BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka - Relasi dan Peran Gramatikal Bahasa Pakpak Dairi : Kajian Tipologi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka

  Kajian mengenai tipologi bahasa umumnya dimaksudkan untuk mengklasifikasikan bahasa berdasarkan perilaku struktural yang ditampilkan oleh suatu bahasa. Maksud kajian tipologi bahasa terutama diarahkan untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Kalangan tipologi bahasa pada dasarnya mengakui pandangan kalangan tata bahasa universal yang mencoba menemukan ciri-ciri (properties) yang sama pada semua bahasa manusia, di samping mereka juga mengakui adanya perbedaan di antara bahasa

  Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap aspek struktural bahasa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan adanya ciri yang paling menonjol yang diharapkan dapat membantu peneliti memprediksi ciri yang lainnya. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini, pada bagian ini dikemukakan beberapa kajian terdahulu yang masih berhubungan dengan penelitian ini karena mempunyai pola, arah dan tujuan yang sesuai.

  Verhaar (1988) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ergatif secara sintaksis, dan juga menyebutkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang secara sintaksis termasuk bahasa bersistem ergatif- terbelah. Di sisi lain bahasa Indonesia dianggap pula sebagai bahasa akusatif. Sebagaimana halnya bahasa Tagalog, bahasa Indonesia sama-sama bermasalah jika dilihat dari analisis akusatif dan ergatif. Dengan demikian ada ahli yang mengatakan bahwa kedua bahasa itu sebagai bahasa yang netral (bukan akusatif, dan bukan pula ergatif). Bahasa Bali pun sesungguhnya layak dimasukkan sebagai bahasa yang netral (lihat Artawa, 1995:45-65; Jufrizal, 2004: 37; 2007). Kajian dan simpulan ini menjadi masukan yang berarti bagi penelusuran BPD dalam mengelompokkannya ke dalan salah satu tipologi tertentu.

  Artawa (1994 dan 1998), dalam disertasinya, dengan pendekatan dan teori tipologi bahasa dan teori sintaksis formal berupa Teori Gramatika Relasional ( dari Perlmutter dan Postal) dan Teori Penguasaan dan Pengikatan (Chomsky), membahas empat pokok masalah , yakni relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik dan tipologi sintaksis bahasa Bali. Dikatakannya bahwa analisis ergatif merupakan cara analisis lain yang cukup beralasan dalam mempelajari morfo-sintaksis bahasa-bahasa Melayu- Polinesia Barat. Sejumlah paparan dan penjelasan tentang relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, analisis tipologis bahasa Bali, serta telaah tata kalimat bahasa ini berdasarkan teori sintaksis formal, telah memperlihatkan deskripsi dan penjelasan aspek sintaksis bahasa Bali. Analisis dan temuan disertasi Artawa ini, khususnya kajian tipologis sintaksis bahasa Bali ini bermanfaat dalam kajian BPD terutama dalam penelusuran relasi dan peran gramatikal BPD , analisis ketransitifan BPD secara tipologis

  Sedeng (2000), mengemukakan bahwa secara tipologis dan dengan teori sintaksis formal, yaitu Tatabahasa Leksikal Fungsional, bahasa Sikka tergolong bahasa isolasi dan dari segi tata urutan kata, bahasa ini tergolong bahasa berpola SVO yang ketat. Secara sintaksis, bahasa ini berada di antara bahasa akusatif dan S-terpilah. Bahasa ini tergolong bahasa akusatif. Informasi dan temuan ini cukup penting karena memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa di Nusantara (kawasan Timur) secara tipologis mempunyai perilaku yang beragam dengan berbagai kekhasannya. Simpulan ini dapat juga dirujuk dan dijadikan bandingan karena pembahasan tipologisnya bermanfaat untuk menetapkan tipologi gramatikal BPD.

  Kosmas (2000) dalam penelitiannya membahas argumen aktor bahasa Manggarai dengan pendekatan tipologis dan teori yang didasarkan pada Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Leksikal Fungsional. Menurutnya, pasif bahasa Manggarai adalah pasif secara sintaksis; tidak dimarkahi secara morfologis. Temuan lain adalah bahwa secara sintaksis bahasa Manggarai adalah bahasa akusatif dengan tata urutan kata VSO, dengan variasi SVO dan VOS.

  Analisis BPD terutama dalam membahas struktur argumen, aspek sintaksis BPD, memanfaatkan simpulan kajian tipologis dari aspek sintaksis bahasa Manggarai ini.

  Suciati (2000), yang meneliti tipologi bahasa Tetun dialek Fehan membahas masalah relasi gramatikal yang mencakup subjek, argumen dan keintian, ketransitifan, penyandian gramatikal, aliansi gramatikal dan diatesis. Penelitian Suciati ini menyimpulkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan termasuk bahasa isolasi , dengan tata urutan dasar SVO, sangat sedikit afiks dan secara gramatikal bahasa ini cenderung bertipe akusatif. Bahasa ini memiliki diatesis agentif dan diatesis objektif.. Temuan Suciati ini menjadi masukan yang berharga karena masih mempunyai relevansi dengan penelitian BPD ini, terutama dalam penelusuran relasi, dan peran gramatikal, serta penganalisisan diatesis BPD.

  Masalah dan topik diatesis dalam bahasa Dawan dikaji oleh Mekarini (2000). Menurutnya ada tiga jenis diatesis dalam bahasa Dawan, yaitu diatesis aktif, diatesis objektif dan diatesis pasif. Temuan tentang diatesis bahasa Dawan ini dapat dimanfaatkan karena menjadi pembanding dan rujuk silang dalam penelaahan diatesis BPD.

  Partami (2001), yang meneliti bahasa Buna (di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur), menyimpulkan bahwa bahasa ini termasuk kelompok bahasa isolatif; sangat jarang ditemukan adanya proses morfologis dalam bahasa ini.

  Bahasa Buna dapat merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder dan pasif yang menempati fungsi gramatikal subjek.

