KETERKAITAN DESENTRALISASI OTONOMI DAERA DAN

KETERKAITAN DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH TERHADAP
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH

MAKALAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Ketahanan
Nasional Dibawah Bimbingan Dosen DR. I. Dewa K.G Astika, SH, MH

Oleh :

Aditya Pranata (1271010039)

KELAS B PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA
TIMUR
SURABAYA
2013

RUMUSAN MASALAH :
1. APA YANG DIMAKSUD SISTEM PERENCANAAN NASIONAL
DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
2. PENGERTIAN DARI OTONOMI DAERAH MENURUT UNDANG

- UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004
3. PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DAN
IMPLEMENTASINYA
4. BENTUK – BENTUK DESENTRALISASI DALAM PRAKTEKNYA
5. PENJELASAN TENTANG KEWAJIBAN DAERAH YANG
TERMUAT DALAM UU NOMOR 32 TAHUN 2004
6. PERKEMBANGAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL

DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH TERHADAP SISTEM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Sistem perencanaan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat
selama ini belum memiliki landasan aturan yang mengikat setingkat undangundang. Kebijakan otonomi daerah di satu sisi dan dihapuskannya GBHN (GarisGaris Besar Haluan Negara) yang selama ini menjadi landasan perencanaan nasional
dan daerah di sisi yang lain, membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan
yang mengatur sistem perencanaan nasional yang bersifat sistematis dan harmonis.
Alasan itulah antara lain sebagai landasan dikeluarkannya Undang-undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Pengelolaan keuangan negara dan daerah selama ini juga masih mengacu
pada peraturan perundang-undangan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
yaitu ICW (Indische Comtabiliteitswet). Kebijakan pengelolaan keuangan ini tentu
tidak sesuai lagi dengan kondisi dan situasi saat ini dimana pengelolaan keuangan
negara berkembang semakin kompleks. Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah
telah mengeluarkan tiga paket Undang-undang keuangan negara yang melandasi
pengaturan pengelolaan keuangan, di mana salah satunya adalah Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada Undang-undang ini selain
mengatur proses pengelolaan keuangan dan penganggaran secara nasional, di
dalamnya juga mengatur proses pengelolaan keuangan dan penganggaran daerah.
Sementara itu, kebijakan otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintah
melalui dasar Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pada tataran implementasi cukup banyak
permasalahan yang muncul. Sehingga untuk menyempurnakan kebijakan itu,
pemerintah telah mengganti Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Kedua Undangundang tentang otonomi daerah ini juga mengandung muatan materi tentang

perencanaan dan penganggaran daerah. Padahal Undang-undang Nomor 32 tahun

2004 menjelaskan sistem perencanaan pembangunan di daerah sebagaimana juga
dijelaskan secara lebih rinci oleh Undang-undang Nomor 25 tahun 2004. Sedangkan
Bab IX Undang-undang, Nomor 33 tahun 2004 menjelaskan sistem pengenggaran
daerah sebagaimana juga dijelaskan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003,
dengan judul ‘pengelolaan keuangan dalam rangka desentralisasi”.
Proses perencanaan dan penganggaran daerah ke depan harus mengacu
pada ke empat undang-undang ini. Pada aparat perencana di daerah tentu harus
sangat hati-hati dalam mengimplementasikan empat undang-undang ini, karena
tidak menutup kemungkinan ke-empat peraturan perundang-undangan dengan
kekuatan hukum yang sama ini dapat menimbulkan multiintepretasi. Keempat
undang-undang ini selain memiliki kekuatan hukum yang sama, ke-empatnya juga
mengatur substansi yang saling terkait satu sama lain.

Kebijakan Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Daerah
Perencanaan Pembangunan Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004
dan Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan
yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia. Perencanaan pembangunan sangat diperlukan suatu negara salam
mencapai tujuan bernegara. Salah satu alasan penting perlunya sistem perencanaan

pembangunan nasional adalah untuk menjamin agar pembangunan berjalan efektif,
efisien, dan bersasaran.

Tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional antara lain adalah:
(1) mendukung koordinasi antarperlaku pembangunan,
(2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar
ruang, antar waktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah,
(3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan,
(4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan

(5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional mengatur rahapan perencanaan pembangunan jangka
panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun) maupun jangka pendek (1tahun),
baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat (termasuk kementerian/lembaga
=KL) maupun pemerintah daerah (termasuk satuan kerja perangkat daerah = SKPD).
Pada tingkat daerah, perencanaan pembangunan yang dihasilkan berupa dokumendokumen: Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP Daerah) untuk jangka

panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah) dan
Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) untuk jangka
menengah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta Rencana Kerja
Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) untuk jangka pendek.
Beberapa kritikan muncul dengan keluarnya Undang-undang Nomor 25
Tahun 2004, yaitu bahwa lahirnya peraturan perundangan ini lebih pada upaya
mempertahankan eksistensi Bappenas. Seiring munculnya Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang keuangan negara ada kekhawatiran lembaga perencanan
Bappenas akan dihapus dengan semakin memperkuat posisi eksistensi Departemen
Keuangan. Regulasi kadang memang lahir tidak berdasarkan kebutuhan yang ada,
melainkan lebih karena berbagai pertarungan kepentingan antardepartemen atau
kepentingan politis lainnya.

Keterkaitan antar dokumen perencanaan berdasarkan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2004 :
a.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dengan periode
waktu 20 tahun memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah. Sehingga
kedudukan


RPJP

Daerah

ini

menggantikan

kedudukan

Pola

Dasar

Pembangunan (POLDAS) Daerah yang selama ini menjadi dokumen induk
pemerintah daerah atau ”GBHN-nya” daerah. RPJP Daerah menurut undangundang ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah

(Perda) sehingga tidak


menjamin bahwa dalam 20 tahun tersebut dokumen RPJP Daerah tidak berubah
seiring dengan pergantian pimpinan daerah. Jika setiap 5 tahun sekali diubah
maka nasib dokumen RPJP Daerah itu mungkin tidak berbeda dengan RPJP
Daerah yang setiap 5 tahun sekali disusun.
b.

Rencana

Pembangunan

Jangka

Panjang

Menengah

(RPJM)

Daerah


merupakan penjabaran visi, misi dan arah pembangunan daerah yang ada
dalam RPJP Daerah. RPJM Daerah memuat arah kebijakan keuangan daerah,
strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan Kerja
Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana
kerja dalam rangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJM Daerah disusun berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan
RPJM Nasional. Prosedur itu memungkinkan terjadi ketidaksinkronan antara
RPJM Daerah dengan RPJM Nasional. RPJM Daerah merupakan penjabaran dari
visi, misi, dan program kepala daerah terpilih sedangkan RPJM Nasional adalah
penjabaran visi, misi dan Program Presiden terpilih. Misalnya, Presiden terpilih
dati partai A dengan ideologi X, sementara di daerah tertentu Kepala Daerah
terpilih dari partai B dengan ideologi Y, sehingga akibatnya RPJM nasional
dapat saja berbeda jauh dengan RPJM Daerah tertentu tersebut.

c.

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) disusun mengacu pada Rencana
Kerja Pemerintah Pusat dan merupakan Penjabaran dari RPJM Daerah. RKPD
memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah,
rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh

pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Kritikan dalam penyusunan RKPD dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat.
Penyusunan RPJP dan RPJM Daerah yang berjangka panjang dan menengah saja

diatur supaya melibatkan masyarakat secara aktif. Penyusunan RKPD yang
berjangka waktu tahunan dan produk perencanaan yang paling up to date serta
langsung dapat dirasakan masyarakat, penyusunannya justru tidak diatur harus
melibatkan masyarakat. Demikian pula dengan kekuatan hukum bagi RKPD itu
yang dapat ditetapkan hanya dengan Peraturan Kepala Daerah, padahal
dokumen RKPD itu menjadi acuan bagi penyusunan RAPBD dan RAPBD
memiliki kekuatan hukum ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
d.

