Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Keterampilan Bercerita 2.1.1. Pengertian Keterampilan Bercerita

  Keterampilan berbicara terkhusus keterampilan bercerita merupakan keterampilan yang harus dilatih kepada siswa. Sebagai keterampilan yang paling sering digunakan dalam proses pembelajaran bagahasa maupun kehidupan sehari- hari., semestinya bercerita ini dapat dimiliki oleh setiap siswa dengan baik.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Terampil diartikan mampu dan cekatan, sedangkan keterampilan diartikan kecakapan untuk menyelesaikan tugas”. Jadi keterampilan sangat erat hubungannya dengan proses berpikir yang mendasari suatu bahasa.

  Menurut Reber (dalam Muhibin Syah, 2010) mengemukakan bahwa keterampilan adalah kemampuan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.

  Dari beberapa definisi keterampilan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan merupakan kegiatan seseorang melibatkan gerak jasmani dan kesadaran yang dapat dikuasai seseorang dengan banyak berlatih.

  Dalam kehidupan sehari-hari dapat dipastikan kita akan terlibat dengan kegiatan berbicara atau berkomunikasi dengan seseorang atau kelompok. Peristiwa ini dapat disadari maupun tidak disadari adanya kegiatan saling membutuhkan keterkaitan antara individu dengan lainnya. Bercerita merupakan bagian dari keterampilan berbahasa yaitu keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara merupakan suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pendegar dan penyimak (Tarigan, 2007). Sementara itu keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan dan keinginan kepada orang lain

  (Alek & Acmad, 2011). Kemampuan berbicara adalah kemampan mengucapkan bunyi-bunyi artikulas atau mngucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan (Arsjad & Maidar, 1988)

  Dari difinisi keterampilan berbicara yang sudah dipaparkan tersebut, maka dapat penulis simpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kecakapan sesorang dalam berbahasa saat mengekspresikan pendapat atau menyampaikan pesan sesuai dengan kebutuhan para pendengarnya.

  Banyak ahli yang mengemukakan pengertian keterampilan bercerita, diantaranya menurut KBBI bercerita didefinisikan sebagai menuturkan karangan yang berisi tentang perbuatan, pengalaman, atau penderitaan seseorang; kejadian dan sebagainya (baik yang sungguh-sungguh terjadi mauoun yang hanya rekaan belaka). Heroman dan Jones (dalam Rahayu, 2013) mengemukakan bahwa bercerita merupakan salah satu seni, bentuk hiburan dan pandangan tertua yang telah dipercayai nilainya dari generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan Larkin (dalam Rahayu, 2013) menyatakan bercerita adalah seni bercakap-bercakap secara lisan. Sejalan dengan hal tersebut Rahayu (2013) mengemukakan bercerita sebagai kegiatan yang memberikan informasi kepada anak baik secara lisan, tulisan, maupun akting tentang nilai maupun tradisi budaya yang telah dipercaya melalui penggunaan alat peraga mauppun tidak untuk mengembangkan kemampuan sosial, belajar membaca serta pemahaman tentang pengetahuan dunia melalui pengalaman yang didapatkan. Cerita bukan sekedar untuk mengisi waktu, atau sebagai hiburan, melainkan sarana untuk menyampaikan suatu pesan atau ajaran (Simanjuntak, 2008)

  Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bercerita merupakan suatu kegiatan yang menjelaskan terjadinya suatu hal, peristiwa, dan kejadian yang di alami sendiri ataupun orang lain. Kegiatan bercerita dapat memberikan hiburan dan merangsang imajinasi siswa. Kegiatan bercerita dapat menambah keterampilan berbahasa lisan siswa secara terorganisasi dan membantu menginternalisasikan karakter siswa.

  2.1.2. Tujuan Keterampilan Bercerita

  Program pengajaran keterampilan bercerita harus memberikan kesempatan kepada setiap individu mencapai tujuan yang dicita-citakan. Kemampuan bercerita di dasari oleh keterampilan berbicara. Berbicara menurut Rizal Surplus mempunyai tujuan untuk mempengaruhi, menginformasikan, menghibur, memotivasi dan mengubah (dalam Balqis Khayyirah 2013). Selain itu Iskandarwassid & Sunendar (2011) juga menjelaskan “tujuan pembelajaran keterampilan berbicara untuk tingkat pemula yaitu melafalkan bunyi-bunyi bahasa, menyampaikan informasi, menyatakan setuju atau tidak setuju, menjelaskan identitas diri, menceritakan kembali hasil menyimak atau bacaan, menyatakan ungkapan rasa hormat dan bermain peran

  ”. Berdasarkan tujuan yang diuraikan di atas maka dapat diketahui bahwa bercerita tidak hanya menyampaikan informasi kepada orang lain tentang peristiwa atau hal yang dialami dan menyampaikan ide atau gagasan orang lain tentang peristiwa atau hal dialami dan menyampaikan ide atau gagasan namun bercerita merupakan kegiatan pengembangan kemampuan berbahasa siswa melalui mendengar dan berbicara, bercerita juga berpengaruh pada kondisi psikologi bagi siswa secara keseluruhan.

