TEORI MADZHAB FRANKFURT MAKALAH DAN

TEORI MADZHAB FRANKFURT
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Budaya Populer

disusun oleh:
Fadrian Fadhillah Fauzi
1401124356

Kelas MUG3B2
Prodi: Desain Komunikasi Visual

SEKOLAH TINGGI SENI RUPA DAN DESAIN INDONESIA
TELKOM
BANDUNG
2014
1

KATA PENGANTAR
Dengan di susun dan diselesaikan nya makalah ini, saya mengucapkan banyak
terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah s.w.t. Saya juga berterimakasih
kepada dosen mata kuliah Budaya Populer yaitu Bapak Riksa yang telah memberi arahan dan

memberi pelajaran tentang madhzab Frankfurt ini.
Makalah Ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Teori
Madhzab Frankfurt, yang di sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber..
Saya sangat sadar Makalah ini jauh dari kata sempurna. Saya berharap Makalah yang
sederhana ini dapat bermanfaat bagi saya secara pribadi dan para pembaca pada umumnya.
Saran, masukan, dan kritikan yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan
pembuatan Makalah berikutnya. Dengan demikian saya mengucapakan terima kasih dan
mohon maaf bila ada kekurangan penulisan dan penjelasan yang ada dalam Makalah ini.

DAFTAR ISI
2

A. BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah …………………………………………………
II. Rumusan Masalah……………………………………………...............
III. Tujuan ………………..........................................................................
IV. Manfaat …………………………………………….

4
4

4
4

B. BAB II ISI PEMBAHASAN....................................................................... 5
C. BAB III KESIMPULAN...............................................................................13
D. DAFTAR PUSTAKA....................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN

3

I. Latar Belakang
Dengan perkembangan era yang begitu maju yang saat ini sedang terjadi di Indonesia
maupun di luar Negeri .Banyak sekali yang merubah suatu pola tindakan,karakter,dan
kebiasaanya yang sudah mulai dicemari ,seperti zaman yang saat ini yang begitu tidak
bersahabat dengan kita.
Untuk mehami suatu pemikiran yang sebelumnya seperti filsafat dan pendapatpendapat yang memungkinkan untuk di pelajari dan di mengerti.Banyak suatu pemikiran
yang memiliki banyak arti dan filosofih dari beberapa pendapat yang harus benar-benar untuk
di kritisi dan dipcahkannya suatu permasalahan dalam pemikiran pendapat yang berbeda.

II. Rumusan Masalah
a. Apa teori Madhzab Frankfurt itu ?
b. Ada berapa macam tipe tesis yang mencirikan “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt?
c. . Apa saja pokok-pokok Pikiran Mazhab Frankfurt?
III. Tujuan
-mengetahui Teori Madhzab Frankfurt.
-mengetahui macam macam tipe tesis yang mencirikan Mazhab Frankfurt.
-mengetahui kritik yang dilontarkan kepada Budaya Masyarakat Modern
IV. Manfaat
- memberikan informasi kepada mahasiswa/dosen Teori Madhzab Frankfurt dan
masyarakat pada umumnya terhadap perkembangan pola berpikir pada zaman dahulu dan
zaman sekarang.

BAB II
ISI
A. Pendahuluan
4

Mazhab Frankfurt, sebagaimana dikenal dari namanya, adalah suatu gerakan
pemikiran filosofis yang dikembangkan di Universitas Frankfurt mulai tahun 1930an. Bila

yang “dilibatkan” dalam Mazhab Frankfurt adalah Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan
Habermas, maka gerakan tersebut identik dengan gerakan Teori Kritis. Namun ada pula ahli
yang memahami mazhab tersebut lebih dari keempat tokoh tersebut, dan memasukkan
Wellmer ke dalamnya (Geuss, 1989: 1). Menyebut Mazhab Frankfurt, sesungguhnya
menyebut riwayat “tradisi intelektual” yang panjang. Horkheimer, Adorno, dan Marcuse
adalah perintis gerakan pemikiran ini, yang kemudian sering pula disebut sebagai Generasi
Pertama. Murid yang pernah ditolak oleh Horkheimer, Habermas, tidak dapat dilepaskan dari
tradisi Mazhab Frankfurt. Ia disebut termasuk sebagai Generasi Kedua Madzab Frankfurt,
sedangkan pada Institute for Social Research di bawah kepemimpinan Axel Honneth telah
muncul Generasi Ketiga Mazhab Frankfurt.
Tradisi intelektual ini disebut sebagai “mazhab” lantaran beberapa tokoh yang
terlibat di dalamnya disatukan oleh suatu proyek teoretis (Honneth, 1987: 347). Melalui
“buku paling gelap” Dialectic of Enlightenment, Horkheimer dan Adorno mengkonsepsikan
proses penghancuran diri Pencerahan (Habermas, 1992: 106).
Seluruh proses peradaban manusia ditentukan oleh suatu logika reifikasi gradual yang
dirangkai dalam gerak oleh tindakan pertama penguasaan terhadap alam dan memuncak pada
munculnya Fascisme (Honneth, 1987: 360).
Lantaran awalan yang demikian, banyak yang menilai bahwa proyek teoretis yang dibangun
oleh Mazhab Frankfurt adalah “proyek teoretis yang muram” karena menyoroti ekses dan sisi
gelap perkembangan masyarakat modern. Pertanyaan yang kemudian mengemuka: Apakah

