BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. BELL’S PALSY ll.1.1. Definisi - Perbandingan efek metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy

  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1. BELL’S PALSY ll.1.1. Definisi

  karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009).

II.1.2. Epidemiologi

  Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling

  sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.

  Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000).

  Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan

  64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.

  ll.1.3. Anatomi Saraf Fasialis

  Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2) (Monkhouse 2006).

  Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009). Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis

  

Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In:

Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square

textbook. Balckwell Publishing Ltd.

  Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis

  

Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and

Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.

  Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa

  

cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum

  dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

  Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).

  

The facial nerve provides motor innervation to all the muscles of facial expression and the three muscle

derivatives of the second pharyngeal arch (posterior digastric, stapedius, and stylohyoid). It

parasympathetically fires three of the four glands in the head: the submandibular and sublingual salivary

glands, and the lacrimal gland (A). Other parasympathetic fibers stimulate mucous secretion in the nose and palate. Taste fibers from the anterior two-thirds of the tongue follow the path of the lingual branch of cranial nerve (CN) V until just before entering the cranium as a distinct chorda tympani nerve (B).

  Gambar 3. Saraf fasialis nd

  

Dikutip dari: Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2 Edition. Lippincott

Williams&Wilkins. Batimore

  Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus Gambar 4. Saraf Intermedius dan koneksinya

  Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In:

Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square

textbook. Balckwell Publishing Ltd.

  Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid.

  Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Gambar 5) (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).

  Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial

  

Dikutip dari: Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. Cambridge

University Press. New York.

II.1.4. Etiopatogenesis

  Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada

  ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).

  Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg 2009; Kanerva 2008).

  Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini

  

Bell’s palsy (Kanerva 2008). Suatu hipotesa imunologis telah

  diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi limfosit pada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bell’s

  palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf

  perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya (Berg 2009).

  Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva 2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan

  

Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian

  randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya penyebab Bell’s palsy yang lain (Lockhart dkk, 2010).

  Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab

  Bell’s palsy, terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau

  kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal

  

dominant inheritance (Garg dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah

palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen

(HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun (Kubik dkk, 2012).

II.1.5. Patofisiologi

  Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot wajah. Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap derajat trauma yang berbeda (May 2000).

  Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10 hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural

  

tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada

  derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama (tabel 1) (May 2000)

  Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson- akson yang menginervasi kembali kelompok- kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter (May 2000). Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat trauma saraf fasialis

  Onset Derajat HB grading system -

  Patologi Trauma Neurobiologi Saraf Perbaikan Kesembuhan Spontan Trauma Klinis

  Kompresi. Aksoplasma menggembung. Tidak ada Grade 1 : lengkap: tidak dijumpai

  1 Tidak ada perubahan morfologi 1-4 minggu perubahan morfologi regenerasi yang salah (neuropraksia)

  Kompresi menetap. Tekanan intraneural Akson- akson tumbuh ke dalam tabung myelin kosong yang intak pada Grade II: agak baik: beberapa perbedaan meningkat. Kehilangan kecepatan 1 mm/ hari yang memungkinkan kesembuhan dalam jangka pada gerakan volunter dan gerakan

  2 1-2 bulan akson tetapi endoneural waktu yang lebih lama dibandingkan derajat 1, lebih sedikit sembuh spontan. Sedikit ditemukan regenerasi tube masih intak lengkap karena beberapa serabut mengalami derajat 3 yang salah (aksonometsis)

  Grade lll-IV: sedang- buruk: tampak Tekanan intraneural Dengan hilangnya tabung myelin, akson- akson baru memiliki penyembuhan tidak lengkap hingga

3 meningkat. Kehilangan kesempatan untuk bercampur dan membelah menyebabkan terjadinya 2-4 bulan deformitas yang lemah dengan

myelin (neurometsis) gerakan mulut sewaktu menutup mata, yang disebut sinkinesia. komplikasi sedang hingga bermakna dari regenerasi yang salah Derajat 3 + gangguan

  Selain gangguan yang terjadi pada derajat 2 dan 3, sekarang akson- akson 4 pada perineurium 4-18 bulan Grade V: gerakan hampir tidak tampak dihambat oleh skar yang memperburuk regenerasi

  (transeksi parsial) Derajat 4 + kerusakan Kerusakan lengkap dengan skar mengisi celah menjadi suatu penghalang Tidak terjadi 5 pada epineurium yang tidak dapat diatasi hingga pertumbuhan kembali akson- akson dan Grade VI: tidak ada kesembuhan (transeksi lengkap) anastomosis kembali neuromuskular.

