Kajian Uji Resistensi dan Sensitivitas Antibiotik Ceftriaxone dan Ciprofloxacin Pada Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSUP Fatmawati

(1)

KAJIAN UJI RESISTENSI DAN SENSITIVITAS

ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE DAN CIPROFLOXACIN

PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH

DI RSUP FATMAWATI

SKRIPSI

DINI SURYA PRATIWI

108102000058

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

AGUSTUS 2013


(2)

ii

KAJIAN UJI RESISTENSI DAN SENSITIVITAS

ANTIBIOTIK CEFTRIAXONE DAN CIPROFLOXACIN

PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH

DI RSUP FATMAWATI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Far)

DINI SURYA PRATIWI

108102000058

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

AGUSTUS 2013


(3)

(4)

(5)

(6)

vi Nama : Dini Surya Pratiwi Program Studi : Farmasi

Judul :Kajian Uji Resistensi dan Sensitivitas Antibiotik Ceftriaxone dan Ciprofloxacin Pada Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSUP Fatmawati.

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit kedua tersering setelah infeksi saluran napas atas. Uji resistensi dan sensitivitas dilihat dari hasil pemeriksaan zona hambat bakteri terhadap antibiotic Ceftriaxone dan Ciprofloxacin, belakangan ini menunjukkan adanya peningkatan resistensi bakteri penyebab infeksi saluran kemih terhadap golongan chephalosporins dan fluoroquinolones khususnya terhadap Ceftriaxone dan Ciprofloxacin. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola spesies bakteri yang ditemukan pada penderita ISK di RSUP Fatmawati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional dan dianalisis menggunakan Uji statistic Chi-Square. Dari 350 Kultur Positif, 213 diantaranya adalah penderita ISK dan diperoleh 106 pasien yang masuk dalam criteria inklusi. Bakteri penyebab ISK terbanyak adalah Escherichia coli (58,5%), disusul oleh Klebsiella pneumonia (13,2%), Pseudomonas aeruginosa (5,7%) dan Enterobacter aerogenes (4,7%). Hasil uji resistensi dan sensitivitas pada setiap bakteri berbeda-beda. Sebagian besar bakteri telah resisten terhadap Ceftriaxone dan Ciprofloxacin. Resistensi bakteri tertinggi terhadap antibiotic Ceftriaxone yaitu bakteri Klebsiella pneumonia, Citrobacter koserii, Acinetobacter baumanii, Pseudomonas luteola, Enterobacter cloacae, Serratia marcescens, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus saprophyticus. Resistensi bakteri tertinggi terhadap antibiotik Ciprofloxacin yaitu dengan persentase pada bakteri Enterobacter aerogenes, Acinetobacter baumanii, Klebsiella ozaenae, Raoultella ornithynolytica, Morganella morganii dan Staphylococcus saprophyticus, tetapi pola bakteri yang dihasilkan tidak dapat mewakili kelompoknya pada hasil penelitian, karena jumlah per kelompok sangat sedikit, kemungkinan antibiotik ciprofloxacin ini belum bisa direkomendasikan pada pengobatan ISK yang secara klinis


(7)

vii Name : Dini Surya Pratiwi Program Study : Farmacy

Title :Study of Antibiotic Resistance and Sensitivity test Ceftriaxone and Ciprofloxacin in patients with Urinary Tract Infection In RSUP Fatmawati

Urinary tract infection ( UTI ) is the second most common disease after upper respiratory tract infection . Test of resistance and sensitivity seen from the results of bacterial inhibition zone against antibiotic Ceftriaxone and Ciprofloxacin , recently showed an increase in resistance to the bacteria that cause urinary tract infections to the class of fluoroquinolones chephalosporins and particularly to Ceftriaxone and Ciprofloxacin . The purpose of this study to determine patterns of species of bacteria found in patients with UTI in Fatmawati . The method used in this study is cross- sectional and were analyzed using Chi - Square test statistic . Of the 350 positive cultures , 213 of them were UTI patients and obtained 106 patients included in the inclusion criteria . Most bacteria that cause UTI was Escherichia coli (58.5%), followed by Klebsiella pneumoniae (13.2%), Pseudomonas aeruginosa (5.7%) and Enterobacter aerogenes (4.7%) . Resistance and sensitivity test results at each different bacteria . Most of the bacteria were resistant to Ceftriaxone and Ciprofloxacin . Highest bacterial resistance to the antibiotic Ceftriaxone is bacteria Klebsiella pneumonia , Citrobacter koserii , Acinetobacter baumanii , Pseudomonas luteola , Enterobacter cloacae , Serratia marcescens , Staphylococcus epidermidis , and Staphylococcus saprophyticus . Highest bacterial resistance to the antibiotic Ciprofloxacin is Enterobacter aerogenes , Acinetobacter baumanii , Klebsiella ozaenae , Raoultella ornithynolytica , Morganella morganii and Staphylococcus saprophyticus , but the pattern of the resulting bacteria can not represent the group on the results of the study , as the number per group is very slight , the possibility of the antibiotic ciprofloxacin can not be recommended in the treatment of UTI is clinically


(8)

viii

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untu mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1) Ibu Dr Delina Hasan,M.Kes,Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu dr.Anti Dharmayanti Sp.PK selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian, semoga segala bantuan dan bimbingan ibu dan bapak mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya

2) Pihak Laboratorium Mikrobiologi Patologi Klinik RSUP Fatmawati yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang diperlukan peneliti.

3) Bapak Prof Bapak Prof. DR. dr. M.K Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4) Bapak Drs. Umar Mansur, M. Sc, Apt, selaku Ketua Program studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

5) Ibu zilhadia, M.si, Apt selaku penasehat akademik Program studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6) Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(9)

(10)

(11)

xi

HALAMAN JUDUL………... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISISNALITAS……… iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... iv

HALAMAN PENGESAHAN………. v

ABSTRAK………... vi

ABSTRACT ……….... vii

KATA PENGANTAR………. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……….... x

DAFTAR ISI……….... xi

DAFTAR TABEL……… xiii

DAFTRAR ISTILAH……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN………... xv

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Rumusan Masalah………... 3

1.3 Pertanyaan Penelitian……….. 4

1.4 Tujuan Penelitian………... 4

1.5 Manfaat Penelitian……….. 4

1.6 Justifikasi……… 5

1.7 Ruang Lingkup………... 5

1.8 Hipotesis……….. 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Kemih (ISK)……….. 6

2.1.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih………. 6

2.1.2 Jenis Infeksi Saluran Kemih……… 6

2.1.3 Etiologi……… 8

2.1.4 Manifestasi Klinik………... 8

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik………. 8

2.1.6 Penatalaksanaan………. 9

2.2 Bakteri yang Terdapat Pada ISK………. 9

2.2.1 Bakteri Gram-negatif……….. 9

2.2.2 Bakteri Gram-positif ………... 10

2.2.3 Karakteristik Bakteri ISK………... 10

2.3 Antibiotik………. 13

2.3.1 Definisi………... 13

2.3.2 Penggolongan Antibiotik……… 13

2.4 Ceftriaxone………... 17

2.4.1 Efek Samping……….. 17

2.4.2 Dosis……… 17


(12)

xii

2.5 Ciprofloxacin... 18

2.5.1 Efek Samping... 18

2.5.2 Dosis... 19

2.5.3 Farmakokinetik... 19

2.5.4 Mekanisme Kerja………... 19

2.5.5 Mekanisme Resistensi Ciprofloxacin... 19

2.6 Resisten... 19

2.7 Pengambilan Spesimen Urin……… 20

2.8 Pemeriksaan Mikrobiologi………... 23

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN... 24

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 24

3.2 Rancangan Penelitian... 24

3.3 Populasi dan Sampel... 24

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi... 25

3.5 Langkah Penelitian ... 26

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 29

4.1 Hasil Penelitian……… 29

4.2 Analisis Univariat……… 30

4.3 Analisis Bivariat……….. 32

4.4 Pola Kepekaan Bakteri……… 34

4.5 Pembahasan………. 35

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN……… 43

5.1 Kesimpulan……….. 43

5.2 Saran………. 44

DAFTAR PUSTAKA……….. 45


(13)

xiii

Halaman

Tabel 1. Karkteristik Dignosis Subjek Penelitian……… 29

Tabel 2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin……….. 30

Tabel 3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………... 30

Tabel 4. Distribusi Subjek terhadap Antibiotik………...… 31

Tabel 5. Distribusi Subjek Berdasarkan Bakteri Penyebab ISK……….. 31

Tabel 6. Hasil Diagnosis Hubungan antara Penyakit Terkait dan Penyakit Penyerta Pada ISK dengan Jenis Kelamin………... 32

Tabel 7. Hasil Diagnosis Hubungan antara Penyakit Terkait dan Penyakit Penyerta Pada ISK denganUsia………... 33

Tabel 8. Pola Kepekaan Bakteri terhadap Antibiotik Ceftriaxone dan Ciprofloxacin……….. 34


(14)

xiv BA : Bioavailabilitas

BHI : Brain Heart Infusion Agar BPH : Benign Prostatic Hyperplasia CFU : Colony forming Unit

CHF : Congestive Heart Failure CKD : Cronic Kidney Disease EMB : Eosin-metilen biru ISK : Infeksi Saluran Kemih IVP : Urogram Intravena PBPs : Penicillin-binding protein PP : Protein Plasma


(15)

xv

Halaman

Lampiran 1. Kerangka Konsep……….. 50

Lampiran 3. Skema Pengambilan Data………. 51

Lampiran 4. Data Subjek Penelitian……….. 52

Lampiran 5. Interpretasi Zona Hambat………. 56


(16)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih, termasuk ginjal akibat poliferasi mikroorganisme. Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi cystitis dan pielonefritis. Cystitis adalah infeksi kandung kemih sedangkan pielonefritis adalah infeksi pada ginjal yang dapat bersifat akut atau kronik (Corwin, 2000).

