PENDIDIKAN KARAKTER DAN HABITUS MORAL DA
PENDIDIKAN KARAKTER DAN HABITUS MORAL
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BANGSA
Oleh
Sarmauli, M.Th
BAB I
PENDAHULUAN
Piramida Mesir dengan luas 146 M2, dibangun bermula dari
1 buah batu berukuran sedang atau bahkan kecil. Tanpa suatu
maksud dan tujuan tertentu, identitasnya terbatas sebagai batu
biasa. Ketika diarahkan dan diletakkan dengan tujuan tertentu,
maka nilai batu tersebut berubah, dan membentuk makna yang
besar untuk dipahami orang lain, bahkan memiliki tujuan di
dalam dirinya sendiri. Demikianlah pembangunan bangsa
ditentukan pula dari pembangunan individu-individu di
dalamnya. Pada dasarnya, individu-individu tersebut terlihat kecil
atau mungkin sederhana, namun ketika diberi arahan dan ruang
untuk berkembang sesuai konteks diri dan lingkungannya, maka
nilai dirinya berubah, makna yang dihadirkan pun menjadi
semakin berpengaruh, bahkan ia memiliki tujuan di dalam dirinya
sendiri. Pembangunan individu, secara khusus dalam hal
pendidikan karakter dan habitus moral sebagai dasar
pembangunan bangsa, dapat diamati dalam penggambaran
tersebut.
Topik mengenai pendidikan karakter dan habitus moral,
serta pembangunan bangsa, tepat disajikan dalam konteks
Indonesia dewasa ini. Pergolakan politik, ketidakadilan,
diskriminasi, lemahnya integritas hidup individu, peningkatan
masalah kemanusiaan, persekusi dan sejumlah persoalan
lainnya, menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan
bernegara yang kerap disaksikan. Reduksi nilai nasionalisme dan
lemahnya sentimen kemasyarakatan seperti istilah Durkheim,
atau dapat dijabarkan sebagai lemahnya rasa memiliki dalam
suatu kelompok bangsa, makin memperkeruh situasi Indonesia
saat ini. Keberaadaan Indonesia sebagai “rumah bersama” bagi
sejumlah suku, agama, ras, dan sebagainya, bahkan didorong
1
oleh sejumlah pihak untuk dikaji kembali. Deskripsi situasi aktual
Indonesia yang demikian, tentu memengaruhi pembangunan
bangsa.
Dalam situasi serupa, piramida Mesir yang menjulang
tinggi, terlihat tua dari segi usia bangunan, dan dikhawatirkan
eksistensinya menghadapi berbagai tantangan cuaca, perlu
diperhatikan dan dirawat kembali eksistensinya, dari satu batu ke
batu lainnya. Demikianlah pembangunan bangsa yang besar
seperti Indonesia. Ukuran bangsa yang besar (dari segi kuantitas
jumlah penduduk dan cenderung heterogen pada berbagai aspek
hidup), tua dari segi usia, dan dikhawatirkan eksistensinya
menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal,
maka pembangunan di dalamnya perlu dilakukan dari tiap
individu yang ada. Pada titik inilah, pembangunan individu,
secara khusus pendidikan karakter dan habitus moral harus
mendapat perhatian besar oleh pemerintah, bahkan seluruh
elemen bangsa Indonesia. Keduanya menjadi fokus utama karena
merupakan penentu nilai diri, standar atau acuan hidup, bahkan
memengaruhi
sasaran
individu
bersangkutan,
sekaligus
memengaruhi sasaran pembangunan bangsa tersebut.
Atas dasar keprihatinan dan keinginan untuk mengambil
peran menghadapi persoalan bangsa, maka tulisan ini
dihadirkan. Tulisan ini akan mengulas pengertian karakter dan
karakter kebajikan, prosedur pembangunan karakter individu dan
habituasi moral sejak dini, Pada akhirnya, tulisan ini juga akan
menyajikan
pengaruh
pendidikan
karakter
terhadap
pembangunan bangsa.
2
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER DAN KARAKTER KEBAJIKAN
A.
PENGERTIAN KARAKTER
Bagi Aristoteles, karakter berhubungan dengan kualitas
diri seseorang. Kualitas diri ini mencakup kecerdasan,
imajinasi moral, dan kepekaan yang berhubungan dengan
karakter. Semua ini tidak terbentuk dengan baik sejak lahir,
namun perlu dilatih dan dikembangkan (Aristoteles dalam
Kupperman, 1999, 208). Aristoteles menegaskan bahwa
pendidikan karakter harus dianggap tidak hanya sebagai
penanaman suatu perangkat lunak untuk masalah
kehidupan, melainkan juga melibatkan pembentukan dan
pengembangan pada tahap selanjutnya.
Joel Kupperman mengangkat sepenggal syair dari John
Keats yang menulis surat demikian, “dunia ini adalah vale of
soulmaking
(lembah
pembentuk
jiwa)”.
Kupperman
menyimpulkan bahwa pendidikan karakter sama dengan
pembuatan atau pembentukan jiwa. Ia menggarisbawahi
bahwa karakter tidak dapat dianggap langsung sebatas
sebuah konsep etis. Karakter juga tidak berhubungan
dengan selera makan dan pakaian, tetapi dengan kejujuran,
kasih sayang, dan sebagainya. Baginya, karakter adalah
pola pikir dan tindakan normal seseorang, terutama dengan
menghormati dan memperhatikan komitmen pada hal-hal
yang memengaruhi kebahagiaan orang lain, maupun orang
iu sendiri, terutama dalam hhal pilihan moral. (Kupperman
dalam David carr dan Jan Steutel, 1999, 208).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa istilah
“karakter” berasal dari bahasa Yunani charassein, yang
berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang
yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Dari
pengertian ini, karakter kemudian diartikan sebagai tanda
atau ciri khusus, yang melahirkan suatu pandangan bahwa
karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, dan
keadaan moral seseorang. Kendati demikian, arti dan
gambaran yang demikian masih dapat diperdebatkan karena
karakter nampak sepenuhnya berasal dari pemahat di luar
batu tersebut (eksternal). Pada kenyataannya, karakter juga
3
kadang lahir dari keputusan pribadi dan rasional yang dibuat
oleh pribadi bersangkutan.
Dari sejumlah pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa
karakter berkaitan dengan suatu pola yang menetap dalam
diri seseorang (bukan soal baik buruknya, etis atau tidak
etisnya), namun tetap terbuka bagi setiap perubahan, dan
menjadi
ciri
khas
pribadinya,
serta
memengaruhi
kebahagiaan dirinya maupun orang lain.
B.
PENGERTIAN KARAKTER KEBAJIKAN
Pembicaraan mengenai karakter kebajikan, tidak
terlepas dari 3 filsuf mula-mula, Socrates, Plato dan
Aristoteles yang menggambarkan mengenai Eudaimonia
(kebahagiaan sejati). Karakter yang baik harus dihubungkan
dengan usaha untuk sampai pada level kebahagiaan sejati,
yang saat itu banyak berhubungan dengan persoalan
rasioalisasi dan nalar (Garvey, 2010, 24; Wibowo, 2010 : 90).
Kendati demikian, pengembangan karakter kebajikan ini
dipandang
dalam
aras
tindakan
yang
membawa
kebahagiaan sejati bagi dirinya dan bagi orang di sekitarnya,
baik dalam hal intelektual, maupun tindakan moral.
