PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN KASUS

PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN KASUS PELANGGARAN HAM
BERAT DALAM BEBERAPA KASUS HAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :
HUKUM DAN HAM

Disusun Oleh :
SUNU DIPTA WIBIAKSO
NIM

: A.131.09.0100

FAKULTAS ILMU HUKUM
SEMARANG
2011

BAB I PENDAHULUAN
1. Temuan Komnas HAM Harus Dikembangkan Kejaksaan Agung
Di banyak Negara termasuk di Indonesia sering terjadi kecenderungan adanya penolakan untuk
menyelidiki atau mengadili perkara perkara masa lalu. Di berbagai negara tersebut sikap
melindungi secara terangterangan dipertunjukkan oleh para penguasa yang warga negaranya

terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Perlindungan seperti
itu tercermin dari kesengajaan rezim yang berkuasa untuk tidak membuat ketentuan
perundangundangan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat atau tidak menerapkan
ketentuan perundangundangan yang sudah ada, atau memberikan interpretasi yang berbeda
dengan apa yang dimaksud oleh peraturan perundangundangan mengenai kejahatan itu,
sematamata hanyalah untuk menciptakan impunity bagi para pelaku kejahatan itu.
BAB II RUMUSAN PERMASALAHAN
Contoh kasus kejahatan pada Perang Dunia ke II: Adolf Hitler dan Mussolini selaku pihak yang
bertanggung jawab dalam kejahatan perang waktu itu telah mati sebelum diadili, sementara
Kaisar Hirohito – dengan berbagai pertimbangan, kasusnya tidak pernah terungkap dan tidak
sempat diadili hingga yang bersangkutan wafat. Sedangkan contoh kasus pelanggaran HAM
berat di Indonesia yang terkesan ditutuptutupi adalah: kasus dugaan pelanggaran HAM berat
Trisakti Semanggi I, II, Penculikan Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di
Lampung), kasus Waisor, Wamena (di Papua) yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM
selalu terganjal oleh berbagai kepentingan politis tertentu.
Konsekuensi Pemerintah RI dan DPR – RI mengeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, mestinya dapat mempermudah dan menuntaskan proses penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum dan
sesudah dikeluarkannya UU Pengadilan HAM tersebut. Namun dalam praktiknya, berbagai
kasus pelanggaran HAM berat tersebut diatas justru menjadi permainan “bola panas” antara


Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM setelah Jaksa Agung mengembalikan semua berkas
pelanggaran HAM berat tersebut kepada Komnas HAM tertanggal 1 April 2008.
Dikembalikannya semua berkas tersebut, menurut Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut,
karena berkas tersebut ‘masih kurang lengkap’, artinya belum memenuhi syarat formal dan
materiil yang ditentukan. Namun sayangnya Jaksa Agung tanpa memberi petunjuk yang jelas di
mana kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut.
Padahal menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
dalam hal ketidaklengkapan tersebut, Jaksa Agung wajib memberi petunjuk, perihal kekurangan
hasil penyelidikan Komnas HAM. Bahkan sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf (g) UU No. 26 Tahun
2000 penyidik Jaksa Agung dapat “mengembangkan” kasus tersebut dengan memerintahkan
penyelidik Komnas HAM melakukan tindakan berupa: pemeriksaan surat, penggeledahan dan
penyitaan, pemeriksaan setempat dan mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan
penyelidikan. Bila perlu Jaksa Agung sesuai wewenangnya dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12
ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, “dapat melakukan penangkapan dan penahanan untuk
kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM
berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.
Mengenai pemanggilan paksa (subpoena) seorang saksi karena tidak bersedia dipanggil oleh
Komnas HAM, hal ini sudah jelas diatur oleh Pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (HAM), yang mengatakan: “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang

menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan
Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan”.
Argumentasi Jaksa Agung dan TNI yang meminta agar terlebih dahulu DPR menerbitkan
rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Adhoc kepada Presiden perihal pemanggilan paksa
seorang saksi dalam perkara pelanggaran HAM berat, menurut penulis adalah tergantung dari
pada locus dan tempus delicti (tempat dan waktu peristiwa) apakah terjadi ‘sebelum’ atau
‘sesudah’ berlakunya Undang Undang Pengadilan HAM.

Sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, DPR tak mungkin
menerbitkan rekomendasi politik terlebih dahulu kepada TNI/Polri tanpa terlebih dahulu Komnas
HAM melakukan pemanggilan terhadap saksi saksi terkait untuk mencari fakta fakta berupa
bukti ada tidaknya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat. Berdasarkan hasil
investigasi/penyelidikan Komnas HAM inilah akan ditindaklanjuti oleh penyidik Jaksa Agung
apakah telah terdapat bukti permulaan yang cukup untuk selanjutnya dikembangkan oleh Jaksa
Agung.
Jika pelanggaran HAM berat terjadi ‘sebelum’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM,
maka pemanggilan paksa seorang saksi belum bisa dilaksanakan oleh Pengadilan HAM, sebab
Pengadilan HAM Adhocnya harus terlebih dahulu dibentuk atas usul DPR sesuai Pasal 43 ayat
(2) Undang Undang Pengadilan HAM. Jika tetap dipaksakan pemanggilan saksi tersebut, akibat

hukumnya pemanggilan itu tidak sah menurut hukum, alias “batal demi hukum”.
Yang bisa dilakukan Komnas HAM terhadap saksi yang tidak bersedia hadir terhadap kasus
yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya Undang Undang Pengadilan HAM Adhoc adalah, pertama:
bersabar menunggu terbentuknya pengadilan HAM Adhocnya berdasarkan Keputusan Presiden.
Kedua: demi penegakan hukum di bidang HAM, selaku warga negara yang baik dan taat hukum
seharusnya saksi dimaksud secara ‘legowo’ menghadiri panggilan Komnas HAM tersebut. Ke
tiga : jika saksi tidak memenuhi pemanggilan dimaksud, maka ketika sidangnya digelar, Majelis
Hakim HAM dapat memanggil dia sebagai saksi dipersidangan, sekalipun dia tidak masuk dalam
daftar Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
BAB III PEMBAHASAN MASALAH
Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya Undang Undang
Pengadilan HAM yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Adhoc Jakarta adalah:
pelanggaran HAM berat Timor Timur tahun 1999 dan pelanggaran HAM berat Tanjung Priok
Tahun 1984.
Sedangkan jika pelanggaran HAM berat itu terjadi ‘sesudah’ berlakunya Undang Undang
Pengadilan HAM, pemanggilan paksa seorang saksi “dapat dilakukan” oleh Pengadilan HAM
yang tidak bersedia hadir sesuai permohonan Komnas HAM (Vide Pasal 95 UU HAM). Disini

tidak perlu mendapat rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM oleh DPR kepada Presiden,
karena dengan sendirinya Pengadilan HAM sudah ada seperti di Jakarta, Medan, Surabaya dan

Makasar sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Dan nama pengadilannya di sini bukan Pengadilan HAM Adhoc, tetapi
Pengadilan HAM saja (tanpa adhocnya)
Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ‘sesudah’ terbentuk Undang Undang
Pengadilan HAM adalah: pelanggaran HAM berat Abepura tahun 2000 yang pernah ditangani
oleh Pengadilan HAM Makasar.
Aneh : Jaksa Agung justru meminta agar terlebih dahulu DPR menerbitkan rekomendasi
pembentukan Pengadilan HAM Adhoc kepada Presiden. Dan menurut Ketua Komisi III DPR:
Trimedya Panjaitan mengatakan: “secara prosedural kejaksaan baru bisa melakukan penyidikan
setelah mendapat rekomendasi dari DPR”. Pendapat ini menurut penulis telah “mengaburkan”
makna dan penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Terhadap kasus yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya Undang Undang Pengadilan HAM, DPR di
sini tak boleh menolak atau memberi pendapat, bahwa temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung
bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seperti yang pernah terjadi pada periode DPR tahun
1999- 2004. Sebab kewenangan DPR di sini hanyalah memberi rekomendasi atau mengusulkan
kepada Presiden agar diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) atas dugaan peristiwa
pelanggaran HAM yang berat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa DPR tidak berwenang menetapkan ada tidaknya
pelanggaran HAM Berat, namun yang berwenang menetapkan ada tidaknya pelanggaran HAM
berat adalah Pengadilan HAM Adhoc melalui proses pemeriksaan pokok perkara di persidangan.