  Bahasa Buna bertipologi akusatif dan memiliki diatesis agentif, serta tata urutan dasar klausa bahasa ini adalah SOV. Walaupun bahasa Buna dan BPD merupakan dua bahasa yang sangat berbeda dari segi struktur morfologisnya, namun penelitian Partami ini dapat dijadikan pembanding dan rujukan silang dalam penelitian BPD. . Jufrizal (2004) yang meneliti bahasa Minangkabau, dengan judul Struktur

  

Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau menyimpulkan bahwa

  tata urutan kata lazim klausa/ kalimat dasar bahasa Minangkabau adalah S-V-O (atau A-V-P ). Di samping sebagai bahasa akusatif (sebagaimana pandangan para ahli sebelumnya), namun berdasarkan penelaahan lanjut tentang perilaku S klausa intrasitif menunjukkan bahwa bahasa Minangkabau termasuk bahasa dengan S- terpilah dan S-alir. Sistem aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menunjukkan adanya kecenderungan mengarah ke tipologi campuran antara bahasa akusatif dan bahasa ergatif. Selanjutnya berdasarkan fungsi-fungsi pragmatis, bahasa Minangkabau termasuk bahasa yang mengutamakan subjek sehingga struktur dasarnya berkonstruksi subjek-predikat. Bahasa ini bekerja dengan pivot S/A; serta mengenal diatesis aktif (sebagai diatesis dasar) dan diatesis pasif (sebagai diatesis turunan) dan diatesis medial. Kajian tentang struktur argumen dan aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menjadi masukan yang penting dalam penelitian BPD ini.

  Kajian kepustakaan yang menampilkan BPD dalam hubungannya dengan kajian tipologi sampai saat ini belum ada, namun penelitian ini sangat memanfaatkan kajian dan penelitian Basaria (2002) yang membahas morfologi verba bahasa BPD. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ciri-ciri verba BPD dapat diamati melalui (a) perilaku semantis, (b) perilaku sintaksis dan (c) perilaku morfologisnya. Dari perilaku semantisnya, verba adalah yang menggambarkan konsep, proses, perbuatan, keadaan dan peristiwa; Dari perilaku sintaksisnya verba selain bertugas sebagai predikat, juga selalu dapat berkombinasi dengan kata-kata enggo ’sudah’, naeng ’akan’ kesah ’setelah’, oda ’tidak’, gati ’sering’. Dari perilaku morfologinya verba BPD dapat diidentifikasi melalui afiks: mer-,

  

me-, pe-, ki-, -i-, -um-, -ken, -i, ke-en, mersi-en, mer-en , yang melekat pada kata

  dasar untuk membentuk verba. Berdasarkan bentuknya, verba BPD dapat dikelompokkan menjadi verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dan verba turunan yaitu verba yang diturunkan / dibentuk melalui transposisi (pengubahan kata selain verba tanpa perubahan bentuk), afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. (lihat Alwi dkk, 2000: 87-88). Jumlah verba asal BPD tidak banyak, sedangkan verba turunan lebih banyak.

  Perubahan morfologi verba BPD berdasarkan bentuknya yang terkait erat dengan penelitian ini adalah verba asal dan verba turunan yang dibentuk melalui afiksasi. Penurunan verba BPD melalui transposisi, reduplikasi, atau pemajemukan tidak dibahas lebih jauh, kecuali jika dikaitkan dengan afiksasi. Berkaitan dengan ini, verba turunan melalui afiksasi sangat erat kaitannya dengan afiks-afiks verbal. Dalam BPD terdapat afiks tertentu yang dapat berkombinasi dengan kata dasar untuk membentuk verba. Jadi afiks tersebut diidentifikasi sebagai afiks pembentuk verba BPD. Afiks tersebut adalah empat prefiks yaitu : /

  

meN-,mer- , i-,/pe/, /ter- / ; dua sufiks yaitu /-ken, -i /; dan 2 pasang konfiks yaitu

/mersi-en/, /mer-en /. (lihat Basaria, 2002 : 21).

  Berikut ini adalah contoh-contoh verba turunan dengan bentuk dasar verba, nomina, ajektif, dan prakategorial.

  (1)

  a) verba turunan dengan /mer-/ + dasar nomina : popung ’nenek’ merpopung ’bernenek’ daroh ’darah’ merdaroh ’berdarah’ dukak ’anak’ merdukak ’beranak’ b) verba turunan dengan /mer-/ + prakategorial : ende ’nyanyi’ merende ’bernyanyi’ dalan ’jalan’ merdalan ’berjalan’ langi ’renang’ merlangi ’berenang’

   sodip ‘doa’ mersodip ‘berdoa’

  c) verba turunan dengan /mer-/ + dasar ajektiva lolo ate ’gembira’ merlolo ate ‘bergembira’ kelsoh ‘susah’ merkelsoh ‘bersusah hati’

  (2) (a) verba turunan dengan /meN-/ + dasar nomina sori ’sisir’ menori menyisir’ pangkur ’cangkul’ memangkur mencangkul’

  (b) verba turunan dengan /meN-/ + dasar verba tulus ’cari’ menulus ’mencari’ garar’bayar’ menggarar ’membayar’ (c) verba turunan dengan /meN-/ + dasar ajektiva

   daoh ’jauh’ mendaoh ’menjauh’

  (3) verba turunan dengan /pe-/ + dasar ajektiva

  gomok ’gemuk’ pegomok ’gemukkan’

   ketek ’kecil’ peketek ’kecilkan’ (4)

  (a) verba turunan dengan /i-/ + dasar nomina labang ’paku’ ilabang ’dipaku’ pangkur ’cangkul’ ipangkur ’dipaku’ (b) verba turunan dengan /i-/ + dasar verba enum ’minum’ ienum ’diminum’ jalang ’kejar’ ijalang ’dikejar’

