Karakteristik Neuropati Pada Diabetes Melitus Tipe 2 Di Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2..1 Diabetes Melitus Tipe 2 2..1.1 Defenisi Diabetes melitus tipe 2 dikenal dengan NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus ) dan merupakan 90% dari kasus diabaetes melitus. Pada diabetes mellitus tipe

  2 terjadi penurunan kemampuan kerja insulin di jaringan perifer dan disfungsi sel beta sehingga pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk kompensasi (Sack, 2001 dalam Putra, 2012 ; WHO, 1999). Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. Kondisi ini umumnya terjadi pada usia >40 tahun (Sacks, 2001 dalam Putra, 2012).

2.1.2 Etiologi

  Insulin diperlukan untuk memindahkan glukosa ke dalam sel yang kemudian diubah menjadi energi. Tubuh penderita Diabetes tipe 2 tidak dapat merespon insulin dengan baik (resistensi innsulin). Seseorang dengan kelebihan berat badan cenderung mengalami resistensi insulin karena lemak mengganggu kemampuan tubuh untuk menggunakan insulin (Foster, 1998).

  Masih menurut Foster, pada resistensi insulin glukosa darah tidak bisa masuk ke dalam sel-sel otot untuk disimpan menjadi energi. Karena tidak bisa memasuki sel, maka glukosa di peredaran darah menjadi tinggi yang dikenal dengan hiperglikemia. Tingginya kadar glukosa darah sering memicu pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak tetapi pankreas tidak mampu menyanggupinya.

  Diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi secara bertahap. Sebahagian besar penderita mengalami kelebihan berat badan. Namun, diabetes tipe 2 juga bisa berkembang pada orang-orang yang kurus, terutama orang tua. Riwayat keluarga dan genetik berperan besar dalam diabetes tipe 2. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta berat badan yang berlebihan juga dapat memici terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Foster, 1998).

  2.1.3 Faktor Risiko Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya diabetes mellitus tipe 2 adalah riwayat keluarga dengan diabetes melitus, obesitas (berat badan ≥ 20 % dari berat badan ideal atau IMT ≥ 25 kg/m2), aktivitas fisik yang kurang, gangguan toleransi glukosa atau gangguan glukosa darah puasa sebelumnya, hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg), dislipidemia (HDL- kolesterol ≤ 35 mg/dL dan atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL). Di samping itu, juga perlu diperhatikan riwayat diabetes melitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir > 9 pound dan mempunyai riwayat penyakit vaskular.

  2.1.4 Gejala Klinis Menurut Perkeni, gejala diabetes melitus dapat dibagi menjadi gejala khas dan gejala tidak khas. Gejala khas terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita).

  2.1.5 Patogenesis Pada diabetes mellitus tipe 2 terdapat dua masalah utama, yaitu berhubungan dengan insulin (resistensi insulin) dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Akibat berikatannya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian, insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe 2 (Brownlee, 2005).

2.1.6 Diagnosis

  Dalam menegakkan diagnosis diabetes mellitus, patokan yang dijadikan acuan tentu saja adalah pemeriksaan glukosa darah. Dalam hal ini dikenal adanya istilah pemeriksaan penyaring dan uji diagnostik diabetes mellitus.

  1. Pemeriksaan Penyaring Menurut Purnamasari (2009), pemeriksaan penyaring ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok yang tidak menunjukkan gejala diabetes melitus tetapi memiliki risiko. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada semua individ u dewasa dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: a. Aktivitas Fisik Kurang

  b. Riwayat keluarga menderita diabetes melitus pada turunan pertama

  c. Masuk kelompok etnis risiko tinggi (African American, Latino, Native

  American , Asian American, Pacific Islander)

  d. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat ≥ 4000 gram atau riwayat diabetes melitus gestasional.

  e. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat antihipertensi.

  f. Kolestrol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl

  g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium h. Riwayat Toleransi Glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) i. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantois nigrikans) j. Riwayat penyakit kardiovaskular Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan memeriksa kadar Gula Darah Sewaktu (GDS) atau Gula Darah Puasa (GDP). Selanjutnya dapat dilanjutkan dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Dari pemeriksaan GDS, dapat dikatakan diabetes melitus jika terdapat kadar GDS ≥ 200 mg/dl dari sampel plasma vena ataupun darah kapiler. Pada pemeriksaan GDP, dikatakan diabetes melitus jika diperoleh kadar GDP ≥ 126 mg/dl dari sampel plasma vena atau ≥ 110 mg/dl dari sampel darah kapiler (Purnamasari, 2009).