Michael Novak menyebutkan bahwa karakter yang baik
merupakan campuran dari seluruh kebaikan yang
diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum
bijaksana dan kumpulan orang berakal sehat dalam sejarah
(Novak dalam tulisan Lickona, 2013:81). Dalam arti, sangat
sulit untuk menemukan karakter kebajikan yang tertanam
secara penuh dan sempurna dalam diri seseorang, karena
karakter kebajikan merupakan suatu proses yang berusaha
dibentuk sepanjang hidup pribadi bersangkutan, bahkan
dapat dianggap berbeda sesuai konteks masing-masing
(kebajikan di suatu daerah belum tentu kebajikan di daerah
lainnya). Dengan demikian, karakter kebajikan dapat
dianggap sebagai pola tindakan yang dianggap baik dan
memberi manfaat bagi diri pribadi bersangkutan, maupun
bagi orang lainnya, sesuai dengan konteks pribadi dan
lingkungannya.
Kebajikan sendiri bukan sekadar menghindari apa yang
buruk. Kebajikan memiliki kekuatan moral. Jika dihubungkan
Kantianisme, maka standar tindakan benar (kebajikan) harus
4
mengusung
unsur
kemanusiaan,
termasuk
nilai
kemanusiaan dari kelompok yang minoritas sekalipun. Kant
mengajak orang untuk menempatkan diri pada posisi orang
yang dirugikan sebelum mengambil keputusan. Ia
sependapat dengan pola pikir alkitabiah, yang juga terdapat
dalam pendapat Confusius, yakni apa yang kita ingin orang
lain lakukan bagi kita, itulah yang harus kita lakukan bagi
orang lain.
Naim (2012 : 123-212) memberi contoh karakter yang
perlu dibangun, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat, cinta damai, gemar membaca, pantang
menyerah, peduli lingkungan, peduli sesama, dan
sebagainya.
Pada titik ini, karakter kebajikan dapat dikatakan
berkaitan dengan pola kepribadian seseorang yang berasal
dari pilihan pribadi dan keputusannya, sekaligus membawa
dampak tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.
C.
POLA PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT
Seorang penulis Muslim menyatakan bahwa pendidikan
memiliki 2 makna. Pertama, pendidikan adalah proses yang
terjadi secara tidak sengaja dan alamiah. Kedua, pendidikan
adalah proses yang terjadi secara disengaja, direncanakan,
didesain dan diorganisasi berdasarkan aturan yang berlaku,
terutama perundang-undangan yang dibuat atas dasar
masyarakat. (Mu’in, 2011:287-288)
Ada pula yang menyebut pendidikan sebagai life long
education (pendidikan seumur hidup). Yeaxlee, A. B
(Inggris,1929)
secara
tersurat
menggunakan
istilah
pendidikan seumur hidup. Konsep ini ditegaskan oleh
Bachhelard (Perancis, 1930). Kelompok Muslim biasa
menggunakan pernyataan “uthlubullielma minal mahdi
ilallahdi” (carilah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat),
(Komar, 2006:259).
Alam sering dinyatakan sebagai “sekolah besar” yang
telah mengajari manusia dengan situasi geraknya (gerak
alam). Hal itu berlangsung dalam waktu yang lama sebelum
5
pendidikan direduksi (dipersempit) derajatnya menjadi
sekolah (Mu’in, 2011:288). Di sinilah dapat disimpulkan
bahwa pendidikan dapat berlangsung secara alami, namun
tak jarang berlangsung dalam lingkup sekolah, yang oleh
Plato tentu mengalami reduksi pada berbagai aspek.
D.
PERDEBATAN MENGENAI PENDIDIKAN KARAKTER
(KEBAJIKAN)
Pertanyaan yang pasti muncul, yakni apakah karakter
kebajikan dapat diajarkan. Kupperman menggunakan pikiran
Plato untuk menjelaskan hal ini. Jika kebajikan diajarkan,
maka bagi Plato, ia akan lebih rendah nilainya dari apa yang
sebenarnya karena kebajikan bukanlah matematika atau
geografi. Dalam arti, karakter kebajikan tersebut akan
mengalami distorsi dalam pemaknaannya.
Kupperman juga mengangkat tulisan Aristoteles yang
tidak hanya melihat aspek umum (objektif) saja tetapi juga
aspek khusus (subjektifitas pribadi). Menurut Aristoteles,
seorang pemberani tidak hanya mengikuti peraturan umum
atau mematuhi algoritma (urutan logis pngambilan
keputusan), namun harus bisa menyesuaikan diri dengan
keadaan.
Aristoteles
tidak
menekankan
keputusan
prosedural, tetapi melatih dan mendorong orang untuk
menuju pada mode atau keputusan pribadi. Pendapat
Aristoteles, nampaknya tidak jauh dari pikiran Kantianisme
untuk mengangkat aspek otonom (mandiri dari si pengambil
keputusan).
Dengan demikian, tidak dinyatakan bahwa karakter
kebajikan tidak bisa diajarkan atau dididik, namun individu
dapat diarahkan untuk menemukan dan menumbuhkan
karakter kebajikan tersebut.
E.
PROSES PENDIDIKKAN KARAKTER KEBAJIKAN
Dua filsuf besar yang juga banyak berbicara tentang
ajaran kebajikan adalah Aristoteles dan Confusius. Berikut
akan digambarkan proses pendidikan karakter kebajikan
menurut Aristoteles dan Confusius.
1. Kebajikan versi Aristoteles
6
Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa
kebajikan sejati (dengan standar tinggi) membutuhkan
filsafat dan kebiasaan (filosofi dan tindak pembiasaan).
Aristoteles menekankan pada dua hal penting, yaitu
fondasi dan kebiasaan.
a. Fondasi (dasar)
Segala usaha menjadi sia-sia, bila fondasi tidak
diperkuat.
b. Kebiasaan
Unsur penting dalam pembentukan kebiasaan
adalah kesenangan dan rasa sakit. Bagi Aristoteles,
kita harus dibesarkan dengan cara tertentu dari
masa muda kita (seperti kata Plato), agar dapat
menikmati sebuah kesenangan atau kesedihan
untuk hal yang seharusnya. Kegembiraan dan rasa
sakit dapat mewakili beberapa derajat respon yang
dikondisikan. Pola kesenangan dan rasa sakityang
dialami masa kecil, sangat penting dalam
pembentukan kebiasaan (Kupperman, 1999, 211).
Pendapat Aristoteles lainnya berkaitan dengan
kebajikan karakter (Kupperman, 1999, 211), yaitu:
a. Aturan moral
Aristoteles menegaskan bahwa ‘aturan moral’ tidak
cukup untuk menanamkan kebajikan, tetapi hanya
mendekati kebutuhan untuk mengkondisikan
sesuatu.
Keakraban
dengan
aturan
moral
memberikan
panduan
cepat
tetapi
tidak
memberikan ruang bagi keputusan moral. Hal ini
bahkan menghambat rasionalisasi terhadap hal
tersebut.
b.
Pengaruh Orang tua dan masyarakat, termasuk
pemimpin
Bagi Aristoteles, pihak-pihak ini menyediakan
model kehidupan yang baik dalam proses
pembelajaran, namun itu tidak lengkap bila
sebatas pendidikan moral awal.
c.
Pendidikan lanjutan
7
Plato dan Aristoteles melihat bahwa filosofi sangat
penting dalam pendidikan moral lanjutan. Plato
menegaskan bahwa kesadaran akan nilai yang baik
sangat diperlukan. Aristoteles jelas melihat bahwa
dalam
hal
pendidikan
lanjutan
dibutuhkan
pengalaman dan penilaian sadar (pemahaman
filosofis). Dalam hal ini, Aristoteles menolak
kepatuhan pada standar umum atau ritual semata,
tanpa didasari pemahaman mendalam terhadap
apa yang dipatuhi. Model ini hanya berlaku pada
masa anak-anak, dan harus berubah pada lanjutan
pendidikan moral.
2. Kebajikan Versi Confusius
Berbicara tentang pendidikan lanjutan, maka tokoh
yang banyak membicarakan hal ini adalah Confusius.