  (5) (a) verba turunan dengan /ter-/ + dasar nomina labang ’paku’ terlabang ’terpaku’ pangkur ’cangkul’ terpangkur ’tercangkul’ (b) verba turunan dengan /ter-/ + dasar verba ‘ borih’cuci’ terborih ’tercuci’ tutung ’bakar’ tertutung ’terbakar’

  (6) verba turunan dengan /ki-/ + dasar nomina seban ’kayu’ kiseban ’mencari kayu’ lambuk ’keladi’ kilambuk ’mencari keladi’ ketang ’rotan’ kiketang ’mencari rotan’

  (7) (a) verba turunan dengan /-ken/ + dasar nomina

  edur ’ludah’ edurken ’ludahkan’ utah ’muntah’ utahken ’muntahkan’

  (b) verba turunan dengan /-ken/ + dasar verba

  sipak ’sepak’ sipakken ’sepakkan’ suan ’tanam’ suanken ’tanamkan’

  (c) verba turunan dengan /-ken/ + dasar ajektiva

  nggara ’panas’ nggaraken ’panaskan’ ceda ’rusak’ cedaken ’cedaken’

  (8) (a) verba turunan dengan /-i/ + dasar nomina

  tambar ’obat’ tambari ’obati’ napu ’pupuk’ napui ’pupuki’

  (b) verba turunan dengan /-i/ + dasar verba

  pekpek ’pukul’ pekpeki ’pukuli’ ndilat ’jilat’ ndilati ’jilati’

  (c) verba turunan dengan /-i/ + dasar ajektiva

  nggara ’panas’ nggarai ’panasi’ ntajem ’tajam’ ntajami ’tajami’

  (9) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba

  lojang ’lari’ merlojangen ’berlarian’ nangkih ’naik’ mernangkihan ’bernaikan’

  (10) (a)verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar nomina sori ’sisir’ mersisorien ’saling sisir’

  (b) verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar verba pekpek ’pukul’ mersipekpeken ’saling pukul’ jalang ’salam’ mersijalangen ’saling salam’

  (11) (a) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba

  lojang ’lari’ merlojangan ’berlarian’ nangkih ’naik’ mernangkihan ’bernaikan’

  (b) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar keadaan

  macik ’busuk’ mermacikan ’berbusukan’ penggel ’patah’ merpenggelan ’berpatahan’

  Dari paparan di atas, verba turunan /mer-, mer-en, mersi-en/ berpeluang untuk menjadi predikat klausa aktif intransitif, sehingga menjadi pemarkah morfologis verba intransitif BPD, verba turunan /meN-/ berpeluang pembentuk predikat klausa aktif transitif,sehingga menjadi pemarkah morfologis verba transitif , sedangkan verba turunan lainnya menjadi pemarkah morfologis verba klausa pasif .

  Pemarkah morfologis verba transitif /meN-/ secara morfofonemis dapat terwujud dengan bentuk alomorfnya (/me-, mem-, men-, menge-/). Alomorf /meN-/ yang memarkahi verba dalam struktur klausa transitif BPD menunjukkan penasalsasian, kecuali apabila /me-/ diikuti bentuk dasar yang dimulai bunyi vokal. Pada bagian ini belum dibahas peran dan fungsi /me-/ secara tipologis

  Verba-verba tersebut di atas sangat penting dalam kajian relasi dan peran gramatikal BPD terutama pada kajian dan pembahasan tentang sistem predikasi dan struktur argumen, dan mekanisme perubahan valensi verba. Hal tersebut disebabkan karena klausa BPD secara umum dibentuk oleh predikat verbal (dan bukan verbal), sehingga kajian morfologi dalam hal ini morfofonemik verba sangat penting artinya bagi kajian klausa dan sintaksis BPD.

2.2 Kerangka Teori

  Penelitian ini didasarkan pada teori tipologi linguistik, khususnya tipologi gramatikal. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang berhasil baik maka penelitian ini mengarahkan kerangka kerjanya pada sejumlah pokok-pokok pikiran dari kerangka teori tersebut.

2.2.1 Tipologi Linguistik

  Secara etimologis, kata tipologis berarti pengelompokan ranah (

  

classification of domain ). Pengertian tipologi bersinonim dengan istilah

  taksonomi. Istilah teknis tipologi yang masuk ke dalam linguistik mempunyai pengertian pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan ciri khas strukturnya. Di antara bentuk kajian tipologi linguistik pada periode awal yang terkenal adalah

  

word order typology atau tipologi tata urut dasar yang dilakukan oleh Greenberg (

  dalam Comrie1995:35). Kajian ini berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri-ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia, dan membuat pengelompokan yang bersesuaian dengan parameter tertentu, yang dikenal dalam dunia linguistik sebagai kajian tipologi linguistik ( linguistic typology ). Hasil kajian seperti itu melahirkan tipologi bahasa; pengelompokan bahasa-bahasa dengan sebutan tertentu. ( Artawa, 1995 ; Jufrizal, 2004 )

  Bahasa dapat dikelompokkan dalam batasan-batasan ciri khas strukturalnya, dan menetapkan pengelompokan luas berdasarkan sejumlah fitur yang saling berhubungan. Greenberg dalam Mallinson dan Blake (1981), menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut tata urutan dasar (basic order) subjek, objek, dan verba (S,O,V). Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya sebagai Tipologi Urutan Dasar ( Basic Order ) yang menyimpulkan ada enam pola kalimat yaitu SVO, SOV, VSO, VOS, OSV, OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia misalnya dapat mempergunakan keenam pola tersebut. Bahasa- bahasa lain ada yang hanya memiliki satu pola dominan misalnya bahasa Indonesia yaitu SVO, bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO, dan VSO Tipologi urutan dasar ini merupakan kajian yang sangat penting karena sejumlah fitur dan parameter lainnya dapat ditafsirkan dari urutan ketiga unsur dasar ini.