2. Uji Diagnostik

  Uji diagnostik dikerjakan pada kelompok yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes mellitus. Bagi yang mengalami gejala khas diabetes mellitus, kadar GDS ≥ 200 mg/dl atau GDP ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Sedangkan pada pasien yang tidak memperlihatkan gejala khas diabetes mellitus, apabila ditemukan kadar GDS atau GDP yang abnormal maka harus dilakukan pemeriksaan ulang GDS/GDP atau bila perlu dikonfirmasi pula dengan TTGO untuk mendapatkan sekali lagi angka abnormal yang merupakan kriteria diagnosis diabetes mellitus (GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau TTGO ≥ 200 mg/dl). (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2005).

  Gambar 1. Langkah- langkah diagnosis diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu.

  Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

  2.1.7 Penatalaksanaan Pendekatan pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan fungsi sel ß pankreas. Hal yang mendasar dalam pengelolaan diabetes melitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup, yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur.

  Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan (American Diabetes Association, 2008).

  a. Edukasi Berupa pendidikan dan latihan tentang pengetahuan pengelolaan penyakit diabetes mellitus bagi pasien dan keluarganya. b. Diet Bertujuan untuk mempertahankan kadar normal glukosa darah dan lipid, nutrisi yang optimal, serta mencapai/mempertahankan berat badan ideal.

  Adapun komposisi makanan yang dianjurkan bagi pasien adalah sebagai berikut: karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%, dan protein 10-15%.

  c. Latihan Jasmani Berupa kegiatan jasmani sehari-hari (berjalan kaki ke pasar, berkebun, dan lain-lain) dan latihan jasmani teratur (3-4x/minggu selama ± 30 menit).

  d. Intervensi Farmakologis Diberikan jika target kadar glukosa darah belum bisa dicapai dengan perencanaan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral/ OHO (insulin sensitizing, insulin secretagogue, penghambat alfa glukosidase) dan Insulin. Intervensi farmakologis dengan insulin dapat diberikan pada kondisi penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat,stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, AMI, stroke), diabetes melitus gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan makanan, dan gangguan fungsi ginjal/hati yang berat (Gustaviani, 2006).

2.2 Neuropati Diabetik

  2.2.1 Defenisi Neuropati diabetik adalah gejala dan atau tanda disfungsi saraf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus (setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya). (American Diabetic Association, 2005; Boulton,2004; Syahrir, 2006).

  2.2.2 Epidemiologi

  Data epidemiologi menunjukkan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien dewasa dengan diabetes melitus tipe 2 mengalami distal peripheral neuropathy. Distal

  peripheral neuropathy telah dihubungkan dengan berbgai faktor risiko, seperti

  derajat hiperglikemi, indeks lipid, tekanan darah, lama, dan beratnya menderita diabetes melitus. Durasi diabetes melitus juga akan meningkat sesuai umur dan durasi diabetes. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa tidak terkontrolnya kadar gula akan mengakibatkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati, seperti borok kaki dan amputasi. Kenaikan kadar HbA1c 2% mempunyai resiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu empat tahun. (Sjahrir, 2006)

  2.2.3 Klasifikasi

  Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease pada jurnal Diabetic Neuropathies: The Nerve Damage of Diabetes (2009), neuropati diabetik dapat diklasifikasi menjadi proksimal, autonomik, perifer, dan fokal.

  1. Neuropati Perifer Neuropati perifer (disebut juga neuropati distal simetris atau neuropati sensorimotor) merupakan bentuk paling umum dari neuropati diabetik.

  Neuropati perifer dapat menyebabkan nyeri dan kehilangan sensasi pada jari kaki, tungkai kaki, kaki, lengan, dan tangan.

