PENERAPAN KEARIFAN LOKAL BERBASIS PROTEK

1

PENERAPAN KEARIFAN LOKAL BERBASIS PROTEKSI UNTUK
MEMINIMALISIR DEGRADASI LINGKUNGAN DI INDONESIA: STUDI
KELINGKUNGAN DAN KEBUDAYAAN
LOCAL WISDOM PROTECTION BASED ASSEMBLING TO MINIMALIZE
INDONESIAN ENVIRONMENT DEGRADATION: AN ENVIRONMENTAL
AND CULTURAL RESEARCH
Muhammad Raad Assidiqy1
1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Malang
Allow46@yahoo.com
ABSTRACT
Indonesian environment degradation is an integrative problems
between civil problems and global human prespective about local
wisdom protection based. Neglectful condition for local wisdom
protection based making a degradation problems become remarkable
to solve, including deforestation, land degradation, water
degradation, and air degradation. This journal is used by the mid
semester test of the environmental geography and with Indonesian

living environmental status 2010. Data analizing using qualitative
descriptive method. This detailed shows that environment degradation
cause by neglectful condition for local wisdom protection based for
the priority of the people or the community, but the priority is the
economic side only.
Keywords: Environment degradation, local wisom protection based,
demography
ABSTRAK
Kondisi degradasi lingkungan di Indonesia merupakan permasalahan
integrative antara permasalahan kependudukan, serta prespektif global
masyarakat berkaitan dengan kearifan lokal berbasis proteksi. Kondisi
abainya terhadap kearifan lokal berbasis proteksi membuat kondisi
degradasi semakin pelik untuk dapat diselesaikan, termasuk kondisi
degradasi hutan, degradasi lahan, degradasi air, dan degradasi udara.
Penelitian jurnal ini mendasarkan pada data utama ujian tengah
semester geografi lingkungan serta berdasarkan data status lingkungan
hidup Indonesia trahun 2010. Analisis data menggunakan analisis
kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai mutlak
degradasi lingkungan disebabkan karena prespektif nilai kearifan lokal
berbasis proteksi sudah tidak menjadi prioritas masyarakat atau

komunitas, namun lebih pada faktor ekonomi saja.
Kata Kunci: Degradasi lingkungan, kearifan lokal berbasis proteksi,
kependudukan

2

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara berbentuk fragmen dengan ratusan pulau yang
terpisahkan dengan perairan. Terletak pada koordinat 6º08.5’LU-11°15’LS,
94°45’BT-141°05’ atau secara relatif Indonesia terletak di kawasan Asia tenggara,
terapit benua asia pada bagian utara, dan benua Australia pada bagian selatan, serta
diantara samudra pasifik dan samudra hindia, menyebabkan Indonesia memiliki iklim
tropis basah (SLHI, 2010:19). Kondisi tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh garis
yang melalui Indonesia, yaitu khatulistiwa, yang menyebabkan intensitas penyinaran
matahari senantiasa tinggi sepanjang tahun, dan berakibat pada tingginya suhu nisbi
(Assidiqy, 2015:1). Berdasarkan kondisi tersebut, bentang alam Indonesia menjadi
sangat variatif, bukan hanya dikarenakan kondisi kawasannya yang terpecah seperti
fragmentasi, namun dikarenakan kondisi iklimnya mampu mempengaruhi, baik flora,
fauna, maupun kondisi alam. Pada umumnya, kondisi biodiversitas yang tinggi akan
menyebabkan kondisi sumberdaya menjadi melimpah dan tingkat kesuburan tanah

tinggi.
Keadaan fisik tersebut tentu berpengaruh terhadap dua aspek utama dalam
titik kajian jurnal, yaitu lingkungan dan kebudayaan. Berdasarkan kondisi alam
tertentu, suksesi mengenai makhluk hidup dapat terbentuk, sehingga lambat laun
membentuk kehidupan yang disebut sebagai lingkungan, lengkap dengan komponen
yang ada didalamnya. Sedangkan budaya merupakan kondisi adaptif dari komponen
yang ada didalam lingkungan. Hal ini dikarenakan budaya merupakan bentuk atau
produk dari adanya adaptasi satuan unit komponen lingkungan terhadap fluktuasi
lingkungan (disebut dengan seleksi alam). Sehingga kedua bentukan tersebut, baik
lingkungan maupun budaya tidak akan bias terpisahakan, bahkan saling terkait antara
satu sama lainnya, atau dalam artian, lingkungan merupakan faktor dependen dan
budaya merupakan factor dependen, atau dapat berupa sebaliknya tergantung pada
acuan yang digunakan, apakah possibilisme ataukah determinisme.
Berkaitan dengan lingkungan dan budaya, bentang alam Indonesia yang
berentet merupakan salah satu trigger dalam meninjau permasalahn tersebut. Bentuk

