HUBUNGAN JENIS PEKERJAAN DENGAN BURNOUT PADA WANITA BEKERJA DI KABUPATEN BANYUMAS

  

Tema 3: Pangan, Gizi dan Kesehatan

HUBUNGAN JENIS PEKERJAAN DENGAN BURNOUT PADA

WANITA BEKERJA DI KABUPATEN BANYUMAS

  

Oleh

Keksi Girindra Swasti, Wahyu Ekowati, Eni Rahmawati

  

Staf pengajar Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas

Jenderal Soedirman

ABSTRAK

  Jumlah pekerja wanita setiap tahun mengalami peningkatan. Perawat dan tenaga pendidik merupakan profesi yang rentan mengalami burnout. Profesi ini banyak ditekuni oleh wanita. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan jenis pekerjaan dengan burnout pada wanita. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain analisis deskriptif. Sampel dipilih secara simple random sampling, dimana sampel mewakili kelompok profesi yang banyak ditekuni oleh kaum wanita. Analisis hubungan jenis pekerjaan dengan burnout dilakukan dengan Uji Chi

  

Square . Hasil analisis univariat diketahui bahwa 55% responden mengalami burnout ringan dan

  42,5% lainnya mengalami burnout sedang. Hasil analisis bivariat diperoleh nilai p 0,000 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan burnout pada wanita di Kabupaten Banyumas. Oleh karena itu, diperlukan upaya penanganan untuk mencegah burnout berkelanjutan yang dapat menimbulkan penurunan performa kerja. Kata kunci: burnout, jenis pekerjaan, wanita

  ABSTRACT

  Working women increase every year. Nurse and educational worker are profession that susceptible to get burnout and many women work in this profession. The purpose of this research is to identify relationship between kind of work and burnout for working women. This research is quantitative by descriptive analysis design and the sample is chosen by simple random sampling. The sample represents a group of profession for working women. The analysis between kind of work and burn out was analyzed by Chi-Square test. The result of unvaried analysis are 55% respond are mild burnout and 42,5% are moderate burnout. The result of bivariat analysis is p 0,000. It is indicated that there is meaningful relation between kind of work and burout for working women in Banyumas Regency. Therefore, It is needed some efforts to prevent sustainable burnout that can decrease work performance. Keywords: burnout, kind of work, women

  PENDAHULUAN

  Emansipasi wanita telah memberi banyak perubahan, termasuk partisipasi wanita dalam lapangan pekerjaan. Jumlah tenaga kerja wanita menunjukkan angka yang terus meningkat setiap tahunnya. Data Badan Pusat Statistik pada survei angkatan kerja nasional tahun 2016 menunjukkan jumlah penduduk perempuan yang bekerja berjumlah sekitar 45,5 juta. Jumlah tersebut tersebar dalam berbagai sektor pekerjaan. Sektor pekerjaan utama yang ditekuni oleh kaum wanita adalah pendidikan dan kesehatan. Perubahan ini memberikan tambahan peran dan tanggung jawab bagi wanita. Peran dan tanggung jawab dalam pekerjaan seringkali memberikan stressor bagi pekerja.

  

Stressor yang berlebihan dalam waktu yang berkepanjangan dapat menimbulkan stres bagi pekerja.

  Hasil penelitian di Jerman menunjukkan bahwa 8% pekerja mengalami stres kerja yang dirasakan selama 30 hari. Stres kerja tersebut memberikan dampak tidak hanya pada tempat kerja tetapi juga kehidupan pribadinya, seperti memburuknya kondisi dalam keluarga dan hubungan pertemanan (Nink, 2015). Keluhan yang dirasakan oleh pekerja saat mengalami stres berkepanjangan diantaranya merasa lelah saat bangun tidur di pagi hari, merasa bersalah dalam pekerjaan, dan penurunan performa kerja. Kondisi tersebut mengindikasikan terjadinya burnout.

  

Burnout adalah sindrom yang berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan tingkat

  kelelahan yang berlebihan, sinism, dan penurunan efikasi profesional. Kelelahan yang dirasakan tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan emosional (Schaufelly, 2009).

