BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN A. KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pad

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. KAJIAN PUSTAKA

A.1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan.

Hukum Ketenagakerjaan dahulu disebut hukum perburuhan yang merupakan terjemahan dari arbeidsrechts. Molenaar memberikan batasan pengertian dari arbeidsrechts adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara

buruh dengan buruh dan antara buruh dengan pengusaha. 1 Menurut Mr. MG Levenbach, arbeidsrechts sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang

berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut

dengan hubungan kerja itu. 2 Iman Soepomo memberikan batasan pengertian hukum perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun

tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seserorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.

Pengertian hukum perburuhan menurut Molenaar, Mr. MG Levebach, dan Iman Soepomo, kesemuanya mengartikan hukum yang mengatur hubungan antara buruh dengan majikan. Adapun pengertian hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Dengan demikian dapat diartikan bahwa hukum ketenagakerjaan berarti mencakup bidang hukum kepegawaian (hukum yang mengatur tentang hubungan antara

1 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1985, h. 1-3. 2 Ibid.

negara dengan pegawai/ pegawai negeri) dan bidang hukum perburuhan (mengatur hubungan antara buruh dengan majikan). 3 Dan penulis berpendapat

istilah hukum ketenagakerjaan lebih tepat dibanding dengan istilah hukum perburuhan, dikarenakan hukum ketenagakerjaan cakupan pengartian lebih sejalan dengan Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2003 dibandingkan hukum perburuhan. Hukum ketenagakerjaan tidak hanya mengatur hubungan kerja, tetapi juga pengaturan di luar hubungan kerja, perlindungan bagi pekerja atau buruh dan termasuk proses –proses atau keputusan–keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan.

Sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pemerintah orde baru mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan guna mengganti ketentuan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan di tanah air dalam rangka memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan kepada warga negara.

Pada tahun 1969 pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Ketenagakerjaan. Pada Tahun 1997 undang –undang ini di ganti dengan Undang –Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Keberadaan UU No. 25 Tahun 1997 ternyata menimbulkan banyak protes karena dianggap banyak merugikan pekerja. Hal ini dikaitkan dengan masalah menara jamsostek yang dibangun berdasarkan dugaan kolusi penyimpangan dana jamsostek. Seiring dengan undang –undang ini pemerintah mengeluarkan

3 Ibid.

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1997 tentang Asuransi Tenaga Kerja (Astek). Peraturan Pemerintah ini mewajibkan perusahaan untuk mengikutsertakan seluruh pekerjanya pada program asuransi sosial. Sesuai dengan perkembangan lebih lanjut program asuransi tenaga kerja (Astek) diperbaiki dengan suatu program jaminan sosial yang lebih baik dan diatur dalam suatu undang –undang yaitu Undang–Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Dan keberadaan UU No.

25 Tahun 1997 dinyatakan berlaku efektif hanya 1 (satu) tahun sejak diundangkan tetapi dalam prakteknya undang –undang ini tidak pernah berlaku di Indonesia. Akhirnya dengan peraturan pemerintah pengganti undang –undang yang dikuatkan dengan Undang–Undang Nomor 11 Tahun 1998 j.o. Undang –Undang Nomor 28 Tahun 2000, Undang–Undang Nomor

25 Tahun 1997 ditunda masa berlakunya hingga akhirnya dicabut dan diganti dengan Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan Undang –Undang ketenagakerjaan yang bersifat komprehensif dan menyeluruh berbagai hal di bidang ketenagakerjaan yang sebelumnya tidak

pernah diatur dalam satu undang 4 –undang.

Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Dalam pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi

4 Maimun, Op.Cit., h. 7-10.

fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk :

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;

b. Mewujudkan pemeratan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;

d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga.

Dengan demikian, tujuan pembangunan ketengakerjaan adalah menjadikan tenaga kerja Indonesia sebagai subjek pembangunan, bukan

sebaliknya menjadi objek pembangunan. 5

A.1.1. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam sistem Hukum Indonesia.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan memiliki keterkaitan dengan aspek hukum perdata, aspek hukum tata usaha negara, dan aspek hukum pidana. Kedudukan tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa ketentuan peraturan-peraturan hukum ketenagakerjaan haruslah mendasarkan pada teori hukum yang menelah bidang tersebut. Contoh:

5 Abdul Khakim Op.Cit., h. 8-9.

a. Jika terkait dengan perjanjian kerja termasuk di dalamnya hak-hak dan kewajiban yang telah disepakati bersama dan hanya melibatkan para pihak saja, maka hal tersebut menyangkut aspek hukum perdata;

b. Jika terkait dengan perizinan bidang ketenagakerjaan, penetapan upah minimum, pengesahan peraturan perusahaan, pendaftaran perjanjian kerja bersama, pendaftaran serikat pekerja atau serikat buruh, dan sebagainya, maka hal tersebut menyangkut aspek hukum tata usaha negara; dan

c. Jika terkait dengan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka hal tersebut menyangkut aspek hukum pidana.