  Gambar 2. Lokasi Terjadinya Peripheral Neuropathy. Sumber: NIDDK (2009)

  2. Neuropati Autonom Neuropati autonom memengaruhi persarafan jantung, regulasi tekanan darah, dan kadar glukosa darah. Selain itu, neuropati autonom juga memengaruhi pencernaan, kandung kemih, respon seksual, mata, dan kelenjar keringat.

  Gambar 3. Lokasi terjadinya Autonomic Neuropathy. Sumber: NIDDK (2009)

  3. Neuropati Proksimal Neuropati proksimal menyebabkan nyeri pada paha, pangkal paha, bokong, dan menyebabkan kelemahan pada kaki.

  4. Neuropati Fokal Neuropati fokal muncul secara tiba- tiba dan memengaruhi saraf yang spesifik, terutama pada kepala, badan, dan kaki.

  Tabel 1. Klasifikasi Neuropati Diabetik. Sumber: NIDDK (2009) Perifer Autonom Proksimal Fokal

  Jempol Kaki Jantung Paha Mata Kaki Pembuluh Darah Pinggul Otot Wajah Tungkai Kaki Sistem Pencernaan Pantat Telinga Tangan Saluran Kemih Tungkai Pelvis Lengan Organ Seksual Punggung Bawah

  Kelenjar Keringat Dada Mata Perut Paha Paru Tungkai

  Kaki

2.2.4 Manifestasi Klinis

  Menurut Vinik (2000) dalam Setyoko (2003), pada umumnya gejala klinis neuropati diabetik tergantung jenis serabut saraf yang terkena.

  1. Sistem Sensorik Sistem sensorik lebih sering mengenai segmen distal anggota gerak dan lebih sering pada tungkai daripada lengan. Disfungsi saraf sensorik dapat menimbulkan simtom positif, simtom negatif, atau kombinasi keduanya.

  Kelainan sensorik simtom positif adalah parestesis, rasa seperti terbakar, nyeri seperti ditusuk, dan gatal. Sedangkan kelainan sensorik simtom negatif adalah mati rasa, rasa tebal (hipestesi), seperti mengenakan kaos kaki, seperti berjalan tanpa menginjak tanah. Simtom positif biasanya memburuk pada malam hari (Asbury, 1995 dalam Setyoko, 2003).

  Sebagian besar polineuropati mengalami gangguan modalitas sensorik (raba, tekan, nyeri, suhu, getar, dan posisi sendi), meskipun terkadang satu atau dua modalitas terganggu lebih berat daripada yang lain.

  Pada pemeriksaan sensorik yang mengenai serabut saraf besar sering didapati gangguan menilai sentuhan ringan dengan pola distribusi “kaus kaki”, berkurang atau hilangnya sensasi getar pada kaki, sedangkan sensasi suhu masih baik. Pada kasus berat dapat ditemukan gangguan proprioseptif.

  Jika mengenai serabut saraf kecil, tanda yang menonjol adalah gangguan sensasi nyeri kulit, nyeri dalam, serta sensasi suhu pada kaki. Hampir selalu didapatkan penurunan atau hilangnya refleks tendon, terutama patella dan achilles (Dejgaard, 1998 dalam Setyoko, 2003).

2. Sistem Motorik

  Keluhan sistem motorik terjadi karena kelemahan otot yang berfungsi sebagai alat gerak aktif di bagian tubuh tertentu. Kelemahan tersebut disebabkan keterlibatan serabut saraf motorik pada neuropati diabetik.

  Distribusi kelemahan atau paralisis otot pada neuropati diabetik bersifat khas. Biasanya otot kaki dan tungkai bawah yang pertama kali terkena dan terlihat lebih berat, sedangkan kelemahan pada otot-otot tangan dan lengan bawah lebih ringan dan lebih akhir terkena (Adam, 1993 dalam setyoko, 2003).

  Pendekatan praktis untuk pemeriksaan motorik pada neuropati diabetik adalah dengan penilaian skor secara klinis. Kekuatan otot dinilai dengan gradasi 0-5 (Asbury, 1995 dalam Setyoko, 2003).

