingkungan baru tersebut. Kesulitan beradaptasi dengan
lingkungan tempat mahasiswa Papua yang menuntut ilmu baik dengan mahasiswa
lainnya maupun dengan dosen yang mengajar mereka akan mempengaruhi
keefektifan perkuliahan mereka. Adanya mahasiswa Papua yang kembali pulang
ke daerah asalnya menunjukkan bahwa tidak semua mahasiswa Papua mampu
menghadapi kondisi lingkungan baru mereka dengan baik.
Suatu kecakapan dan kemampuan komunikasi dibutuhkan untuk dapat
berbaur baik dengan lingkungan sekitar khususnya dengan lingkungan yang
berbeda budaya seperti yang dialami oleh para mahasiswa asal Papua yang
menuntut ilmu di Universitas Sumatera Utara. Adanya mahasiswa asal Papua
yang kembali ke tanah kelahirannya menunjukkan adanya ketidaknyamanan
ketika berkomunikasi antarbudaya. Ketidaknyamanan ini dikarenakan kurangnya
kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki mahasiswa asal Papua.
Liliweri

(2009)

mendefenisikan

kompetensi

antarbudaya

sebagai

kompetensi antarbudaya sebagai kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik
secara pribadi, kelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras) untuk
meningkatkan kapasitas , keterampilan, pengetahuan, yang berkaitan dengan
kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya. Menurut
Spitzberg (dalam Kurniawan, 2011:49) kompetensi komunikasi antarbudaya
mencakup beberapa komponen yaitu : pengetahuan, motivasi dan keterampilan
masing-masing individu dalam melakukan komunikasi antarbudaya.
Bagi para peserta komunikasi antarbudaya dibutuhkan suatu kecakapan
untuk mengelolah pesan maupun hambatan yang ada di dalam komunikasi
antarbudaya. Sehingga penting bagi peserta komunikasi antarbudaya untuk

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

13

memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya agar komunikasi yang terjalin
diantara peserta komunikasi mencapai suatu tujuan komunikasi yaitu kesamaan
makna serta adanya kenyamanan diantara pihak yang berkomunikasi.
Mahasiswa Papua di dalam proses interaksinya dengan lingkungan
sosialnya terkhususnya mahasiswa dan dosen seharusnya memiliki kompetensi
komunikasi antarbudaya. Hal ini dikarenakan budaya tidak hanya meliputi cara
berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika,
nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya
belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan
sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 97). Perbedaan latar belakang budaya
yang sangat jauh tentunya akan menimbulkan suatu hambatan dalam
berkomunikasi.
Penelitian mengenai mahasiswa asal Papua di USU sudah pernah
dilakukan sebelumnya oleh Indah Maulida dan Nurhayati yang menitikberatkan
pada culture shock (gegar budaya) yang dialami oleh Mahasiswa asal Papua.
Dalam penelitian Indah Maulida menunjukkan bahwa mahasiswa Papua memiliki
kecenderungan culture shock yang tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah
bisa menyesuaikan diri dan merasa nyaman tinggal di Medan. Penelitian yang
dilakukan oleh Nurhayati menunjukkan bahwa kecenderungan informan Papua
mengalami beberapa gegar budaya seperti kurikulum pelajaran, konsep harga,
makanan, kebiasaan dan beberapa sistem komunikasi seperti: penggunaan bahasa,
intonasi, aksen ketika berkomunikasi dengan teman non Papua. Penelitian lain
terkait mahasiswa Papua juga pernah dilakukan oleh Ronny Syahputra mengenai
gambaran self-efficiacy (keyakinan mengenai kemampuan dirinya). Hasil
penelitian menunjukkan self-efficacy mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang
berasal dari Papua berada pada kategori sedang.
Berdasarkan uraian-uraian di atas peneliti tertarik untuk melihat interaksi
yang terjadi antara mahasiswa Papua dengan mahasiswa dan dosen di USU. Halhal apa saja yang telah mereka persiapkan sebelumnya ketika memasuki
lingkungan baru dan kompetensi komunikasi antarbudaya mereka. Peneliti
memilih subjek penelitian mahasiswa asal Papua dari angkatan 2013, 2014 dan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

14

2015 yang merupakan mahasiswa aktif dalam kegiatan perkuliahan di USU.
Rentang waktu tinggal yang lama di Kota Medan dan interaksi budaya yang setiap
saat mereka alami seharusnya membuat mereka mempersiapkan kemampuan
mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan budaya Medan yang sangat jauh
dari budaya asal mereka.

1.2

Fokus Masalah
Fokus masalah yang dapat diajukan untuk penelitian ini berdasarkan

konteks masalah di atas adalah:
“Bagaimanakah kompetensi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Papua
dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan dosen di Universitas Sumatera Utara?”

1.3

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mengetahui

proses

komunikasi

antarbudaya mahasiswa Papua dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan
dosen di Universitas Sumatera Utara.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang
dihadapi oleh mahasiswa asal Papua dalam interaksi komunikasi
antarbudaya dengan mahasiswa dan dosen.
3. Penelitian ini
kompetensi

bertujuan untuk

komunikasi

mengetahui

antarbudaya

komponen-komponen

mahasiswa

asal

Papua

di

Universitas Sumatera Utara yang dapat muncul dalam interaksi
komunikasi antarbudaya.

1.4

Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif
bagi penelitian dibidang ilmu komunikasi antarbudaya terkhusus dalam
memberikan gambaran mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

15

2. Secara akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
memperkaya pengetahuan mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya
dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi khususnya
ditempat peneliti menuntut ilmu yaitu di Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
bersama baik kepada instansi pemerintah dan Universitas Sumatera Utara
dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya pada mahasiswa
Papua serta kendala dan tantangan dalam proses belajar yang dialami
oleh mereka sehingga diharapkan dapat mengambil langkah demi
keefektifan proses belajar dan menjadi masukan dan pembelajaran bagi
peserta komunikasi antarbudaya agar mampu mengelola dengan baik
seluruh faktor penghambat komunikasi antarbudaya dengan kecakapan
dan keterampilan yang dimiliki.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

9 145 187

Pola Adaptasi Dan Interaksi Mahasiswa Asal Papua Dengan Mahasiswa Daerah Lain (Studi Pada Mahasiswa Asal Papua Di Universitas Sumatera Utara)

22 169 120

Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara Suku Batak Karo (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara yang Melakukan Studi di Universitas Komputer Indonesia dalam Berinteraksi dengan Lingkungan Kampusnya)

0 17 77

Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara Suku Batak Karo (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara yang Melakukan Studi di Universitas Komputer Indonesia dalam Berinteraksi dengan Lingkungan Kampusnya)

0 5 77

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

1 32 131

Pola Adaptasi Dan Interaksi Mahasiswa Asal Papua Dengan Mahasiswa Daerah Lain (Studi Pada Mahasiswa Asal Papua Di Universitas Sumatera Utara)

3 17 120

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 5

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 2

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 14

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 4