Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

(1)

DAFTAR REFERENSI

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q. Anees. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Metodelogi Penelitian.Yogyakarta: Bina Aksara.

Cangara, Hafied. (2007). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Basrowi, Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rineka Cipta.

Bugin, Burhan. (2008). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.

E.M, Griffin.(2006). A First Look at Communication Theory, Sixth Edition. Boston: The McGraw Hill.

Hasan, M. Iqbal. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Gralia Indonesia.

H.B, Sutopo. (2006). Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Kriyantono, Rachmat. (2008). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Liliweri, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(2004). Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(2009). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS.

Lubis, Lusiana Andriani. (2012). Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya. Medan: USU Press.

Moleong, Lexy J. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(2)

Mulyana dan Rakhmat. (2004). Komunikasi Efektif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

(2005). Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. (2001). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Universty Press.

Neuman, W. Lawrence. (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (Third Edition). USA: Allyn & Bacon.

Pohan, Syafruddin, dkk. (2012). Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Proposal Penelitian. Medan : PT. Grasindo Monoratama.

Purba, Amir dkk. (2012). Buku Pedoman dan Proposal Penelitian. Medan : PT. Grasindo Monoratama.

Purwasito, Andrik. (2002). Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah Uversity Press.

Samovar, dkk. (2010). Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika.

Subagyo, Joko P. (1999). Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. PT. Rineka Cipta: Jakarta.

Soehartono, Irawan. (2004). Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Sugiono, (2008). Metode Penelitian ; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Allfabeta.

Suprapto, Riyadi. (2002). Interaksi Simbolik; Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Averrous Press & Pustaka Pelajar.

Sutopo, HB. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.


(3)

Maulida, Indah. (2014). Culture Shock pada Mahasiswa Asal Papua di Universitas Sumatera Utara dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/42443 [diakses 23 November 2015].

Nurhayati. (2015). Proses Interaksi dan Dinamika Komunikasi Mahasiswa Asal Papua di Universitas Sumatera Utara dalam Menghadapi Culture Shock. Medan: Repositori Perpustakaan Departemen Ilmu Komunikasi. Syahputra, Ronny. (2015). Gambaran Self-Efficiacy pada Mahasiswa

Universitas Sumatera Utara yang Berasal dari Papua. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/51114 [diakses 23 November 2015].

Kurniawan, Freddy. (2011). Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Anggota Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Etnis Tionghoa dan Jawa. Surakarta; Universitas Sebelas Maret, Program Sarjana. http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=18028 [diakses 10 Desember 2015].

THESIS:

Masril, Munzaimah. (2014). Analisis Hubungan Kecemasan dan Ketidakpastian Terhadap Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Indonesia. Medan; Universitas Sumatera Utara, Program Pasca Sarjana. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/41396 [diakses 12 Desember 2015].

SUMBER INTERNET:

https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=UvofV_DPJsLhuQS_-puYAg#q=program+adik+papua (diakses 11 April 2016)

http://www.presidenri.go.id/pendidikan/beasiswa-untuk-papua.html (diakses 17 April 2016)

http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-papua/sumber-daya-alam (diakses 19 April 2016)


(4)

http://lifestyle.sindonews.com/read/1075578/156/raja-ampat-taman-nasional-komodo-tempat-menyelam-terbaik-dunia-1452304501 (diakses 11 April2016)

http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php.index-berita- bulanan/2014/desember2013/568-affirmative-action-jalan-pintas-pendidikan-papua (dikses 11 April 2016)

http://m.republika.co.id/berita/pendidikan/11/04/06/lj8hm9-infrastruktur-hambata-peningkatan-pendidikan-di-papua (diakses 19 April 2016)


(5)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan. Di dalam penelitian dikenal adanya beberapa macam teori untuk menerapkan salah satu metode yang relevan terhadap permasalahan mengingat bahwa setiap permasalahan yang dikaitkan dengan kemampuan peneliti, biaya dan lokasi dapat diselesaikan dengan sembarang metode. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian yang akan digunakan adalah penelitian yang diharapkan mampu mengungkapkan gambaran kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Papua.

Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2007:4) mendefenisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrument kunci, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan secara gabungan dan analisis data bersifat induktif guna memperoleh hasil penelitian yang lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dimasyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu (Bugin, 2008:49). Penelitian deskriptif juga bertujuan memberikan informasi kepada peneliti sebuah riwayat atau gambaran detail tentang aspek-aspek yang relevan dengan fenomena mengenai


(6)

perhatian dari perspektif seseoramg, organisasi, orientasi industry, atau lainnya (Suharsono, 2009:8)

Adapun tujuan penelitian deskriptif menurut Hasan (2002:22) adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.

2. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku.

3. Membuat perbandingan atau evaluasi.

4. Menentukan apa yang dilakukan dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menerapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sesuatu yang diteliti baik orang, benda ataupun lembaga (organisasi). Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian (Arikunto, 2006). Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa-mahasiswi asal Papua angkatan 2013, 2014 dan 2015 yang ada di Universitas Sumatera Utara. Dasar penentuan subjek penelitian ini adalah dikarenakan mahasiswa angkatan 2013, 2014 dan 2015 adalah mahasiswa aktif yang interaksinya lebih banyak di kampus sehingga lebih memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam bagaimana kompetensi komunikasi antarbudaya mereka.

Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik snowball sampling sehingga jumlah informan yang akan menjadi subjek akan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan dan terpenuhinya informasi (Kriyantono, 2012:158). Teknik ini merupakan teknik penentuan subjek penelitian yang awalnya berjumlah kecil, kemudian berkembang menjadi banyak seperti bola salju yang semakin lama semain membesar. Informan awal sebagai sumber utama yang dijadikan titik awal pemilihan informan berikutnya.


(7)

Informan awal ini juga nantinya yang diminta memilih atau menunjuk orang lain sebagai informan berikutnya.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah sifat keadaan dari suatu benda, orang, ataupun yang menjadi pusat perhatian dan sasaran penelitian. Sifat keadaan dimaksud bisa berupa sifat, kuantitas, dan kualitas yang bisa berupa perilaku, kegiatan, kegiatan, pendapat, pandangan penilaian, sifat pro-kontra, simpati-antipati, keadaan batin dan bisa juga berupa proses (Arikunto, 2006). Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa objek penelitian merujuk pada masalah atau tema yang sedang diteliti. Objek penelitian yang diteliti dalam penelitian ini adalah kompetensi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Papua dalam berinteraksi dengan dosen dan mahasiswa di Universitas Sumatera Utara.

3.4 Kerangka Analisis

Data yang telah ditemukan dan dihimpun oleh peneliti dari informan di lapangan akan dilakukan secara berkesinambungan sampai ditemukan sikronisasi dan kesamaan antara data dari satu informan dengan informan yang lainnya. Data yang ditemukan dilapangan kemudian disederhanakan melalui reduksi data dikarenakan ada banyak data yang dikumpulkan selama penelitian. Mereduksi berarti merangkum dan memilih hal-hal apa saja yang pokok, dan berfokus pada hal-hal yang penting saja. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2005: 92).

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan periset dalam mengumpulkan data (Kriyantono, 2008:91). Penelitian ini menggunakan 2 metode pengumpulan data yaitu:


(8)

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama di lapangan.

Adapun cara untuk mendapatkan data primer adalah dengan: a. Wawancara Mendalam (In-depth interview)

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang sama (Sutopo, 2006:72). Pada wawancara mendalam (in-depth interview) wawancara dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian, hal mana kondisi ini tidak pernah terjadi pada wawancara sebelumnya (Burhan, 2008:108).

b. Observasi atau pengamatan

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Observasi sebagai alat pengumpulan data dilakukan sesuai dengan kebutuhan penelitian dan biasanya memakan waktu yang lama.

Peneliti yang bertindak sebagai observer harus mampu untuk melihat objek dan peka mengungkap serta membaca permasalahan dalam peristiwa-peristiwa tertentu dan dapat memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan. Tujuan dari observasi ini untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan penilaian atas


(9)

menggunakan observasi non partisipatif yang dimana peneliti tidak melibatkan diri ke dalam kegiatan objek pengamatan hanya dilakukan secara sepintas pada saat tertentu kegiatan objek (Subagyo:1999).

2. Data Sekunder

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu mencari, melihat dan membuka dokumen, situs-situs atau buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang sedang diteliti.

3.5.1 Penentuan Informan

Dalam penelitian kualitatif jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan data dalam penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki pengetahuan sesuai dengan penelitian dan juga bersedia untuk dijadikan sebagai informan. Subjek penelitian ditentukan dengan teknik snowball sampling yang dimana informan awal sebagai sumber utama yang dijadikan titik awal pemilihan informan berikutnya. Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampei ini disuruh untuk memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel (Sugiyono, 2008:61).

3.5.2 Keabsahan Data

Dalam penelitian ini teknik keabsahan data yang digunakan oleh peneliti adalah:

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Peneliti hadir dalam setiap tahap penelitian sehingga peneliti memahami dan mampu untuk mengumpulkan data dari penelitian. Penelitian kualitatif memungkinkan setiap peneliti untuk turun langsung mengamati dan menghabiskan waktu bersama dengan informan sampai data yang dikumpulkan benar-benar valid.


(10)

2. Menemukan Siklus Kesamaan Data

Dalam penelitian ini apabila terdapat data baru yang ditemukan maka peneliti akan terus bekerja menemukan data lainnya sehingga informasi yang dibutuhkan banyak dan pada akhirnya terdapat kesamaan dari data tersebut. Apabila terdapat kesamaan data peneliti melakukan langkah akhir yaitu menguji keabsahan data. 3. Ketekunan Mengamati

Pengamatan bukanlah suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan panca indra namun justru menggunakan semua panca indra termasuk pendengaran, perasaan dan insting peneliti. Dengan meningkatkan ketekunan peneliti dalam penelitian ini maka derajat keabsahan data telah ditingkatkan pula.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Tripp (dalam Baswori dan Suwandi, 2008:192) merupakan proses mengurai (memecah) sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Data mentah yang telah dikumpulkan oleh peneliti tidak akan berguna jika tidak dianalisis. Dengan kata lain dalam sebuah penelitian analisis data sangat penting digunakan dalam pemecahan masalah penelitian.