Salah satu murid Confusius yang melanjutkan pikiranpikirannya adalah Mencius. Beberapa pola pikir Mencius
yang didapat dari gurunya Confusius (Kupperman,
1999, 214), yaitu:
a. Kebaikan sejati adalah menyadari kebajikan itu dan
berusaha menyalurkannya.
b. Manusia perlu mengembangkan imajinasi moral
Confusius beranggapan bahwa kerusakan di dunia
ini dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki
perasaan. Ia berpendapat bahwa orang harus belajar
menempatkan diri dan perasaannya pada diri orang lain
atau korban yang berdampak dari keputusannya (rasa
simpati-empati dikembangkan). Pada sisi ini pula nilainilai kemanusiaan dikembangkan.
Elemen lain yang ada dalam pendidikan lanjutan
karakter (Kupperman, 1999, 214), yaitu rasa percaya
diri dan pengembangan peran pribadi, karena kadang
kondisi hidup tidaklah selalu stabil.
Dari sejumlah penjelasan ini, dapat disimpulkan
bahwa proses pendidikan karakter membutuhkan dasar
(fondasi), tetapi juga pilar-pilar pemahaman lanjutan
untuk memperkuat dasar tersebut. Pada awalnya,
karakter yang diberikan sering berupa kebiasaan, tanpa
pemaknaan,
namun
pada
tahap
selanjutnya
kemampuan
rasional
yang
berkembang
harus
8
digunakan untuk memaknai kebiasaan tersebut. Perlu
diingat bahwa aktivitas pendidikan yang nampak tidak
berhubungan dengan pendidikan moral, justru dapat
berkontribusi besar terhadap perkembangan karakter
yang kuat.
9
BAB III
HABITUASI MORAL SEJAK KECIL
A. HABITUASI MORAL SEJAK KECIL
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik
atau buruk. Moralitas berkaitan dengan baik-buruknya
perbuatan manusia. (Poespoprojo, 1998 : 118). Dalam makna
yang demikian, moralitas memiliki dasar pemahaman yang
sama dengan kebajikan, sebagaimana yang disebutkan para
filsuf mengenai keutamaan (Weij, 1988:39).
Sorbaji (1980) dalam tulisan Ben Spiecker menyatakan,
“habituasi menekankan pelibatan penilaian situasi untuk
melihat, menentukan dan melakukan apa yang ditentukan
atau diputuskan. Hal ini didasarkan pada semacam persepsi
intuitif”. Sorbaji bahkan mengatakan bahwa kebiasaan yang
didapat pada masa kanak-kanak bukanlah kebajikan yang
lengkap, tetapi sebuah kebiasaan. Pada tahap tersebut,
kebajikan belum diperkaya dengan kebijaksanaan praktis
atau penalaran. Situasi ini dikarenakan kebajikan yang
lengkap membutuhkan kebijaksanaan praktis.
B.
TAHAP NON MORAL
Para filsuf dan peneliti pengembangan moral,
bersepaham bahwa tahun-tahun awal hidup seorang anak
belum memungkinkan bagi terjadinya penalaran moral.
Masa ini disebut tahap non-moral. Pada tahap ini anak
hanya bisa disosialisasikan, diindoktrinasi atau dilatih. Ketika
anak sudah mampu memahami alasan moral dan keadilan
moral, barulah pendidikan dengan pengetahuan moral
rasional dimulai.
Ben Spiecker beranggapan bahwa pelatihan di sekolah
kadang sebatas membantu pengembangan diskusi rasional,
berbeda dengan di rumah yang turut menyertakan aspek
afektif. Baginya, bila latihan dan habituasi (sebagai proses)
dari kedua konteks ini dievaluasi, maka produknya pasti
berbeda. Baginya, banyak kali ditemukan KEBIASAAN BUTA,
yakni kebiasaan yang hanya dilakukan, tanpa sepenuhnya
dipahami. Ada 2 kebiasaan yang paling umum, yaitu :
10
a.
b.
Single Track – Kebiasaan, menggambarkan suatu pola
tindakan yang cenderung diikuti oleh banyak orang,
bahkan cenderung seragam.
Multi Track – Kecerdasan, menggambarkan pola
tindakan yang dapat diambil atas dasar inisiatif pribadi
karena pemahaman rasional orang tersebut, dan
cenderung beragam, tergantung pada kondisi atau
situasi
yang
dihadapi.
Contoh:
kebiasaan
memperhatikan penderitaan orang lain tidak akan
menjadi sebuah kebajikan, tetapi bisa membantu anakanak untuk tergerak oleh belas kasihan pada
kesempatan-kesempatan tertentu.
Kebiasaan moral yang berimplikasi sosial inilah yang harus
dihadirkan bagi anak-anak kita. Pembinaan moral dan
pengembangan dimulai dari latihan kebiasaan moral, guna
menghasilkan pola multi track, inilah tahap pertama yang
penting dalam pembangunan moral.
Dengan latihan demikian, kebiasaan multi track anak
secara bertahap dibawa menjadi lebih peka, rasional, dengan
tingkat intelektual yang semakin tinggi dan pendalaman sisi
afektif. Ide Spiecker ini ditentukan oleh proses pemeliharaan
pengurus anak tersebut terhadap diri anak. suara yang
disampaikannya dapat menyatakan kebutuhan, perasaan,
emosi atau kepentingan yang diharapkan. Sejak awal,
kapasitas dan kualitas pribadi diproyeksikan pada bayi yang
baru lahir (tidak harus menunggu hingga anak dapat
melakukan suatu kebiasaan moral tertentu seperti pendapat
Aristoteles).
Erik H. Erikson menyatakan bahwa anak sudah memperoleh
pemahaman (hasil proyeksi) dari lingkungan terdekatnya, baik
ketakutan, kecemasan, intoleransi dasar, dan sebagainya (Erik
H. Erikson, 2010 : 500). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pendapat Ben Spiecker justru lebih jauh dari sebatas
pemahaman Aristoteles yang melihat perkembangan moral
dan penanaman karakter kebajikan setelah anak dapat
dibiasakan pada suatu hal, namun justru sejak si anak lahir.
11
BAB IV
PENDIDIKAN KARAKTER DAN HABITUS MORAL
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Topik ini menjadi tepat untuk disampaikan kembali dalam
konteks Indonesia saat ini. Pembangunan karakter dan
pembangunan bangsa menjadi semboyan yang kuat pada zaman
kepemimpinan Presiden Soekarno. Beliau sering menyerukan
pentingnya pembangunan karakter bangsa yang dapat
menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat,
terutama bebas dari penjajahan, yang kerap membawa
perbudakan dan penjajahan (Mu’in, 2011:84). Dalam konteks
demikianlah, persoalan bangsa dewasa ini dapat dipandang dari
individu di dalamnya, yang sekaligus adalah aktor penggerak
sistem dan roda pembangunan.
Pendidikan karakter—kinerja dan moral, memposisikan
individu sebagai diri pribadi di satu pihak, dan sebagai komponen
yang melekat dalam komunitas di pihak lain. Dalam konteks
pendidikan karakter, dibutuhkan rekonsiliasi antara kedua kutub,
dengan catatan bahwa menjadi tanggung jawab masyarakat
untuk menanamkan nilai kepada segenap warganya.
Kita masih beruntung karena pendidikan keluarga, termasuk
institusi agama masih peduli dengan pendidikan karakter dan
habitus moral. Pendidikan karakter yang sesungguhnya sudah
mulai sejak usia dini melalui pengasuhan. Dalam konteks agama
Kristen, kita masih mengandalkan institusi keagamaan untuk
memainkan perannya, guna menanamkan nilai guna membentuk
karakter kinerja dan karakter moral.