Infeksi saluran kemih merupakan penyakit kedua tersering setelah infeksi saluran napas bagian atas (Betz,2009). Berdasarkan penelitian Johansen pada tahun 2006 menyebutkan angka kejadian ISK dirumah sakit Eropa mencapai 727 kasus setiap tahunnya (Blondeau,2004). Di Amerika infeksi saluran kemih menyerang 21% wanita dewasa setiap tahunnya, dan 2-4% diantaranya kurang beruntung karena mengalami infeksi yang terjadi secara terus-menerus dan lebih dari 5 juta wanita setiap tahunnya mengunjungi dokter karena gangguan infeksi saluran kemih yang umumnya disebabkan dari infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol dan dapat bekembang menjadi peradangan pada kandung kemih (Alam,2007). Pada wanita biasanya ISK lebih sering terjadi salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri dengan mudah berkembang hingga kandung kemih. Infeksi saluran kemih dapat terjadi pada pria usia lanjut, meskipun jarang terjadi, penyebab paling sering adalah prostatitis atau hiperplasia prostat (Corwin, 2000). Berdasarkan hasil penelitian data di bagian Instalasi Rekam Medik dan Informasi Kesehatan (IRMIK) RSUP Fatmawati jumlah penderita infeksi saluran kemih rawat inap pada tahun 2010-2011 sekitar 147 orang dan yang paling banyak diderita oleh kaum hawa sekitar 90 orang.

Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri tetapi jamur dan virus juga dapat menjadi penyebabnya (Corwin, 2000). Bakteri penyebab paling umum adalah Escherichia coli, organisme aerobik yang banyak terdapat didaerah usus bagian bawah. ISK dapat pula disebabkan oleh organisme lain,


(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

seperti Proteus, Klebsiella, dan Staphylococcus, yang bisa ditemukan pada pemasangan kateter (Tambayong,2000).

Pada sebuah studi yang melibatkan 4290 sampel kultur urin positif dilaporkan pula bahwa bakteri patogen tersering pada ISK adalah Escherichia coli, diikuti dengan Klebsiella pneumonia. Pada penelitian ini juga menyatakan bahwa bakteri Gram-positif yang paling sering ditemukan pada ISK adalah stafilokokus (Meher,2011).

Sebagian besar pengobatan ISK menggunakan antibiotik atas indikasi. Antibiotik yang biasa digunakan adalah Cotrimoxazole, Fluoroquinolone, Betalaktam contohnya Penicillin dan Cephalosporin, Aminoglycoside (Syarif A et.al.2007). Beberapa antibiotik yang saat ini masih banyak digunakan dalam klinis untuk pengobatan ISK adalah ceftriaxone dan ciprofloxacin. Ceftriaxone merupakan golongan Cephalosporin generasi ketiga yang efektivitasnya sama dengan generasi pertama dan kedua yaitu efektif terhadap bakteria Gram-negatif, seperti Pseudomonas aeruginosa, Serratia spp dan Acinetobacter spp, namun kurang efektif terhadap bakteria Gram-positif (Kee,1997). Ciprofloxacin merupakan golongan flouroquinolone yang mempunyai daya antibakteri lebih kuat dan spektrum ciprofloxacin memiliki aktivitas yang sangat luas, baik terhadap bakteri Gram-positif maupun bakteri Gram-negatif (Delign, 2004).

Dari survei penggunaan antibiotika dibeberapa rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat banyak dijumpai adanya penggunaan obat antibiotika yang tidak rasional seperti penggunaan antibiotik yang berlebihan, penggunaan antibiotik untuk indikasi yang tidak jelas, penggunaan antibiotik dalam dosis yang kurang tepat, cara pemberian, waktu dan lama pemberian antibiotik yang tidak sesuai, dapat memberikan berbagai dampak negatif antara lain timbulnya efek samping atau toksisitas, mempercepat terjadinya resistensi, hingga terjadinya resiko kegagalan terapi (Staf FK UNSRI,2008).

Resiko kegagalan terapi akibat pemilihan antibiotik yang kurang tepat dan tidak rasional pada infeksi saluran kemih akan menyebabkan pasien mengalami kondisi yang semakin parah (Alam, 2007).


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menurut hasil penelitian Rita Endriani et.al pada tahun 2008 mengatakan bahwa persentase pola resistensi terhadap antibiotik ceftriaxone cukup tinggi mencapai 62,50% begitu pula terhadap antibiotik ciprofloxacin yang mencapai 70,59%. Namun hal ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Yakubu Mava pada tahun 2011 mengatakan bahwa, di Nigeria sensitivitas bakteri umumnya lebih tinggi terhadap ceftriaxone mencapai 89,2% sedangkan ciprofloxacin mencapai 86,2% oleh karena itu pola bakteri terhadap ceftriaxone dan ciprofloxacin perlu dilakukan penelitian kembali khususnya di RSUP Fatmawati.

Pada institusi pelayanan kesehatan yang besar, ada kecenderungan lebih banyak obat yang resisten terhadap bakteri. Infeksi yang didapat ketika dirawat di rumah sakit akan memperpanjang perawatan di rumah sakit sehingga dapat meningkatkan biaya perawatan (Kee,1996). Karena itu pengetahuan tentang resistensi sangat penting agar penggunaan antibiotik menjadi lebih rasional.

1.2 Rumusan Masalah

Infeksi saluran kemih merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius dan merupakan penyakit kedua tersering setelah infeksi saluran napas bagian atas (Betz,2009). Pada umumnya bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih yaitu Escherichia coli, namun pada bakteri lain seperti Klebsiella, Proteus dan Staphylococcus juga dapat ditemukan (Tambayong,2000), sehingga perlu dilakukan penelitian pola bakteri yang berperan menyebabkan infeksi saluran kemih.

Terjadinya resistensi obat dapat meningkatkan biaya perawatan dari penyakit infeksi ISK. Karena itu pengetahuan tentang resistensi sangat penting agar pemakaian antibiotik menjadi lebih rasional.

Antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin sering digunakan untuk anti infeksi namun tidak khusus pada infeksi saluran kemih, hampir semua infeksi dapat menggunakan antibiotik tersebut, pemberian resep antibiotika oleh dokter terhadap pasien pun harus lebih rasional untuk menghindari terjadinya resistensi. Oleh karena itu sangat diperlukan mengetahui pola bakteri terhadap antibiotik


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

agar pemberian antibiotik menjadi lebih tepat sehingga bakteri penyebab infeksi saluran kemih dapat dibasmi secara tuntas dan efektif.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Uraian singkat dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian.

 Apakah ceftriaxone dan ciprofloxacin yang digunakan dalam pengobatan ISK di RSUP Fatmawati sudah mengalami resistensi atau masih sensitif?

I.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui resistensi dan sensitivitas antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin pada penderita ISK yang dirawat inap maupun rawat jalan di RSUP Fatmawati

I.4.2 Tujuan Khusus

 Mengetahui gambaran dan angka kejadian resistensi dan sensitivitas antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin pada penderita ISK di RSUP Fatmawati.

 Mengetahui pola spesies bakteri yang ditemukan pada penderita ISK di RSUP Fatmawati.

I.5 Manfaat Penelitian I.5.1 Secara Metodeologi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui uji resistensi dan sensitivitas bakteri terhadap antibiotik pada kasus ISK di rumah sakit.


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta I.5.2 Secara aplikatif

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk pemilihan antibiotik untuk pengobatan ISK di RSUP Fatmawati.

I.6 Justifikasi

Masalah yang berkaitan dengan ISK yang pengobatannya sangat luas, dalam penelitian ini hanya dibatasi pada analisis uji resistensi dan sensitivitas bakteri terhadap antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin dalam pengobatan ISK, kemungkinan penelitian serupa ini sudah pernah dilakukan namun, pada penelitian ini dilakukan di RSUP Fatmawati.

I.7 Ruang Lingkup

Penelitian yang berjudul “Kajian Uji Resistensi dan Sensitivitas Antibiotik Ceftriaxone dan Ciprofloxacin Pada Penderita Infeksi Saluran Kemih di RSUP Fatmawati” dengan desain penelitian cross-sectional. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai November 2012

1.8 Hipotesis

Bakteri penyebab infeksi saluran kemih diduga mulai resisten terhadap antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Kemih (ISK)

2.1.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih (Suharyanto,2009)

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah berkembang-biaknya mikroorganisme didalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. Tempat yang sering mengalami ISK adalah kandung kemih (cystitis), uretra (uretritis), dan ginjal (pielonefritis).

2.1.2 Jenis Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih dapat dibedakan dalam dua bentuk infeksi saluran kemih, yaitu ISK bagian bawah dan ISK bagian atas.