  Dikutip dari: May, M. 1986. Disorders of facial nerve. In: May, M (ed). The Facial Nerve. Thieme. New York Universitas Sumatera Utara

  Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000).

  ll.1.6. Gambaran Klinis Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang

  biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008).

  Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's

  phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang

  sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007). Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien BeIl’s palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir 50% pasien (beberapa hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis (Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).

II.1.7. Diagnosis

  Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam mendiagnosis Bell’s palsy (Garg dkk, 2012).

  ll.1.7.1. Anamnesis

  Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang (Ronthal dkk, 2412; May dkk, 1987).

  ll.1.7.2 Pemeriksaan Fisik

  Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurang- kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar

  Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini dikarenakan:

  • Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi, mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.
  • Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.
  • Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat terjadi pada waktu yang berbeda- beda.
  • Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008; Ronthal dkk, 2012).

  Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear

  

Dikutip dari: Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell’s palsy; Diagnosis and

Management. American Academy of Family Physicians. 76:997-1002

  Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy (May dkk, 1987).

  Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:

  1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.

  2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.

  3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk, 2012 Ronthal dkk, 2012).

  ll.1.7.3 Kriteria Diagnosis

  II.1.7.3.1 Menurut Taverner (1954 ):

  A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajah B. Onset yang tiba- tiba

  C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)

  D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine angle (Musani dkk, 2009; May 2000). II.1.7.3.2 Menurut Ronthal dkk (2012):

  A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau

  B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif, mencapai kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.

II.1.8 Diagnosa Banding

  Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang identik dengan Bell’s palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang membedakannya dari Bell’s palsy (Tiemstra dkk, 2007). Penyakit- penyakit tersebut adalah:

  1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti cholesteatoma, tumor saliva) Pasien dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid (Ronthal dkk, 2012; May dkk, 1987).

  2. Guillain Barre Syndrome (GBS) Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati

  inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah tendon negatif pada daerah yang terlibat (May 2000).

3. Lyme disease

  Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis yang sering terlibat adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah tertentu, seperti di negara- negara bagian utara dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat (Minnesota dan Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim panas dan bulan- bulan pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini merupakan lokasi geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini juga dikenali dengan baik di Eropa dan Australia (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).

  4. Otitis media Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga dan demam (Tiemstra dkk, 2007).

  5. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster) Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).

  6. Sarcoidosis dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi jaringan yang terlibat oleh sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).

  7. Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS) Melkerson Rosenthal Syndrome merupakan suatu trias dari gejala

  edema orofasial berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua plicata (fissured tongue). Edema orofasial merupakan gambaran yang selalu dijumpai pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing- masing terjadi pada setengah pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai pada seperempat kasus. Penyakit ini umumnya dimulai pada dekade kedua, dan manifestasi biasanya terjadi secara berurutan dan jarang terjadi secara bersamaan (May 2000).

II.1.9. Perbaikan Klinis Pasien BelI's palsy umumnya memilki prognosis yang baik.

  Prognosis tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan klinis yang segera dihubungkan dengan prognosis yang baik dan perbaikan yang lambat memiliki prognosis yang buruk. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1 minggu, 88% akan memperoleh kesembuhan sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 % dan dalam 3 minggu, kesembuhan terjadi sekitar 61% (Teixeira dkk, 2012).

  Perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dapat dinilai dengan mudah merupakan suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil pengobatan. Beberapa sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB) grading system, Sunnybrook

  scale, dan Yanagihara grading system (Kanerva 2008). Dari ketiga sistem

  ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian, terutama di Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House

  Brackmann grading system telah dipakai sebagai standar oleh American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah digunakan.

  Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele (tabel 2) (Berg 2009).

  Yanagihara grading system, diperkenalkan oleh Yanagihara pada

  tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara terpisah pada beberapa otot fasial yang berbeda. Masing- masing fungsi diberi skor 0-4, dengan skor maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal (4), paralisis ringan (3), paralisis sedang (2), paralisis berat (1), dan paralisis total (0). Sistem skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi saraf fasial pada Bell’s palsy, herpes zoster oticus, dan follow up pembedahan neuroma akustikus (tabel 3) (Berg 2009).

  

Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and

Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.

  Pada tahun 1996, Ross dkk, mengusulkan suatu sistem grading the

  

Sunnybrook facial grading system. Sistem ini merupakan suatu sistem

  regional berdasarkan evaluasi dari simetris saat istirahat, derajat simetris saat gerakan volunter, dan efek sekunder (sinkinesia) untuk menghasilkan skor gabungan maksimal 100 (tabel 4) (Kanerva 2008).

  Tabel 3. Yanagihara facial grading system

  Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.

  Tabel 4. Sunnybrook facial grading system

  Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.

  II.1.10.PENGOBATAN

  Karena etiologi Bell’s palsy belum jelas, beberapa pengobatan yang berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bell’s

  

palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi

dan kompresi saraf (Axelsson 2013).

  II.1.10.1.MEDIKAMENTOSA Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada pasien Bell’s palsy adalah kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bell’s palsy adalah golongan prednisolon.

  II.1.10.1.1. Anti Virus

  Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bell’s palsy.

  Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari.

  Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini digunakan dengan dosis yang kurang sering, dan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi di serum dan CSF (Marsk, 2012).

  Untuk memperkirakan keuntungan pengobatan dengan anti virus pada Bell’s palsy, suatu studi dari Cochrane telah dilakukan, yang mengikutkan 7 uji dengan totalnya 1987 pasien. Studi ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dari antivirus bila dibandingkan menemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis antara pengobatan dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon – asiklovir/ valasiklovir.

  Satu studi membandingkan prednisolon dengan asiklovir dan menemukan manfaat pengobatan pada kelompok prednisolon. Dua studi lainnya melaporkan manfaat untuk kombinasi prednisolon- asiklovir/valasiklovir dibandingkan dengan prednisolon sendiri, namun studi ini tidak blind (Marsk, 2012).

II.1.10.1.2 Metil Prednisolon

  Metil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari prednisolon, yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Glukokortikoid sintetik dikembangkan terutama untuk aktivitas anti inflamasi dan imunoseprasannya (Katzung 2003).

  II.1.10.1.2.1. Farmakokinetik Steroid secara farmasi disintesis dari cholic acid (yang diperoleh dari sapi) atau steroid sapogenin, terutama diosgenin, dan hecopenin yang ditemukan dalam tumbuhan family Liliaceae dan Dioscoreaceae. Metil prednisolon memiliki nama kimia pregna -1,4-diene-3,20-dione,

  11,17,21-trihydroxy-6-methyl- (6α,11β) dan berat molekul 374,48. Secara

  struktural digambarkan dalam gambar 7.

  Gambar 7. Struktur kimia dari metil prednisolon Dikutip dari :

  Metil prednisolon bersama dengan steroid sintetik lainnya diabsorbsi dengan cepat dan sempurna bila diberikan melalui mulut.

  Meskipun mereka ditransportasikan dan dimetabolisme dalam pola yang sama dengan steroid endogen, beberapa perbedaan penting tetap dijumpai. Perubahan pada molekul glukokortikoid mempengaruhi aktivitasnya terhadap reseptor glukokortikoid. Seperti aktivitasnya dalam mengikat protein, stabilitas rantai samping, kecepatan ekskresinya, dan produk metaboliknya. Halogenasi pada posisi 9, lepasnya ikatan 1-2 dari cincin A, dan metilasi pada posisi 2 atau 16 memperpanjang waktu paruh lebih dari 50%. Gabungan α1 diekskresikan dalam bentuk bebas. Pada beberapa kasus, obat diberikan adalah prodrug. Contohnya prednison, yang dengan cepat dikonversi menjadi produk aktif prednisolon di dalam tubuh (Katzung 2003).

