Sisi Gelap Era Informasi Information War

Hubungan Internasional Universitas Airlangga
Jurnal Globalisasi dan Masyarakat
Informasi Minggu keduabelas
Desember 2016

Sisi Gelap Era Informasi: Information Warfare dan
Perang Virtual
Diansasi Proborini
___________________________________________
Kehadiran

masyarakat

informasi

sebagai

konsekuensi

dari


globalisasi tidak dipungkiri mendatangkan banyak perubahan yang
signifikan. Mulai dari gaya hidup, skema produksi barang dan jasa, hingga
perubahan aktor-aktor yang bermain dalam kehidupan masyarakat. Selain
hal-hal tersebut, kebangkitan teknologi informasi juga mengubah sifat
alamiah dari perang dan diplomasi itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Elisabeth Hauschild bahwa terdapat beberapa skenario tentang
bagaimana suatu peperangan modern dapat terjadi dalam kehidupan
masyarakat, atau umumnya dikenal sebagai information warfare (IW) atau
perang informasi (1999: 199). Terma information warfare (IW) merujuk
pada penggunaan sistem informasi seperti komputer, jaringan komunikasi,
serta database, yang umunya digunakan dalam kepentingan militer
(Berkowitz, 1995: 175).
Populeritas IW ini didasarkan pada dua alasan yaitu ketika
Amerika—sebagai negara adikuasa—rentan diserang jaringan informasinya.
Hal

itu

disebabkan


karena

Amerika

merupakan

negara

dengan

ketergantungan yang begitu tinggi terhadap sistem informasi, tidak
terkecuali dalam hal militernya. Kedua, meskipun ketergantungan Amerika
terhadap sistem informasi begitu tinggi, namun mereka—staf Pentagon dan
analis pertahanan—memahami bahwa IW merupakan strategi yang
menguntungkan

dalam

membentuk


jaringan

pertahanan

Amerika

(Berkowitz, 1995: 175). Melalui kecanggihan jaringan informasi tersebut,
Amerika dapat memprediksi serangan-serangan yang akan datang dengan
cara menyadap beragam informasi utamanya dari pihak musuh. Untuk itu,

1

Sisi Gelap Era Informasi: Information Warfare dan Perang Virtual

hingga saat ini pun Amerika tidak dipungkiri memiliki sistem jaringan
informasi yang begitu canggih, yang umumnya termasuk dalam lembaga
badan intelijennya, yakni CIA.
Dalam era informasi ini, peperangan tidak berlangsung secara brutal
yang disertai dengan serangan fisik dan bombardir, namun peperangan
berlangsung di dalam sistem teknologi yang digunakan. Hal itu disebabkan

karena ketergantungan masyarakat terhadap teknologi informasi yang begitu
besar sehingga membuatnya kian rentan diserang oleh musuh, dan dirusak
infrastruktur informasinya—biasanya berupa komunikasi komersil dan
jaringan siaran, sistem data finansial, sistem kontrol transportasi, dan lainlain. Di samping itu, dewasa ini sistem informasi adalah hal penting dalam
operasi militer. Berkaitan dengan hal tersebut, seringkali lebih efektif untuk
menyerang sistem informasi musuh daripada terkonsentrasi dalam
menyerang kekuatan militernya secara langsung (Berkowitz, 1995: 177).
Aktivitas-aktivitas serangan fisik berupa sabotase, bombardir, penculikan,
pembajakan, maupun pembunuhan memiliki kemungkinan resiko yang lebih
besar ketimbang serangan cyber . Beberapa contoh sederhana serangan
terhadap sistem informasi adalah ketika sistem radar baik pesawat
penumpang maupun pesawat perang dirusak dari jauh melalui jaringan
telekomunikasi dan tidak bekerja sebagai bentuk serangan tak terduga,
lampu lalu lintas mati sehingga menyebabkan kekacauan di jalan,
sambungan internet juga tidak berfungsi karena dimanipulasi oleh pihakpihak tertentu, dan lain-lain.
Kemajuan dan perkembangan teknologi tentu saja meninggalkan
konsekuensi yang harus dibayar, salah satunya adalah adanya target
serangan baru. Di era industrial, target serangan bukanlah markas-markas
militer atau alutsistanya melainkan basis industrial suatu negara. Tidak
dipungkiri kekuatan militer saat itu bergantung pada basis industrial

(Berkowitz, 1995: 180). Bisa dibayangkan apabila suatu negara sudah tidak
memiliki pabrik, tidak ada aktivitas produksi senjata massal sehingga
kekuatan militernya pun dipertaruhkan. Di samping itu, keruntuhan
industrialnya juga mengakibatkan kegagalan ekonomi, sehingga negara
tidak memiliki cukup uang untuk mendanai atribut-atribut militernya.