Dalam beberapa literatur asing, hukum ketenagakerjaan termasuk dalam sistem hukum bisnis, di dalamnya termasuk hukum kontrak, hukum perusahaan, jaminan sosial, pajak, asuransi, hukum lingkungan, hukum

internasional, dan lain-lain. 6

A.1.2. Sumber-Sumber Hukum Ketenagakerjaan.

Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat menemukan aturan hukum. Pendapat Halim terhadap pengertian sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum. Sumber hukum terbentuk menjadi dua macam, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum ketenagakerjaan mendasarkan pada sumber hukum Indonesia di bidang Ketenagakerjaan.

6 Ibid., h. 6-7.

Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal bentuknya (tempat dimana dapat ditemukan dan dikenal hukum). Adapun macam dari

sumber hukum formil adalah : 7

a. Peraturan perundang-undangan;

b. Hukum Kebiasaan;

c. Yurisprudensi;

d. Traktat atau Perjanjian;

e. Doktrin. Sedangkan sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang

menentukan isi hukum (perasaan atau keyakinan individu dan pendapat umum yang membentuk dan menentukan isi hukum). Macam sumber hukum materiil tergantung dari tinjauan atau sudut pandang para ahlinya, misalnya sebagai

berikut : 8

a. Tinjauan ahli ekonomi, yang menyebabkan timbulnya hukum adalah kebutuhan ekonomi dalam masyarakat dan kemungkinan perkembangan ekonomi.

b. Tinjauan ahli sosiologi, yang menyebabkan timbulnya hukum adalah peristiwa yang terjadi dalam masyarakat atau kebutuhan untuk mempertahankan hidup.

c. Tinjauan ahli agama, yang menyebabkan timbulnya hukum adalah kitab suci agama masing-masing.

7 Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, h. 21.

8 Asri Wijayanti, Op.Cit., h. 25-26.

d. Tinjauan ahli sejarah, yang menyebabkan timbulnya hukum adalah sejarah yang pernah terjadi.

e. Tinjauan ahli filsafat, yang menyebabkan timbulnya hukum adalah upaya untuk mencari keadilan, misalnya melalui falsafah bangsa.

f. Tinjauan ahli hukum, yang menyebabkan timbulnya hukum adalah aturan yang mengatur.

Berbagai pendapat lain mengenai sumber-sumber hukum ketenagakerjaan menurut beberapa ahli hukum. Menurut Budiono sumber-

sumber hukum ketenagakerjaan terdiri atas : 9

4. Traktat; dan

5. Perjanjian. Sedangkan Menurut Shamad berpendapat bahwa sumber hukum

ketenagakerjaan terdiri atas : 10

1. Peraturan perundang-undangan (undang-undang dalam arti materiil dan formil);

2. Adat dan kebiasaan;

3. Keputusan pejabat atau badan pemerintah;

4. Traktat;

9 Budiono, Abdul Rachmad, Hukum Perburuhan di Indonesia, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1995, h. 12.

10 Shamad, Yunus, Hubungan Industrial di Indonesia, Penerbit PT Bina Sumber Daya Manusia, Jakarta, 1995, h. 29.

5. Peraturan kerja (yang dimaksud adalah peraturan perusahaan); dan

6. Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, atau kesepakatan kerja bersama (KKB).

Di samping kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa doktrin atau pendapat para ahli hukum juga merupakan sumber hukum ketenagakerjaan. Mengingat pendapat para ahli dapat dipergunakan sebagai landasan untuk memecahkan masalah-masalah perburuhan, baik langsung maupun tidak langsung.

A.1.3 Pengawasan Ketenagakerjaan.

Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 1 Permenakertrans No. PER.02/MEN/1/2011 tentang Pembinaan dan Koordinasi Pengawasan Ketenagakerjaan). Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk menjamin pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan (Pasal 176 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri Tenaga Kerja.

Pengawasan ketenagakerjaan merupakan unsur penting dalam perlindungan tenaga kerja, sekaligus sebagai upaya penegakan hukum ketenagakerjaan secara menyeluruh. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu preventif edukatif dan represif

yustisia. 11

Dengan demikian, sasaran pengawasan ketenagakerjaan ialah meniadakan atau memperkecil adanya pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga proses hubungan industrial dan hubungan kerja dapat berjalan dengan baik dan harmonis. Di samping sebagai upaya perlindungan tenaga kerja pengawasan ketenagakerjaan juga memiliki tujuan sosial, seperti peningkatan kesejahteraan dan jaminan sosial pekerja, mendorong kinerja dunia usaha serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

A.2. Perlindungan Tenaga Kerja.

Tujuan perlindungan tenaga kerja adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Untuk ini pengusaha wajib melaksanakan ketentuan perlindungan tenaga kerja tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa dasar hukum

perlindungan tenaga kerja diantaranya : 12

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

11 Abdul Khakim, Op.Cit., h. 197-198. 12 Ibid., h. 99-103.

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan.

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Per.14/MEN/IV/2016 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan.

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Perlindungan tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam hukum ketenagakerjaan. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mendukung adanya perlindungan tenaga

kerja diantaranya sebagai berikut : 13

1. Salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan (Pasal 4 huruf C).

2. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan (pasal 5).

3. Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha (Pasal 6).

4. Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/ atau meningkatkan dan/ atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai

13 Ibid.

dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja (Pasal 11).

5. Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya [Pasal 12 ayat (3)].

6. Setiap pekerja berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama [Pasal 86 ayat (1)].

7. Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [Pasal 88 ayat (1)].

8. Setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja [Pasal 99 ayat (1)].

9. Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja [Pasal 104 ayat (1)].

Perihal mengenai objek pada perlindungan tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah : 14

a. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja;

b. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja untuk berunding dengan pengusaha dan mogok kerja;

c. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;

d. Perlindungan khusus bagi pekerja perempuan, anak, dan penyandang cacat;

14 Ibid.

e. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja; dan

f. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.

A.2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. Untuk itu ditempuh dengan kebijakan penyelenggaraan upaya keselamatan dan kesehatan kerja di setiap perusahaan.

Menurut Adrian Sutedi, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu program yang dibuat bagi pekerja maupun perusahaan sebagai upaya pencegahan (preventif) bagi timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpontesi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan

kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. 15

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan salah satu bentuk perlindungan tenaga kerja dan menjadi hak dasar pekerja sesuai dengan ketentuan Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Tujuan dari upaya keselamatan dan kesehatan kerja adalah untuk melindungi keselamatan pekerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja,

15 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 170.

pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.

Dengan demikian, eksistensi peraturan perundang-undangan keselamatan dan kesehatan kerja adalah :

a. Melindungi pekerja dari risiko kecelakaan kerja;

b. Meningkatkan derajat kesehatan para pekerja;

c. Agar pekerja dan orang-orang di sekitarnya terjamin keselamatannya;

d. Menjaga agar sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan berdaya guna.

Ruang lingkup dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah di segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun di udara dalam wilayah negara Republik Indonesia. Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja. Unsur tempat kerja ada tiga, ialah :

a. Adanya suatu usaha, baik bersifat ekonomis maupun sosial.

b. Adanya sumber bahaya.

c. Adanya tenaga kerja yang bekerja di dalamnya, baik terus-menerus maupun sewaktu-waktu.

Penanggung jawab keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja ialah pengusaha atau pimpinan atau pengurus tempat kerja. Pelaksanaan Penanggung jawab keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja ialah pengusaha atau pimpinan atau pengurus tempat kerja. Pelaksanaan

Beberapa prinsip keselamatan dan kesehatan kerja berdasarkan ketentuan hukum diantaranya: 17

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 86 dan Pasal 87).

1. Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: - Keselamatan dan kesehatan kerja; - Moral dan kesusilaan; dan - Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta

nilai-nilai agama.

2. Untuk melindungi keselamatan pekerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

3. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan manajemen perusahaan.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

1. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasukan tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan

16 Abdul Khakim, Op. Cit., h. 111. 17 Ibid., 109-110.

dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya lainnya [Pasal 1 ayat (1)].

2. Syarat ditetapkannya keselamatan kerja untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan, memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian lain yang berbahaya, memberikan pertolongan pada kecelakaan, memberikan alat-alat perlindungan diri pada pekerja, dan sebagainya (Pasal 3).

3. Pengusaha atau pemberi kerja diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja [Pasal 11 ayat (1)].

Para pihak yang terkait dalam keselamatan dan kesehatan kerja yaitu pengusaha dan pekerja. Beberapa bentuk kewajiban dan hak yang harus dilaksanakan oleh para pihak dalam program keselamatan dan kesehatan kerja

diantaranya: 18

a. Kewajiban pengusaha.

1. Terhadap pekerja yang baru masuk, pengusaha wajib menunjukkan dan menjelaskan hal-hal:

- Tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul di lingkungan kerja. - Semua alat pengaman dan perlindung yang digunakan. - Memeriksakan kesehatan, baik fisik maupun mental pekerja yang

bersangkutan.

2. Terhadap pekerja yang telah atau sedang dipekerjakan:

18 Ibid., h. 112-115.

- Melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan kerja, penanggulangan kebakaran, pemberian P2K3 dan peningkatan usaha keselamatan dan kesehatan kerja pada umumnya.

- Memeriksakan kesehatan pekerja secara berkala.

3. Menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang diwajibkan untuk tempat kerja yang bersangkutan bagi seluruh pekerja.

4. Melaporkan setiap peristiwa kecelakaan kerja termasuk peledakan, kebakaran, dan penyakit akibat kerja yang terjadi di tempat kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja.

b. Kewajiban dan hak pekerja.

1. Kewajiban pekerja: - Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai

pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja. - Memakai alat pelindung diri yang diwajibkan. - Memenuhi dan menaati persyaratan keselamatan dan kesehatan

kerja yang berlaku di tempat kerja yang bersangkutan.

2. Hak dari pekerja: - Meminta kepada pimpinan atau pengurus perusahaan agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan di perusahaan yang bersangkutan.

- Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat pelindung diri yang - Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat pelindung diri yang

Dengan mengimplementasikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), setidak-tidaknya pengusaha dapat mengantisipasi kemungkinan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja. Dan inti dari terlaksananya K3 dalam Perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa kombinasi aturan, sanksi, dan benefit dilaksanakannya K3 oleh perusahaan bagi pekerja dan perusahaan, atau dengan kata lain adanya suatu kebijakan mutu K3 yang dijadikan acuan atau pedoman bagi pekerja dan pengusaha.