  2.1.3. Manfaat Bercerita

  Seperti yang sudah kita ketahui bahwa bercerita memiliki manfaat sebagai alat untuk membicarakan berbagai hal. Manfaat kegiatan bercerita adalah anak dapat mengembangkan kosakata, kemampuan berbicara, mengekspresikan cerita yang disampaikan sesuai karakteristik tokoh yang dibicarakan dalam situasi yang menyenangkan, serta melatih keberanian anak untuk tampil di depan umum (Rahayu, 2013). Manfaat bercerita juga didefinisikan dapat mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, sosial, keagamaan, menanamkan etos kerja, etos waktu, etos alam, mengembangkan fantasi anak, dimensi kognisi anak dan dimensi bahasa anak (Moeslichatoen, 2004).

  Sedangkan Reeta dan Jamine (dalam Rahayu, 2013) menyatakan bahwa sasaran kegiatan bercerita adalah perkembangan bahasa anak, yaitu meningkatkan kosa kata, belajar menghubungkan kata dengan tindakan, mengingat urutan ide atau kejadian, mengembangkan minat baca serta menumbuhkan kepercayaan diri. Menurut Moeslichatoen (2004) bercerita mempunyai makna penting bagi perkembangan anak karena melalui bercerita kita dapat:

  1. Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya.

  2. Mengkomunikasikan nilai-nilai sosial.

  3. Mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan.

  4. Menanamkan etos kerja, etos waktu, etos alam.

  5. Membantu mengembangkan fantasi anak.

  6. Membantu mengembangkan dimensi kognitif anak.

  7. Membantu mengembangkan dimensi bahasa anak.

  Dari beberapa pernyataan para ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa kegiata bercerita mempunyai manfaat mengembangkan kemampuan anak dalam hal kosakata dan berbicara serta merangsang kemampuan berpikir kognitif sehingga memperluas wawasan dan cara berpikir siswa. Di samping itu, kegiatan bercerita mampu membawa suasana kelas menjadi lebih alamiah.

2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegiatan Bercerita

  Bercerita merupakan kegiatan untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada orang lain secara lisan. Dalam menyampaikan pesan atau informasi seorang pembicara harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan bercerita. Menurut Rahayu (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan bercerita adalah (1) pemilihan materi cerita, (2) pengelolaan kelas untuk bercerita (3) pengelolaan tempat duduk dan ruang bercerita.

  Sedangkan menurut Sudarmadji, dkk (2010) untuk mencapai keberhasilan dalam bercerita, ada dua faktor pokok yang harus diberhatikan yaitu naskah atau skenario dan teknik penyajian. Sejalan dengan hal tersebut Simanjuntak (2008) mengemukakan faktor yang mempengaruhi kegiatan bercerita adalah (1) ekspresi dan gerak saat bercerita; (2) penguasaan; (3) melatih suara; (4) menguasai cerita .

  Berdasarkan hal di atas dapat penulis simpulkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan bercerita antara lain pemilihan cerita yang ingin disampaikan, pengusaan cerita, ekspresi dalam bercerita. Sistem pengelolaan kelas juga perlu diperhatikan agar pembicara dapat menceritakan dengan baik.

2.2 Tinjauan Model Talking Stick 2.2.1. Pengertian Talking Stick

  Talking Stick merupakan salah satu dari sekian banyak metode

  pembelajaran yang dapat menciptakan keaktifan murid dalam satu proses belajar mengajar. Pada mulanya, talking stick (tongkat berbicara) adalah metode yang digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum (Huda, 2015). Senada dengan pendapat diatas Carol Locust (Dalam Mifatul Huda, 2015) mengemukakan pendapat sebagai berikut ini.

  The talking stick has been used for centuries by many Indian tribes as a means of just and impartial hearin. The talking stick was commonly used in council circles to decide who had the right to speak. When matters of great concern would come before the council, the leading elder would hold talking stick, and begin the discussion. When we would finish what he to say, he would hold out the talking stick, and whoever would speak after him would take it. In this manner, the stick would passed from one individual to another untol all who wanted to speak had done so. The stick was then passed back to elder for keeping.

  Tongkat berbicara telah digunakan selama berabad-abad oleh suku-suku Indian sebagai alat menyimak secara adil dan tidak memihak. Tongkat berbicara sering digunakan kalangan dewan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi membahas masalah, ia harus memegang tongkat berbicara. Tongkat akan pindah ke orang lain apabila ia ingin berbicara atau menanggapinya. Dengan cara ini tongkat berbicara akan berpindah satu orang ke orang lain jika orang tersebut ingin mengemukakan pendapatnya. Apabila semua mendapat giliran berbicara, tongkat ini lalu dikembalikan lagi ke ketua/pimpinan rapat.

  Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulakan bahwa Talking Stick dipakai sebagai tanda seseorang mempunyai hak suara (berbicara) yang diberikan secara bergiliran/bergantian.