ISK bagian bawah biasanya terjadi tanpa komplikasi umumnya radang kandung kemih bagian bawah (cystitis) pada pasien dengan saluran kemih normal. Sistitis dapat bersifat akut atau kronik dan pada cystitis akut urin keluar sedikit tetapi sering terasa sakit bila peradangan telah menjalar menjadi urethritis (Tjay,2002). Uretritis adalah peradangan uretra, yang biasanya disebabkan oleh penyakit menular seksual atau infeksi saluran kemih dan penyebab lainnya adalah peradangan yang merupakan penyakit sistemik misalnya parotitis atau trauma.(Corwin 2000)

ISK bagian atas adalah radang kandung kemih di bagian atas yang merupakan komplikasi dan terjadi pada pasien dengan saluran kemih abnormal, misalnya adanya batu atau penyumbatan contoh dari ISK ini adalah pyelitis, pielonefritis dan prostatitis (Tjay,2002). Pielonefritis adalah terjadinya reaksi inflamasi yang mengenai parenkim dan pelvis ginjal. Infeksi ini bermula dari saluran kemih bagian bawah, kemudian naik sampai ke ginjal. Pielonefritis dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis akut dapat mempengaruhi sementara fungsi ginjal, tetapi jarang berkembang sampai ke gagal ginjal dan biasanya dapat sembuh secara total, sedangkan pielonefritis kronik dapat merusak ginjal secara permanen karena inflamasi yang berulang dan terbentuknya jaringan parut yang meluas. Proses berkembangnya gagal ginjal kronik berasal dari infeksi ginjal yang


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berulang dan berlangsung selama beberapa tahun (Baradero,2008). Biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau refluks vesikoureter.(Corwin,2000)

Ada beberapa penyakit terkait erat dengan terjadinya ISK antara lain: vesikolitiasis yaitu batu yang terjebak di vesika urinaria yang menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa sakitnya yang menyebar ke paha, abdomen dan daerah genetalia. Medikasi yang diketahui menyebabkan pada banyak klien mencakup penggunaan antasid, diamox, vitamin D, laksatif dan aspirin dosis tinggi yang berlebihan. Batu vesika urinaria terutama mengandung kalsium atau magnesium dalam kombinasinya dengan fosfat, oksalat, dan zat-zat lainnya. (Brunner and Suddarth, 2001)

Prostatitis juga merupakan salah satu penyakit terkait dengan ISK ditandai dengan peradangan prostat yang banyak disebabkan oleh infeksi dengan kuman yang berasal dari infeksi kandung kemih. Peradangan prostat dapat terjadi pada pria dengan hiperplasia prostat jinak (Rahardja,2010). Hiperplasia prostat jinak (benign prostat hyperplasia, BPH) adalah kelainan yang sering terdapat pada kelenjar prostat. Lebih sering terjadi setelah berusia lebih dari lima puluh tahun dan berhubungan dengan pembesaran prostat jinak, dibawah pengaruh testosterone dan usia, pembesaran prostat dapat menyebabkan penyumbatan keluarnya aliran air kemih (Schwartz.2000). Penyakit terkait dengan ISK lainnya adalah penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease) yang merupakan penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh glomerulonephritis kronis; pielonefritis, hipertensi tak terkontrol, obstruksi saluran perkemihan, bahkan termasuk infeksi saluran kemih (Baughman, Diane C. 2000).

Pada pasien yang sakit berat sering kali menjadi rentan terhadap berbagai penyakit yang mendasarinya ataupun akibat terapi yang diberikan. Beberapa penyakit berat seperti anemia, diabetes mellitus, Jantung kongestif (Congestive heart failure,CHF), kolestasis, sepsis, bronkitis, berhubungan dengan defek imun spesifik yang menyebabkan rentan terhadap infeksi termasuk ISK. Begitu pula


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada penderita ISK yang dilakukan tindakan kateterisasi yang dapat menimbulkan resiko tinggi terkena infeksi bakterial Gram-negatif.

2.1.3 Etiologi (Suharyanto, 2009)

Infeksi saluran kemih disebabkan oleh mikroorganisme patogen misalnya bakteri Escherichia coli, Streptococcus, Pseudomonas.

Faktor risiko yang umum pada ISK adalah ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk mengosongkan isinya secara sempurna serta penurunan daya tahan tubuh dan peralatan yang dipasang pada saluran perkemihan seperti kateter dan prosedur sistoskopi.

2.1.4 Manifestasi Klinis (Suharyanto, 2009)

Tanda dan gejala yang behubungan dengan ISK bervariasi. Separuh dari penderita ISK yang ditemukan adanya bakteri dalam urin (bakteriuria)tetapi tidak menunjukkan adanya gejala (asimtomatik).

Gejala tipikal infeksi saluran kemih adalah nyeri dan rasa panas ketika berkemih (disuria), frekuensi berkemih meningkat dan terdesak ingin berkemih (urgency), sulit berkemih dan disertai kejang otot pinggang (stranguria), rasa nyeri dengan keinginan mengosongkan kandung kemih meskipun telah kosong (tenesmus), kecenderungan sering buang air kecil pada malam hari (nokturia), dan kesulitan memulai berkemih (prostatismus).

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik (Suharyanto,2009)  Kultur urin: untuk menentukan kriteria infeksi

Cara perhitungan pertumbuhan koloni pada plate yaitu jumlah koloni pada plate dikalikan 1000. Bila bakteri < 1000/mL dinyatakan kontaminasi, bila jumlah bakteri 103-104/mL kemungkinan kontaminasi, bila jumlah bakteri 104-105/mL dinyatakan kemungkinan infeksi dan bila jumlah kuman > 105/mL dinyatakan infeksi. (Kass, 1957)

 Pemeriksaan urinalisis: adanya hematuria dan leukosituria  Urogram Intravena (IVP), sitoskopi, USG.


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.1.6 Penatalaksanaan (Grace,2006)

Pada penderita ISK perlu diketahui penyebab yang mendasar terjadinya infeksi dan pengobatan dengan antibiotika yang sesuai berdasarkan hasil kultur urin. Pemberian asupan cairan yang banyak dan pemberian kalium sitrat dapat menghilangkan disuria. Pada penderita ISK bagian atas, epididimo-orkitis dan prostatitis, dapat dilakukan terapi antibiotik seperti ciprofloxacin, gentamicin, cefotaxime, cotrimoxazole secara intravena. Pada penderita cystitis dan ISK bagian bawah tanpa komplikasi, apabila terjadi infeksi berulang harus meningkatkan kecurigaan terhadap kemungkinan kelainan lain sehingga memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, jika terdapat respon buruk terhadap terapi, pertimbangkan suatu infeksi yang tidak biasa seperti tuberculosis (piuria steril), kandiduria, skistosomiasis, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae dan pemberian antibiotik per oral. Contohnya trimethroprim, ciprofloxacin, nitrofurantoin, cefradin.

2.2 Bakteri yang Terdapat Pada Infeksi Saluran Kemih (ISK) 2.2.1 Bakteri Gram Negatif

 Escherichia coli  Klebsiella pneumonia  Pseudomonas aeruginosa  Enterobacter aerogenes  Citrobacter koserii  Acinetobacter baumanii  Pseudomonas luteola  Enterobacter cloacae  Serratia marcescens  Klebsiella ozaenae  Routella klebsiella  Morganella morganii  Burkholderia cepacia


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.2 Bakteri Gram-positif

 Staphylococcus epidermidis  Staphylococcus saprophyticus

2.2.3 Karakteristik Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih (ISK) 2.2.3.1 Enterobacteriaceae (Jawetz,1996)

Enterobacteriaceae adalah kelompok besar batang Gram-negatif heterogen, yang habitat alaminya adalah saluran usus manusia dan hewan. Famili ini mencakup banyak genus misalnya Escherichia coli, Shigella, Salmonella, Enterobacter, Klebsiella, Serratia dan Proteus. Beberapa organisme enterik, misalnya Escherichia coli, merupakan bagian flora normal dan kadang menyebabkan penyakit, sementara lainnya, Salmonella dan Shigella, selalu bersifat patogen untuk manusia.

Morfologi Enterobacteriaceae tampak berbentuk batang pendek Gram-negatif. Morfologi khasnya dapat dilihat dalam pertumbuhan pada perbenihan padat in-vitro, tetapi morfologinya sangat bervariasi dalam bahan klinik.

Biakan bakteri Escherichia coli dan kebanyakan bakteri enterik lain membentuk koloni bundar, cembung, halus dengan tepi yang nyata. Koloni Enterobacter serupa dengan bakteri Escherichia coli tetapi agak lebih mukoid. Koloni Klebsiella besar, sangat mukoid, dan cenderung bersatu bila lama dieramkan. Beberapa strain Escherichia coli menyebabkan hemolisis pada agar darah.

Ciri-ciri Pertumbuhan pada kelompok bakteri ini yaitu pola peragian karbohidrat dan aktivitas dekarboksilasi asam amino serta enzim lain digunakan dalam pembedaan biokimia. Dalam pembentukaan indol dari triptofan, biasanya digunakan untuk pengenalan cepat, sementara yang lain, misalnya reaksi Voges-Proskauer (pembentukan asetil metal karbinol dari dekstrosa). Biasanya digunakan untuk biakan pada perbenihan “diferensial” yang mengandung zat warna khusus dan karbohidrat, (misalnya eosin-metilen biru [EMB], perbenihan Mac-Conkey, atau perbenihan deoksikolat) untuk membedakan koloni peragi-laktosa (berwarna) dari koloni yang tidak meragikan peragi-laktosa (tak berpigmen) dan dapat digunakan sebagai identifikasi presumtif bakteri enterik secara cepat.


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Escherichia coli adalah bagian flora normal usus. Beberapa kelompok bakteri ini patogen pada manusia, menyebabkan infeksi saluran kemih, gastroenteritis, meningitis, peritonitis, dan infeksi luka. (Brooker,2009)

Klebsiella bersifat patogen oportunistik dalam keluarga Escherichia. Klebsiella dapat menyebabkan pneumonia berat, endokarditis, infeksi traktus urinarius, atau infeksi luka. (Schwartz,2000).

Kelompok Klebsiella, Enterobacter dan Serratia. Spesies Klebsiella menunjukkan pertumbuhan mukoid. Simpai polisakarida, yang besar, dan biasanya memberi tes positif untuk lisin dekarboksilase dan sitrat. Kebanyakan, spesies Enterobacter menghasilkan tes positif untuk pergerakan, asam sitrat, dan ornitin dekarboksilase dan membentuk gas dari glukosa.

Enterobacter aerogenes mempunyai kapsul kecil yang dapat hidup bebas seperti dalam saluran usus, serta menyebabkan saluran kemih dan sepsis.

Serratia dapat menghasilkan DNase, lipase, dan gelatinase. Klebsiella, Enterobacter dan Serratia biasanya memberi reaksi Voges-Proskauer positif.

Kelompok Proteus, Morganella dan Providencia. Anggota kelompok ini mendeaminasi fenilannin, tumbuh pada perbenihan kalium sianida (KCN), dan meragikan xilosa.