Beberapa landasan hukum keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah sebagai berikut: 19

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

A.2.2. Jaminan Sosial.

Jaminan sosial dapat diartikan secara luas dan dapat pula diartikan secara sempit. Dalam pengertiannya yang luas jaminan sosial ini meliputi berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat atau pemerintah.

Pemahaman dalam arti sempit menurut Iman Soepomo merumuskan bahwa jaminan sosial adalah pembayaran yang diterima pihak pekerja dalam

19 Ibid.

hal pekerja diluar kesalahannya tidak melakukan pekerjaannya, jadi menjamin kepastian pendapat (income security) dalam hal pekerja kehilangan upahnya

karena alasan diluar kehendaknya. 20

Sedangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) merumuskan pengertian jaminan sosial secara luas sebagai berikut: “Jaminan sosial adalah jaminan kemungkinan hilangnya pendapatan pekerja sebagian atau seluruhnya atau bertambahnya pengeluaran karena resiko sakit, kecelakaan, hari tua, meninggal dunia atau risiko sosial lainnya. Tujuan dari penyelenggaraan jaminan sosial adalah untuk mempertahankan daya beli masyarakat dalam mengahadapi terjadinya ketidakamanan

ekonomi. 21

Pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia bersumber pada landasan idiil. Pembukaan UUD 1945 sebagaimana tercantum pada alinea keempat yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum sehingga dapat tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Apabila terjadi Pelanggaran terhadap pelaksanaan jaminan sosial berarti pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Undang-Undang tentang tenaga kerja yang sudah lengkap lahir pada tahun 1969. Pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Pokok- Pokok Tenaga Kerja diatur tentang penyelenggaraan asuransi sosial bagi tenaga kerja beserta keluarganya. Pada tahun 1977 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program

20 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1983, h. 136. 21 Zaeni Asyhadie, Op.Cit., h. 121.

Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Program-program yang ditangani oleh Astek adalah asuransi kecelakaan kerja (AKK), asuransi kematian (AK), dan tabungan hari tua (THT). Bersamaan dengan itu diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1977 tentang Perusahaan Umum (Perum) Astek Sebagai Badan Penyelenggara Program Astek.

Status Astek sebagai Perum kemudian diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1990. Pada tahun 1992 pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki karyawan minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji karyawannya minimal Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) perbulan. Jamsostek menyelenggarakan empat program diantaranya adalah jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK), dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK). Undang-Undang ini juga menungaskan PT. Jamsostek sebagai pelaksana program Jamsostek di Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial

Tenaga Kerja sebagai penyelenggara program Jamsostek. 22

1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)

Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 pengertian jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari

22 Adrian Sutendi, Op.Cit., h. 183-184.

penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh pekerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Semua bentuk manfaat yang diberikan melalui program jamsostek kepada pekerja hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat dasar dan minimal untuk menjaga harkat dan martabatnya.

Menurut Mondy dan Noe 23 jaminan sosial tenaga kerja merupakan bentuk kompensasi atau imbalan dalam bentuk uang yang tidak diterima

oleh pekerja. Keduanya mengungkapkan bahwa kompensasi merujuk pada every type of reward that individualis receive in return for their labour (setiap bentuk imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai pengganti tenaga yang telah ia keluarkan). Berikut beberapa teori tentang

kompensasi yang dikemukakan oleh Rejda adalah: 24

1. Teori Risiko Kerja Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu perusahaan harus

menyediakan biaya ketidakmampuan pekerjanya untuk bekerja (akibat sakit atau cacat) ke dalam biaya produksinya atau mengganti hilangnya waktu kerja tersebut dalam bentuk harga produk yang lebih tinggi. Teori ini memiliki beberapa kelemahan yaitu:

a. Mengharuskan pekerja untuk tidak menuntut perusahaan karena kecelakaan dalam industri.

23 Ibid., h.186-187. 24 Ibid.

b. Adanya asumsi bahwa biaya kecelakaan dapat diganti lebih dahulu dalam bentuk harga produk yang lebih tinggi.

c. Perbandingan antara pembayaran tuntutan pekerja dengan jumlah kerugian yang dialaminya tidak sebanding, misalnya pelayanan rehabilitasi yang diperoleh tidak memadai.

2. Teori Biaya Sosial Rendah Teori ini berlandaskan pada konsep bahwa dibuatnya undang-undang

kompensasi

untuk meminimalkan ketidakmampuan mereka secara ekonomi akibat kecelakaan kerja. Di lain pihak dengan adanya peraturan juga berupaya untuk mengurangi munculnya tuntutan pekerja karena kecelakaan kerja.