Miles & Huberman (dalam Sugiono, 2008:21) mengemukakan bahwa ada beberapa langkah yang digunakan di dalam penelitian untuk menganalisis data yaitu:

1. Melakukan Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstarksian dan pentransformasian data kasar dari lapangan. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan dari awal sampai akhir penelitian. Reduksi merupakan bagian dari analisis bukan terpisah. Fungsinya untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi sehingga interpretasi bisa ditarik. Dalam proses reduksi ini peneliti


(11)

kebenaran data yang diperoleh akan dicek ulang dengan informan lain yang dirasa peneliti lebih mengetahuinya.

2. Penyajian Data

Adalah sekumpulan informasi tersusun yang member kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajiannya antara lain berupa teks naratif, matriks, grafik, jaringan dan bagan. Tujuannya adalah untutk memudahkan membaca dan menarik kesimpulan. Penyajian data juga merupakan bagian dari analisis, bahkan mencakup juga reduksi data. Dalam tahap ini peneliti juga melakukan display (penyajian) data secara sistematik, agar lebih mudah untuk dipahami interasi antar bagian-bagiannya dalam konteks yang utuh.

3. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan-kesimpulan selama penelitian berlangsung terlebih dahulu diverifikasi. Makna-makna yang muncul dari data harus selalu diuji kebenaran dan kesesuaiannya sehingga validitasnya terjamin. Dalam tahap ini, peneliti membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip logika, mengangkatnya sebagai temuan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji secara berulang-ulang terhadap data yang ada, pengelompokkan data yang telah terbentuk dan proposisi yang telah dirumuskan. Langkah selanjutnya yaitu melaporkan hasil penelitian lengkap dengan ‘temuan baru’ yang berbeda dari temuan yang sudah ada.


(12)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian adalah informasi atau data-data yang didapatkan dari penelitian yang kemudian dirangkum dan diolah kembali berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Data dan informasi dilakukan dengan mengamati dan mewawancari 8 orang mahasiswa asal Papua dari angkatan 2013, 2014 dan 2015 dari beberapa fakultas di Universitas Sumatera Utara. Salah seorang mahasiswa Papua dijadikan key-person oleh peneliti untuk selanjutnya menunjuk temannya yang akan dijadikan informan. Pada bab ini peneliti akan menjabarkan hasil penelitian dan proses penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya mahasiswa Papua, mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh mahasiswa asal Papua dalam interaksi komunikasi antarbudaya dengan mahasiswa dan dosen dan mengetahui komponen-komponen kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Papua di Universitas Sumatera Utara yang dapat muncul dalam interaksi komunikasi antarbudaya.

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Universitas Sumatera Utara adalah salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Universitas ini terletak di Propinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kota Medan dan beralamat di Jalan dr. T. Mansyur No.9 Kampus USU, Medan 20155 Sumatera Utara. Kampus USU adalah salah satu dari 10 PTN yang paling diminati oleh para lulusan SMA di seluruh Indonesia setelah Universitas Padjajaran, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Brawijaya dengan jumlah peminat 61.464 orang yang berasal dari seluruh Sekolah


(13)

(http://m.okezone.com/read/2016/03/14/65/1335256/snmptn-2016-unpad-paling-diminati).

Perkembangan jumlah mahasiswa USU dalam satu dekade terakhir, lebih dari 30.000 orang pada tahun 2007 dan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2020. Hal ini telah mendorong USU untuk mengupayakan pengembangan lahan kampus sebagai perluasan dari lahan kampus Padang Bulan di kawasan Kwala Bekala sekitar 15 km dari kampus Padang Bulan dengan luas lahan sekitar 300 ha.

Sistem pembelajaran saat ini didukung oleh fasilitas perpustakaan dan lebih dari 200 laboratorium. Perpustakaan USU menyediakan berbagai jenis sumber belajar baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. Sealian itu kampus USU Padang Bulan juga didukung oleh infrastruktur teknologi informasi untuk memfasilitasi akses informasi dan pengetahuan, sarana seperti asrama, arena olah raga, wisma, kafetaria, toko, bank, dan kantor pos. Wisuda dan berbagai acara akademik lainnya diadakan di Auditorium dan Gelanggang Mahasiswa dan sebuah rumah sakit pendidikan.

USU memiliki 14 fakultas/sekolah yaitu Kedokteran, Hukum, Pertanian, Teknik, Kedokteran Gigi, Ekonomi, Sastra, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Psikologi, Keperawatan dan Pascasarjana yang terdiri dari program studi yang ditawarkan sebanyak 135, yaitu 19 tingkat doktoral, 32 magister, 18 spesialis, 5 profesi, 46 sarjana, dan 15 diploma. Sewaktu didirikan pada tahun 1952, USU merupakan sebuah Yayasan, kemudian beralih status menjadi PTN pada tahun 1957, dan selanjutnya berubah menjadi PT-BHMN pada tahun 2003.

4.1.1.1. Sejarah Singkat

Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.


(14)

Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini. Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro dan sekretaris Mr. Djaidin Purba. Sebagai hasil kerjasama dan bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengan dua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya dua orang wanita.

Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1954), Fakultas Keguruandan Ilmu Pendidikan (1956),dan Fakultas Pertanian (1956) menyusul berdiri setelah Fakultas Kedokteran. Pada tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia. Pada tahun 1959, dibuka Fakultas Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang diresmikan secara meriah oleh Presiden R.I. kemudian disusul berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (1960) di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu, USU terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua fakultas di Banda Aceh.

Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965),Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2006), dan Fakultas Psikologi (2007), serta Fakultas Keperawatan (2009). Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu Perguruan Tinggi


(15)

(BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).

Pimpinan Universitas

1958-1962 Z. A. Soetan Koemala Pontas, Ketua Presidium

1957-1958 Prof. Dr. Ahmad Sofian, Presidium

1962-1964 Prof. Mr. Mahadi, Ketua Presidium

1964-1965 Ulung Sitepu, Presidium 1965-1966 Drg. Nazir Alwi, Rektor

1966 (Mei-Nov) Prof. Dr. S. Hadibroto, M.A., Pejabat Rektor

1966-1970 Dr. S. Harnopidjati, Rektor

1970-1978 Harry Suwondo, SH, Rektor

1978(Mei-Juli) O. K. Harmaini, SE, Ketua Rektorium 1978-1986 Dr. A. P. Parlindungan, SH, Rektor

1986-1994 Prof. M. Jusuf Hanafiah, Rektor

1994-2010 Prof. Chairuddin P. Lubis, D.T.M.&H., Sp.A.(K), Rektor

2010-2015 Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A.(K) 2016-2021 Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum

4.1.2 Proses Penelitian

Proses pengumpulan data dalam penelitian Kompetensi Komunikasi Antarbudaya pada mahasiswa asal Papua di USU dilakukan dengan beberapa tahapan. Pelaksaan dari penelitian ini meliputi tiga tahapan dalam proses pelaksanaanya yaitu tahap persiapan, tahap eksekusi ke lapangan dan tahap penyusunan laporan.


(16)

Pada tahap persiapan, peneliti melakukan pengamatan (observasi) sekilas bagaimana interaksi yang terjadi antara mahasiswa asal Papua dengan mahasiswa lainnya di kampus. Pra penelitian dilakukan oleh peneliti sebelum turun ke lapangan dengan menemui seorang mahasiswa asal Papua di Fisip yang bernama Agustinus Goo. Perkenalan peneliti dengan Agustinus Goo terjadi di Perpustakaan Fisip pada akhir November 2015. Setelah berkenalan dengan Agustinus peneliti menyampaikan maksud dan tujuan peneliti dan direspon positif oleh Agustinus. Agustinus tidak hanya bersedia untuk dijadikan informan oleh peneliti tetapi juga bersedia untuk membantu peneliti dalam mengumpulkan informasi dalam penelitian ini. Pada awal pra penelitian ini juga peneliti mengajak Agustinus berbagi tentang bagaimana perasaannya ada di Medan dan gambaran lingkungannya di Medan. Akhir dari perbincangan peneliti dengan Agustinus peneliti meminta no telepon atau kontak yang bisa dihubungi untuk memuat janji wawancara ke depan.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan mulai Mei 2016 hingga Juni 2016. Pengumpulan data melalui pengamatan dan wawancara mendalam. Peneliti berusaha sedekat mungkin dengan informan dan menganggap mereka sebagai teman sehingga tidak ada jarak antara peneliti dengan mereka, hal ini bertujuan agar peneliti mendapat data yang valid, akurat dan mendalam. Selain itu juga peneliti ikut serta dalam memperhatikan kegiatan para informan dan kondisi mereka di kampus maupun di asrama tempat tinggal mereka sendiri. Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik snowball sampling dengan Agustinus sebagai key person. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 5 orang karena jawaban dari keenam informan ini sudah mencapai titik jenuh, di mana artinya data yang diberikan informan hampir rata-rata mempunyai kesamaan dan tidak memberikan informasi baru.

Wawancara pertama bersama dengan informan 1 yaitu Agustinus Goo dilakukan pada tanggal 30 Mei 2016 di Asrama Putera pukul 14.00 WIB. Sebelum melakukan wawacara peneliti terlebih dahulu menghubungi Agustinus dan membuat janji bertemu untuk melakukan wawancara. Pada


(17)

penelitian ini Agustinus merupakan informan kunci (key person) yang artinya bahwa Agustinus yang akan menunjuk temannya yang akan dijadikan informan selanjutnya dalam penelitian ini. Agustinus adalah pribadi yang terbuka dan gampang bergaul ini tergambar saat peneliti bertemu dengannya pada saat pra penelitian, Agustinus ini langsung dapat memberikan respon yang positif dan membantu peneliti untuk mengumpulkan data di lapangan. Jawaban yang didapatkan peneliti melalui wawancara dengan Agustinus cukup memuaskan peneliti karena selama sesi wawancara Agustinus banyak bertanya tentang budaya Medan seperti penggunaan kata “cemana”, “cok”, dll yang coba dilafalkan olehnya. Setelah peneliti selesai melakukan wawancara dengan Agustinus, peneliti juga meminta Agustinus menunjuk seorang mahasiswa asal Papua lainnya yang akan dijadikan informan kedua.

