Perbandingan efek metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy

(1)

PERBANDINGAN EFEK METIL PREDNISOLON TUNGGAL DENGAN KOMBINASI METIL PREDNISOLON DAN REHABILITASI KABAT

TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PASIEN

TESIS

BELL’S PALSY

OLEH

FATMA ADHAYANI No. REG CHS: 19473

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2013


(2)

PERBANDINGAN EFEK METIL PREDNISOLON TUNGGAL DENGAN KOMBINASI METIL PREDNISOLON DAN REHABILITASI KABAT

TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PASIEN BELL’S PALSY

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Dokter Spesialis Saraf pada Program Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

FATMA ADHAYANI No. REG CHS: 19473

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Perbandingan efek metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien

Bell’s palsy

Nama : Fatma adhayani No. Reg CHS : 19473

Program studi : Ilmu penyakit saraf

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K)

NIP.19470930 197902 1 001 NIP. 19660524 199203 1 002 Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K)

Pembimbing III

NIP.19780912 200912 2 002 Dr.Aida Fithrie,SpS

Mengetahui / mengesahkan

Ketua Program Studi/SMF Ilmu Penyakit Saraf

FK-USU/ RSUP.HAM Medan

Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf

FK-USU/ RSUP.HAM Medan

Dr.Yuneldi Anwar, SpS(K)

NIP. 19530601 198103 1 004 NIP. 19530916 198203 1 003 Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Perbandingan efek metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien

Bell’s palsy

Nama : Fatma adhayani No. Reg CHS : 19473

Program studi : Ilmu penyakit saraf

Menyetujui

Pembimbing I Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K) ...

Pembimbing II Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) ...

Pembimbing III Dr.Aida Fithrie,Sp.S ...

Mengetahui / mengesahkan

Ketua Program Studi/SMF Ilmu Penyakit Saraf

FK-USU/ RSUP.HAM Medan

Ketua Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf

FK-USU/ RSUP.HAM Medan

Dr.Yuneldi Anwar, SpS(K)

NIP. 19530601 198103 1 004 NIP. 19530916 198203 1 003 Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)


(5)

Telah diuji pada:

Selasa, 17 Desember 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, SpS(K) 2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K) 3. Dr. Darlan Djali Chan, SpS

4. Dr. Yuneldi Anwar, SpS(K) (Penguji) 5. Dr. Rusli Dhanu, SpS(K)

6. Dr. Kiking Ritarwan,MKT,SpS(K) 7. Dr. Aldy S Rambe, SpS(K) 8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS 9. Dr. Khairul P. Surbakti, SpS 10. Dr. Cut Aria Arina, SpS 11. Dr. Kiki M. Iqbal, SpS 12. Dr. Alfansuri Kadri, SpS 13. Dr. Aida Fithrie, SpS

14. Dr. Irina Kemala Nasution, SpS 15. Dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS 16. Dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked (neu), SpS 17. Dr. Iskandar Nasution, SpS, FINS


(6)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN EFEK METIL PREDNISOLON TUNGGAL DENGAN KOMBINASI METIL PREDNISOLON DAN REHABILITASI KABAT

TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PASIEN BELL’S PALSY

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2013


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala berkah, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam program pendidikan spesialis di Bidang Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada : 1. Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Dr. H.

Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

2. Yang terhormat Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), (Rektor Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS),

3. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

4. Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

5. Yang terhormat Prof.Dr.dr.Hasan Sjahrir,Sp.S(K), (Kepala Departemen Neurologi saat penulis diterima sebagai PPDS), yang


(8)

telah menerima saya untuk menjadi peserta didik serta memberikan bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

6. Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

7. Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan serta bimbingan dan arahan dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.

8. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof.Dr.dr.Hasan Sjahrir,Sp.S(K), dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) dan dr. Aida Fithrie, Sp.S selaku pembimbing yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

9. Kepada guru-guru saya, Prof.dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), Prof.Dr.dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), dr. Darlan Djali, Sp.S, dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S, dr. S. Irwansyah, Sp.S. almarhum, dr. Kiking Ritarwan, MKT. Sp.S(K), dr. Aldy S.Rambe, Sp.S(K), dr. Khairul P.Surbakti, Sp.S, dr. Puji Pinta O.Sinurat, Sp.S, dr. Cut Aria Arina, Sp.S, dr. Kiki M.Iqbal,Sp.S, dr. Alfansuri Kadri, Sp.S, dr. Dina Listyaningrum, Sp.S.Msi.Med, dr. Aida Fithrie, Sp.S, dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S, dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S, dr. Fasihah Irfani Fitri, Mked(Neu). Sp.S, dr. Iskandar Nasution, Sp.S.FINS, dr. Antun, Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP. Haji Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.


(9)

10. Terima kasih kepada Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

11. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai. Direktur Rumah Sakit Tembakau Deli, Kepala Rumkit Putri Hijau, Direktur RSU. Ferdinand Lumban Tobing Sibolga, Direktur RSU. Sahudin Kutacane telah menerima saya saat menjalani stase pendidikan spesialisasi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

12. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus,Sukirman Ariwibowo dan Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai di rawat inap Neurologi RA4, Poliklinik Neurologi dan Instalasi Diagnostik Terpadu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada kedua orang tuaku, H. Daliluddin nasution dan Hj.Yusmanilda, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan senantiasa memberi dukungan moril dan materi, bimbingan dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan ini sampai selesai.

14. Teristimewa kepada anakku Mhd. Asykar Hafiz yang selalu membuat saya tersenyum selama suka-duka menjalani pendidikan dan menjadi alasan saya untuk terus maju dan tidak menyerah.

15. Kepada saudara-saudariku terkasih adikku Haris Abdullah,ST dan istrinya Melita Selvriani Hulu,S.Psi, Ahmad Abizar, ST beserta seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.


(10)

Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita- cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

Medan, Desember 2013


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama lengkap : Dr. Fatma Adhayani Tempat / tanggal lahir : Medan, 09 Oktober 1981

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Nama Ayah : H. Daliluddin Nasution Nama Ibu : Hj. Yusmanilda

Nama Suami : ... Nama Anak : Muhammad Asykar Hafiz

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah no.9 Medan tamat tahun 1993. 2. Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan tamat tahun 1996.

3. Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri 5 Medan tamat tahun 1999. 4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2005. 5. S2 Magister Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan i

Pernyataan iv

Ucapan terima kasih v

Riwayat hidup peneliti viii

Daftar Isi ix

Daftar Singkatan xi

Daftar Tabel xii

Daftar Gambar xiii

Daftar Lampiran xiv

Abstrak xv

Abstract xvi

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Perumusan Masalah 7

I.3. Tujuan Penelitian 7

I.3.1.Tujuan Umum 7

I.3.2.Tujuan Khusus 8

I.4. Hipotesis 8

I.5. Manfaat Penelitian 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. BELL’S PALSY 10

II.1.1. Definisi 10

II.1.2. Epidemiologi 10

II.1.3. Anatomi Saraf Fasialis 11

II.1.4. Etiopatogenesis 16

II.1.5. Patofisiologi 18

II.1.6. Gambaran Klinis 21

II.1.7. Diagnosis 22

II.1.7.1. Anamnesis 22

II.1.7.2. Pemeriksaan Fisik 22 II.1.7.3. Kriteria Diagnosis 25

II.1.8. Diagnosis Banding 26

II.1.9. PERBAIKAN KLINIS 29

II.1.10. PENGOBATAN 32

II.1.10.1.Medikamentosa 32

II.1.10.1.1.Anti Virus 32

II.1.10.1.2.Metil Prednisolon 33

II.1.10.2.Bedah 40

II.1.10.3. REHABILITASI FISIK KABAT 41

II.3. KERANGKA TEORI 48


(13)