  Talking stick digunakan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak

  berbicara dan mengungkapkan pemikirannya. Siapa pun yang memegang talking

  

stick, dianggap memiliki kekuatan spiritual untuk berbicara, sementara yang

  lainnya harus mendengarkan tanpa boleh menyela. Setelah si pemegang tongkat selesai mengungkapkan pemikirannya, maka tongkat kemudian digilir untuk memberikan kesempatan yang sama bagi lainnya untuk mengutarakan pendapatnya masing-masing (Locust, 2010)

  Merujuk dari definisi istilahnya, model talking stick dapat diartikan sebagai model pembelajaran bermain tongkat, yaitu pembelajaran yang dirancang sebagai model pembelajaran untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran oleh murid dengan menggunakan media tongkat. Model ini dipergunakan oleh pendidik atau guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Talking

  

stick sebagaimana dimaksudkan penelitian ini, dalam proses belajar mengajar di

  kelas berorientasi pada terciptanya kondisi belajar mengajar melalui permainan tongkat yang diberikan dari satu siswa kepada siswa lainnya pada saat guru menjelaskan materi pelajaran dan selanjutnya mengajukan pertanyaan. Saat guru selesai mengajukan pertanyaan, maka siswa yang sedang memegang tongkat itulah yang memperoleh kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dilakukan hingga semua siswa berkesempatan mendapat giliran menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

  Sejalan dengan pernyataan diatas Kurniasih & Sani (2016) Model pembelajaran talking stick dilakukan dengan bantuan tongkat, tongkat dijadikan sebagai jatah atau giliran untuk berpendapat atau menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pelajaran.

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa pembelajaran talking stick memungkinkan peserta didik untuk menyimak konsep tidak hanya dari guru saja, melainkan dari peserta didik lainnya. Jika seseorang siswa memegang tongkat, maka siswa tersebut tidak hanya berbicara untuk menjawab pertanyaan, namun dapat pula memberikan pertanyaan kepada siswa lain.

2.2.2. Langkah-Langkah Penerapan Model Tallking Stick

  Sedangkan menurut Miftahul Huda (2015) langkah-langkah dalam penerapan talking stick ada 8 langkah antara lain:

  6. Guru memberikan kesimpulan.

  5. Guru mengambil tongkat dan memberikannya kepada salah satu siswa, setelah itu guru memberi pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya. Demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan guru.

  4. Setelah siswa selesai membaca materi pelajaran dan mempelajari isinya, guru mempersilahkan siswa untuk menutup isi bacaan.

  3. Siswa berdiskusi membahas masalah yang terdapat di dalam wacana.

  2. Guru menyampaikan pokok yang akan dipelajarai, kemudian memberikan kesempatan para kelompok untuk membaca dan mempelajari materi pelajaran.

  1. Guru menyiapkan sebuah tongkat panjangnya ± 20 cm.

  Pembelajaran dengan model talking stick mendorong peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat. Teknis pelaksanakan model talking stick menrut Kurniasih & Sani (2016) dapat digambarkan sebagai berikut: 1.

  Guru menjelaskan tujuan pembelajaran pada saat itu.

  8. Siswa lain boleh membantu menjawab pertanyaan jika anggota kelompoknya tidak bisa menjawab pertanyaan.

  7. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada salah satu anggota kelompok, setelah itu guru memberi pertanyaan dan anggota kelompok yang memegang togkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat baguan untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru.

  6. Setelah kelompok selesai membaca materi pelajaran dan mempelajari isinya, guru mempersilahkan anggota kelompok untuk menutup isi bacaan.

  5. Siswa berdiskusi membahas masalah yang terdapat di dalam wacana.

  4. Setekah itu, guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan para kelompok untuk membaca dan mempelajari materi pelajaran tersebut dalam waktu yang telah ditentukan.

  3. Guru menyiapkan sebuah tongkat yang panjangnya 20 cm.

  2. Guru membentuk kelompok yang terdiri atas 5 orang.

  9. Setelah semuanya mendapat giliran, guru membuat kesimpulan dan melakukan evaluasi, baik individu ataupun secara kelompok. Dan setelah itu menutup pelajaran.

  7. Guru melakukan evaluasi/penilaian.

  8. Guru menutup pembelajaran.

  Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran talking stick yang sudah dipaparkan di atas, peneliti menggunakan langkah pembelajaran Miftahul Huda dengan modofikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh peneliti antara lain, 1.

  Guru menyiapkan tongkat berukuran ± 20cm 2. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok 3. Guru menyampaikan pokok materi yang akan dipelajari 4. Selanjutnya guru memberikan waktu setiap kelompok untuk mempelajari materi pelajaran

  5. Siswa diberikan waktu untuk berdiskusi dan mempelajari materi yang terdapat di dalam wacana

  6. Guru mempersilahkan siswa untuk menutup materi 7.

  Guru mengambil tongkat dan memberikannya kepada salah satu siswa 8. Tongkat akan berjalan sesuai arahan guru, siswa yang memegang tongkat terakhir akan diberi pertanyaan pleh guru

  9. Guru memberikan kesimpulan 10.

  Guru melakukan evaluasi/penilaian 11. Guru menutup pembelajaran.

  Jadi dapat penulis simpulkan bahwa dalam pembelajaran talking stick guru bertindak sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk belajar menemukan apa yang dipelajarinya.

2.2.3. Kelebihan Model Talking Stick

  Model talking stick mempunyai beberapa kelebihan saat diterapkan dalam pembelajaran untuk peserta didik. Salah satunya seperti yang dikemukakakan oleh Mifrahul Huda (2015) yaitu model ini mempunyai kelebihan karena model ini mampu menguji kesiapan siswa, melatih keterampilan mereka dalam membaca dan memahami materi pelajaran dengan cepat dan mengajak peserta didik untuk terus siap dalam situasi apapun.

  Sejalan dengan pernyataan tersebut Kurniasih & Sani (2016) mengemukakan kelenihan dari model talking stick adalah (1) menguji kesiapan siswa dalam penguasaan materi pelakjaran, (2) melatih membaca dan memahami dengan cepat materi yang telah disampaikan, (3) agar siswa lebih giat belajar karena siswa tidak pernah tau tongkat akan sampai pada gilirannya.