2

Diansasi Proborini

Sedangkan pada saat ini teknologi informasi telah mencapai masa kritisnya.
Sistem informasi adalah hal vital bagi militer dan masyarakat sipil yang
mana hal itu membuatnya rentan diserang oleh musuh maupun pihak yang
tidak bertanggungjawab, contoh: hacker . IW tidak dipungkiri merupakan
sisi gelap dari era informasi. Kerentanan masyarakat dan militer dari
serangan IW adalah konsekuensi langsung dari persebaran teknologi
informasi.
Ancaman IW seiring tumbuh dikarenakan entry cost rendah.
Sebagaimana ketika biaya teknologi informasi kian jatuh, bahaya IW pun
kian tumbuh (Berkowitz, 1995: 182). Hal ini disebabkan karena semakin

banyak pihak yang mampu membeli teknologi informasinya sendiri.
Akibatnya mereka pun tumbuh menjadi aktor yang berpotensi melakukan
perang informasi (IW) terhadap suatu negara. Sementara itu kemudahan
transfer informasi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi menyebabkan
semua orang dapat belajar bagaimana melakukan serangan IW yang efektif
(Berkowitz, 1995: 183). Pun untuk menangkis atau mecegah IW tidaklah
mudah karena sebagian besar aktornya anonim sehingga sulit diidentifikasi
identitas aslinya. Kalaupun sudah diketahui identitasnya, namun untuk
memberikan hukuman atau sangsi terhadap pelaku juga dilematis.
Memberikan sangsi fisik, misalnya hukuman mati, serangan bom, dan lainlain, adalah hal yang dirasa tidak pantas. Kerugian yang diderita akibat IW
memang mahal dan berpotensi melemahkan suatu negara, tapi tidak bersifat
mematikan (Berkowitz, 1995: 184). Di samping itu respon diplomatik
terhadap hal tersebut juga dirasa kurang efektif.
Dalam rangka menanggapi ancaman serangan IW, Berkowitz (1995:
188)

menyatakan

dibutuhkan


pendekatan-pendekatan

baru

untuk

menanganinya. Salah satunya bisa dilakukan dengan cara menginformasikan
kepada publik umum dan badan industri mengenai bahaya ancaman tersebut
melalui jaringan kerjasama pemerintah-sipil formal dan non-formal. Kedua,
perlunya membangun poin pertahanan yang berkaitan dengan sistem
komputer dan link komunikasi militer yang vital, yakni dengan mengambil
langkah-langkah ekstra untuk menghalangi penyerang. Hal tersebut bisa
dilakukan dengan membangun jalur transmisi komunikasi khusus,

3

Sisi Gelap Era Informasi: Information Warfare dan Perang Virtual

mengisolasi komputer-komputer penting/vital dari seluruh jaringan luar, dan
menggunakan sistem keamanan perangkat keras dan lunak yang penting

untuk sistem pertahanan.
Apabila Berkowitz melihat perang informasi merupakan perang
yang terjadi dalam suatu jaringan informasi, berbeda dengan Michael
Ignatieff yang cenderung melihat dampak kemajuan teknologi dalam sudut
pandang lain. Michael Ignatieff menyebut konsekuensi dari era informasi
adalah kemunculan Virtual War atau Perang Virtual. Maksud dari
penggunaan kata virtual disini adalah “almost but not quite war ” atau
“hampir tapi tidak mendekati perang” (2005: 6). Perang virtual dengan
perang sesungguhnya (real war ) adalah berbeda. Pada real war , kekerasan
yang dilakukan diatur oleh negara menggunakan personil berseragam
reguler dibawah jaringan komando yang telah di formalisasi, serta tujuannya
adalah untuk penaklukan, mengusir, atau mengalahkan pihak lawan. Dalam
pelaksanaan real war juga terdapat serangkaian hukum kemanusiaan
internasional yang harus dipatuhi, tidak seperti perang virtual. Perang virtual
adalah pertempuran yang dilakukan dengan mengabaikan segi moral
manusia (Ignatieff, 2005: 8).
Salah satu contoh perang virtual seperti yang dimaksud oleh Michael
Ignatieff adalah konflik di Kosovo yang disebabkan oleh pertempuran
antara pasukan Amerika dan NATO melawan pasukan Kosovo dan Serbia.
Dalam peperangan tersebut pihak Amerika dan NATO ditengarahi tidak