BAB III. METODE PENELITIAN

III.1. Tempat dan Waktu 50

III.2. Subjek Penelitian 50

III.2.1. Populasi Sasaran 50

III.2.2. Populasi Terjangkau 50

III.2.3. Besar Sampel 50

III.2.4. Kriteria Inklusi 51

III.2.5. Kriteria Eksklusi 51

III.3. Batasan Operasional 52

III.4. Instrumen Penelitian 53

III.5. Rancangan penelitian 53

III.6. Pelaksanaan Peneitian 54

III.6.1. Pengambilan Sampel 54

III.6.2. Kerangka Operasional 54

III.6.3 Variabel yang diamati 55

III.7. Analisa Data 55

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. HASIL

IV.1.1. Karakteristik subjek penelitian 56 IV.1.2. Perbedaan skor HB sebelum dan sesudah terapi

metil prednisolon tunggal atau terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

60

IV.1.3. Perbandingan perubahan skor HB antara kelompok terapi metil prednisolon tunggal dengan kelompok terapi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

61

IV.1.4. Hubungan antara usia, mulai terapi dan skor HB awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

63

IV.2. PEMBAHASAN

IV.2.1. Karakteristik subjek penelitian 69 IV.2.2. Perbedaan skor HB antara sebelum dan sesudah

terapi metil prednisolon tunggal atau terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

71

IV.2.3. Perbandingan perbaikan klinis antara kelompok terapi metil prednisolon tunggal dengan kelompok terapi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

73

IV.2.4. Hubungan antara, usia, mulai terapi dan skor HB awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

74

IV.2.5. Keterbatasan penelitian 76 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


(14)

V.2. Saran 80

Daftar Pustaka 81


(15)

DAFTAR SINGKATAN

APCs =

CBG

Antigen Presenting Cells

=

CI

Corticosteroid Binding Globulin

= Confidence Interval

=

cm Centimeter

=

CT Computed Tomography

=

DM Diabetes Mellitus

=

GRE Glucocorticoid Response Element

=

HB House Brackmann

=

HLA Human Leucocyte Antigen

=

Hsp Heat Shock Protein

=

mm Milimeter

=

MRI Magnetic Resonance Imaging

=

NNT Number Needed To Treat

=

PNF Proprioceptive Neuromuscular Facilitation

=

RCT Randomized Controlled Trial

=

RNA Ribonucleic Acid

=

RR Risk Ratio

=

SPSS Statistical Product And Science Service

=

TNF-α Tumor Necrosis Factor- α

=


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan

dihubungkan degan derajat trauma saraf fasialis

20 Tabel 2. House- Brackmann Facial Grading system 30 Tabel 3. Yanagihara facial grading system 31 Tabel 4. Sunnybrook facial grading system 31 Tabel 5. Karakteristik subjek penelitian 59 Tabel 6. Perbedaan skor HB sebelum dan sesudah terapi

metil prednisolon tunggal

60 Tabel 7. Perbedaan skor HB sebelum dan sesudah terapi

kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

61 Tabel 8. Perbandingan rerata ∆ skor HB pada kelompok

terapi metil prednisolon tunggal dan kelompok terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

62

Tabel 9. Hubungan antara usia, mulai terapi dan grade awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi metil prednisolon tunggal

67

Tabel 10. Hubungan antara mulai terapi, usia dan grading awal dengan perubahan skor HB pada kelompok terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Nukleus Saraf Fasialis 12

Gambar 2. Perjalanan Saraf Fasialis 12

Gambar 3. Saraf Fasialis 14

Gambar 4. Saraf intermedius dan koneksinya 15 Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial 16 Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasiai perifer (B) lesi

supranuklear

24 Gambar 7. Struktur kimia dari metil prednisolon 34

Gambar 8. Mekanisme kerja steroid 36

Gambar 9. Efek steroid pada proses inflamasi 38 Gambar 10. Teknik rehabilitasi Kabat 44 Gambar 11. Grafik hubungan usia dengan ∆ skor HB pada hari

1-7 pada kelompok metil prednisolon tunggal

63 Gambar 12. Grafik hubungan usia dengan ∆ skor HB pada hari

14-21 pada kelompok metil prednisolon tunggal

64 Gambar 13. Grafik hubungan mulai terapi dengan ∆ skor HB

pada hari 1-7 pada kelompok metil prednisolon tunggal

65

Gambar 14. Grafik hubungan mulai terapi dengan ∆ skor HB pada hari 14-21 pada kelompok metil prednisolon tunggal

65

Gambar 15. Grafik hubungan mulai terapi dengan ∆ skor HB pada hari 1-7 pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persetujuan Subjek Penelitian

Lampiran 2. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) Lampiran 3. Lembar Pengumpul Data

Lampiran 4. Surat Komite Etik Bidang Kesehatan Lampiran 5. Data Dasar Penelitian


(19)

Abstrak

Latar Belakang: Bell’s palsy salah satu jenis paralisis saraf fasialis perifer unilateral yang paling sering ditemukan. Pengobatan dengan metil prednisolon telah diakui dapat meningkatkan angka kesembuhan penyakit ini. Rehabilitasi kabat adalah salah satu jenis terapi fisik yang baru dikenal dalam pengobatan

Bell’s palsy.

Tujuan: untuk mengetahui efek pengobatan metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy

Metode: penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang melibatkan 20 orang pasien Bell’s palsy, yang terdiri dari 10 orang pasien yang mendapatkan terapi metil prednisolon tunggal dan 10 orang mendapat terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis Taverner melalui pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Semua pasien diberikan metil prednisolon 50 mg sekali sehari selama 5 hari, di tappering off 10 mg/ hari hingga total pengobatan 9 hari. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi mendapatkan terapi rehabilitasi kabat yang dilakukan satu kali sehari selama 14 hari (selain hari jumat dan hari libur). Seluruh pasien dinilai skor HBS pada saat awal, 7, 14 dan 21 hari terapi.

Hasil: Karakteristik demografik tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Pada awal studi, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari skor HBS antara kedua kelompok. Setelah diberikan terapi metil prednisolon tunggal atau kombinasi dengan rehabilitasi kabat, terdapat penurunan yang signifikan dari rerata skor HBS pada masing- masing kelompok (p<0,001) dan perbedaan ∆ skor HBS yang signifikan pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat dibandingkan kelompok metil prednisolon tunggal pada hari 14-21 (p=0,028). Terdapat korelasi yang negatif yang signifikan antara usia dan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=-0,800; p=0,005) dan hari 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), dan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari ke1-7 (r=-0,692; p=0,027) dan hari 14-21 (r=-0,808;p=0,005), namun tidak ada korelasi yang signifikan antara skor HB awal dengan ∆ skor HBS pada kelompok metil prednisolon tunggal. Pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat, hanya ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=0,861;p=0,001), sedangkan antara usia, skor HBS awal dengan ∆ skor HB tidak ditemukan korelasi yang signifikan.

Kesimpulan: Pasien Bell’s palsy yang mendapatkan terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat memperoleh perbaikan klinis yang lebih cepat pada hari 14-21 dibandingkan kelompok terapi metil prednisolon tunggal.


(20)

Abstract

Background: Bell’s palsy is the most common causes of unilateral peripheral facial paralysis. The treatment of methyl prednisolone has approved to increase the recovery rate of Bell’s palsy. Kabat rehabilitation is the one of physical therapy tahat newly introduced in Bell’s palsy treatment.

Purpose: To evaluate the effects of methyl prednisolone alone and combination of methyl prednisolon and kabat rehabilitation in clinical improvement of Bell’s palsy patients.