2.2.4. Kelemahan Model Talking Stick

  Model talking stick memiliki beberapa kelemahan di antaranya seperti yang dikemukakan oleh Miftahul Huda (2015) yaitu siswa-siswa yang secara emosional belum berlatih untuk berbicara di hadapan guru, metode ini mungkin kurang sesuai. Sejalan dengan pernyataan tersebut Kurniasih & Sani (2016) mengemukakan bahwa kelemahan dari metode talking stick yaitu jika ada siswa yang tidak memahami pelajaran, siswa akan merasa gelisah dan khawatir ketika nanti giliran tongkat berada pada tangannya.

2.3 Tinjauan Media Pembelajaran Komik 2.3.1. Hakikat Media Dalam proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti penting.

  Karena kegiatan belajar mengajar bahan yang disajikan belum tentu dapat diterima baik oleh peserta didik. Kehadiran media dapat membantu kegiatan belajar mengajar sebagai perantara guru dalam menyampaikan bahan ajar mereka. Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”. Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan (Djaramah & Zain, 2014).

  Sejalan dengan peryataan di atas Daryanto (2016) mengemukakan media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari medium batasan mengenai pengertian media sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembalajaran. Sementara itu menurut KBBI media diartikan sebagai alat atau sarana komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster dan spanduk yang terletak di antara dua pihak atau orang, golongan sebagai perantara atau penghubung.

  Menerut McLauhan (dalam Rohani, 2014) mengemukakan media adalah

  

channel (saluran) karena pada hakikatnya media telah memperluas atau

  memperpanjang kemampuan manusia untuk merasakan, mendengar dan melihat dalam batas-batas jarak, ruang dan waktu tertentu. Dengan dimikian bantuan media batas-batas itu hampir menjadi tidak ada. Sejalan dengan pernyataan tersebut Rohani (2014) media adalah segala sesuatu yang dapat diindra yang berfungsi sebagai perantara untuk proses komunikasi (proses belajar mengajar).

  Dari beberapa pernyataan di aras media adalah alat atau peraga yang dapat membantu dan menciptakan suatu kondisi kepada siswa, sehingga peserta didik memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baru.

  Dalam dunia pengajaran pada umumnya pesan atau informasi berasal dari sumber informasi yakni guru, sedangkan sebagai penerima informasi yaitu siswa. Pesan atau informasi yang dikomunikasikan tersebut berupa sejumlah kemampuan yang perlu dikuasai oleh siswa.

  Fungsi utama media adalah agar pesan atau inforamasi yang dikomunikasikan dapat diserap semaksimal mungkin oleh penerima informasi (siswa). Informasi yang disampaikan lewat lambang verbal saja kemungkinan terserap hanya sedikit, sebab informasi yang demikian itu merupakan informasi yang sangat abstrak dan sangat sulit diserap juga dipahami. Dengan bantuan media maka kesulitan tersebut dapat teratasi. Tentu saja media yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan.

  Pernyataan di atas diperkuat oleh beberpa ahli salah satunya Djaramah & Zain (2014) menyatakan berdasarkan fungsinya bahwa media dikelompok menjadi dua, yaitu media sebagai alat bantu dan media sebagai sumber belajar.

  Sebagai alat bantu media mempunyai fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pengajaran, sedangkan sebagai sumber belajar media mempunyai fungsi memperkaya wawasan anak didik.

  Menurut Daryanto (2016) secara umum dapat dikatakan media mempunyai fungsi antara lain:

  1. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalitas.

  2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra.

  3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.

  4. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditor dan kinestetiknya.

  5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama.

  6. Proses pembelajaran mengandung lima kompenen komunikasi, guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran, siswa (komunikan), dan tujuan pembelajaran. Jadi media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar.

  Sejalan dengan pernyataan di atas menurut Derek Rowntree (dalam Rohani, 2014), media pendidikan berfungsi sebagai berikut: 1.

  Membangkitkan motivasi belajar.

  2. Mengulang apa yang telah dipelajari.

  3. Menyediakan stimulus belajar.

  4. Mengaktifkan respon peserta didik.

  5. Memberikan balikan dengan segera.

  6. Menggalakkan latihan yang serasi.

  Demikian beberapa pernyataan yang menguatkan pendapat penulis dalam menyampaikan fungsi dari media.

2.3.2. Hakikat Komik a. Pengertian Komik

  Komik adalah bacaan yang sangat populer. Banyak orang yang menyukai jenis bacaan ini, termasuk anak-anak. Perpaduan banyak gambar dengan sedikit teks pada komik membuat orang tidak perlu mengarahkan daya konsentrasi tinggi untuk memahami isi ceritanya.