  Meskipun kajian tipologi bahasa pada dasarnya berhubungan dengan pengelompokan bahasa-bahasa menurut strukturnya, bukan berarti pengelompokan berdasarkan struktur bahasa ini saja yang mungkin dapat dilakukan. Pengelompokan bahasa berdasarkan bunyi (fonetik ), misalnya, juga masih mungkin dapat dilakukan. Sehingga akan menghasilkan kajian tipologi fonologis. Sekurang-kurangnya dapat dibedakan tiga dasar pengelompokan bahasa : yaitu pengelompokan berdasarkan genetis, pengelompokan berdasarkan tipologis, dan pengelompokan berdasarkan areal ( geografis ).

2.2.2 Tipologi Bahasa dan Kesemestaan Bahasa

  Pada tahun 1970-an terlihat adanya keperluan akan kajian yang lebih bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik teoritis maupun dalam bidang kajian bahasa secara empiris teori netral (lihat Jufrizal, 2004 : 61 ). Perkembangan teori dan pendekatan kajian lintas bahasa ini merupakan reaksi terhadap teori Tatabahasa Transformasi- Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori linguistik ( tatabahasa ) lain yang ada pada tahun 1970-an antara lain adalah Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Fungsional ( Dick,1978)

  Mallison dan Blake (1981: 4-5) menyebutkan bahwa penelitian generalisasi lintas bahasa atau kesemestaan bahasa ( language universals ) dikenal luas sebagai pokok pikiran utama di belakang penelitian tipologi skala besar. Seperti halnya dengan tipologi bahasa, semestaan bahasa meliputi juga ciri fonologis, morfologis, sintaksis. Ciri-ciri kebahasaan yang tidak meliputi semua atau hampir semua bahasa di dunia tidak akan diperhitungkan sebagai kesemestaan bahasa, tetapi akan berguna bagi tipologi bahasa. Sebab itu antara semestaan bahasa dan tipologi bahasa terdapat hubungan timbal balik, tetapi di pihak lain terdapat juga perbedaan yang jelas. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara silang seluas mungkin. Pada pertengahan abad ke 20, kajian tipologi dan kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan .

  Comrie (1989:30-32) juga menyebutkan bahwa terdapat saling keterkaitan antara kesemestaan bahasa dan tipologi karena keduanya berjalan bergandengan.

  Kajian kesemestaan bahasa berusaha menemukan (1) perilaku dan sifat-sifat yang umum bagi semua bahasa manusia; (2) mencari/ menemukan kemiripan yang ada dalam lintas bahasa; dan (3) berusaha menetapkan batas-batas variasi dalam bahasa manusia. Sedangkan penelitian tipologi berusaha (1) mengelompokkan bahasa-bahasa, yaitu menetapkan bahasa-bahasa ke kelompok/ tipe yang berbeda;

  (2) mengkaji perbedaan antara bahasa-bahasa; dan (3) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia. Untuk menetapkan tipologi bahasa, perlu ditetapkan parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Menetapkan tipologi bahasa diperlukan asumsi tentang kesemestaan bahasa. Istilah kesemestaan bahasa bukan berarti seluruh bahasa mempunyai fitur atau kasus yang sama, melainkan hanya bersifat hampir keseluruhan ( kecenderungan umum ). Jadi istilah lain dari kesemestaan bahasa dipakai / disebut juga generalisasi lintas bahasa.

  Song ( 2001 ) dalam ( Jufrizal,2007: 4 ) menambahkan bahwa ada empat jenis tahap analisis tipologis, yaitu (i) penentuan fenomena yang akan dipelajari; (ii) pengelompokan tipologis fenomena yang sedang diteliti; (iii) merumuskan simpulan umum (generalisasi ) atas pengelompokan tersebut; dan (iv) menjelaskan simpulan umum tersebut. Tipologi linguistik bukanlah teori tatabahasa, sebagaimana halnya teori TG atau teori tata bahasa lain yang dirancang untuk memodelkan bagaimana bahasa bekerja. Tipologi linguistik adalah bentuk kajian ketatabahasaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi pola- pola linguistik secara lintas bahasa dan hubungan antara pola-pola tersebut. Oleh karena itu, teori tipologi linguistik akan bersesuaian saja dengan teori tatabahasa yang ada.Walaupun penelitian ini, seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, hanya dititikberatkan pada kajian sintaksisnya ( gramatikalnya ), namun, untuk memperkuat kajian ini maka kajian tipologi morfologis, semantis, dan pragmatis akan disinggung pula.

  2.2.3 Tata bahasa dan Kajian Tipologi Bahasa Dalam teori linguistik tradisional ada dua unit gramatikal yang dianggap deskripsi gramatikal dasar yaitu kata dan kalimat. Dari dua unit gramatikal dasar inilah berkembang empat bidang kajian yaitu : fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang secara menyeluruh disebut tatabahasa atau gramatika ( grammar ).

  Namun dalam perkembangan ilmu bahasa yang sering dirujuk sebagai gramatika adalah morfologi dan sintaksis. Bahkan ada pula sebagian ahli yang menggunakan istilah gramatika untuk merujuk ke sintaksis saja. Walaupun sebagian besar ahli berpendapat bahwa gramatika suatu bahasa meliputi sistem/ tata bunyi, sistem tata kata, sistem tata kalimat, sistem tata makna dan lainnya yang lebih luas lagi.

  Istilah sintaksis secara langsung terambil dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat , klausa, dan frase. Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha menjelaskan unsur-unsur satuan bahasa serta hubungan antara unsut-unsur itu dalam satu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi. Lyons (1987: 170- 171 ), menyatakan bahwa di antara tataran kata dan kalimat terdapat dua unit gramatikal lain yaitu frasa dan klausa. Dalam pandangan tradisional, setiap kelompok kata yang secara gramatikal setara dengan kata dan tidak menunjukkan adanya unsur subjek, predikat disebut frasa. Sementara itu, klausa adalah kelompok kata yang mempunyai unsur subjek predikat dan menempel pada kalimat induk.