  1. Tidak ada kontraksi otot

  2. Pergerakan aktif dengan gaya berat terbatas

  3. Pergerakan aktif melawan gaya berat

  4. Pergerakan aktif dengan melawan gaya berat dan tahanan ringan

  5. Pergerakan aktif dengan melawan tahanan kuat dan tahanan ringan

  3. Sistem saraf otonom Terlibatnya serabut saraf otonom pada neuropati diabetik menimbulkan berbagai keluhan. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis dapat terkena sehingga keluhan yang disampaikan sangat bervariasi. Keluhan yang berkaitan dengan susunan saraf otonom meliputi sistem kardiovaskular, gastrointestinal, sudomotor, seksual, pupil, dan sebagainya (Adam, 1993 dalam Setyoko, 2003)

2.2.5 Patogenesis

  Komplikasi kronik diabetes melitus dipengaruhi oleh beberapa mekanisme. Pertama perubahan akut metabolisme sel. Biasanya reversibel ketika kadar gula darah turun kembali. Kedua karena akumulasi makromolekul yang bertahan lama dan menetap meskipun menjadi euglikemi. Hiperglikemi terbukti berperan pada terjadinya dan progresivitas komplikasi mikrovaskular: retina, glomeruli, jaringan saraf.

  Menurut Darmono (1999) dalam Setyoko (2003), patofisiologi mikroangiopati diabetik pada dasarnya meliputi tiga keadaan, yaitu penebalan membran basalis pembuluh darah kapiler, perubahan hemodinamik, dan perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit. Tiga kejadian yang mendasari patofisiologi mikroangiopati diabetik tersebut berlangsung di semua kapiler pembuluh darah (Djokomoeljanto, 2001). Efek buruk faktor metabolik dan hemodinamik tersebut bekerja melalui jaringan endotel. Hal ini dapat dipahami mengingat sel-sel endotel melapisi seluruh permukaan pembuluh darah besar dan kecil sehingga selalu terpajan dengan perubahan metabolik dan hemodinamik. Sel endotel juga merupakan jaringan terdepan yang berhadapan dengan perubahan tekanan, aliran, dan turbulensi darah.

  Melalui mekanisme yang rumit, sel endotel memroduksi berbagai zat kimia yang mengatur tegangan dan permeabilitas dinding pembuluh darah. Sel endotel juga memroduksi matriks protein ekstraselular dan produksinya meningkat pada diabetes melitus (penebalan membran basal kapiler). Angiogenesis yang terjadi pada diabetes melitus juga dimulai dari sel endotel. Selain itu, sel endotel juga berperan pada sistem imun, proses regenerasi, serta menjaga homeostasis cairan ekstraselular. Pada pasien diabetes melitus semua fungsi endotel tersebut terganggu sehingga terjadi disfungsi endotel (Djokomoeljanto, 2001).

  Banyak hipotesis dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis neuropati diabetik, seperti teori metabolik, mikrovaskular dan hipoksia, autoimun, dan lain-lain. Hiperglikemi persisten merupakan faktor utama teori metabolik. Peranan mekanisme imun didukung dengan ditemukannya antibodi antineuronal dan meningkatnya prevalensi antibodi antifosfolipid pada neuropati diabetik. Selain itu, beberapa peneliti menyebutkan insufisiensi mikrovaskular sebagai salah satu penyebab neuropati diabetik (Greene, 1997 dalam Setyoko, 2003).

  1. Hipotesis metabolik Teori yang sudah berlaku umum pada patogenesis polineuropati diabetik adalah hiperglikemi persisten. Pengendalian kadar glukosa sedini dan sebaik mungkin merupakan dasar pengelolaan diabetes melitus untuk mencegah komplikasi vaskular, khususnya mikroangiopati.

  Hiperglikemi persisten dan berkepanjangan menyebabkan beberapa keadaan (Djokomoeljanto, 2001): a. Meningkatnya aktivitas poliol pathway: Aktivasi poliol pathway mengakibatkan akumulasi sorbitol dan fruktosa di jaringan saraf. Hiperglikemi yang terus menerus mengakibatkan reduksi glukosa oleh enzim aldose reduktase yang akan menghasilkan sorbitol. Sorbitol diubah menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehidrogenase, kemudian akan mengaktifkan diacyl glycerol pathway yang membentuk

  diacylglycerol yang mengaktifkan PKC (Protein kinase C).