  Hasil penelitian menunjukkan sektor pendidikan dan kesehatan merupakan sektor yang paling sering menimbulkan burnout pada pekerjanya. Sebagaimana diketahui, kedua sektor pekerjaan tersebut banyak ditekuni oleh kaum wanita. Hal ini diperkuat oleh penelitian Putnik dan Houkes (2011) bahwa burnout banyak dialami oleh profesi tenaga kesehatan. Hakanen, Bakker, dan Shaufelli (2006) menemukan profesi pendidik pun banyak mengalami burnout.

  Hasil wawancara dengan 8 wanita yang bekerja pada sektor pendidikan dan kesehatan, 6 diantaranya berstatus menikah dan dua lainnya masih single. Dua pekerja wanita yang yang berprofesi sebagai pendidik menyatakan tidak bisa berperan optimal baik sebagai ibu maupun saat bekerja di kantor. Dua orang pendidik juga mengatakan bahwa performa kerjanya tidak maksimal karena pekerjaan yang terlalu banyak dan seringkali masih harus mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Seluruh tenaga pendidik menyatakan dalam sebulan pernah mengalami badan terasa mudah lelah, rasa penat yang teramat sangat, dan merasa tidak segar saat bangun tidur. Wanita yang bekerja pada sektor kesehatan menyatakan mengalami kesulitan mengatur waktu bersama keluarga karena jadwal dinas yang berganti. Mereka juga mengalami keluhan fisik seperti mudah lelah dan penat yang teramat sangat. Melihat kondisi tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan jenis pekerjaan dengan burnout pada wanita bekerja di Kabupaten Banyumas.

METODE PENELITIAN

  Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain korelatif deskriptif. Sampel penelitian dipilih dengan teknik simple random sampling sejumlah 200 wanita bekerja yang berdomisili di Kabupaten Banyumas. Responden mewakili profesi yang banyak ditekuni oleh wanita. Lokasi penelitian mewakili wilayah perkotaan dan pinggiran kota. Data dikumpulkan menggunakan instrumen Maslach Burnout Inventory yang diadopsi dari penelitian Akhsani dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

  17

  4

  28 49,5 20,5

  2 Pekerjaan 1. Guru 2. Dosen 3. Perawat 4. Karyawan/staf

  61

  44

  57

  38 30,5

  22 28,5

  19 Jabatan struktural 1. Ya 2. Tidak

  34 166

  83 Penghasilan 1. Kurang Rp2.500.000,00 2. Rp2.500.000,00 – Rp5.000.000,00 3. Rp5.000.000,00 – Rp7.500.000,00 4. Lebih Rp7.500.000,00

  99

  95

  53

  42

  10 47,5 26,5

  21

  5 Jam kerja dalam seminggu 1. Kurang 40 jam 2. 40 jam 3. Lebih 40 jam

  52

  45 103

  26 22,5 51,5

  Sumber data primer Mei - Juli 2017 Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden berusia antara 20

  41

  56

  telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh peneliti sebelumnya. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis hubungan dilakukan dengan uji Chi-Square.

  5

  Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi karakteristik responden dan tingkat burnout serta hasil uji bivariat antara variabel jenis pekerjaan dan burnout.

  Tabel 1. Gambaran karakteristik demografi responden (N= 200) Variabel Frekuensi Persentase (%) Usia 1.

  20 - 40 tahun 2. 40 – 60 tahun 3. Lebih 60 tahun

  157

  42

  1 78,5

  21 0,5

  Status pernikahan 1.

  Belum menikah 2. Menikah 3. Janda

  42 153

  21 76,5 2,5

  D3 2. S1 3. S2 4. S3

  Jumlah anak 1.

  Belum memiliki anak 2. 1 orang 3. 2 orang 4. 3 orang 5. Lebih dari 3

  57

  44

  70

  22

  7 28,5

  22

  35

  11 3,5

  Pendidikan 1.

  • – 40 tahun sebanyak 78,5%, berstatus menikah 76,5%, dan memiliki 2 orang anak 35%. Sebagian besar responden
berpendidikan S1 sebesar 49,5%. Responden memiliki sebaran profesi yang hampir merata, yaitu guru 30,5%, perawat 28,5%, dosen 22%, dan karyawan 19%. Mayoritas responden bukan pejabat struktural 83 % dengan penghasilan kurang dari Rp 2.500.000 per bulan. Responden mayoritas bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu.