Soal apakah nantinya para pelaku dugaan pelanggaran HAM berat terbukti bersalah atau tidak
adalah menjadi kewenangan Pengadilan HAM Adhoc.
Dalam praktik, rekomendasi/usul DPR tentang Pembentukan Pengadilan HAM Adhoc
pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok dengan Kepres No. 53 yang di
perbaharui No. 96 tahun 2001 dikeluarkan oleh DPR dan Presiden saat itu setelah hasil

penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung berdasarkan peristiwa tertentu di
Timor Timur dan Tanjung Priok ‘diduga’ telah terjadi pelanggaran HAM yang berat.
2. Pertanggungjawaban Komandan/Atasan
Negara tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya sendiri tanpa dilakukan oleh segenap
instrumen (organnya) yang terdiri dari: para individu melalui institusi hukum atau institusi
negara. Mereka yang menjalankan kewenangan negara dikenal sebagai aparatur negara dan
aparatur penegak hukum. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada aparatur
Negara atau aparatur penegak hukum yang didalamnya terdiri dari individu inilah yang bertindak
mewakili untuk dan atas nama negara. Mereka yang kemudian melakukan tindakan salah dan
menimbulkan kerugian, akibatnya harus dipertanggungjawabkan kepada negara dan hukum.
Sejumlah kasus yang membuktikan adanya peran institusi negara yang diwujudkan dalam suatu
kebijakan (policy) yang “salah”, misalnya terlihat pada kasus apartheid mantan Presiden Afrika
Selatan PW. Botha, dan disappearances mantan orang kuat Chile, Jenderal Augusto Pinochet
serta pemberian Opsi merdeka atau integrasi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) oleh mantan Presiden Republik Indonesia BJ. Habibie kepada masyarakat Timor Timur,
melalui “jajak pendapat” (referendum) tanggal 30 Agustus 1999.
Dalam kasus kasus pelanggaran HAM berat, terdapat kecenderungan untuk menerapkan prinsip
tanggung jawab pidana yang bersifat individual terhadap para pelaku. Sebab yang melaksanakan
tugas kewenangan Negara adalah para individu atas nama institusi negara.
Berbeda dengan perkara pidana (biasa) pembunuhan terhadap aktivis MUNIR yang
membebaskan terdakwa H. Muchdi Purwopranjono dari semua dakwaan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, sebab proses persidangannya bukan di Pengadilan HAM. Jika kasus
pembunuhan MUNIR ini diselesaikan melalui mekanisme Peradilan HAM pasti lebih mudah
mencari

siapa

yang

lebih

bertanggung

jawab


atas

pembunuhan

tersebut.

Sebab

pertanggungjawaban pidana tidak hanya ditujukan kepada komandan militer, tetapi juga terhadap
atasan/Sipil. Untuk kasus pembunuhan (pidana biasa) dan penyertaan dalam tindak pidana telah
diatur secara jelas didalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu pasal 340 jo
338 jo 55 KUHP (yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, yang memberi/

menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat. Unsur unsure pidana
pada ketentuan tersebut harus terbukti.
Mengenai pertanggungjawaban komandan/atasan ini diatur secara spesifik dalam Statuta Roma
yaitu dalam Pasal 28 yang kemudian diadopsi oleh Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM yang terdapat dalam Pasal 42.
Menurut praktik Peradilan Internasional, dalam kasus pertanggung jawaban (commander’s