Methods: This was a quasy experimental study involving 20 Bell’s palsy patients which consisted of 10 patients who received methyl prednisolone alone and 10 patients who received the combination therapy of methyl prednisolone and kabat rehabilitation. Diagnosis was made by diagnosis criteria of Taverner, through the general physical and neurological examination. All patients were given the methyl prednisolon 50 mg once daily in 5 days, and then tappering off 10 mg /day to the total treatment 9 days. The kabat rehabilitation was done once daily for 14 days (except for friday and holiday). All patient’s HBS score were evaluated on first ,7th , 14th and 21st

Results: the demographic characteristics were not significantly different between two groups. At baseline, there were no significant difference in HBS score between two groups. After the administration of methyl prednisolone alone or combination with kabat rehabilitation, there was significantly decreasing of mean HBS score for each groups (p<0,001) and the ∆HBS score significantly difference in combination group than the methyl prednisolone only group in day 14-21. There was significantly negative correlation between age and HBS score on day 1-7 (r=-0,800; p=0,005) and day 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), and initiation of therapy with ∆ HBS score on day 1 -7 0,692; p=0,027) and day 14-21 (r=-0,808;p=0,005). There was no significant correlation between initial HBS score with ∆ HBS score in methyl prednisolone group. In combination of methyl prednisolone and kabat rehabillitation, there was significant negative correlation only between inition of therapy and ∆ HBS score on day 1 -7 (r=0,861;p=0,001),but no significantly correlation between age, initial HBS score and ∆ HBS score.

days.

Conclusion: the patients with Bell’s palsy who received the combination therapy of methyl prednisolone and kabat rehabilitation will get hasten clinical improvement on day 14-21 compared with the methyl prednisolone only group. Keyword: methyl prednisolone, kabat rehabilitation, Bell’s palsy, ∆ HBS score.


(21)

Abstrak

Latar Belakang: Bell’s palsy salah satu jenis paralisis saraf fasialis perifer unilateral yang paling sering ditemukan. Pengobatan dengan metil prednisolon telah diakui dapat meningkatkan angka kesembuhan penyakit ini. Rehabilitasi kabat adalah salah satu jenis terapi fisik yang baru dikenal dalam pengobatan

Bell’s palsy.

Tujuan: untuk mengetahui efek pengobatan metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy

Metode: penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang melibatkan 20 orang pasien Bell’s palsy, yang terdiri dari 10 orang pasien yang mendapatkan terapi metil prednisolon tunggal dan 10 orang mendapat terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis Taverner melalui pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Semua pasien diberikan metil prednisolon 50 mg sekali sehari selama 5 hari, di tappering off 10 mg/ hari hingga total pengobatan 9 hari. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi mendapatkan terapi rehabilitasi kabat yang dilakukan satu kali sehari selama 14 hari (selain hari jumat dan hari libur). Seluruh pasien dinilai skor HBS pada saat awal, 7, 14 dan 21 hari terapi.

Hasil: Karakteristik demografik tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Pada awal studi, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari skor HBS antara kedua kelompok. Setelah diberikan terapi metil prednisolon tunggal atau kombinasi dengan rehabilitasi kabat, terdapat penurunan yang signifikan dari rerata skor HBS pada masing- masing kelompok (p<0,001) dan perbedaan ∆ skor HBS yang signifikan pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat dibandingkan kelompok metil prednisolon tunggal pada hari 14-21 (p=0,028). Terdapat korelasi yang negatif yang signifikan antara usia dan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=-0,800; p=0,005) dan hari 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), dan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari ke1-7 (r=-0,692; p=0,027) dan hari 14-21 (r=-0,808;p=0,005), namun tidak ada korelasi yang signifikan antara skor HB awal dengan ∆ skor HBS pada kelompok metil prednisolon tunggal. Pada kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat, hanya ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara mulai terapi dengan ∆ skor HBS pada hari 1-7 (r=0,861;p=0,001), sedangkan antara usia, skor HBS awal dengan ∆ skor HB tidak ditemukan korelasi yang signifikan.

Kesimpulan: Pasien Bell’s palsy yang mendapatkan terapi kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat memperoleh perbaikan klinis yang lebih cepat pada hari 14-21 dibandingkan kelompok terapi metil prednisolon tunggal.


(22)

Abstract

Background: Bell’s palsy is the most common causes of unilateral peripheral facial paralysis. The treatment of methyl prednisolone has approved to increase the recovery rate of Bell’s palsy. Kabat rehabilitation is the one of physical therapy tahat newly introduced in Bell’s palsy treatment.

Purpose: To evaluate the effects of methyl prednisolone alone and combination of methyl prednisolon and kabat rehabilitation in clinical improvement of Bell’s palsy patients.

Methods: This was a quasy experimental study involving 20 Bell’s palsy patients which consisted of 10 patients who received methyl prednisolone alone and 10 patients who received the combination therapy of methyl prednisolone and kabat rehabilitation. Diagnosis was made by diagnosis criteria of Taverner, through the general physical and neurological examination. All patients were given the methyl prednisolon 50 mg once daily in 5 days, and then tappering off 10 mg /day to the total treatment 9 days. The kabat rehabilitation was done once daily for 14 days (except for friday and holiday). All patient’s HBS score were evaluated on first ,7th , 14th and 21st

Results: the demographic characteristics were not significantly different between two groups. At baseline, there were no significant difference in HBS score between two groups. After the administration of methyl prednisolone alone or combination with kabat rehabilitation, there was significantly decreasing of mean HBS score for each groups (p<0,001) and the ∆HBS score significantly difference in combination group than the methyl prednisolone only group in day 14-21. There was significantly negative correlation between age and HBS score on day 1-7 (r=-0,800; p=0,005) and day 14-21 ( r=-0,800 ;p<0,005), and initiation of therapy with ∆ HBS score on day 1 -7 0,692; p=0,027) and day 14-21 (r=-0,808;p=0,005). There was no significant correlation between initial HBS score with ∆ HBS score in methyl prednisolone group. In combination of methyl prednisolone and kabat rehabillitation, there was significant negative correlation only between inition of therapy and ∆ HBS score on day 1 -7 (r=0,861;p=0,001),but no significantly correlation between age, initial HBS score and ∆ HBS score.

days.

Conclusion: the patients with Bell’s palsy who received the combination therapy of methyl prednisolone and kabat rehabilitation will get hasten clinical improvement on day 14-21 compared with the methyl prednisolone only group. Keyword: methyl prednisolone, kabat rehabilitation, Bell’s palsy, ∆ HBS score.


(23)

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

Bell’s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lockhart dkk, 2010; Lo, 2010).

Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak 75 % dengan penyebab yang tidak diketahui.

ldiopathic facial paralysis adalah sebutan lain dari Bell’s palsy yang digunakan di beberapa literatur (Monini dkk, 2010; Ronthal dkk, 2012). lnsidensi Bell’s palsy berbeda- beda pada setiap negara. Di Roma ltalia, insidensi berkisar 53 setiap 100000 populasi pertahunnya, dan paling sering mengenai kelompok usia 15- 45 tahun (Monini dkk, 2010).

Bell’s palsy memiliki onset akut dalam 1 atau 2 hari. Perjalanan penyakit biasanya progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 1-3 minggu (Kanerva 2008; Ronthal dkk, 2012). Gejala Bell’s palsy yang sering dijumpai termasuk alis mata turun, tidak dapat menutup mata, lipatan nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau hilangnya rasa pada dua pertiga lidah dapat membantu dalam menentukan lokasi lesi, namun tidak memiliki nilai diagnostik dan prognostik sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis (May 2000; Ronthal dkk, 2012). Pasien Bell’s palsy memiliki


(24)

derajat kelumpuhan yang bervariasi, berupa kelumpuhan lengkap (jika otot- otot wajah tidak dapat berkontraksi secara volunter, hiperakusis, atau hilangnya rasa pada lidah) dan tidak lengkap (parsial). Untuk menilai secara klinis keparahan paralisis saraf fasialis, berbagai sistem skoring telah diperkenalkan, yang paling banyak diterapkan dan mudah untuk dilakukan adalah House Brackmann (HB) grading system. Derajat paralisis saraf fasialis dapat juga dinilai dengan Sunnybrook scale, Yanagihara grading system dan berbagai sistem lainnya. Sistem skoring ini juga digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan yang diberikan pada penderita Bell’s palsy (Finsterer 2008; Kanerva 2008;Berg 2009).