Saat peneliti mewawancarai Agustinus secara kebetulan pada saat yang bersamaan datang mahasiswa asal Papua lainnya yang bernama Miel Watik. Miel adalah informan kedua dalam penelitian ini. Miel direkomendasikan oleh Agustinus karena saat wawancara pertama dengan Agustinus, Miel baru saja pulang dari kampus dan Agustinus juga sudah menjelaskan kepada Miel tentang penelitian ini pada saat peneliti melakukan wawancara dengan Agustinus. Miel adalah mahasiswa asal FISIP dari Departemen Ilmu Politik stambuk 2014. Wawancara dengan informan 2 dilakukan peneliti setelah peneliti melakukan wawancara dengan informan 1 di hari yang sama yaitu tanggal 30 Mei 2016 pukul 14.35 WIB . Sebelum mewawancarai informan 2, peneliti mengungapkan tujuan peneliti untuk melakukan wawancara dan Miel bersedia untuk dijadikan informan oleh peneliti. Miel adalah cukup mampu diajak bekerja sama dalam proses wawancara ini. Wawasannya cukup luas termasuk dalam hal masalah sosial dan politik. Setelah selesai wawancara selanjutnya Miel merekomendasikan Piter Nelambo sebagai informan ketiga karena saat itu juga Piter ada saat peneliti melakukan wawancara dengan Miel.

Wawancara ketiga dilakukan pada tanggal 2 Juni 2016 di Asrama Putera pkl. 14.00. Sebelumnya peneliti sudah terlebih dahulu membuat janji


(18)

dengan Piter dengan meminta no telepon yang bisa dihubungi dan selain no telepon peneliti juga meminta Line Piter agar bisa digunakan untuk berkomunikasi dan membangun hubungan dengan informan 3. Piter adalah sosok yang tertutup dan seperti sangat membatasi setiap informasi yang disampaikannya kepada peneliti. Dalam wawancara dengan Piter karena merasa canggung dan informan ini kurang terbuka, peneliti mencoba bercerita tentang hal lain seperti hobi dan hal-hal lainnya untuk mengakrabkan diri dengan Piter. Untungnya usaha yang dilakukan oleh peneliti ini berhasil hingga Piter mau lebih terbuka dan santai daripada sebelumnya.

Informan 4 berasal dari Fakultas Keperawatan stambuk 2014 bernama Albertina Butu. Albertina dipilih berdasarkan rekomendasi dari Piter sebelumnya. Wawancara yang dilakukan peneliti dengan Albertina dilakukan di Asrama Puteri pada tanggal 3 Juni 2016 pkl 17.00. Albertina di awal wawancara sedikit takut dengan adanya wawancara ini dikarenakan Albertina mengira bahwa hasil wawancara ini akan dipublikasikan di media cetak seperti Koran atau media lainnya tetapi setelah peneliti menjelaskan akhirnya Albertina bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

Wawancara ke lima juga dilakukan di Asrama Puteri dengan informan 5 yaitu Magdalena Tebai pada 4 Juni 2016 pukul 18.00. Waktu ini ditentukan setelah peneliti membuat janji dengan Magdalena agar tidak mengganggu jadwal perkuliahan Magdalena. Magdalena adalah sosok yang terbuka, ramah namun sedikit cuek dengan sekitarnya. Informan ke lima ini sendiri dipilih oleh Albertina yang sebelumnya sudah diwawancarai oleh peneliti. Alasan Albertina memilih Magda karena Magda adalah teman satu kamarnya selama di asrama. Sepanjang penelitian Magdalena tidak sama sekali kaku dan mengganggap peneliti sebagai temannya bercerita.

Informan 6 dalam penelitian ini juga berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat angkatan 2015 bernama Pina Lestari Kamarmateyao. Informan 6 ini direkomendasikan oleh Magda karena informan 6 ini adalah adik kelasnya di Fakultas Kesehatan Masyarakat. Wawancara ke enam dilakukan pada


(19)

sebelumnya Magda yang merupakan penghubung antara peneliti dan informan 6 memberitahukan pada peneliti bahwa Pina dapat diwawancarai pada tanggal dan waktu tersebut. Awal wawancara dengan peneliti Pina sangat membatasi setiap kata-kata yang ingin disampaikannya, namun pada akhirnya setelah peneliti meyakinkan Pina kembali bahwa peneliti hanya akan bertanya tentang pengalamannya Pina baru leluasa menjelaskan semuanya.

Niklas Oruw adalah informan ke 7 dalam penelitian ini. Niklas dipilih menjadi informan selanjutnya berdasarkan rekomendasi dari Pina yang juga teman satu angkatannya hanya saja berbeda fakultas karena Niklas berasal dari fakultas teknik jurusan teknik industri. Wawancara dengan Niklas dilakukan pada tanggal 17 Juni 2016 pkl 15.30 di Asrama Putera USU. Ketika mengetahui akan diwawancarai oleh peneliti Niklas sangat gugup dan jawaban yang diberikan oleh Niklas tampak terbata-bata. Pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti membutuhkan waktu yang lama untuk dijawab oleh informan 6 ini menurut peneliti Niklas sangat sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya. Namun pada akhirnya semua pertanyaan peneliti dapat dijawab dan disampaikan oleh Niklas meskipun dengan terbata-bata.

Informan ke 8 adalah Yusuf Ullo mahasiswa fakultas teknik jurusan teknik sipil stambuk 2014. Yusuf direkomendasikan oleh informan 7 karena menurutnya peneliti akan lebih efektif berbicara dengan Yusuf. Wawancara dengan informan 8 dilakukan pada tanggal 17 Juni 2016 pkl. 16.00 di asrama putera sebelum mahasiswa Papua yang tergabung dalam organisasi IMP Sumut (Ikatan Mahasiswa Papua) Sumut melakukan pemilihan ketua baru. Yusuf adalah informan yang menurut peneliti paling mahir berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Medan dibandingkan dengan semua informan lainnya, ini dikarenakan Yusuf sudah banyak menggunakan bahasa Medan selama proses wawancara seperti “cak, cabut, keteter, beselemak”, peneliti kagum juga dengan aksen/logat bahasa yang diucapkannya seperti memang hampir hilang aksen Papuanya selama berbincang dengan peneliti. Yusuf mengakui memang dia sudah banyak belajar bahasa Medan dan juga memperhatikan siapa lawan bicaranya. Hasil observasi peneliti dengan Yusuf


(20)

ketika dia berbicara dengan teman Papuanya aksen Papua juga masih kental digunakan oleh Yusuf. Yusuf menganggap dia tetap senantiasa belajar menempatkan diri di kota Medan, dia sadar benar bahwa respon positif dari lingkungan akan mempengaruhi motivasinya tetap tinggal di Medan.

Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara tatap muka dan mendalam antara peneliti dengan para informan. Selain itu juga, peneliti menjalin hubungan baik denga para informan peneliti dan meminta kesediaan para informan agar mau untuk melakukan wawancara kembali apabila data yang dikumpulkan dianggap kurang lengkap sampai data yang dikumpulkan dapat menjawab tujuan dari penelitian ini. Semua informan dalam penelitian ini juga bersedia diwawancarai oleh peneliti apabila ada data-data yang terkumpul masih dianggap kurang memenuhi tujuan penelitian ini.


(21)

4.1.2. Tabel Data Informan

No Nama Umur P/L Suku Agama Asal Fakultas/Jurusan Status Ket

1. Agustinus Goo 19 L Mee Katholik Dogiyai

ISIP/Ilmu Kesejahteraan Sosial Mahasiswa Informan Primer

2. Miel Wantik 19 L Walak Protestan Ilugwa ISIP/Ilmu Politik Mahasiswa Informan

Primer

3. Piter Nelambo 19 L Meck Protestan Wamena Ekonomi

Bisnis/Manajemen Mahasiswa

Informan Primer

4. Albertina Butu 21 P Mee Katholik Sorong Keperawatan Mahasiswa Informan

Primer

5. Magdalena

Tebai 22 P Meck Katholik Dogiyai

Kesehatan Masyarakat Mahasiswa Informan Primer

6. Pina Lestari

Kamarmateyao 18 P Lanny Katholik Jayapura

Kesehatan

Masyarakat Mahasiswa

Informan Primer

7. Niklas Oruw 20 L Yale Protestan Kaimana Teknik/ Teknik

Industri Mahasiswa

Informan Primer

8. Yusuf Ullo 20 L Mandacan Protestan Manokwari Teknik/ Teknik

Sipil Mahasiswa

Informan Primer

9. Ria Tithalia

Lubis 19 P

Batak

Toba Protestan Duri

Kesehatan

Masyarakat Mahasiswa

Informan Sekunder

10. Tri Sisca S. 19 P Batak

Toba Protestan Medan

Kesehatan

Masyarakat Mahasiswa

Informan Sekunder

11. Fajar Anugrah T 19 L Batak

Toba Protestan Tarutung ISIP/Ilmu Politik Mahasiswa

Informan Sekunder

12. Herdensi Adnin,

MSP 36 L - Islam Palembang

ISIP/Ilmu Kesejahteraan Sosial Dosen Informan Sekunder 13. Lita Sri Handayani, SKM, M.Kes

- P Karo Islam - Kesehatan

Masyarakat Dosen

Informan Sekunder


(22)

4.1.3. Hasil Wawancara dan Pengamatan dengan Para Informan 1. Informan 1

Nama : Agustinus Goo

Fakultas/ Jurusan /Angkatan : ISIP/Ilmu Kesejahteraan Sosial/2015

Tanggal Wawancara : 30 Juni 2016

Waktu Wawancara : Pkl. 14.00 s/d selesai

Tempat Wawancara : Asrama Putera USU

Agustinus Goo adalah mahasiswa asal Papua stambuk 2015 yang berasal dari departemen Ilmu Kesejahteraan Fisip, USU. Agustinus sendiri adalah informan kunci dalam penelitian ini. Dialah yang bertindak mengarahkan siapa saja selanjutnya yang akan dijadikan informan dalam penelitian ini. Perkenalan peneliti dengan Agustinus berlangsung awal November 2015. Saat itu baik Agustinus sedang mencari buku di perpustakaan Fisip. Semenjak saat itu peneliti berkenalan dengan Agustinus dan menjelaskan bahwa peneliti tertarik untuk meneliti mahasiswa Papua. Agustinus bersedia ikut membantu peneliti dalam penelitian ini. Setelah dari perjumpaan itu peneliti meminta nomor telepon Agustinus yang dapat dihubungi untuk kelancaran penelitian ke depan. Pada minggu ke dua November 2015, peneliti mencoba mewawancari Agustinus dan melakukan pengamatan terhadap interaksi mahasiswa Papua. Data yang ditemukan kemudian peneliti masukkan ke dalam proposal penelitian yang peneliti ajukan kepada dosen pembimbing. Setelah itu peneliti kemudian mewawancari Agustinus pada tanggal 30 Mei 2016 setelah sebelumnya peneliti juga berusaha sedekat mungkin ikut terlibat dalam interaksi antarbudaya mahasiswa Papua. Wawancara dilakukan di Asrama Putera USU. Tidak ada terlihat kecanggungan antara peneliti dan informan ini karena sebelumnya juga peneliti sudah sering berkomunikasi dengan Agustinus.