  Ada banyak definisi komik menurut berbagai versi yang dikeluarkan oleh banyak ahli. Menurut Gumelar (2011) komik dalam etimologi Bahasa Indonesia bersal dari kata “cimic” yang kurang lebih berarti “lucu”, “lelucon” atau komikos dari

  komas ‘revel’ bahasa Yunani yang muncul pada sekitarabad ke-16. Pada awlnya, komik memang ditunjukan untuk membuat gambar-gmabar yang menceritakan secara simiotic (sinbolis) maupun secara hermeneutic (tafsiran) tentang hal-hal lucu. Lebih lanjut Gumelar (2011) menjelaskan komik adalah urutan-urutan gambar yang ditata sesuai tujuan & filosofi pembuatnya hingga pesan cerita tersampaikan, komik cenderung diberi lettering yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan. Sejalan dengan pernyataan tersebut McCloud (dalam Gumelar, 2011) menekankan bahwa komik adalah gambar yang bejajar dalam urutan yang disengaja, dimaksud untuk menyampaikan informasi atau menghasilkan respons estetik dari pembaca.

  Pendapat lain tentang komik menurut Daryanto (2016) mengemukakan komik dapat didefinisikan sebagai bentuk kartun yang mengungkapkan karakter dan menerapkan suatu cerita dalam urutan yang erat hubungannya dengan gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca. Sedangkan Rohani (2014) menjelaskan pengertian komik adalah suatu bentuk berita bergambar, terdiri atas berbagai situasi cerita bersambung, kadang bersfat humor.

  Dari beberapa pengertian komik menurut para ahli yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komik adalah kartun yang memerankan suatu karakter dan memerankan suatu cerita dalam urutan yang erat dan dirancang untuk hiburan, pengetahuan dan wawasan kepada pembaca.

b. Unsur Pembentuk Komik

  Komik hadir hadir dengan gambar dan bahasa, lewat teks verbal dan non verbal. Komik juga terdiri dari unsur-unsur struktural sebagaimana halnya dengan cerita fiksi. Menurut Gumelar (2011) mengemukakan bahwa komik memiliki beberapa unsur, yaitu:

  1) Space

  Teks sebenarnya adalah image dari lambang atau simbol dari suara dan angka. 2)

  Point & Dot

  Point (titik) tidak selalu harus bulat, boleh merupakan kotak kecil, segita

  kecil, ellipse kecil, bentuk bintang yang sangat kecil dan bentuk-bentuk lainnya dalam ukuran kecil. Tetapi, dot lebih ke bentuk bulat kecil (bintik).

  3) Line

  Line atau garis, garis sesungguhnya adalah gabungan dari beberapa point atau dot yang saling overlapping (saling menindih atau banyak) dan menyambung.

  4) Space (X & Y)

  Shape adalh bentuk dalam 2 dimensi ukuran, yaitu X dan Y atau panjang dan lebar.

  5) Form (X, Y & Z)

  Form (wujud) adalah bentuk dalam 3 dimensi ukuran yaitu X, Y dan Z atau panjang, lebar dan tinggi.

  6) Tone/Value (gradient, ligting & shading) Tone adalah tekanan warna ke arah lebih gelap atau lebih terang.

  7) Colour (hue)

  Colour adalah hue (warna). Warna terbagi dari pembentuknya menjadi 3 kelompok besar yaitu, light colour, transparent colour dan opaque colour.

  8) Pattern

  Pola, sangat rancu juga dengan atsir, sebab arsiran bila sudah teratur, berulang dan rapi, akan cenderung menjadi pola. Tetapi pola lebih kompleks, sedangkan arsir lebih cenderung sederhana. 9)

  Texture

  Texture (tekstur) dalam komik tentu lebih cenderung ke kertasnya, ada kertas yang kasar dan ada kertas yang halus sesuai kebutuhan.

  10) Voice, sound & audio

  Voice cenderung merupakan hasil ucapan atau kata-kata yang dikeluarkan

  melalui mulut oleh satwa, manusia dan makhluk cerdas lainnya selain manusia, seperti alien cerdas dan moster cerdas. Sound cenderung merupakan hasil bunyi apapun. Audio cenderung merupakan hasil suara dari alat elektronik. 11)

  Time

  Time menyiratkan kapan terjadinya peristiwa tertentu dalam cerita komik tersebut.

  Sedangkan menurut Rohani (2014) komik memiliki beberapa unsur yaitu: a.

  Sederhana, langsung, aksi-aksi yang cepat dan menggambarkan peristiwa- peristiwa yang mengandung bahaya.

  b.

  Berisi unsur humor yang kasar, menggunakan bahasa percakapan.

  c.

  Perhatikan kepada kriminalitas, kekuatan, keampuhan.

  d.

  Adanya kecendurang manusiawi yang universal terhadap pemujaan pahlawan.

  Dari beberapa pernyataan di atas dapat penulis simpulkan bahwa komik memiliki beberapa unsur yang membentuknya, unsur tersebut menciptakan menjadikan komik dapat menciptakan minat peserta didik.

c. Fungsi Komik

  Sebagai media pembelajaran, komik memiliki fungsi signifikan dalam kegiatan belajar mengajar. Rohani (2014) mengemukakan bahwa komik berfungsi sebagai jembatan untuk menumbuhkan minat baca. Artinya melalui komik diharapkan dapat menarik siswa dalam melakukan kegiatan membaca. Dengan kegiatan membaca komik yang kaya akan gambar siswa dapat memperkaya bahasa dan ingatan siswa sehingga ketika mereka bercerita mereka akan menceritakan secara lancar dan menggunakan bahasa sendiri tanpa harus menghafal kata per kata.

  Senada dengan hal tersebut, Daryanto (2016) mengungkapkan ekspresi komik yang divisualisasikan membuat pembaca terlibat secara emosional sehingga membuat pembaca untuk terus membacanya hingga selesai. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan minat baca siswa untuk membaca sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan hasil belajar siswa.