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy adalah baik tanpa pengobatan (Holland dkk, 2004; Peitersen 2002). Menurut Peitersen (2002), penyembuhan lengkap diamati 71 % dari seluruh pasien Bell’s palsy. Sekitar 94 % kasus paralisis lengkap dan 61 % kasus paralisis tidak lengkap mencapai fungsi normalnya kembali setelah 6 bulan tanpa pengobatan. Namun, sekitar 30 % pasien memiliki sekuele, seperti

paralisis residual (29%), kontraktur (17%), dan spasme hemifasial atau sinkinesia (16%). Penyembuhan yang tidak lengkap dari saraf fasialis ini

dapat memiliki dampak jangka panjang pada kualitas hidup pasien Bell’s palsy, seperti kesulitan minum, makan, berbicara dan juga masalah psikososial (Peitersen dkk, 2002; Holland dkk, 2004; Monini dkk, 2010; Kwon dkk, 2011). Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki fungsi saraf fasialis, mencegah degenerasi saraf dan komplikasi yang bisa terjadi.


(25)

Beberapa modalitas pengobatan telah dievaluasi selama 3 dekade, dan pengobatan dengan kortikosteroid paling banyak digunakan (Ramsey dkk, 2000).

Terdapat banyak penelitian yang memiliki hasil yang bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peitersen (2002). Dua penelitian

randomized controlled trial (RCT) berskala besar (Sullivan dkk, 2007 dan Engstrom dkk, 2008) yang meneliti tentang efek pemberian prednisolon oral terhadap perbaikan dan kesembuhan saraf fasialis pada sejumlah besar pasien Bell’s palsy. Kedua penelitian ini menyimpulkan bahwa pengobatan yang segera dengan prednisolon oral secara signifikan memperpendek waktu penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy.

Sullivan dkk (2007) melaporkan bahwa kesembuhan lengkap dari fungsi saraf fasialis, yang didefinisikan dengan skor HB 1, dijumpai 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon. Sedangkan pada penelitian Engstrom dkk (2008) mendapatkan proporsi kesembuhan sebesar 72 % pada pasien yang diberi prednisolon dan 57% pasien tanpa prednisolon, setelah dievaluasi dengan Sunnybrook scale.

Penelitian lainnya dari Lagalla dkk (2002) yang bersifat double blind RCT bertujuan untuk menilai efikasi dari pemberian prednison dosis tinggi (1 gr/hari selama 3 hari kemudian 0,5 gr/hari selama 3 hari), yang diberikan dalam waktu 72 jam dari onset paralisis. Penilaian dilakukan terhadap tingkat perbaikan klinis kekuatan otot wajah dengan


(26)

menggunakan HB grading system. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberi terapi prednison memiliki kesembuhan lengkap

sebesar 70% dibanding 39% pada kontrol selama 1 bulan follow up. Setelah 3 bulan, penyembuhan diperoleh sebesar 80 % pada pasien yang

diobati dibanding 69% pasien yang tidak diobati, dan pada 6 bulan sebesar 83% (dengan prednison) dan 75 % (kontrol).

Studi yang bersifat metaanalisis telah dilakukan oleh Quant dkk (2009) dan Ramsey dkk (2000). Quant dkk (2009) melakukan analisa terhadap 6 penelitian RCT yang memiliki jumlah sampel yang besar dengan total pasien 1145 orang, telah mendapatkan hasil proporsi yang tinggi dari pasien Bell’s palsy yang mencapai kesembuhan saraf fasialis setelah diberikan steroid, yaitu sekitar 89,7%. Penelitian dari Ramsey dkk (2000) yang dilakukan pada 3 penelitian prospektif telah menunjukkan bahwa kortikosteroid memberikan perbaikan fungsi secara klinis dan signifikan pada pasien Bell’s palsy yang tidak lengkap. Sedangkan pada pasien dengan derajat paralisis yang lengkap, kortikosteroid memberikan

outcome yang lebih baik dengan memperbaiki insidens kesembuhan lengkap sebesar 17% dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan pengobatan.

Axelsson dkk (2010) meneliti apakah mulai pengobatan dan usia pasien berkaitan dengan outcome pasien BeII's palsy. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pasien yang diobati dengan prednisolon dalam 24 jam dan 48 jam memiliki tingkat perbaikan yang tinggi (66 % dan 76%)


(27)

daripada pasien yang tidak diberi prednisolon (51% dan 58%). Pasien yang berusia 40 tahun keatas memiliki tingkat kesembuhan yang lebih tinggi jika diobati dengan prednisolon, sedangkan pasien yang berusia dibawah 40 tahun tidak berbeda antar kelompok yang diobati dengan yang tidak diobati dengan prednisolon.

Terdapat dua studi lainnya yang bersifat systematic review. Satu studi yang bersumber dari Cochrane Neuromuscular Disease Group Trials, bertujuan untuk menilai efikasi dan efek samping kortikosteroid dalam pengobatan Bell’s palsy. Studi ini melibatkan 8 randomized trial

dengan total 1569 orang pasien. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dalam jumlah pasien dengan penyembuhan yang tidak lengkap pada 6 bulan follow up antara kelompok yang mendapatkan kortikosteroid dan kelompok kontrol (risk ratio (RR)

0,71, confidence interval (CI) 0,61-0,83. Jumlah number needed to treat (NNT) untuk menghindari satu pasien menderita penyembuhan yang tidak lengkap dari saraf fasialis adalah 10 (95% Cl 7-18). Terdapat juga penurunan yang signifikan terhadap jumlah pasien yang mendapat komplikasi sinkinesia antara kelompok kortikosteroid dengan kelompok plasebo (RR 0,60, 95 % Cl 0,44-0,81). Jumlah NNT untuk mencegah satu pasien mendapatkan komplikasi sinkinesia adalah 12 (95% Cl 6-25). Dari studi ini tidak didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan terapi kortikosteroid, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar 2 kelompok (Salinas dkk, 2010). Studi lainnya yang bersumber dari Medline


(28)

dan Cochrane Database of Controlled Clinical Trials telah merekomendasikan pemberian steroid oral pada pasien Bell’s palsy

dengan onset baru. Dikatakan bahwa steroid dapat meningkatkan probabilitas kesembuhan fungsi saraf fasialis dengan perbedaan resiko 12,8-15% atau NNT 6-8 (Gronseth dkk, 2012).

Selain steroid, penatalaksanaan pasien Bell’s palsy dengan rehabilitasi fisik sedang banyak diteliti, namun kegunaan dan manfaatnya masih dalam perdebatan. Van Swearingen (2008) menyebutkan bahwa penggunaan rehabilitasi untuk paralisis fasialis setelah insult hanya memberikan sedikit keuntungan, sehingga ketersediaan rehabilitasi fisik masih terbatas dan banyak pasien dengan gangguan gerakan fasial hanya menunggu untuk terjadinya penyembuhan spontan atau tanpa dilakukan tindakan intervensi sama sekali. Teixeira dkk (2010) dalam

systematic review nya belum dapat menyimpulkan tentang manfaat atau bahaya dari terapi fisik terhadap pasien Bell’s palsy, karena masih kurangnyapenelitian RCT berkualitas tinggi yang meneliti tentang perbaikan fungsi fasialis, terutama pada pasien dengan paralisis sedang dan kasus- kasus kronis.