sedemikian “gelap” pembacaan mazhab ini atas masa depan masyarakat modern? Apakah
mungkin, dalam kerangka “kritik ideologi”, analisis mereka diterima sebagai upaya rasionaletis untuk memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi modernitas yang gambaran “muram”nya semakin kelihatan nyata pada masyarakat kita sekarang ini?
II.Pembahasan
1. Kritik Ideologi & Mazhab Frankfurt
Terdapat tiga tesis yang mencirikan “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt, yakni:
(1) Teori kritis memiliki titik pijak khusus sebagai pengarah tindakan manusia yang bertujuan
untuk mencerahkan agen agar dapat menetapkan kepentingan mereka yang sesunggunya dan
dengan demikian secara inheren bersifat emansipatoris, karena hendak membebaskan
kesadaran manusia dari rasa frustasi.
(2) Teori Kritis memiliki muatan kognitif, dalam arti, teori kritis merupakan bentuk-bentuk
pengetahuan.
(3) Teori Kritis secara epistemologis berbeda secara esensial dengan teori-teori yang
dikembangkan dalam ilmu alamiah, karena teori ilmu alamiah “mengobjektivasi”, sedangkan
teori kritis bersifat “refektif”. Teori Kritis dengan demikian merupakan suatu teori refleksif
yang memberikan pada agen suatu jenis pengetahuan yang secara inheren mencerahkan dan
emansipatoris (Geuss, 1989: 1-2).
Anggota-anggota Mazhab Frankfurt berpegang pada tiga tesis tentang Ideologiekritik, yakni:
(1) Bahwa kritik radikal atas masyarakat dan kritik atas ideologi yang dominan merupakan
dua hal yang tak terpisahkan, dan dengan demikian kritik ideologi meski menjadi bagian
integral dari riset sosial dari suatu teori kritis atas masyarakat.

5

(2) Kritik ideologi tidak hanya merupakan sebentuk “kritisisme moral” yang tidak dapat
dikritisi, namun merupakan suatu kiprah kognitif, suatu bentuk pengetahuan dan oleh
karenanya dapat dikritisi.
(3) Kritik ideologi (dan mestinya semua teori sosial yang menjadi bagiannya) memiliki
struktur kognitif yang secara signifikan berbeda dari ilmu-ilmu alamiah (natural sciences),
sehingga kritik ideologi perlu melakukan perubahan atas pandangan epistemologis yang
diwarisi dari empirisme tradisional sebagaimana modelnya ditemukan dalam kajian-kajian
ilmu kealaman (Geuss, 1989: 26).
Kritik menjadi kritik ideologi bilamana kritik tersebut berusaha menunjukkan bahwa validitas
suatu teori telah secara tidak memadai dicabut dari konteks tempat munculnya teori tersebut,
dan bahwa di balik teori tersembunyi suatu campuran antara kekuasaan dan validitas yang
tidak dapat diterima. Kritik ideologi hendak menunjukkan bagaimana konteks makna dan
konteks realitas terbentuk dan bagaimana pula relasi internal dan relasi eksternal ini
dijumbuhkan lantaran pengkaitannya dengan kekuasaan (Habermas, 1992: 116).
Secara garis besar, bentuk kritik ideologi dapat dibedakan dalam tiga wujud: sebagai kritik
atas dimensi epistemis dari ideologi, sebagai kritik atas dimensi fungsional ideologi, dan
sebagai kritik atas sifat genetis ideologi sebagai bentuk kesadaran. Sebagai kritik dalam
dimensi epistemis ideologi, yang digugat oleh Mazhab Frankfurt adalah “positivisme” di