  b. Menurunnya kadar mioinositol plasma Keadaan ini disebabkan peningkatan ekskresi mioinositol dan penghambatan sintesis fosfatidil inositol pada diabetes melitus. Selain itu, kadar glukosa darah yang tinggi menghambat transport mioinositol ke jaringan saraf. Karena mioinositol merupakan komponen fosfolipid membran yang berfungsi dalam transmisi impuls saraf, akibatnya terjadi gangguan penghantaran saraf sensorik maupun motorik.

  c. Glikosilasi non enzimatik Jika kadar glukosa darah meningkat, molekul-molekul glukosa akan melekat pada protein tubuh (lensa mata, membran basal glomerulus, mielin, protein saraf tepi, dan sebagainya) sesuai tingginya peningkatan kadar glukosa. Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Ikatan dimulai dengan terbentuknya amadori

  product yang mengatur keseimbangan dengan glukosa bebas (selama

  beberapa jam-hari). Pada akhirnya akan terbentuk produk metabolit yang dinamakan Advanced Glycosilation End product (AGE) yang bersifat ireversibel.

  d. Berkurangnya Na-K-ATPase pada jaringan saraf Penghambatan Na-K-ATPase mengakibatkan retensi Na+, edema, pembengkakan mielin, dan degenerasi sel saraf. Hiperglikemi juga memicu peningkatan kadar diasilgliserol yang dapat mengaktivasi perubahan PKC. Aktivasi PKC akan memodulasi Na-K-ATPase pada sel neuron dan sel schwann. Berubahnya aktivitas PKC dan Na-K-ATPase juga berpengaruh pada ekspresi gen dan sitokin.

  2. Hipotesis mikrovaskular dan hipoksia Hipotesis insufisiensi mikrovaskular diajukan oleh beberapa ahli sebagai salah satu kemungkinan penyebab neuropati diabetik. Hipotesis ini didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan terjadinya iskemik relatif maupun absolut pada sel saraf penderita diabetes melitus akibat perubahan fungsi endoneuron dan epineuron pembuluh darah. Hal ini juga didukung bukti penelitian histopatologik yang menunjukkan berbagai tingkat penebalan membran basal vaskular maupun oklusi pembuluh darah. Pada penderita diabetes melitus juga terbukti terjadi penurunan aliran darah ke sel saraf, peningkatan resistensi vaskular, penurunan PO2, dan perubahan permeabilitas vaskular.

  Aliran darah endoneural saraf perifer lebih rendah 33%. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan oksigen endoneural juga lebih rendah. Penyebab potensial penurunan aliran darah penderita diabetes melitus meliputi: mikroangiopati, hiperviskositas, berkurangnya deformabilitas eritrosit, meningkatnya perlekatan eritrosit pada endotel kapiler, sumbatan gumpalan trombosit dan fibrin (Vinik,2000 dalam Setyoko, 2003).

  3. Hipotesis Autoimun Mekanisme imun mungkin bertanggung jawab pada populasi pasien neuropati diabetik, khususnya kasus neuropati proksimal dengan keluhan motorik yang dominan. Hipotesis ini didukung dengan ditemukannya antibodi antineuron pada pasien neuropati diabetik. Autoantibodi ini berefek langsung pada struktur saraf motorik maupun sensorik. Vinik Al dan kawan- kawan juga mendapatkan antibodi anti-fosfoloipid pada 88% kasus neuropati diabetik dibanding 32% pasien dengan diabetes melitus tanpa neuropati diabetik (vinik, 2000 dalam Setyoko, 2003).

  Gambar 4. Mekanisme Terjadinya Neuropati Diabetik. Sumber: Tanenberg (2009) Gambar 5. Patogenesis Neuropati Diabetik. Sumber: (Greene, 1997 dalam Setyoko, 2003)

2.2.6 Diagnosis

  Pada tahun 1988, The American Diabetes Association mengeluarkan konsensus yang dikenal dengan The San Antonio Consensus Statement yang menyatakan bahwa untuk menilai klasifikasi neuropati diabetik secara menyeluruh dianjurkan memakai minimal salah satu cara diagnosis sebagai berikut: Gejala klinis, pemeriksaan klinis, evaluasi elektrodiagnostik, tes kuantitatif sensoris, dan tes fungsi otonom (Vinik, 2000).