Penganggaran program atau kegiatan di daerah dalam undang – undang ini
tercermin dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD). Penyusunan RAPBD dalam peraturan perundangan ini
mengacu pada Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga

mengatur tata cara perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah. Kesan

yang muncul pada lahirnya undang-undang ini adalah bahwa undang-undang ini
mengatur sistem perencanaan pembangunan sebagaimana yang diatur secara rinci
dalam Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Nasional dan pengelolaan keuangan atau penganggaran daerah yang diatur dalam
undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Produk dokumen
perencanaan yang harus ada di daerah menurut Undang–undang Nomor 32 Tahun
2004 ini tidak jauh berbeda produk dokumen perencanaan berdasarkan Undangundang Nomor 25 Tahun 2004. Perbedaan yang sangat membingungkan dari kedua
Undang-undang itu adalah pada kekuatan hukum dokumen RPJM Daerah.
Pada pasal 19 ayat (3) Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 disebutkan
bahwa ”RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3
(tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik”. Sedangkan pasal 150 ayat (3) huruf e.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ”RPJP Daerah dan
RPJM Daerah ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Perbedaan kekuatan hukum atas dokumen yang sama ini tentu sangat
membingungkan aparat perencana maupun pihak lain yang terkait dengan
penetapan peraturan perundang-undangan seperti DPRD. Bagi pihak pemerintah
tentu lebih memilih menggunakan dasar UU Nomor 25 tahun 2004 karena proses
penetapan RPJM Daerah dengan Peraturan Kepala Daerah lebih sederhana. Tetapi

bagi


legislatif

(DPRD)

untuk

menjamin

keterlibatan

masyarakat

yang

direpresentasikan melalui wakilnya, penetapan RPJM daerah dengan Peraturan
Daerah (Perda) tentu yang lebih dipilih.
Terlepas dari pro kontra penggunaan dasar hukum yang lebih tepat bagi
penyusunan dokumen perencanaan di daerah, pada masa yang akan datang daerah
akan

disibukkan

dengan

penyusunan

dokumen-dokumen

perencanaan

pembangunan dari RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra SKPD, RKPD dan Renja
SKPD yang semuanya relatif baru. Badan Perencana di daerah mana akan sibuk
mempersiapkan dokumen awal RPJP Daerah, RPJM daerah maupun RKPD.

Pengelola Keuangan (Penganggaran) Daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 dan Undnag-undang Nomor 33 Tahun 2004.
Bab IV Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 yang terdiri dari pasal 16 sampai
dengan pasal 20 mengatur tentang Penyusunan dan Penetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses penganggaran daerah pada
undang-undang ini dilakukan dengan urutan :
a.

Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD kepada DPRD
(Pasal 18, ayat 1)

b.

DPRD membahas kebijakan umum APBD dalam pembicaraan pendahuluan
RAPBD. (Pasal 18, ayat 2)

c.

Pemerintah Daerah dan DPRD menyepakati kebijakan umum APBD. (Pasal
18, ayat 3)

d.

Pemerintah Daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran
sementara untuk acuan SKPD. (Pasal 18, ayat 3)

e.

Kepala SKPD menyusun RKA SKPD dengan pendekatan prestasi kerja yang
dicapai. ( Pasal 19, ayat 1 dan 2)

f.

RKA SKPD diserahkan kepada DPRD untuk dibahas salam pembicaraan
pendahuluan RAPBD. (Pasal 19, ayat 5)

g.

Hasil pembahasan RKA SKPD disampaikan kepada PPKD sebagai bahan
penyusunan RAPBD (Pasal 19, ayat 5)

h.

Pemerintah mengajukan RAPBD kepada DPRD. (Pasal 20, ayat 1)

i.

DPRD membahas dokumen RAPBD dan dapat mengajukan usul. (Pasal 2,
ayat 2 dan 3)

j.

DPRD mengambil keputusan tentang Raperda APBD untuk menjadi Perda
APBD (Pasal 20, ayat 4 dan 5)

Otonomi Daerah

Pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi daerah adalah : “Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Mahfud MD (1996
: 66) mengemukakan pendapatnya bahwa :

Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah mulai dari kebijakan,
perencanaan sampai pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi.
Sedangkan otonomi adalah wewenang yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan dan dalam rangka desentralisasi. Selanjutnya dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian
isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan
nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar
Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar
daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu
menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Agar otonomi
daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah
wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam
penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan
pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,
pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang
berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar
dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian yang dimaksud dengan otonomi
daerah itu adalah bagaimana pemerintah daerah dapat mengelola daerahnya dengan
baik dengan tidak adanya kesenjangan antara masyarakat dengan pemerintah dengan
swakarsa sendiri guna mencapai tujuan yang tidak menyimpang dari peraturan
perundang- undangan. Untuk masalah ini Supriatna, (1992 : 19) mengutarakan bahwa
desentralisasi selalu menyangkut persoalan kekuatan dihubungkan dengan
pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau
lembaga-lembaga pemerintahan di daerah untuk menjalankan urusan-urusan
pemerintahan.
Diungkapkan lebih lanjut bahwa bentuk-bentuk desentralisasi dalam prakteknya
adalah :
1)
Dekonsentrasi
atau
desentralisasi
administrasi
yaitu
pemindahan beberapa kekuasaan administratif ke kantorkantor daerah dari Departemen Pemerintah Pusat,
2)

Devolusi atau desentralisasi politik yakni pemberian wewenang
pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumbersumber daya kepada pejabat regional atau lokal,

3)

Delegasi yaitu pemindahan tanggungjawab manajerial untuk
tugas-tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar
struktur pemerintahan pusat,

4)

Privatisasi yaitu pemindahan tugas-tugas ke organisasiorganisasi sukarela atau perusahaan swasta baik yang bersifat
mencari keuntungan ataupun yang tidak mencari keuntungan.

Desentralisasi dilihat dari sudut pandang kebijakan dan administrasi adalah
transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif
dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit
administratif lokal, organisasi semi otonom dan organisasai parastatal,
pemerintahan lokal, atau organisasi non pemerintah.
Bahwa setidak-tidaknya ada lima kondisi yang penting untuk keberhasilan
pelaksanaan desentralisasi yaitu :
1)
Kerangka kerja desentralisasi harus memperhatikan kaitan antara
pembiayaan local dan kewenangan fiskal dengan fungsi dan tanggungjawab
pemberian pelayanan oleh Pemerintah Daerah;
2)
Masyarakat setempat harus diberi informasi mengenai kemungkinan
biaya pelayanan dan penyampaian serta sumber- sumbernya, dengan
harapan keputusan yang diambil oleh Pemerintah Daerah menjadi
bermakna;
3)
Masyarakat memerlukan mekanisme untuk
menyampaikan
pandangannya yang dapat mengikat politikus, sebagai upaya mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi;
4)
Harus ada sistem akuntabilitas yang berbasis pada publik dan
informasi yang transparan yang memungkinkan masyarakat memonitor
efektivitas kinerja Pemerintah Daerah, yang mendorong politikus dan
aparatur Daerah menjadi responsif;

5)
Instrumen desentralisasi seperti kerangka kerja institusional yang sah,
struktur tanggung jawab pemberian pelayanan dan sistem fiskal antar
pemerintah harus didesain untuk mendorong sasaran-sasaran politikus.
Bahwa pada kenyataannya ada dua desentralisasi yaitu yang bersifat
administratif dan yang bersifat politik, yakni :
1. Desentralisasi administratif adalah delegasi wewenang pelaksanaan
kepada pejabat tingkat lokal yang bekerja dalam batas rencana dan
sumber anggaran, kekuasaan dan tanggungjawab tertentu sesuai sifat
hakikat jasa dan pelayanan tingkat lokal tersebut.
2. Desentralisasi politik atau devolusi berarti wewenang pembuatan
keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya yang
diberikan kepada pejabat setempat.

Pengertian desentralisasi itu sendiri menurut Sadu Wasistiono (2002 : 15)
yang mengutip pandangan Litvack menyatakan bahwa :
Desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggung jawab fungsifungsi publik. Transfer ini dilakukan dari pemerintah pusat kepada pihak
lain, baik kepada daerah bawahan, organisasi pemerintahan yang semi bebas
ataupun kepada sektor swasta. Lebih lanjut juga mengemukakan bahwa
desentralisasi terbagi menjadi empat tipe
yaitu :
1) Desentralisasi politik
2) Desentralisasi administratif, yaitu memiliki tiga bentuk utama yaitu :
a. Dekonsentrasi;
b. Delegasi;
c. Devolusi
3) Desentralisasi fiskal;
4) Desentralisasi ekonomi atau pasar.

Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud
dengan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, dan dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat, ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Daerah
berkewajiban untuk :
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan

Pembangunan Daerah

Pembangunan Daerah Adalah suatu proses di mana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada
dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan
sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang
perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah
tersebut.