3. Teori Kompromi Sosial Teori ini menyatakan bahwa adanya kompensasi bagi pekerja

memperlihatkan suatu keseimbangan antara pengorbanan yang dilakukan pekerja dengan keuntungan yang diperoleh pengusaha. Oleh karena itu, pekerja yang mengalami sakit atau cacat akibat kerja, berhak untuk menerima jaminan kesehatan atau jaminan kecacatan. Begitu pula dengan perusahaan harus bersedia membayar tuntutan pekerja agar terhindar dari proses pengadilan yang lebih mahal apabila pekerja yang sakit tersebut mengadukan permasalahannya ke pengadilan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengartian jaminan sosial tenaga kerja adalah program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja Jadi dapat disimpulkan bahwa pengartian jaminan sosial tenaga kerja adalah program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja

Dalam pemenuhan kebutuhan pekerja menjadi tanggung jawab pemberi kerja karena pekerja relatif memiliki kedudukan yang lebih lemah dibandingkan pemberi kerja. Perlindungan kebutuhan tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil produksi perusahaan. Begitu pula sebaliknya, pekerja juga harus berperan aktif dan ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan program jamsostek sehingga upaya untuk mewujudkan perlindungan bagi pekerja dan anggota keluarganya dapat terselenggarakan dengan baik.

Tujuan dari penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja adalah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dan keluarganya dari berbagai resiko pasar tenaga kerja, seperti resiko kehilangan pekerjaan, penurunan upah, kecelakaan kerja, sakit, cacat, lanjut usia, meninggal dunia, dan lain- lain. Ruang lingkup perlindungan tenaga kerja pada program Jamsostek yang merupakan hak dari tenaga kerja adalah:

1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).

Kecelakaan kerja (employment accident) merupakan kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja termasuk sakit yang diakibatkan karena kerja

(occupational disease). 25 Dari pengertian tersebut dapat dijabarkan bahwa ruang lingkup Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) meliputi kecelakaan kerja

dan sakit akibat kerja. Berikut penjabaran ruang lingkup jaminan kecelakaan kerja (JKK) yaitu: 26

a. Kecelakaan yang Teriadi Saat Hubungan Kerja Kecelakaan kerja yang terjadi saat hubungan kerja meliputi

kecelakaan di tempat kerja dan kecelakaan di jalan pada waktu pekerja berangkat ke tempat kerja dan pulang dari tempat kerja. Ruang lingkup kecelakaan kerja terdiri atas:

1. Pada waktu kerja

a. Yang termasuk dalam kecelakaan pada waktu kerja ialah kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju ke tempat kerja atau pulang dari tempat kerja ke rumah melalui jalan yang biasa ditempuh dan wajar.

b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas, kewajiban dan tanggungjawab sehari-hari yang diberikan oleh perusahaan di tempat kerja maupun di luar tempat kerja selama waktu kerja.

c. Kecelakaan yang terjadi di luar jam kerja tetapi masih dalam waktu kerja seperti jam istirahat sebagaimana diatur dalam undang-undang.

25 Ibid., h.188. 26 Asri Wijayanti, Op. Cit., h. 128-130.

d. Kecelakaan yang terjadi dalam tugas di luar kota/negeri, yaitu selama perjalanan dari rumah atau tempat kerja menuju ke tempat dan perjalanan pulang kembali sesuai dengan surat tugas yang diberikan dan selama menjalankan tugas atau pekerjaan di tempat tujuan. Semua kecelakaan kerja yang terjadi di tempat penugasan atau pendidikan merupakan kecelakaan kerja, di luar itu yang termasuk kecelakaan kerja hanya terbatas selama yang bersangkutan berangkat dari tempat penginapan atau pemondokan menuju ke tempat kerja sampai pulang kembali, kecuali dapat dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi di luar pengertian tersebut ada hubungannya dengan tugas dan tanggung jawab yang bersangkutan.

e. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan kerja lembur yang harus dibuktikan dengan surat perintah lembur.

f. Perkelahian di tempat kerja dapat dianggap kecelakaan kerja.

2. Di luar waktu kerja

a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu melaksanakan kegiatan olahraga yang harus dibuktikan dengan surat tugas dari perusahaan.

b. Kecelakaan yang terjadi pada waktu mengikuti pendidikan yang merupakan tugas dari perusahaan dan harus dibuktikan dengan surat tugas.

c. Kecelakaan yang terjadi di sebuah perkemahan yang berada dilokasi kerja (base camp/jurnal) di luar jam kerja dan di luar c. Kecelakaan yang terjadi di sebuah perkemahan yang berada dilokasi kerja (base camp/jurnal) di luar jam kerja dan di luar

d. Jika kecelakaan terjadi di luar radius HPH/ areal/ lokasi harus ada surat tugas.

3. Meninggal mendadak Suatu kasus meninggal mendadak dapat dikategorikan akibat kecelakaan dalam hubungan kerja akibat pekerja karena suatu alasan, baik di lokasi kerja maupun dalam perjalanan menuju atau dari lokasi kerja, tanpa sempat mengalami rawat inap atau mengalami rawat inap, tetapi tidak melebihi 24 jam terhitung sejak pada jam ditangani dokter/ para medis, langsung meninggal dunia.

b. Penyakit akibat hubungan kerja Penyakit yang ditimbulkan karena hubungan kerja dianggap sebagai kecelakaan kerja dan bisa terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses dalam jangka waktu tertentu. Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja merupakan kecelakaan kerja Pasal 1 Keppres Nomor 22 Tahun 1993 menyebutkan: "Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.” Penyakit yang ditimbulkan akibat kerja yang terjadi pada tenaga kerja menjadi tanggung jawab majikan. Untuk mengetahui penyakit yang timbul akibat hubungan kerja dapat dilihat pada Pasal 4 Keppres Nomor

22 Tahun 1993. 27

27 Ibid.

Tujuan dari jaminan kecelakaan kerja adalah untuk melindungi pekerja dan keluarganya dari kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan.

Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab pengusaha, sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang berkisar antara 0,24%- 1,74% sesuai kelompok jenis usaha. Seluruhnya terdapat lima tingkat premi yang didasarkan pada pengelompokan jenis usahanya yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Untuk pengelompokan ini didasarkan pada persepsi mengenai besarnya resiko

kecelakaan kerja untuk setiap jenis usaha. 28 Adapun bentuk jaminan kecelakaan kerja adalah: 29

a. Biaya pengangkutan: - Untuk penggunaan jasa angkutan darat/ sungai maksimum sebesar Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). - Untuk penggunaan jasa angkutan laut maksimal sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah). - Dan penggunaan jasa angkutan udara maksimal Rp. 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah).

b. Biaya perawatan, pemeriksaan, dan pengobatan. Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk satu peristiwa kecelakaan tersebut maksimum sebesar Rp. 8.000.000,00 (delapan ratus ribu rupiah).

28 Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 189. 29 Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi Pekerja Untuk

Mempertahankan Hak-Haknya), Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 155-156.

c. Biaya rehabilitasi: Prothese (anggota badan tiruan) dan orthose (alat bantu), seperti tongkat dan kursi roda, dengan penggantian biaya sesuai harga R.S dr. Suharso (Surakarta) ditambah 40% dari harga tersebut. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja dianggap sebagai kecelakaan kerja (ditetapkan sebanyak 31 jenis) seperti yang tercantum dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja.

d. Santunan berupa uang, meliputi: - Santunan Sementara tidak mampu bekerja (STMB) 4 (empat) bulan pertama 100% × upah sebulan. Selanjutnya 4 (empat) bulan kedua 75% × upah sebulan dan bulan berikutnya 50% × upah sebulan.

- Santunan cacat tetap sebagian ialah: persentase jenis cacat dikalikan 70 (tujuh puluh) bulan upah. - Santunan cacat tetap total:

1. Pembayaran sekaligus: 70% × 70 (tujuh puluh) bulan upah.

2. Pembayaran berkala: Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) selama 24 (dua puluh empat) bulan.

3. Kurang fungsi: % kurang fungsi × % tabel × 70 bulan upah.

- Santunan kematian:

1. Pembayaran sekaligus: 70% × 70 (tujuh puluh) bulan upah.

2. Pembayaran berkala: Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) selama 24 (dua puluh empat) bulan.

3. Biaya pemakaman: Rp. 600.000,00. (enam ratus ribu rupiah)

2. Jaminan Hari Tua (JHT).

Hari tua adalah umur pada saat dimana produktivitas pekerja telah dianggap menurun, sehingga perlu diganti dengan pekerja yang lebih muda termasuk cacat tetap dan total (total and permanent disability) yang dapat dianggap sebagai hari tua yang dini (cepat).

Jaminan hari tua atau disebut (JHT) merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi pekerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi. Jaminan ini merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya resiko-resiko sosial dengan

pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja. 30

Jaminan hari tua (JHT) berfungsi sebagai program perlindungan bagi pekerja dan keluarganya yang telah mencapai usia tua dan telah berhenti bekerja, juga untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada dasarnya JHT merupakan komponen pensiun dasar. Dasar perhitungan jaminan ini adalah besarnya total iuran atau premi yang telah dibayarkan pemberi kerja dan tenaga kerja. Dengan demikian apabila pekerja tersebut membayar premi jaminan hari tuanya sedikit, otomatis

30 Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 190-191.

pekerja akan mendapat jaminan hari tua yang sedikit pula, begitu juga sebaliknya.

Besar kecilnya iuran atau premi per-bulan ditentukan oleh besar kecilnya upah. Pembiayaan program ini sepenuhnya dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja dengan komposisi iuran lebih besar dibebankan kepada pemberi kerja. Iuran atau premi jaminan hari tua ditentukan sebesar 5,7% dari upah, di mana 2% dipotong dari gaji pekerja dan 3.7% merupakan

kontribusi pemberi kerja. 31

Umumnya jaminan hari tua diberikan pada saat pekerja mencapai umur 55 (lima puluh lima) tahun, tetapi apabila pekerja mengalami cacat sehingga tidak bisa bekerja lagi maka jaminan ini dapat diberikan. Dan apabila pekerja meningal dunia sebelum berusia 55 (lima puluh lima) tahun atau setelah 55 (lima puluh lima) tahun tetapi belum menerima jaminan hari tua (JHT) maka jaminan ini diterima oleh janda atau duda atau anak yang ditinggalkannya secara sekaligus (lumpsum). Untuk pekerja yang telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun tetapi masih tetap bekerja dapat memilih untuk menerima jaminan hari tua pada saat berusia 55 tahun atau pada saat setelah berhenti bekerja.