Studi lainnya telah meneliti bahwa beberapa teknik terapi fisik bermanfaat dalam penyembuhan paralisis fasialis pada pasien Bell’s palsy, seperti terapi manual dan stimulasi elektrik (Manikandan 2007), akupunktur (Qu 2005) dan exercise (Barbara 2010).


(29)

Barbara dkk (2010) melakukan randomized trial terhadap 20 orang pasien Bell’s palsy, yang dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9 orang) diberi terapi medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus) dengan rehabilitasi fisik, sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya diberi rnedikamentosa. Rehabilitasi fisik yang diberikan adalah berdasarkan konsep Kabat atau disebut juga dengan propioceptive neuromuscular facilitation (PNF). Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai tingkat perbaikannya berdasarkan House Brackmann grading system pada hari ke 4,7 dan 15 setelah onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien-pasien pada kelompok pertama yang mendapatkan rehabilitasi fisik secara jelas rnenunjukkan perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian- penelitian terdahulu seperti yang diuraikan diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah terdapat perbedaan efek antara metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy.


(30)

I.3. TUJUAN PENELITIAN I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan efek antara metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy.

I.3.2. Tujuan Khusus

I.3.2.1. Untuk mengetahui perbandingan efek antara metil prednisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy yang berobat ke poliklinik Neurologi RSUP HAM dan RS jejaring.

I.3.2.2. Untuk mengetahui karakteristik demografik, mulai terapi dan skor HB pada pasien Bell’s palsy yang berobat ke poliklinik Neurologi RSUP HAM dan RS jejaring.

I.3.2.3. Untuk mengetahui skor HB sebelum dan sesudah terapi pada masing- masing kelompok (metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dengan rehabilitasi kabat).

I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan usia, mulai terapi dan skor HB awal dengan perbaikan klinis pasien Bell’s palsy pada hari 1-7,7-14 dan 14-21. I.4. HIPOTESIS

Terdapat perbedaan efek antara metil prednisolon tunggal dan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy.


(31)

I.5. MANFAAT PENELITIAN

I.5.1. Manfaat Penelitian Untuk llmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuan tentang pemilihan pengobatan yang paling efektif antara metil prednisolon tunggal atau kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi fisik kabat dalam penatalaksanaan pasien Bell’s palsy.

I.5.2. Manfaat Penelitian Untuk Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya tentang perbedaan efek antara metil prednisolon tunggal atau kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy, sehingga dapat menjadi rujukan dalam pemilihan pengobatan pada pasien Bell’s palsy.

I.5.3. Manfaat Penelitian Untuk Masyarakat

Dengan mengetahui adanya perbedaan efek antara metil prdnisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy, dapat dilakukan penatalaksanaan yang terbaik dalam memperbaiki paralisis wajah pasien

Bell’s palsy, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, mencegah timbulnya gangguan psikososial yang mungkin timbul pada diri pasien dan dapat mengurangi biaya pengobatan.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1. BELL’S PALSY

ll.1.1. Definisi

BeIl’s palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009).

II.1.2. Epidemiologi

Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan


(33)

64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga

positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012) Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap 500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah rnenemukan jumlah pasien Bell’s palsy sebanyak 381 orang, dengan insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.

ll.1.3. Anatomi Saraf Fasialis

Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2) (Monkhouse 2006).

Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).


(34)

Gambar 1. Nukleus dan Saraf Fasialis

Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.

Gambar 2. Perjalanan saraf fasialis

Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.


(35)

Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina (gambar 3) (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).

Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).


(36)

The facial nerve provides motor innervation to all the muscles of facial expression and the three muscle derivatives of the second pharyngeal arch (posterior digastric, stapedius, and stylohyoid). It parasympathetically fires three of the four glands in the head: the submandibular and sublingual salivary glands, and the lacrimal gland (A). Other parasympathetic fibers stimulate mucous secretion in the nose and palate. Taste fibers from the anterior two-thirds of the tongue follow the path of the lingual branch of cranial nerve (CN) V until just before entering the cranium as a distinct chorda tympani nerve (B).

Gambar 3. Saraf fasialis

Dikutip dari: Moore, K.L., A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2nd Edition. Lippincott Williams&Wilkins. Batimore


(37)

Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius (gambar 4) (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).

Gambar 4. Saraf Intermedius dan koneksinya

Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari


(38)

kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Gambar 5) (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).

Gambar 5. Saraf fasialis ekstrakranial

Dikutip dari: Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. Cambridge University Press. New York.

II.1.4. Etiopatogenesis

Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).

Secara klinis, Bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg 2009; Kanerva 2008).


(39)

Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan

Bell’s palsy (Kanerva 2008). Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi limfosit pada pasien Bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bell’s palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya (Berg 2009).

Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva 2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan

Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bell’s palsy. Karena tidak efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya penyebab Bell’s palsy yang lain (Lockhart dkk, 2010).


(40)

Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab

Bell’s palsy, terutama kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance (Garg dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun (Kubik dkk, 2012).

II.1.5. Patofisiologi

Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot wajah. Masing- masing dari serabut saraf tersebut dapat dikenai secara terpisah terhadap derajat trauma yang berbeda (May 2000).

Sunderland telah mendeskripsikan lima derajat trauma yang dapat mengenai satu serabut saraf perifer. Klasifikasi ini menggambarkan kejadian patofisiologi yang dihubungkan dengan setiap jenis gangguan yang mengenai saraf fasialis secara lebih mudah. Tiga derajat pertama dapat terjadi pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Derajat keempat dan kelima dari trauma tersebut dapat terjadi bila terdapat gangguan dari saraf, seperti pada transeksi saraf yang mungkin terjadi selama operasi, sebagai hasil dari fraktur tulang temporal yang berat atau dari suatu pertumbuhan tumor jinak atau ganas yang tumbuh dengan cepat. Pada Bell’s palsy, herpes zoster cephalicus, otitis media dan


(41)

trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10 hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bell’s palsy dan herpes zoster cephalicus. Diawali dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube

telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan prineurium dan epineurium pada pada trauma derajat kelima, penyembuhan tidak akan pernah sebaik pada derajat pertama (tabel 1) (May 2000)

Selama proses regenerasi saraf fasialis, terjadi tiga perubahan mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson- akson yang menginervasi kembali kelompok- kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter (May 2000).


(42)

Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat trauma saraf fasialis Derajat

Trauma Patologi Trauma Neurobiologi Saraf

Onset Klinis

Perbaikan Kesembuhan SpontanHB grading system -

1

Kompresi. Aksoplasma menggembung. Tidak ada perubahan morfologi (neuropraksia)

Tidak ada perubahan morfologi 1-4 minggu Grade 1 : lengkap: tidak dijumpai regenerasi yang salah

2

Kompresi menetap. Tekanan intraneural meningkat. Kehilangan akson tetapi endoneural tube masih intak (aksonometsis)

Akson- akson tumbuh ke dalam tabung myelin kosong yang intak pada kecepatan 1 mm/ hari yang memungkinkan kesembuhan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan derajat 1, lebih sedikit sembuh lengkap karena beberapa serabut mengalami derajat 3

1-2 bulan

Grade II: agak baik: beberapa perbedaan pada gerakan volunter dan gerakan spontan. Sedikit ditemukan regenerasi yang salah

3

Tekanan intraneural meningkat. Kehilangan myelin (neurometsis)

Dengan hilangnya tabung myelin, akson- akson baru memiliki kesempatan untuk bercampur dan membelah menyebabkan terjadinya gerakan mulut sewaktu menutup mata, yang disebut sinkinesia.