Fakta yang menarik dari Agustinus adalah ketika peneliti meminta ID Line nya yang adalah Aping Purba dan bukan Agustinus Goo seperti nama aslinya.


(23)

marga purba, dia mengatakan bahwa di Medan Agustinus sendiri sudah memiliki ibu angkat boru purba. Ibu ini sudah seperti ibu kandung bagi dirinya. Hal ini juga yang membuat Agustinus jadi merasakan lebih dekat dengan budaya Medan terkhusus Batak karena kesadaran dan penerimaan akan budaya lain bahkan sampai menggunakan label identitas budaya lain, tetapi bukan berarti bahwa Agustinus melupakan budayanya.

Agustinus tidak menyangka ketika dia mengambil beasiswa Afirmasi ini dia lulus di USU karena sebelumnya perguruan tinggi pilihannya adalah UGM di Yogyakarta dan UI di Jakarta. Sewaktu dirinya pergi dari Papua ke Yogjakarta Panitia Lokal di Yogjakarta mengatakan padanya bahwa dia lulus di USU. Agustinus tidak pernah sama sekali mendengar USU sebelumnya, panitia lokal di Yogjakarta mengatakan padanya bahwa USU ada di Medan. Agustinus kemudian diantarkan ke pesawat dan mengambil tiket pesawat menuju Medan. Semula dia mengira bahwa Medan terletak di Kalimantan Utara.

“Ehm, ini pertama saya datang ke Medan. Waktu itu saya pilih UGM di Jogja dan UI di Jakarta. Tapi juga ternyata saya juga binggung saya tembus di USU di sini, makanya dari Jogja saya di USU di sini. Awalnya saya tidak tahu apa-apa tentang Medan begitu, saya kira Medan letaknya di Kalimantan Utara, ternyata setelah sampai di sini saya tahu kalau Medan sangat jauh dari Papua sana kak begitu”.

Agustinus yang pertama sekali tiba di kota Medan disambut dan dijemput oleh Ellius Pasi. Ellius adalah ketua IMP Sumut (Ikatan Mahasiswa Papua Sumatera Utara). Sebelumnya Agustinus tidak tahu sama sekali bahwa di kota Medan ini dia akan bertemu dengan mahasiswa asal Papua lainnya. Agustinus baru tahu akan hal itu ketika dia dalam perjalanan menuju Medan dan mendapatkan SMS dari seseorang yang mengaku abangnya di Kota Medan yang bersedia untuk menjemputnya di bandara Kuala Namu. Ternyata Ellius yang saat itu bertindak sebagai ketua IMP Sumut menghubungi panitia lokal yang di Yogyakarta bertanya waktu kedatangan dari mahasiswa Papua yang akan tiba di Medan. Setelah mengetahui kontak salah satu mahasiswa Papua yang akan datang maka Ellius langsung menghubungi Agustinus untuk bertanya kapan waktu tiba di Medan dan akan dijemput oleh Ellius.


(24)

“Pertama sekali saya tidak tahu bahwa ternyata di Medan di sini saya punya abang begitu. Saya pikir saya akan sendiri di kota ini. Ternyata waktu saya mau naik pesawat ada SMS yang tanya-tanya “adik kapan sampai di Medan dari abangmu Ellius”. Saya kira abang Ellius siapa ternyata saya tahu itu abang di Medan dan dia ketua IMP. Saya jadi lega begitu ada kenalan di sini.”

Berada di kota yang jauh dari asalnya tidak membuat dirinya merasa cemas hal ini dikarenakan bahwa Agustinus memiliki kenalan orang Papua jadi dia tidak merasa sendiri. Namun tidak dapat dihindari juga, bahwa Agustinus sempat merasa takut pada awal kedatangannya karena ternyata dari beberapa hal yang tidak disadarinya banyak hal yang berbeda dari Papua dan Medan. Hal tersebut tidak berlangsung lama karena seiring berjalannya waktu dia bisa menjadi terbiasa dengan hal yang menjadi perbedaan ini dan dianggap sebagai keunikan tersendiri.

“Saya sewaktu pertama datang ke Medan tidak sama sekali takut atau cemas begitu. Karena saya tahu saya di sini ada orang Papua lain yang ikut merantau bersama-sama dengan saya. Tapi waktu bicara pertama dengan orang Medan sempat takut juga kak. Sewaktu ingin makan dengan teman-teman di sini saya rasa sedikit aneh dengan makanannya terlalu banyak bumbu dan ikan juga tidak segar seperti Papua punya.”

Pandangan Agustinus tentang kota Medan sewaktu tiba di sini adalah sangat berbanding terbalik dengan Papua. Medan memilki banyak gedung-gedung bertingkat, jalan-jalannya semua rata, tidak ada gunung-gunung seperti Papua dan sangat padat. Agustinus sulit untuk menghapal jalan di Kota Medan jika dia tersesat karena semua jalan sama jadi memang harus dibuat petunjuk agar tidak tersesat. Selain itu Agustinus juga kagum akan pendidikan di Kota Medan dibandingkan Papua.

“Sebenarnya sama saja dengan Papua cuma di sini seperti rata terus itu bedanya di sanakan ada gunung-gunung naik turun jadi tidak rata kalo di sini arahnya tidak jelas tidak ada yang bisa ingat seperti begitu. Biasanya yang diingat itu toko-toko itulah yang diingat. Medan di sini sekolah dekat kaka, tidak seperti Papua. Sekolah di sana jauh-jauh malah sampai banyak yang merantau untuk sekolah saja. Teman-teman saya di sini juga pintar-pintar saya kagum lihat mereka”.


(25)

Teman-teman di kampus menyambut Agustinus dengan baik. Mereka tidak sama sekali membedakan etnisnya justru dengan adanya kehadiran Agustinus membuatnya menjadi sorotan bagi teman-temannya. Agustinus adalah orang yang terbuka dan netral dalam bergaul sehingga dia berteman dengan semua etnis tidak hanya etnis Papua. Agustinus mengatakan bahwa di kampus dia memiliki seorang teman dekat dari etnis lain yang berasal dari Nias, temannya ini sudah seperti saudara dan tidak ada segan diantara keduanya. Sambutan baik untuk Agustinus tidak hanya berasal dari teman satu kampusnya tetapi juga dari dosen. Dalam mengajari Agustinus dosennya justru sangat mengistimewakan dia malah jika dirinya tidak mengerti dalam mata kuliah tersebut dosennya bersedia untuk menyederhanakan kalimatnya.

“Mereka sangat senang, mereka biasanya ajak saya ke tempat kosnya, mereka ajak-ajak saya makan, mereka yang bayarin, kadang saya yang bayar, kami biasanya main futsal tidak ada yang membedakan. Kalo di kampus banyak kawan orang Nias, orang Tarutung, orang Samosir, orang Batam banyak semua ditemani. Orang Medan aslinya juga tidak banyak kak. Teman baik saya ada orang Nias dia, kami biasa main-main, kami semacam satu bersaudara, yang lain juga sih cuma dengan yang satu ini tidak perlu segan. Kalo untuk dosen mereka baik, mereka yang tanya saya dosen yang tanya ke saya “Agus mengerti?” kalo saya belum paham apa kata dia. Sampai saat ini tidak masalah kak”.

Salah satu dosen yang mengajar Agustinus yakni, Herdensi Adnin, MSP, adalah informan 12 dalam penelitian ini. Beliau menjabarkan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, beliau tidaak pernah memberikan perbedaan khusus kepada Agustinus sebagai mahasiswanya yang berasal dari Papua. Hal yang paling hanya dilakukan olehnya adalah bertanya kepada Agustinus apakah dia mengerti tentang apa yang diajarkan atau tidak, hanya sebatas itu saja. Kendala bahasa yang digunakan menurut beliau cukup memberikan dampak bagi mahasiswa Papua dalam menerima apa yang disampaikannya, namun menurutnya itu bukanlah suatu alasan bagi setiap mahasiswa Papua untuk jatuh dalam hal indeks prestasi.

Kalau saya pribadi tidak ada kesulitan memang, yah kalau dalam mengajari mereka saya sering memang berkata “Agus mengerti?”


(26)

seperti itu sih yang saya lakukan. Karena menurut saya juga, antara mahasiswa Papua tersebut dengan mahasiswa lainnya itu tidak ada perbedaan, jadi yah perlakuan yang saya berikan itu sama saja tanpa membeda-bedakan. Tidak ada perlakukan khusus yang saya lakukan bagi mereka, karena menurut saya juga mereka bukan individu yang berkebutuhan khusus. Jadi mereka bisa mengikuti perkuliahan dengan baik. Saya kira kendala bahasa memang ada, tetapi menurut saya bagaimanapun mereka harus berjuang. Sumatera Utara sangat majemuk, heterogen semua suku ada, budaya juga banyak yang berbeda termasuk Papua jadi tidak ada bedanya Papua dengan yang lain. Yah, memang mereka harus bekerja keras lebih dalam belajar di sini. Untuk mengerti bahasa atau logat itu kan terkait kebiasaan, pastinya kalau mereka mau belajar lama kelamaan pasti mereka semakin paham dan semakin fasih.

Agustinus juga dalam kegiatan belajar di kampus ternyata banyak menemui kendala dalam memahami mata kuliah yang diajarkan. Cukup banyak waktu yang diperlukan baginya untuk memahami mata kuliah itu dengan kerja kerasnya dia mampu meraih IP 3,14 di semester lalu. Namun, Agustinus sendiri malu dengan IP nya tersebut jika dibandingkan dengan teman-temannya yang meraih IP yang lebih tinggi. Agustinus mengakui bahwa pada saat dosen menerangkan dia mengerti hanya banyak lupa dan tidak sering mengulang mata kuliah tersebut di asrama.