3

atau produk lingkungan dan kebudayaan adalah kearifan lokal. Kearifan local
merupakan bentuk kebudayaan yang melekat dalam diri komunitas tertentu berkaitan

dengan prespektif atau pandangan mengenai lingkungan, termasuk didalamnya adalah
pemanfaatan, pelindungan, bahkan pembaharuan apabila terjadi kerusakan (recovery).
Bentuk kearifan lokal tersebut di Indonesia sangat banyak bahkan hampir mencapai
ribuan. Hal ini dikarenakan banyaknya kebudayaan sebagai akibat terpisahnya
lingkungan-lingkungan yang ada di Indonesia, lengkap dengan kondisi iklim yang
cenderung berbeda-beda pula. Sehingga mengakibatkan terbentuknya komunitas
budaya yang pada akhirnya melahirkan kearifan lokal.
Konsep kearifan lokal merupakan suatu bentuk integrasi antara transformasi
nilai serta aplikasi karakter budaya. Sebagai contohnya, pada masyarakat gorontalo
dikenal sebagai Huyula atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gotong royong.
Kegiatan Huyula merupakan kegiatan berbasis gotong royong yang digunakan
sebagai sarana bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaan yang bersifat
kepentingan umum (Yunus, 2014:7). Sebagai contoh lainnya, kearifan lokal
masyarakat dayak dalam memanfaatkan hutan secara integrative, mulai dari cara
pembukaan lahan, pengelolaan lahan hasil pembukaan hutan, pengolahan hasil hutan,
bahkan sampai proses peremajaan hutan merupakan bentuk transformasi nilai-nilai
karakter kearifan lokal. Selain itu kebudayaan suku badui yang ada di jawa barat
bahkan dapat dikategorikan sebagai transformasi nilai karakter kearifan lokal yang
cenderung proteksi atau perlindungan saja.
Hal yang perlu dipahami bahwa kearifan lokal yang ada di Indonesia pada

umumnya merupakan kearifan lokal yang berbasis proteksi, yaitu merupakan bentuk
transformasi nilai budaya dengan konstruksi utama berupa konservasi lingkungan
atau lebih jauh dikategorikan sebagai determinis fisik atau pandangan bahwa alam
merupakan sumber daya utama yang dapat memengaruhi segala segi kehidupan
komunitas tersebut. Sehingga segala bentuk aktivitas komunitas yang ada didalamnya
semata-mata bertujuan untuk konservasi dan proteksi. Hal tersebut semakin lama
diulang-ulang dan membentuk kearifan lokal berbasis proteksi, akibat factor
keturunan.

4

Sedangkan pada dewasa ini degradasi lingkungan sudah secara terangterangan dan besar terjadi pada setiap lini dunia, tidak terkecuali Negara-negara tropis
penghasil oksigen terbesar (paru-paru dunia). Degradasi lingkungan menjadi masalah
pelik yang ingin dipecahkan oleh berbagai kalangan di dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia mengalami degradasi lingkungan yang bahkan dapat dikategorikan sebagai
permasalah yang pelik. Permasalahn tersebut antara lain kebakaran hutan atau
degradasi sumberdaya hutan, membeludaknya masalah antropologis termasuk
didalamnya masalah kepadatan penduduk, hingga masalah pencemaran dan
penurunan kadar oksigen di udara maupun di air, sehingga degradasi lingkungan di
Indonesia dikategorikan integrative penyelesaiannya.