Bagi pekerja yang berhenti dari perusahaan sebelum berusia 55 (lima puluh lima) tahun dapat menerima Jaminan Hari Tua (JHT) dengan persyaratan sebagai berikut:

1. Mempunyai masa kepesertaan JHT sekurang-kurangnya 5 tahun.

31 Ibid.

2. Telah melewati masa tunggu selama 6 bulan terhitung sejak pekerja bersangkutan berhenti bekerja.

Dalam sistem pembayaran secara berkala atau sekaligus dilakukan atas pilihan pekerja bersangkutan. Apabila pekerja bersangkutan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya maka jaminan hari tua

dibayarkan secara sekaligus. 32 Dan hak untuk mendapatkan jaminan hari tua (JHT) dapat menjadi hilang apabila melalui 2 (dua) peristiwa ini sebagai

berikut: 33

1. Berakhir karena suatu peristiwa.

2. Dibatalkan karena suatu keadaan. Berakhir karena suatu peristiwa apabila duda atau janda penerima

jaminan tersebut menikah lagi, atau duda/ janda tersebut meninggal dunia sedangkan tidak terdapat lagi anak yang berhak menerima jaminan sebagai penerima jaminan hari tua. Hak jaminan ini baru akan berakhir pada bulan berikutnya setelah pernikahan itu dilangsungkan. Hak untuk mendapatkan

jaminan hari tua (JHT) dapat dibatalkan karena: 34

a. Apabila pada waktu mengajukan permintaan jaminan tersebut ternyata terdapat suatu pemalsuan, baik pemalsuan surat-surat maupun pemalsuan orangnya.

b. Apabila penerima jaminan tersebut dengan tidak seiizin Pemerintah menjadi anggota tentara/ pekerja suatu negara asing.

32 Maimun, Op.Cit., h. 112. 33 Sendjun H. Manulang, 2001, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT Asdi

Mahasatya, Jakarta, h. 134-135. 34 Ibid .

c. Apabila penerima jaminan pekerja tersebut, janda atau duda berdasarkan Keputusan Pejabat Pemerintah atau Badan yang berwenang dinyatakan bersalah melakukan tindakan atau terlibat dalam suatu gerakan yang menentang Pemerintah.

3. Jaminan Kematian (JKM).

Kematian yang mendapat santunan melalui program ini adalah meninggal dunia pada waktu pekerja menjadi peserta jaminan sosial atau sebelum melewati enam bulan sejak pekerja berhenti bekerja. Jaminan Kematian atau disebut (JKM) diperuntukkan bagi ahli waris tenaga kerja yang menjadi peserta Jamsostek yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja.

Iuran untuk Jaminan Kematian ini ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. Besarnya iuran adalah 0,30% dari upah sebulan pekerja yang secara rutin harus dibayar langsung oleh pengusaha kepada Badan

Penyelenggara. 35 Jaminan kematian yang diterima berdasarkan program ini adalah: 36

a. Biaya pemakaman ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk kasus meninggal dunia biasa dan kasus kematian karena kecelakaan/ penyakit karena hubungan kerja/ hubungan industrial.

b. Santunan berupa uang ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

35 Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 193-194. 36 Zaeni Asyhadie, Op.Cit., h. 128-130.

Ahli waris atau keluarga pekerja berhak menerima santunan kematian dan biaya pemakaman pada program jaminan kematian (JKM) sesuai dengan persyaratan yang berlaku yaitu :

a. Suami atau istri yang sah menjadi tanggungan pekerja dan terdaftar pada Badan Penyelenggara Jamsostek.

b. Anak kandung, anak angkat dan anak tiri yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, belum menikah, tidak mempunyai pekerjaan, yang menjadi tanggungan pekerja, terdaftar pada Badan Penyelenggara Jamsostek dan maksimum tiga orang anak yang akan ditangggung oleh Jamsostek.

Dengan demikian apabila belum atau tidak ada ahli waris yang terdaftar pada Badan Penyelenggara Jamsostek maka pembayaran santunan kematian dan biaya pemakaman diberikan kepada janda atau duda, anak, orang tua, cucu, kakek dan nenek, Saudara kandung, dan Mertua. Para ahli waris atau pihak yang berhak menerima santunan dan biaya pemakaman dapat mengajukan permohonan kepada Badan Penyelenggara Jamsostek dengan melampirkan bukti-bukti sebagai berikut:

a. kartu peserta;

b. surat keterangan kematian. Dalam hal pekerja yang tidak mempunyai keturunan sebagaimana

tersebut di atas maka pembayaran santunan kematian dan biaya pemakaman diberikan secara sekaligus kepada mereka yang ditunjuk pekerja dalam wasiatnya. Demikian juga apabila tidak ada wasiat, pembayaran santunan tersebut di atas maka pembayaran santunan kematian dan biaya pemakaman diberikan secara sekaligus kepada mereka yang ditunjuk pekerja dalam wasiatnya. Demikian juga apabila tidak ada wasiat, pembayaran santunan

yang memborong pekerjaan, serta narapidana meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja yang berhubungan dengan hubungan kerja maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas Jaminan Kematian.