  Tabel 2. Gambaran burnout pada wanita bekerja di wilayah Kabupaten Banyumas Kategori burnout Frekuensi

  Persentase (%) Tidak burnout 1 0,5

  Burnout ringan 110

  55 Burnout sedang 85 42,5

  Burnout berat

  4

  2 Jumlah 200 100 Sumber data primer Mei - Juli 2017 Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa mayoritas pekerja wanita di Kabupaten Banyumas mengalami burnout ringan sebanyak 55%, disusul dengan burnout sedang 42,5%. Terdapat pekerja yang mengalami burnout berat sebanyak 4 orang dan hanya 1 responden yang tidak mengalami burnout .

  Tabel 3 Menunjukkan hasil analisis bivariat, diperoleh nilai p= 0,000 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan burnout pada wanita di Kabupaten Banyumas.

  Tabel 3. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi burnout pada wanita bekerja di wilayah Kabupaten Banyumas (N= 200)

  Jenis pekerjaan Burnout Pv

  Tidak Ringan Sedang Berat burnout 1.

  1

  6

  14 Guru 2.

  4

  36 4 0,000 Dosen

  3.

  37

  20 Perawat

  23

  15 Karyawan/staf 4.

  Penelitian terhadap 200 wanita bekerja di wilayah Kabupaten Banyumas diperoleh hasil mayoritas responden berusia dewasa awal dengan rentang usia 20

  • – 40 tahun. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nelson et al. (2014) bahwa 54,4% responden berusia 25
  • – 44 tahun. Penelitian Maharani dan Triyoga (2012) juga menunjukkan 49,1 % responden yang berprofesi perawat berada pada rentang usi
  • – 30 tahun. Dewasa awal adalah masa peralihan dari ketergantungan ke masa mandiri, baik dari segi ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan sudah lebih realistis. Pada proses tumbuh kembang, salah satu tugas perkembangan seseorang yang berada pada masa dewasa awal adalah melakukan suatu pekerjaan. Pada kehidupan kerja, usia ini tergolong dalam kelompok produktif, dimana pekerja mampu mengoptimalisasikan potensi yang dimilikinya, serta melakukan tindakan secara kreatif (Hurlock, 1994). Banyaknya responden yang berada pada kelompok dewasa awal pada penelitian ini
diasumsikan oleh peneliti berkaitan dengan mayoritas instansi dimana penelitian dilakukan tergolong instansi yang belum lama berdiri, sehingga mayoritas tenaga kerjanya adalah tenaga

  

fresh graduate . Responden yang berada pada usia di atas 60 tahun merupakan seorang dosen

  senior, dimana dalam jenjang pendidikan tinggi terdapat aturan pemerintah yang menyebutkan bahwa jika seorang dosen maksimal bekerja sampai usia 65 tahun, namun bagi dosen yang memiliki jabatan fungsional sebagai guru besar/profesor maka masa kerjanya menjadi 70 tahun (Peraturan Pemerintah RI Nomor 37 tahun 2009 pasal 8)

  Berdasarkan karakteristik status pernikahan, mayoritas responden sudah menikah. Hal ini sejalan dengan usia responden yang berada pada tahap dewasa awal. Pada tahap ini, selain bekerja tugas perkembangan lainnya adalah membentuk keluarga. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Soler

  

et al . (2014) yang dilakukan pada tenaga kesehatan dimana sebagian besar respondennya adalah

  wanita, 66,2% responden berstatus menikah. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian Suharti dan Daulima (2013) bahwa 83 responden berstatus menikah Indonesia sebagai negara yang sangat kental dengan budaya timur, bagi perempuan yang sudah memasuki usia dewasa seringkali mendapat tuntutan dari keluarga untuk segera menikah, terlebih jika telah selesai menempuh pendidikan dan bekerja. Namun, perlu diingat juga bahwa pernikahan merupakan sebuah komitmen seseorang dalam hidupnya, dimana setiap orang tentunya akan memiliki komitmen yang berbeda. Pada sebagian wanita bekerja memiliki komitmen untuk menekuni pekerjaan guna merintis karier dan menjadikan pernikahan sebagai prioritas berikutnya (Hurlock, 1999). Oleh karena itu, meskipun pada penelitian seluruh responden sudah berada pada kategori dewasa namun masih terdapat 21% responden yang statusnya belum menikah.

  Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki 2 orang anak. Hasil ini sejalan dengan penelitian Soler et al. (2014),sebanyak 32,6% responden memiliki 2 orang anak. Pemerintah Indonesia mencanangkan Program Keluarga Berencana yang populer dengan slogan “2 anak cukup”. Program ini ditujukan untuk mengontrol laju pertambahan penduduk Indonesia yang termasuk dalam jajaran lima besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia dan laju pertambahan penduduk yang tergolong cepat. Pada penelitian ini sebagian responden adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintah menghimbau kepada para PNS sebagai tenaga kerja pemerintah untuk mensukseskan Program Keluarga berencana. Hal ini terealisasi dalam bentuk tunjangan anak. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 tahun 1977 pasal 16 menjelaskan bahwa pemerintah memberikan bantuan berupa tunjangan anak bagi pegawai negeri maksimal sejumlah 2 anak kandung. Jarak usia anak yang ideal adalah 4

  • – 5 tahun, sesuai dengan teori tumbuh kembang anak. Saat anak memiliki adik di usia toddler (1-3 tahun) anak akan rentan mengalami sibling rivalry, yaitu rasa cemburu terhadap saudara kandung (Wahley danWong,

  2012). Oleh karena itu, cukup banyak reponden pada penelitian ini yang baru memiliki satu orang anak.

  Karakteristik berikutnya adalah jenjang pendidikan. Sebanyak 99 responden berpendidikan S1, disusul dengan D3 sebanyak 56 orang, dan S2 sejumlah 41 responden. Pendidikan merupakan syarat mutlak untuk dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Profesi sebagai guru, dosen, dan perawat merupakan profesi yang dapat dicapai melalui bekal pendidikan yang memadai. Responden dengan latar belakang pendidikan S1 mayoritas berprofesi sebagai guru. Saat ini, untuk menjadi guru seseorang harus menempuh pendidikan guru pada sebuah universitas keguruan atau universitas umum yang memiliki fakultas keguruan. Berbeda dengan dekade sebelumnya, dimana guru dapat berasal dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) setara dengan sekolah menengah atas. Responden dengan latar belakang D3 sebagian besar adalah perawat. Meskipun saat ini pendidikan keperawatan sudah berkembang hingga jenjang S2 dan S3, namun rumah sakit masih membutuhkan banyak tenaga vokasional yang berasal dari diploma keperawatan sebagai pemberi pelayanan utama. Hasil ini didukung oleh penelitian Maharani dan Triyoga (2012) terhadap perawat di sebuah rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan 67,9% perawat berpendidikan D3. Penelitian Suharti dan Daulima (2013) tentang burnout pada perawat menunjukkan mayoritas perawat berpendidikan D3. Jenjang pendidikan terbanyak berikutnya adalah S3. Pendidikan ini dimiliki oleh profesi dosen. Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 tahun 2013 bahwa syarat untuk menjadi dosen, minimal berijazah S2. Setelahnya, dosen masih harus menenpuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi guna meningkatkan profesionalisme dalam bekerja.

  Selajutnya adalah jenis pekerjaan, dimana pada penelitian ini area pekerjaan dibatasi pada lingkup pelayanan publik. Berdasarkan penelitian Schaufeli, Leiter, dan Maslach (2008) bidang pekerjaan yang berisiko tinggi mengalami burnout adalah profesi human service seperti guru atau tenaga pendidik termasuk dosen dan perawat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Nelson et al. (2014), bahwa 90,4% responden berjenis kelamin perempuan. Hasil senada disampaikan pada penelitian Arsanti dan Setyowati 2015 terhadap dosen di perguruan tnggi swasta. Menurut penelitan tersebut, alasan perempuan mengambil profesi sebagai pengajar adalah karena latar belakang pendidikan dan kebutuhan aktualisasi diri, bukan sekedar mencari uang. Selain itu baik pengajar maupun perawat merupakan profesi yang cocok bagi kaum perempuan karena sesuai dengan naluri perempuan sebagai pendidik dan pengasuh dalam keluarga. Alasan lainnya adalah waktu pengajar lebih longgar dibanding profesi lainnya sehingga meskipun bekerja tetap memiliki cukup waktu untuk mengurus keluarga (Khilmiyah dalam Darmawan, 2015).