balik bangunan “empirisme logis” yang membangun ilmu alamiah. Oleh Positivisme
dinyatakan bahwa pernyataan yang tidak memuat kandungan kognitif tidak dapat dinyatakan
salah atau benar, dan dengan demikian nir-arti (meaningless). Rasionalitas positivisme
kemudian dibangun atas dasar pada pernyataan-pernyataan deskriptif tentang fakta, dan
dengan demikian menyingkirkan jenis pernyataan normatif dan metafisis dari kategori
“rasionalitas” (Geuss, 1989: 26-28).
Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan:
Adakah semesta realitas dan pengalaman manusia yang dapat dijadikan pegangan
pengambilan keputusan “rasional” hanyalah yang “kognitif” saja? Tidakkah pernyataanpernyataan preskriptif memiliki “rasionalitas”-nya sendiri? Jika tidak, bagaimana kemudian
dapat ditentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk? Bagaimana pula dengan pernyataanpernyataan yang “non kognitif” tentang, misalnya, “keagungan ciptaan Tuhan”? Sungguhkan
dalam penalaran logika empiris yang ketat tidak dapat disimpulkan bahwa “alam semesta
diciptakan oleh Tuhan”? Yang konsistem dengan “jalan” empirisme logis memang akan
sampai, setidaknya, pada academic atheism sebagaimana Bertrand Russell. Sebuah pendirian
yang tidak mudah, karena bagi mereka sungguh-sungguh tidak ada satu pernyataan metafisis
pun yang dapat dipercaya. Sekalipun Mazhab Frankfurt tidak sampai pada “perumusan
positif” atas “epistemologi alternatif”, usaha mereka menunjukkan kelemahan dan
keterbatasan “ideologi-epistemis” di balik positivisme jelas telah menyingkap kesadaran baru
tentang adanya pluralitas rasionalitas. Kedua, kritik dalam kaitan dengan fungsi ideologi
dalam membentuk kesadaran. Dalam konteks fungsional ini, ideologi sebagai suatu
“gambaran dunia” memiliki kecenderungan untuk melegitimasi atau memapankan dominasi

(Geuss, 1989: 31).
Baik dalam konteks ideologi sebagai “gambaran dunia yang salah” (yang akan sangat
tergantung pada konteks sosio-kultural) maupun terkait dengan fungsinya yang merepresi
kesadaran (agar tetap menerima “gambaran dunia yang salah” tersebut), sejarah peradaban
manusia menunjukkan bahwa serangkaian norma dan pengetahuan tertentu secara ideologis
memang digunakan oleh yang dominan untuk melegitimasi diri mereka (baik sebagai Tuhan,
dewa, raja, dukun, dosen, dlsb). Terdapat hubungan “dialektis” antara “legitimasi kognitif6

normatif” ideologi dengan “fungsi represi” atau “fungsi pemapanan” ideologis. Pada satu sisi
legitimasi yang dominan bergantung pada kepercayaan (kognitif-normatif) terhadap
“ideologi”, pada sisi lain melalui “ideologi” sengaja dibangun struktur kesadaran yang
melanggengkan dominasi. Ketiga, kritik dalam konteks genesis bentuk kesadaran. Pertanyaan
yang mengemuka: dapatkah suatu bentuk kesadaran dapat “salah” terkait dengan asal usul,
sejarah, atau genesis kesadaran tersebut? (Geuss, 1989: 36) Contoh yang lazim mengambil
dari perspektif “jangkar sosial” sebagaimana ditawarkan oleh Marx, bahwa kesadaran (palsu)
dibentuk oleh struktur sosial, atau bentuk kesadaran yang terbangun mewakili realitas sosial
dari kelas sosial (Geuss, 1989: 37).
Namun dari perspektif semacam ini muncul persoalan epistemis yang bila tidak diselesaikan
dengan baik akan membawa pada relativisme epistemis. Model kritik genetis ini juga dapat
ditemukan pada analisis ideologi yang didasarkan pada paradigma psikologis Freudian, yang