  Dalam penelitian ini, klausa diasumsi sebagai kalimat sederhana yaitu kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu predikat ( lihat Lyons, 1988; Jufrizal: 2007). Di samping itu, penelitian ini juga akan merujuk pendapat Alwi, dkk. (.2000,313-319 ) yang menyimpulkan bahwa klausa dasar adalah konstruksi klausa, yang paling tidak mempunyai ciri-ciri : 1) terdiri atas satu klausa; 2) unsur-unsur intinya lengkap; 3) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum; 4) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Jadi, klausa dasar/ kalimat dasar adalah kalimat tunggal dekleratif afirmatif yang unsur- unsurnya paling lazim

  Menurut Comrie (1995) tujuan tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat perilaku struktural bahasa yang bersangkutan. Ada dua asumsi pokok tipologi linguistik, yakni : (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Dengan upaya seperti itu dikenal adanya istilah bahasa bertipologi akusatif, bahasa ergatif atau bahasa aktif yang merujuk ke sebutan tipologi bahasa-bahasa yang kurang lebih ( secara gramatikal ) mempunyai persamaan. Sebutan tipologis (kelompok) bahasa seperti bahasa akusatif , ergatif, atau bahasa aktif tersebut pada dasarnya dikaitkan dengan tataran morfosintaksis, sebutan untuk jenis relasi gramatikal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa

  Berdasarkan tipologi morfologis,(Comrie,1995:43) menyebutkan bahasa- bahasa di dunia dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) bahasa isolasi yaitu bahasa yang tidak mempunyaai struktur gramatikal ( tidak mempunyai morfem daan afiks), sehingga pada bahasa ini tidak mempunyai proses morfologi; adanya hubungan satu lawan satu antara kata dan morfem. Misalnya bahasa Cina, bahasa Samoa, bahasa Vietnam. Contoh kalimat berikut dalam bahasa Vietnam memperlihatkan bahwa tiap kata hanya terdiri dari kata dasar yang monosilabis

  Khi toi den nha ban toi chung toi When I come house friend I plural I

  Ketika saya datang rumah teman saya, JAMAK saya ‘Ketika saya tiba di rumah teman saya , kami

  Bat dau lam bai Begin do pelajaran

  ‘ mulai mengerjakan pelajaran’ Tiap kata dalam kalimat di atas tidak mengalami perubahan. Bentuk jamak orang I dinyatakan dengan merangkaikan kata toi ’saya’ dengan chung’jamak’ sehingga menjadi ’kami’. Tiap kata terdiri dari satu morfem, kecuali kata bat dau ’mulai’. Kata ini secara etimologis sebenarnya terdiri dari dua morfem, yaitu bat ’menangkap’ dan dau ’kepala’

  (2) bahasa aglutinasi: bahasa yang mempunyai proses morfologis; kata dapat terdiri atas lebih dari satu morfem, dan batas antara morfem-morfem (kata) dapat dengan mudah dipisahkan / ditentukan, misalnya bahasa Hongaria, bahasa Indonesia, bahasa Finno Ugris, bahasa Tush ( suatu bahasa Kaukasus ), bahasa Tibet, dan lain-lain. Pada bahasa Indonesia bentuk aglutinatif ini dapat dilihat dalam kata pe + tani, pe + malas, per + gerak + an, me +letak + an, per +

  sembah + kan , dan sebagainya

  (3) Bahasa fusional atau infleksi : bahasa yang morfemnya diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi umumnya tidak mudah dan tidak jelas untuk memisahkan/ menentukan merfem/ afiks yang mewujudkan kata atau morfem tersebut. Misalnya bahasa Arab, bahasa Ibrani, bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Sansekerta, dan bahasa Indo-Eropah. Istilah fusional ataupun infleksi diartikan dengan perubahan internal dalam akar kata seperti : sing-sang-sung, do- did-done, write-wrote-written, go-went-gone dan sebagainya.

  (4) Bahasa polisintetik atau inkorporasi yaitu bahasa yang mempunyai kemungkinan mengambil sejumlah morfem leksikal dan menggabungnya bersama ke dalam kata tunggal. Misalnya bahasa Yana ( bahasa Indian Amerika, bahasa Chukchi, bahasa Greenlandic Eskimo, Inggris dan sebagainya.( Comrie (1989 : 41-42 ). Contoh dalam bahasa Yana, kalimat bahasa Indonesia saya menginap tiga

  malam akan diterjemahkan dalam sebuah kata saja : bulsidibalm? Gu? Asinz

  (‘tiga malam- menginap-sedikit-PAST/PRESENT-saya’) Dasar-dasar teori dan kerangka berfikir tipologi yang dirujuk dalam penelitian ini, khususnya dalam menganalisis relasi dan peran gramatikal BBD memanfaatkan teori teori yang disebut di atas. Teori dan rujukan dimaksud akan digunakan secermat mungkin untuk dapat menganalisis fenomena tipologi gramatikal BPD yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini

2.2.4 Relasi dan Peran Gramatikal

2.2.4.1 Relasi Gramatikal

  Pengertian dan konsep dasar relasi gramatikal berdasar pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie ( 1989 : 65 ), yang menyebutkan bahwa relasi gramatikal ( baik menurut pendapat tradisional maupun dalam tulisan mutakhir ) adalah bagian-bagian atau unsur dari kalimat / klausa yang dikategorikan sebagai subjek ( S ), objek langsung ( OL ), dan objek tak langsung ( OTL ). Tiga relasi gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis. Di samping relasi gramatikal yang bersifat sintaksis, ada relasi yang bersifat semantik, yaitu : lokatif, benefaktif, dan instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. (Blake ,1991 dalam Artawa, 2000:490)

  Blake mengemukakan bahwa relasi sintaktik dianggap membentuk hirarki dengan penomoran 1, 2, 3 yang umumnya digunakan untuk menandai relasi yang bersangkutan :