Kajian jurnal ini bertujuan untuk menjabarkan seberapa penting peranan
kearifan lokal berbasis proteksi dalam kaitannya mengendalikan permasalahan
degradasi lingkungan yang ada di Indonesia melalui kajian kelingkungan dan kajian
budaya. Selain itu, jurnal ini akan mencoba mengkorelasikan antara penurunan
kesadaran

komunitas

masyarakat

modern

dan

masyarakat

yang

masih


mengangungkan kearifan lokal terhadap kerusakan dan degradasi lingkungan di
Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pemenuhan beban ujian tengah
semester ganjil pada mata kuliah Geografi Lingkungan. Data acuan yang diperoleh
secara mutlak berasal dari dosen pengampu mata kuliah, sedangkan data dukungan
seperti referensi terkait dengan jurnal bahasan diperoleh melalui media cetak berupa
buku maupun media digital berupa e-jurnal hasil karya peneliti yang memiliki
konsentrasi pada bidang terkait kajian jurnal yang dibahas. Analisis data sertaan
menggunakan analisis kualitatif sedangkan data sekunder menggunakan analisis
kuantitatif (apabila ditemukan data yang harus dikaji melalui kuantitatif).
KAJIAN TEORI
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa kearifan lokal merupakan
turunan, bentuk, atau produk kebudayaan yang muncul akibat adanya interaksi baik
dalam ranah surviving atau sekadar interact. Kearifan lokal merupakan suatu
kebiasaan yang menjadi tradisi masyarakat secara turun menurun oleh adat daerah di
berbagai wilayah (Hastuti,et.al, 2013:1). Sehingga dapat dikatagorikan sebagai sikap

5

komunitas tertentu yang pada dasarnya berasal dari para pendahulu mereka sebagai
bentuk kombinasi antara interaksi dan solusi berkaitan dengan lingkungannya. Hal ini

dikarenakan kearifan lokal di seluruh Indonesia lebih menekankan pada basis proteksi
atau konservasi dibandingkan dengan basis yang lainnya. Proteksi dalam artian
bahwa keterbutuhan komunitas lokal akan lingkungan masih melalui perspektif
determinis fisik yang sebagian besar diadopsi oleh masyarakat Indonesia dalam
baurannya pada masing-masing suku yang ada di Indonesia seperti halnya badui dan
dayak.
Mulanya Kearifan lokal adalah sebagai bentuk alat barrier tingkah laku
manusia didalam komunitas tertentu dalam suatu suku tertentu dalam memanfaatkan
lingkungan. Sebagaimana contoh dalam suku badui, masyarakat dilarang untuk dapat
memanfaatkan

listrik,

menggunakan

kendaraan

bermotor,

mandi


disungai,

memelihara hewan ternak, dalam rangka melakukan proteksi penuh terhadap
kuantitas dan kualitas lingkungan dimana tempat komunitas badui tinggal. Hal ini
menyangkut pandangan atau perspektif masyarakat badui terhadap lingkungan,
bahwa lingkungan merupakan salah satu bentuk perwujudan pemberian tuhan yang
tidak ternilai sehingga mutlak diperjuangkan kelestariannya. Konsep inilah yang
disebut sebagai kearifan lokal berbasis proteksi, yang mana sikap atau tindakan
komunitas tertentu yang lebih mengutamakan pandangan konservasi mengenai
lingkungan dibandingkan dengan pengelolaan dan pemanfaatan, disamping porsi
pengelolaan dan pemanfaatan tersebut tetap dapat maintain secara baik.
Kearifan lokal pada dewasa ini merupakan suatu bentuk khazanah bangsa
Indonesia. Sejatinya, kearifan lokal Indonesia merupakan jati diri, bukan khazanah
semata. Sehingga segala bentuk tingkah laku memang didasarkan pada turunan
kebudayaan, yaitu kearifan lokal proteksi. Kearifan lokal berbasis proteksi sudah
diterapkan dalam setiap lini kehidupan komunitas di Indonesia, seperti halnya
pengelolaan lahan, dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan hara akan tanaman
melalui system tanam yang konservatif, seperti halnya penanaman pada lereng curam
menggunakan system terasering atau pengelolaan konservatif teras bangku

