BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

  Kajian pragmatik dan implikatur percakapan telah dibahas dalam berbagai penelitian terdahulu. Hasegawa (2010) dalam disertasinya membahas mengenai partikel fokus pada bahasa Jepang secara semantis dan pragmatis. Hasegawa menyatakan bahwa dalam bahasa Jepang terdapat tiga jenis partikel penting dalam penentuan makna pragmatis secara kontekstual, yaitu: 1) Exclusive particles berupa partikel -shika, -dake, -bakari 2) Scalar additive particles berupa partikel -

  sae , -desae, -made, dan 3) Contrastive particles berupa partikel -nado, -koso. Hal

  ini terkait dengan aimai yang dikaji penulis yang banyak di antaranya berupa partikel yang keberadaaannya dalam kalimat justru berfungsi mengaburkan makna dari kalimat itu sendiri.

  Rustono (1998) dalam desertasinya meneliti implikatur percakapan sebagai penunjang pengungkapan humor di dalam wacana humor verbal lisan dalam bahasa Indonesia. Paparan dan argumentasinya mencakup pelanggaran prinsip kerja sama sebagai penyebab timbulnya implikatur percakapan yang memerankan fungsi sebagai penunjang pengungkapan humor. Tuturan para pelaku humor yang melanggar maksim-maksim kerja sama justru berpotensi menunjang pengungkapan humor karena berbagai implikatur yang dikandungnya.

  Selain itu terdapat penelitian mengenai tindak tutur permintaan dalam film ‘Tokyo Love Story’ yang dikaji dalam tesis Syahri (2011). Hasil penelitian tentang tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story ini menunjukkan dalam interaksi masyarakat Jepang tuturan senioritas, yang lebih tua, majikan, atasan, gender laki-laki lebih cenderung menggunakan tuturan yang kurang sopan, sementara tuturan dalam interaksi yang digunakan oleh junior, lebih muda, pembantu, gender perempuan lebih cenderung menggunakan tuturan yang sopan dan disampaikan dengan jenis tuturan tidak langsung (ketidakterusterangan).

  Dari penelitian komparatif yang dilakukan oleh Barnlund & Araki (1985:9) ditemukan bahwa bahasa Jepang menjadi lebih tidak langsung dalam situasi permohonan atau memuji. Hal ini menunjukkan bahwa ketidaklangsungan dalam bahasa Jepang terjadi tidak hanya dalam bentuk perintah. Ketidakterusterangan dan ketidaklangsungan dalam bahasa Jepang lebih lanjut akan dikaji dalam penelitian ini melalui pelangaran-pelanggaran maksim yang menghasilkan implikatur percakapan dan penggunaan aimai.

  Kemudian Hadiati (2007) dalam tesisnya membahas mengenai tindak tutur dan implikatur percakapan tokoh wanita dan tokoh laki-laki pada film ‘The Sound

  of Music ’, selain menjabarkan implikatur percakapan yang terdapat pada film ‘The

Sound of Music ’, Hadiati juga menemukan bahwa antara tindak tutur laki-laki dan

  perempuan pada film ‘The Sound of Music’ memiliki perbedaan, diantaranya perbedaan fungsi penggunaan question tag. Bagi wanita question tag berfungsi sebagai epistemic tag, facultating tag, dan softening tag. Sementara bagi laki-laki

  

question tag berfungsi sebagai challenging tag. Penelitian ini cukup berkaitan

  dengan yang akan penulis kaji dalam penelitian ini, namun pengaplikasian pada bahasa Jepang dan mengaitkannya dengan aimai tentunya akan menjadi penemuan yang berbeda.

  Noguchi dan Harada (1992:219) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Semantic and Pragmatic Interpretation of Japanese Sentences with Dake (Only)’ menemukan bahwa kalimat dengan bentuk partikel+dake+kalimat selalu memiliki makna terbatas secara semantis, sementara bentuk kalimat dake+partikel+kalimat tidak selalu memiliki makna terbatas secara semantis, melainkan memiliki implikasi bahwa selain yang diikuti dengan dake, maka hal lain tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu kalimat dengan bentuk dake+partikel+kalimat dapat dipandang sebagai bentuk yang mengandung implikatur percakapan dengan pengaruh pragmatis bagi pendengarnya.