responsibility), maka pihak yang bertanggungjawab secara hokum untuk “militer” adalah
“komandan” (commander’s), sedangkan “atasan lainnya adalah: untuk “polisi” dan “sipil”
(responsibility of other superiors). Bagi Negara Indonesia, maka yang dimaksud dengan
Komandan “militer” adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lingkungan Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara, sedangkan istilah “atasan lainnya:” adalah untuk kepolisian
dan sipil dan disingkat dengan “atasan” saja.
Ketika digelar persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur di Pengadilan HAM
Adhoc Jakarta pada tahun 2002 – 2004, ternyata pertanggungjawaban komandan/atasan tersebut
diatas telah menimbulkan multitafsir yang berbeda antara hakim, jaksa penuntut umum, pembela,
saksi ahli dan terdakwa. Hal itu terjadi karena menurut Pasal 9 Undang Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan kata “ditujukan secara langsung” (directed).
Hal ini dapat diinterpretasikan “hanya bagi para pelaku yang melakukan perbuatan secara
langsung yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana”, sedangkan yang “tidak
melakukan perbuatan secara langsung” (indirected) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana. Sementara menurut Pasal 42 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM tersebut, secara khusus mengatur pertanggungjawaban komandan/ atasan terhadap
perbuatan pasukan/bawahan yang dilakukan secara tidak langsung (indirected) atau delict by
omission, dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah menjadi kontroversial dengan
Pasal 9 tersebut.
Dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU

Pengadilan HAM, dikaitkan dengan fakta yang terungkap dalam kasus para terdakwa
pelanggaran HAM berat Timor Timur pada persidangan di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta,

ternyata perbuatan komandan/atasan tidak dilakukan secara langsung/aktif, melainkan karena
“tidak dilakukan pengendalian pasukan/bawahan secara patut”, artinya komandan/atasan itu
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pasukan/bawahan sedang melakukan
pelanggaran HAM berat, tetapi dia tidak mencegahnya secara patut dan layak.
Mestinya menurut ketentuan Pasal 42 tersebut perbuatan komandan/atasan yang dilakukan secara
tidak langsungpun tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Karena menurut doktrin
Pertanggungjawaban Komandan/atasan secara internasional, perbuatan tidak langsungpun
(indirect) atau yang disebut perbuatan pasif (delict by omission) tetap dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran HAM berat, artinya pasukan tersebut
tidak melakukan pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM berat,
pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM
berat.
Mengenai pertanggungjawaban pidana dari komandan/ atasan yang menyimpang dari
pertanggungjawaban pidana harus diketahui hubungan antara “posisi” komandan/atasan dengan
“perbuatan” yang didakwakan kepadanya. Artinya makna tanggungjawab komandan/atasan tidak
hanya bertanggung jawab kepada bawahan saja, tetapi bertanggung jawab kepada sikap
komandan yang “membiarkan” (crimes by omission) perbuatan melawan hukum dari

pasukan/bawahannya atau tidak melakuan upaya yang diperlukan dalam rangka penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan atas perbuatan itu.
Rumusan pertanggungjawaban komandan berdasarkan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum
Internasional adalah: Jika komandan/atasan memberikan perintah yang langsung ditujukan
kepada pasukan/bawahan dan ternyata perintah itu merupakan perintah yang bersifat melawan
hukum, maka tanggungjawab pidana dari komandan/atasan itu adalah tanggungjawab langsung
(direct responsibility). Sebaliknya jika yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah
pasukan/bawahan dari komandan/atasan tersebut (tanpa adanya perintah untuk melakukan
perbuatan itu dari komandan/atasan), maka tanggungjawab komandan/atasan adalah atas dasar
“delict by omission” (culpable omissions), artinya kejahatan yang dilakukan oleh
pasukan/bawahannya, tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban komandan/atasan, karena ia
harus dianggap sepatutnya mengetahui perbuatan pasukan/bawahannya telah “membiarkan”

terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya (indirect command
responsibility).
Di sini harus dibedakan pula mengenai pertanggungjawaban komandan/atasan yaitu “perbuatan
yang didasarkan pada perintah komandan/atasan yang melawan hukum” dan “perbuatan
pasukan/bawahan yang melawan hukum, tetapi tidak berdasarkan perintah komandan/atasan”.
Jika perbuatan melawan hukum yang terjadi itu adalah karena adanya perintah komandan/atasan,
maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah “adanya perintah komandan/atasan yang
melawan hukum itu”. Sementara jika perbuatan itu tanpa adanya perintah komandan, maka yang
harus