“IP saya semester lalu rendah kaka cuma 3,14 saya malu bilangkannya karena teman saya punya lebih tinggi semua dari saya. Saya mengerti kaka dengan apa kata dosen di kelas tapi saya tidak ulang itu di asrama dan sewaktu ujian saya tidak belajar jadi lupa dan IP saya hanya segitu.”

Rasa berjuang Agustinus untuk memahami apa yang di sampaikan oleh informan 12 dirasakan juga olehnya. Kesulitan untuk memahami mata kuliah yang berdampak pada kurang memuaskannya indeks prestasi yang didapatkan oleh Agustinus. Sejauh ini solusi yang ditawarkan oleh informan 12 sendiri adalah menyarankan Agustinus untuk semakin banyak bertanya kepada teman-temannya atau membuat kelompok belajar sendiri untuk peningkatan prestasi akademisnya.


(27)

“Yah kalau, dari proses perkuliahan sepertinya mereka bisa mengikuti dibandingkan dengan teman-teman yang lain mereka cukup berjuang dalam perkuliahan sendiri. Meskipun tidak dapat dihindari mereka juga pasti punya kesulitan dalam memahami beberapa hal dalam perkuliahan. Tapi sejauh ini mereka cukup banyak bertanya pada teman-teman mereka kalau tidak mengerti.”

Budaya Medan dirasakan oleh Agustinus hampir tidak ada bedanya dengan budaya. Persamaan budaya Papua dengan budaya Medan adalah baik di Medan dan Papua masyarakatnya intonasi bicaranya cenderung keras dan kuat. Ketidaktaatan dalam mematuhi rambu-rambu lalu lintas juga dirasakan oleh Agustinus sama baik di Medan ataupun di Papua. Budaya tidak tepat waktu atau yang dikenal dengan istilah “jam karet” tidak hanya di Papua tetapi juga Medan. Agustinus juga mampu untuk melihat perbedaan antara budaya Papua dengan baik. Secara umum, perbedaan yang tampak antara budaya Papua dan Medan adalah budaya Papua masyarakatnya lebih dominan bercanda dan saling melempar lawakan dalam setiap pembicaraan mereka. Ini berbeda dengan Medan yang cenderung lebih serius dan berfokus kepada inti pembicaraan. Secara emosi, masyarakat Medan lebih bisa mengontrol emosinya dibandingkan dengan masyarakat Papua yang cenderung lebih meledak-ledak.

“Orangnya di sini sama kuat dengan orang Papua cara

ngomongnya kak, lalu selanjutnya orang-orang Medan juga tidak terlalu patuh sama peraturanlah, seperti contohnya rambu-rambu lalu linta banyak mereka langgar, terus kalo salah itu membentak padahal mereka yang sudah langgar itu lampu merah. Kalo bedanya kak, orang Papua kami di sini kalo bicara toh lebih suka bercanda sedangkan orang Medan lebih serius mereka. Terus kalo emosi orang Medan lebih bisa control apa emosi mereka tidak seperti kami”.

Ada hal yang menarik sewaktu peneliti melakukan kegiatan pengamatan bersama-sama dengan para mahasiswa asal Papua. Penulis ikut dibonceng dan dikenalkan oleh Agustinus dengan para mahasiswa Papua di asrama putri. Selama


(28)

perjalanan ada orang yang seperti terlihat mengejek dan menganggu Agustinus. Namun Agustinus menanggapinya dengan tertawa sambil melambaikan tangan seperti sedang menyapa. Menurutnya hal itu biasa di Papua dan dikenal sebagai suatu sapaan atau ajakan untuk memulai pembicaraan.

“Kalau orang-orang duluan sapa saya itu artinya mereka ingin bicara sama saya kaka dan di Papua itu biasa. Mereka ajak saya bicara dengan itu bukan maksudnya apa-apa. Saya senang kalo mereka seperti itu kaka tidak apa.”

Tinggal jauh dari orang tua di Medan bukan berarti membuat Agustinus bebas dari penafsiran beberapa kata yang berbeda dengan masyarakat Papua. Mahasiswa asal Papua umumnya dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia baku. Ini berbeda dengan komunikasi mahasiswa di kampusnya yang cenderung lebih dominan menggunakan bahasa Medan. Pengalaman lucu pernah dirasakan oleh Agustinus saat temannya menyuruhnya untuk membeli peralatan tulis di “Pajak USU”, Agustinus mengira bahwa USU mengenakan pajak kepada mahasiswanya ternyata setelah itu baru diketahuinya bahwa pajak itu artinya pasar. Beberapa kata-kata lain juga seperti kereta yang ternyata sepeda motor, motor yang menurut orang Medan mobil dll. Meskipun begitu sampai saat ini dia terus belajar tentang bahasa seperti itu untuk memudahkan keefektifan komunikasinya.

“Biasanya kalo mereka bilangnya seperti ini singkat-singkat, singkat-singkat ini yang saya tidak mengerti dan tidak jelas seperti “kalo”,“gak”,”kelen” itu kata saya tidak paham benar awalnya. Terus pernah saya disuruh beli pena di pajak USU kak, saya kira USU kenakan pajak sama mahasiswanya ternyata pajak itu maksudnya pasar. Kereta yang mereka bilang itu sepeda motor, motor yang ternyata mobil. Tapi dari semua itu sampai sekarang saya juga masih belajar bahasa Medan”.

Tidak hanya belajar tentang bahasa Medan yang dilakukan oleh Agustinus. Sampai saat ini dia sendiripun masih terus belajar untuk beradaptasi dan membiasakan dirinya denga logat Medan yang cenderung kasar dan seperti ingin marah. Sejauh ini Agustinus berupaya untuk terus belajar dari teman-teman


(29)

sekitarnya sehingga dia tidak terlalu terkejut ke depannya jika ada orang Medan yang berbicara dengan nada yang tinggi.

“Mau tidak mau saya harus bisa biasa dengan logat Medan yang tinggi dan kasar kaka. Papua juga seperti itu keras tapi kami tidak kasar dan kami punya suara tidak tinggi. Tidak seperti ingin ajak orang bertengkar. Tapi Medan punya logat dengan kami beda. Saya sudah di sini jadi saya harus banyak belajar toh dengan keadaan Medan seperti ini. Saya kira itu hanya masalah niat.”

Bagi Agustinus kenyaman tinggal di Medan sudah hampir sama dengan tinggal di Papua malah Medan lebih nyaman karena lebih aman sebab di Papua setiap harinya pasti selalu ada orang yang meninggal baik karena kesehatan, dibunuh, konflik politik dll. Namun untuk semakin meningkatkan interaksinya dengan mahasiswa lainnya di USU dia ikut organisasi KMK Katholik dan KMK Protestan dan terlibat dalam kegiatan kepanitiaan di kampus. Apabila ada hal-hal yang tidak dimengertinya mengenai budaya Medan atau ketika binggung ingin menyampaikan apa Agustinus tidak segan untuk bertanya langsung kepada temannya dan bertanya kepada kakak dan abang senior Papua di USU.

“Kalo sekarang saya nyaman tinggal di Medan kak, di sini kakak dan abang kami yang Papua sering bantu kami kalo kami tidak mengerti ini dan itu. Saya juga aktif terlibat dalam kegiatan di kampus dan ikut organisasi seperti KMK Katholik dan KMK Protestan terus untuk buat saya semakin paham Medan saya berteman denga semua orang di sini”.

Kenyamanan tinggal di kota Medan tidak langsung membuat Agustinus melupakan Papua. Dia sering teringat akan keluarganya di sana dan juga rindu untuk mengunjungi mereka di Papua. Namun, jarak yang terlalu jauh antara Medan dan Papua ditambah dengan banyaknya kegiatan di kota Medan membuatnya mengurungkan niat itu sementara waktu. Agustinus lebih memilih untuk sesering mungkin menelpon mereka di Papua. Bagi Agustinus, jika ada waktu dia akan pulang ke Papua secepatnya. Tetapi tidak meninggalkan studinya di sini hanya karena ingin mengunjungi keluarganya di sana. Keinginanannya menyelesaikan kuliah dan kembali membangun Papua membuat semangatnya tinggi untuk terus belajar.


(30)

“Saya sering rindu sama keluarga di kampung kak. Tapi bagaimana, jarak Medan Papua sangat jauh. Ke sana saja pulang sudah banyak biaya, jadi tidak boleh sering-sering pulang juga. Kalau saya rindu keluarga saya telpon mereka di sana dan saya cerita kabar saya di sini. Saya juga mau pulang ke Papua untuk kunjungi orang tua tapi tidak sekarang kaka mungkin nanti tapi pasti saya akan kembali dan selesaikan kuliah saya di Medan. Saya tidak mau sia-sia kuliah jauh-jauh dan saya mau bangun Papua di sana kalau saya lulus nanti.”

2. Informan 2

Nama : Miel Wantik

Fakultas/ Jurusan / Angkatan : ISIP/Ilmu Politik/2014

Tanggal Wawancara : 30 Mei 2016

Waktu Wawancara : Pkl. 14.35 s/d selesai

Tempat Wawancara : Asrama Putera USU

Miel Wantik akrab disapa dengan nama Miel adalah informan kedua dalam penelitian ini. Miel adalah mahasiswa asal Papua pertama di departemen Ilmu Politik sekaligus mahasiswa Papua pertama di FISIP stambuk 2014. Informan kedua dalam penelitian ini adalah sosok yang bercita-cita untuk menjadi pengamat politik di Papua setelah lulus dari departemen Ilmu Politik USU.

Sebelum memulai wawancara peneliti terlebih dahulu berkenalan dan menyampaikan tujuan peneliti ingin mewawancarai Miel. Miel lelaki yang cukup bisa diajak bekerja sama selama penelitian ini. Dia banyak menceritakan dan menggambarkan tentang dirinya sejak pertama sekali menginjakkan kaki di kampus Fisip apalagi dia juga merupakan mahasiswa asal Papua pertama di Fisip. Motivasi yang besar untuk belajar politik di Medan dan kembali setelah lulus kuliah adalah tujuan Miel. Secara pribadi dia menginginkan kemajuan Papua dan alasan mengapa dia ingin menjadi pengamat politik di kampung asalnya tersebut tidak lain adalah karena terlalu banyaknya ketidakadilan, pelanggaran hak asasi


(31)

manusia yang diterima oleh masyarakat Papua ditambah dengan semakin banyaknya korupsi di Papua.