sekalipun terbukti salah, tidak cukup bukti, atau memiliki bukti yang lemah, suatu ideologi
tetap dipegang oleh orang karena memenuhi harapan (Geuss, 1989: 40).
Adapun model lain dari kritik ideologi yang genetis juga ditemukan pada kritik Nietzche
terhadap Kekristenan (Geuss, 1989: 44).
Pertanyaan yang kemudian muncul: dari perspektif genetis ini, apakah setiap ideologi
kemudian meski “ditinggalkan” bilamana ditemukan bahwa pada dasarnya delutif atau ilutif?
Bila “norma” ini dipegang, ujung jalan yang ditemukan akan “sama” dengan sikap
Positivisme yang menolak semua pernyataan metafisis, walau jelas mereka berangkat dari
titik yang berbeda. Mungkin pijakan kritik genetis atas ideologi cukup dipakai sebagai “sikap
metodis” agar kita tidak secara buta berpegang pada ideologi tertentu dan tetap memelihara
sikap pikir terbuka, mengingat bisa jadi pijakan genetis ideologi adalah suatu “sumur tanpa
dasar”. Berpijak pada pengenalan model-model kritik ideologi ini (yang tentu sudah dikenali
melalui SKI sebelumnya), berikut diulas secara singkat pokok-pokok pikiran Mazhab
Frankfurt. Tokoh tidak dibahas satu per satu secara khusus, namun diupayakan terpapar
gambaran menyeluruh dari kritik ideologi yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt.
Sumber pokok diambil dari “orang dalam”, yakni Axel Honneth yang kiranya “paling
mewakili” semangat dan pemahaman filsafat tentang Mazhab Frankfurt.
II.2. Pokok-pokok Pikiran Mazhab Frankfurt
Arah metodologis Teori Kritis yang dikembangkan oleh mazhab tersebut berbeda dengan
pendekatan lain karena hendak menerobos pembatasan ilmu-ilmu khusus. Tujuan utama

Teori Kritis adalah penggunaan secara sistematis semua disiplin ilmu sosial dalam rangka
membangun sebuah teori materialis tentang masyarakat. Teori Kritis sebagaimana awalnya
dirintis oleh Horkheimer bermaksud hendak membuka ruang bagi kemungkinan
dihasilkannya penggabungan akademik antara ilmu sosial dan teori Marxis. Oleh karenanya,
ketika Horkheimer menjadi direktur menggantikan Grünberg, ia menerima berbagai usulan
agar lembaga yang dipimpinnya meski memberi sarana dan memfasilitasi realisasi program
suatu teori masyarakat yang interdisipliner (Honneth, 1987: 348-349).
Kecenderungan teori sosial sebelumnya memang selalu memisahkan penelitian empiris
dengan pemikiran filosofis. Pemisahan yang sebelumnya telah memicu Hegel untuk
mengatasinya melalui Idealismenya. Hasrat yang dibangun oleh Idealisme abad ke 19 melalui
filsafat sejarah adalah sebuah kajian filsafat sejarah yang mampu mengikat secara bersama
penelitian empiris dan refleksi filosofis. Harapan ini justru membawa hasil yang sebaliknya.
Di abad ke 20 pengetahuan empiris mengenai realitas oleh Positivisme direduksi hanya
sebagai kajian tentang fakta semata, dan dipisahkan dari refleksi filosofis manapun. Pada sisi
lain, metafisika melalui filsafat Max Scheler dan Nicolai Hartman, merefleksikan rasio
7

sebagai spekulasi tentang esensi yang independen terlepas dari rujukan realitas historis dan
empiris. Horkheimer hendak menyerap kembali semangat filsafat sejarah abad ke 19, dan
menetapkan bahwa dasar dari teori kritis tentang masyarakat pertama-tama meski berangkat