dibuktikan

terlebih

dahulu

adalah

adanya

perbuatan

melawan

hukum

dari

pasukan/bawahan itu sendiri, baru kemudian membuktikan sejauh mana komandan/atasan
melakukan “pembiaran” terhadap perbuatan itu.
Dengan melihat pada unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam kasus pertanggungjawaban
komandan/atasan itu, maka unsur-unsur “perbuatan” (unsur material, actus reus) dan unsur-unsur
“tidak

berbuat secara langsung” (by omission) harus dibuktikan

secara berurutan

(chronologically), yaitu mulai dari komandan/atasan hingga bawahan/pasukan. Jika hal itu
terbukti, atas dasar itulah baru dikatakan adanya kasus pelanggaran HAM berat yang
berhubungan dengan tanggung jawab komandan/atasan.
Dalam pertanggungjawaban komandan, garis komando bisa ditarik garis ke atas dengan syarat
harus memenuhi elemen/unsur-unsur sebagai berikut:
1. Harus terlebih dahulu terbukti anggotanya melakukan pelanggaran HAM berat. Jika tidak
terbukti, maka tidak akan ada pertanggungjawaban komando.
2. Harus ada hubungan sub ordinasi antara komandan dengan pelaku dan hubungan sub ordinasi
ini tidak hanya komandan langsung, tetapi dapat juga komandan tidak langsung. Dari sini
dapat

diketahui

dasar

penentuan,

sampai

sejauhmana

yang

harus

dapat

dipertanggungjawabkan itu adalah setiap komandan yang ada pada rantai komando, mulai
dari yang terendah sampai yang tertinggi.

3. Komandan tidak melaksanakan atau gagal melaksanakan kekuasaan yang ada padanya untuk
menghentikan atau menyerahkan kepada yang berwajib. Contoh, jika Komandan Kodimnya
tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab akan hal itu, kemudian diusut ke atas.
Kalau Danremnya juga tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab begitu berturutturut sampai ke Pangdam, ke atas.
Mengacu kepada doktrin pertanggungjawaban komandan/atasan langsung maupun tidak
langsung, komandan yang melakukan pembiaran atau gagal bertindak atas kejahatan yang terjadi
di dalam pengendaliannya yang efektif tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pidana. Hal ini karena ada 4 (empat) elemen/unsur utama pertanggungjawaban komando, antara
lain:
1. Adanya hubungan langsung antara bawahan dengan atasan baik secara de jure maupun de
facto.
2. Atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang
dilakukan tindak pidana.
3. Atasan memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mencegah dan menahan terjadinya
tindak pidana.
4. Atasan gagal mengambil langkahlangkah yang diperlukan guna mencegah atau
menghentikan tindak pidana.
Khusus elemen “mengetahui” (had knowledge) di sini, Prof. Bantekas merinci tanggung jawab
komandan itu menjadi 3 hal, antara lain:
1. Apabila Komandan telah mengetahui (had knowledge) bahwa kejahatan telah atau akan
dilakukan dan tidak mencegah atau menghukum pelakunya. Di sini terdapat elemen
“actual knowledge” (betulbetul mengetahui).
2. Apabila seorang Komandan seharusnya mengetahui. Di sini terdapat elemen “dianggap
mengetahui” (presumtion of knowledge).
3. Seorang Komandan seharusnya sudah menjadikan tugasnya untuk mengetahui apa yang
sedang dilakukan pasukannya atau orang lain yang berada dalam pengendaliannya. Di