Sejak awal mengikuti program Afirmasi beasiswa yang khusus ditujukan untuk putra-putri asli daerah Papua dan Papua Barat, Miel memang sudah memilih Ilmu Politik dengan perguruan tinggi yang menjadi tujuannya adalah USU. Bukan dengan sembarangan Miel memilih USU sebagai tempatnya untuk melanjutkan pendidikan. Sebelumnya Miel sudah banyak melihat orang-orang yang berasal dari Medan di Papua menjadi orang-orang yang hebat dan memiliki jabatan yang tinggi. Bagi Miel ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di Medan.

“Iya ini untuk pertama kali saya datang ke Medan kaka. Sebelumnya memang saya ingin kuliah di jurusan Ilmu Politik di USU juga karena saya mau belajar Politik dan saya pikir di Medan yang terbaik di USU juga karena saya ingin jadi pengamat politik di Papua karena di sana banyak yang melanggar hak asasi di Papua, ada yang tidak merakyat jadi saya ingi bantu mengamankan uang rakyat. Saya pilih Medan karena banyak orang Medan di Papua pintar dan cerdas lalu mereka juga hebat. Saya mau menjadi seperti itu kak”.

Pertama sekali datang ke Kota Medan Miel sangat cemas dan takut. Secara pribadi dia tidak mengerti harus memulai percakapan dari mana. Ketakutan dan kecemasan memulai percakapan dialami oleh Miel karena dia takut jika lawannya berbicara tidak benar-benar paham maksud dari pesan yang ingin dia sampaikan. Pada tahun pertama dirinya sebagai mahasiswa yang merantau informan kedua ini merasa binggung apa yang akan disampaikannya kepada teman-temannya yang mengajaknya berbicara di kampus sehingga tidak terjadi penafsiran makna yang berbeda dari temannya. Miel juga merasa kurang percaya diri dan minder terhadap teman-temannya di awal karena Miel merasa teman-temannya hebat-hebat dan pintar. Namun semakin lama Miel semakin terbiasa dengan setiap pembicaraan dengan teman-temannya.

“Awalnya sewaktu saya semester satu saya binggung mau ngomong apa karena logatnya beda gitu jadi saya bilang gitu takutnya salah artinya sama mereka gitu. Jadi saya tidak banyak bicara sampai mereka ajak saya bicara dahulu jadi di situ saya


(32)

bicara. Cuma sewaktu di awalnya saya pelan-pelan supaya mereka mengerti apa kata-kata saya. Mereka setiap bicara awalnya saya banyak tidak mengerti itu kata-katanya. Tetapi lama kelamaan saya sudah terbiasa. Teman-teman di sini pintar-pintar dan hebat-hebat jadi saya sering minder sama mereka”.

Perasaan Miel pertama sekali datang ke kota Medan, dia sangat takjub untuk situasi dan kondisi kota Medan. Medan sangat berbeda jauh dengan kota asalnya Ilugwa. Dilihat dari perkembangannya Medan jauh lebih modern daripada Kabupaten Ilugwa. Medan juga adalah kota Metropolitan sedangkan di Papua Miel tinggal di kabupaten. Suasana Medan jauh lebih ramai daripada kota asalnya. Hal lain yang diketahui oleh Miel mengenai kota Medan adalah masyarakatnya yang pintar dan hebat.

“Medan beda sekali dengan Papua kaka, kalo Medan di sini lebih maju lebih modern. Lagipula Medan sini sudah kota Metropolitan. Pernah saya lihat peta, Medan jaraknya sangat jauh dari Papua sudah ujung ke ujung. Orang Medan hebat-hebat, pintar-pintar lalu setiap mereka ngomong gitu selalu ada ilmunya”.

Merantau jauh ke daerah Medan membuat Miel diawalnya banyak mendengar tentang hal-hal yang tidak menyenangkan tentang kota Medan di Papua sendiri. Jadi sebelum sampai di Medan Miel sudah punya gambaran tentang kota Medan meskipun gambaran tersebut sangat sempit hanya sebatas Miel tahu bahwa orang Medan keras dan kasar.

“Sewaktu di Papua di sana saya dengar Medan kotanya keras, orang-orangnya kasar dan keras-keras bicara juga kuat-kuat seperti itu”.

Sambutan dari teman-temannya sangat antusias menerima Miel. Namun, Miel juga mengatakan bahwa pada awal kedatangan dirinya di kampus Fisip ada beberapa temannya yang takut padanya. Penyebabnya adalah karena penampilannya yang seperti seorang penjahat. Ciri-ciri fisiknya yang menyeramkan dan gaya berpakaiannya yang sedikit tidak rapi di awal. Kondisi ini tidak berlangsung lama karena sekarang juga teman-temannya sudah akrab


(33)

dengannya. Tetapi bagi mereka yang belum mengenal Miel maka ada ketakutan melihat sosok Miel.

“Awalnya pertama datang lihatnya takut sama saya tapi terus sudah dari berikutnya sudah beda jadi lama-lama sudah kenal jadi lebih sudah dikenal perilakunya jadi akrab. Tapi kalo orang yang belum kenal lihat saja sudah takut. Waktu saya Tanya sama mereka kenapa karena mereka kira saya jahat. Karena fisik saya menyeramkan seperti itu. Itu memang diawal dan ternyata mereka katakana sama saya sekarang bahwa saya adalah orang baik tidak seperti apa yang mereka pikirkan di awal.”

Pada awal kedatangan Miel ada beberapa temannya yang memiliki penilaian negatif tentang Miel. Salah satu diantaranya adalah Fajar. Fajar sendiri adalah informan ke 11 dalam penelitian ini. Pandangan Fajar pertama sekali tentang Miel tidak baik, hal ini menurutnya karena penampilan fisik dan cara berpakaian Miel yang berantakan. Tetapi seiring berjalannya waktu pandangan itu berubah. Sekarang Fajar merasa salut dengan Miel karena perjuangannya yang jauh hanya untuk menuntut ilmu.

Awalnya memang seram sih dia kak, karena pas datang pertama kali kan beda kak, rambut dia itu berantakan terus pakaiannya juga. Fisiknya juga bedakan kak dari kita? Lagian selama di Fisip memang baru dia orang Papua pertama kan kak?wajarlah ku rasakan karena aku juga gak pernah lihat seperti itu sebelumnya kak. Tapi setelah kenal lama sama dia jadi beda kak. Salut sama dia dan perjuangannya jauh-jauh ke Medan untuk menuntut ilmu.

Miel mengatakan bahwa dalam berinteraksi dengan teman-temannya di kampus dia tidak membatasi hanya berteman dengan sesama etnisnya. Berhubung hanya dia yang berasal dari Papua yang ada di departemennya justru teman-temannya ingin dekat kepadanya. Namun menurut Miel, setiap pembiacaraan antara dirinya dengan teman-temannya di kampus selalu yang lebih dahulu mengajak untuk berbicara adalah teman-temannya. Miel sendiri sangat sedikit inisiatif untuk terlebih dahulu bertanya kepada teman-temannya. Teman-teman di kampusnya banyak bertanya tentang Papua juga sering mengajaknya jalan-jalan dan makan tanpa mempermasalahkan dia berasal dari etnis apa. Sikap dosen kepadanya juga tidak ada yeng membedakan dirinya dengan teman-temannya di kampus. Dosen-dosennya lebih sering memperhatikan Miel secara khusus dan


(34)

terkadang mengajak Miel makan lalu bercerita tentang Papua. Ketika berada di dalam kelas, sering sekali Miel tidak mengerti tentang apa yang sudah dijelaskan oleh dosennya tersebut. Jika hal itu terjadi maka dia akan bertanya kepada teman-temannya yang lain atau jika memungkinkan akan bertanya langsung ke dosennya dan bila jawabannya belum juga memuaskan maka dia akan mencoba mencarinya di internet.

“Teman-teman lain saya lebih perhatikan saya gitu, mereka sering ajak-ajak saya,sering tanya-tanya tentang Papua.memang mereka dahulu yang ajak saya bicara kak, kalo saya akan bicara kalo mereka yang duluan ajak saya bicara kak. Mereka juga semua tidak bahas tentang kita orang Papua. Dosen saya lebih memperhatikan saya gitu, mereka sering ajak-ajak saya,sering tanya-tanya tentang Papua. Terus kalo di kelas saya kadang kurang paham apa kata dosen karena bahasanya tinggi-tinggi dan kadang pakai istilah asing. Kalau begitu saya sering tanya ke kawan-kawan atau cari lewat internet. Saya memang tidak tanya langsung ke dosen. Teman sering bantu saya waktu saya tidak mengerti tentang ini dan itu jadi saya juga tertolong.”

Inisiatif untuk memulai komunikasi yeng rendah dari Miel juga dirasakan oleh informan 11. Setiap kejadian atau pembicaraan di kampus bukan terlebih dahulu Miel yang memulai tetapi teman-teman kampusnya. Miel hanya menanggapi jika diberikan pertanyaan atau jika temannya yang terlebih dahulu memulai pembicaraan.

Kalo yang itu, memang kita duluan yang nanya-nanya sama dia kak atau gak kita duluan yang mulai ajak dia bicara kak. Dia gak akan mau nyakapi kita duluan, apalagi datangi kita duluan kak. Tapi sampai sekarang aku masih nyambung kok kak kalo tanya-tanya dan ngomong sama dia. Dia juga masih baik-baik aja responnya sampai sekarang kak.

Dalam perkuliahannya di Departemen Ilmu Politik dia mengaku tidak mudah belajar di sana. Ada beberapa kesulitan yang harus dihadapinya ketika banyak hal yang tidak diketahui olehnya dan dibahas di dalam mata kuliah. Selain


(35)

itu indeks prestasinya juga tidak cukup memuaskan. Sewaktu peneliti bertanya berapa indeks prestasinya Miel mengakuinya dengan malu-malu sebab indeks prestasinya rata-rata tidak >2.

“IPK saya kaka rendah yaa segitulah kaka. Susah belajarnya di sini kaka, banyak sekali yang tidak saya tahu. Saya juga kalau di kampus banyak mengulang kaka. Sulitnya yaa itu, saya sering tidak paham tentang mata kuliah. Kalau saya kurang saya biasa tanya kawan begitu yang dia mengerti dan saya dengar.”