  II.1.10.1.2.2. Farmakodinamik

  A. Mekanisme kerja Kerja steroid sintetik sama dengan steroid alami (kortisol), yang diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein- steroid, sterol (vitamin D), tiroid, retinoic acid, dan banyak reseptor lainnya dengan ligand yang tidak ada atau tidak diketahui (orphan

  receptor). Reseptor intraselluler ini berikatan dengan protein yang stabil,

  termasuk dua molekul heat shock protein (Hsp90). Kompleks reseptor ini dapat mengaktifkan transkripsi gen di sel target. Steroid dijumpai didalam darah dalarn bentuk terikat corticosteroid binding globulin (CBG), namun memasuki sel sebagai molekul yang bebas. Steroid kemudian berikatan dengan kompleks reseptor, menyebabkan terjadinya suatu kompleks yang tidak stabil dan Hsp90 dan molekul-molekul yang terikat dilepas.

  Kompleks steroid- reseptor ini dapat memasuki nukleus, berikatan dengan

  glucocorticoid response element (GRE) pada promoter gen. Glucocorticoid response element (GRE) dibentuk dari dua rangkaian yang mengikat receptor dimer. Kemudian kompleks steroid- reseptor tersebut mengatur

  transkripsi oleh Ribonucleic acid (RNA) polymerase dan faktor- faktor lainnya yang berhubungan dengan transkripsi. Messenger (m) RNA yang dihasilkan diedit dan dibawa ke sitoplasma untuk produksi protein-protein (gambar 8) (Katzung 2003; Lullman dkk, 2000).

  Gambar 8. Mekanisme kerja steroid

  

Dikutip dari: Katzung, B.G. 2003. Clinical Pharmaacology. 9th edition. Mc Graw Hill

Companies, Inc.

  B. Efek anti inflamasi dan imunosupresif Steroid sintetik terutama dikembangkan sebagai anti inflamasi dan imunosupresif. Steroid mengurangi manifestasi inflamasi melalui pengaruhnya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi dari leukosit perifer dan pengaruhnya supresifnya terhadap sitokin dan chemokin inflamasi dan terhadap lipid lainnya dan mediator glukolipid dari inflamasi. Inflamasi ditandai oleh ekstravasasi, dan infiltrasi lekosit pada jaringan yang terlibat. Kejadian ini diperantarai oleh rangkaian kompleks interaksi antara molekul adhesi lekosit dengan molekul- molekul pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid (Lullman dkk, 2000).

  Steroid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan antigen

  presenting cells (APCs) lainnya. Kemampuan dari sel- sel ini untuk merespon antigen dan mitogen dikurangi. Efek pada makrofag terutama bermakna dan membatasi kemampuannya dalam fagositosis dan membunuh mikroorganisme dan untuk menghasilkan tumor nekrosis factor α (TNF-α), interleukin-12, metalloproteinase, dan plasminogen yang sedikit, induksi penting dari aktivitas sel T helper 1 dan lmunitas selluler (Lullman dkk, 2000). .

  Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, steroid mempengaruhi respon inflamasi dengan mengurangi prostaglandin, leukotriene, dan sintesa dari platelet activating factor yarg merupakan hasil dari pengaktifan phospolipase A2. Akhirnya, steroid mengurangi ekspresi

  cyclooxygenase II, pada sel inflamasi, yang kemudian mengurangi jumlah

  enzim yang tersedia untuk menghasilkan prostaglandin (gambar 9) (Lullman dkk, 2000)

  C. Efek Samping dan Kontraindikasi Pada pemberian jangka pendek, glukokortikoid bebas dari efek samping, bahkan pada dosis yang paling tinggi sekalipun. Pada penggunaan jangka panjang, kemungkinan dapat menyebabkan tanda dan gejala cushing's syndrome (akibat produksi berlebihan dari kortisol).

