BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Potensi Financial Distress dengan Metode Altman Z- Score Pada Lembaga Keuangan Bukan Bank yang Terdaftar di BEI 2008 - 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Prediksi

  2.1.1.1 Pengertian Prediksi

  Pengertian Prediksi adalah sama dengan ramalan atau perkiraan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prediksi adalah hasil dari kegiatan memprediksi atau meramal atau memperkirakan. Prediksi bisa berdasarkan metode ilmiah ataupun subjektif belaka. Kesimpulannya pengertian prediksi secara istilah akan sangat tergantung pada konteks atau permasalahannya. Berbeda dengan pengertian prediksi secara bahasa yang berarti ramalan atau perkiraaan yang sudah menjadi pengertian yang baku.

  2.1.1.2 Kendala–kendala Dalam Membuat Prediksi

  Ada beberapa kendala yang membuat prediksi menjadi terhambat, yaitu:

  1. Waktu yang diperlukan untuk melakukan persiapan melakukan peramalan.

  2. Kurangnya data yang relevan, baik dari sumber internal maupun eksternal.

  3. Kualitas data-data yang tersedia.

  4. Fasilitas pengolahan data dan tenaga ahli.

  Jenis kendala yang disebut pertama, kedua dan ketiga akan berpengaruh pada kualitas data, sedang kendala yang disebut terakhir lebih banyak bergantung pada kebijakan pengalokasian dana untuk kepentingan forecasting.

2.1.1.3 Efektivitas Prediksi

  Efektivitas sistem peramalan dalam membantu organisasi dapat dievaluasi berdasarkan empat kriteria berikut:

  1. Accuracy . Ini merupakan aspek terpenting dari forecast, karena perbedaan antara aktual dan forecast berarti biaya.

  2. Stability vs Responsiveness . Artinya forecast harus mampu

  mengkover kompleksitas dan ketidakpastian lingkungan baik yang disebabkan oleh long term growth trend maupun

  seasonal influences .

  3. Objectivity . Kadang-kadang kondisi yang diramalkan tidak

  ada kaitannya dengan data historis yang digunakan dalam forecasting .

  4. . Agar sistem forecasting dapat efektif, maka forecast Timing harus tersedia tepat waktu.

5. Benefit to Cost Ratio . Merupakan rasio yang dapat dijadikan

  sebagai kriteria tunggal bagi perlu tidaknya sistem forecasting dalam perusahaan.

2.1.1.4 Manfaat Prediksi

  Manfaat prediksi adalah : 1.

  Mengetahui kondisi masa mendatang.

  2. Perencanaan produksi, pemasaran, keuangan, dan lain-lain.

  3. Keperluan investasi pada sebuah perusahaan

2.1.1.5 Metode Prediksi 1.

  Analisis Trend Analisis trend terdiri dari Metode tangan bebas (freehand

  method ) , Metode setengah rata-rata (semi average method),

  Metode Moving Average (Rata-rata Bergerak), Metode kuadrat terkecil (least square method), Metode Kuadratis, dan Trend Eksponensial.

  2. Analisis Variasi Musim Variasi musim terkait dengan perubahan atau fluktuasi dalam musim-musim atau bulan tertentu dalam 1 tahun.

  3. Analisis Variasi Siklus Dihitung dengan rumus :

  CI = TCI/T Di mana CI adalah Indeks Siklus.

4. Variasi Yang Tidak Tetap (Irreguler) Yaitu gerakan yang tidak teratur sama sekali.

2.1.2 Financial Distress

2.1.2.1 Pengertian Financial Distress

  Financial distress atau bangkrut adalah suatu masalah besar

  bagi perusahaan, karena dengan timbulnya kebangkrutan perusahaan tidak bisa melanjutkan aktivitas produksinya. Pada zaman dahulu orang-orang mengistilahkan bangkrut itu apabila “besar pasak dari pada tiang”, artinya besar pengeluaran dari pemasukan. Kebangkrutan sangat erat kaitannya dengan kepailitan. Pailit ialah orang yang berhutang yang telah sampai tempo membayarnya dan hutangnya lebih banyak dari hartanya (H M Arsyad Thalib Lubis, 1979: 112).