dari pengandaian yang mengatasi keretakan intelektual antara penelitian empiris dan filsafat.
Secara epistemologis, artikel-artikel Horkheimer dan Marcuse diarahkan sebagai sebuah
kritik sistematis atas positivisme, secara metodologis artikel-artikel tersebut ditujukan pada
sebuah konsep tentang penelitian interdisipliner (Honneth, 1987: 350).
Epistemologi materialis pada Marx awal merupakan pijakan penting dari kritik Institute for
Social Research atas positivisme. Horkheimer mengadopsi pendekatan ini dari Lukacs, dan
pada sisi lain Marcuse menerimanya dari Heidegger. Namun keduanya berangkat dari
pemahaman bahwa ilmu-ilmu empiris melalui metodologinya ditentukan oleh tuntutan
adanya pembagian kerja dalam masyarakat, yang sebagaimana hakikat fisik berjangkar pada
keadaan alamiah, demikian pula aktivitas kerja telah diarahkan terlebih dulu pada aras prailmiah (Honneth, 1987: 350-351).
Namun demikian, dengan mengklaim status “alamiah” ini, Positivisme telah memutuskan
hubungan pengetahuan ilmiah dari jangkar sosial kesadaran, dan juga dari tujuan-tujuan
praktis pengetahuan itu sendiri. Atas dasar kesalahan perspektif Positivistis yang demikian,
Horkheimer dan Marcuse menyatakan bahwa “Teori Kritis” meski dipahami sebagai sebuah
teori yang secara tetap sadar akan konteks sosial yang memunculkan teori itu sendiri di
samping memperhatikan konteks praktis dari penerapan teori itu. Dengan perspektif yang
demikian, maka Teori Kritis dapat menentukan posisi dan perannya sendiri dalam proses
sejarah, dan dengan demikian tidak berlaku lagi pemilahan antara filsafat dan ilmu. Sekalipun
telah merumuskan orientasi metodologis Teori Kritis, pada tahun tigapuluhan, Horkheimer
dan Marcuse masih berpegang pada asumsi bahwa proses perkembangan kekuatan-kekuatan
produksi merupakan pusat mekanisme kemajuan sosial. Melalui asumsi ini mereka hendak
menggantikan praanggapan idealis Hegel tentang proses sejarah dengan premis-premis
materialis (Honneth, 1987: 351-352).
Dalam perspektif metodologis yang demikian, suatu teori kritis tentang masyarakat meski
menggunakan semua spektrum disiplin ilmu sosial dalam rangka membangun kemampuan
untuk mengapropiasi konflik yang berkembang antara kekuatan-kekuatan produksi dengan
relasi-relasi produksi. Orientasi pengembangan kajian sosial yang demikianlah yang
kemudian menjadi penentu program riset Institute for Social Research pada era tahun
tigapuluhan. Horkheimer muda melihat bahwa proses semakin membesarnya integrasi kelas
pekerja masuk ke dalam sistem kapitalisme lanjut sebagai kecenderungan yang paling
menonjol pada masanya (Honneth, 1987: 352).
Hasrat untuk membangun kajian sosial yang integratif nampak dalam upaya Horkheimer
untuk mengkontruksi analisis sosial interdisipliner dengan menempatkan ekonomi politik
sebagai pusat yang mengantarai filsafat sejarah dan ilmu-ilmu khusus dengan maksud mampu
merangkum, yang dari sudut pandang empiris dapat menangkap gambaran yang
sesungguhnya atas proses-proses produksi, dan yang dari sisi perspektif filsafat sejarah dapat
menangkap tahap-tahap realisasi rasio. Horkheimer menilai bahwa tugas yang demikian tidak
dapat dipenuhi oleh psikologi Freud, dan oleh karenanya perlu disiplin yang ketiga yang
meski dibangun antara ekonomi politik dan psikologi, karena secara sosial pengaruh
perubahan tidak langsung mengenai jiwa individu, namun lebih berimbas secara kultural.
Horkheimer membayangkan suatu teori kebudayaan yang mengkaji syarat-syarat kultural
bagi sosialisasi individual dalam masyarakat kapitalis lanjut. Berpijak pada ramuan dari tiga
8