  Diagnosis neuropati diabetik ditegakkan jika pada penderita diabetes melitus didapat gejala atau tanda neuropati ditambah pemeriksaan objektif yang menunjukkan gangguan saraf perifer dan tidak ada penyebab lain (Vinik, 2000). Rosenberg dkk (2001) melakukan investigasi diagnostik pada pasien- pasien polineuropati kronik. Dilakukan evaluasi pemeriksaan secara bertahap untuk menegakkan diagnosis.

  Akhir- akhir ini telah dikembangkan berbagai variasi pemeriksaan neurologi klinis dengan sistem skor untuk polineuropati diabetik. Pemeriksaan yang sering digunakan dan dapat diterima adalah Neuropathy

  

Disability Score (NDS), Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS),

  beberapa modifikasi NDS, dan Clinical Examination of Valk (CE-V) (Amanda, 1997 dalam Setyoko, 2003).

  Menurut Feldman (1999) dalam Setyo (2003), NDS dirancang untuk neuropati secara umum. Meskipun memiliki skor-skor yang baik dan lengkap, dalam pemakaian klinis praktis sulit diaplikasikan. Akhirnya dirancang beberapa modifikasi NDS dengan tujuan mendapat pemeriksaan neurologi klinis yang valid, mudah dilakukan, dan akurat untuk polineuropati diabetik. Salah satunya adalah Clinical Neurological

  

Examination ( CNE) atau dikenal dengan Clinical Examination of Valk

(CE-V).

1. Clinical Neurological Examination

  Akhir-akhir ini CNE digunakan untuk deteksi maupun diagnosis neuropati diabetik dalam praktik klinis sehari-hari. CNE merupakan salah satu modifikasi NDS karena NDS dianggap lebih rumit dan sulit diaplikasikan dalam pemakaian klinis praktis. CNE meliputi kajian fungsi sensoris, kekuatan otot kaki, refleks pergelangan kaki, dan pemberian skor tertentu untuk masing-masing pemeriksaan.

  Tabel 2. Skor Clinical Neurological Examination (CNE). Sumber: Valk GD et al (1998) dalam Setyo (2003)

  Skor Clinical Neurological Examination (CNE)

  1. Sensoris Kanan Normal Menurun Negatif

  Pin prick dorsum pedis

  1

  2 Sentuhan ringan (kapas)

  1

  2 Posisi ibu jari kaki

  1

  2 Vibrasi (ibu jari kaki)

  1

  2 Vibrasi (maleolus medialis)

  1

  2 Kiri Pin prick dorsum pedis

  1

  2 Sentuhan ringan (kapas)

  1

  2 Posisi ibu jari kaki

  1

  2 Vibrasi (ibu jari kaki)

  1

  2 Vibrasi (maleolus medialis)

  1

  2

  2. Motorik Kanan

  Hallucis longus

  1

  2 Gastrocnemius

  1

  2 Kiri Hallucis longus

  1

  2 Gastrocnemius

  1

  2

  3. Refleks Kanan

  Tendon Achilles

  1

  2 Kiri Tendon Achilles

  1

  2

  4. Sentuhan ringan (kapas) berkaitan lokasi anatomi

  0: Kelainan (-), 1: Jari kaki, 2: Pertengahan jari-Pergelangan kaki, 3: Pergelangan kaki, 4: Pertengahan betis, 5: Lutut Skor total: .../ 37 poin

  Keterangan skor CNE:

a. Semua pemeriksaan dilakukan pada kedua tungkai kanan dan kiri b. Pemeriksaan fungsi sensoris dilakukan dengan kedua mata pasien tertutup.

  c. Jika pasien mengatakan dapat merasakan pemeriksaan sensoris yang dilakukan, bandingkan dengan pemeriksaan lebih proksimal untuk menilai apakah sensibilitas normal atau berkurang. Untuk sensasi posisi ibu jari kaki, bandingkan dengan ibu jari tangan. d. Skor untuk pemeriksaan vibrasi garpu tala, tes pin prick, sentuhan ringan dengan kapas, dan sensasi posisi ibu jari kaki berturut-turut adalah: 0= normal, 1= menurun dibandingkan bahagian proksimal, 2= negatif (tidak merasa).