menggunakan tanaman pohon. Dimaksudkan agar selain tanah tidak mudah tererosi,

6

komunitas masyarakat juga dapat memanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka. Contoh lainnya yang dapat diambil adalah keraifan lokal meninggalkan lahan
sebagai bentuk peremajaan agar lahan dapat beregenerasi. Konsep ini diadopsi bahwa
lahan akan mampu bekerja maksimal apabila diberikan waktu jeda atau waktu
istirahat untuk tidak dilakukan pengelolaan dalam jangka waktu tertentu. System
kearifan lokal berbasis proteksi ini sudah diadopsi turun temurun oleh suku dayak
misalnya, mereka meninggalkan lahan bekas kelola dalam jangka waktu tertentu
untuk dimaksudkan agar lahan dapat mengalami peremajaan kembali dan dapat
dimanfaatkan kembali di masa yang akan datang.
Namun perubahan perspektif mengenai pemanfaatan lingkungan hidup
menjadi pengelolaan lingkungan hidup nampaknya berakibat pada keterbukaan
komunitas tertentu akan eksploitasi sumberdaya. Konsep-konsep kearifan lokal
berbasis proteksi yang sudah dianut secara turun temurun nampaknya tidak
berpengaruh sama sekali. Konsep penanaman lahan pada topografi tajam dengan
tanaman tegakan keras dewasa ini diganti dengan tanaman holtikultura yang dinilai
lebih ekonomis dan berimbang dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, seperti

pemanfaatan lahan pertanian yang harusnya diberikan waktu untuk melakukan
peremajaan, sekarang sepanjang tahun digunakan secara terus menerus, sehingga
mengakibatkan penurunan kuantitas, serta kualitas tanah atau lahan pertanian.
Kondisi tersebut didukung oleh adanya eksternal berupa kebijakan otoda yang
mewajibkan kawasan dapat dikembangkan secara maksimal. Maka kondisi yang
terjadi adalah degradasi lingkungan.
Beberapa bukti yang dapat menjadi acuan bahwa kearifan lokal sudah menjadi
artefak dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah, keterbukaan lahan hijau di
Indonesia semakin sedikit. Kualitas sumberdaya alam yang ada di Indonesia pada
dasarnya lebih besar dibandingkan penutupan lahan yang ada di atasnya. Sebagai
contohnya lahan gambut yang ada di Kalimantan dan riau, pada lapisan litosfer,
menyimpan potensial sumberdaya tambang batu bara yang melimpah, sedangkan
diatasnya sebagai penutupan lahan merupakan hutan hujan tropis yang mampu
menghasilkan oksigen bermeter-meter kubik. Namun factor ekonomi dan

7

keterbutuhan akan lahan oleh komunitas memungkinkan perubahan serta alih fungsi
lahan konservasi menjadi pertambangan. Cara yang ditempuh oleh komunitas tertentu
cenderung mengabaikan kearifan lokal berbasis proteksi yang ada di kawasan
tersebut. Sebagai contohnya adalah masyarakat dayak dalam, apabila menghendaki
untuk dapat memanfaatkan lahan hutan untuk dijadikan lahan kelola, maka yang
dilakukan adalah membersihkan kawasan sekitar hingga tidak menyebabkan
rambatan api yang dapat mengakibatkan kebakaran. Setelah itu, pembakaran
dilakukan secara bersama-sama dan dikelilingi oleh banyak orang agar tidak terjadi
kebakaran hutan. Informasi mengenai pembukaan lahan tersebut juga mutlak
disebarluaskan kepada kawasan didekatnya dalam rangka system peringatan dini.
Hal tersebut menjadi kondisi kearifan lokal berbasis proteksi yang sudah
ditinggalkan oleh beberapa komunitas di Indonesia. Pembukaan lahan secara besarbesaran dengan cara cepat menyebabkan kebakaran lahan gambut di Indonesia. Selain
itu degradasi hutan di Indonesia akibat pembukaan hutan tersebut berdampak sangat
massif, antara lain:
1. Kebakaran hutan menyebabkan kabut asap yang berkepanjangan dan
melibatkan bencana antar Negara .
2. Penyakit yang membunuh sebagian besar komponen lingkungan hidup,
baik flora, fauna, serta manusia.
3. Kuantitas penghasil oksigen yang jauh dibawah rata-rata.
4. Peningkatan suhu permukaan bumi, diikuti dengan peningkatan muka air
laut, sehingga pulau-pulau kecil akan tenggelam.
5. Hilangnya serta berkurangnya keanekaragaman hayati.
6. Kerusakan permanen pada lingkungan hidup.
Sehingga beberapa hal yang terkadang dilupakan oleh komunitas adalah dampak
negative berkepanjangan, yang justru mengakibatkan bencana alam dalam skala
besar. Sebagai contohnya, lahan gambut yang terbakar akibat pembukaan lahan tidak
akan pernah bias kembali kedalam kondisi semula, dimana lahan tersebut dapat
ditanami. Lahan gambut akan serta merta rusak dan menjadi badland. Hal ini akan
menyebabkan hilangnya kuantitas lahan yang dapat dimanfaatkan dalam jangka
waktu lama.