Proteus menyebabkan infeksi pada manusia, bakteri ini dapat meninggalkan saluran usus dan berpindah tempat. Spesies ini ditemukan pada infeksi saluran kemih dan menyebabkan bakteremia, pneumonia, dan lesi fokal pada penderita yang lemah atau penderita yang menerima infus intravena. Spesies Proteus dan Morganella morganii bersifat urease-positif, sementara Providencia biasanya urease-negatif.

Providensia (Providensia rettgeri, Providencia alcalifaciens dan Providensia stuartii) adalah anggota flora usus normal. Semuanya menyebabkan infeksi saluran kemih dan sering resisten terhadap pengobatan antimikroba.

Citrobacter secara khas bersifat sitrat positif dan berbeda dari salmonella karena tidak menyebabkan dekarboksilasi lisin. Bakteri ini sangat lambat meragikan laktosa. Citrobacter dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan sepsis. (Jawetz,1996)


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.3.2 Pseudomonas aeruginosa (Jawetz,1996)

Pseudomonas aeruginosa tersebar luas di alam dan biasanya terdapat di lingkungan yang lembab seperti di rumah sakit. Bakteri ini dapat tinggal pada manusia yang normal, dan berlaku sebagai saprofit. Bakteri ini menyebabkan penyakit bila pertahanan tubuh inang abnormal.

Morfologi Pseudomonas aeruginosa berbentuk batang, berukuran sekitar 0,6 x 2µm. Bakteri ini Gram-negatif dan terlihat sebagai bakteri tunggal, berpasangan, dan kadang membentuk rantai pendek.

Biakan Pseudomonas aeruginosa adalah aerob obligat yang tumbuh dengan mudah pada banyak jenis perbenihan biakan, kadang menghasilkan aroma manis atau menyerupai anggur. Beberapa strain menghemolisis darah. Pseudomonas aeruginosa membentuk koloni halus bulat dengan warna fluoresensi kehijauan yang khas.

Ciri-ciri Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu 37-42oC, pertumbuhannya pada suhu 42oC dapat membantu membedakan spesies ini dari spesies Pseudomonas lain. Bakteri ini bersifat oksidase positif dan tidak meragikan karbohidrat, tetapi banyak strain mengoksidasi glukosa, biasanya berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase positif yaitu adanya pigmen yang khas, dan pertumbuhan pada suhu 42oC. Untuk membedakan Pseudomonas aeruginosa dari Pseudomonas yang lain, dapat dilihat berdasarkan aktivitas biokimiawi dan dibutuhkan pengujian dengan berbagai substrat.

2.2.3.3Acinetobacter (Jawetz,1996)

Acinetobacter calcoaceticus adalah spesies bakteri Gram-negatif aerob yang tersebar luas ditanah dan air dan kadang dapat dibiakkan dari kulit, selaput mukosa dan sekresi. Acinetobacter yang ditemukan pada infeksi saluran kemih dapat terjadi melalui pemakaian kateter intravena atau kateter saluran kemih.

Morfologi Acinetobacter biasanya tampak berbentuk kokobasil atau kokus, bakteri ini menyerupai Neisseria pada sediaan apus, karena bentuk diplokokus banyak terdapat dalam cairan tubuh dan pada perbenihan padat.


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.3.4Streptococcus (Jawetz,1996)

Streptococcus adalah bakteri Gram-positif berbentuk bulat/kokus yang secara khas membentuk rantai selama masa pertumbuhannya. Bakteri ini tersebar luas di alam.Beberapa di antaranya merupakan anggota flora normal pada manusia.

Morfologi pada kelompok bakteri ini memiliki kokus tunggal berbentuk bulat atau bulat telur, tersusun dalam bentuk rantai. Kokus membelah pada bidang yang tegak lurus sumbu panjang rantai dan tampak sebagai diplokokus dan bentuknya kadang menyerupai batang dan kuman ini merupakan salah satu penyebab penyakit ISK.

Biakan bakteri Streptococcus tumbuh dalam perbenihan padat sebagai koloni diskoid dengan diameter 1-2mm. Strain ini membentuk koloni mukoid.

Ciri-ciri pertumbuhan Streptococcus cenderung kurang subur pada perbenihan padat atau dalam kaldu, kecuali yang diperkaya dengan darah atau cairan jaringan.

2.3 Antibiotik

2.3.1 Definisi (Tjay,2002)

Antibiotika adalah zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil.

2.3.2 Penggolongan Antibiotika

a. Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan luas aktivitasnya, artinya aktif terhadap banyak atau sedikit jenis kuman, yaitu antibiotika dengan aktivitas sempit dan antibiotika dengan aktivitas luas.

Antibiotika dengan aktivitas sempit (narrow-spectrum) yaitu antibiotika yang aktif terhadap beberapa jenis bakteri saja, misalnya penicillin-G dan penicillin-V, antibiotik erythromycin, clindamycin, asam fusidat hanya bekerja terhadap kuman Gram-positif. Kanamycin memiliki spektrum kerja terluas dari semua aminoglycoside. Aktivitasnya terhadap pseudomonas paling kuat termasuk


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap Mycobacteria, tetapi terhadap basil Gram-negatif lainnya 2-3 kali lebih lemah, kecuali Mycobacterium. Sedangkan streptomycin, gentamicin, polimiksin-B dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap kuman Gram-negatif.

Antibiotika dengan aktivitas luas (broadspectrum) yaitu antibiotik yang aktif terhadap berbagai jenis bakteri, baik jenis bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif, misalnya sulfonamide, ampicillin, chepalosporin, cloramphenicol, tetracyclin dan rifampicin (Tjay,2002). Ampicillin sangat aktif terhadap bakteri Gram-negatif dan Gram-positif. Tetapi obat ini tidak tahan terhadap beta-laktamase (Scwartz,2000)

b. Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan tempat kerja, seperti dinding sel, membran sel, ribosom dan asam nukleat.

Antibiotik yang aktif pada dinding sel bakteri, contohnya penicillin dan cephalosporins bekerja dengan menghambat biosintesis peptidoglikan. Bacitracin dan vancomycin bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida sedangkan sikloserin menghambat sintesis peptida dinding sel.

Antibiotik yang aktif pada membran sel antara lain amphotericin-B dan nystatin dengan menghambat fungsi membran sedangkan polimiksin-B menghambat integritas membran.

Antibiotik yang aktif pada ribosom dengan menghambat biosintesis protein, contohnya lincosamide, tetracycline, aminoglicoside, amphenicol, macrolide dan glutarimide.

Antibiotik yang aktif pada asam nukleat, contohnya mitomisin-C dengan menghambat biosintesis ADN, rifampicin menghambat biosintesis mARN, griseofulvin dengan menghambat pembelahan sel dan actinomycin menghambat biosintesis ADN dan mARN. (Siswandono,2008).

c. Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimia

Antibiotik Beta-laktam dibagi menjadi tiga kelompok yaitu turunan penicillin, chepalosporin dan Beta-nonklasik. Turunan penicillin merupakan senyawa pilihan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Turunan chepalosporin digunakan untuk pengobatan infeksi oleh bakteri yang peka terhadap penicillin terutama staphylococci yang menghasilkan penicillinase, dan basil Gram-negatif. Beta-laktam nonklasik pada


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

umumnya digunakan sebagai penghambat enzim b-laktamase dan antibakteri Gram-negatif

Turunan amphenicol adalah antibiotika yang terdiri dari chlorampenicol dan senyawa sintetik analognya. Turunan amphenicol merupakan senyawa bakteriostatik dengan spektrum luas, bersifat mudah larut dalam lemak sehingga mudah menembus sel bakteri dengan menghambat biosintesis protein pada siklus pemanjangan rantai asam amino, yaitu dengan menghambat pembentukan ikatan peptide. Setelah menembus sel bakteri, turunan amphenicol mengikat subunit ribosom 50-S, menghambat enzim peptidil transferase sehingga mencegah penambahan asam amino pada rantai peptide.

Turunan tetracycline ini merupakan senyawa bakteriostatik, dimana bakteriostatik yaitu suatu agensia kimia atau fisik yang mencegah perkembangbiakan bakteri tetapi tanpa membunuhnya, karena mempunyai sifat pembentuk kelat dan mampu menghilangkan ion logam yang penting bagi kehidupan bakteri seperti ion Mg. Di dalam sel bakteri tetracycline mengikat ribosom 30-S (Siswandono,2008).

Turunan aminoglicosides ini merupakan senyawa bakterisid yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif (antara lain: Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis) dan Gram-negatif (antara lain : Escherichia coli, H. influenza, Klebsiella, Proteus, Enterobacter, Salmonella dan Shigella) serta efektif terhadap mikobakteri. Turunan aminoglycosides yang sering digunakan antara lain adalah streptomycin, kanamycin, gentamicin, neomycin, tobramycin, amikacin, netilmicin, dibekacin dan spectinomycin. Streptomycin dan kanamycin aktif terhadap kuman tahan asam seperti Mycobacterium. Amikacin dan tobramycin berkhasiat kuat terhadap Pseudomonas (Tjay,2002; Siswandono,2008). Gentamicin aktif melawan Enterobacter, Escherichia coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, Neisseria, Serratia dan Shigella, Namun aktivitasnya melawan staphylococcus terbatas, biasanya indikasi klinik gentamicin digunakan untuk infeksi serius yang disebabkan bakteri Gram-negatif. Neomycin memiliki spektrum antibakteri yang identik dengan kanamycin, yaitu aktif terhadap Escherichia coli, Enterobacter, Klebsiella, Proteus, dan beberapa spesies Staphylococcus aureus. Spectinomycin aktif terhadap kebanyakan strain N.


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gonorhoeae dan bakteri Gram-negatif lain.(Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2008)

Turunan macrolide, seperti erythromycin merupakan senyawa bakteriostatik dan hanya efektif pada mikroorganisme yang aktif membelah. Turunan ini mengikat subunit ribosom 50-S bakteri.