  Salah satu aspek pentingnya analisis terhadap laporan keuangan dari sebuah perusahaan adalah untuk meramal kontinuitas atau kelangsungan hidup perusahaan. Prediksi akan kontinuitas perusahaan sangat penting bagi manajemen dan pemilik perusahaan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya potensi kebangkrutan, karena kebangkrutan berarti menyangkut terjadinya biaya-biaya, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung. Kebangkrutan biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuiditas perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti (Martin et.al, 1995 : 376) :

  1. Kegagalan ekonomi (economic failure) Kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak menutup biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jatuh di bawah arus kas yang diharapkan. Bahkan kegagalan dapat juga berarti bahwa pendapatan atas biayahistoris dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan.

2. Kegagalan keuangan (financial failure)

  Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk :

1. Insolvensi teknis (tecnical insolvency)

  Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan, tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Walaupun total aktiva melebihi total utang atau terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya seperti rasio aktiva lancar terhadap utang lancar yang telah ditetapkan atau rasio kekayaan bersih terhadap total aktiva yang disyaratkan. Insolvensi teknis juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga pembayaran kembali pokok pada tangga tertentu.

2. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan

  Dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. Likuidasi merupakan suatu proses yang berakhir pada pembubaran perusahaan sebagai suatu perusahaan. Likuidasi lebih menekankan pada aspek status yuridis perusahaan sebagai suatu badan hukum dengan segala hak-hak dan kewajiban. Likuidasi atau pembubaran perusahaan senantiasa berakibat penutupan usaha akan tetapi likuidasi tidak selalu berarti perusahaan bangkrut.

2.1.2.2 Indikator Terjadinya Kebangkrutan

  Sebelum pada akhirnya pada suatu perusahaan dinyatakan bangkrut, biasanya ditandai oleh berbagai situasi atau keadaan khususnya yang berhubungan dengan efektivitas dan efisiensi operasinya. Indikator yang harus diperhatikan para manajer, seperti yang dikemukakan oleh Harnanto (1984) bahwa : 1.

  Penurunan volume penjualan karena adanya perubahan selera atau permintaan konsumen.

  2. Kenaikan biaya produksi.

  3. Tingkat persaingan yang semakin ketat.

  4. Kegagalan melakukan ekspansi.

  5. Ketidakefektifan dalam melaksanakan fungsi pengumpulan piutang.

  6. Kurang adanya dukungan atau fasilitas perbankan (kredit).

  7. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap piutang. Suatu perusahaan yang mengandalkan hutang di dalam menghadapi kegiatan operasi dan kegiatan investasinya akan berada dalam keadaan yang kritis karena apabila suatu saat perusahaan mengalami penurunan hasil operasi, maka perusahaan tersebut akan mendapatkan kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu, indikator yang dapat diamati oleh pihak ekstern antara lain :

  1. Penurunan deviden yang dibagikan kepada para pemegang saham.

  2. Terjadinya penurunan laba yang terus-menerus, bahkan sampai terjadinya kerugian.

  3. Ditutup atau dijualnya satu atau lebih unit usaha 4.

  Terjadinya pemecatan pegawai.

  5. Pengunduran diri eksekutif puncak.

  6. Harga saham yang terus menerus turun di pasar modal.

2.1.2.3 Faktor-Faktor Penyebab Kebangkrutan

  Tidak mudah untuk menentukan secara pasti mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu kebangkrutan pada suatu perusahaan. Sejauh ini terdapat konsesus bahwa sumber kegagalan disebabkan oleh ketidakmampuan manajemen perusahaan. Ketidakmampuan manajemen dapat diartikan dalam berbagai pengertian. Secara garis besar faktor- faktor penyebab terjadinya kebangkrutan dibagi menjadi tiga (Harnanto : 1984), yaitu :

1. Sistem Perekonomian

  Dalam sistem perekonomian dimana roda perekonomian lebih banyak dikendalikan oleh persaingan bebas, maka dunia usaha akan terbagi menjadi dua golongan, yaitu perusahaan tradisional dan perusahaan yang memanfaatkan teknologi. Kemampuan bersaing inilah yang merupakan faktor penyebab kebangkrutan, sehingga efisiensi manajemen sangat berperan dan merupakan alat penangkal yang tangguh terhadap setiap perusahaan pesaing.