8

Lingkungan merupakan suatu kesatuan komponen, baik ruang, benda, daya,
energy, serta makhluk hidup termasuk manusia beserta tingkah lakunya, yang dapat
memengaruhi komponen didalamnya secara langsung. Lingkungan merupakan
bentuk system dari segala komponen yang ada, sehingga karakteristik komponennya
akan terpengaruh satu sama lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan degradasi
lingkungan adalah penurunan kondisi baik kuantitas maupun kualitas lingkungan
biogeofisik, akibat adanya aktivitas alami (proses alam, seperti bencana alam, dan
bahaya alam), serta aktivitas dipercepat (perusakan lingkungan oleh manusia),
sehingga berdampak negative berupa kondisi tidak seimbang dan dapat dirasakan
oleh seluruh komponen lingkungan secara global.
Degradasi akan meliputi segala bentuk life layers seperti air, udara, tanah
bahkan komponen hidup juga akan dapat mengalami degradasi. Degradasi air dapat
berupa pencemaran oleh zat kimia berbahaya akibat aktivitas pabrik, pencemaran
akibat zat berbahaya penambangan logam berat, bahkan dapat diakibatkan oleh
adanya aktivitas biotik, seperti kandungan ammonia yang akan mencemari air apabila
dalam kadar zat terlarut terlalu tinggi. Selain itu degradasi air juga akan menyebabkan
degradasi udara dan tanah secara langsung. Apabila air mengalami degradasi, maka
tanah akan mengalami degradasi dan kerusakan akibat zat hara hilang karena erosi,
serta cemaran zat kimia berbahaya. Sebagai contohnya, dalam praktek budidaya
pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Dua faktor
penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak

pada

sumberdaya

yang

lahan,

yaitu

tanaman

dan

manusia

(sosio

kultural)

menjalankan pertanian (Atmojo, 2006:2). Sehingga dalam segala bentuk aktivitas
manusia pada dasarnya secara langsung akan menyebabkan percepatan degradasi
lingkungan, baik aktivitas pengelolaan maupun pengolahan lingkungan.
Kondisi degradasi lingkungan dapat dikategorikan sebagai dampak tak
terhindarkan dari tindakan dinamis manusia. Setiap bentuk interaksi manusia dengan
lingkungan akan menyebabkan kerusakan lingkungan baik dalam skala mikro,
maupun dalam skala makro. Masalah kependudukan, merupakan masalah yang sangat
integrative dan pelik apabila ditinjau dari segi pulling trigger permasalahan degradasi

9

lingkungan. Masalah kependudukan, yang berarti tidak terkontrolnya jumlah
penduduk yang ada di Indonesia, bukan hanya berdampak pada jumlah, namun juga
akan berdampak terhadap seluruh komponen yang akan berinteraksi dengan
masyarakat. Apabila ditinjau lebih jauh, jumlah penduduk di Indonesia semakin lama
akan semakin banyak, dan jumlah yang semakin banyak akan juga memerlukan ruang
yang besar, termasuk kebutuhan untuk dapat survive bahkan mencukupi kebutuhan
sekunder dan tersier.
Kebutuhan untuk survive bahkan untuk mencukupi kebutuhan sekunder dan
tersier bersumber dari lingkungan. Sebagai contohnya, kebutuhan primer, yaitu
makanan hanya dapat dicukupi melalui ekstraksi lingkungan khususnya lahan
pertanian. Maka semakin banyak jumlah penduduk, akan memerlukan jumlah bahan
pangan yang lebih besar pula. Begitu juga hal tersebut diaplikasikan pada kebutuhan
manusia yang bersifat sekunder dan tersier. Sebagai contohnya, kebutuhan tersier
seperti emas, perak, dan perhiasan lainnya hanya mampu dicukupi oleh lingkungan.
Maka, segala bentuk kebutuhan hanya mampu dicukupi oleh lingkungan. Namun
kendala utama yang menghambat ketercukupan tersebut adalah, maka semakin
banyak jumlah penduduk, akan menyebabkan kapasitas lingkungan pada kondisi
tidak mampu mencukupi kebutuhan manusia, atau dalam artian mencapai puncak
efektif. Sebagai analoginya, apabila jumlah penduduk meningkat 100% dari jumlah
awal, dan lingkungan hanya mampu menampung 50% peningkatan, maka kapasitas
lingkungan untuk dapat mencukupi kebutuhan tersebut akan rendah. Manusia secara
tidak langsung akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Apabila
lahan yang dapat mencukupi kebutuhan pangan digunakan sebagai lahan
permukiman, maka kuantitas jumlah bahan pangan melalui lahan pertanian akan
menurun dan tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan manusia. Sehingga
diperlukan analisis integrates berkaitan dengan permasalahan degradasi lingkungan
tersebut.
PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa segala bentuk
kegiatan komunitas, pada awalnya merupakan kegiatan yang berorientasi pada