Hal ini dapat dilihat di berbagai daerah. Salah satunya, di
tanah Batak. Tidak dapat diabaikan, pengaruh budaya barat
sejak pra kemedekaan melalui kunjungan para misionaris, telah
masuk ke tanah Batak. Kolonialis Barat di bawah pengaruh etik
Protestan, menekankan asketisme
dan prestasi sebagai
panggilan. Pada satu sisi hal ini berpotensi untuk mendorong
kemajuan dalam ekonomi dan pendidikan, tetapi di sisi lainnya
mengalami benturan dengan nilai-nilai komunal yang amat
spesifik di lingkungan budaya Batak. Budaya Barat amat
individualis-kompetitif dalam rangka mengoptimalkan produksi
dan manfaat (utilitas), sedang budaya Batak masih tetap
12
menghargai nilai timbang rasa di sela upaya meraih manfaat
sebanyak mungkin.
Dari contoh ini dapat dinyatakan bahwa karakter dapat
dipengaruhi oleh situasi di sekeliling kita, tetapi juga dibentuk
atas dasar putusan rasional pribadi. Berbagai aspek dapat
memengaruhi pendidikan karakter dan habitus moral tersebut.
Tentunya, pendidikan karakter kebajikan dan habitus moral yang
membawa
peningkatan hidup
pribadi
dan masyarakat
Indonesialah yang diharapkan terbentuk dalam diri individu di
tengah bangsa ini.
Pada kenyataannya, karakter kebajikan dan habitus moral
tidak pernah terbentuk secara instan. Membangun karakter
kebajikan dan habitus moral memerlukan waktu dan sikap dasar,
yaitu kesediaan untuk belajar dan berubah. Pada dasarnya,
karakter yang kokoh dibentuk di atas landasan pengalaman,
disiplin diri, dan dedikasi. Karakter adalah sebuah kekuatan yang
tidak kelihatan. Karakter yang baik menghasilkan buah-buah
yang unggul dan berkualitas. Buah-buah dari karakter antara
lain: Integritas menghasilkan kewibawaan, tanggung jawab
menghasilkan
kedewasaan,
kejujuran
menghasilkan
kepercayaan, ketulusan menghasilkan persahabatan, iman
menghasilkan kekuatan, ketekunan menghasilkan pengharapan,
dan lain sebagainya. (Yakoep Ezra 2006, 13-14).
Pendidikan karakter dan habitus moral inilah yang
membentuk jati diri bangsa Indonesia. Suatu masyarakat dapat
sama-sama menghadirkan rasa nyaman, bila martabat segenap
manusianya terjamin, demikian penyampaian Magnis Suseno.
Baginya, kondisi ini hanya bisa terbangun dengan dasar hormat
terhadap martabat, nilai, hak dan kebebasan, serta tanggung
jawab segenap anggota masyarakat (Magnis Suseno, 1988: 23).
Dengan demikian, masyarakat akan memengaruhi situasi dan
pembentukan karakter seseorang, yang pada akhirnya karakter
orang tersebut akan juga memengaruhi masyarakat itu nantinya.
13
BAB V
PENUTUP
Bangsa
memengaruhi
individu
dan
individu
juga
memengaruhi bangsanya. Pembaharuan bangsa ditentukan dari
pembaharuan individu di dalamnya. Dengan demikian,
pendidikan karakter (pemberian ruang bagi bertumbuhnya
karakter kebajikan pada pribadi yang otonom dan mandiri) serta
pengembangan habitus moral, perlu dilakukan di tengah bangsa
ini. Pendidikan karakter dan habitus moral, tidak hanya dilakukan
melalui penanaman kebiasaan (tanpa makna, pada saat anak
masih belum sampai pada tahap rasionalisasi tindakan), tetapi
berlanjut pada masa rasionalisasi (kognitif) tindakan untuk
memperteguh karakater, dan tujuannya. Pola ini bahkan masih
didahului dengan pola proyeksi awal yang diberikan sejak bayi
baru lahir, yang dilakukan oleh orang tua, pengasuh atau orang
terdekat si bayi melalui hubungan afektif. Dalam hal inilah,
dibutuhkan dukungan dari keluarga, maupun orang terdekat,
maupun pihak pemerintah (Lickona, 2013:555,557). Harapan
yang diinginkan, yakni pendidikan karakter kebajikan dan habitus
moral dapat berlangsung dalam karakter individu bersangkutan,
dan berimbas pada kehidupan komunal di mana ia berada.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., 1990. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta : Gramedia.
Budiningsih, C. Asri., 2004. Pembelajaran moral : Berpijak pada
karakter siswa dan Budayanya. Jakarta : Rineka Cipta.
Boa, Kenneth, Sid Buzzell & Bill Perkins, 2013. Handbook To
Leadership. Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Chamblin, J. Knox., 2006. Paul and The Self: Apostolic Teaching
For Personal Wholeness. Terjemahan, Penerbit Momentum :
Jakarta.
Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief.
Terjemahan. Malang: Gandum Mas.
Dutt Suresh, 1997. Encyclopedia of Child Psychology and
Development. New Delhi : J. L. Kumar fo Anmol Publication.
de Waal, Frans., 2011. Primat dan Filsuf : Menurut Asal Usul
Kesadaran Moral, Yogyakarta : Kanisius.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 2.
Terjemahan, Malang:Literatur SAAT.
Erikson,Erik H., 2010, Childhood and Society edisi ketiga, (1985),
terjemahan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ezra, Yakoep., 2006. Succes Througgh Character. Yogyakarta :
Andi .
Hadiwijono, Harun, 1980. Seri Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta
: Kanisius.
Hearth, W. Stanley,
Yogyakarta : ANDI
1997.
Psikologi
Yang
Sebenarnya.
Carr David dan Jan Steutel, 1999. Virtue Ethic, and Moral
Educction.
15
Garvey, James, 2010. 20 karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta :
Kanisius.
Komar, Oong., 2006. Filsafat Pendidikan Non Formal. Bandung :
Pustaka Setia.
Lickona, Thomas, 2013. Educating For character : How Our
School Can Teach Respect and Responsibility- The Journal of
Moral Education, Jakarta : Bumi Aksara.
Mu’in, Fatchul, 2011. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoritik
dan Praktik, Urgensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi
Peran Guru dan Orang Tua. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
2011.
Sijabat, B.S., 2008. Membesarkan
Yogyakarta : ANDI
Anak
Dengan
Kreatif.
Naim, Ngainus., 2012. Character Building : Optimalisasi Peran
Pendidikandalam Pengembangan Ilmu dan Pembentukan
Karakter Bangsa, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Magnis Suseno, 2005. Franz, Pijar-Pijar Filsafat : Dari Gatholoco
ke
Filsafat
Perempuan,
dari
Adam
Muller
ke
Postmodernisme, Yogyakarta : Kanisius.
Magnis Suseno, Franz., 1988. Kuasa dan Moral : cet kedua,
Jakarta : Gramedia.
Poespoprodjo, W., 1998. Filsafat Moral : Kesusilaan Dalam teori
dan Praktek. Bandung : Pustaka Grafika.
Santrock, John, 2007. Perkembangan Moral. Bandung : Erlangga.
Setyo Wibowo, 2010. A., Arete : Hidup Sukses Menurut Platon,
Yogyakarta : Kanisius.
Stassen, Glen & David Gushee., 2008. Etika Kerajaan: Mengikut
Yesus dalam Konteks Masa Kini. Terjemahan. Jakarta:
Momentum.
16
Tafsir, Ahmad, 2000. Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales
sampai Capra, Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya.
Tong, Stephen., 2010. Arsitek Jiwa II, Cetakan Ketujuh, Jakarta:
Momentum.
Weber, Max, (Penerj : Noorkholish), 2009. Sosiologi – Cet Kedua,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Weij, van der., (ed: K. Bartens), 1988, Filsuf-Filsuf Besar tentang
Manusia, Jakarta : Gramedia.