  Dari penelitian-penelitian yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa penelitian mengenai pragmatik dan implikatur percakapan khususnya dalam bahasa Jepang telah banyak dilaksanakan. Akan tetapi belum ada yang mengaitkan aimai dengan implikatur percakapan dalam bahasa Jepang.

  Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam percakapan bahasa Jepang, keberadaan aimai dalam implikatur percakapan akan dibahas dalam penelitian ini.

2.2 Konsep

2.2.1 Kesantunan dan Konteks

  Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Kesantunan terletak bukan pada bentuk dan kata-kata, melainkan pada fungsi dan makna sosial yang diacu.

  Jika penutur mengatakan bentuk yang lebih sopan daripada konteks yang diperlukan, mitra tutur akan menduga bahwa ada maksud khusus yang tersembunyi.

  Kesantunan tidak sama dengan penghormatan yang menggunakan bentuk formal yang mengekspresikan adanya jarak dan penghargaan terhadap orang yang berstatus lebih tinggi, dan biasanya memasukkan unsur pilihan. Penghormatan sudah ada di dalam bahasa, seperti Korea ata Jepang, dan dapat dilihat pada kata ganti orang di beberapa bahasa di Eropa (bahasa Perancis: tu/vous). Namun sangat jarang dijumpai hal yang serupa secara gramatikal dalam bahasa Inggris, meskipun masih dapat ditemui bentuk penghormatan seperti penggunaan “Sir” dan “Madam”. Sangat dimungkinkan untuk mempraktekkan penghormatan tanpa harus menjadi sopan.

  a.

  Konteks Situasi Karena kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Terdapat dua konteks situasi yang memengaruhi cara kita membuat permintaan. Pertama, tingkat paksaan, dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran tersebut”. Misal, ketika kita hendak meminjam uang, kita cenderung mengatakan:

  “Bisakah saya meminjam lima ratus ribu, kalau kamu sedang tidak memerlukannya sekarang?” Jika uang yang dipinjam dalam nominal yang lebih kecil, “apa saya bisa pinjam lima ribu rupiah untuk bayar fotokopian?” Konteks yang kedua adalah formalitas. Semakin formal sebuah situasi, semakin tidak langsung sebuah ujaran yang dihasilkan. Misal, ketika kita sedang dalam sebuah seminar dan kita terlibat dalam sebuah perdebatan, kita akan mengatakan,

  “Bisakah saya melanjutkan apa yang sebelumnya saya sampaikan…” Namun, ketika perdebatan terjadi diantara teman karib, kita akan mengatakan,

  “Tunggu, aku belum selesai ngomong, …..” b.

  Konteks Sosial Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politeness dan ketidaklangsungan.

  Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas.

  c.

  Konteks Budaya Akan tetapi, hubungan antara ketidaklangsungan dan variabel sosial tidak sesederhana itu. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat.

2.2.2 Implikatur

  Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.

  Jika hanya mengandalkan teori atau pemahaman semantik saja, makna suatu tuturan atau ujaran tidak bisa dipahami dan dimengerti dengan tepat.

  Ketidaktepatan pemahaman makna ujaran sangat berimbas pada tercapainya tujuan komunikasi. Tujuan komunikasi adalah agar pesan yang ingin disampaikan oleh penutur dapat diterima dengan benar oleh mitra tuturnya. Jika mitra tutur hanya memahami pesan penutur secara semantis saja, komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik. Untuk dapat memahami dan menangkap maksud penutur, pemahaman mengenai konsep implikatur sangat diperlukan.

  Dalam suatu percakapan, ujaran-ujaran yang diproduksi baik oleh penutur maupun mitra tuturnya memiliki maksud yang tidak hanya tersurat tetapi juga tersirat. Maksud tersurat suatu tuturan dapat dipahami dengan mencari arti semantis kata-kata yng membentuk ujaran tersebut dan dengan memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan dalam tuturan itu. Sementara itu, makna tersirat suatu ujaran tidak dapat dipahami hanya dengan aturan sintaksis maupun aturan semantik bahasa yang bersangkutan. Untuk itulah kemudian diperkenalkan konsep mengenai implikatur. Implikatur ini dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harafiah (Brown and Yule, 1983:31).