memiliki korban jiwa, sedangkan pada pihak Kosovo dan Serbia berjatuhan
korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit. Pada dasarnya aturan dasar dari
jenis perang virtual adalah nihilnya jumlah korban jiwa dan kerusakan
kolateral (Ignatieff, 2005: 8), namun hal itu tidak terjadi di Kosovo.
Peperangan yang dilakukan oleh Amerika dan NATO dikendalikan dari
jarak jauh menggunakan remot kontrol sehingga hanya pihak Kosovo dan
Serbia saja yang terkena imbasnya. Peperangan yang dilakukan dengan
mengabaikan segi moral (moral impunity) adalah perang yang dilakukan
dengan menghapus resiko kerugian yang didera (Ignatieff, 2005: 8). Dengan
demikian tantangan basis dari perang virtual adalah kekerasan tanpa
kemenangan.

4

Diansasi Proborini

Faktor penting lain dari kemunculan perang virtual adalah peran TV.
TV sebagai sumber informasi yang dikonsumsi oleh banyak orang
memberikan dampak yang luar biasa terhadap masyarakat, terutama dalam
siarannya yang menayangkan perang Kosovo di sekitar 19 negara (Ignatieff,

2005: 10). Penayangan tersebut bukan berarti tanpa tujuan jelas. Hal itu
ditujukan untuk mengatur kohesi persekutuan dan dukungan domestik yang
dapat dilakukan di rumah (penonton) terhadap perang Kosovo tersebut. Hal
ini tentu saja merupakan fitur baru dengan menggunakan TV sebagai senjata
perang efektif. Secara sadar mereka memutar ulang beragam bentuk
kerusakan militer pada domestik publik dan berupaya untuk mempengaruhi
moral domestik di rumah. Dengan demikian para penonton di rumah dapat
merasakan dampak dari kekerasan militer secara langsung. Adanya hal ini
menyebabkan timbulnya budaya keengganan resiko, yang mana selama
kekerasan militer terjadi di belahan dunia lain, jauh dari rumah, dan jauh
dari pikiran, maka publik cenderung dapat menerima level kekerasan yang
lebih tinggi (Ignatieff, 2005: 10). Dengan demikian perang virtual yang
dijelaskan oleh Ignatieff menekankan pada teknologi dan kultur yang
terkandung dalam suatu peperangan.
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat dihasilkan suatu kesimpulan bahwa era
informasi telah memunculkan tren perang baru yakni Information Warfare
(IW) atau perang informasi serta perang virtual. Perang informasi terjadi di
dalam sistem teknologi informasi yang berkembang di masyarakat.
Ketergantungan masyarakat yang begitu tinggi terhadap sistem informasi ini

membuatnya begitu mudah menjadi sasaran serangan para hacker . Tidak
terkecuali pada alat-alat militer yang saat ini kian canggih dan berbasis
teknologi dan jaringan informasi. Penyusupan ataupun serangan terhadap
radar-radar pesawat tidak dipungkiri memunculkan kekhawatiran tersendiri
bagi pertahanan suatu negara. Hal itu adalah konsekuensi langsung dari
persebaran teknologi informasi sebagai sisi gelap dari era informasi.
Bagaimanapun terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan dalam
menghadapi ancaman IW seperti menginvestasikan sistem keamanan

5

Sisi Gelap Era Informasi: Information Warfare dan Perang Virtual

berbasis teknologi informasi, baik berupa perangkat lunak dan keras, untuk
sistem pertahanan. Di samping perang informasi, konsekuensi dari
kemunculan era informasi adalah perang virtual yang mengandalkan TV
ataupun—bila

memungkinkan—media-media

massa

lain

untuk

mempengaruhi publik dalam membentuk keengganan moral (moral
impunity). Akhir kata, dapat dilihat bahwa kehadiran teknologi-teknologi

canggih di tengah era informasi ini benar membawa perubahan signifikan
dalam kehidupan manusia. Sebagian besar bersifat positif, namun hal itu
juga tidak luput dari potensi konsekuensi kerusakan kolateral yang lebih
besar.
Referensi
Berkowitz, Brice D., 1995. Warfare in the Information Age. Issues in
Science and Technology, Musim Gugur, hlm. 175—189.

Hauschild, E., 1999. Modern and Information Warfare: A Conceptual
Approach. Studies in Contemporary History and Security Policy, 3,
Hlm. 199—210
Ignatieff, M., 2005. Virtual War: Ethical Challenges. Cambridge: Harvard
University, hlm. 1—23

6