17
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BANGSA
Oleh
Sarmauli, M.Th
BAB I
PENDAHULUAN
Piramida Mesir dengan luas 146 M2, dibangun bermula dari
1 buah batu berukuran sedang atau bahkan kecil. Tanpa suatu
maksud dan tujuan tertentu, identitasnya terbatas sebagai batu
biasa. Ketika diarahkan dan diletakkan dengan tujuan tertentu,
maka nilai batu tersebut berubah, dan membentuk makna yang
besar untuk dipahami orang lain, bahkan memiliki tujuan di
dalam dirinya sendiri. Demikianlah pembangunan bangsa
ditentukan pula dari pembangunan individu-individu di
dalamnya. Pada dasarnya, individu-individu tersebut terlihat kecil
atau mungkin sederhana, namun ketika diberi arahan dan ruang
untuk berkembang sesuai konteks diri dan lingkungannya, maka
nilai dirinya berubah, makna yang dihadirkan pun menjadi
semakin berpengaruh, bahkan ia memiliki tujuan di dalam dirinya
sendiri. Pembangunan individu, secara khusus dalam hal
pendidikan karakter dan habitus moral sebagai dasar
pembangunan bangsa, dapat diamati dalam penggambaran
tersebut.
Topik mengenai pendidikan karakter dan habitus moral,
serta pembangunan bangsa, tepat disajikan dalam konteks
Indonesia dewasa ini. Pergolakan politik, ketidakadilan,
diskriminasi, lemahnya integritas hidup individu, peningkatan
masalah kemanusiaan, persekusi dan sejumlah persoalan
lainnya, menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan
bernegara yang kerap disaksikan. Reduksi nilai nasionalisme dan
lemahnya sentimen kemasyarakatan seperti istilah Durkheim,
atau dapat dijabarkan sebagai lemahnya rasa memiliki dalam
suatu kelompok bangsa, makin memperkeruh situasi Indonesia
saat ini. Keberaadaan Indonesia sebagai “rumah bersama” bagi
sejumlah suku, agama, ras, dan sebagainya, bahkan didorong
1
oleh sejumlah pihak untuk dikaji kembali. Deskripsi situasi aktual
Indonesia yang demikian, tentu memengaruhi pembangunan
bangsa.
Dalam situasi serupa, piramida Mesir yang menjulang
tinggi, terlihat tua dari segi usia bangunan, dan dikhawatirkan
eksistensinya menghadapi berbagai tantangan cuaca, perlu
diperhatikan dan dirawat kembali eksistensinya, dari satu batu ke
batu lainnya. Demikianlah pembangunan bangsa yang besar
seperti Indonesia. Ukuran bangsa yang besar (dari segi kuantitas
jumlah penduduk dan cenderung heterogen pada berbagai aspek
hidup), tua dari segi usia, dan dikhawatirkan eksistensinya
menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal,
maka pembangunan di dalamnya perlu dilakukan dari tiap
individu yang ada. Pada titik inilah, pembangunan individu,
secara khusus pendidikan karakter dan habitus moral harus
mendapat perhatian besar oleh pemerintah, bahkan seluruh
elemen bangsa Indonesia. Keduanya menjadi fokus utama karena
merupakan penentu nilai diri, standar atau acuan hidup, bahkan
memengaruhi
sasaran
individu
bersangkutan,
sekaligus
memengaruhi sasaran pembangunan bangsa tersebut.
Atas dasar keprihatinan dan keinginan untuk mengambil
peran menghadapi persoalan bangsa, maka tulisan ini
dihadirkan. Tulisan ini akan mengulas pengertian karakter dan
karakter kebajikan, prosedur pembangunan karakter individu dan
habituasi moral sejak dini, Pada akhirnya, tulisan ini juga akan
menyajikan
pengaruh
pendidikan
karakter
terhadap
pembangunan bangsa.
2
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER DAN KARAKTER KEBAJIKAN
A.
PENGERTIAN KARAKTER
Bagi Aristoteles, karakter berhubungan dengan kualitas
diri seseorang. Kualitas diri ini mencakup kecerdasan,
imajinasi moral, dan kepekaan yang berhubungan dengan
karakter. Semua ini tidak terbentuk dengan baik sejak lahir,
namun perlu dilatih dan dikembangkan (Aristoteles dalam
Kupperman, 1999, 208). Aristoteles menegaskan bahwa
pendidikan karakter harus dianggap tidak hanya sebagai
penanaman suatu perangkat lunak untuk masalah
kehidupan, melainkan juga melibatkan pembentukan dan
pengembangan pada tahap selanjutnya.
Joel Kupperman mengangkat sepenggal syair dari John
Keats yang menulis surat demikian, “dunia ini adalah vale of
soulmaking
(lembah
pembentuk
jiwa)”.
Kupperman
menyimpulkan bahwa pendidikan karakter sama dengan
pembuatan atau pembentukan jiwa. Ia menggarisbawahi
bahwa karakter tidak dapat dianggap langsung sebatas
sebuah konsep etis. Karakter juga tidak berhubungan
dengan selera makan dan pakaian, tetapi dengan kejujuran,
kasih sayang, dan sebagainya. Baginya, karakter adalah
pola pikir dan tindakan normal seseorang, terutama dengan
menghormati dan memperhatikan komitmen pada hal-hal
yang memengaruhi kebahagiaan orang lain, maupun orang
iu sendiri, terutama dalam hhal pilihan moral. (Kupperman
dalam David carr dan Jan Steutel, 1999, 208).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa istilah
“karakter” berasal dari bahasa Yunani charassein, yang
berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang
yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Dari
pengertian ini, karakter kemudian diartikan sebagai tanda
atau ciri khusus, yang melahirkan suatu pandangan bahwa
karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, dan
keadaan moral seseorang. Kendati demikian, arti dan
gambaran yang demikian masih dapat diperdebatkan karena
karakter nampak sepenuhnya berasal dari pemahat di luar
batu tersebut (eksternal). Pada kenyataannya, karakter juga
3
kadang lahir dari keputusan pribadi dan rasional yang dibuat
oleh pribadi bersangkutan.
Dari sejumlah pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa
karakter berkaitan dengan suatu pola yang menetap dalam
diri seseorang (bukan soal baik buruknya, etis atau tidak
etisnya), namun tetap terbuka bagi setiap perubahan, dan
menjadi
ciri
khas
pribadinya,
serta
memengaruhi
kebahagiaan dirinya maupun orang lain.
B.
PENGERTIAN KARAKTER KEBAJIKAN
Pembicaraan mengenai karakter kebajikan, tidak
terlepas dari 3 filsuf mula-mula, Socrates, Plato dan
Aristoteles yang menggambarkan mengenai Eudaimonia
(kebahagiaan sejati). Karakter yang baik harus dihubungkan
dengan usaha untuk sampai pada level kebahagiaan sejati,
yang saat itu banyak berhubungan dengan persoalan
rasioalisasi dan nalar (Garvey, 2010, 24; Wibowo, 2010 : 90).
Kendati demikian, pengembangan karakter kebajikan ini
dipandang
dalam
aras
tindakan
yang
membawa
kebahagiaan sejati bagi dirinya dan bagi orang di sekitarnya,
baik dalam hal intelektual, maupun tindakan moral.