Informan 11 juga mengatakan bahwa memang dalam hal studi di departemen Ilmu Politik sepertinya Miel mengalami kesulitan. Hal ini terlihat dari banyak mata kuliahnya yang diulang kembali oleh Miel ditambah dengan seringnya Miel tidak mengikuti perkuliahan di kampus. Fajar mengatakan bahwa ini terjadi mungkin karena kendala bahasa yang sangat sulit dipahami oleh Miel ditambah belum terbiasanya dirinya dengan cara belajar di kampus.

Miel itu jarang masuk kak. Terus semakin ke atas, aku jarang ketemu sama dia di kelas kak, dia juga banyak ngulang di beberapa mata kuliah kak, jadi banyak mata kuliah kami yang gak sama. Dia masuk kalo gak salah senin-rabu aja kak, yah kami jarang ketenu di kelas kak, paling di asrama lah kak. Kalo kesulitannya gak tahu ya kak, mungkin dia belum terbiasa sama cara belajar di Medan yaa kak, secara kan kak kurikulum kita juga berat kak. Kendala bahasa juga jadi masalah kali kak.

Tingkat kurikulum yang berbeda antara Papua dan Medan memang menjadi kendala bagi dirinya untuk bisa secara total menyesuaikan diri dengan kurikulum di Medan yang lebih tinggi dibandingkan Papua. Kendala ini benar memang dirasakan oleh Miel namun sejauh ini dia belum ingin menyerah dan berusaha untuk tetap terus belajar.

“Walaupun susah kaka saya tidak mau kembali ke Papua dengan tangan kosong saya harus bisa belajar di sini lalu kembali ke sana jadi orang berhasil. Jadi sekarang saya harus tetap belajar di sini dan bertahan.”


(36)

Miel menganggap bahwa Medan sekarang adalah rumah kedua baginya setelah kota asalnya. Sebelum berangkat ke Medan Miel sempat mendengar bahwa orang-orang Medan terkenal kasar-kasar. Namun kesalahpahaman itu tidak berlangsung lama karena lama kelamaan Miel semakin terbiasa dengan Medan. Miel beranggapan bahwa justru orang Medan memiliki kesamaan dengan orang Papua yakni sama-sama keras tetapi hatinya baik.

“Dari segi watak saya pikir kita orangnya sama, pergaulannya langsung bisa menyatu, masalah kasar-kasar antara orang Papua dan orang Medan lebih kasar orang Medan tapi hatinya baik , lembut gitu.”

Interaksi Miel dengan teman satu kampus dan teman asramanya pada awalnya tidak berlangsung mulus. Pernah Miel bertengkar dengan salah seorang temannya sewaktu bermain futsall karena sakit hati sebab kata-kata yang dikeluarkan olehnya tersebut terlalu kasar bagi orang Papua. Budaya Papua mengajarkan bahwa apabila ada hal yang tidak baik terjadi antara dua orang yang saling bertikai hendaknya diselesaikan dengan cara kekeluargaan bukan dengan kekerasan. Namun, ketika teman Miel yang mengejeknya itu mengepalkan tangan Miel mengira temannya itu bersiap untuk memukulnya dan hampir terjadi perkelahian apabila tidak dilerai oleh teman-temannya yang lain. Walaupun kesalahpahaman itu sudah berlalu Miel banyak menjadikan itu pelajaran sehingga dirinya semakin lebih banyak belajar budaya Medan. Ada lagi kejadian lain yang dialaminya sewaktu dia ingin membeli nasi, pemilik warungnya seperti sedang membentaknya padahal dia hanya ingin membeli nasi.

“Pernah saya sedikit salah paham dengan kawan, dia cakap sangat kasar dan hati saya sakit begitu. Padahal di Medan ternyata biasa begitu. Saya tegur dia lalu dia kepalkan tangan, saya kira dia ingin ajak saya berkelahi untungnya kawan lain memisahkan kami. Lalu ketika saya mau beli nasi, penjualnya seperti bentak saya padahal saya tidak punya salah hanya mau beli nasi.


(37)

Cara yang efektif untuk mengatasi komunikasi antarbudaya antara budaya Papua dan budaya temannya yang lain adalah dengan sering bergaul dengan kawan di kampus ataupun bertanya kepada kakak dan abang Papua yang sudah terlebih dahulu tinggal di Medan tentang hal yang dia tidak tahu. Menurut Miel kakak dan abang senior Papua sangat mengayomi mereka. Hubungan dengan semua mahasiswa Papua juga sangat baik meskipun asrama puteri dan putera jauh namun mereka tetap selalu kompak.

“Cara saya supaya belajar budaya Medan lebih cepat dengan lebih banyak berteman dan ikut sama mereka (kakak dan abang senior Papua) aja dari sana saya jadi lebih tahu banyak ini itu gitu. Kami orang Papua di sini semua kompak kaka, semua saling tolong dan bantu kalau ada kesusahan. Kami sering kumpul-kumpul dan cerita-cerita di sini.”

Miel banyak mengikuti organisasi ataupun kepanitiaan di kampus. Hal ini dilakukannya agar dia tidak terlihat pasif di kampus dan banyak menarik diri tetapi memiliki pergaulan dengan yang lain. Organisasi yang diikuti oleh Miel tersebut banyak memberikan manfaat baginya sehingga dia lebih banyak mendapatkan pelajaran bagaimana menjadi seorang pemimpin dan memberinya banyak pengalaman berharga serta membuatnya bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dari dirinya.

Saya juga ikut banyak organisasi seperti HMI, GMNI dan dari beberapa kegiatan juga saya sering diundang jadi ikut berpartisipasi. Dari organisasi saya belajar jadi pemimpin terus yang ke dua saya dapat bantuan apa yang gak saya ngerti di kampus saya dapat dan saya dapat ilmu juga dari sana gitu.”

Keterlibatan Miel dalam organisasi dan kepanitian di kampus juga dikuatkan dengan pernyataan informan 11. Fajar mengungkapkan bahwa keterlibatan Miel dalam organisasi ataupun kepanitiaan itu mungkin juga salah satu usaha Miel untuk meningkatkan kemampuan dan semakin mengenal budaya Medan. Diskusi juga semakin bisa melatih kemampuannya berbicara dengan baik di kota Medan sekaligus sebagai sarana untuk mencari pengalaman. Meskipun


(38)

Fajar sendiri juga tidak tahu organisasi apa yang diikuti oleh Miel. Untuk hal ini Fajar mendukung Miel asalkan Miel juga tidak sering menggunakan organisasi sebagai alasannya untuk tidak masuk kuliah.

Kalo untuk organisasi yang diikutinya aku juga kurang tahu kak, cuma kemarin aku sering lihat dia ikut terlibat dalam kepanitiaan gitu kak, ada juga ku lihat dia diskusi banyak sama teman-teman yang anak organisasi cukup aktif juga lah kak. Tapi bagus juga sih menurutku dia ikut itu kak, sebagai sarana dia belajar bahasa Medan dan juga cari pengalaman dan tambah kawan kak. Asalkan gak dijadikan dia aja organisasi itu alasan dia untuk gak kuliah kak. Yah kalo aku paling sering ingatkan dia tentang tujuannya datang ke Medan ini kak, untuk sekolah, palingan itu yang ku bilangkan kak sama dia.

Miel mengakui bahwa dia sering sekali rindu dengan keluarganya di Papua. Selain berhubungan melalui sambungan telpon dengan kedua orang tuanya Miel berkata bahwa setiap ada kesempatan dia selalu pulang ke Papua. Berbeda dengan teman-temannya di asrama lainnya yang berasal dari Papua. Miel termasuk orang yang paling sering pulang. Dia selalu rindu dengan kampung halaman dan keluarganya di sana.

“Saya sering pulang ke Papua kaka. Walaupun jauh saya setiap liburan saya ke sana. Rindu selalu sama Papua, jadi saya selalu pulang. Kalau telponan sama keluarga sering dan juga sering rindu dengan mereka.”

3. Informan 3

Nama : Piter Nelambo

Fakultas/ Jurusan/ Angkatan : FEB/ Manajemen/ 2015


(39)

Tempat Wawancara : Asrama Putera USU

Informan ketiga dalam penelitian ini adalah Piter Melambo. Piter direkomendasikan oleh Miel karena pada saat yang sama ketika peneliti mewawancari Miel kebetulan juga Piter ada di lokasi yang sama. Hari dimana peneliti mewawancari Miel, Piter di saat tersebut bersiap-siap pergi dengan temannya jadi terlebih dahulu peneliti membuat janji wawancara dengan Piter. Waktu yang disepakati oleh peneliti dan Piter adalah keeseokkan harinya pada pukul 14.00 di Asrama Putera. Sebelum peneliti mewawancari Piter, peneliti memperkenalkan diri sekali lagi kepadanya karena sebelumnya juga peneliti dan Piter sudah berkenalan sekaligus peneliti juga menyampaikan tujuan penelitian ini.

Pribadi Piter cukup tertutup dan pemalu. Saat mewawancari Piter peneliti banyak melihat bahwa dirinya terlalu banyak menunduk dan dalam menjawab pertanyaan peneliti dia terlebih dahulu membutuhkan waktu untuk berpikir dan terkesan singkat-singkat. Piter adalah anak ke-3 dari 8 bersaudara. Memiliki banyak saudara membuatnya hidup sebagai orang mandiri sejak awal. Hal ini terlihat ketika Piter mengatakan kepada penulis bahwa sepanjang SD- SMA Piter bisa bersekolah karena menanam ubi di kampung, dari hasil itulah biaya sekolahnya dapat dipenuhi. Dari ketujuh saudara Piter hanya Piter sendiri yang menempuh pendidikan sisanya tidak sekolah dan tinggal bersama orang tuanya di kampung bahkan abangnya sudah merantau semenjak kecil untuk bekerja. Semenjak SD Piter tidak tinggal dengan orang tuanya. Dia tinggal bersama dengan orang tua angkatnya di Kabupaten. Semenjak SD Piter sudah membiayai hidup dan sekolahnya sendiri dengan menanam ubi di ladang. Hal ini terjadi karena ia ingin bersekolah dan sekolah yang terdekat dengan kampungnya ada di Kabupaten sedangkan jarak antara kampungnya dengan kabupaten tidak dapat ditempuh dengan kendaraan melainkan hanya dengan berjalan kaki selama 3 hari melewati hutan-hutan dan gunung. Bagi diri Piter, pendidikan adalah sesuatu yang mewah. Sejak kecil dia sangat ingin sekolah keguruan ataupun ekonomi agar dapat kembali ke Papua dan melakukan sesuatu bagi Papua.