  2. Faktor Eksternal Perusahaan Kesulitan dan kegagalan yang mungkin dapat menyebabkan kebangkrutan suatu perusahaan kadang- kadang berada di luar jangkauan manajemen perusahaan. Berbagai faktor tersebut antara lain : a.

  Persaingan bisnis yang ketat.

  b.

  Berkurangnya permintaan terhadap produk atau jasa yang dihasilkan.

  c.

  Turunnya harga jual terus-menerus.

  d.

  Kecelakaan atau bencana alam yang menimpa perusahaan.

  3. Faktor Internal Perusahaan Faktor internal yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan dapat dicegah melalui berbagai tindakan dalam perusahaan itu sendiri. Faktor-faktor internal ini biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijaksanaan yang tidak tepat di masa lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat sesuatu pada saat yang diperlukan. Faktor-faktor yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan secara intern adalah : a.

  Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur atau pelanggan.

  b.

  Manajemen yang tidak efisien.

  c.

  Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan- kecurangan.

2.1.3 Metode Altman Z- score

2.1.3.1 Model Altman Lama (1968)

  Altman (1968) adalah orang yang pertama yang menerapkan Multiple Discriminant Analysis . Analisa diskriminan ini merupakan suatu teknik statistik yang mengidentifikasikan beberapa macam rasio keuangan yang dianggap memiliki nilai paling penting dalam mempengaruhi suatu kejadian, lalu mengembangkannya dalam suatu model dengan maksud untuk memudahkan menarik kesimpulan dari suatu kejadian. Analisa diskriminan ini kemudian menghasilkan suatu dari beberapa pengelompokan yang bersifat apriori atau mendasarkan teori dari kenyataan yang sebenarnya. Dasar pemikiran Altman menggunakan analisa diskriminan bermula dari keterbatasan analisa rasio yaitu metodologinya pada dasarnya bersifat suatu penyimpangan yang artinya setiap rasio diuji secara terpisah sehingga pengaruh kombinasi dari beberapa rasio hanya didasarkan pada pertimbangan para analis keuangan. Oleh karena itu untuk mengatasi kekurangan dari analisa rasio maka perlu kombinasikan berbagai rasio agar menjadi suatu model prediksi yang berarti (Ramadhani dan Lukviarman : 2009). Berdasarkan penelitian analisa diskriminan, Altman melakukan penelitian untuk mengembangkan model baru untuk memprediksikan kebangkrutan perusahaan. Model yang dinamakan Z-score dalam bentuk aslinya adalah model linier dengan rasio keuangan yang diberi bobot untuk memaksimalkan kemampuan model tersebut dalam memprediksi. Model ini pada dasarnya hendak mencari nilai “Z” yaitu nilai yang menunjukkan kondisi perusahaan, apakah dalam keadaan sehat atau tidak dan menunjukkan kinerja perusahaan yang sekaligus merefleksikan prospek perusahaan dimasa mendatang (Ramadhani dan Lukviarman : 2009).

  Dalam menyusun model “Z” Altman mengambil sampel 33 perusahaan manufaktur yang bangkrut pada periode 1960 sampai 1965 dan 33 perusahaan yang tidak bangkrut dengan lini industri dan ukuran yang sama. Dengan menggunakan data laporan keuangan dari 1 sampai 5 tahun sebelum kebangkrutan, Altman menyusun 22 rasio keuangan yang paling memungkinkan dan mengelompokkannya dalam 5 kategori: likuiditas, profitabilitas, leverage, solvabilitas dan kinerja. Lima macam rasio dari lima variabel yang terseleksi akan di kombinasikan bersama untuk memperoleh prediksi yang paling akurat tentang kebangkrutan (Ramadhani dan Lukviarman : 2009). Akhirnya, Altman menghasilkan model kebangkrutan yang pertama. Persamaan kebangkrutan yang ditujukan untuk memprediksi sebuah perusahaan publik manufaktur. Persamaan dari model Altman pertama yaitu : Z = 1,2XI + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 0,999X5

  Keterangan: Z = bankrupcy index X1 = working capital / total asset X2 = retained earnings / total asset X3 = earning before interest and taxes/total asset X4 = market value of equity / book value of total debt X5 = sales / total asset

  Nilai “Z” adalah indeks keseluruhan fungsi multiple

  

discriminant analysis . Menurut Altman, terdapat angka-angka

cut off nilai “Z” yang dapat menjelaskan apakah perusahaan

  akan mengalami kegagalan atau tidak pada masa mendatang dan ia membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu: a.