disiplin tersebut, Horkheimer menetapkan bahwa tugas utama teori kritis adalah
menggabungkan analisis ekonomis kapitalisme fase post-liberal, kajian psikologi sosial
tentang integrasi sosial individu, dan analisis teoritis kultural tentang cara berjalannya budaya
massa. Sekalipun secara teoritis Institute for Social Research hendak menggabungkan analisis
politik ekonomi, psikologi, dan budaya, pada kenyataannya Horkheimer dan sejawatnya
mampu membangun suatu kesatuan teoritis hanya dengan menggunakan kembali
fungsionalisme Marxis (Honneth, 1987: 353).
Berdasar analisis ekonomis atas Sosialisme Nasional dan Komunisme Soviet, Horkheimer
sampai pada kesimpulan bahwa suatu bentuk ekonomi yang terencana dari kapitalisme telah
terbentuk dalam melalui media pengarah pasar telah digantikan oleh kekuasaan birokratis.
Manajemen kapitalis yang dipegang oleh konglomerat digantikan oleh elit kekuasaan politis
dengan dukungan integrasi sosial yang dibangun melalui dominasi administratif yang
terpusat. Mengapa individu tanpa perlawanan tunduk pada sistem dominasi yang terpusat
secara administratif? Oleh Fromm melalui analisis psikologi sosial ditemukan bahwa
perkembangan tatanan negara kapitalis memerlukan suatu perubahan struktural dalam
keluarga inti masyarakat sipil, bersamaan dengan perubahan basis ekonomis yang tidak lagi
hanya bertumpu pada otoritas patriakal. Dalam pandangan Horkheimer, kecenderungan
tersebut bila dilihat dari analisis kultural sejalan dengan citra yang sengaja dibuat oleh
kapitalisme dalam rangka integrasi sosial (Honneth, 1987: 353-355).
Jika Horkheimer tidak terjebak pada fungsionalisme Marxian, ia sesungguhnya dapat melihat
bahwa subjek sosialisasi bukanlah subjek yang pasif dan anonim, melainkan subjek yang
secara aktif berpartisipasi melalui pemahamannya sendiri atas proses-proses sosial yang
terjadi (Honneth, 1987: 355). Dengan demikian, gambaran keseluruhan integrasi sosial bagi
Horkheimer adalah sebuah kehidupan sosial yang melemahkan dirinya sendiri dalam suatu
lingkaran tertutup dominasi yang terpusat, dengan kontrol kultural dan individu yang tunduk.
Jika gambaran masyarakat yang demikian dialamatkan pada Fasisme dan Stalinisme mungkin
mendapatkan pembenaran historisnya. Namun apabila ditilik dari sudut pandang sistematis,
gambaran masyarakat yang demikian dengan sendirinya menunjukkan kontruksi teoritis yang
salah. Kerangka teoritis Horkheimer secara sistematis menyingkirkan keyakinan moral dan
orientasi normatif dari tindakan sosial. Program metodologis Horkheimer hanya dirancang
untuk memberi tempat pada proses-proses sosial yang mengasumsikan proses produksi dan
perluasan kerja sosial. Kecenderungan reduksionisme fungsionalis ini sesungguhnya berakar
pada premis-premis filsafat sejarah yang dipegang oleh Horkheimer, Marcuse dan Adorno
(Honneth, 1987: 356).
Terdapat dua premis teoretis yang menentukan kerangka konseptual filsafat sejarah dalam
karya-karya Horkheimer, Marcuse, dan Adorno. Pertama, ketiganya berasumsi bahwa rasio
manusia atau rasionalitas meski dipahami sebagai kemampuan intelektual untuk penyelesaian
instrumental atas objek-objek alamiah. Kedua, ketiganya sepakat bahwa perkembangan
historis yang mengatasi segala hal merupakan sebuah proses pengembangan potensi
rasionalitas yang pada hakikatnya dirancang sebagai penanganan instrumental manusia atas
objek-objek alamiah. Dengan demikian, gaya fungsionalis dari program penelitian
Horkheimer pada dasarnya merupakan konsekuensi metodologis dari reduksionisme yang
berjangkar pada filsafat sejarah (Honneth, 1987: 357).
Senyatanya, penelitian sosial interdisipliner sebagaimana digagaskan pada tahun tigapuluhan,
hanya dapat bertahan hingga tahun awal empatpuluhan. Nuansa pesimistis semakin kuat
dalam kajian-kajian Horkheimer, bahkan didominasi oleh paparan-paparan tentang potensi9