  S OL OTL OBL

  1

  2

  3 ( Blake, 1991 : 3 dalam Artawa 2000: 490 )

  Artawa ( 2000: 490 ) menyebutkan bahwa pada strata awal ( initial ), agen diperlakukan sebagai relasi 1 ; pasien sebagai relasi 2; dan resipien sebagai relasi

  3. Relasi- relasi gramatikal tersebut menjadi acuan untuk memerikan berbagai aspek srtuktur klausa serta prinsip-prinsip semesta yang menguasai struktur dan organisasi sintaksis bahasa alami. Relasi- relasi gramatikal diperlukan untuk mencapai tiga sasaran teori bahasa, yaitu (1) merumuskan kesemestaan bahasa; (2) menetapkan karakteristik setiap konstruksi gramatikal yang ada pada bahasa- bahasa alami; (3) membangun suatu tatabahasa yang memadai untuk setiap bahasa. Untuk maksud tersebut, suatu teori tatabahasa harus mengkaji data umum bahasa, yang berlaku untuk semua bahasa, dan data khusus bahasa yang berlaku hanya untuk bahasa-bahasa tertentu. Relasi-relasi gramatikal dalam hal ini memberikan suatu konsep yang tepat, baik tentang cara kerja bahasa pada umumnya ( sasaran (1) dan (2), maupun tentang cara memerikan bahasa-bahasa tertentu ( sasaran (3) ( lihat Jufrizal 2004 : 55 ).

  Relasi gramatikal yang bersifat sintaksis ( S, OL, OTL ) dan relasi yang bersifat semantis ( OBL ) akan dianalisis dengan pendekatan teori tipologi linguistik dengan tujuan utama merinci penelaahan tentang struktur dasar BPD. Topik-topik telaahan yang bersangkutpaut dengan relasi gramatikal yang menjadi kajian penelitian ini adalah kesubjekan dan subjek, objek dan relasi oblik. Comrie (1995 : 104 )menyebutkan prototipe ( hakekat asal ) subjek itu adalah memperlihatkan adanya saling terkait antara agen dan topik. Artinya maksud yang paling jelas dari subjek itu, secara lintas bahasa adalah bahwa subjek itu agen dan juga topik. Namun dalam penelitian ini, pengujian sifat perilaku subjek BPD akan didasarkan pada sifat perilaku gramatikal.

  Pengertian dan penetapan subjek dalam suatu bahasa masih memunculkan fenomena yang hingga kini merupakan masalah yang terus dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh perilaku gramatikal bahasa yang beragam dan tipologi bahasa yang berbeda pula. Selain itu, perbedaan filsafat pengkajian dan dasar pijakan teoretis juga menjadi penyebab sulitnya mengidentifikasi subjek bahasa tertentu. Namun penelitian ini mendasarkan teorinya pada pendapat Comrie (1983 : 101) yang menyebutkan bahwa prototipe (hakekat asal ) subjek adalah adanya keterkaitan antara agen dan topik. Dengan kata lain, secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik. Agen sebenarnya istilah yang terkait dengan fungsi semantis, sementara topik berkaitan dengan fungsi-fungsi pragmatis

  Li (ed.), (1976) dalam Jufrizal (2007 : 33) menyebutkan basic subject (selanjutnya disebut subjek) secara lintas bahasa mempunyai ciri dan sifat perilaku khas yang dapat dikelompokkan menjadi empat : a) sifat perilaku otonomi; b) sifat-perilaku kasus; c) peran semantis; d) dominasi langsung (

  

immediate dominance ). Sifat perilaku otonomi subjek meliputi : (a)

  keberadaannya bebas (independent existence); (b) ketidaktergusuran /sangat diperlukan (indispensability); (c) rujukan sendiri (autonomous reference). Sifat- perilaku pemarkah kasus meliputi : (1) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi jika setiap frasa nomina (FN) dalam bahasa tersebut tidak bermarkah; (2) FN yang mengubah penanda kasusnya pada pengkausatifan termasuk subjek; (3) FN yang mengubah penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek.

  Peran semantis (agen, pemengalam, dsb) dari subjek dapat diramalkan dari bentuk verba utama. Berdasarkan peran semantis ini, kesubjekan dapat diungkapkan : (1) subjek biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan), jika hanya satu; (2) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase) bentuk imperatif; (3) subjek biasanya memperlihatkan posisi, pemarkah kasus, dan persesuaian verba yang sama dengan FN penyebab dalam jenis kalimat kausatif yang paling dasar.

  Sementara itu, dominasi langsung berarti bahwa subjek itu secara langsung didominasi langsung oleh simpul dasar S (sentence) Sifat perilaku subjek secara lintas bahasa seperti di atas bukanlah nilai mutlak. Mungkin saja ada sebagian sifat perilaku tersebut yang tidak benar-benar cocok untuk perilaku bahasa tertentu. Pengujian sifat perilaku subjek yang didasari oleh sifat perilaku gramatikal telah dilakukan oleh Artawa (1998: 11-17) terhadap bahasa Bali. Menurutnya karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek dalam suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Berkaitan dengan ini, hakekat kesubjekan dilihat berdasarkan pengertian (1) penaikan (raising), (2) pengambangan penjangka (quantifier float), (3) perelatifan (relativisation).

  (1) Objek dan Oblik

  Menurut Culicover (1997 : 16-17; lihat juga Jufrizal 2007:49-63), menyebutkan bahwa secara umum ada dua jenis argumen yaitu : (i) argumen subjek yang kehadirannya dalam kalimat sebagai bagian yang paling independen dari suatu verba; (ii) argumen yang dikaitkan dengan verba tertentu. Argumen terakhir inilah yang menurut teori Tatabahasa Relasional (dan juga tatabahasa Tradisional ) disebut objek. Jadi, objek dalam sebuah klausa transitif merupakan argumen inti (di samping subjek).