  Implikatur yang terdapat dalam suatu ujaran terealisasikan dalam sebuah percakapan sehingga dinamakan implikatur percakapan. Grice (1975:43) mengemukakan bahwa implikatur percakapan adalah proporsi atau ‘pernyataan’ implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan. Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

  Lebih jauh Nababan (1987:28) menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi dalam proses komunikasi. Konsep ini kemudian digunakan untuk menerangkan perbedaan antara hal ‘yang diucapkan’ dengan hal ‘yang diimplikasikan’. Jika dalam komunikasi, salah satu pihak tidak paham dengan arah pembicaraan tersebut, maka sering ditanyakan ‘Sebenarnya apa implikasi anda tadi?’. Dengan kata lain, implikatur ini digunakan untuk memecahkan permasalahan makna bahasa yang tidak bisa diselesaikan oleh pengetahuan sintaksis dan semantis saja.

  Grice (1975:44) menyatakan bahwa ada dua macam implikatur yaitu (1)

  conventional implicature (implikatur konvensional) dan (2) conversational implicature (implikatur percakapan).

  Menurut Lyons (1995:272) implikatur konvensional adalah implikatur yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang sudah mengetahui maksud atau pengertian mengenai suatu hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah ada. Di lain pihak, implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap ‘hal yang dimaksud’ sangat bergantung pada konteks terjadinya percakapan, di mana dalam suatu percakapan ada prinsip- prinsip yang harus ditaati. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan.

  Kelancaran komunikasi dalam kegiatan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan secara struktural. Akan tetapi, harus diperhatikan pula prinsip-prinsip penggunaan bahasa oleh penutur dan mitra tuturnya. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama dan kesantunan dalam penggunaan bahasa, maka maksud penutur yang ingin disampaikan akan mudah diterima oleh mitra tutur. Meskipun demikian, seorang penutur tidak selamanya mematuhi prinsip-prinsip penggunaan bahasa tersebut. Ada kalanya justru seorang penutur melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip-prinsip penggunaan bahasa. Penyimpangan ini menunjukkan adanya maksud-maksud tertentu yang ingin dicapai oleh penutur. ‘Maksud-maksud tertentu’ yang muncul dalam suatu tindak percakapan inilah yang dinamakan implikatur percakapan.

  Wujud implikatur berupa tindak tutur yang terbagi atas: 1) implikatur representatif dengan wujud menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, menyebutkan, memberi kesaksian, melaporkan, dan sebagainya, (2) implikatur direktif dengan wujud memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, memohon, menyarankan, mendesak, memberikan aba-aba, dan menantang, (3) implikatur ekspresif dengan wujud memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung (4) implikatur komisif dengan wujud berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul, dan (5) implikatur deklarasi dengan wujud memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, memaafkan (Rustono, 1999).

2.2.3 Aimai

  Davies (2002:9) mendefinisikan aimai sebagai keadaan dimana sesuatu dirasakan samar. Untuk memahami nuansa aimai (ambigu) merupakan hal yang sulit bagi orang yang bukan penutur asli bahasa Jepang. Asal kata aimai sendiri dijelaskan oleh Haga (1996:22) bahwa 「曖昧」は「曖」も「昧」」「暗い」 という意味 (aimai wa ai mo mai kurai to iu imi), yang berarti aimai berasal dari kata yang sama-sama bermakna gelap.

  Oleh karena bermakna gelap dan samar-samar maka kalimat yang terucap cenderung tidak jelas apa makna yang sebenarnya ingin disampaikan dan menjadikan pendengar sulit memahami terutama bagi pembelajar bahasa Jepang karena makna yang ditimbulkan menjadi samar sehingga tercipta suasana ambigu.

  Davies menjelaskan lebih jauh bahwa aimai tertanam tidak hanya pada saat penolakan, namun juga ketika menyampaikan pendapat terhadap suatu masalah, bahkan ketika membicarakan diri sendiri.

  Kishie (2007) menyebutkan ada tiga alasan utama aimai sering digunakan oleh masyarakat Jepang ketika berkomunikasi, yaitu: Mengapa kosa kata aimai dipergunakan? Alasannya adalah adanya keinginan untuk menghindari konflik-konflik yang tidak perlu terjadi dengan orang lain, keinginan untuk menciptakan jarak dengan lawan bicara, dan adanya ketakutan akan disakiti orang lain yang disebabkan oleh hubungan pertemanan yang rendah. Tsuji (1999) menyatakan bahwa secara garis besar, tujuan penggunaan