2-4 bulan

Grade lll-IV: sedang- buruk: tampak penyembuhan tidak lengkap hingga deformitas yang lemah dengan komplikasi sedang hingga bermakna dari regenerasi yang salah

4

Derajat 3 + gangguan pada perineurium (transeksi parsial)

Selain gangguan yang terjadi pada derajat 2 dan 3, sekarang akson- akson

dihambat oleh skar yang memperburuk regenerasi 4-18 bulan Grade V: gerakan hampir tidak tampak

5

Derajat 4 + kerusakan pada epineurium (transeksi lengkap)

Kerusakan lengkap dengan skar mengisi celah menjadi suatu penghalang yang tidak dapat diatasi hingga pertumbuhan kembali akson- akson dan anastomosis kembali neuromuskular.

Tidak terjadi

kesembuhan Grade VI: tidak ada


(43)

Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000).

ll.1.6. Gambaran Klinis

Bell’s palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008).

Pasien Bell’s palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau


(44)

berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007). Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien BeIl’s palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan pada hampir 50% pasien

Bell’s palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi sebelum onset paralisis (Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).

II.1.7. Diagnosis

Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam mendiagnosis Bell’s palsy (Garg dkk, 2012).

ll.1.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang (Ronthal dkk, 2412; May dkk, 1987).

ll.1.7.2 Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya


(45)

perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurang-kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar 6) (Tiemstra dkk, 2007).

Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini dikarenakan:

• Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi, mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi akson- akson untuk mencapai terminalnya.

• Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda.

• Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat terjadi pada waktu yang berbeda- beda.

• Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008; Ronthal dkk, 2012).


(46)

Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear

Dikutip dari: Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell’s palsy; Diagnosis and Management. American Academy of Family Physicians. 76:997-1002

Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy (May dkk, 1987).


(47)

Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti:

1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.

2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus. 3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan

sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk, 2012 Ronthal dkk, 2012).

ll.1.7.3 Kriteria Diagnosis

II.1.7.3.1 Menurut Taverner (1954 ):

A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajah

B. Onset yang tiba- tiba

C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP) D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine


(48)

II.1.7.3.2 Menurut Ronthal dkk (2012):

A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau sekresi yang berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.

B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif, mencapai kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang dari hari pertama kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang dijumpai dalam 6 bulan.

II.1.8 Diagnosa Banding

Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang identik dengan Bell’s palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang membedakannya dari Bell’s palsy (Tiemstra dkk, 2007). Penyakit- penyakit tersebut adalah:

1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti cholesteatoma, tumor saliva) Pasien dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid (Ronthal dkk, 2012; May dkk, 1987).


(49)

2. Guillain Barre Syndrome (GBS)

Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon negatif pada daerah yang terlibat (May 2000).

3. Lyme disease

Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis yang sering terlibat adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah tertentu, seperti di negara- negara bagian utara dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat (Minnesota dan Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim panas dan bulan- bulan pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini merupakan lokasi geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini juga dikenali dengan baik di Eropa dan Australia (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).

4. Otitis media

Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga dan demam (Tiemstra dkk, 2007).

5. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)

Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan


(50)

faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).

6. Sarcoidosis

Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi jaringan yang terlibat oleh sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).

7. Melkerson Rosenthal Syndrome (MRS)

Melkerson Rosenthal Syndrome merupakan suatu trias dari gejala edema orofasial berulang, paralisis fasialis berulang, dan lingua plicata (fissured tongue). Edema orofasial merupakan gambaran yang selalu dijumpai pada pasien MRS, sedangkan yang lainnya masing- masing terjadi pada setengah pasien. Trias lengkap ini hanya dijumpai pada seperempat kasus. Penyakit ini umumnya dimulai pada dekade kedua, dan manifestasi biasanya terjadi secara berurutan dan jarang terjadi secara bersamaan (May 2000).

II.1.9. Perbaikan Klinis

Pasien BelI's palsy umumnya memilki prognosis yang baik. Prognosis tergantung dari waktu dimulainya perbaikan klinis. Perbaikan klinis yang segera dihubungkan dengan prognosis yang baik dan perbaikan yang lambat memiliki prognosis yang buruk. Jika perbaikan


(51)

klinis dimulai dalam 1 minggu, 88% akan memperoleh kesembuhan sempurna, bila dalam 1-2 minggu 83 % dan dalam 3 minggu, kesembuhan terjadi sekitar 61% (Teixeira dkk, 2012).

Perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dapat dinilai dengan mudah dengan menggunakan facial grading system. Facial grading system

merupakan suatu sistem skor yang digunakan untuk menilai fungsi saraf fasialis. Sistem ini diperlukan dalam menentukan keparahan dari gangguan fungsi wajah, mengikuti progresivitas paralisis fasialis, dan membandingkan hasil pengobatan. Beberapa sistem grading telah diperkenalkan, yaitu House Brackmann (HB) grading system, Sunnybrook scale, dan Yanagihara grading system (Kanerva 2008). Dari ketiga sistem ini yang sering dan telah secara luas digunakan dalam penelitian, terutama di Amerika Serikat dan Eropa adalah HB grading system. House Brackmann grading system telah dipakai sebagai standar oleh American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan telah digunakan.

Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang memberikan evaluasi dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele (tabel 2) (Berg 2009).

Yanagihara grading system, diperkenalkan oleh Yanagihara pada tahun 1976, menilai 10 aspek fungsi secara terpisah pada beberapa otot fasial yang berbeda. Masing- masing fungsi diberi skor 0-4, dengan skor maksimum 40. Skala terdiri dari fungsi normal (4), paralisis ringan (3), paralisis sedang (2), paralisis berat (1), dan paralisis total (0). Sistem


(52)

skoring ini tidak menilai efek-efek sekunder. Yanagihara merupakan sistem yang digunakan secara luas di Jepang untuk mengevaluasi fungsi saraf fasial pada Bell’s palsy, herpes zoster oticus, dan follow up

pembedahan neuroma akustikus (tabel 3) (Berg 2009). Tabel 2. House Brackmann Facial grading system

Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.

Pada tahun 1996, Ross dkk, mengusulkan suatu sistem grading the

Sunnybrook facial grading system. Sistem ini merupakan suatu sistem regional berdasarkan evaluasi dari simetris saat istirahat, derajat simetris


(53)

saat gerakan volunter, dan efek sekunder (sinkinesia) untuk menghasilkan skor gabungan maksimal 100 (tabel 4) (Kanerva 2008).

Tabel 3. Yanagihara facial grading system

Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.

Tabel 4. Sunnybrook facial grading system

Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.


(54)

II.1.10.PENGOBATAN

Karena etiologi Bell’s palsy belum jelas, beberapa pengobatan yang berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bell’s palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema dan kompresi saraf (Axelsson 2013).

II.1.10.1.MEDIKAMENTOSA

Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada pasien Bell’s palsy adalah kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bell’s palsy adalah golongan prednisolon.

II.1.10.1.1. Anti Virus

Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bell’s palsy. Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari. Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini digunakan dengan dosis yang kurang sering, dan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi di serum dan CSF (Marsk, 2012).


(55)

Untuk memperkirakan keuntungan pengobatan dengan anti virus pada Bell’s palsy, suatu studi dari Cochrane telah dilakukan, yang mengikutkan 7 uji dengan totalnya 1987 pasien. Studi ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat manfaat signifikan dari antivirus bila dibandingkan dengan plasebo pada pengobatan Bell’s palsy. Empat studi tidak menemukan perbedaan pada tingkat perbaikan klinis antara pengobatan dengan prednisolon dan kombinasi prednisolon – asiklovir/ valasiklovir. Satu studi membandingkan prednisolon dengan asiklovir dan menemukan manfaat pengobatan pada kelompok prednisolon. Dua studi lainnya melaporkan manfaat untuk kombinasi prednisolon- asiklovir/valasiklovir dibandingkan dengan prednisolon sendiri, namun studi ini tidak blind

(Marsk, 2012).