  Objek adalah argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hirarki fungsi gramatikal setelah subjek (Verhaar,1999; Alsina,1996; Jufrizal,2007). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif.

  Secara lintas bahasa tidak banyak verba yang menuntut tiga argumen secara serentak. Verba give dalam bahasa Inggris, beri dalam BI, dan beberapa verba lain yang setara dengan itu adalah contoh verba dwitransitif. (Jufrizal,2007: 51)

  Alsina (1996:149-160) berdasarkan data bahasa Romawi menyatakan sebuah srtuktur argumen dapat terdiri atas lebih dari satu argumen internal, sehingga sebuah klausa dapat mempunyai lebih dari satu O. Jumlah O tersebut ditentukan oleh jenis verba klausa yang bersangkutan. Verba transitif menghendaki dua O yang secara tradisional dikenal dengan OL dan OTL. Dengan bukti data bahasa Romawi, Alsina mengatakan bahwa OTL mirip dengan oblik ( OBL ) yang ditandai adanya preposisi, dan posisi OTL cenderung mengikuti OL. Berbeda dengan OL,maka OTL tidak berkorespondensi dengan S. Alsina (1996) menunjukkan delapan bukti bahwa OTL termasuk ke kelompok fungsi-fungsi langsung (seperti S dan OL) yang berbeda secara sistematis dengan OBL yakni: (i) penggandaan pronomina personal bebas dalam morfologi verbal; (ii) ungkapan persona dan perbedaan jumlah dalam pronomina yang tergabung secara morfologis; (iii) kemampuan diikat pada struktur argumen;(iv) kemampuan untuk mengajukan pengambangan penjangka; (v) tidak menggabungkan referensi pronomina; (vi) kemampuan mengikat penjangka; (vii) kemampuan berfungsi sebagai pronomina resumtif (pembuka) dan variabel terikat; (viii) kemampuan menjadi sasaran predikasi kedua (sekunder)

  Selanjutnya penentuan sifat perilaku O secara lintas bahasa cukup rumit. Cole (ed.) dalam Jufrizal (2007: 51) mengemukakan bahwa ’O’ verba dalam bahasa-bahasa Bantu kebanyakan ditentukan dengan tiga perilaku dasar: (i) O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (ii) O adalah FN ( sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; (iii) O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses pemasifan. BPD tidak mengenal prefiks O (object) prefix) atau prefiks S

  

(subject prefix ) pada tataran sintaksis. Sehingga , hanya sifat perilaku (ii) dan (iii)

yang ada dalam bahasa-bahasa Bantu dapat dipakai untuk menetapkan O BPD.

  Penetapan O secara lintas bahasa sejalan dengan pengujian terhadap sifat perilaku O bahasa-bahasa Bantu dikemukakan oleh Butt dkk (1999 : 48-51; lihat juga Jufrizal : 2007 : 51). Mereka menyimpulkan bahwa verba transitif mempunyai S dan argumen kedua. Argumen kedua ini biasa disebut O. Berikut ini contoh kalimat transitif bahasa Inggris yang mempunyai S dan O

  (1) They saw the box S PRED O

  Menurut Butt dkk, (1999) dalam bahasa Inggris misalnya, posisi unsur kalimat merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan karena O mesti mengikuti verba dan mesti lekat dengan lingkungan verba tersebut. Contoh (3a) berikut ini hanya bisa berterima dengan adanya pola intonasi khusus yang ‘memeras’ O ke luar dari klausa. Sedangkan contoh (3b) tidak berterima karena adanya sisipan adverbia di antara verba dan O-nya (2) The box they saw

  ART kotak mereka lihat ‘kotak itu mereka lihat’ (3a) They saw the box yesterday ‘Mereka melihat kitak itu kemarin’ (3b) *They saw yesterday the box ‘Mereka melihat kemarin kotak itu’

  Akan tetapi posisi bukanlah penentu O yang baik dalam bahasa Jerman karena posisi unsur kalimat dapat saja diacak, seperti pada contoh (4a,b). Sebagai gantinya, pemarkah kasus merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan; FN yang dimarkahi dengan akusatif adalah O.

  (4a) Der fahrer strartet den traktor ART-NOM supir menghidupkan ART-ACC traktor ’Supir sedang menghidupkan traktor’ (Jerman ) (4b) Den traktor strartet der fahrer ART-ACC traktor menghidupkan ART-NOM sopir

  ’Sopir sedang menghidupkan traktor’ ( Jerman ) Dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis, pemarkah kasus merupakan penguji yang baik hanya untuk menentukan pronomina, apakah sebagai S atau O.

  Misalnya he (S ) vs him (O) dalam bahasa Inggris dan il (S) vs le (O) bahasa Perancis.

  Butt dkk. (1999 : 48) menyebutkan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif. S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Dalam bahasa Inggris dicontohkan sebagai berikut: (5a) They saw the box.(AKT) ’mereka melihat kotak itu’ (5b) The box was seen ‘kotak itu dilihat’

  Klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu : (S)ubjek, ( O)bjek (L)angsung, dan (O)bjek (T)ak (L)angsung. Bahasa Jerman, misalnya, menggunakan pemarkah kasus untuk menetapkan OL dan OTL. Dalam bahasa Inggris, pemasifan dan posisi merupakan cara pengujian/penentuan O. Namun baik OL maupun OTL masing-masingnya dapat menjadi subjek kalimat pasif. Dalam hal ini, posisi merupakan pembeda antara OL dengan OTL. OTL mesti berada langsung setelah verba, kemudian diikuti OL. Berikut adalah contoh kalimat bahasa Inggris seperti diberikan Butt dkk.