  

aimai di dalam komunikasi adalah untuk memperhalus pernyataan penutur kepada

  mitra tutur. Selanjutnya Tsuji membagi fungsi dan penggunaan aimai ketika seseorang terlibat dalam sebuah komunikasi. Fungsi-fungsi tersebut diumpamakan sebagai sebuah siasat yang dapat memperlemah daya ikat hubungan antara individu, karena hubungan antara manusia bisa menentukan pikiran ucapan seseorang ketika berkomunikasi. Tsuji menyatakan:

  ‘Di sini saya akan menjelaskan tentang fungsi tersebut yang terbagi menjadi tiga bagian, pertama untuk merancukan isi pembicaraan, menjadikan subjek pembicaraan menjadi bentuk metabahasa, dan yang ketiga adalah melibatkan petutur sebagai rekan pelaku’ Dalam fungsi aimai untuk merancukan pembicaraan, Tsuji menyatakan bahwa kata-kata seperti toka, nantoka, demo, shi, dan sebagainya merupakan kata- kata yang dapat membuat makna utama dari suatu percakapan menjadi tidak jelas. Dengan cara seperti itu maka penutur telah menggeser fokus yang dapat terkena efek samping eratnya hubungan antara individu (yaitu mempertanggungjawabkan kata-kata) dari dirinya kepada penutur.

  Berikut merupakan contoh beberapa kata yang mengandung aimai yang sering digunakan dalam percakapan non formal bahasa Jepang (Kishie: 2007).

  1) Kana

  Contoh seperti pada kalimat berikut“chotto muzukashii kana mitaina” maupun “sono kakkou, mazui tte kanji”, juga digunakan agar pendapat kita tidak menjadi jelas. 2)

  Toka, Tari, dan Shitoka’, ‘tari’ dan ‘shi’ biasanya digunakan ketika seseorang menyebutkan lebih dari dua contoh. Akan tetapi, kata-kata tersebut juga digunakan ketika menyebutkan satu buah contoh untuk membuat lawan bicara menyimpulkan sendiri contoh lainnya.

  ‘nanka’ juga memiliki fungsi seperti itu. Jenis-jenis ungkapan yang ambigu seperti ini sering muncul dalam percakapan.

  3) Iisashi Hyougen Keinginan dari penutur adalah petutur dapat menyimpulkan sendiri maksudnya. Hal ini adalah ciri khas dari iisashi hyougen. Biasanya digunakan pada saat menolak.

  Dinyatakan juga oleh Haugh (2003:156-177) bahwa ketidakjelasan dan ketidaklangsungan tuturan dalam bahasa Jepang bisa dilihat dari:

1. Penggunaan indeksikal (misalnya are, sore, dan sebagainya) sebagai penanda subjek ujaran.

2. Penggunaan kedo; 3.

  Kecenderungan penggunaan pernyataan kemungkinan daripada kepastian, misalnya lebih sering digunakannya kata tabun (mungkin) dibandingkan dengan kata zettai (tentunya) sebagai ekspresi keraguan meskipun hal yang disampaikan diyakini kebenarannya.

  Penggunaan pernyataan yang tidak selesai atau terpola seperti kangaete

  okimasu (‘Akan saya pikirkan terlebih dahulu’), atau asobi ni kite kudasai (‘Silakan datang main ke rumah’).

2.3 Kerangka Teoretis

  Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan teori mengenai prinsip percakapan.

2.3.1 Prinsip Kerja sama

  Di dalam komunikasi yang wajar seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuntutannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise) dan selalu pada persoalan (stright forwarad) sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya saja.

  Prinsip ini oleh Grice (1975) dinamakan prinsip kerja sama atau cooperative

  

principle . Prinsip kerja sama Grice ini adalah: Make your conversational

contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted

purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged . (Buatlah kontribusi percakapan penutur sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat berbicara dengan mengikuti tujuan percakapan yang penutur ikuti).

  Atau secara ringkas, dapat dikatakan bahwa ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.

  Grice mengemukakan bahwa dalam melaksanakan prinsip kerja sama, ada empat maksim percakapan (conversational maxim) yang harus dipatuhi. Yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim elevansi (maxim of relevance), dan maksim cara (maxim of manner).

  Maksim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2003:704) diartikan, “Pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran unum tentang sifat manusia, ...”.

  Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah- kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi- interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.

2.3.1.1 Maksim Kuantitas

  Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.