  Berdasarkan pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan fungsi dari komik adalah dapat menimbulkan minat baca siswa yang cenderung menyukai gambat sehingga siswa dapat mengingat kejadian yang terjadi dalam cerita tanpa harus menghafalkan kata per kata.

2.4 Kajian Penelitia Yang Relevan

  Terdapat beberapa hasil penelitian yang memiliki keterkaitan tentang metode pembelajaran talking stick. Posisi penelitian ini dan perbedaan dengan penelitian yang sudah ada dapat di lihat selengkapnya pada table berikut ini:

  

Tabel 2.1

State of the art

  No. Penulis Tahun Responden/ Variabel Model Hasil Partisipan Tindakan

  1. 2013 Siswa Kelas V Meningkatkan Metode talking Pada siklus satu ketuntasan klasikal Yustika

  Purnamasari SD Negeri 1 keterampilan stick mencapai 79,17% (19 dari 24 siswa) Maron berbicara Bahasa dengan perolehan nilai rata-rata

  Indonesia kelas 76,15 dan pada siklus dua meningkat menjadi 95,83% (23 dari 24 siswa) dengan nilai rata-rata kelas 81,92 dengan demikian metode

  talking stick dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

  2. Siswa Kelas V Menigkatkan Metode talking Hasil penelitian ini indikator Temmy Watuseke 2013

  SDN Biontong 1 hasil belajar stick pencapaiannya yang ditetapkan yaitu membaca dan 75% dapat dilampaui capaiannya berbicara Bahasa menjadi 85%. Capaian tersebut Indonesia dilalui secara bertahap yaitu pada observasi awal hasil belajar membaca dan berbicara hanya 7 siswa atau 35%, pada siklus I hasil belajar membaca dan berbicara siswa

  22 mengalami peningkatan hingga 65% atau 13 orang siswa, pada siklus II telah mencapai 85% atau 17 orang siswa. Dengan demikian metode

  talking stick dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

  3. 2013 Siswa kelompok Meningkatkan Media Komik Hasil observasi pra-sklus Yessy Stiani

  B Raudatul keterampilan menunjukkan persentase Athfal berbicara kemampuan keterampilan berbicara anak pada kategori B sebear 25,5% kategori C sebesar 33,2%, kategori K sebesar 41,3%. Hasil observasi pasca-siklus menunjukan keterampilan berbicara anak mengalami peningkatan, yaitu: kategori B sebesar 61,2%, kategori C 31,1%, kategori K 7,7%. Maka dapat disimpulkan metode bercerita dengan menggunakan media komik dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak. 4. 2013 Siswa Kelas II Meningkatkan Media Komik Berdasarkan hasil penelitian, terjadi

  Edy Setiawan MI Rifaiyah keterampilan Strip peningkatan keterampilan bercerita Limpung Batang bercerita pada siswa kelas II MI Rifaiyah

  Limpung setelah mengikuti pembelajaran bercerita menggunakan media komik strip bermuatan nilai-bilai pendidikan

  23 karakter. Pada siklus I nilai rata-rata siswa sebesar 63,52 dalam kategori cukup. Nilai rata-rata pada siklus I belum mencapai batas ketuntasan yang telah ditetapkan oleh peneliti sehingga dilakukan siklus II. Setelah dilaksanakan tindakan siklus II, nilai rata-rata siswa menglami peningkatan sebesar 15,89 atau sebesar 25,01% menjadi sebesar 79,41 dan berada dalam kategori sangat baik. 5. 2013 Siswa kelas IV Meningkatkan Media Komik Peningkatan hasil dapat dilihat dari

  Ratna Pancasari SDN keterampilan peningkatan nilai rata-rata bercerita Bangunjiwo, bercerita bahasa siswa pada kondisi awal sampai Kasihan, Bantul Jawa pasca tindakan siklus II. Nilai rata- rat siswa pada kondisi awal sebesar adalah 57,81, akhir siklus I 63,23 dan akhir siklus II 74,95. Jumlah siswa yang mencapai KKM pada kondisi awal sebesar 25%, akhir siklus I sebesar 43,75% dan akhir siklus II sebesar 81,25% mencapai KKM

  6. 2014 Siswa kelas II MI Meningkatkan Metode talking Melalui metode talking stick dalam Gadies Farhana

  Pratitis Pembagunan UIN keterampilan meningkatkan keterampilan

  stick

  Jakarta berbicara Bahasa berbicara hasil penelitian siklus I Indonesia memperoleh rata-rata 70,23 dari 28

  24 siswa 14 siswa sudah mencapai KKM 70. Pada siklus II hasil penilian keterampilan berbicara sudah mencapai KKM 70 dan memperoleh rata-rata 81,25 dengan demikian metode talking stick dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. 7. 2014 Siswa Kelas X Meningkatkan Metode Hasil penelitian menunjukan bahwa

  I Nyoman Adi Susrawan SMAN 1 Kubu aktivitas dan pembelajaran penerapan metode pembelajaran

  Karangasem hasil belajar inovatif (talking inovatif (talking dan EKSTRIM) keterampilan stick dan mampu meningkatkan aktivitas dan berbicara Ekstrim) hasil belajar keterampilan bicara siswa kelas X SMA N 1 Kubu