  (1999 :49) (6a) She gave him the book. (AKT)

  ’dia (pr) memberinya(II) buku itu’ (6b) He was given the book (PAS) ‘dia (II) diberi buku itu’ (6c) The book was given him (PAS) ‘buku itu diberikan kepadanya (II)

  Pengujian secara lintas bahasa juga dapat dilakukan dengan melihat sifat perilaku frasa refleksif (kalimat refleksif) dan pelesapan salah satu FN pada kalimat koordinatif. Objek merupakan FN yang wajib hadir secara sintaksis pada kalimat transitif. Kalimat refleksif mempunyai dua FN yang salah satunya adalah pronomina refleksif. Pronomina refleksif mengacu ke FN lain pada kalimat tersebut. Berikut adalah contoh kalimat refleksif dalam bahasa Inggris.

  (7a) The girl loves herself ‘gadis itu mencintai dirinya sendiri’ Pronomina refleksif herself mengacu ke FN the girl. Kalimat di atas berarti ‘the

  

girl loves the girl ’. Apabila pronomina refleksif herself dijadikan subjek kalimat,

  kalimat tersebut tidak lagi merupakan kalimat refleksif yang berterima (7b) (7b) *Herself loves the girl ‘dirinya sendiri mencintai gadis itu’ Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris objek adalah fungsi gramatikal yang diduduki FN yang dapat diganti dengan pronomina refleksif.

  Dalam kalimat koordinatif, FN yang terdapat pada klausa kedua yang mengacu orang atau benda (FN) klausa pertama, dapat dilesapkan apabila FN tersebut berfungsi sebagai subjek. Tetapi apabila FN pada klausa kedua tersebut berfungsi sebagai O, maka FN itu tidak bisa dilesapkan. Perhatikan contoh klausa kalimat kordinatif bahasa Inggris berikut ini.

  (8a) The man kissed the girl and he married her ‘lelaki itu mencium gadis itu dan dia menikahinya’ (8b) The man kissed the girl and ------- married her.

  ‘ lelaki itu mencium gadis itu dan ------- menikahinya’ Kalimat (8a) walaupun berterima tetapi kehadiran he yang mengacu ke the

man dan berkedudukan sebagai subjek pada klausa kedua dianggap mubazir.

  Pelesapan he yang menduduki posisi subjek pada klausa kedua merupakan bentuk yang lebih berterima. Kalimat (9b) di bawah ini tidak berterima karena yang dilesapkan adalah FN yang berkedudukan sebagai O pada klausa kedua. (9a) The man kissed the girl and the dog bit her ‘lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigitnya (anjing itu)’ (9b) *The man kissed the grli and the dog bit ------- ‘lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigit -------‘ (Gee,1993 dalam Jufrizal, 2007 : 53-54)

2.2.4.2 Peran Gramatikal

  Peran gramatikal (Dixon, 1994; Jufrizal, 2007) adalah peran-peran kasus atau fungsi-fungsi sintaksis yang didasarkan atas perilaku semantis. Dalam hal ini

  

agen dan pasien adalah peran gramatikal yang utama, di samping peran lainnya

  yang mengikuti agen dan pasien, yaitu benefisieri, instrumental, dan lokatif. Peran gramatikal agen dan pasien disebut juga peran makro semantis ( semantic

  

macrorole ). Peran itu disebut makro karena masing-masing mengemas jenis-jenis argumen khusus. Dalam teori peran makro semantis, peran agen diistilahkan aktor dan peran pasien disebut undergoer (penderita/ tempat jatuh perbuatan ). Argumen tunggal klausa intransitif dapat berperan sebagai aktor dan juga undergoer. Sedangkan sistem gramatikal atau aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis; dapat berupa S=A, S=P, Sp= P, atau yang lainnya. Sistem gramatikal atau persekutuan gramatikal yang diidentifikasi secara tipologis melahirkan simpulan tentang sistem bahasa secara tipologis,seperti bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa agentif, bahasa aktif, dan sebagainya ( lihat Jufrizal, 2007 ). Dalam disertasi ini dipakai istilah sistem gramatikal untuk menyebut aliansi gramatikal tersebut.

2.2.4.3 Predikasi dan Struktur Argumen

  Kajian tentang predikasi dan struktur argumen suatu bahasa berhubungan dengan peran gramatikal bahasa tersebut. Pandangan linguistik tradisional menyebutkan bahwa klausa terdiri atas subjek ’apa yang dibicarakan’ dan

  

predikat ’apa yang terjadi tentang sesuatu’. Pandangan linguis mutakhir

  menyebutkan bahwa kalimat terdiri atas predikator dengan satu argumen atau lebih. Jadi kalimat dapat dirumuskan sebagai argumen – predikator – argumen.

  Dalam kajian tipologi, ada dua asumsi dasar tentang kalimat , yaitu : pertama, bahwa konsep struktur predikator dapat diperlakukan pada semua bahasa, dan kedua, bahwa kedua argumen : (i) berbeda dalam hal hubungan semantiknya dengan predikator dan (ii) keduanya berbeda satu sama lain melalui pemarkah gramatikal. Struktur klausa yang mempunyai dua argumen, salah satunya diidentifikasi sebagai agen ( pelaku ) dan yang lainnya adalah pasien ( penderita ). Agen dan pasien yang dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal dalam suatu bahasa disebut peran gramatikal. Konsep relasi gramatikal meliputi subjek, objek, dan sebagainya. Agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang paling penting dalam kajian tipologi. Tiga peran gramatikal lain yang mengikuti agen dan pasien adalah benefisiari, instrumental dan lokatif ( Palmer, 1994 : Comrie, 1989).

  Dalam dasar-dasar teori ilmu kebahasaan istilah predikasi setara dengan proposisi, dinyatakan bahwa : (a) di antara unsur-unsur yang membangun/ membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat ( predicate ); dan (b) ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat tersebut. Dalam penelitian ini predikasi dipakai untuk menyebut konstruksi dalam bentuk klausa ( kalimat sederhana ) yang terdiri atas predikat dan argumennya.. ( Lyons, 1987: 270-337); Jufrizal 2007: 76).. Secara lintas bahasa wujud optimal sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements) di satu sisi, serta FN dan frasa adposisional (frasa berpreposisi atau berposposisi) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan, di sisi lain.