II.1.10.1.2 Metil Prednisolon

Metil prednisolon merupakan glukokortikoid sintetik turunan dari prednisolon, yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Glukokortikoid sintetik dikembangkan terutama untuk aktivitas anti inflamasi dan imunoseprasannya (Katzung 2003). II.1.10.1.2.1. Farmakokinetik

Steroid secara farmasi disintesis dari cholic acid (yang diperoleh dari sapi) atau steroid sapogenin, terutama diosgenin, dan hecopenin yang ditemukan dalam tumbuhan family Liliaceae dan Dioscoreaceae. Metil prednisolon memiliki nama kimia pregna -1,4-diene-3,20-dione,


(56)

11,17,21-trihydroxy-6-methyl- (6α,11β) dan berat molekul 374,48. Secara struktural digambarkan dalam gambar 7.

Gambar 7. Struktur kimia dari metil prednisolon

Dikutip dari :

Metil prednisolon bersama dengan steroid sintetik lainnya diabsorbsi dengan cepat dan sempurna bila diberikan melalui mulut. Meskipun mereka ditransportasikan dan dimetabolisme dalam pola yang sama dengan steroid endogen, beberapa perbedaan penting tetap dijumpai. Perubahan pada molekul glukokortikoid mempengaruhi aktivitasnya terhadap reseptor glukokortikoid. Seperti aktivitasnya dalam mengikat protein, stabilitas rantai samping, kecepatan ekskresinya, dan produk metaboliknya. Halogenasi pada posisi 9, lepasnya ikatan 1-2 dari cincin A, dan metilasi pada posisi 2 atau 16 memperpanjang waktu paruh lebih dari 50%. Gabungan α1 diekskresikan dalam bentuk bebas. Pada beberapa kasus, obat diberikan adalah prodrug. Contohnya prednison, yang dengan cepat dikonversi menjadi produk aktif prednisolon di dalam tubuh (Katzung 2003).


(57)

II.1.10.1.2.2. Farmakodinamik A. Mekanisme kerja

Kerja steroid sintetik sama dengan steroid alami (kortisol), yang diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein-protein ini merupakan anggota dari superfamily reseptor inti termasuk steroid, sterol (vitamin D), tiroid, retinoic acid, dan banyak reseptor lainnya dengan ligand yang tidak ada atau tidak diketahui (orphan receptor). Reseptor intraselluler ini berikatan dengan protein yang stabil, termasuk dua molekul heat shock protein (Hsp90). Kompleks reseptor ini dapat mengaktifkan transkripsi gen di sel target. Steroid dijumpai didalam darah dalarn bentuk terikat corticosteroid binding globulin (CBG), namun memasuki sel sebagai molekul yang bebas. Steroid kemudian berikatan dengan kompleks reseptor, menyebabkan terjadinya suatu kompleks yang tidak stabil dan Hsp90 dan molekul-molekul yang terikat dilepas. Kompleks steroid- reseptor ini dapat memasuki nukleus, berikatan dengan

glucocorticoid response element (GRE) pada promoter gen. Glucocorticoid response element (GRE) dibentuk dari dua rangkaian yang mengikat

receptor dimer. Kemudian kompleks steroid- reseptor tersebut mengatur transkripsi oleh Ribonucleic acid (RNA) polymerase dan faktor- faktor lainnya yang berhubungan dengan transkripsi. Messenger (m) RNA yang dihasilkan diedit dan dibawa ke sitoplasma untuk produksi protein-protein (gambar 8) (Katzung 2003; Lullman dkk, 2000).


(58)

Gambar 8. Mekanisme kerja steroid

Dikutip dari: Katzung, B.G. 2003. Clinical Pharmaacology. 9th edition. Mc Graw Hill Companies, Inc.

B. Efek anti inflamasi dan imunosupresif

Steroid sintetik terutama dikembangkan sebagai anti inflamasi dan imunosupresif. Steroid mengurangi manifestasi inflamasi melalui pengaruhnya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi dari leukosit perifer dan pengaruhnya supresifnya terhadap sitokin dan chemokin inflamasi dan terhadap lipid lainnya dan mediator glukolipid dari inflamasi. Inflamasi ditandai oleh ekstravasasi, dan infiltrasi lekosit pada jaringan yang terlibat. Kejadian ini diperantarai oleh rangkaian kompleks interaksi antara molekul adhesi lekosit dengan molekul- molekul pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid (Lullman dkk, 2000).

Steroid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan antigen presenting cells (APCs) lainnya. Kemampuan dari sel- sel ini untuk


(59)

merespon antigen dan mitogen dikurangi. Efek pada makrofag terutama bermakna dan membatasi kemampuannya dalam fagositosis dan membunuh mikroorganisme dan untuk menghasilkan tumor nekrosis factor α (TNF-α), interleukin-12, metalloproteinase, dan plasminogen activator. Makrofag dan limfosit manghasilkan interleukin-12 dan interferon yang sedikit, induksi penting dari aktivitas sel T helper 1 dan lmunitas selluler (Lullman dkk, 2000). .

Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, steroid mempengaruhi respon inflamasi dengan mengurangi prostaglandin, leukotriene, dan sintesa dari platelet activating factor yarg merupakan hasil dari pengaktifan phospolipase A2. Akhirnya, steroid mengurangi ekspresi

cyclooxygenase II, pada sel inflamasi, yang kemudian mengurangi jumlah enzim yang tersedia untuk menghasilkan prostaglandin (gambar 9) (Lullman dkk, 2000)

C. Efek Samping dan Kontraindikasi

Pada pemberian jangka pendek, glukokortikoid bebas dari efek samping, bahkan pada dosis yang paling tinggi sekalipun. Pada penggunaan jangka panjang, kemungkinan dapat menyebabkan tanda dan gejala cushing's syndrome (akibat produksi berlebihan dari kortisol). Akibat kerja anti inflamasi, dapat menyebabkan menurunnya resistensi terhadap infeksi, lambatnya penyembuhan luka, memperburuk penyembuhan ulkus peptik. Akibat kerja glukokortikoid terjadi glukoneogenesis, dan pembentukan glukosa yang meningkat, serta


(60)

katabolisme protein, menyebabkan atrofi otot skeletal, osteoporosis, retardasi pertumbuhan pada bayi, atrofi kulit. Akibat kerja mineralokortikoid sehingga dapat terjadi retensi garam dan cairan (hipertensi, edema) dan kehilangan KCI dengan hipokalemia (Lullman H dkk, 2000). Kontraindikasi bila dijumpai tanda- tanda infeksi, kehamilan, ulkus peptikum, dan hipertensi berat (Gomella dkk, 2008; Lagalla dkk, 2002).

Gambar 9. Efek steroid pada proses inflamasi

Dikutip dari: Kumar, V.,Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Professional Edition. 8th ed. Saunders. Elsivier, lnc

D. Prednisolon pada Bell’s palsy

Pengobatan dengan kortikosteroid (kortison, prednison atau prednisolon) pada Bell’s palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun


(61)

1950 dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang salah dari saraf fasialis (Kanerva 2008).

Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam pengobatan BeII’s palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Engstrom dkk (2008) menggunakan dosis prednisolon oral 60 mg/hari selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya, dengan total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah onset Bell’s palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada 1,2,3,6,12 bulan setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis menggunakan dua sistem grading, yaitu House Brackmann (HB) grading system dan Sunnybrook scale. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pasien yang mendapatkan prednisolon memiliki waktu yang lebih pendek untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik (kejadian sinkinesia yang lebih sedikit) dibandingkan pasien yang tidak mendapat prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan dkk (2007) yang menggunakan prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam setelah onset. Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading system.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna sebesar 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon (Marsk 2012).