Turunan polipeptida seperti tirotricina, polymyxin-B dan colistin mempunyai struktur sangat kompleks, mengandung polipeptida yang biasanya membentuk suatu siklik.

Turunan lincosamides adalah antibiotik yang mengandung sulfur yang merupakan senyawa bekteriostatik, tetapi pada kadar yang tinggi bersifat bakterisid. Turunan lincosamides dapat mengikat secara kuat ribosom subunit 50-S bakteri dan menghambat reaksi enzim peptidil transferase sehingga mencegah pembentukan ikatan peptida dan menghambat sintesis protein bakteri.

Turunan polien, contohnya amphotericin-B, candicidin, dan nystatin dikarakterisasi oleh adanya cincin besar yang mengandung lakton dan ikatan rangkap yang terkonjugasi. Antibiotik ini tidak mempunyai aktivitas antibakteri atau anti riketsia, tetapi aktif terhadap jamur dan yeast. Biasanya antibiotik polien digunakan sebagai anti jamur.

Turunan ansamycin yaitu rifampicin yang sering digunakan sebagai obat antituberkulosis, pada umumnya menimbulkan toksisitas tinggi dan hanya rifampicin yang digunakan dalam klinik.

Turunan anthracycline yaitu daunorubicin HCl, doksorubicin HCl, epirubicin, dan plicamycin (mithracin), adalah aglikon yang mengandung kromofor antrakuinon yang mirip dengan tetracycline. biasanya digunakan sebagai antikanker (Siswandono,2008).

Antibiotik fosfomicyn memiliki spektrum aktivitas yang luas dan bersifat bakterisidal terutama digunakan untuk infeksi bakteri positif dan Gram-negatif. Antibiotik ini digunakan sebagai terapi osteomyelitis, infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, sepsis, serta meningitis yang disebabkan oleh Staphylococcus, Enterococcus faecalis dan Escherichia coli.( Schmitz,2008)


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4 Ceftriaxone

Sumber: www. drugbank.com

Ceftriaxone adalah antibiotik golongan chepalosporins generasi ketiga yang memiliki spektrum antibakteri yang lebih luas dibanding generasi sebelumnya dan aktif terhadap bakteri Gram-negatif yang telah resisten, lebih tahan terhadap Beta-laktamase, tetapi kurang aktif terhadap bakteri Gram-positif (Siswandono,2008)

2.4.1 Efek Samping (Theodorus, 1996)

Reaksi pada darah, kelainan saluran pencernaan, reaksi kulit

2.4.2 Dosis (Tjay, 2002)

Pasien dewasa dan anak berusia lebih dari 12 tahun (atau berat badan lebih dari 50 kg) adalah 1-2 gram sekali sehari, jika dengan infeksi berat dosis dapat ditingkatkan sampai 4 gram sekali sehari. Dosis untuk anak berusia 15 hari - 12 tahun adalah 20-80 mg/kg berat badan sekali sehari. Bayi baru lahir berusia kurang dari 2 minggu diberikan dosis 20-50 mg/kg berat badan sekali sehari.

2.4.3 Farmakokinetik (Ganiswarna,1995)

Antibiotik ceftriaxone diabsorpsi dengan baik setelah pemberian intramuskular kemudian didistribusikan secara luas menembus plasenta dan memasuki ASI dalam konsentrasi rendah dan sebagian dimetabolisme serta dieksresikan melalui urin.


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4.4 Mekanisme Kerja (Mycek,2001).

Mekanisme kerja chepalosporins (ceftriaxone) sebagai antimikroba yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel, dimana dinding sel berfungsi

mempertahankan bentuk mikroorganisme dan “menahan” sel bakteri, yang

memiliki tekanan osmotik yang tinggi di dalam selnya. Tekanan di dalam sel pada bakteri Gram-positif 3-5 kali lebih besar daripada bakteri Gram-negatif. Kerusakan pada dinding sel (misalnya oleh lisozim) atau hambatan pembentukannya dapat mengakibatkan lisis pada sel.

2.4.5 Mekanisme Resistensi Ceftriaxone (Pratiwi,2008)

Terjadinya resistensi bakteri terhadap ceftriaxone dapat disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme secara alami. Contohnya adalah Staphylococcus dan bakteri lainnya yang mempunyai enzim penicillinase yang dapat menguraikan penicillin dan chepalosporins.

2.5 Ciprofloxacin

Sumber: www.drugbank.com

Ciprofloxacin digunakan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, seperti E.coli, P. mirabilis, Klebsiella sp, Shigella sp, Enterobacter, Haemophylus sp, Chlamydia sp, Salmonella sp,Pseudomonas aeruginosa, serta bakteri Gram-positif tertentu, seperti Staphylococcus sp dan Streptococcus sp. (Siswandono, 2008)

2.5.1 Efek Samping (Tjay, 2002)


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.5.2 Dosis (Tjay, 2002)

Pada ISK secara oral 2 dd 125-250mg dan dosis infus secara intravena 2 dd 100 mg.

2.5.3 Farmakokinetik (Tjay, 2002)

Resorpsinya baik dengan BA (bioavailabilitas) kurang lebih 70% dan kadar plasmanya maksimal tercapai 0,5-1,5 jam setelah penggunaan oral. PP (protein plasma)-nya kurang lebih 30%. Di metabolisme menjadi 4-metabolit aktif yang dieksresi melalui urin (55%) dan feses (39%). Plasma t1/2 nya 3-5 jam dan bisa mencapai kira-kira 8 jam pada ganguan fungsi ginjal yang serius.

2.5.4 Mekanisme Kerja (Mycek,2001)

Mekanisme kerja pada antibiotik siprofloksasin dengan menghambat sintesis asam nukleat dimana antibiotik golongan ini dapat masuk ke dalam sel dengan cara difusi pasif melalui kanal protein terisi air (porins) pada membran luar bakteri secara intra seluler, secara unik obat-obat ini menghambat replikasi DNA bakteri dengan cara mengganggu kerja DNA girase (topoisomerase II) selama pertumbuhan dan reproduksi bakteri.

2.5.5 Mekanisme Resistensi Ciprofloxacin (Pratiwi,2008)

Antibiotik golongan fluoroquinolones seperti halnya ciprofloxacine yang terikat pada subunit β enzim DNA girase, dan memblok aktivitas enzim yang essensial dalam menjaga supercoiling DNA dan penting dalam proses replikasi DNA. Mutasi pada gen pengkode DNA girase menyebabkan diproduksinya enzim yang aktif namun, tidak dapat diikat oleh fluoroquinolones

2.6 Resistensi (Louise, 2003)

Resistensi adalah suatu keadaan yaitu pengaruh obat anti infeksi terhadap bakteri yang mengakibatkan berkurangnya khasiat antibiotik atau bakteri tersebut tidak sensitif oleh perlakuan obat anti infeksi.


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.6.1 Mekanisme terjadinya Resistensi (Pratiwi,2008)

Mekanisme resistensi bakteri dapat dibedakan menjadi resistensi primer dan sekunder.

Resistensi primer (bawaan) merupakan resistensi yang menjadi sifat alami. Hal ini disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga secara alami mikroorganisme tersebut dapat menguraikan antibiotik.

Resistensi sekunder (dapatan) diperoleh akibat kontak dengan agen antibakteri dalam waktu yang cukup lama dengan frekuensi yang tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme, mekanisme ini juga dapat berlangsung akibat adanya mekanisme adaptasi atau penyesuaian aktivitas metabolisme mikroorganisme untuk melawan efek obat, contohnya dengan perubahan pola enzim yang dapat menguraikan antibiotik.

Resistensi opisomal disebabkan oleh faktor genetik diluar kromosom. Beberapa bakteri memiliki faktor resisten pada plasmidnya yang dapat menular pada bakteri lain yang memiliki kaitan spesies melalui kontak sel secara konjugasi maupun transduksi.

2.7 Pengambilan Spesimen Urin (Nasronudin,2007) a. Urin kateter

Biasa dilakukan pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit dan dipasang kateter jangka panjang (indwelling catheter). Pengambilan spesimen menggunakan kateter adalah berisiko memasukkan bakteri. Jangan mengambil spesimen dari kantong kateter urin (bed side catheter bag)

Pengambilan dilakukan dengan cara mengambil urin dari catheter port setelah dilakukan disinfeksi dengan antiseptik dan alkohol. Jika kateter yang tidak mempunyai catheter port jepitlah kateter (jangan lebih lama dari 30 menit) kemudian cari tempat diatasnya, lakukan disinfeksi dengan menggunakan spuit sekali pakai.

Berkenaan dengan cara pembiakan urin yang khusus, jangan lupa member label yang benar, khususnya waktu pengambilan urin.


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Urin porsi tengah (clean catch urine)

Pengambilan urin dengan cara ini paling banyak diterapkan karena mudah. Namun jika kurang hati-hati, banyak terjadi pencemaran dari flora sekitar sehingga bisa mengaburkan hasil pemeriksaan mikrobiologis.

Pengambilan dan penampungan urin porsi tengah sebaiknya dilakukan pada pagi hari dengan membuang 1/3 aliran urin pertama dan terakhir. Bahan yang dibutuhkan yaitu botol steril bertutup, sabun medis, kasa atau kapas steril, dan akuades atau air.