  Jika nilai Z < 1,8 maka termasuk perusahaan yang bangkrut.

  b.

  Jika nilai 1,8 < Z < 2,99 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). c.

  Jika nilai Z > 2,99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.

  Rasio-rasio yang digunakan dalam model Altman original (1968) adalah sebagai berikut : a.

  Net Working Capital to Total Assets

  Working capital adalah selisih lebih antara aktiva lancar

  atas kewajiban lancar suatu perusahaan, sedangkan asset adalah sumberdaya yang dimiliki perusahaan. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aktiva yang dimilikinya. Rasio ini dihitung dengan membagi modal kerja bersih dengan total aktiva. Modal kerja bersih diperoleh dengan cara aktiva lancar dikurangi dengan kewajiban lancar. Modal kerja bersih yang negatif kemungkinan besar akan menghadapi masalah dalam menutupi kewajiban jangka pendeknya karena tidak tersedianya aktiva lancar yang cukup untuk menutupi kewajiban tersebut.

  Sebaliknya, perusahaan dengan modal kerja bersih yang bernilai positif jarang sekali menghadapi kesulitan dalam melunasi kewajibannya (Endri : 2009).

   Net Working Capital NWC to Total Asset = Total Assets b.

  Retained Earnings to Total Assets Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham. Dengan kata lain, laba ditahan menunjukkan berapa banyak pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam bentuk deviden kepada para pemegang saham. Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva, bukan aktiva per ekuitas pemegang saham. Laba ditahan terjadi karena pemegang saham biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba yang tidak didistribusikan sebagai deviden.

  Dengan demikian, laba ditahan yang dilaporkan dalam neraca bukan merupakan kas dan ”tidak tersedia” untuk pembayaran deviden atau yang lain (Endri : 2009).

   Retained Earnings RE to Total Assets = Total Assets c.

  EBIT to Total Assets Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari aktiva perusahaan, sebelum pembayaran bunga dan pajak (Endri: 2009).

   EBIT EBIT to Total Assets = Total Assets d.

  Market Value of Equity to Book Value of Debt Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibankewajiban dari nilai pasar modal sendiri

  (saham biasa). Nilai pasar ekuitas sendiri diperoleh dengan mengalikan jumlah lembar saham biasa yang beredar dengan harga pasar per lembar saham biasa. Nilai buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancar dengan kewajiban jangka panjang (Endri : 2009).

   MVE MVE to Book Value of Debt = Total Liability e.

  Sales to Total Assets Rasio ini menunjukkan apakah perusahaan menghasilkan volume bisnis yang cukup dibandingkan investasi dalam total aktivanya. Rasio ini mencerminkan efisiensi manajemen dalam menggunakan keseluruhan aktiva perusahaan untuk menghasilkan penjualan dan mendapatkan laba (Endri : 2009).

   Sales Sales to Total Assets = Total Assets

2.1.3.2 Model Altman Z-Score Baru (1995)

  Untuk mengantisipasi kelemahan dari formula asli Altman

  

Z-score , ada beberapa solusi yang ditawarkan. Untuk

  perusahaan non-manufaktur, Altman mengeliminasi variable X5 (sales/total asset) karena rasio ini sangat bervariatif pada industri dengan ukuran asset yang berbeda- beda. Altman juga memodifikasi X4 dari membandingkan Market Value of Equity menjadi Book Value Of Equity. Berikut persamaan Z-Score yang di modifikasi Altman dkk (1995) untuk perusahaan non- manufaktur :

  

“Z” = 6,56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4

 

  Keterangan: “Z” = bankruptcy index X1 = working capital/total assets X2 = retained earnings / total assets X3 = earning before interest and taxes/total assets X4 = book value of equity/total liabilities

  Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-score model Altman Modifikasi yaitu: a.

  Jika nilai ”Z” < 1,1 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b.