Michael Novak menyebutkan bahwa karakter yang baik
merupakan campuran dari seluruh kebaikan yang
diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum
bijaksana dan kumpulan orang berakal sehat dalam sejarah
(Novak dalam tulisan Lickona, 2013:81). Dalam arti, sangat
sulit untuk menemukan karakter kebajikan yang tertanam
secara penuh dan sempurna dalam diri seseorang, karena
karakter kebajikan merupakan suatu proses yang berusaha
dibentuk sepanjang hidup pribadi bersangkutan, bahkan
dapat dianggap berbeda sesuai konteks masing-masing
(kebajikan di suatu daerah belum tentu kebajikan di daerah
lainnya). Dengan demikian, karakter kebajikan dapat
dianggap sebagai pola tindakan yang dianggap baik dan
memberi manfaat bagi diri pribadi bersangkutan, maupun
bagi orang lainnya, sesuai dengan konteks pribadi dan
lingkungannya.
Kebajikan sendiri bukan sekadar menghindari apa yang
buruk. Kebajikan memiliki kekuatan moral. Jika dihubungkan
Kantianisme, maka standar tindakan benar (kebajikan) harus
4
mengusung
unsur
kemanusiaan,
termasuk
nilai
kemanusiaan dari kelompok yang minoritas sekalipun. Kant
mengajak orang untuk menempatkan diri pada posisi orang
yang dirugikan sebelum mengambil keputusan. Ia
sependapat dengan pola pikir alkitabiah, yang juga terdapat
dalam pendapat Confusius, yakni apa yang kita ingin orang
lain lakukan bagi kita, itulah yang harus kita lakukan bagi
orang lain.
Naim (2012 : 123-212) memberi contoh karakter yang
perlu dibangun, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat, cinta damai, gemar membaca, pantang
menyerah, peduli lingkungan, peduli sesama, dan
sebagainya.
Pada titik ini, karakter kebajikan dapat dikatakan
berkaitan dengan pola kepribadian seseorang yang berasal
dari pilihan pribadi dan keputusannya, sekaligus membawa
dampak tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.
C.
POLA PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT
Seorang penulis Muslim menyatakan bahwa pendidikan
memiliki 2 makna. Pertama, pendidikan adalah proses yang
terjadi secara tidak sengaja dan alamiah. Kedua, pendidikan
adalah proses yang terjadi secara disengaja, direncanakan,
didesain dan diorganisasi berdasarkan aturan yang berlaku,
terutama perundang-undangan yang dibuat atas dasar
masyarakat. (Mu’in, 2011:287-288)
Ada pula yang menyebut pendidikan sebagai life long
education (pendidikan seumur hidup). Yeaxlee, A. B
(Inggris,1929)
secara
tersurat
menggunakan
istilah
pendidikan seumur hidup. Konsep ini ditegaskan oleh
Bachhelard (Perancis, 1930). Kelompok Muslim biasa
menggunakan pernyataan “uthlubullielma minal mahdi
ilallahdi” (carilah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat),
(Komar, 2006:259).
Alam sering dinyatakan sebagai “sekolah besar” yang
telah mengajari manusia dengan situasi geraknya (gerak
alam). Hal itu berlangsung dalam waktu yang lama sebelum
5
pendidikan direduksi (dipersempit) derajatnya menjadi
sekolah (Mu’in, 2011:288). Di sinilah dapat disimpulkan
bahwa pendidikan dapat berlangsung secara alami, namun
tak jarang berlangsung dalam lingkup sekolah, yang oleh
Plato tentu mengalami reduksi pada berbagai aspek.
D.
PERDEBATAN MENGENAI PENDIDIKAN KARAKTER
(KEBAJIKAN)
Pertanyaan yang pasti muncul, yakni apakah karakter
kebajikan dapat diajarkan. Kupperman menggunakan pikiran
Plato untuk menjelaskan hal ini. Jika kebajikan diajarkan,
maka bagi Plato, ia akan lebih rendah nilainya dari apa yang
sebenarnya karena kebajikan bukanlah matematika atau
geografi. Dalam arti, karakter kebajikan tersebut akan
mengalami distorsi dalam pemaknaannya.
Kupperman juga mengangkat tulisan Aristoteles yang
tidak hanya melihat aspek umum (objektif) saja tetapi juga
aspek khusus (subjektifitas pribadi). Menurut Aristoteles,
seorang pemberani tidak hanya mengikuti peraturan umum
atau mematuhi algoritma (urutan logis pngambilan
keputusan), namun harus bisa menyesuaikan diri dengan
keadaan.
Aristoteles
tidak
menekankan
keputusan
prosedural, tetapi melatih dan mendorong orang untuk
menuju pada mode atau keputusan pribadi. Pendapat
Aristoteles, nampaknya tidak jauh dari pikiran Kantianisme
untuk mengangkat aspek otonom (mandiri dari si pengambil
keputusan).
Dengan demikian, tidak dinyatakan bahwa karakter
kebajikan tidak bisa diajarkan atau dididik, namun individu
dapat diarahkan untuk menemukan dan menumbuhkan
karakter kebajikan tersebut.
E.
PROSES PENDIDIKKAN KARAKTER KEBAJIKAN
Dua filsuf besar yang juga banyak berbicara tentang
ajaran kebajikan adalah Aristoteles dan Confusius. Berikut
akan digambarkan proses pendidikan karakter kebajikan
menurut Aristoteles dan Confusius.
1. Kebajikan versi Aristoteles
6
Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa
kebajikan sejati (dengan standar tinggi) membutuhkan
filsafat dan kebiasaan (filosofi dan tindak pembiasaan).
Aristoteles menekankan pada dua hal penting, yaitu
fondasi dan kebiasaan.
a. Fondasi (dasar)
Segala usaha menjadi sia-sia, bila fondasi tidak
diperkuat.
b. Kebiasaan
Unsur penting dalam pembentukan kebiasaan
adalah kesenangan dan rasa sakit. Bagi Aristoteles,
kita harus dibesarkan dengan cara tertentu dari
masa muda kita (seperti kata Plato), agar dapat
menikmati sebuah kesenangan atau kesedihan
untuk hal yang seharusnya. Kegembiraan dan rasa
sakit dapat mewakili beberapa derajat respon yang
dikondisikan. Pola kesenangan dan rasa sakityang
dialami masa kecil, sangat penting dalam
pembentukan kebiasaan (Kupperman, 1999, 211).
Pendapat Aristoteles lainnya berkaitan dengan
kebajikan karakter (Kupperman, 1999, 211), yaitu:
a. Aturan moral
Aristoteles menegaskan bahwa ‘aturan moral’ tidak
cukup untuk menanamkan kebajikan, tetapi hanya
mendekati kebutuhan untuk mengkondisikan
sesuatu.
Keakraban
dengan
aturan
moral
memberikan
panduan
cepat
tetapi
tidak
memberikan ruang bagi keputusan moral. Hal ini
bahkan menghambat rasionalisasi terhadap hal
tersebut.
b.
Pengaruh Orang tua dan masyarakat, termasuk
pemimpin
Bagi Aristoteles, pihak-pihak ini menyediakan
model kehidupan yang baik dalam proses
pembelajaran, namun itu tidak lengkap bila
sebatas pendidikan moral awal.
c.
Pendidikan lanjutan
7
Plato dan Aristoteles melihat bahwa filosofi sangat
penting dalam pendidikan moral lanjutan. Plato
menegaskan bahwa kesadaran akan nilai yang baik
sangat diperlukan. Aristoteles jelas melihat bahwa
dalam
hal
pendidikan
lanjutan
dibutuhkan
pengalaman dan penilaian sadar (pemahaman
filosofis). Dalam hal ini, Aristoteles menolak
kepatuhan pada standar umum atau ritual semata,
tanpa didasari pemahaman mendalam terhadap
apa yang dipatuhi. Model ini hanya berlaku pada
masa anak-anak, dan harus berubah pada lanjutan
pendidikan moral.
2. Kebajikan Versi Confusius
Berbicara tentang pendidikan lanjutan, maka tokoh
yang banyak membicarakan hal ini adalah Confusius.