  Penutur akan memilih kalimat: Tetangga saya hamil, dibandingkan Tetangga saya yang perempuan hamil. Pada tuturan kedua, penggunaan yang perempuan sifatnya berlebih-lebihan. Kalimat pertama, lebih ringkas dan tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth value). Semua orang tentu sudah tahu bahwa hanya wanitalah yang mungkin hamil.

  Contoh lain dari tuturan yang melanggar maksim kuantitas adalah dalam penggalan percakapan berikut ini (Levinson, 1995:97).

  X: Can you tell me the time? Y: No, I don’t know the exact time of the presence moment, but I can provide some information from which you may be able to deduce the approximate time, namely the milkman has come.

  Tuturan Y dikatakan melanggar maksim kuantitas karena kontribusinya dalam percakapan berlebihan. Dengan mengatakan ‘No, I don’t know the exact

  time of the presence moment, but I can provide some information from which you may be able to deduce the approximate time, namely the milkman has come ’,

  kontribusi yang diberikan Y sangatlah berlebihan. Ketika X menanyakan waktu, Y cukup menjawab dengan mengatakan pukul berapa saat itu atau katakan ‘tidak tahu’ jika memang dia tidak tahu pasti. Jawaban X yang mengatakan bahwa dia tidak tahu secara pasti pukul berapa sekarang, tetapi dia bisa memberi petunjuk bagi X untuk bisa memperkirakan pukul berapa sekarang, misalnya dengan mengatakan bahwa tukang susu baru saja datang, sangatlah berlebihan. Hal ini melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas. Adanya pelanggaran maksim kuantitas ini memunculkan maksud tertentu. Maksud tertentu yang timbul akibat pelanggaran maksim kerja sama dalam suatu percakapan dinamakan implikatur percakapan. Implikatur percakapan yang mungkin dikandung Y pada penggalan percakapan adalah bahwa Y ingin merahasiakan sesuatu dari pihak lain sehingga Y tidak mengatakan secara langsung pukul berapa pada waktu itu.

  Bagaimana maksim kuantitas ini sesungguhnya, Grice (dalam Wijana, 1996:52) membuat analogi. Jika Penutur membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi Penutur tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan Penutur mengambilkan saya empat obeng bukannya dua atau enam.

  Dalam bahasa Jepang dapat dicontohkan sebagai berikut:

  A:

  Ja, senshū no nōto mise-te-morai-tai-n-de, kyō kari-te-kaet-temo ii-desu ka?

  (Jadi bolehkah saya melihat catatan minggu lalu dan meminjamnya hari ini?) B:

  Senshū no nōto, ahito ni kari- kashi-te-ru kara

  (Catatan minggu lalu ya. Ah, soalnya sudah saya pinjamkan ke orang lain)

A: A, sō na-n-desu ka.

  Oh, begitu ya. (Xie dalam Haugh, 2008: 12) Kontribusi B “ Senshū no nōto, ahito ni kari- kashi-te-ru kara” merupakan hal yang berlebihan karena A hanya bertanya apakah ia boleh meminjam catatan minggu lalu, sehingga sebenarnya B cukup menjawab boleh atau tidak. Namun yang dilakukan B adalah menyertakan alasan mengapa ia tidak bisa meminjamkan catatan tersebut, padahal A tidak bertanya. Dengan memberikan kontribusi berlebihan dalam percakapan, B bermaksud untuk tidak menyinggung A ketika B menolak permintaan A sehingga B menyebutkan alasan tanpa diminta.

2.3.1.2 Maksim Kualitas

  Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti- bukti yang memadai. Dengan kata lain maksim ini berisi nasihat agar penutur memberikan kontribusi percakapan yang memiliki nilai kebenaran dan jangan katakan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah semua kontribusi percakapan yang tidak memiliki nilai kebenaran dianggap melanggar prinsip kerja sama maksim kualitas. Dalam penggalan percakapan berikut ini, terdapat tuturan yang melanggar maksim kualitas (Levinson, 1995:110).

A: Teheran is in Turkey, isn’t it, teacher? B: And London’s in Armenia, I suppose.

  Ujaran B ‘And London’s in Armenia, I suppose’ merupakan ujaran yang melanggar maksim kualitas. Ujaran B tidak menaati maksim kualitas karena ujarannya tidak memiliki nilai kebenaran. Dengan mengatakan bahwa London berada di Armenia, B melanggar maksim kualitas karena London tidak berada di Armenia. London merupakan ibu kota negara Inggris sehingga tidak mungkin berada di Armenia. Adanya pelanggaran maksim kualitas pada penggalan percakapan itu, mengindikasikan adanya implikatur percakapan. Implikatur percakapan yang muncul akibat pelanggaran ini adalah bahwa B ingin menunjukkan pada A, apa yang A katakan adalah sesuatu yang salah.