Menganalisis perekonomian suatu daerah sangat sulit karena :
· Data tentang daerah sangat terbatas terutama kalau daerah dibedakan
berdasarkan pengertian daerah modal. Dengan data yang sangat terbatas
sangat sukar untuk menggunakan metode yang telah dikembangkan dalam
membenikan gambaran mengenai perekonomian suatu daerah.
· Data yang tersedia umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan
untuk analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan analisis perekonomian secara nasional.
·
Data tentang perekonomian daerah sangat sukar dikumpulkan, sebab
perekonomian daerah lebih terbuka dibandingkan dengan perekonomian
nasional. Hal tersebut menyebabkan data tentang aliran-aliran yang masuk
dan kaeluar dan suatu daerah sukar diperoleh

Perencanaan Pembangunan Daerah Terdapat 3 perencanaan pembangunan
daerah yaitu :
· Pola dasar pembangunan daerah
Pola dasar pembangunan daerah analog dengan pola dasar yang tercantum
dalam GBHN pada tingkat nasional, berisi garis-garis besar kebijaksanaan
atau strategi dasar pembangunan daerah, baik untuk jangka panjang
maupun jangka pendek.

· Repelita Daerah
Repelita daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari pola dasar
pembangunan daerah yang dinyatakan berlaku dengan surat keputusan
Gubernur Kepala Daerah.
· Rencana tahunan dan anggaran pendapatan
Pendapatan dan belanja daerah (APBD) Rencana tahunan merupakan
pedoman penyusunan APBD sedangkan APBD merupakan tindakan
pelaksanaan Repelita daerah, karena itu harus terlihat jelas kaitan atau
hubungan antara anggaran dan repelita, seperti juga halnya hubungan antara
GBHN atau pola dasar dengan repelita atau repelita daerah.

Perkembangan Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu
relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan.
Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan
dalam pengelolaan pembangunan, yaitu :
(1)

Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

(2)

Ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai
pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional

(3)

Diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini
dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk
dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan
memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan

menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan
dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak
bergulirnya reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945,
demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah
(UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 yang telah diganti
dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004), UU
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsipprinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas
KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen
perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan
gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik
dunia pasca tragedi 11 September 2001.

Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas
pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat
dilihat dalam beberapa periode yakni :
 Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 19591967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang
menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960
tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar
Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS
No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
 Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah
ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum
perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam
bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses

penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga
pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat
ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put
perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara
seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh
pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa
dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah
dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran
negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai
penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down
diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik,
namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun
semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika
reformasi terjadi.
 Dokumen perencanaan periode 1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam
perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga
membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan
pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan
pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut
pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena
diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks
reformasi.
 Dokumen perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan
No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.
Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini
MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya
dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana

Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi
ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk UndangUndang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan
tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian UndangUndang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).

PENUTUP
Akhirnya sebagai penutup perlu kiranya digarisbawahi, bahwa keterkaitan
antara kebijakan perencanaan pembangunan dengan penganggaran baik tingkat
nasional maupun daerah sangat jelas adanya. Keterkaitan tersebut dapat dilihat
pada berbagai Undang–undang yang mengaturnya.
Sebagai pedoman pelaksanaan, undang–undang dimaksud perlu diacu oleh
para penyusun anggaran. Namun demikian dalam praktiknya tidaklah mudah.
Kerancuan berbagai pasal di antara Undang-undang tersebut terjadi dan bahkan
berpotensi membingungkan praktik penganggaran di daerah. Oleh sebab itu,
kiranya sangat perlu untuk dilakukan pencermatan pemahaman, atau bahkan
peninjauan kembali dan revisi undang-undang tersebut.

Daftar Pustaka
Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah
caecarioz.blogspot.com/2012/06/otonomi-daerah-pembangunan-daerah.html?m=1

aldisyar.blogspot.com/2012/06/catatan-untuk-uu-sistem-perencanaan.html?m=1#!/
2012/06/catatan-untuk-uu-sistem-perencanaan.html
swamandiri.wordpress.com/2009/11/20/tujuan-sistem-perencanaan-pembangunannasional/