  e. Skor untuk sentuhan ringan dengan kapas yang dilakukan berdasarkan posisi anatomi kaki adalah: 0= tidak ada abnormalitas, 1= jari-jari kaki, 2= mid foot (pertengahan jari kaki- pergelangan kaki), 3= pergelangan kaki, 4= pertengahan betis, 5= lutut. Skor maksimal untuk penilaian ini adalah 5. Jika kedua tungkai memiliki nilai yang sama, hanya diambil salah satu nilai dari kedua tungkai. Jika ada perbedaan nilai antara tungkai kanan dan kiri, diambil nilai tertinggi untuk penghitungan skor akhir.

  f. Skor untuk kekuatan otot ekstensor hallucis longus dan gastrocnemius adalah: 0= normal, 1= menurun, 2= negatif.

  g. Skor refleks tendon achilles adalah: 0= normal, 1= menurun, 2= negati, dibandingkan refleks lain.

  h. Nilai keseluruhan untuk pemeriksaan CNE bervariasi antara 0-37 poin.

2. Pemeriksaan Monofilamen

  Berbagai jenis dan ukuran monofilamen telah beredar di pasaran. Salah satu alat yang sering dipakai adalah Semmes-Weinstein monofilamen dengan variasi ukuran 1g, 10g, dan 75g. Menurut Levin ME dkk (1991) dalam Setyoko (2003), ukuran standar monofilamen yang biasa dipakai adalah 10 g. Tes ini memeriksa fungsi reseptor merkel dan meisner serta hubungannya dengan serabut saraf diameter besar (Perkins, 2001). Monofilamen 10 g dinilai sebagai sarana yang murah, praktis, dan mudah digunakan untuk deteksi hilangnya sensasi protektif. Alat ini terdiri dari sebuah gagang plastik yang dihubungkan dengan sebuah nilon monofilamen sehingga akan mendeteksi kelainan sensoris pada serabut saraf besar. Menurut Booth dan Young, monofilamen 10g sebaiknya digunakan untuk maksimal sepuluh pasien per hari dan visko-elastisnya dapat pulih kembali setelah diistirahatkan 24 jam (Booth, 2000 dalam Setyoko, 2003).

  Faktor intrinsik dan ekstrinsik memengaruhi reliabilitas monofilamen. Faktor ekstrinsik meliputi prosedur pemeriksaan (frekuensi dan lokasi pemeriksaan, belum ada standar baru) dan subjektivitas respon pasien terhadap pemeriksaan monofilamen. Sedangkan faktor-faktor intrinsik meliputi perbedaan radius, panjang filamen, dan elastisitas bahan monofilamen (Booth, 2000 dalam Setyoko, 2003).

  Menurut Valk (1998) dalam Setyoko (2003), teknik pemeriksaan monofilamen adalah: a. Menggunakan monofilamen ukuran 10 g

  b. Sebelum dilakukan pemeriksaan pada kaki penderita, monofilamen diujicobakan pada sternum atau tangan dengan tujuan penderita dapat mengenal sensasi rasa dari sentuhan monofilamen.

  c. Pemeriksaan dilakukan pada kedua tungkai dengan kedua mata penderita tertutup.

  d. Dipilih tiga lokasi pemeriksaan, yaitu permukaan plantar ibu jari kaki, sisi medial kaki (antara jari kaki dan pergelangan kaki), dan permukaan dorsal pada basis tulang metatarsal ketiga.

  e. Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa.

  Penekanan dilakukan selama dua detik, kemudian segera ditarik. Pada masing-masing lokasi dilakukan tiga kali pemeriksaan.

  f. Penilaian hasil pemeriksaan: Positif: Dapat merasakan tekanan monofilamen dan menunjukkan lokasi dengan tepat setelah monofilamen diangkat pada dua sampai tiga kali pemeriksaan. Bila sentuhan monofilamen dapat dirasakan dan dapat menunjuk lokasi dengan benar, dilanjutkan dengan membandingkan dengan anggota gerak atas untuk menentukan apakah sensasi rasa menurun atau normal.

  Negatif: Tidak dapat merasakan tekanan atau menunjukkan lokasi dengan tepat pada dua dari tiga kali pemeriksaan.

  g. Hasil positif dan normal skor = 2, hasil positif dan skor menurun = 1, hasil negatif skor = 0 sehingga skor total untuk tiga lokasi pemeriksaan pada kedua tungkai bervariasi antara 0-12.