  Atau pada wacana lainnya, pelanggaran maksim kualitas ditujukan untuk mendapatkan efek lucu (comic effect).

  • Ini sate ayam atau kambing.
  • Ayam berkepala kambing.

2.3.1.3 Maksim Relevansi

  Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikamn kontribusi yang reklevan dengan masalah pembicaraan. Dalam suatu percakapan, tuturan atau ujaran yang tidak relevan dikatakan sebagai ujaran yang melanggar maksim relevansi. Penggalan percakapan berikut ini mengandung tuturan yang melanggar maksim relevansi (Levinson, 1995:111).

  A: I do think Mrs. Jenkins is an old windbag, don’t you?

  B: Huh, Lovely weather for March, isn’t it?

  Tuturan B ‘Huh, Lovely weather for March, isn’t it?’ dikatakan melanggar maksim relevansi karena tuturan tersebut tidak memberikan kontribusi yang relevan terhadap tuturan A. Pada saat A mengatakan bahwa Bu Jenkins adalah seorang pembual, B seharusnya memberikan respon mengiyakan jika memang B setuju dengan pernyataan A atau membantah tuturan tersebut jika memang sebaliknya. Pada kenyataannya B menjawab dengan mengatakan bahwa cuaca bulan Maret menyenangkan. Tuturan B ini jelas melanggar maksim relevansi karena tuturan tersebut tidak memberikan kontribusi yang relevan terhadap tuturan A sebelumnya. Adanya pelanggaran maksim relevansi ini memunculkan maksud lain. Maksud yang ingin disampaikan B dengan melanggar maksim relevansi ini adalah mengingatkan agar A berhati-hati karena mungkin keponakan bu Jenkins yang berdiri di belakangnya.

  Untuk maksim relevansi, Grice (dalam Wijana, 1996:52) membuat analogi sebagai berikut. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda terakhir ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.

  Dalam bahasa Jepang dapat dilihat contohnya sebagai berikut: Yusuke yang merupakan teman Jun, sedang membicarakan sepak bola.

  Y : Zerokussu Suupaa Kappu o mi-ni ika-nai? (Nonton Xerox Super Cup, yuk.)

  J : Dono chiimu? (Tim mana (yang bertanding)?)

  Y : Jubiro tai guranpasu (Jubiro versus Grandpus eight) J : Zen Nippon dat-tara tobitsuku-n-da kedo ne..

  (Kalau pertandingan nasional sih saya tertarik, tapi..) Y: A, sō ka.

  (Oh, begitu ya) (Haugh, 2008:14) Dalam percakapan antara Yusuke dan Jun, terlihat bahwa pernyataan Jun

  “Zen Nippon dat-tara tobitsuku-n-da kedo ne..” tidak ada hubungannya dengan ajakan Yusuke sehingga dapat dikatakan Jun melanggar maksim relevansi. Yang sebenarnya diimplikasikan oleh Jun adalah bahwa ia tidak tertarik dengan ajakan Yusuke untuk menonton pertandingan sepak bola tersebut.

2.3.1.4 Maksim Cara

  Maksim ini berisi anjuran agar penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Selain itu, kontribusi penutur juga harus singkat, tertib, dan teratur. Berikut tuturan yang melanggar maksim cara (Levinson, 1995:112)

  a.

   Miss Singer produced a series of sounds corresponding closely to the score of an aria from Rigoletto.

  b.

   Miss Singer sang an aria from Rigoletto.

  Pada tuturan a terjadi pelanggaran maksim cara submaksim kontribusi percakapan harus singkat. Ketika penutur mengatakan ‘Miss Singer produced a

  series of sounds corresponding closely to the score of an aria from Rigoletto ’,

  maksud yang ingin disampaikan adalah sama dengan ‘Miss Singer sang an aria

  from Rigoletto ’. Kedua ujaran tersebut sama-sama ingin menyatakan bahwa Nona

  Singer menyanyikan sebuah lagu. Pada kenyataannya ujaran yang dihasilkan adalah berbeda. Ujaran a melanggar prinsip kerja sama maksim cara dengan submaksimnya yaitu kontribusi dalam percakapan haruslah singkat. Ujaran ayang mengindikasikan adanya pelanggaran maksim cara ini mengandung implikatur.