  Akibat kerja anti inflamasi, dapat menyebabkan menurunnya resistensi terhadap infeksi, lambatnya penyembuhan luka, memperburuk penyembuhan ulkus peptik. Akibat kerja glukokortikoid terjadi glukoneogenesis, dan pembentukan glukosa yang meningkat, serta katabolisme protein, menyebabkan atrofi otot skeletal, osteoporosis, retardasi pertumbuhan pada bayi, atrofi kulit. Akibat kerja mineralokortikoid sehingga dapat terjadi retensi garam dan cairan (hipertensi, edema) dan kehilangan KCI dengan hipokalemia (Lullman H ulkus peptikum, dan hipertensi berat (Gomella dkk, 2008; Lagalla dkk, 2002).

  Gambar 9. Efek steroid pada proses inflamasi

  

Dikutip dari: Kumar, V.,Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J. 2010. Robbins and Cotran

Pathologic Basis of Disease. Professional Edition. 8th ed. Saunders. Elsivier, lnc

  D. Prednisolon pada Bell’s palsy Pengobatan dengan kortikosteroid (kortison, prednison atau prednisolon) pada Bell’s palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun

  1950 dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang salah dari saraf fasialis (Kanerva 2008).

  Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam Engstrom dkk (2008) menggunakan dosis prednisolon oral 60 mg/hari selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya, dengan total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah onset Bell’s palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada 1,2,3,6,12 bulan setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis menggunakan dua sistem grading, yaitu House Brackmann (HB) grading

  system dan Sunnybrook scale. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

  pasien yang mendapatkan prednisolon memiliki waktu yang lebih pendek untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik (kejadian sinkinesia yang lebih sedikit) dibandingkan pasien yang tidak mendapat prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan dkk (2007) yang menggunakan prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam setelah onset.

  Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading system. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna sebesar 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon (Marsk 2012).

  Dua penelitian systematic review dari Salinas dkk (2010) dan Gronseth dkk (2012) menyimpulkan terdapatnya efikasi dari pemberian kortikosteroid terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dan tidak didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan terapi

  II.1.10.2. BEDAH Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy dimulai pada tahun 1930.

  Pendekatan bedah yang berbeda telah diajukan. Secara teknik sulit untuk mencapai daerah kompresi pada segmen labirin-meatus dan adanya resiko komplikasi seperti bocornya CSF, infeksi, hilangnya pendengaran,

  

dizziness, dan perdarahan intrakranial. Fisch dan Esslen menekankan

  pentingnya dekompresi labirin, segmen genikulatum dan timpani dari saraf, dan menyatakan bahwa teknik ini dapat memperbaiki outcome.

  Sementara May menunjukkan tidak ada perbaikan klinis yang signifikan pada pasien- pasien yang diobati secara bedah yang menggunakan pendekatan transmastoid (Axelsson 2013).

  Suatu studi Cochrane dari tahun 2011, yang mengikutkan dua uji dengan 69 pasien, menyimpulkan bahwa data dari randomized controlled

  

trials tidak cukup untuk memutuskan manfaat dari dekompresi bedah.

  Pengobatan ini tidak disokong di Swedia meskipun teknik ini masih dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Swiss (Axelsson 2013).

  II.1.10.3. REHABILITASI FISIK KABAT

  A. Prinsip Rehabilitasi fisik kabat atau nama lainnya proprioceptive

  neuromuscular facilitation (PNF) adalah suatu pendekatan latihan terapi

  teknik fasilitasi neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan memperbaiki kontrol dan fungsi neuromuskular. Pendekatan ini telah secara luas digunakan untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan 1950 oleh Kabat, Knott dan Voss (Keisner dkk, 2007).

  Teknik PNF dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan dan ketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuskular dan gerakan- gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk pemulihan fungsi otot. Teknik PNF bermanfaat pada keseluruhan rangkaian rehabilitasi dari fase awal penyembuhan jaringan (teknik neuromuskular cocok) hingga ke fase akhir rehabilitasi (gerakan diagonal dengan kecepatan tinggi dapat dilakukan melawan tahanan maksimal). Pendekatan latihan terapi ini menggunakan pola diagonal dan penerapan petunjuk sensorik, khususnya proprioceptif untuk mendapatkan respon motorik yang besar. Pada pendekatan ini telah diketahui bahwa kelompok otot yang lebih kuat dari suatu pola diagonal memfasilitasi kemampuan reaksi dari kelompok otot yang lebih lemah. Teknik dan pola PNF rnerupakan bentuk yang penting dari latihan resistensi untuk mengembangkan kekuatan, tahanan otot dan stabilitas dinamik (Keisner dkk, 2007).