sini terdapat “alasan untuk mengetahui” yang disebut the reason to know element of
knowledge.
Dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan, maka standar “mengetahui” dari
seorang komandan/atasan – terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh
pasukan/bawahannya – merupakan pertimbangan penting untuk menentukan sejauh mana
tanggung jawab komandan/atasan itu. Sebab semakin tinggi pangkat komandan/atasan
tersebut semakin tinggi persyaratan untuk “mengetahui” suatu keadaan. Terminologi
“mengetahui” dalam kasus-kasus pertanggungjawaban komandan/atasan mengenal beberapa
tingkatan, di mana tingkatan paling rendah adalah “actual knowledge” (mengetahui secara
pasti), sampai pada tingkatan yang lebih tinggi seperti “had reason to know” (memiliki alasan
untuk mengetahui) atau “should have known” (seharusnya mengetahui).
Menurut Brigjen PLT. G, selaku saksi ahli pada persidangan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta
atas nama terdakwa Mayjen I mengatakan, bahwa untuk “elemen pengetahuan komandan”
telah terjadi atau sedang terjadi pelanggaran HAM berat, tidak mesti komandan itu
mengetahuinya berdasarkan laporan resmi dari bawahan, tetapi misalnya pemberitaan di
media massa baik cetak atau elektronika yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM,
maka hal itu sudah dapat dijadikan sebagai bukti sudah terjadi pelanggaran HAM berat.
Ilias Bantekas menganalisis situasi-situasi dalam hal mana komandan/atasan bertanggung
jawab terhadap tindakan-tindakan pasukan/bawahannya, yaitu:
“International humanitarian law recognizes two distinct duties that are incumbent on
superiors: the duties to prevent and punish the crimes of one’s subordinates” (Hukum
kemanusiaan

internasional

mengakui

adanya

kewajiban

yang

muncul

berupa

pertanggungjawaban komandan/atasan yaitu kewajiban untuk mencegah dan menghukum
kejahatan yang dilakukan oleh anak buah/bawahannya).
Bantekas juga menambahkan: “………….military and civilian superiors are criminally liable
for the crimes of their subordinates where they have either failed to prevent their occurrence,
or punish them once they have taken place”. (Komandan militer dan atasan sipil secara
pidana bertanggung jawab atas kejahatan anak buahnya ketika anak buah tersebut gagal

untuk mencegah tindakan mereka ataupun menghukum anak buah tersebut ketika suatu
kejahatan terjadi).
Dengan demikian, terdapat dua unsur penting dalam pertanggungjawaban komandan/atasan
ini yaitu “tugas untuk mencegah perbuatan itu” dan “untuk menghukum pasukan/ bawahan
yang melakukannya”.
Pandangan Banteks ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 28 Statuta Roma 1988
dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengenai
tanggung jawab komandan/atasan.
Menurut penulis, berdasarkan doktrin tersebut ada jaminan dari terdakwa (selaku komandan)
untuk mencegah atau menghukum setiap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
pasukan/anak buah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan langkah pertama yang
akan menentukan apakah “pelaku langsung atau tidak langsung” dari kejahatan itu benarbenar melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang kekuasaan (abuse of power) atau
gagal bertindak dalam pengendaliannya yang efektif, terlebih setelah diterapkannya keadaan
darurat militer dalam wilayah tertentu sebagaimana dalam dakwaan/tuntutan Jaksa, “harus
dapat dibuktikan dalam proses persidangan”.
Dalam praktik persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur di Pengadilan HAM
Adhoc Jakarta tahun 2002-2004, masalah pertanggungjawaban komandan/atasan tersebut
pernah menimbulkan silang pendapat antara hakim, jaksa penuntut umum, advokat, saksi dan
terdakwa. Hal itu terjadi karena belum ada defenisi dan penjelasan yang pasti tentang
pertanggungjawaban komandan/atasan di dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM. Menurut
penjelasan Pasal 42 UU Pengadilan HAM hanya menyatakan “Cukup Jelas” terhadap
ketentuan ini, sementara permasalahan hukum yang terdapat dalam ketentuan itu sangat
kompleks.

Akhirnya

penafsiran

hukum

terhadap

rumusan

pertanggung

jawaban

komandan/atasan tersebut sangat tergantung dari pandangan subyektif Hakim tingkat
pertama, banding dan kasasi di Mahkamah Agung yang satu sama lain putusannya saling
kontradiktif.