  Implikatur ujaran ini adalah mengejek. Dalam ujaran a penutur mengatakan bahwa Nona Singer membuat suara-suara yang menyerupai sebuah nyanyian.

  Penutur tidak mengatakan bahwa Nona Singer menyanyi tetapi mengatakan bahwa Nona Singer hanya memproduksi suara yang menyerupai sebuah nyanyian.

  Maksim cara juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara runtut.

  Contoh:

  

Margie was crying. Her ballon had burst after hitting a branch. The wind had

carried into a tree. It had suddenly caught in, though she’d been holding tightly

onto it. It was Sunday, and her father had bought her e beautiful new ballon.

  Wacana di atas, dinilai tidak runtut. Akan lebih baik kalau menggunakan wacana berikut ini yang jauh lebih logis.

  

It was Sunday, and her father had bought her a beautiful new ballon. It had

suddenly caught it, thought she’d been holding tightly onto it. The wind had

carried it into a tree. Her ballon had burst after hitting a branch. Margie was

crying.

  Untuk maksim cara, Grice (dalam Wijana, 1996:53) menganalogikan sebagai berikut. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya dan melaksanakannya secara rasional.

2.3.2 Prinsip Kesantunan

  Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Penuturan kesantunan dalam kajian pragmatik diuraikan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson, namun pada penelitian ini penulis hanya menggunakan teori maksim kesantunan Leech. Prinsip kesantunan memiliki beberapa maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim penghargaan (approbation maxim), maksim kesederhanaan (modesty maxim), maksim pemufakatan (agreement

  maxim ), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur (Wijana, 1996).

2.3.2.1 Maksim Kesantunan Leech a. Maksim Kebijaksanaan

  Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Pelaksanaan maksim kebijaksanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

  1) Angkat meja itu! 2) Bisa tolong saya untuk mengangkat meja itu?

  Tuturan 1) dinyatakan dalam perintah langsung sehingga terkesan tidak sopan, sementara perintah yang dimaksudkan pada tuturan 2) disamarkan dalam bentuk pertanyaan sehingga tidak terkesan memerintah. Karena itu tuturan 2) dinyatakan lebih sopan daripada tuturan 1).

  b. Maksim Kedermawanan

  Dengan Maksim kedermawanan, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Pelaksanaan maksim kedermawanan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Siswa Baru: Maaf pak, di mana letak toilet ya? Tukang Kebun : Mari Nak, saya tunjukkan.

  Dari tuturan tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa tukang kebun berusaha memaksimalkan keuntungan pihak siswa baru dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mengantarkan siswa baru ke toilet.

  c. Maksim Penghargaan

  Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Pelaksanaan maksim penghargaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Anak: Bu, tadi kami mulai belajar nada dasar di kelas musik. Ibu: Oh ya? Tadi ibu juga dengar cerita dari Pak Bowo guru musikmu.

  Katanya kamu cepat sekali mengerti. Ibu senang sekali.

  Pemberitahuan yang disampaikan anak terhadap ibunya pada contoh di atas ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian dari ibunya sehingga menyenangkan hati anak.

d. Maksim Kesederhanaan

  Di dalam maksim kesederhanaan, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.

  Pelaksanaan maksim kesederhanaan atau maksim kesederhanaan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

  Mita: Wah, kamu pintar sekali pelajaran Matematika. Setiap ulangan selalu dapat nilai 100. Saya dapat nilai 70 saja susah sekali. Doni: Ah, tidak juga. Saya tidak sepintar itu, kok. Dalam contoh di atas Doni tidak menjawab dengan: “Oh, tentu saja. Memang itu kelebihan saya.” Doni mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan: ”Ah, tidak juga.”

  e. Maksim Pemufakatan

  Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat pemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat dikatakan bersikap santun.

  Pelaksanaan maksim pemufakatan/Kecocokan dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

  Tamu : Wah, ruangannya panas ya. Tuan Rumah : Iya ya. Sebentar saya nyalakan AC.