  B. Teknik Teknik ini dapat diterapkan secara luas pada pasien-pasien dengan wajah, secara rasional teknik ini dapat digunakan karena serabut- serabut ototnya paling banyak berjalan secara diagonal, dengan suatu penyebaran yang mudah ke daerah wajah bagian atas karena inervasi saraf fasialis yang menyilang. Pada teknik ini, terdapat tiga fulcra yang diperhatikan, yaitu atas, tengah dan bawah. Fulcra atas (dahi dan mata) dihubungkan melalui suatu aksis vertikal menuju fulcra pertengahan (hidung), sedangkan fulcra yang lebih bawah (mulut) untuk mengunyah dan artikulasi terletak disepanjang aksis horizontal. Karenanya, kerja fulcra atas wajah juga melibatkan 2 fulcra lainnya (Barbara dkk, 2010).

  Selama rehabilitasi, terapis memfasilitasi kontraksi neuromuskular dari otot yang terganggu dengan menerapkan suatu regangan yang global kemudian tahanan pada keseluruhan atot dan memotivasi kerja dengan input verbal dan kontak manual. Pada fulcra atas, pengaktifan dari otot frontal, corrugators dan orbicularis oculi dilakukan dengan traksi keatas atau ke bawah, yang selalu berada pada bidang vertikal tergantung pada fungsi khusus yang harus diaktifkan. Pada fulcra tengah, pengaktifan dari otot elevator communis dari ala nasi dan bagian atas bibir juga dikerjakan dengan gerakan traksi, mengikuti garis vertikal. Untuk fulcra bawah, manuver dikerjakan pada m. orbicularis oris dan risorium pada bidang horizontal dan m. mentalis pada bidang vertikal (Barbara dkk, 2010).

  Secara sistematis, teknik rehabilitasi kabat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (gambar 10): Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan pada sudut mulut kiri/kanan A. Dilakukan peregangan pada m. orbicularis oris dengan menarik sudut mulut ke arah samping kiri/ kanan B. Pasien disuruh mencucu sambil diberi tahanan oleh terapis dan ditahan selama 8 kali hitungan

  2. Melatih m. zygomaticus mayor dan levator labii Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari telinga tengah diletakkan pada sudut mulut kiri/ kanan A. Dilakukan peregangan pada m. zygomaticus mayor dan m. levator labii dengan menekan sudut mulut ke arah medial.

  B. Pasien disuruh untuk menarik sudut mulut ke arah luar sambil diberi tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan

  A B A B

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  8 Gambar 10. Teknik Rehabilitasi Kabat Dikutip dari: Al- mohana, A., Al-Ramezi, K., Abdulkareem,L., Al-Jwer,N., Al-Ajmi, M., Mohammed,S. 2007. Physical therapy management for facial nerve paralysis. Committee of Physical Therapy Protocols. Office of Physical Therapy Affairs. Ministry of Health – Kuwait

  Universitas Sumatera Utara

  3. Melatih m. dilator nares dan nasalis Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan pada kedua ala nasi/ cuping hidung A. Dilakukan penekanan pada kedua cuping hidung ke arah kaudal tahanan oleh terapis selama 8 kali hitungan

  4. Melatih m. procerus Pada posisi awal, jari telunjuk terapis diletakkan di batang hidung pada kedua sisi A. Dilakukan peregangan pada batang hidung menuju bagian bawah

  B. Pasien disuruh dengan menaikkan lipatan nasolabial ke arah atas sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan

  5. Melatih m. orbicularis oculi Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di sudut mata pasien A. Dilakukan peregangan dengan menarik sudut mata ke rah lateral.