Jaminan Kematian (JKM) dibedakan antara biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila seorang pekerja meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris maka biaya pemakaman saja yang diberikan kepada mereka yang mengurus pemakaman pekerja tersebut. Jaminan kematian ini diberikan kepada ahli waris tenaga kerja yang meninggal dunia sebelum mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun karena setelah mencapai usia tersebut tenaga kerja yang bersangkutan akan mendapat jaminan hari tua. Apabila tenaga kerja tersebut meninggal dunia setelah pensiun (setelah mencapai usia 55 tahun), PT Jamsostek tidak lagi terikat pada kewajiban untuk membayar jaminan kematian terhadap ahli waris pekerja tersebut.

4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Setiap pekerja yang menderita sakit selama bekerja, berhak memperoleh biaya pengobatan, biaya rehabilitasi, biaya pengangkutan dari tempat kerja ke rumah sakit dan dari rumah sakit atau tempat kerja ke rumahnya, serta santunan bila pekerja yang bersangkutan sementara tidak mampu bekerja. Pelayanan jaminan pemeliharaan kesehatan diberikan kepada pekerja dan anggota keluarganya. Maksimum tiga orang anak dari

37 Ibid.

peserta/ pekerja yang akan ditanggung oleh Jamsostek. Hak yang akan diperoleh dari program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) meliputi: 38

1. Rawat jalan tingkat pertama;

2. Rawat jalan tingkat lanjutan;

3. Rawat inap;

4. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;

5. Penunjang diagnostik, dan

6. Pelayanan gawat darurat. Adapun standar paket pelayanan program jaminan pemeliharaan

kesehatan meliputi pelayanan khusus dan pelayanan gawat darurat. Berbeda dengan program lain program jaminan pemeliharaan kesehatan ini tidak memberikan santunan atau bantuan dalam bentuk uang tunai (cash benefits), namun berbentuk pelayanan kesehatan.

Tujuan dari pemeliharaan kesehatan adalah untuk meningkatkan produktivitas pekerja sehingga dapat melaksanakan sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan dibidang pengembangan (kreatif). Untuk itu pengusaha berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja, yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (curatif), dan pemulihan (rehabilitasi). Dan setiap pekerja yang telah mengikuti program jaminan pemeliharaan kesehatan akan

38 Darwan Prinst, Op.Cit, h.162.

diberikan kartu pemeliharaan kesehatan (KPK) sebagai bukti diri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 39

Jenis pelayanan yang diberikan dalam program ini mulai dari dokter umum dan dokter gigi, obat-obatan, dan penunjang diagnostik, obat-obatan diberikan sesuai kebutuhan medis, pelayanan kesejahteraan ibu dan anak, pelayanan imunisasi dasar (BCG, DPT, dan Polio), pelayanan KB (IUD, vasektomi, tubektomi, suntik), dan pelayanan dokter spesialis. Untuk memahami program Jamsostek lebih lanjut, perlu diketahui pula fungsi dari program tersebut, yaitu:

a. Perlindungan. Perlindungan yang bersifat sukarela seperti melalui asuransi

komersial tidak mampu menjamin setiap orang bersedia dan mampu menyisihkan dana untuk ikut dalam program asuransi. Untuk itu diperlukan jaminan sosial yang diselenggarakan secara kolektif dan bersifat wajib guna memungkinkan pekerja memiliki kepastian memperoleh resiko sosial dan ekonomi.

b. Produksi. Perlindungan melalui jaminan sosial bagi pekerja dan anggota

keluarganya memungkinkan pekerja untuk lebih memfokuskan perhatian pada pekerjaannya. Pekerja yang memiliki produktivitas tinggi dan konsentrasi penuh pada pekerjaannya akan menguntungkan pemberi kerja karena hasil produksi juga ikut meningkat.

39 Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 194-196.

c. Redistribusi Pendapatan. Pada program jaminan sosial yang dilaksanakan melalui sistem

asuransi sosial, pekerja memberikan kontribusi sesuai dengan penghasilannya dan memperoleh jaminan sesuai dengan kebutuhannya. Penyelenggaraan jaminan sosial secara tepat dapat memungkinkan pekerja yang berpenghasilan tinggi membantu pekerja yang berpenghasilan rendah.

d. Kemasyarakatan. Tujuan jaminan sosial untuk memberikan perlindungan kepada

pekerja sehingga menimbulkan ketenangan dalam bekerja, serta akan membantu terciptanya ketentraman industri. Di samping itu, juga dapat mengurangi perselisihan antara pekerja dengan pemberi kerja yang pada

akhirnya dapat mencegah timbulnya keresahan sosial. 40

2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Di tahun 2004, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pemberlakuan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan pelaksanaan dari Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara

40 Ibid.

penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial.

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dibentuk sesuai dengan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program serta untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 11

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

1.1 Isi Buku Tuhan Maha Asyik - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

1 3 47

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 97

BAB III ANALISA A. Kedudukan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Menurut Norma-Norma Hukum Laut Internasional - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Inter

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Pelaksanaan Jamsostek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional: Studi Kasus pada PT. Apac Inti Cor

0 0 20