  Jika nilai 1,1 < “Z” < 2,6 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan).

  c.

  Jika nilai “Z” > 2,6 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.

  Rasio-rasio yang diguakan adalah : a.

   Net Working Capital to Total Assets

  Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aktiva yang dimilikinya.

  

Net Working Capital

NWC to Total Asset =

Total Assets

b.

   Retained Earnings to Total Assets

  Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva, bukan aktiva per ekuitas pemegang saham. Laba ditahan terjadi karena pemegang saham biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba yang belum didistribusikan sebagai deviden dan tidak berbentuk kas.

  

Net Working Capital

R E to Total Assets =

Total Assets

  c.

   Earning Before Interest and Tax to Total Assets

Earning Before Interest and Tax merupakan pendapatan

  sebelum ditambahkan atau dikurangi oleh bunga dan pajak.

   EBIT EBIT to Total Assets = Total Assets d.

   Book Value of Equity to Total Liabilities

  Rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai dari hutang. Artinya berapa besar beban utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti luas dikatakan bahwa rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan atau dilikuidasi (Endri : 2009).

  

BVE

BVE to Total Liability =

Total Liability

  Sementara untuk perusahaan pribadi, variabelnya tetap X1, X2, X3, X4 dan X5. Namun, koefisien untuk variabel- variabel dan rasio menentukan X4 mengalami modifikasi.

  Berikut persamaan Z-Score yang di modifikasi Altman dkk (1995) untuk perusahaan pribadi :

  Z” = 0.717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,402X4 + 0,998X5

  Keterangan: Z” = bankruptcy index X1 = working capital/total assets X2 = retained earnings / total assets X3 = earning before interest and taxes/total assets X4 = market value of equity/total liabilities X5 = sales/total assets Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-score model Altman Modifikasi yaitu:

  1. Jika nilai “Z” < 1,23 maka termasuk perusahaan yang bangkrut.

  2. Jika nilai 1,23 < “Z” < 2,90 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan).

  3. Jika nilai “Z” > 2,90 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.

2.1.3.3 Metode Alman Z-score untuk Lembaga Keuangan

  Metode Altman yang cocok digunakan untuk memprediksi financial distress pada lembaga keuangan adalah metode Alman yang baru, yaitu metode yang digunakan dalam memprediksi perusahaan non-manufaktur.

  Rumusnya adalah : Z” = 6,56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4

  Keterangan: Z” = bankruptcy index X1 = working capital/total assets X2 = retained earnings / total assets X3 = earning before interest and taxes/total assets X4 = book value of equity/total liabilities

  Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada nilai Z-score model Altman Modifikasi yaitu:

1. Jika nilai “Z” < 1,1 maka termasuk perusahaan yang bangkrut.

  2. Jika nilai 1,1 &lt; “Z” &lt; 2,6 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan).

3. Jika nilai “Z” > 2,6 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.

2.1.4 Lembaga Keuangan Bukan Bank

  Menurut Surat keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No. 792 Tahun 1970 tentang “Lembaga Keuangan” berisikan : Lembaga Keuangan diberi batasan sebagai semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan (Sigit Triandaru at al, 2006: 5). Lembaga Keuangan Bukan Bank menghimpun dana dari masyarakat tidak dengan secara langsung seperti yang dilakukan oleh bank. Berdasarkn Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang “ Perubahan atas Undang-undang No. 7/1992 tentang Perbankan” berisikan : Lembaga Keuangan Bank terdiri atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Lembaga Keuangan Bukan Bank dapat berupa lembaga pembiayaan (perusahaan sewa guna usaha, perusahaan modal ventura, perusahaan jasa anjak piutang, perusahaan pembiayaan konsumen, perusahaan kartu kredit, perusahaan perdagangan surat-surat berharga), usaha persuransian, dana pensiun, pegadaian, pasar modal dan lain-lain (Sigit Triandaru at al, 2006: 6).

  1. Asuransi

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 246,

menjelaskan bahwa asuransi atau pertangungan adalah suatu

perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan

diri kepada seseorang tertanggung dengan menerima suatu

premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilanngan keuntungan

yang diinginkan yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa

tak tertentu (Sigit Triandaru at al, 2006: 177). Perusahaan

asuransi yang terdaftar di BEI sebanyak 11 perusahaan.