  Karakteristik selanjutnya adalah penghasilan, mayoritas responden berpenghasilan kurang dari 2,5 juta per bulan. Hal ini cukup mempihatinkan, mengingat profesi yang digeluti adalah profesi pelayanan jasa yang memiliki kontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Imbalan yang diterima memang tidak sesuai dengan tanggung jawab yang harus diemban. Rendahnya pendapatan yang diterima kemungkinan berkaitan dengan status kepegawaian responden sebagai tenaga kerja tidak tetap atau swasta. Penghasilan yang diterima tentunya juga menyesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR). UMR untuk wilayah Kabupaten Banyumas sekitar Rp1.400.000,00, jauh lebih rendah dibanding kota besar di Indonesia lainnnya. Penghasilan lebih tinggi didapat oleh pekerja yang berstatus pegawai negeri atau pegawai senior. Penghasilan tersebut mencakup gaji bulanan serta tunjangan profesional yang menyesuaikan dengan golongan setiap pegawai.

  Karakteristik berikutnya adalah jabatan struktural, mayoritas pekerja wanita tidak menempati jabatan struktural pada instansi tempatnya bekerja. Jabatan struktural adalah tugas tambahan yang diberikan instansi kepada pekerja diluar tugas wajibnya dalam menjalani profesi yang ditekuni. Jenis jabatan struktural pada setiap kelembagaan akan berbeda. Pada lembaga pendidikan seperti sekolah jabatan struktural meliputi kepala sekolah dan wakil kepala sekolah,sedangkan di perguruan tinggi, jabatan struktural meliputi rektor, pembantu rektor, dekan, pembantu dekan, ketua jurusan, sekretaris jurusan, ketua laboratorium, dan masih banyak lainnya (Peraturan Presiden RI nomor 65 tahun 2007). Meskipun tidak ada peraturan yang membatasi perempuan untuk menempati posisi struktural, namun pada banyak instansi posisi tersebut lebih banyak dijabat oleh laki-laki.

  Karakteristik terakhir adalah jumlah jam kerja dalam seminggu. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu. Angka ini melampaui kebijakan pemerintah tentang jam kerja PNS. Pemerintah menetapkan kewajiban kerja bagi PNS adalah 40 jam dalam seminggu yang terbagi dalam 5 hari kerja, sehingga dalam sehari seorang pekerja akan menggunakan waktunya di kantor selama 8 jam. Instansi yang menggunakan 6 hari kerja, waktu kerja per hari berkisar antara 6

  • – 7 jam. Penjelasan ini tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Dikti nomor 3298/D/T/99 dan Kepmendiknas Nomor 36/D/0/2001. Aturan ini menjadi acuan bagi instansi baik negeri maupun swasta untuk menetapkan jam kerja bagi pegawainya. Tingginya jam kerja pada penelitian ini disebabkan sebagian responden memiliki pekerjaan sampingan yang waktunya sangat bervariasi. Asumsi peneliti adanya pekerja yang mencari sehingga pekerja harus berpikir kreatif guna menambah pemasukan, terlebih bagi pekerja yang sudah menikah dan memiliki anak. Pada penelitian yang dilakukanoleh Nelson et al. (2014), pekerjaan tambahan berkaitan dengan masih rendahnya penghasilan yang diterima, diperoleh hasil jam kerja responden adalah 30-39 jam/minggu. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Saputri (2017), 70% tenaga pengajar bekerja 40 jam/minggu.