10

kearifan lokal berbasis proteksi, yang mana segala bentuk aktivitas, dan interaksi
manusia kepada lingkungan bertujuan untuk dapat melakukan perlindungan,
konservasi, dan regenerasi kawasan naungan, sebelum melakukan tindakan
pengelolaan maupun pengolahan. Sedangkan tindakan-tindakan diluar hal-hal
tersebut tidak seharusnya dapat dilakukan atau diterapkan dalam rangka survive atau
memenuhi kebutuhan yang lainnya. Berdasarkan data deforestasi hutan (departemen
kehutanan) yang tersaji pada lembar soal ujian tengah semester mata kuliah geografi
lingkungan
menunjukkan
bahwa:

Laju deforestasi hutan yang cenderung fluktuatif, merupakan gambaran bahwa
kuantitas kebutuhan mengenai lahan sangat besar. Bahkan masih diatas 0.5 juta hektar
setiap tahunnya. Kondisi tersebut diperparah dengan kerusakan lahan yang parah
hingga menyebabkan gejala bencana dalam skala besar, seperti kabut asap dan
penyakit.
Kaitannya dengan kearifan lokal, maka kondisi tersebut tidak dapat menjadi
tolok ukur bahwa kearifan lokal masih dipegang teguh oleh komunitas lokal, bahkan
dapat diyatakan sebagai hilang. Kenyataan bahwa komunitas lokal meninggalkan
adopsi kearifan lokal berbasis proteksi dapat ditinjau melalui banyaknya kasus
mengenai kebakaran hutan, bahkan setahun sekali terdapat setidaknya dua kasus
kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Kearifan lokal berbasis proteksi
dalam aplikasinya pembukaan lahan hutan mengadopsi sistem kebersamaan. Seperti
contohnya komunitas masyarakat dayak, dalam upaya pembukaan lahan akan
menggunakan cara:

11

1. Membersihkan lahan-lahan disamping lahan yang akan dibuka dengan
tujuan agar tidak terjadi perembetan api yang dapat membakar habis
hutan.
2. Komunitas masyarakat membuat jalur sungai kecil yang dialiri air sebagai
system pemadaman darurat apabila terjadi hal yang tidak diinginkan.
3. Masyarakat secara bersama-sama mengelilingi kawasan yang terbakar
tersebut sebagai upaya untuk menjaga agar tidak terjadi kebakaran secara
meluas.
4. Komunitas pembakar hutan mutlak memberi tahu desa terdekat bahwa
terdapat aktivitas pembakaran hutan dan sebagai upaya warning kepada
daerah sekitar
5. Setelah pembakaran berakhir, pemadaman hingga tidak terdapat asap lagi.
6. Pemanfaatan menunggu beberapa selang waktu agar tanah siap, sebagai
upaya agar tanah dapat berproduksi maksimal
Kondisi seperti diatas sudah sangat jarang ditemukan oleh para pengembang
khususnya diluar komunitas masyarakat lokal atau masyarakat asli karena dinilai
tidak efisien dan membutuhkan waktu lama. Namun dampak dari proses yang begitu
cepat adalah kerusakan lahan, bahkan menimbulkan degradasi yang sangat luas
cakupannya, meliputi udara (kabut asap), tanah (hilangnya unsur hara), air (matinya
sumber air akibat hilangnya komunitas hutan dalam skala luas).
Namun kondisi tersebut mengalami penurunan berdasarkan data diatas,
dimungkinkan terdapat dua factor utama yang menyebabkan, yaitu:
1. Penurunan disebabkan karena sudah berkurangnya jumlah hutan yang ada
di Indonesia, khususnya kawasan komunitas lokal. Sehingga pembakaran
hutan atau alih fungsi hutan yang menyebabkan degradasi hutan menurun
seiring berjalannya waktu.
2. Penanganan berkaitan dengan regulasi pencegahan pembakaran dan alih
fungsi lahan semakin maksimal. Hal ini meliputi proteksi melalui kearifan
lokal maupun dari lembaga kehutanan.