  2. Lembaga pembiayaan Pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit

yang dibrikan oleh suatu perusahaan kepada debitor untuk

pembelian barang dan jasa yang langsung akan dikonsumsi

oleh konsumen dan bukan untuk tujuan produksi atau ditribusi (Sigit Triandaru at al, 2006: 203). Lembaga

pembiayaan yang terdaftar di BEI sebanyak 13 perusahaan.

  3. Perusahaan efek

Biasanya perusahaan ini produknya adalah pembelian dan

penjualan surat-surat berharga. Perusahaan efek yang terdaftar di BEI sebanyak 9 perusahaan.

  4. Sektor lainnya Pada perusahaan yang termasuk sektor lainnya terdapat 7 perusahaan di BEI.

2.1.5 Bursa Efek Indonesia (BEI)

  2.1.5.1 Visi

  Menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia.

  2.1.5.2 Misi

  Menciptakan daya saing untuk menarik investor dan emiten, melalui pemberdayaan Anggota Bursa dan Partisipan, penciptaan nilai tambah, efisiensi biaya serta penerapan good governance.

  2.1.5.3 Sejarah

  Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.

  Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan

  II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.

  Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 2.1 Sejarah Perkembangan Bursa Efek Indonesia

  Desember 1912 Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh

  Pemerintah Hindia Belanda Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I

  1914 – 1918 1925 – 1942 Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan

  Bursa Efek di Semarang dan Surabaya

  

1939 Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di

  Semarang dan Surabaya ditutup

  [942 – 1952 Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia

  II

  1956 – 1977 Perdagangan di Bursa Efek vakum Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto.

10 Agustus 1977

  BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal.

  1977 – 1987 Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten

  hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal

  1987 Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES

  87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia

  1988 – 1990 Paket deregulasi dibidang Perbankan dan Pasar Modal

  diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat

  

2 Juni 1988 Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan

  dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer

  Desember 1988 Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES

  88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal

  16 Juni 1989 Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola

  oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya

  13 Juli 1992 Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan

  Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan

  22 Mei 1995

  sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems)

  10 November Pemerintah mengeluarkan Undang –Undang No. 8 Tahun 1995 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai

  diberlakukan mulai Januari 1996

  

1995 Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek

  Surabaya Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading)

  2000

  mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia

  2002 BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh

  (remote trading)

  2007 Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek

  Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI)

  02 Maret 2009 Peluncuran Perdana Sistem Perdagangan Baru PT Bursa

  Efek Indonesia: JATS-NextG Sumber : data diolah dapa G indep

2.2 Ker

2.1 Kerang

  ng hubung

  pada h ada secara

  tained Total garuh

  ar tersebut, pasti apaka ndependen s maka riabel

  4) berpeng

  (X1), Ret nd Tax to

  Pada gamba hui secara p a variabel in i terdahulu antara var

  otal Assets Interest an iability (X4

  an kausal

  ptual

  in mengetah ama) antara uan peneliti berikut:

  apital to To ing Before to Total Li stress (Y). P

  Earn Asse posit

  No.1 hubu

  peneliti ing (bersama-sa alah dan tuj al sebagai b keseluruhan yang diwakili oleh Net Working Capital to Total Assets,

  Working Ca (X2), Earn of Equity inancial dis

  skan tentan

  an bahwa, p ra simultan ( lakang masa ka konseptu

  tal Assets ( Book Value ting bagi fi

  1 menjelas itu : Net W

  Gambar

  kan latar bel kan kerangk

  nseptual

  1 diterangka ungan secar

  ning to Tot ets (X3), B tif dan pent

  Berdasark at disimpulk Gambar 2. penden yai

  rangka Kon

  gka Konsep

  

Retained Earning to Total Assets, Earning Before Interest and Tax to Total

Assets, Book Value of Equity to Total Liability berpengaruh positif dan

penting bagi financial distress. Sedangkan pada No.2 menerangkan bahwa

  peneliti ingin mengetahui secara pasti apakah ada hubungan secara parsial (sendiri-sendri/individu) antara rasio keuangan berikut ini :

  2.2.1 Hubungan Antara Net Working Capital to Total Assets dengan Financial Distress

  Rasio ini bertujuan untuk mengukur besarnya aset liquid apabila dibandingkan dengan keseluruhan aset yang dimiliki.