Salah satu murid Confusius yang melanjutkan pikiranpikirannya adalah Mencius. Beberapa pola pikir Mencius
yang didapat dari gurunya Confusius (Kupperman,
1999, 214), yaitu:
a. Kebaikan sejati adalah menyadari kebajikan itu dan
berusaha menyalurkannya.
b. Manusia perlu mengembangkan imajinasi moral
Confusius beranggapan bahwa kerusakan di dunia
ini dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki
perasaan. Ia berpendapat bahwa orang harus belajar
menempatkan diri dan perasaannya pada diri orang lain
atau korban yang berdampak dari keputusannya (rasa
simpati-empati dikembangkan). Pada sisi ini pula nilainilai kemanusiaan dikembangkan.
Elemen lain yang ada dalam pendidikan lanjutan
karakter (Kupperman, 1999, 214), yaitu rasa percaya
diri dan pengembangan peran pribadi, karena kadang
kondisi hidup tidaklah selalu stabil.
Dari sejumlah penjelasan ini, dapat disimpulkan
bahwa proses pendidikan karakter membutuhkan dasar
(fondasi), tetapi juga pilar-pilar pemahaman lanjutan
untuk memperkuat dasar tersebut. Pada awalnya,
karakter yang diberikan sering berupa kebiasaan, tanpa
pemaknaan,
namun
pada
tahap
selanjutnya
kemampuan
rasional
yang
berkembang
harus
8
digunakan untuk memaknai kebiasaan tersebut. Perlu
diingat bahwa aktivitas pendidikan yang nampak tidak
berhubungan dengan pendidikan moral, justru dapat
berkontribusi besar terhadap perkembangan karakter
yang kuat.
9
BAB III
HABITUASI MORAL SEJAK KECIL
A. HABITUASI MORAL SEJAK KECIL
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik
atau buruk. Moralitas berkaitan dengan baik-buruknya
perbuatan manusia. (Poespoprojo, 1998 : 118). Dalam makna
yang demikian, moralitas memiliki dasar pemahaman yang
sama dengan kebajikan, sebagaimana yang disebutkan para
filsuf mengenai keutamaan (Weij, 1988:39).
Sorbaji (1980) dalam tulisan Ben Spiecker menyatakan,
“habituasi menekankan pelibatan penilaian situasi untuk
melihat, menentukan dan melakukan apa yang ditentukan
atau diputuskan. Hal ini didasarkan pada semacam persepsi
intuitif”. Sorbaji bahkan mengatakan bahwa kebiasaan yang
didapat pada masa kanak-kanak bukanlah kebajikan yang
lengkap, tetapi sebuah kebiasaan. Pada tahap tersebut,
kebajikan belum diperkaya dengan kebijaksanaan praktis
atau penalaran. Situasi ini dikarenakan kebajikan yang
lengkap membutuhkan kebijaksanaan praktis.
B.
TAHAP NON MORAL
Para filsuf dan peneliti pengembangan moral,
bersepaham bahwa tahun-tahun awal hidup seorang anak
belum memungkinkan bagi terjadinya penalaran moral.
Masa ini disebut tahap non-moral. Pada tahap ini anak
hanya bisa disosialisasikan, diindoktrinasi atau dilatih. Ketika
anak sudah mampu memahami alasan moral dan keadilan
moral, barulah pendidikan dengan pengetahuan moral
rasional dimulai.
Ben Spiecker beranggapan bahwa pelatihan di sekolah
kadang sebatas membantu pengembangan diskusi rasional,
berbeda dengan di rumah yang turut menyertakan aspek
afektif. Baginya, bila latihan dan habituasi (sebagai proses)
dari kedua konteks ini dievaluasi, maka produknya pasti
berbeda. Baginya, banyak kali ditemukan KEBIASAAN BUTA,
yakni kebiasaan yang hanya dilakukan, tanpa sepenuhnya
dipahami. Ada 2 kebiasaan yang paling umum, yaitu :
10
a.
b.
Single Track – Kebiasaan, menggambarkan suatu pola
tindakan yang cenderung diikuti oleh banyak orang,
bahkan cenderung seragam.
Multi Track – Kecerdasan, menggambarkan pola
tindakan yang dapat diambil atas dasar inisiatif pribadi
karena pemahaman rasional orang tersebut, dan
cenderung beragam, tergantung pada kondisi atau
situasi
yang
dihadapi.
Contoh:
kebiasaan
memperhatikan penderitaan orang lain tidak akan
menjadi sebuah kebajikan, tetapi bisa membantu anakanak untuk tergerak oleh belas kasihan pada
kesempatan-kesempatan tertentu.
Kebiasaan moral yang berimplikasi sosial inilah yang harus
dihadirkan bagi anak-anak kita. Pembinaan moral dan
pengembangan dimulai dari latihan kebiasaan moral, guna
menghasilkan pola multi track, inilah tahap pertama yang
penting dalam pembangunan moral.
Dengan latihan demikian, kebiasaan multi track anak
secara bertahap dibawa menjadi lebih peka, rasional, dengan
tingkat intelektual yang semakin tinggi dan pendalaman sisi
afektif. Ide Spiecker ini ditentukan oleh proses pemeliharaan
pengurus anak tersebut terhadap diri anak. suara yang
disampaikannya dapat menyatakan kebutuhan, perasaan,
emosi atau kepentingan yang diharapkan. Sejak awal,
kapasitas dan kualitas pribadi diproyeksikan pada bayi yang
baru lahir (tidak harus menunggu hingga anak dapat
melakukan suatu kebiasaan moral tertentu seperti pendapat
Aristoteles).
Erik H. Erikson menyatakan bahwa anak sudah memperoleh
pemahaman (hasil proyeksi) dari lingkungan terdekatnya, baik
ketakutan, kecemasan, intoleransi dasar, dan sebagainya (Erik
H. Erikson, 2010 : 500). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pendapat Ben Spiecker justru lebih jauh dari sebatas
pemahaman Aristoteles yang melihat perkembangan moral
dan penanaman karakter kebajikan setelah anak dapat
dibiasakan pada suatu hal, namun justru sejak si anak lahir.
11
BAB IV
PENDIDIKAN KARAKTER DAN HABITUS MORAL
DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Topik ini menjadi tepat untuk disampaikan kembali dalam
konteks Indonesia saat ini. Pembangunan karakter dan
pembangunan bangsa menjadi semboyan yang kuat pada zaman
kepemimpinan Presiden Soekarno. Beliau sering menyerukan
pentingnya pembangunan karakter bangsa yang dapat
menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat,
terutama bebas dari penjajahan, yang kerap membawa
perbudakan dan penjajahan (Mu’in, 2011:84). Dalam konteks
demikianlah, persoalan bangsa dewasa ini dapat dipandang dari
individu di dalamnya, yang sekaligus adalah aktor penggerak
sistem dan roda pembangunan.
Pendidikan karakter—kinerja dan moral, memposisikan
individu sebagai diri pribadi di satu pihak, dan sebagai komponen
yang melekat dalam komunitas di pihak lain. Dalam konteks
pendidikan karakter, dibutuhkan rekonsiliasi antara kedua kutub,
dengan catatan bahwa menjadi tanggung jawab masyarakat
untuk menanamkan nilai kepada segenap warganya.
Kita masih beruntung karena pendidikan keluarga, termasuk
institusi agama masih peduli dengan pendidikan karakter dan
habitus moral. Pendidikan karakter yang sesungguhnya sudah
mulai sejak usia dini melalui pengasuhan. Dalam konteks agama
Kristen, kita masih mengandalkan institusi keagamaan untuk
memainkan perannya, guna menanamkan nilai guna membentuk
karakter kinerja dan karakter moral.