Contoh kasus sebagai sampel dari pihak TNI yang dibebaskan oleh Mahkamah Agung,
adalah terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo (mantan Dandim 1627 Dili) Terdakwa Brigjen
Mohammad Noer Muis (mantan Dandrem Timor Timur) dan terdakwa Mayjen (TNI) Adam
R. Damiri (mantan Pangdam Udayana) dalam kasus Pelanggaran HAM berat Timor Timur
tentang pertanggungjawaban komandan militer di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta pada
tahun 2002 – 2004, masing-masing telah divonis bersalah 5 tahun Penjara, karena terbukti
melakukan Pelanggaran HAM berat berupa: “kejahatan terhadap kemanusiaan pada tingkat
pertama.”
Kesalahan Terdakwa Soedjarwo ketika itu secara “tiba-tiba menarik pasukan” dari kediaman
Uskup Belo pada tanggal 5 September 1999 sekitar pukul 06.00 WIB yang sebelumnya telah
dijaga ketat oleh petugas keamanan dua peleton pasukan sebanyak 60 orang setelah
pengumuman jajak pendapat Timor Timur tanggal 4 September 1999. Alasan penarikan
pasukan tersebut menurut Kapten Hartono (Pasi Ops) dan Mayor Salman Manafe (Kasdim)
selaku anak buah terdakwa Soedjarwo, karena akan diadakan “missa kudus” pada pagi hari
itu. Namun berselang ± 2 jam pihak prointegrasi (pihak yang kalah dalam pengumuman jajak
pendapat) langsung melakukan penyerangan secara membabi buta di kediaman Uskup Belo
yang menelan banyak korban.
Penarikan pasukan itu ternyata tidak dilaporkan Terdakwa Soedjarwo kepada atasannya atau
tanpa sepengetahuan terdakwa Mohammad Noer Muis (Dandrem Timor Timur) dan
Terdakwa Adam R. Damiri (Pangdam Udayana IX) selaku atasan Terdakwa Soedjarwo.
Majelis Hakim tingkat pertama berpendapat bahwa terdakwa Soedjarwo harus dimintai
pertanggungjawaban “pembiaran” (delict by omission) terhadap kejahatan terhadap
kemanusiaan. Sedangkan terhadap Terdakwa Mohammad Noer Muis dan Terdakwa Adam R.
Damiri selaku atasan Terdakwa Soedjarwo, sekalipun dalam jawaban mereka tidak
mengetahui penarikan pasukan tersebut, namun menurut doktrin pertanggungjawaban
komandan terdakwa Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri selaku Komandan
“sepatutnya mengetahui atau beralasan untuk mengetahui tindak pidana yang terjadi atau
yang akan terjadi. Dengan demikian mata rantai Komandan tersebut tetap dapat dimintai
pertanggung jawaban komandan militer, yaitu perbuatanpembiaran (delict by omission),

karena secara institusi Terdakwa Soedjarwo selaku Dandim Dili, berada di bawah wewenang
kekuasaan terdakwa Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri.
Namun, putusan Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi di Mahkamah Agung telah
membatalkan putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut, yaitu membebaskan semuanya
terdakwa dengan alas an “tidak terbukti” melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di
Timor Timur.
Contoh kasus serupa pernah dipraktikkan dalam sebuah kasus yang sangat dikenal luas
setelah Perang Dunia ke II, yaitu kasus kejahatan perang yang dilakukan oleh terdakwa
Jenderal Yamashita dari Tokyo – Jepang. Yamashita adalah seorang Jenderal yang
memimpin pasukan Jepang waktu menduduki kepulauan Filipina pada Perang Dunia ke II.
Yamashita sebagai seorang Jenderal gagal untuk mencegah tindakan pasukannya di wilayah
Filipina hingga terjadi pelanggaran HAM berat seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan
pembumi hangusan pemukiman penduduk di wilayah Filipina dan ibukota Manila. Kejadian
berdarah yang terjadi dalam rentang waktu antara 9 Oktober 1944 hingga 3 September 1945
itu telah menelan ribuan korban jiwa baik di pihak sipil Filipina maupun militer Amerika saat
itu.
Dalam persidangan Mahkamah Militer Amerika Serikat, Yamashita memberikan pembelaan
bahwa pasukannya dalam keadaan kacau balau, dan bahwa ia berada jauh dari pasukannya
dan terputus hubungan komunikasinya dari pasukan yang melakukan kejahatan-kejahatan.
Dan tidak ada cara apapun untuk mengetahui perbuatan pasukannya yang jaraknya ratusan
mil dari tempatnya. Namun Mahkamah Militer tetap mengatakan bahwa Yamashita
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan pasukannya itu “hanya” dengan pertimbangan
bahwa ia adalah komandan (superior) pasukan tersebut, karena tidak mengambil langkahlangkah untuk mencegah kejahatan atau menghukum kejahatan yang dilakukan oleh para
pelaku.
Dalam Putusan Mahkamah Militer telah mempertimbangkan bahwa ia mengetahui atau
seharusnya sadar (aware) bahwa kejahatan itu begitu hebat (notorius) dan menyebar. Untuk