potensi merusak rasio manusia. Yang terjadi dengan Adorno pun senada. Filsafat Adorno
yang memuat skeptisisme terhadap kemajuan dan tempat yang terhormat bagi muatan estetis
pengalaman, tidak lepas dari kerangka filsafat kesadaran yang telah dibangun oleh
Horkheimer. Kondisi yang terbentuk akibat totalitarianisme Fasisme tidak lagi dilihat dengan
kerangka Marxian, yakni sebagai konflik antara kekuatan-kekuatan produksi dan relasi
produksi, namun dipahami sebagai dinamika internal pembentukan kesadaran manusia.
Horkheimer melihat bahwa telah terjadi proses reifikasi pemikiran yang muncul bersamaan
dengan proses penguasaan alam oleh manusia.
Horkheimer dan Adorno menggunakan konsep “rasio instrumental” untuk menggambarkan
proses reifikasi esadaran tersebut (Honneth, 1987: 358-359).
Arah perkembangan orientasi metodologis yang cenderung menyoroti sisi negatif dari seluruh
proses kebudayaan dan melihat seluruh peradaban manusia ditentukan oleh logika reifikasi
gradual yang terangkai dengan tindakan penguasaan manusia atas alam, memberi corak
negatif dan pesimistis pemikiran Teori Kritis tahun empat puluhan. Bahkan Horkheimer dan
Adorno menyatakan bahwa setiap langkah ke arah penguasaan alam merupakan langkah
menuju alineasi diri spesies manusia. Ketidakmampuan Horkheimer dan Adorno melihat
dimensi kemajuan peradaban yang nampak bukan pada bertambahnya kekuatan-kekuatan
produksi, tetapi pada meluasnya kebebasan hukum dan tindakan sosial, telah “membalikkan”
maksud Teori Kritis sebagai kajian interdisipliner yang melibatkan berbagai disiplin ilmu
sosial menjadi kajian khusus pada wilayah filsafat saja (Honneth, 1987: 360-361).
Dengan upayanya masing-masing, pada pemikiran Franz Neuman, Otto Kirchheimer, Walter
Benjamin, dan Erich Fromm, yang juga disebut sebagai “outer circle”, sesungguhnya muncul
usaha untuk tetap membangun kajian interdisipliner (Honneth, 1987: 362-370), namun
kajian-kajian mereka tidak pernah dapat menghapus nada muram Teori Kritis sebagaimana
telah dikembangkan oleh Horkheimer dan Adorno. Setelah Perang Dunia II “lingkaran luar”
(Neuman, Kircheimer, Benjamin, dan Fromm) putus hubungan dengan “lingkaran dalam”
(Horkeimer, Adorno, dan Marcuse), karena migrasi ke Amerika. Ketika Institute for the
Social Research dibuka kembali di Frankfurt tahun 1950, riset-riset yang dikembangkan tidak
satu orientasi metodologis lagi dengan corak filsafat sosial yang dikembangkan oleh
Horkheimer dan yang lain pada tahun 30-an dan 40-an. Setelah usai masa peperangan,
orientasi untuk mengembangkan studi yang menggabungkan studi empiris dengan refleksi
filosofis tidak ada lagi (Honneth, 1987: 370).
Kajian-kajian yang dikembangkan oleh Horkheimer, Adorno, dan Marcuse lebih pada kritik
kebudayaan dengan menjadikan kapitalisme negara sebagai kerangka umum analisis
kapitalisme paska perang. Kehidupan sosial kemudian lebih dilihat sebagai suatu sistem
pengekangan yang terintegrasi, yang bersifat tetap dan tak terbantahkan. Walaupun demikian
ketiganya tetap mengembangkan corak teori kritik masyarakat masing-masing. Horkheimer,
melalui pesimisme yang dijabarkannya dari Schopenhauer, sampai pada suatu bentuk teologi
negatif. Adorno mengembangkan suatu kritik diri tentang pemikiran konseptual dengan
berpijak dari analisis atas karya-karya seni. Hanya Marcuse yang memberikan reaksi atas
pesimisme yang muncul pada saat itu dengan berupaya menyelamatkan gagasan tentang
revolusi yang dinilainya telah hilang, dengan cara mendorong peran rasio masuk ke dalam
penjelasan paradigmatik kebutuhan-kebutuhan manusia yang libidinal. Terlepas dari
perbedaan tujuan masing-masing, latar filsafat sejarah secara umum tetap ditemukan dalam
ketiganya. Suatu filsafat sejarah yang dipahami sebagai sebuah proses rasionalisasi teknis
yang semakin mendekati bentuk akhirnya dalam sistem dominasi tertutup masyarakat dewasa
ini (Honneth, 1987: 371).
10

Kita dapat saja memang menunjukkan kelemahan argumentasi ketiganya dengan secara
inversi memakai balik model-model kritik ideologi untuk “mengupas” ideologi Mazhab
Frankfurt, namun pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan para pemikir tersebut bisa
jadi justru lepas dari cakrawala kesadaran kita. Dan dengan demikian semangat emansipatoris
yang hendak dibangun melalui kritik ideologi juga akan runtuh.