  B. Pasien disuruh mengerutkan kelopak mata sambil menutup mata dengan kuat dan diberi tahanan selama 8 kali hitungan

  6. Melatih m. corrugators supercelli Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah terapis diletakkan di atas alis mata A. Dilakukan peregangan dan menarik sudut alis ke arah lateral

  B. Pasien disuruh mengerutkan sudut alis ke arah medial sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan

  7. Melatih m. frontalis Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan di atas alis

  A. Dilakukan peregangan pada m. frontalis dengan mendorong alis mata ke arah kaudal/ bawah B. Pasien disuruh mengerutkan kening sambil diberi tahanan selama 8 kali hitungan

  8. Melatih m. mentalis Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan pada dagu

  A. Dilakukan peregangan dengan menarik dagu ke arah lateral

  B. Pasien disuruh mengerutkan bibir bawah sambil diberi selama 8 kali hitungan (Al-mohana dkk, 2007; Keisner dkk, 2007) C. Rehabilitasi kabat pada BeII's palsy

  Rehabilitasi fisik kabat adalah salah satu bentuk latihan terapi yang telah digunakan dalam penatalaksanaan pasien Bell’s palsy. Satu penelitian yang dilakukan Barbara dkk (2010) terhadap 20 orang penderita

  Bell’s palsy, yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9 orang)

  diberi terapi medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus) dengan rehabilitasi fisik, sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya diberi medikamentosa. Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah berdasarkan konsep Kabat atau disebut juga dengan PNF. Rehabilitasi dimulai pada hari ke- 4 setelah onset paralisis fasialis, dengan satu sesi setiap hari selama 15 hari. Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai tingkat perbaikannya berdasarkan HB grading system pada hari ke 4, 7 dan 15 setelah onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan rehabilitasi fisik secara jelas menunjukkan perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.

II.2. KERANGKA TEORI

  BELL’S PALSY Berg, 2009: edema dan penjepitan yang akhirnya menyebabkan kompresi dan kerusakan saraf fasialis, merupakan komponen penting pada patogenesis BP

  KOMPRESI & KERUSAKAN SARAF Kanerva, 2008: edema dan penjepitan saraf menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung saraf fasialis Kanerva, 2008: inflamasi saraf iskemia saraf

  Kanerva, 2008:

  fasialis menyebabkan edema dan EDEMA & fasialis menyebabkan edema dan penjepitan saraf disepanjang

  PENJEPITAN penjepitan saraf disepanjang perjalanannya di kanal temporal perjalanannya di kanal temporal Murakami dkk, 1996:

  HSV-1 DNA dideteksi

  INFLAMASI

  ISKEMIA pada 86% dan VZV DNA pada 43% di ganglion genikulatum Garg dkk, 2012: kasus pada pasien BP

Dokumen yang terkait

Perbandingan efek metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy

0 45 118

Perbandingan efektivitas kombinasi zink-probiotik dengan zink tunggal dalam mengurangi keparahan diare akut

2 31 64

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Skizofrenia - Hubungan antara beban perawatan dengan expressed emotion pada keluarga pasien skizofrenik.

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE II.1.1. Definisi - Hubungan Stres dan Sleep Stroke dengan Outcome Stroke

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1 Definisi - Hubungan Antara Subtipes Stroke, Teritori Vaskular dengan Kejadian Pneumonia dan Mortalitas pada Pasien Stroke Akut dengan Disfagia

0 0 41

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi Kecacingan - Pengaruh Albendazol dan Mebendazol Terhadap Perkembangan Telur Trichuris Trichiura

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Stroke II.1.1. Definisi - Hubungan Chronic Pain Syndrome Paska Stroke dengan skor Mini Mental Status Examination dan skor modified Rankin Scale

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Taksiran berat janin - Perbandingan Akurasi Taksiran Berat Badan Janin Menurut Formula Dare’s Dengan Johnson Tausack

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE ISKEMIK II.1.1. Defenisi - Perbandingan Parameter Hemodinamik dengan Pemeriksaan Transcranial Doppler pada Pasien Stroke Iskemik Akut dengan dan tanpa Dislipidemia

1 0 35

Perbandingan efek metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy

0 0 12