kejahatan itu Yamashita telah dihukum dengan “Pidana Mati”, dan putusan tersebut
dikuatkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Dalam kasus berikutnya, Slobodan Milosevic (mantan Presiden Bosnia di Yugoslavia) gagal
mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat internasional berdasarkan kesaksian dari
Komandan Nato Wesley Clark mengatakan bahwa pada tahun 1995 di Srebenica yang
menyebabkan lebih dari 8.000 jiwa tereksekusi dan kira-kira 354 orang lainnya terbunuh.
Milosovic gagal menghukum semua pelaku yang bertanggung jawab terhadap pelaku
pembantaian tersebut. Dan Milosovic juga gagal mengirim para pelaku pembantaian itu ke
Pengadilan. Namun sangat disayangkan, sebelum kasus ini diputus oleh Pengadilan,
Milosovic meninggal dunia, karena sakit jantung.
Berdasarkan

doktrin

pertanggungjawaban

komandan/atasan

tersebut,

maka

keprofesionalitasan seorang Hakim di sini dituntut memiliki pengetahuan di bidang HAM
dan memiliki latar belakang konsentrasi hukum pidana dan Tata Negara, serta hubungan
internasional, karena konsentrasi ilmu pengetahuan tersebut akan seiring sejalan dalam
melahirkan suatu putusan HAM yang berkualitas, manusiawi, berhati nurani dan
independen.
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
Adalah keliru besar, apabila ada yang berpendapat menurut Pasal 4 Undang Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatakan hak setiap orang untuk tidak
dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Menurut saya, karena di atas Undang Undang
Hak Asasi Manusia tersebut masih ada Undang Undang yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu
UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) huruf (j) mengatakan: “bahwa setiap orang wajib
menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bahkan setiap orang wajib tunduk pada Undang Undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil. Maka dalam rangka proses investigasi dugaan pelanggaran HAM, jika dalam hal

Komnas HAM memanggil seseorang yang menolak untuk datang menghadap memberikan
keterangannya, Komnas HAM sesuai kewenangannya dalam Pasal 95 Undang Undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM dapat memanggilnya secara paksa lewat bantuan Ketua Pengadilan
HAM.
Menurut penulis, mana mungkin DPR mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden tanpa
terlebih dahulu Jaksa Agung menindaklanjuti hasil temuan kesimpulan penyelidikan Komnas
HAM? Sebab menurut penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU tersebut secara eksplisit mengatakan,
bahwa “dalam hal DPR RI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Adhoc, DPR
mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada
locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini”. Artinya, bahwa
dasar DPR menyatakan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat adalah
didasarkan pada hasil penyelidikan Komnas HAM dan hasil penyidikan dari Jaksa Agung.
SARAN
Jika masih tetap terjadi silang pendapat antara DPR dan Jaksa Agung perihal pembentukan
Pengadilan HAM Adhoc, penulis berharap sebaiknya Pasal 43 ayat (2) tersebut di “hapus” saja.
Dengan ketentuan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM harus ditindak lanjuti oleh Jaksa
Agung dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh UU, untuk selanjutnya Jaksa Agung dapat
secara langsung melimpahkan berkas tersebut ke Pengadilan HAM tanpa harus lewat
rekomendasi DPR, atau perlu diberikan kewenangan yang lebih luas kepada Komnas HAM,
yaitu dapat secara langsung melimpahkan berkas pelanggaran HAM berat ke Pengadilan HAM
tanpa harus melalui Jaksa Agung dan tanpa rekomendasi DPR, sebagaimana layaknya Komisi
Pemberantasan Korupsi selaku penyidik dapat secara langsung melimpahkan berkas korupsi ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).