Sebelum dilakukan pengambilan urin sebaiknya pasien diberitahu dahulu, baik secara lisan maupun tertulis cara pengambilan urin yang benar agar spesimen tidak tercemar. Cara pengambilan urin pada wanita yaitu diawali dengan mempersiapkan kasa atau kapas steril untuk membersihkan daerah vagina dan muara uretra. Satu potong kasa atau kapas steril yang telah diberi air sabun, dua potong kasa steril yang telah dibasahi air dan sepotong lagi dibiarkan kering. Pada saat membersihkan genital sebaiknya jangan menggunakan larutan antiseptik. Kedua labia dipisahkan dengan dua jari dan daerah vagina dibersihkan dari arah depan ke belakang dengan potongan kasa steril yang mengandung sabun kemudian bilas daerah tersebut dari arah depan kebelakang dengan potongan kasa yang dibasahi dengan air. Selama pembilasan, kedua labia tetap dipisahkan dengan dua jari dan jangan biarkan labia menyentuh muara uretra. Pembilasan dapat dilakukan sekali lagi, kemudian daerah tersebut dikeringkan dengan potongan kasa steril yang kering.

Taruh botol didepan genital dan jangan menyentuh tepi botol, pada saat berkemih buang 1/3 urin pertama, dan berikutnya ditampung sebelum 1/3 urin terakhir, botol harus segera ditutup untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Wadah diberi identitas pasien dan urin dikirim segera ke laboratorium.

Cara pengambilan urin dan penampungan urin porsi tengah pada pria, diawali dengan mempersiapkan beberapa potongan kasa steril untuk membersihkan daerah penis dan muara uretra. Satu potong kasa steril dibasahi dengan air sabun, dua potong kasa steril dibasahi dengan air dan sepotong lagi dibiarkan dalam keadaan kering. Pada saat pembersihan daerah penis dan muara uretra sebaiknya jangan menggunakan antiseptik, tarik prepusium ke belakang


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan satu tangan dan daerah ujung penis dibersihkan dengan kasa yang dibasahi air sabun. Ujung penis dibilas dengan kasa yang dibasahi air. Pembilasan dapat dilakukan kembali, lalu daerah tersebut dikeringkan dengan potongan kasa steril yang kering. Buang kasa yang telah dipakai ke tempat sampah.

Dengan tetap menahan prepusium ke belakang, mulailah berkemih, pada saat berkemih buang 1/3 urin pertama, dan berikutnya ditampung sebelum 1/3 urin terakhir, tutup segera botol untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Identitas pasien ditulis pada wadah tersebut dan kirim segera ke laboratorium. Sampel harus diterima satu jam setelah penampungan dan sampel harus sudah di lakukan pemeriksaan dalam waktu 2 jam. Jika ada penundaan dalam pemeriksaan, urin harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 4oC

c. Urin aspirasi suprapubik

Pengambilan urin secara suprapubik sebenarnya paling baik, hanya dalam penerapan klinis banyak hambatan baik bagi penderita maupun petugas laboratorium atau petugas medis seperti timbulnya rasa kurang nyaman bagi penderita karena dilakukan langsung dari kandung kemih melalui kulit dan dinding perut dengan semprit dan jarum steril. Yang penting dalam tindakan punksi suprapubik ini adalah tindakan antisepsis yang dilakukan oleh tenaga medis dengan baik pada daerah yang akan ditusuk. Hanya saja untuk biakan anaerobik, cara ini adalah yang memenuhi syarat. Pengambilan dengan cara ini dilakukan langsung dari kandung kemih melalui kulit dan dinding perut dengan semprit dan jarum steril pada punksi suprapubik ini adalah tindakan antisepsis yang baik pada daerah yang akan disuntikan untuk diambil urinnya, anestesi lokal pada daerah yang akan disuntik dan keadaan asepsis harus selalu dijaga. Bila keadaan asepsis baik, maka bakteri apapun dan berapa pun jumlah koloni yang tumbuh pada biakan, dapat dipastikan merupakan penyebab ISK.


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.8 Pemeriksaan Mikrobiologi (SOP,2012)

2.8.1 Cara Pemeriksaan

Alat

Ose standar dari platina yang telah dikalibrasi dengan volume 0,001mL, Bunsen, inkubator

Bahan

Pewarna Gram, kuman kontrol positif atau negatif, media agar darah, media agar Mac Conkey

Cara kerja

Pertama, urin dikocok terlebih dahulu agar homogen, kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram, hasil Gram sementara di laporkan dengan menggunakan kuman kontrol meliputi jenis kuman dan leukosit per lapang pandang, selanjutnya urin yang telah ditempatkan pada botol steril dengan ose standar dari platina, yang telah dikalibrasi dengan volume 0,001, diinokulasikan dengan membuat satu garis lurus pada bagian tengah lempeng agar darah dan pada agar Mac Conkey membuat goresan tegak lurus pada garis pertama dengan menggunakan ose lain, selanjutnya agar darah dan Mac Conkey tersebut di inkubasikan pada suhu 35-37oC selama 24 jam, bila kuman tumbuh, dilakukan perhitungan jumlah koloni. Jumlah kuman per mL air kemih didapat dari hasil perkalian penghitungan jumlah koloni dikalikan dengan 1000.

2.8.2 Interpretasi Hasil (Kass 1957)

Cara perhitungan pertumbuhan koloni pada plate yaitu jumlah koloni pada plate dikalikan 1000. Bila bakteri < 1000/mL dinyatakan kontaminasi, bila jumlah bakteri 103-104/mL kemungkinan kontaminasi, bila jumlah bakteri 104-105/mL dinyatakan kemungkinan infeksi dan bila jumlah kuman > 105/mL dinyatakan infeksi.

Bila hasil hitung jumlah kuman termasuk kategori infeksi dan kemungkinan infeksi maka dilanjutkan dengan identifikasi dan uji resistensi. Bila hasil hitung jumlah kuman termasuk kategori kemungkinan kontaminasi atau ditemukan pertumbuhan tiga jenis bakteri, maka harus dilakukan biakan urin ulang. Biakan dikatakan “negatif”apabila tidak ada pertumbuhan bakteri.


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium mikrobiologi RSUP Fatmawati, di Jl. RS Fatmawati, Cilandak Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai November 2012.

3. 2 Rancangan Penelitian

Desain dalam penelitian ini adalah desain cross sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder untuk mengetahui resistensi dan sensitivitas antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin pada bakteri penyebab penyakit infeksi saluran kemih yang dilaksanakan di RSUP Fatmawati. Dengan desain tersebut diharapkan tujuan penelitian dapat tercapai.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi target dalam penelitian ini yaitu subjek yang telah didiagnosis berdasarkan gejala klinis oleh dokter di RSUP Fatmawati sebagai berikut:

 Seluruh subjek yang menderita ISK bagian atas maupun bagian bawah, seperti: cystitis, urethritis, pielonefritis

 Seluruh penyakit terkait ISK, seperti vesikolitiasis, retensio urin, BPH (benign prostat hyperplasia), CKD (cronic kidney disease).

 Seluruh ISK dengan penyakit penyulit/ penyerta, seperti anemia, bronkitis, DM (Diabetes Mellitus), CHF (Congestive heart failure) dll


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3.2 Sampel

Perhitungan sampel dilakukan sacara purposif didalam penelitian ini. Dengan besar sampel sebagai berikut:

Besar sampel (n) minimum untuk penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus:

n = Zα2 x PQ d2 keterangan:

n = besar sampel

Zα = deviat baku normal untuk α =1,96 (α= 0,05; Zα dua arah)

P = Proporsi = 0,5 Q = 1-P = 0,5 b

d = tingkatan ketepatan absolute = 0,1 sehingga akan didapat perhitungan sebagai berikut:

n = (1,96)2 x (0,5 x 0,5) =96,04 , jadi n = 100 orang (0,1)2

Jadi, besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah sebanyak 100 pasien penderita ISK yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien yang hasil diagnosisnya adalah infeksi saluran kemih (ISK) murni, ISK dengan penyakit terkait ISK dan ISK dengan penyakit penyulit/ penyerta. 2. Pasien yang menggunakan antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin

3. Pasien memiliki data kultur urin positif yang telah dilakukan uji resistensi dan sensitivitas


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Hasil kultur urin positif dengan penulisan spesies yang tidak lengkap 2. Kasus ISK dengan data uji resistensi dan sensitivitasnya tidak lengkap.

3.5 Langkah Penelitian 3.5.1 Alur Penelitian

3.5.2 Pengumpulan Data

1. Data sekunder dari hasil uji kultur urin penderita ISK

2. Data sekunder hasil uji zona hambat untuk melihat resistensi dan sensitivitas antibiotik terhadap bakteri yang berasal dari penderita ISK

3. Data sekunder yang di kumpulkan dari rekam medik hasil diagnosis penderita ISK secara retrospektif

Pengumpulan Data

Data Rekam Medis

Data Data Lab

Pengolahan Data

Analisis Data

Hasil

Interpretasi Pencatatan


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini, melalui proses hasil tinjauan awal di laboratorium pusat RSUP Fatmawati dan data yang dikumpulkan berupa :

 Data sekunder hasil pemeriksaan spesimen urin untuk melihat jumlah kuman > 105k/mL di mulai januari 2012

 Data sekunder hasil pengukuran resistensi bakteri ISK yang ditandai dengan zona hambat.

 Data sekunder status pasien yang di dapat dari rekam medis untuk melihat diagnosis umur, jenis kelamin, dan pengobatan pasien

3.5.3 Pengolahan Data

 Editing, peneliti melakukan pemeriksaan kembali dan memastikan bahwa semua data sudah sesuai dengan maksud yang diajukan.

 Coding, peneliti melakukan pengkodean untuk mempermudah peneliti memasukkan data yang diperoleh dari laboratorium dan rekam medis.

 Entry, peneliti memasukan data kedalam sistem komputer dengan menggunakan software SPSS v20.

 Cleaning, Peneliti melakukan pemeriksaan kembali data yang sudah dimasukkan kedalam sistem komputer untuk menghindari terjadinya ketidaklengkapan atau kesalahan data

3.5.4 Analisis Data

Data yang telah di input kedalam computer menggunakan software SPSS v20 akan dianalisis dengan analisa univariat dan bivariat sebagai berikut:

1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi pada variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen) yang diteliti. Variabel independen terdiri dari usia, jenis kelamin, variabel dependennya yaitu diagnosis ISK.