Hal ini dapat dilihat di berbagai daerah. Salah satunya, di
tanah Batak. Tidak dapat diabaikan, pengaruh budaya barat
sejak pra kemedekaan melalui kunjungan para misionaris, telah
masuk ke tanah Batak. Kolonialis Barat di bawah pengaruh etik
Protestan, menekankan asketisme
dan prestasi sebagai
panggilan. Pada satu sisi hal ini berpotensi untuk mendorong
kemajuan dalam ekonomi dan pendidikan, tetapi di sisi lainnya
mengalami benturan dengan nilai-nilai komunal yang amat
spesifik di lingkungan budaya Batak. Budaya Barat amat
individualis-kompetitif dalam rangka mengoptimalkan produksi
dan manfaat (utilitas), sedang budaya Batak masih tetap
12
menghargai nilai timbang rasa di sela upaya meraih manfaat
sebanyak mungkin.
Dari contoh ini dapat dinyatakan bahwa karakter dapat
dipengaruhi oleh situasi di sekeliling kita, tetapi juga dibentuk
atas dasar putusan rasional pribadi. Berbagai aspek dapat
memengaruhi pendidikan karakter dan habitus moral tersebut.
Tentunya, pendidikan karakter kebajikan dan habitus moral yang
membawa
peningkatan hidup
pribadi
dan masyarakat
Indonesialah yang diharapkan terbentuk dalam diri individu di
tengah bangsa ini.
Pada kenyataannya, karakter kebajikan dan habitus moral
tidak pernah terbentuk secara instan. Membangun karakter
kebajikan dan habitus moral memerlukan waktu dan sikap dasar,
yaitu kesediaan untuk belajar dan berubah. Pada dasarnya,
karakter yang kokoh dibentuk di atas landasan pengalaman,
disiplin diri, dan dedikasi. Karakter adalah sebuah kekuatan yang
tidak kelihatan. Karakter yang baik menghasilkan buah-buah
yang unggul dan berkualitas. Buah-buah dari karakter antara
lain: Integritas menghasilkan kewibawaan, tanggung jawab
menghasilkan
kedewasaan,
kejujuran
menghasilkan
kepercayaan, ketulusan menghasilkan persahabatan, iman
menghasilkan kekuatan, ketekunan menghasilkan pengharapan,
dan lain sebagainya. (Yakoep Ezra 2006, 13-14).
Pendidikan karakter dan habitus moral inilah yang
membentuk jati diri bangsa Indonesia. Suatu masyarakat dapat
sama-sama menghadirkan rasa nyaman, bila martabat segenap
manusianya terjamin, demikian penyampaian Magnis Suseno.
Baginya, kondisi ini hanya bisa terbangun dengan dasar hormat
terhadap martabat, nilai, hak dan kebebasan, serta tanggung
jawab segenap anggota masyarakat (Magnis Suseno, 1988: 23).
Dengan demikian, masyarakat akan memengaruhi situasi dan
pembentukan karakter seseorang, yang pada akhirnya karakter
orang tersebut akan juga memengaruhi masyarakat itu nantinya.
13
BAB V
PENUTUP
Bangsa
memengaruhi
individu
dan
individu
juga
memengaruhi bangsanya. Pembaharuan bangsa ditentukan dari
pembaharuan individu di dalamnya. Dengan demikian,
pendidikan karakter (pemberian ruang bagi bertumbuhnya
karakter kebajikan pada pribadi yang otonom dan mandiri) serta
pengembangan habitus moral, perlu dilakukan di tengah bangsa
ini. Pendidikan karakter dan habitus moral, tidak hanya dilakukan
melalui penanaman kebiasaan (tanpa makna, pada saat anak
masih belum sampai pada tahap rasionalisasi tindakan), tetapi
berlanjut pada masa rasionalisasi (kognitif) tindakan untuk
memperteguh karakater, dan tujuannya. Pola ini bahkan masih
didahului dengan pola proyeksi awal yang diberikan sejak bayi
baru lahir, yang dilakukan oleh orang tua, pengasuh atau orang
terdekat si bayi melalui hubungan afektif. Dalam hal inilah,
dibutuhkan dukungan dari keluarga, maupun orang terdekat,
maupun pihak pemerintah (Lickona, 2013:555,557). Harapan
yang diinginkan, yakni pendidikan karakter kebajikan dan habitus
moral dapat berlangsung dalam karakter individu bersangkutan,
dan berimbas pada kehidupan komunal di mana ia berada.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., 1990. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta : Gramedia.
Budiningsih, C. Asri., 2004. Pembelajaran moral : Berpijak pada
karakter siswa dan Budayanya. Jakarta : Rineka Cipta.
Boa, Kenneth, Sid Buzzell & Bill Perkins, 2013. Handbook To
Leadership. Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Chamblin, J. Knox., 2006. Paul and The Self: Apostolic Teaching
For Personal Wholeness. Terjemahan, Penerbit Momentum :
Jakarta.
Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide To Christian Belief.
Terjemahan. Malang: Gandum Mas.
Dutt Suresh, 1997. Encyclopedia of Child Psychology and
Development. New Delhi : J. L. Kumar fo Anmol Publication.
de Waal, Frans., 2011. Primat dan Filsuf : Menurut Asal Usul
Kesadaran Moral, Yogyakarta : Kanisius.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 2.
Terjemahan, Malang:Literatur SAAT.
Erikson,Erik H., 2010, Childhood and Society edisi ketiga, (1985),
terjemahan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ezra, Yakoep., 2006. Succes Througgh Character. Yogyakarta :
Andi .
Hadiwijono, Harun, 1980. Seri Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta
: Kanisius.
Hearth, W. Stanley,
Yogyakarta : ANDI
1997.
Psikologi
Yang
Sebenarnya.
Carr David dan Jan Steutel, 1999. Virtue Ethic, and Moral
Educction.
15
Garvey, James, 2010. 20 karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta :
Kanisius.
Komar, Oong., 2006. Filsafat Pendidikan Non Formal. Bandung :
Pustaka Setia.
Lickona, Thomas, 2013. Educating For character : How Our
School Can Teach Respect and Responsibility- The Journal of
Moral Education, Jakarta : Bumi Aksara.
Mu’in, Fatchul, 2011. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoritik
dan Praktik, Urgensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi
Peran Guru dan Orang Tua. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
2011.
Sijabat, B.S., 2008. Membesarkan
Yogyakarta : ANDI
Anak
Dengan
Kreatif.
Naim, Ngainus., 2012. Character Building : Optimalisasi Peran
Pendidikandalam Pengembangan Ilmu dan Pembentukan
Karakter Bangsa, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Magnis Suseno, 2005. Franz, Pijar-Pijar Filsafat : Dari Gatholoco
ke
Filsafat
Perempuan,
dari
Adam
Muller
ke
Postmodernisme, Yogyakarta : Kanisius.
Magnis Suseno, Franz., 1988. Kuasa dan Moral : cet kedua,
Jakarta : Gramedia.
Poespoprodjo, W., 1998. Filsafat Moral : Kesusilaan Dalam teori
dan Praktek. Bandung : Pustaka Grafika.
Santrock, John, 2007. Perkembangan Moral. Bandung : Erlangga.
Setyo Wibowo, 2010. A., Arete : Hidup Sukses Menurut Platon,
Yogyakarta : Kanisius.
Stassen, Glen & David Gushee., 2008. Etika Kerajaan: Mengikut
Yesus dalam Konteks Masa Kini. Terjemahan. Jakarta:
Momentum.
16
Tafsir, Ahmad, 2000. Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales
sampai Capra, Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya.
Tong, Stephen., 2010. Arsitek Jiwa II, Cetakan Ketujuh, Jakarta:
Momentum.
Weber, Max, (Penerj : Noorkholish), 2009. Sosiologi – Cet Kedua,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Weij, van der., (ed: K. Bartens), 1988, Filsuf-Filsuf Besar tentang
Manusia, Jakarta : Gramedia.
17