11

II.3. Kritik Atas Budaya Masyarakat Modern
Potret terhadap rasionalitas masyarakat modern coba untuk disoroti oleh Adorno dan
Horkheimer, berdasarkan praktik teknokratisme dan stalinis. Menurut mereka ilmu dan
teknologi ternyata sama berubah menjadi mitos baru. Lewat karya bersama Dialektik der
Aukflarung, mereka mengatakan bahwa masyarakat modern telah membuat struktur
masyarakat baru yang yang saling mendominasi, serta berpikir positivistik yang menjadi
ideologi dan mitos baru.
Lebih radikal lagi menurut Adorno dan Horkheimer, rasio kritis (modernitas) ternyata tak
kurang dari mitos baru dalam bentuk yang lebih halus, lebih luhur, dan lebih dapat diterima
oleh orang modern. Istilah Dialektika Pencerahan ini merujuk pada kondisi terjalinnya atau
kait-mengaitnya antara mitos dan rasio. Istilah ini merupakan pendirian yang mencolok dari
Mazhab Frankfurt bahwa teori kritis yang dilandasi rasio kritis itu sendiri berubah menjadi
mitos atau ideologi dalam bentuk baru. Emansipasi masyarakat (memerangi proses
mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokratis), yang
menjadi keprihatinan mereka, dilukiskan sebagai gerakan sia-sia dalam mitos demi mitos
yang tak kunjung habis.
Kritik serupa dilontarkan Marcuse dalam One-Dimensional Man. Dalam karya ini, situasi
masyarakat industri maju dilukiskan sebagai masyarakat berdimensi tunggal. Dengan
hilangnya dimensi kedua, negasi atau perlawanan terhadap sistem masyarakat hanya
mengadaptasi dominasi total teknokratisme. Kalau emansipasi pada gilirannya berubah
menjadi dominasi baru. Dengan kata lain, sebuah kritik rasional menjadi mustahil.
Akibatnya, dalam masyarakat dewasa ini juga tertutuplah ruang untuk kritik rasional itu,
sebab dominasi telah total.
Jurgen Habermas yang kemudian tampil sebagai pembaharu teori kritis tidak sekedar menilai
para pendahulunya memiliki kelemahan-kelemahan epistemologis yang mengantar mereka ke
jalan buntu itu, melainkan juga memberi sebuah pemecahan mendasar yang sangat subur
untuk meneruskan “proyek” teori kritis ala Frankfurt tersebut. Ide teori kritis belum berakhir.
Habermas menyuburkannya kembali dalam paradigma baru.

12

BAB III
KESIMPULAN
Sekalipun Mazhab Frankfurt sering dinilai memiliki pandangan yang timpang lantaran
cenderung hanya melontarkan “kritik kebudayaan, tanpa tawaran “strategi kebudayaan”,
pilihan sebagai “anjing yang menggonggong” tetap merupakan pilihan yang positif di tengah
kencangnya laju “lokomotif perubahan” yang menurut Giddens tidak satu pun mampu
mengendalikan arah dan kecepatannya. Dasar iman dari Kritik Ideologi adalah selalu
membuka diri dan mempertanyakan kembali asumsi-asumsi yang mendasari pemahaman kita
tentang diri dan semesta realitas. Dengan iman yang demikian, kita setidaknya lebih sadar
diri terhadap arah perubahan jaman, sekalipun kita tahu bahwa kita tidak bakal dapat
menghentikan laju dan arah lokomotif modernitas yang akan membawa anak cucu kita pada
kutukan “kejar daku, kau kutangkap , yakni hasrat menguasai segalanya, namun berakhir
dengan dikuasai oleh segalanya. Sekalipun beberapa pembacaannya atas arah perubahan
jaman benar, Horkheimer-Adorno-Marcuse (di alam sono) tentu tetap prihatin jurang yang
menganga yang menunggu masyarakat modern tetapi kritik Kritik Madzhab Frankfurt telah
memberikan sumbangsih yang tak kalah pentingnya dengan pemikiran–pemikiran
kontemporer lainnya. Dimulai dari Kritik Ideologi dan Mazhab Frankfurt sampai dengan
Mengkritik masyarakat masyarakat modern pada jaman nya.
Akan tetapi walaupun demikian mereka tetap berpedoman kepada alur pemikiran filosofis
idealisme Jermani, yang dimulai dari pemikiran kritisi ideal Immanuel Kant sampai pada
puncak pemikiran kritis historis dialektisnya Hegel. Imbas dari kolaborasi tersebut
melahirkan teori kritis yang mengedepankan pencerahan yang menyadarkan orang terhadap
proses penindasan dan ekploitasi manusia dalam tatanan sosial

13

DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik, penerapan dan implikasinya (Asli: “Critical
Social Theories”, penerjemah: Nurhadi), Kreasi Wacana, Yogyakarta
Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi; Menyingkap Pertautan Antara Pengetahuan dan
Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kanisius.

14