  Pada penelitian ini respondennya adalah pekerja wanita yang berprofesi sebagai guru, dosen, perawat, dan karyawan. Hasil analisis univariat menunjukkan mayoritas pekerja wanita di Kabupaten Banyumas mengalami burnout ringan sebanyak 55%, tidak terpaut jauh dengan

  

burnout sedang sejumlah 42,5%. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa burnout

  banyak dialami oleh profesi tenaga kesehatan (Putnik dan Houkes, 2011), guru (Hakanen, Bakker, dan Shaufelli, 2006). Burnout yang dialami oleh profesi pelayanan publik berkaitan dengan adanya interaksi yang dinamis. Menurut Freudenberger (1974) dan Maslach (1976) dalam Schaufeli, Leiter, dan Maslach (2008) bahwa burnout terjadi pada kondisi hubungan sosial yang mengalami perubahan dengan cepat. Perawat merupakan profesi yang menuntut pekerja berinteraksi dengan banyak orang, baik itu pasien dan keluarganya maupun dengan sesama tenaga kesehatan dengan beragam latar belakang budaya, pendidikan, keyakinan serta karakter manusia yang unik. Salain itu, perawat juga bekerja dalam kondisi yang penuh tekanan, mengingat tanggung jawab perawat berkaitan dengan keselamatan jiwa pasien. Menurut Alarcon (2011), burnout dapat dipicu oleh faktor situasional yang salah satunya adalah peristiwa yang penuh tekanan dan tekanan dalam pekerjaan. Akumulasi dari faktor tersebut menyebabkan peningkatan tingkat burnout pada pekerja. Hal lain yang menyebabkan tingginya burnout pada pekerja adalah kurangnya kesempatan untuk istirahat dan pemulihan energi. Perawat yang bertugas pada ruangan intensif seperti ICU dan ICCU serta ruangan yang memerlukan kerja cepat seperti IGD dan IBS terbatas sekali waktu perawat untuk beristirahat. Hal ini diperkuat oleh penelitian Akhsani (2016) terhadap perawat di ruang ICU, yang menunjukkan kondisi burnout yang bervariasi dari tingkat ringan, sedang, dan berat.

  Pada penelitian ini burnout ringan banyak dialami oleh pekerja wanita yang berprofesi sebagai guru. Guru pada penelitian ini meliputi guru taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah dengan tipe sekolah umum dan sekolah yang menitikberatkan pada aspek keagamaan. Guru pada sekolah yang berlatar belakang agama, memiliki skorburnout yang lebih rendah dari sekolah umum. Menurut Cherniss dan Kranz dalam Schaufeli, Leiter, dan Maslach (2008) bahwa burnout tidak terjadi pada pusat pelayanan agama, karena mereka menganggap apa yang dilakukan adalah panggilan dan bukan pekerjaan semata. Kesesuaian antara nilai-nilai organisasi dan nilai-nilai pribadi dapat menurunkan potensi burnout pada pekerja.

  Berbeda dengan guru, burnout sedang hingga berat dialami oleh dosen. Meskipun sama- sama berada pada lembaga pendidikan dan berperan sebagai pendidik, namun kondisi lingkungan kerja yang dihadapi cukup berbeda. Jika guru berada pada sebuah sekolah yang lingkupnya lebih kecil, dimana pengawasan diberikan oleh kepala sekolah yang berada langsung diatasnya. Lingkungan yang terbatas ini memberikan peluang antar individu yang berada di dalamnya untuk membentuk hubungan lebih baik, sehingga tercipta suasana kerja yang lebih kondusif. Struktur organisasi yang lebih sederhana membuat proses manajemen menjadi lebih mudah. Pimpinan dapat lebih mudah memberikan support dan umpan balik pada bawahannya. Menurut Bakker, Demorouti, dan Euwema (2005),umpan balik, dukungan sosial dan hubungan kerja yang baik merupakan bagian dari job resources yang dapat menurunkan tingkat burnout.

  Dosen berada pada lingkungan kerja yang lebih luas dengan sistem manajemen berjenjang, sehingga kondisinya menjadi berbeda. Ditambah lagi dengan tanggung jawab dan peran yang diterima oleh dosen. Jika guru fokus pada kegiatan pengajaran, lain halnya dosen. Dosen harus memenuhi tiga tugas utama dalam waktu bersamaan, yaitu sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdian masyarakat. Kewajiban ini dikenal sebagai tri darma perguruan tinggi. Jika kewajiban ini tidak dijalani dengan baik, maka dosen akan dikenakan sanksi profesional. Banyaknya tanggung jawab yang harus dipenuhi membuat dosen berpotensi mengalami stres peran, konflik peran, kebingungan peran, hingga kelebihan beban kerja. Bahkan dosen masih diberikan tugas tambahan selain tri darma tersebut. Tingginya job demand yang meliputi stres peran, konflik peran, kebingunggan peran, dan kelebihan beban kerja serta kurangnya job resources menyebabkan terjadinya burnout (Bakker, Demorouti, dan Euwema, 2005).