12

Sedangkan permasalahan lainnya yang juga sangat pelik adalah permasalahan
kependudukan. Masalah tersebut digolongkan sebagai permasalahan integrative dan
sulit untuk dipecahkan dalam suatu sisi saja. Berdasarkan data studi SLHI tahun
2010, maka didapatkan bahwa:

Maka dapat diasumsikan bahwa kondisi jumlah penduduk di Indonesia mengalami
perlompatan yang sangat pesat. Kondisi tersebut merupakan lipatan ganda dari tahun

13

1971, menjadi 2 kali lipat. Kondisi ini menyebabkan masalah kependudukan yang
pelik. Beberapa diantaranya pada suatu sisi akan menyebabkan dampak negative
dibandingkan dampak positif. Seperti halnya Negara cina, jumlah penduduk yang luar
biasa besar dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Negara cina untuk dapat menunjang
GDP Negara, sehingga masyarakat dapat tertunjang. Namun berkebandingan terbalik
dengan Negara cina, Indonesia, memiliki masalah yang pelik berkaitan dengan
kependudukan yang besar seperti halnya kemacetan, pemukiman kumuh, serta
pengangguran.

Berdasarkan SLHI tahun 2010, menunjukkan bahwa dengan jumlah penduduk
sebesar 237 juta maka dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan perekonomian
Indonesia menjadi sangat lamban. Hal ini membuktikan bahwa kerusakan lingkungan
serta peningkatan perubahan iklim, menyebabkan perekonomian suatu Negara dapat
menjadi stuck bahkan mati. Kerusakan lingkungan akibat tindakan manusia menelan
biaya yang sangat besar untuk proses recovery sehingga menghambat adanya
perkembangan perekonomian. Hal ini sebenarnya dapat dihindari apabila masyarakat

14

sebagai komunitas lokal, mampu mengendalikan prinsip hidup menggunakan system
kearifan lokal berbasis proteksi.
Selain itu, konstruksi dasar dari pencemaran lingkungan muncul atas dasar
kebutuhan hidup manusia. Maka sebagai bentuk responsibility hendaknya manusia
dapat mengendalikan laju kerusakan lingkungan dengan cara proteksi maupun
recovery. Dengan hal itu, maka biaya untuk melakukan peremajaan terhadap
lingkungan akan menurun dan menyebabkan pertumbuhan perekonomian menjadi
lebih baik. Apabila pertumbuhan perekonomian menjadi baik, maka tunutan
kebutuhan manusia dapat ditekan, apalagi untuk melakukan peremajaan kawasan
badland.
Gejala kerusakan lingkungan antara lain akibat penyusutan hutan. Hutan
merupakan penopang kebutuhan air yang penting dalam siklus hidrologi suatu daerah
aliran sungai. Penurunan luas hutan berakibat menurunnya potensi sumberdaya air.
Berdasar interpretasi citra landsat 2005 (MIH, 2006), secara total persentasi luas
kawasan hutan per pulau pada tahun 2005 adalah Jawa (19%), Sumatera (54%),
Kalimantan (43%), Sulawesi (43%), dan Papua (71%) (SLHI, 2010:11). Uraian diatas
menunjukkan bahwa kebutahan akan lahan pemukiman merupakan isu yang sangat
gencar dikaitkan dengan kerusakan lahan, khususnya lingkungan hutan. Sebagai
asumsi,

bahwa

masyarakat

dengan

kepadatan

tertinggi

di

jawa,

dengan

“perelokasian” menuju kawasan yang jarang penduduk atau dikenal sebagai istilah
transmigrasi. Maka tidak hanya pemberdayaan saja, namun juga pemanfaatan lahan
sebagai tempat tinggal. Sebagai rujukan kearifan lokal berbasis proteksi, maka
alokasi lahan mutlak diperlukan hanyalah 25% dari keseluruhan lahan yang dimiliki,
sedangkan 50% dibiarkan terbuka, dan 25% sisanya digunakan sebagai lahan