  Pemikiran ini didasarkan pada pengamatan Altman terhadap

  current ratio dan acid ratio yang kurang baik untuk memprediksi financial distress suatu perusahaan.

  2.2.2 Hubungan Antara Retained Earning to Total Assets dengan Financial Distress

  Rasio ini bertujuan untuk mengukur apakah laba ditahan dalam perusahaan secara kumulatif mampu untuk mengimbangi jumlah aset perusahaan.

  2.2.3 Hubungan Antara Earning Before Interest and Tax to Total Assets dengan Financial Distress

  Rasio ini bertujuan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva perusahaan, sebelum pembayaran bunga dan pajak.

  2.2.4 Hubungan Antara Book Value of Equity to Total Liability dengan Financial Distress

  Rasio ini bertujuan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan berdasarkan nilai bukunya dibiayai dari hutang.

2.3 Hipotesis

  Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu mengenai akurasi prediksi kebangkrutan perusahaan dengan menggunakan berbagai macam metode Altman Z-Score, maka perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  H1 = Net Working Capital to Total Assets berpengaruh positif terhadap financial distress .

  H2 = Retained Earning to Total Assets berpengaruh positif terhadap

  financial distress .

  H3 = Earning Before Interest and Tax to Total Assets berpengaruh positif terhadap financial distress.

  H4 = Book Value of Equity to Total Liability berpengaruh positif terhadap financial distress.

2.4 Penelitian Terdahulu

  Beberapa penelitian terdahulu telah mencoba untuk menguji hasil analisa dari teori Altman Z-Score original (1968). Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Edward I. Altman. Altman menggunakan 33 perusahaan pailit dan 33 perusahaan tidak pailit sebagai sampel estimasi.

  Sebanyak 22 rasio keuangan dipilih sebagai variabel bebas yang diklasifikasikan menjadi lima kategori yaitu : likuiditas, profitabilitas, leverage, solvabilitas, dan aktivitas. Rasio dipilih berdasarkan popularitasnya dalam literature dan potensi relevansinya dengan studi.

  Fungsi diskriminan yang dihasilkan adalah Z = 0,012 X1 + 0,014 X2 + 0,033 X3 + 0,006 X4 + 0,999 X5. Dengan X1 = Modal Kerja / Total Aktiva, X2 = Laba Ditahan / Total Aktiva, X3 = EBIT / Total Aktiva, X4 = Nilai Pasar Saham / Nilai Buku Total Hutang, X5 = Penjualan / Total Aktiva.

  Fungsi diskriminan yang dihasilkan mampu mengklasifikasikan sampel estimasi sebesar 95% dan sampel validasi sebesar 83%.

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

  Nama Varia Metode No. Judul

  Peneliti bel Analisis Hasil

  1 Edward I Corporate

  5 Altman Z- Fungsi diskriminan Altman financial Rasio Score yang dihasilkan Z (1968) keuan Revisi = 0,012 X1 + 0,014

  distress and bankcruptcy gan (1968) X2 + 0,033 X3 +

  dengan 0,006 X4 + 0,999

  discriminant X5, fungsi analysis diskriminan yang dihasilkan mampu mengklasifikasikan sampel estimasi sebesar 95% dan sampel validasi sebesar 83%.

  2 Putri Nanda Siregar (2011)

  Z-score terhadap

  Z-score terhadap

  Tidak ada pengaruh

  score

  Metode Altman Z-

  4 rasio kuan gan

  Prediksi kebangkrutan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI

  Tarigan (2011)

  5 Yosafat M.

  Ada hubungan signifikan antara variabel-variabel Altman Z-score

  score

  Metode Altman Z-

  Harga saham perbankan di BEI 4 rasio kuan gan

  Analisis pengaruh kebangkrutan bank dengan metode Altman

  Penilaian tingkat kebangkrutan perusahaan dengan metode Altman Z-score pede perusahaan konsruksi bangunan yang terdaftar di BEI 2007-2009.