  Gambar 6. Iliustrasi Cara Pemakaian Monofilamen. Sumber: American Family Physician. Evaluation and Prevention of Diabetic Neuropathy. 2005

3. Tes vibrasi dengan garpu tala

  Menurut Boulton (1998) dalam Setyoko (2003), tes vibrasi dengan garpu tala dipakai sebagai alternatif jika biotesiometer untuk menilai Vibration

  Perception Threshold (VPT) tidak tersedia. Garpu tala yang lazim

  digunakan biasanya berfrekuensi 128 Hz. Lokasi pemeriksaan pada tunika glabrosa (kulit yang tidak berambut) dari ibu jari kaki atau lokasi lain.

  Cara pemeriksaan: Garpu tala digetarkan, lalu ditempel ke masing-masing ibu jari kaki secara bergantian atau pada area lain, seperti maleolus. Pada setiap tes yang dikerjakan, pemeriksa dapat membandingkan rasa getar pada lokasi pemeriksaan dengan area lain dengan cara yang sama. Pada penderita tanpa neuropati diabetik, getaran garpu tala dapat dirasakan tidak kurang dari lima belas detik (biasanya 20-25 detik). Pada neuropati diabetik getaran garpu tala dirasakan kurang dari lima belas detik atau tidak dapat dirasakan sama sekali (Meijer, 2000 dalam Setyoko,2003).

  Pada penelitian ini, tes vibrasi garpu tala dilakukan pada kedua sisi tungkai dan dipilih dua lokasi pemeriksaan, yaitu bahagian plantar ibu jari kaki dan maleolus radialis.

  Penilaian: 0 = normal, dapat merasakan sensasi getar 1 = menurun, dapat merasakan sensasi getar. Lebih lemah daripada bagian proksimal. 2 = tidak merasakan sensasi getar

  Gambar 7. Ilustrasi Cara Pemeriksaan Rasa Getar dengan Garpu Tala. Sumber: myfootshop.com.Peripheral Neuropathy.

4. Pemeriksaan elektromiografi (EMG)

  Elektromiografi adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa saraf perifer dan otot. Prinsip kerjanya merekam gelombang potensial yang ditimbulkan baik saraf maupun otot. Melalui stimulasi listrik dan teknik perekaman dapat dipelajari transmisi dan eksitabilitas saraf 7,8. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi kelaianan saraf perifer pada penderita diabetes melitus yang meliputi pemeriksaan sensorik, motorik, dan otonom (Setyoko, 2003).

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Oral Higiene - Hubungan Oral Higiene dengan Pengalaman Karies anak Usia 12 Tahun Menggunakan Indeks DMFT dan SiC (WHO) di SD Swasta Al-Ulum Medan dan SD Negeri di Kecamatan Medan Kota

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Prevalensi fraktur akar gigi anterior berdasarkan umur dan jenis kelamin yang dicabut di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial RSGMP FKG USU tahun 2010-2012

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Studi Karakteristik Abu Sekam Padi Dengan Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel Sebagai Bahan Dentinogenesis Pada Kavitas Profunda (In Vitro)

0 1 32

Kode responden FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN Nama : Siska Oktavia Saragih Judul Penelitian : Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah Akibat Hospitalisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan

1 1 24

BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Strategi 2.1.1 Pengertian Strategi - Strategi Pengembangan Bisnis pada Usaha Rumah Makan Ikan Bakar Masto Jalan Ringroad Medan

0 0 37

Strategi Pengembangan Bisnis pada Usaha Rumah Makan Ikan Bakar Masto Jalan Ringroad Medan

0 1 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Personal Hygiene 2.1.1 Pengertian - Hubungan Personal Hygiene Dengan Keluhan Kulit dan Fasilitas Sanitasi di TPA Terjun Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan Tahun 2014

1 3 28

Pengetahuan Ibu Hamil tentang Asupan Zat Gizi Mikro selama Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan

0 0 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Pengetahuan Ibu Hamil tentang Asupan Zat Gizi Mikro selama Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan

0 1 32

Karakteristik Neuropati Pada Diabetes Melitus Tipe 2 Di Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

0 0 13