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dan untuk melihat kemaknaan antara variabel. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square dan dianalisis dengan tingkat kemaknaan 95% (α = 0.05). Bila P value ≤ 0.05 maka hasil uji statistik bermakna atau adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Bila P value > 0.05, maka hasil uji statistik tidak bermakna atau tidak adanya hubungan antara variabel independen dengan dependen.


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, diperoleh 350 data pasien yang memiliki hasil kultur positif dari catatan registrasi di Laboratorium Klinik Instalasi Patologi RSUP Fatmawati , terdapat 213 data pasien yang menderita ISK dan didapat 106 pasien yang masuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.

4.1.2 Tabel 1.Karakteristik Diagnosis Subjek Penelitian

Karakteristik Frekuensi Persentase ISK + Penyakit Terkait

ISK + Cystitis 27 25,5

ISK + Urethritis 7 6,6

ISK + Pielonefritis 4 3,8

ISK + Prostatitis 5 4,7

ISK + Vesikolitiasis 4 3,8

ISK + Retensio Urin 7 6,6

ISK + BPH 14 13,2

ISK + CKD 18 17,0

ISK + penyakit penyulit/ penyakit penyerta

ISK + Anemia 2 1,9

ISK + DM 8 7,5

ISK + CHF 3 2,8

ISK + Sepsis 3 2,8

ISK + Bronkitis 1 0,9

ISK + Kolestasis 1 0,9

ISK + Ca colon metastasis 1 0,9

ISK + Hipertensi 1 0,9

Total 106 100,0

Ket: BPH (benign prostat hyperplasia), CKD (cronic kidney disease), DM (Diabetes Mellitus), CHF (Congestive heart failure)


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa ISK dengan Cystitis memiliki persentase tertinggi 25,5% disusul ISK dengan CKD (17,0%) dan ISK dengan BPH (13,2%) .

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Tabel 2 Distribusi Subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin N %

Laki-Laki 59 55,7 Perempuan 47 44,3 Total 106 100,0

Pada tabel 2, menunjukkan bahwa dari 106 subjek penelitian, lebih banyak subjek laki-laki yang menderita infeksi saluran kemih (ISK) yaitu 55,7 %, dibandingkan dengan subjek perempuan.

4.2.2 Tabel 3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan usia

Usia N %

< 20 12 11,3

21-30 8 7,5

31-40 6 5,7

41-50 14 13,2

51-60 20 18,9

≥61 46 43,4

Total 106 100,0

Dari tabel 3 menunjukkan bahwa dari 106 pasien, penderita ISK terbanyak yaitu pada kelompok umur ≥ 61 tahun yaitu sebanyak 43,4%.


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.2.3 Tabel 4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan antibiotik

Antibiotik N %

CRO 56 52,8

CIP 50 47,2

Total 106 100,0

Ket: CRO: ceftriaxone; CIP: ciprofloxacin

Dari tabel 4, Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan 106 subjek, paling banyak 56 subjek yang menggunakan ceftriaxone dan 50 subjek yang menggunakan ciprofloxacin di RSUP Fatmawati.

4.2.4 Tabel 5 Distribusi subjek penelitian berdasarkan bakteri penyebab ISK

Bakteri N %

Gram-negatif

Escherichia coli 62 58,5

Klebsiella pneumonia 14 13,2 Pseudomonas aeruginosa 6 5,7 Enterobacter aerogenes 5 4,7 Citrobacter koserii 1 0,9 Acinetobacter baumanii 2 1,9 Pseudomonas luteola 3 2,8 Enterobacter cloacae 1 0.9 Serratia marcescens 1 0,9

Klebsiella ozaenae 2 1,9

Raoultella ornithynolytica 1 0,9 Morganella morganii 1 0,9 Burkholderia cepacia 1 0,9

Gram-positif

Staphylococcus epidermidis 3 2,8 Staphylococcus saprophyticus 3 2,8


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari tabel 5, diatas menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan pada subjek ISK. Kebanyakan adalah bakteri Escherichia coli (58,5%), diikuti oleh Klebsiella pneumonia (13,2%), Pseudomonas aeruginosa (5,7%) dan Enterobacter aerogenes (4,7%). Disamping itu ditemukan juga bakteri Gram-positif (2,8%) yaitu Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus saprophyticus.

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1 Tabel 6 Hasil diagnosis hubungan antara penyakit terkait dan penyerta pada ISK dengan jenis kelamin

Diagnosis

Jumlah N

Jenis Kelamin

Chi-Square P Laki-laki Perempuan

N % N %

0,070 ISK + Penyakit

terkait

85 51 86,4 34 72,3

ISK + Penyakit penyerta

21 8 13,5 13 27,6

Total 106 59 100,0 47 100,0

Dari tabel 6, menunjukkan bahwa subjek dengan diagnosis ISK dengan penyakit terkait lebih banyak diderita laki-laki (86,4%) dibandingkan subjek perempuan (72,3%). Dari hasil uji statistik menggunakan metode Chi-Square pada kategori jenis kelamin dengan ISK, didapatkan nilai P = 0,070 (P > 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna atau signifikan antara penyakit terkait dan penyerta pada ISK dengan jenis kelamin.


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.3.2 Tabel 7 Hasil diagnosis hubungan antara penyakit terkait dan

penyerta pada ISK dengan usia

Usia

Jumlah N

Diagnosis Chi Square

P ISK +

penyakit terkait

ISK + Penyakit penyerta

N % N % 0,483

< 20 12 9 10,6 3 14,3

21-30 8 7 8,2 1 4,8

31-40 6 6 7,0 0 0

41-50 14 9 10,6 5 23,8

51-60 20 17 20,0 3 14,3

≥ 61 46 37 43,5 9 42,8

Total 106 85 100,0 21 100,0

Dari tabel 7, menunjukkan bahwa penderita ISK dengan penyakit terkait memiliki persentase tertinggi (43,5%) pada subjek berusia ≥ 61 tahun. Dari hasil uji statistik menggunakan metode Chi-Square pada kategori diagnosis ISK dengan usia, didapatkan nilai P = 0,483 (P > 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara diagnosis ISK dengan usia.


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.4 Pola Kepekaan Bakteri

4.4.1 Tabel 8 Pola kepekaan bakteri terhadap antibiotik ceftriaxone dan ciprofloxacin

Bakteri Jumlah

N

Antibiotik

CRO CIP

N R I S N R I S

Bakteri Gram–negatif

Escherichia coli 62 36 20 (55,5%)

2 (5,5%)

14 (38,9%)

26 22 (84,6%)

0 4

(15,4%) Klebsiella pneumonia 14 6 6

(100%)

0 0 8 4 (50,0%) 2 (25,0%) 2 (25,0%) Pseudomonas aeruginosa

6 3 1

(33,3%) 1 (33,3%)

1 (33,3%)

3 0 0 3 (100%) Enterobacter aerogenes 5 3 2

(66,7%) 1 (33,3%)

0 2 2

(100,0%)

0 0

Citrobacter koserii 1 1 1 (100,0%)

0 0 0 0 0 0

Acinetobacter baumanii 2 1 1 (100,0%)

0 0 1 1

(100,0%)

0 0

Pseudomonas luteola 3 2 2 (100,0%)

0 0 1 0 0 1

(100,0%) Enterobacter cloacae 1 1 1

(100,0%)

0 0 0 0 0 0

Serratia marcescens 1 1 1 (100,0%)

0 0 0 0 0 0

Klebsiella ozaenae 2 0 0 0 0 2 2

(100,0%)

0 0

Raoultella ornithynolytica

1 0 0 0 0 1 1

(100,0%)

0 0

Morganella morganii 1 0 0 0 0 1 1

(100,0%)

0 0

Burkholderia cepacia 1 0 0 0 0 1 0 0 1

(100,0%) Bakteri Gram-Positif

Staphylococcus epidermidis

3 1 1

(100,0%)

0 0 2 1

(50,0%)

0 1

(50,0%) Staphylococcus

saprophyticus

3 1 1

(100,0%)

0 0 2 2

(100,0%)

0 0


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Profil resistensi antibakteri dirangkum dalam (Tabel 8). Terlihat bahwa tingkat resistensi bakteri terhadap antibiotik ceftriaxone dari tabel

8 yaitu dengan persentase (100,0%) pada bakteri Klebsiella pneumonia, Citrobacter koserii, Acinetobacter baumanii, Pseudomonas luteola, Enterobacter cloacae, Serratia marcescens, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus saprophyticus.

Persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotik ceftriaxone yaitu pada bakteri Escherichia coli (38,9%) dan Pseudomonas aeruginosa (33,3%),

Persentase resistensi bakteri terhadap antibiotik ciprofloxacin yaitu dengan persentase (100,0%) pada bakteri Enterobacter aerogenes, Acinetobacter baumanii, Klebsiella ozaenae, Raoultella ornithynolytica, Morganella morganii, Staphylococcus saprophyticus dan diikuti bakteri Escherichia coli (84,6%)

Persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotik ciprofloxacin yaitu dengan persentase (100,0%) terjadi pada bakteri Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas luteola, dan Burkholderia cepacia.

4.5 Pembahasan

4.5.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Diantaranya yaitu:

1. Penelitian ini menggunakan data sekunder sehingga tidak dapat melihat zona pola bakteri secara langsung yaitu peneliti tidak melakukan sendiri atau melihat secara langsung pola bakteri yang digambarkan pada media cakram. 2. Dalam penelitian ini memiliki keterbatasan waktu penelitian sehingga data

yang diperoleh hanya berasal dari medical record dengan informasi terbatas dan apa adanya sesuai yang tertera.

3. Distribusi pola bakteri ISK terhadap masing-masing kelompok antibiotik tidak merata dan per kelompok jumlahnya amat sedikit, sehingga pola kepekaan bakteri yang dihasilkan terhadap antibiotika belum bisa dianggap mewakili kelompoknya.