  Pada contoh di atas, tampak adanya kecocokan persepsi antara tamu dan tuan rumah bahwa ruangan tersebut panas. Tuan rumah mengiyakan pernyataan tamu bahwa ruangan panas dan kemudian menyalakan AC agar ruangan menjadi lebih sejuk.

  f. Maksim Kesimpatian

  Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai penutur kesimpatian. Sikap antipati terhadap salah satu peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun. Pelaksanaan maksim kesimpatian dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.

  Eka: Hana, aku lulus tes wawancara di PT. Tiga Berlian. Hana: Wah, selamat ya. Ucapan selamat yang diucapkan Hana sebagai respon pernyataan

  Eka memenuhi maksim kesimpatian karena berada pada kebahagiaan lawan bicaranya dengan cara mengucapkan selamat.

2.4 Deskripsi Singkat Film Kimi ni Todoke

  Kimi ni Todoke adalah sebuah film drama Jepang yang diangkat dari

  sebuah komik manga dengan nama judul yang sama. Film ini bercerita tentang seorang siswi SMA yang tertutup dan kurang pergaulan. Sifatnya pendiam, lugu, dan penyendiri. Ia cenderung tidak bisa menyampaikan isi hatinya dengan baik. Perbuatannya sering disalah artikan oleh teman-temannya. Siswi SMA ini bernama Kuronuma Sawako. Karena memiliki nama panggilan Sawako yang didukung dengan penampilannya yang misterius dengan rambut panjang tergerai ke depan, ia sering dipanggil dengan julukan Sadako (Film hantu Jepang "The Ring"). Hal itu juga menyebabkan beredarnya gosip di sekolah tersebut bahwa Kuronuma memiliki kemampuan supranatural yaitu bisa mendatangkan hantu dan dapat menghadirkan kutukan apabila seseorang menatap matanya lebih dari tiga detik. Kuronumapun dijauhi oleh teman-temannya.

  Bahkan wali kelasnya, Pin Arai, mendatanginya untuk membuktikan gosip tersebut. Namun hal tersebut tidak berlaku terhadap Kazehaya, teman sekelas Kuronuma yang sangat ramah dan populer. Kazehaya adalah orang yang pertama kali menyapa Kuronuma, dan memperlakukan Kuronuma sama seperti ia memperlakukan orang lain tanpa rasa takut atau menganggap Kuronuma aneh.

  Persahabatan Kuronuma muncul disaat ia bertemu dengan Yoshida dan Yano. Mereka menjalin persahabatan yang dapat membuat Sawako menjadi lebih percaya diri dan mulai bisa mengungkapkan isi hatinya dengan teman-temannya.

  Namun satu per satu masalah timbul saat teman-teman Kuronuma terkena gosip miring dan Kuronuma dituduh sebagai penyebar berita tersebut. Kuronuma merasa serba salah untuk berada bersama teman-teman yang disukainya tersebut karena Kuronuma berpikir ia menjadi penyebab dari masalah yang terjadi. Hingga akhirnya, dengan berbagai cara Kuronuma berhasil menunjukkan kepada Yano dan Yoshida bahwa ia menyayangi mereka.

  Masalah lain datang ketika Kurumi, seorang gadis dari kelas lain yang sudah lama menyukai Kazehaya datang dan berpura-pura meminta pertolongan kepada Kuronuma. Ternyata Kurumi berupaya menjebak Kuronuma dan Kazehaya ke dalam situasi yang salah, dimana Kurumi mengatur agar Kazehaya melihat Kuronuma berduaan dengan Sanada, sahabat Kazehaya dan juga teman baik Kuronuma. Melalui jebakan tersebut Kurumi berharap Kazehaya akan salah paham dan tidak akan menyukai Kuronuma lagi. Akan tetapi hasilnya di luar dugaan Kurumi. Kazehaya tidak terpancing dengan jebakan tersebut. Yano dan Yoshida juga mengusut kejanggalan yang dilakukan Kurumi sehingga terbukti bahwa ternyata Kurumi adalah dalang gosip yang tidak menyenangkan mengenai Yoshida dan Yano.

  Selanjutnya adalah permasalahan yang terjadi antara Kuronuma dengan Kazehaya. Kazehaya akhirnya menyampaikan perasaannya kepada Kuronuma.

  Namun Kuronuma butuh perjuangan ekstra untuk memahami apa yang ia rasakan dan apa yang harus ia lakukan. Dibantu sahabat-sahabatnya, Kuronuma berusaha memahami apa yang ia rasakan dan menyampaikannya kepada Kazehaya.