  4 Fauziah Kumala Sari (2011)

  2 perusahaan bangkrup pada tahun 2005, 2 pada 2007, 2 pada 2008.

  discriminant analysis

  Model Pendekatan Altman dengan

  23 rasio keuan gan

  peda perusahaan farmasi yang terdaftar di BEI

  score Altman

  Prediksi kebangkrutan perusahaan berdasarkan analisa model Z-

  3 Tommy D Saragih (2011)

  score Perusahaan konstruksi bangunan berpotansi mengalami kebangkrutan.

  Metode Altman Z-

  5 rasio keuan gan

  harga saham dan pengaruhnya terhadap harga saham

  6 Harry J.K.P.

  Diprediksi Safe

  5 rasio keuan gan

  Metode Altman Z-

  score

  Kingfisher Airlines Ltd. Deprediksi Grey

  Zones , Jet Airways

  Ltd. Diprediksi

  Distress Zones , Spice Zet Ltd.

  Zones

  9 Bhusan

  10 Dagmar

  CAMSK A (2012) Predicting corporate financial distress

  5 rasio keuan

  Metode Altman

  Z- score

  141 perusahaan safe

  zones

  Pardhesi (2012) A study of financial solvency of Indian Airlines Companies with reference to Z- score.

  Tiadak ada pengaruh yang signifikan antara Rasio CAMEL dengan kebangkrutan

  Sibarani (2008)

  7 Chintya

  Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Berdasarkan Analisa Model Z-

  score Altman

  Pada Perusahaan Makanan dan Minnuman Yang Terdaftar di BEI.

  5 rasio kuan gan

  Metode Altman Z-

  score

  Tidak ada perbedaan nyata dari yang diprediksi dengan yang diamati dan perusahaan makanan dan minuman berpotensi bangkrup pada tahun 2007

  Zulfi Arhanu Sari (2010)

  Metode CAMEL

  Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Berdasarkan Analisa CAMEL Pada Bank BNI Tbk Yang Terdaftar di BEI.

  5 rasio kuan gan

  Metode CAMEL

  Bank BNI Tbk dinilai sehat tahun 2007, 2008 dan 2009

  8 Tika

  Lestari (2009)

  Prediksi Kebangkrutan Perusahaan Berdasarkan Analisa CAMEL Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI.

  5 rasio kuan gan

  , 143 perusahaan grey, 44

  in the case of the gan perusahaan distress European Funds

  11 S. Evaluating

  5 Metode Cipla diprediksi too

  

Christina financial health rasio Altman Z- health , Dr. Reddy’s

Sheela of keuan score Laboratories pharmaceutical gan diprediksi too health,

  Ranbaxy

  industry in India

through Z-score Laboratories

model diprediksi health

  Sumber : data diolah

Dokumen yang terkait

Analisis Potensi Financial Distress dengan Metode Altman Z- Score Pada Lembaga Keuangan Bukan Bank yang Terdaftar di BEI 2008 - 2012

5 75 130

Analisis Diskriminan dalam Memprediksi Financial Distress dengan Menggunakan Metode Altman

3 66 106

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Analisis Laporan Keuangan - Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Financial Distress Pada Perusahaan Garmen Dan Tekstil Yang Terdaftar Di Bei Dengan Menggunakan Metode Altman’s Z-Score

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Bank - Analisis Manfaat Rasio Keuangan dalam Memprediksi Financial Distress Pada Perbankan (2007-2012)

0 1 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan 2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan - Analisis Pengaruh Rasio Arus Kas terhadap Prediksi Kondisi Financial Distress pada Perusahaan Sektor Industri Dasar dan Kimia yang Terdaftar di Burs

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Financial Distress - Prediksi Rasio Keuangan Terhadap Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEI Periode 2010-2013

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Keuangan - Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Return Saham Pada Perusahaan yang Terdaftar di Index LQ-45

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Rasio Keuangan Bank terhadap Tingkat Penyaluran Kredit Bank Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian laporan Keuangan - Analisis Rasio Keuangan dengan Metode Altman Z-Score Untuk Mengukur Kebangkrutan Perusahaan Farmasi Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 1 31

Analisis Potensi Financial Distress dengan Metode Altman Z- Score Pada Lembaga Keuangan Bukan Bank yang Terdaftar di BEI 2008 - 2012

0 2 33