  KESIMPULAN

  Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden berusia antara 20

  • – 40 tahun, berstatus menikah, dan memiliki 2 orang. Sebagian besar responden berpendidikan S1. Responden memiliki sebaran profesi yang hampir merata, yaitu guru 30,5%, perawat 28,5%, dosen 22%, dan karyawan 19%. Mayoritas responden bukan pejabat struktural dengan penghasilan kurang dari Rp2.500.000,00 per bulan. Responden mayoritas bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu. Responden mengalami burnout ringan sebesar 55% dan burnout sedang 42,5%. Uji bivariat diperoleh hasil terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan tingkat burnout pada pekerja wanita di Kabupaten Banyumas.

  SARAN

  Diperlukan upaya untuk mengatasi burnout yang dialami oleh pekerja agar tidak beranjut pada kondisi yang lebih parah. Pencegahan dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif serta meningkatkan dukungan sosial baik dari pimpinan, rekan sejawat maupun keluarga. Upaya lainnya adalah dengan menyeimbangkan beban kerja pekerja dengan waktu istirahat, sehingga pekerja memiliki kesempatan untuk memulihkan kondisi fisiknya.

DAFTAR PUSTAKA

  Akhsani, U. 2017. Faktor-faktoryang Berhubungan denganBurnout pada Perawat ICU di RSUD Wilayah Kabupaten Banyumas. Skripsi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Allarcon,G.M. 2011. A Meta Analysis of Burnoutwith Job Demand Resources and Attitude.

  Journal of Vocational Behavior 79: 549-562. Bakker, A.B., E. Demerouti, &M.C. Euwema2005. Job Resources Buffer the Impact of Job Demands on Burnout. Journal of Occupational Health Psychology 10: 170-180. Darmawan, A.A.Y.P. &I.A. Silviandri. 2015. Hubungan Burnout dan Work Life Balance pada Dosen Wanita. Jurnal Mediapsi 1(1): 28-39. Hakanen, J.J., A.B. Bakker, &W.B. Schaufeli. 2006. Burnout and Work Endgagement Among Teachers. Journal of School Psychology 43: 495-513. Harlock, E.B. 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.

  Edisi 5. Erlangga. Jakarta. Maharani, P.A. &A. Triyoga. 2012. Kejenuhan Kerja dan Kinerja Perawat dalam Pemberian Asuhan Keperawatan. Jurnal STIKES 5(2): 167-178.

  Maslach, C. &M. Leiter. 2008. Early Predictors of Job Burnout and Engagement. Journal of Applied Psychology 93: 498-512. Nelson, K. J.S. Boudrias, L. Brunet, D. Morin, M. De Civita, A. Savoie, &M. Aldeson, M. 2014.

  Authentic Leadership and Psychological Well-being a the Individual Level of Analysis.

  Burnout Research 1: 90-101.

  Nink, M. 2015. The German Work Force has a Burnout Problem. Bussiness Journal. Putnik, K. &I. Houkes. 2011. Work Related Characteristics, Workhome and Homework

  Interference and Burnout Among Primary Healthcare Physicians: A Gender Perspective in a Serbian Context. BMC Public Health 11: 716. Saputri, R.D., K.G. Swasti, & W.E. Ekowati. 2017. Gambaran Burnout pada Dosen FIKes Unsoed.

  Skripsi . Jurusan Keperawatan FIKes Unsoed.

  Soler, R.S., A.G. Martin, D. Flichtentrei, M. Prats, , F. Braga, S.F. Mayolas, &M.E. Gras. 2014.

  The Consequency of Burnout Syndrome Among Healthcare Prefessional in Spain andSpanish Speaking Latin America Countries. Burnout Research 1: 82-89. Suharti, N &N.H.C. Daulima 2013. Burnout denganKinerja Perawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre Jakarta. Skripsi. Depok. Wholey & Wong. 2012. Nursing Care of Infant and Children. (Fifth edition). Mosby Years Book.

  Philadelpia.