  Karangasem. Meningkatnya aktivitas belajar siswa tampak dari keantuasiasan siswa dalam merespon pembelajaran. Siswa mulai aktif (mengamati, menanya, mencoba, menalar dan mengkomunikasikan) pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Selain itu, keantusiasan siswa terlihat dari kreativitas siswa dalam memanfaatkan keafiran lokal sebagai bahan materi pembicaraan. 8. 2015 Siswa kelas VII Meningkatkan Media Film Peningkatan keterampilan bercerita

  Muhammad Farhan SMP Ulul Albab keterampilan kartun dengan menggunakan media film kartun Abdurrahman Purworejo bercerita Metode talking dengan metode talking stick pada

  25 siswa kelas VII SMP IT Ulul Albab

  stick

  Purworejo mengalami peningkatan dari setiap siklusnya. Hasil tes mengalami peningkatan sebesar 7,37%. Pada siklus I nilai rerata siswa sebesar 67,83 sedangkan pada siklus II nilai rerata siswa menjadi 75,20. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran keterampilan bercerita menggunakan media film kartun dan metode talking stick pada siswa kelas VII SMP IT Ulul Albab Purwerejo mengalami peningkatan. 9. 2015 Siswa kelas X Meningkatkan Media komik Penilaian penggunaan media komik

  Erna Dwi Wijayanti Ma Arrahmah kemampuan dalam meningkatkan kemampuan

  Sungai Tabuk melakukan dialog siswa mata pelajaran bahasa berbicara Inggris kelas X MA Arrahmah sederhana dalam Sungai Tabuk mengalami pembelajaran peningkatan dari awal pra siklus Bahasa Inggris sampai siklus II. Peningkatan kemampuan tersebut dapat dilihat dari observasi awal pada tahap pra tindakan, siswa yang tuntas sebanyak 55,71%. Kemudian dilakukan siklus I siswa yang mencapai KKM sebanyak 73,68%, karena jumlah yang mencapai

  26 kriteria ketuntasan minimal (KKM) belum mencapai 85% atau standar, maka dibutuhkan suatu tindakan lanjutan yaitu siklus II. Pada siklus II siswa yang mencapai KKM mengalami kesamaan yaitu 73,68%. Sebagian besar hasil belajar siswa sudah mencapai kriteria ketuntasasn minimal (KKM) yang ditentukan sekolah yaitu 60. 10. 2015 Siswa kelas V MI Meningkatkan Metode talking Hasil penelitian menunjukan

  Titis Nuriadinka Prigi II keterampilan stick dengan prosentase nilai rata-rata (NR) untuk Trenggalek berbicara dan menggunakan keterampilan berbicara sebesar 60% motivasi belajar media audio pada siklus I meningkat menjadi

  Bahasa visual 80% pada siklus II. Sedangkan untuk Indonesia motivasi belajar diperoleh prosentase nilai rata-rata (NR) sebesar 67% pada siklus I meningkat menjadi 87% pada siklus II.

  11. 2015 Siswa Meningkatkan Model Penerapan model pembelajaran Ni Made Ayu Julia

  Martha, I Wayan Kelompokan B3 kemampuan pembelajaran berbantuan media flip

  talking stick

  Wiarta, I Nengah PAUD berbahasa Lisan talking stick chart dapat meningkatkan Suadnyana. berbantuan kemampuan berbahasa lisan anak media flip chart kelompok B3 semester II PAUD

  Kusuma 2 Denpasar. Hal ini diketahui dari rata-rata persentase kemampuan berbahasa lisan anak meningkat = 18,65% , diperoleh dari

  27 siklus i = 65,72% menjadi = 84,27% pada siklus II berada pada kategori tinggi.

  12. Siswa kelas III Meningkatkan Model talking Hasil penelitian menunjukan bahwa Bagus Aji Santoso 2015

  Tugurejo 03 keterampilan stick berbantuan skor keterampilan berbicara Semarang berbicara media gambar menyampaikan tanggapan pada menyampaikan siklus I adalah 24 dengan kriteria tanggapan baik, siklus II meningkat menjadi 29 dengan kriteria baik dan siklus III meningkat dengan memperoleh 35 kroteria sangat baik. Aktivitas siswa pada siklus I memperoleh skor 17,98 dengan kriteria baik, siklus II meningkat menjadi 20,58 dengan kriteria sangat baik dan siklus III meningkat dengan memperoleh skor 22,01 kriteria sangat baik. Hasil berbicara siswa pada siklus I mengalami ketuntasan sebesar 66,67% dengan rata-rata 62, siklus II meningkat menjadi 83% dengan rata-rata 69,46 dan siklus III meningkat menjadi 96,66% dengan rata-rata 74,4.

  13. Siswa kelas IV Meningkatkan Strategi talking Hasil penelitian menunjukan bahwa: Kiki Indah Suryani 2016

  MINU Waru II keterampilan (1) Penerapan strategi talking stick

  stick

  Sidoarjo berbicara mata sudah sangat baik. Hal ini dapat pelajaran sejarah dilihat dari data hasil observasi

  28 kebudayaan aktivitas guru yang mencapai nilai Islam 83,3 dan hasil observasi aktivitas peserta didik mencapai nilai 66,7 pada siklus I mengalami peningkatan pada siklus II yakni data data hasil observasi aktivitas guru mencapai nilai 91,7 dan hasil observasi aktivitas peserta didik mencapai nilai 91,7. (2) Keterampilan berbicara peserta didik sudah meningkatkan, pada siklus I sebanyak 9 peserta didik yang tuntas, pada siklus II menjadi 15 peserta didik yang tuntas. Nilai rata-rata yang dicapai secara klasikal pada siklus I sebesar 74 menjadi 87 pada siklus 87 pada siklus II dan dinyatakan tuntas.