15

operasional yang dimanfaatkan. Maka dengan alokasi seperti itu, basis utama yang
digunakan adalah proteksi penuh.
Gejala lainnya seperti kerusakan dan degradasi air juga berkaitan dengan
kawasan permukiman yang semakin memadat. Presentasi keterbutuhan air sangat
berbanding terbalik dengan ketersediaan air. Ketersediaan air yang minim dan
pemanfaatan air yang beragam macam, membuat degradasi sumberdaya air menjadi
massif. Aktivitas masyarakat seperti mandi, cuci, kakus, membuat ketersediaan air
berkurang dan terdegradasi. Ditambah lagi dengan mindset masyarakat pada
umumnya bahwa air tidak dapat habis. Melalui konsep kearifan lokal berbasis
proteksi, sebagai contohnya adalah suku badui dalam. Pemanfaatan baik air
permukaan maupun air tanah sangat konservatif. Komunitas lokal menggunakan air
tanah sebagai pencukup kebutuhan pada ambang batas kebutuhan mereka, dan bukan
pada ambang batas ketersediaan airmya. Selain itu, masyarakat dilarang
menggunakan deterjen secara besar-besaran dalam rangka agar kondisi air tidak rusak
dan tercemar. Pemanfaatan air sungai pun terbilang sangat terbatas, karena mereka
menilai bahwa kekayaan biota yang ada didalam ekosistem sungai, merupakan
karunia tuhan yang mutlak disandingkan dengan komunitas badui. Maka dengan
pandangan kearifan lokal seperti inilah mampu memproteksi secara penuh mengenai
kelestarian sumberdaya air khususnya air tanah dan air permukaan.
Penyebab kerusakan lingkungan lain adalah kerusakan kawasan lindung.
Kawasan lindung, seperti hutan lindung, kawasan resapan air, sempadan sungai,
kawasan sekitar waduk dan sekitar mata air saat ini sudah menurun karena sebagian
besar mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebabkan berkurangnya luasan tutupan
hutan dan atau kualitas tegakan, atau tanahnya rusak, yang semuanya berperan
mengurangi fungsi penyedia air. Indikasi penurunan fungsi penyedia air antara lain
berupa penurunan debit air sungai yang tajam atau tingginya fluktuasi debit musim
penghujan dan kemarau (SLHI, 2010:12). Maka dari semua bentuk degradasi
lingkungan diatas dapat diasumsikan bahwa, kerusakan dan degradasi lingkungan
disebabkan karena manusia dalam artian komunitas lokal memanfaatkan lingkungan
keluar dari konsep kearifan lokal berbasis proteksi. Sehingga semakin besar

16

kerusakan lingkungan, maka daya dukung lingkungan juga akan mengecil, setara
dengan jumlah masyarakat yang dinamis untuk bertambah.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, dan data–data mengenai status lingkungan hidup
Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa degradasi lingkungan mencapai pada
taraf degradasi hutan, degradasi lahan, degradasi air, serta degradasi udara. Dengan
kapasitas serta trigger berupa tindakan manusia yang cenderung abai dan
meninggalkan konsep kearifan lokal berbasis proteksi. Kondisi tersebut semakin lama
diperparah dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Sehingga diperlukan
adopsi mengenai kearifan lokal kembali kepada prespektif masyarakat untuk
menanggulangi degradasi lingkungan yang semakin massif terjadi.
DAFTAR RUJUKAN
Atmojo, Suntoro Wongso. 2006. Degradasi Lahan Ancaman Bagi Pertanian. Solo:
Solo POS.
Assidiqy, Muhammad Raad. 2015. Potensi Bencana Alam di Indonesia. Malang:
Pendidikan Geografi UM
Hastuti, Erni et al. 2013. Kearifan Lokal Sosial Budaya Masyarakat Minang
Pedagang Rantau di Jakarta. Bandung: Proceeding PESAT (Psikologi,
Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil).
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2010. Status Lingkungan Hidup
Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Yunus, Rasid. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat
Karakter Bangsa Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: deepublish
publisher