(40)

Piter mengaku bahwa ini pertama kalinya ia datang ke Medan. Program Afirmasi yang diikutinya membuatnya harus belajar keras agar bisa lolos dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah. Piter harus melewati dua kali seleksi yang diikuti olehnya. Kuota penerima beasiswa ini sangat sedikit di sekolahnya saja hanya 7 orang yang lulus. Alasan terbesar mengapa dia memilih USU dan kota Medan sebagai tujuan studinya adalah karena ibu angkatnya menyarankannya untuk melanjutkan studi di Medan dan gambaran orang Medan yang sukses dan hebat di Papua.

“Pertama kali kak. Aku pilih di USU karena aku tinggal dengan ibu angkat juga di sana jadi dia bilang kalo anak harus kuliah di Medan terus pas selesai SMA aku di tes lagi terus aku lulus di sini. Tidak ingin universitas yang lain karena memang maunya sekolah ekonomi atau tidak keguruan. Saya juga tidak pernah berpikir gitu untuk lanjut ke kampus lain karena saya sejak pertama sudah disarankan untuk pilih USU begitu sama ibu.”

Kedatangannya ke Medan tanpa adanya pengetahuan tentang kota Medan sebelumnya membuatnya terkejut. Keadaan dan kondisi di Papua dan Medan sangat berbeda jauh. Medan banyak sekali kendaraan sedangkan Papua kendaraan masih jarang-jarang, jalanan di Medan juga terlihat rata karena di aspal sedangkan di Papua masih banyak yang berbatu-batu. Selain itu beberapa hal yang tampak berbeda adalah penggunaan alat teknologi di Medan yang cenderung lebih modern dibanding Papua dan jenis pakaian yang digunakan oleh masyarakat Medan sendiri yang lebih mengikuti perkembangan zaman yang berbeda dengan Papua yang kadang masih banyak menggunakan baju tradisional untuk masyarakat yang tinggal di desa.

“Awal ke Medan terkejut memang begitu kak, memang di sana tinggal di Kota juga di Jayapura tidak di kampung cuma beda karena kendaraannya padat kan terus jalan-jalannya rata. Beda dengan di sana banyak sekali gunung dan jalannya juga masih banyak berbatu. Terus kalau di sini handphonenya canggih-canggih kak beda sama Papua sana. Medan juga pakaian modern semua beda sama Papua yang di sana banyak masih pakai, pakaian tradisional.”


(41)

Lingkungan kampus tempat dirinya menuntut ilmu pun membuat dirinya di awal merasa cemas dan khawatir pada lingkungan sekitar. Perbedaan itu dimulai dari logat berbicara bahkan beberapa bahasa Indonesia yang digunakannya. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama sekitar tiga bulan di awal dan langsung teratasi ketika dia memiliki kawan-kawan.

“Pertama-tama takut karena siapa tidak takut kalo harus hadapan gitu sama orang baru beda lagi, tapi lama-lama biasa kak, karena ada kawan-kawan lain juga. Logat kami dan orang sini beda kak, sehingga kadang saya ditertawakan lalu ada beberapa bahasa yang bukan bahasa baku Indonesia yang digunakan seperti “cemana” itu “bagaimana”, “gak” itu “enggak”.”

Sambutan teman-temannya akan kehadirannya juga biasa saja tidak ada yang istimewa. Secara pribadi Piter tidak membatasi bergaul dengan teman-teman di kampusnya dan tidak ada perbedaan dalam bergaul. Respon berbeda dia terima dari teman-temannya di kampus. Interaksi di kampus biasanya dengan teman kampus, menurut Piter sangat kurang karena teman-temannya juga tidak sering melibatkan dirinya. Teman-teman-temannya tersebut tidak mengajaknya makan ataupun sekedar gabung dengannya. Namun, sejauh ini masih nyaman ketika berkomunikasi. Teman-temannya juga ada yang sering bantu dia jika ada tugas kuliah yang tidak dia mengerti. Namun jika sampai pada tahap hubungan akrab dia tidak memiliki teman akrab yang berbeda etnis diangkatan dan jurusannya, kecuali seorang senior yang bernam Rizky. Pernah ada pengalaman yang dirasakan oleh Piter saat dia memulai berkomunikasi dengan teman-temannya namun justru teman-temannya tertawa saat dia berbicara dan itu membuatnya memutuskan untuk lebih baik diam.

“Nyaman kak, kami bicara lawa-lawak, terus mereka ingatkan jangan sering malas-malas masuk kuliah. Tapi mereka yang sering batasi kami tidak ajak jalan begitu, tidak ikut gabung-gabung. Kalo aku ngomongnya tidak pas gitu kak mereka ada yang ketawa mungkin karena beda ya kak. Baik tidak juga kak karena aku juga jarang gabung-gabung sama kawan kak. Mereka sombong-sombong. Aku biasanya langsung pulang sama kawan-kawan


(42)

Papua. Pernah gini kak, aku tanya apa mereka cuma diam saja jadi aku jadi diam saja. Kalau satu angkatan tidak ada kak, tapi kalo abang-abang ada bang Rizky namanya.

Dosennya juga tidak membedakan dirinya dengan mahasiswa lainnya. Menurut Piter perlakuan dosennya sampai saat ini masih sama saja tidak ada diskriminasi dari dosen yang diterimanya. Tidak juga mendapatkan perlakuan yang istimewa. Jika ada mata kuliah yang tidak dimengertinya dia lebih banyak diam.

“Tidak ada kak dosen bedakan sama saja. Kadang juga tidak mengerti kadang diam tapi sejauh ini masi mengerti.”

Piter sendiri sangat sulit untuk mengikuti mata kuliah di kampus. Banyak hal yang tidak dia ketahui dan beum pernah sebelumnya dia pelajari selama sekolah di Papua. Menurutnya pendidikan di Medan cenderung lebih tinggi dibandingkan Papua dan ini membuatnya satu sisi minder dan jadi rendah diri. Dalam pergaulan di kampus bahkan sewaktu dirinya tidak menggunakan handphone seperti yang sekarang lebih menawarkan aplikasi media sosial seperti line dan bbm, dia sangat jarang mendapat informasi jika ada mata kuliah yang tidak masuk atau mata kuliah pengganti.

“Susah kuliah dan mengerti tentang mata kuliahnya di sini kak, beda jauh dengan Papua. Saya juga terus berjuang untuk tetap paham apa yang diajarkan dosen pada saya.”

Pengetahuan tentang budaya Medan dan Papua juga dipahami oleh Piter. Piter menganggap bahwa budaya Papua memiliki kesamaan dengan budaya Medan ini terlihat dari bagaimana cara orang Medan dan Papua mengungkapkan suatu hal denga keras hanya saja letak perbedaanya adalah dari segi intonasi saja menurutnya budaya Medan lebih keras dari budaya Papua.


(1)

5

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

This study titled Intercultural Communication Competence in Papua Originally Students interact with the students and lecturers at the University of North Sumatra. This study aims to determine the process of intercultural communication students from Papua and barriers experienced by students from Papua in intercultural communication interactions with students and professors as well as intercultural communication competence components that appear in the intercultural communication interactions.

The method used in this research is descriptive study that provides detailed information that describes and identifies problems, the phenomenon of social reality. This study uses a qualitative analysis where research results further emphasize the significance rather than generalization. The subjects were students from Papua force 2013.2014 and 2015 are selected with snow ball sampling technique so that the subject continues to grow according to the needs and fulfillment information.

The results showed that students from Papua has been able to manage the competence of intercultural communication quite well, though they have knowledge that lack of culture Medan thereby inhibiting the interaction of intercultural communication but the motivation and skills they may already insurmountable well through interact close to students and lecturers. Students from Papua has been mingling with other students in order to adjust to their new environment and feel comfortable studying at USU.

Keywords:

Intercultural communication, intercultural communication competence, Papua


(2)

DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

CLARA ANASTASYA MAGDALENA RAJAGUKGUK 120904102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN 2016


(3)

2

Universitas Sumatera Utara

KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA ASAL PAPUA DALAM BERINTERAKSI DENGAN MAHASISWA DAN DOSEN

DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Clara Anastasya Magdalena Rajagukguk 120904102

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Clara Anastasya Magdalena Rajagukguk NIM : 120904102

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

MAHASISWA ASAL PAPUA DALAM BERINTERAKSI DENGAN MAHASISWA DAN DOSEN DI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Medan, Juni 2016

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Prof. Lusiana Andriani Lubis, M.A, Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP. 196704051990032002 NIP. 196208281987012001

Dekan FISIP USU


(5)

2

Universitas Sumatera Utara

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Skripsi ini adalah karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirunjuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses

sesuai hukum yang berlaku.

Nama : Clara Anastasya Magdalena Rajagukguk

NIM : 120904102

Tanda tangan :

Tanggal : Juni 2016


(6)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai citivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Clara Anastasya Magdalena Rajagukguk NIM : 120904102

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua dalam Berinteraksi dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelolah dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikantugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Medan Pada Tanggal, Juni 2016 Yang Menyatakan


Dokumen yang terkait

Culture Shock Dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Asal Malaysia Di Universitas Sumatera Utara)

9 145 187

Pola Adaptasi Dan Interaksi Mahasiswa Asal Papua Dengan Mahasiswa Daerah Lain (Studi Pada Mahasiswa Asal Papua Di Universitas Sumatera Utara)

22 169 120

Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara Suku Batak Karo (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara yang Melakukan Studi di Universitas Komputer Indonesia dalam Berinteraksi dengan Lingkungan Kampusnya)

0 17 77

Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara Suku Batak Karo (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Sumatera Utara yang Melakukan Studi di Universitas Komputer Indonesia dalam Berinteraksi dengan Lingkungan Kampusnya)

0 5 77

Pola Adaptasi Dan Interaksi Mahasiswa Asal Papua Dengan Mahasiswa Daerah Lain (Studi Pada Mahasiswa Asal Papua Di Universitas Sumatera Utara)

3 17 120

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 5

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 2

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 10

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 14

Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asal Papua Dalam Berinteraksi Dengan Mahasiswa dan Dosen di Universitas Sumatera Utara

0 0 4