  Sedangkan prosentase ketuntasan keterampilan berbicara pada siklus I masih mencapai 53% menjadi 88% pada siklus II dengan kategori baik. 14. 2016 Siswa kelas II A Meningkatkan Metode talking Hasil penelitian menunjukan bahwa

  Nurdiyah Eko Budi Utami MI AL HUDA, keterampilan stick pendekatan realistik menggunakan karanggona berbicara peserta talking stick dapat meningkatkan

  Maguwuharjo, didik keterampilan berbicara pada peserta Depok Sleman menggunakan didik terbukti dengan persentase Yogyakarta pendekatan yang meningkat pada tiap siklusnya, realistik dengan yaitu 53, 17% pada siklus I, 62,67%

  29 metode talking pada siklus II, dan 75% pada siklus

  stik pada III.

  matapelajaran

  IPA Berdasarkan penelitian yang disajikan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa metode talking stick berbantuan dengan media komik sudah terbukti dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Indoneia. Selain dapat meningkatkan keterampilan bercerita, metode talking stick dapat meningkatkan motivasi belajar dan aktivitas belajar siswa. Dalam tabel di atas metode talking

  

stick juga terbukti cocok dapat meningkatkan keterampilan berbicara selain pelajaran Bahasa Indonesia . Terbukti metode talking

stick dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada mata pelajaran IPA, dan mata pelajaran kebudayaan Islam. Metode talking

stick lebih efektif dipadukan dengan medi komik. Terbukti media komik juga dapat meningkatkan keterampilan berbicara terkhusus

  keterampilan bercerita. Dalam pembahasan tabel di atas, selain meningkatkan keterampilan berbicara dan bercerita pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, media komik dapat meningkatkan keterampilan bercerita Bahasa Jawa dan keterampilan berbicara Bahasa Inggris.

  Sesuai dengan kajian penelitian yang telah disajikan pada table di atas, maka peneliti akan melakukan tindak lanjut untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi SD Gendongan 02 Salatiga dengan menggunakan metode talking stick berbantuan dengan media komik. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan bercerita peserta didik di kelas V SD N Gendongan 02 Salatiga.

  30

2.5 Kerangka Berpikir

  Masih banyak siswa yang belum bisa mengembangkan kosa kata saat bercerita, membuka catatan dan kurang percaya dirinya mereka di depan kelas. Berdasarkan masalah dan kajian teori yang ada, maka dapat dikembangkan kerangka berpikirnya.

  Berkaitan hal itu, kemampuan bercerita siswa terutama pada menceritakan isi cerita dari komik anak yang dibaca dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Hendaknya diupayakan agar semakin meningkat. Peningkatan tersebut dapat diusahakan melalui berbagai cara, diantaranya dengan jalan pemilihan model yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan bercerita siswa terutama pada materi menceritakan isi certia komik anak yanng dibaca yaitu model talking stick.

  Pembelajaran dengan model talking stick merupakan salah satu pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan keterampilan bercerita siswa. Jadi, pembelajaran dengan model talking stick diharapkan dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa kelas V SD Negeri Gendongan 2 Salatiga pada pembelajaran Bahasa Indonesia.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

  stick

  

FEED BACK

OUTPUT

  media komik dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa.

  stick berbantuan

  Model talking

  Hasil

  berbantuan media komik agar dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa.

  Peneliti menerapkan model talking

  Hipotesis merupakan dugaan sementara terhadap masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini sampai terbukti kebenarannya melalui data yang telah terkumpul dan telah diuji.

  PROSE Strategi

  siswa belum bisa mengembang kan kosa kata saat bercerita, membuka catatan dan kurang percaya dirinya mereka di depan kelas.

  Masalah

  Masih banyak siswa yang belum bisa mengembangkan kosa kata saat bercerita, membuka catatan dan kurang percaya dirinya mereka di depan kelas.

  INPUT Kondisis nyata

2.6 Hipotesis

  Gendongan 2 Salatiga.”

  Berdasarkan penelitian yang relevan dan kerangka pemiliran tersebut dapat diumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut: “Penerapan model pembelajaran talking stick berbantuan dengan media komik dapat meningkatkan keterampilan bercerita siswa kelas V SD Negeri

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikat Pendidik Di SMP Negeri 2 Boja Tahun 2014/2015

0 0 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikat Pendidik Di SMP Negeri 2 Boja Tahun 2014/2015

0 0 46

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Guru Bersertifikat Pendidik Di SMP Negeri 2 Boja Tahun 2014/2015

0 1 24

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas IV

0 0 6

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Metode Pembelajaran Take and Give 1. Metode Pembelajaran - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas IV

0 0 20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Setting dan Karakteristik Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas IV

0 0 11

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Pra Siklus - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas I

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas IV

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar PKN Melalui Metode Pembelajaran Take and Give pada Kelas IV

0 0 114

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Keterampilan Bercerita dengan Menggunakan Model Talking Stick Berbantuan Komik Pada Siswa Kelas 5 SD

0 0 7