(62)

Dua penelitian systematic review dari Salinas dkk (2010) dan Gronseth dkk (2012) menyimpulkan terdapatnya efikasi dari pemberian kortikosteroid terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy dan tidak didapatkan efek samping yang berbahaya pada penggunaan terapi kortikosteroid tersebut (Marsk 2012).

II.1.10.2. BEDAH

Bedah dekompresi untuk Bell’s palsy dimulai pada tahun 1930. Pendekatan bedah yang berbeda telah diajukan. Secara teknik sulit untuk mencapai daerah kompresi pada segmen labirin-meatus dan adanya resiko komplikasi seperti bocornya CSF, infeksi, hilangnya pendengaran,

dizziness, dan perdarahan intrakranial. Fisch dan Esslen menekankan pentingnya dekompresi labirin, segmen genikulatum dan timpani dari saraf, dan menyatakan bahwa teknik ini dapat memperbaiki outcome. Sementara May menunjukkan tidak ada perbaikan klinis yang signifikan pada pasien- pasien yang diobati secara bedah yang menggunakan pendekatan transmastoid (Axelsson 2013).

Suatu studi Cochrane dari tahun 2011, yang mengikutkan dua uji dengan 69 pasien, menyimpulkan bahwa data dari randomized controlled trials tidak cukup untuk memutuskan manfaat dari dekompresi bedah. Pengobatan ini tidak disokong di Swedia meskipun teknik ini masih dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Swiss (Axelsson 2013).


(63)

II.1.10.3. REHABILITASI FISIK KABAT A. Prinsip

Rehabilitasi fisik kabat atau nama lainnya proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) adalah suatu pendekatan latihan terapi yang mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan diagonal dengan teknik fasilitasi neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan memperbaiki kontrol dan fungsi neuromuskular. Pendekatan ini telah secara luas digunakan untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan 1950 oleh Kabat, Knott dan Voss (Keisner dkk, 2007).

Teknik PNF dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan dan ketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuskular dan gerakan- gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk pemulihan fungsi otot. Teknik PNF bermanfaat pada keseluruhan rangkaian rehabilitasi dari fase awal penyembuhan jaringan (teknik neuromuskular cocok) hingga ke fase akhir rehabilitasi (gerakan diagonal dengan kecepatan tinggi dapat dilakukan melawan tahanan maksimal). Pendekatan latihan terapi ini menggunakan pola diagonal dan penerapan petunjuk sensorik, khususnya proprioceptif untuk mendapatkan respon motorik yang besar. Pada pendekatan ini telah diketahui bahwa kelompok otot yang lebih kuat dari suatu pola diagonal memfasilitasi kemampuan reaksi dari kelompok otot yang lebih lemah. Teknik dan pola PNF rnerupakan bentuk yang penting dari latihan resistensi untuk


(1)

V. KRITERIA DIAGNOSIS TAVERNER:

A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi

wajah

B. Onset yang tiba- tiba

C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)

D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit

cerebellopontine

angle

(Musani dkk, 2009)

VI. FACIAL GRADING SYSTEM

Grade

Deskripsi

Karakteristik

I

Normal

Fungsi wajah normal pada semua daerah

II

Disfungsi

ringan

Secara

kasat:

Kelemahan ringan pada inspeksi dekat, bisa

dijumpai sinkinesis sangat ringan

Istirahat :

Simetri dan tonus normal

Gerakan: Dahi :

Fungsi sedang- baik

Mata:

Menutup lengkap dengan usaha minimal

Mulut:

Asimetri ringan

III

Disfungsi

sedang

Secara

kasat:

Perbedaan yang jelas antara 2 sisi tapi tidak cacat;

dapat terlihat namun bukan sinkinesis berat,

kontraktur, dan/atau spasme hemifasial

Istirahat:

Simetri dan tonus normal

Gerakan:

Dahi:

Gerakan ringan- sedang

Mata:

Menutup lengkap dengan usaha

Mulut:

Kelemahan ringan dengan usaha

maksimal

IV

Disfungsi

sedang-berat

Secara

kasat:

Kelemahan yang jelas dan/ atau asimetris yang

cacat

Istirahat:

Simetri dan tonus normal

Gerakan:

Dahi:

Tidak ada

Mata:

Menutup tidak lengkap

Mulut:

Asimetris dengan usaha maksimal

V

Disfungsi

berat

Secara

kasat:

Hanya sedikit gerakan yang tampak

Istirahat:

Asimetris

Gerakan:

Dahi:

Tidak ada

Mata:

Menutup tidak lengkap

Mulut:

Gerakan hanya sedikit

VI

Paralisis

total


(2)

VII. REHABILITASI KABAT

Dikutip dari: Al- mohana, A., Al-Ramezi, K., Abdulkareem,L., Al-Jwer,N., Al-Ajmi, M., Mohammed,S. 2007. Physical therapy management for

facial nerve paralysis. Committee of Physical Therapy Protocols. Office of Physical Therapy Affairs. Ministry of Health – Kuwait

A

B

A

B

1

2

3

4

5

6

7


(3)

VIII. LEMBAR PEMANTAUAN

TGL

Sebelum terapi

Sesudah terapi

Hari ke-7

Hari ke-14

Hari ke-21


(4)

(5)

Lampiran 5

DATA DASAR PENELITIAN

A. Kelompok metil prednisolon tunggal

NO MR NAMA JK USIA SUKU PEKERJAAN ASAL RS MULAI SISI SKOR HB

(tahun)

TERAPI

(hari) PARALISIS HARI 1 HARI 7 HARI 14 HARI 21

1 556247 Rosani Siahaan pr 32 Batak Wiraswasta RSHAM 6 kiri 5 5 3 2

2 564397 Paina pr 40 Jawa IRT RSHAM 4 kiri 3 3 2 1

3 560471 M.Yusuf lk 42 Melayu PNS RSHAM 3 kanan 4 3 3 1

4 567729 Nurazmi pr 21 Melayu Pelajar RSHAM 1 kiri 5 4 3 2

5 580897 Erni Sidabutar pr 21 Batak Pelajar RSHAM 3 kanan 4 3 2 1

6 575177 Marliana Barus pr 67 karo IRT RSHAM 6 kanan 5 5 4 3

7 571022 Agyta T pr 18 Batak Pelajar RSHAM 2 kiri 4 3 2 1

8 393863 Iskandar Trg lk 51 Karo PNS RSHAM 7 kanan 4 4 3 2

9 300735 Krisna sari gtg pr 42 Karo Wiraswasta RSHAM 5 kiri 3 3 2 1


(6)

B. Kelompok kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat

NO MR NAMA JK

USIA

SUKU PEKERJAAN ASAL RS

MULAI SISI SKOR HB

(tahun)

TERAPI

(hari) PARALISIS HARI 1 HARI 7 HARI 14 HARI 21

1 574685 Untung Virgo lk 34 Batak Wiraswasta RSHAM 3 kanan 5 5 4 3

2 557391 Mikaida siboro pr 30 Batak Wiraswasta RSHAM 5 kanan 3 3 2 1

3 571658 Masitoh pr 27 Melayu Wiraswasta RSHAM 2 kanan 4 3 2 1

4 577777 Rikamso S lk 26 Batak PNS RSHAM 4 kanan 4 3 3 2

5 199526 Labuhan R lk 59 Batak PNS RS Haji 7 kiri 4 4 3 3

6 202418 Hikmatul hasanah pr 31 Melayu Guru RS Haji 5 kiri 3 3 2 1

7 205778 Hesti Pratiwi pr 23 Jawa Pelajar RS Haji 2 kiri 4 3 2 1

8 206945 Roslaina pr 45 Melayu Guru RS Haji 4 kanan 4 4 3 2

9 198516 Misuno lk 50 Jawa PNS

RS

Kesdam 6 kiri 4 4 3 3

10 298561 Hengkie Yusuf lk 59 Melayu PNS

RS