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.5.2 Karakteristik Diagnosis Subjek Penelitian

Dari tabel 1, dapat dilihat bahwa ISK dengan cystitis memiliki persentase tertinggi 25,5%, ISK dengan CKD (17,0%), ISK dengan BPH (13,2%) dan diikuti ISK dengan DM (7,5%). Menurut Tambayong pada tahun 2000, cystitis atau radang kandung kemih, lebih sering terdapat pada wanita daripada pria karena dekatnya muara uretra dan vagina dengan daerah anal. Namun bukan berarti tidak terjadi pada laki-laki. Terjadinya CKD merupakan penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia. Kondisi ini dapat disebabkan oleh glomerulonephritis kronis; pielonefritis, hipertensi tak terkontrol, obstruksi saluran perkemihan, bahkan infeksi (Baughman, Diane C. 2000). Hal ini tidak berbeda dengan subjek ISK yang ditemukan pada penelitian ini, bahwa ada kemungkinan ISK dengan CKD disebabkan oleh pielonefritis, obstruksi saluran kemih ataupun penderita karena infeksi. Selain itu, peneliti juga menemukan ISK dengan BPH yang merupakan adanya pembesaran prostat jinak, dibawah pengaruh testosterone dan usia, terjadinya pembesaran prostat dapat menyebabkan penyumbatan keluarnya aliran air kemih (Schwartz.2000).

Beberapa penyakit penyerta ISK yang terdapat pada penelitian ini yaitu anemia, diabetes mellitus, Jantung kongestif (Congestive heart failure,CHF), kolestasis, sepsis, bronkitis, yang berhubungan dengan defek imun spesifik sehingga menyebabkan rentan terhadap ISK.

4.5.3 Analisis Univariat

Distribusi subjek penelitian berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil analisis terhadap karakteristik subjek menurut jenis kelamin, dari 100 subjek penelitian, diperoleh jumlah subjek laki-laki yang menderita ISK lebih banyak dibandingkan dengan subjek perempuan. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Samirah pada tahun 2004 di rumah sakit Dr.Wahidin Sudirohusodo yang menyebutkan bahwa dari 99 penderita ISK yang terbanyak ialah subjek perempuan karena dari segi anatomi salah satu penyebab wanita lebih sering terinfeksi yaitu karena uretra wanita lebih pendek


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dibandingkan laki-laki sehingga bakteri kontaminan lebih mudah mencapai kandung kemih. Faktor lain yang berperan adalah kecenderungan wanita lebih sering menahan urin serta iritasi pada uretra. Meskipun jarang terjadi pada pria namun, infeksi saluran kemih dapat terjadi pada pria usia lanjut, dengan penyebab yang paling sering terjadi adalah prostatitis atau hiperplasia prostat (Corwin,2000).

Distribusi subjek penelitian berdasarkan usia

Hasil analisis terhadap karakteristik subjek menurut usia, Pada penelitian ini dari 106 pasien dengan spesimen urin yang berasal penderita ISK terbanyak

yaitu pada usia ≥ 61 tahun. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Samirah pada tahun 2004 di rumah sakit Dr.Wahidin Sudirohusodo yang menyebutkan bahwa subyek ISK terbanyak pada usia < 16 tahun. Dari hasil penelitian didapat usia ≥ 61 tahun lebih banyak menderita ISK, kemungkinan terjadinya infeksi pada usia lanjut, karena pada usia lanjut terjadinya penurunan daya tahan tubuh yang mengakibatkan sistem imunnya menjadi kurang efektif, sehingga proses penuaan membuat lansia lebih rentan terhadap infeksi, penggunaan kateter juga memudahkan subjek lebih rentan terhadap ISK, selain itu faktor lainnya adalah perubahan sistem perkemihan menyebabkan pengosongan kandung kemih menjadi kurang efektif sehingga dapat urin yang tetap berada di kandung kemih dapat menyebabkan infeksi saluran kemih.

Distribusi subjek penelitian berdasarkan bakteri penyebab ISK

Dari hasil penelitian ini di RSUP Fatmawati, diperoleh bakteri tertinggi yang dapat menyebabkan ISK adalah bakteri Escherichia coli (58,5%). Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianto pada tahun 2009 di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI menyatakan bahwa bakteri tertinggi menyebabkan ISK adalah Escherichia coli (39.9%). Hal ini kemungkinan terjadi karena bakteri Escherichia coli merupakan flora normal yang patogen pada manusia sehingga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih (Brooker,2009)


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.5.4 Analisis Bivariat

Hubungan antara ISK dengan jenis kelamin

Dari hasil uji statistik menggunakan metode Chi-Square didapatkan nilai P = 0,070 (P > 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa pada penelitian ini, tidak ada hubungan yang signifikan antara ISK dengan jenis kelamin. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Eny pada tahun 2012 yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan gejala ISK (P= 0,887). Namun berbeda dengan penelitian Kolawole et.al pada tahun 2009 yang mengatakan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan ISK. Hal ini menunjukkan bahwa ISK dapat diderita oleh subjek perempuan maupun laki-laki sesuai dengan ISK yang terkait.

Hubungan antara ISK dengan usia

Dari hasil uji statistik menggunakan metode Chi-Square pada kategori ISK dengan usia, didapatkan nilai P= 0,483 (P> 0,05), maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara diagnosis ISK dengan usia. Penelitian ini juga tidak berbeda dengan penelitian Rizki pada tahun 2012 yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ISK dengan usia (P= 0,372). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi saluran kemih dapat mengenai siapa saja tanpa batas usia.

4.5.5 Profil Bakteri Penyebab ISK dan Kepekaan Bakteri terhadap Antibiotika

Berdasarkan hasil penelitian, bakteri Gram-negatif lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan bakteri Gram-positif.Dari 350 kultur positif, 213 pasien diantaranya adalah penderita ISK dan terdapat 106 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi, 100 diantaranya disebabkan oleh bakteri Gram-negatif dan 6 sisanya disebabkan bakteri Gram-positif. Dari hasil penelitian ini pula menunjukkan bahwa, bakteri yang sering ditemukan pada penderita infeksi saluran kemih yaitu Escherichia coli (58,5%) kemudian diikuti bakteri Klebsiella pneumonia (13,2%). Hal seperti ini tidak berbeda dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Firdaus pada tahun 2009 menyatakan bahwa bakteri tersering


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Lanjutan)

No Antibiotik

Spesies Bakteri

R

I

S

8

Cefpirome 30µg

CPO

≤ 16

17-19

≥ 20

II

Gol Quinolone

1

Ciprofloxacin 5µg

CRO

Enterobacteriaceae

P.aeruginosa

Acinetobacter

Staphylococci

Enterococci

Haemophilus spp

N.gonorrhoeae

N. meningitidis

≤ 15

-

≤ 27

≤ 32

16-20

-

28-40

33-34

≥ 21

≥ 21

≥ 41

≥ 35

2

Ofloxacin 5µg

OFX

Enterobacteriaceae

P.aeruginosa

Acinetobacter

Staphylococci

Staphylococcus spp

Haemophilus spp

N.gonorrhoeae

S. pneumoniae

Other Streptococci

≤ 12

14

-

≤ 24

≤ 12

13-15

15-17

-

25-30

13-15

≥ 16

18

≥ 16

≥ 31

≥ 16

3

Levofloxacin 5µg

LEV/LVX

Enterobacteriaceae

P.aeruginosa

Acinetobacter

Staphylococci

Enterococci

Staphylococcus spp

Haemophilus spp

S. pneumoniae

Other Streptococci

≤ 13

≤ 15

-

≤ 13

14-16

16-18

-

14-16

≥ 17

≥ 19

≥ 17

≥ 17

4

Moxifloxacin 5µg

MXF/MFX

Enterobacteriaceae

Staphylococcus spp

H influenza

H. parainfluenzae

S. pneumoniae

≤ 20

≤ 15

-

≤ 14

21-23

16-18

-

15-17

≥ 24

≥ 19

≥ 18

≥ 18

Sumber: CLSI,2007


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 5.

Data Hasil Uji Statistik

Analisis Univariat

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Diagnosa 106 1 16 5,50 4,203

jenis kelamin 106 1 2 1,44 ,499

Usia 106 1 400 57,40 42,122

Antibiotik 106 13 25 18,66 6,019

Bakteri penyebab ISK 106 1 17 3,25 4,070

Pola resistensi 106 1 3 1,57 ,873

Valid N (listwise) 106

Frequencies

Statistics

Usia Jenis kelamin

Diagnosa Antibiotik Pola Resistensi

Bakteri penyebab

ISK

N Valid 106 106 106 106 106 106

Missing 0 0 0 0 0 0

Mean 57,40 1,44 5,50 18,66 1,57 3,25

Std. Deviation 42,122 ,499 4,203 6,019 ,873 4,070

Minimum 1 1 1 13 1 1

Maximum 400 2 16 25 3 17

Percentiles

25 43,25 1,00 2,75 13,00 1,00 1,00

50 59,00 1,00 4,00 13,00 1,00 1,00


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Lanjutan)

Frequency Table

Diagnosis

Diagnosis Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

ISK+ Penyakit terkait 85 80,2 80,2 80,2

ISK+Penyakit penyerta 21 19,8 19,8 100,0

Total 106 100,0 100,0

Usia

Usia Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

< 20 tahun 12 11,3 11,3 11,3

21-30 tahun 8 7,5 7,5 18,9

31-40 tahun 6 5,7 5,7 24,5

41-50 tahun 14 13,2 13,2 37,7

51-60 tahun 20 18,9 18,9 56,6

> 61 tahun 46 43,4 43,4 100,0

Total 106 100,0 100,0

Antibiotik

Antibiotik Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

CRO 56 52,8 52,8 52,8

CIP 50 47,2 47,2 100,0

Total 106 100,0 100,0

Pola Resistensi

Pola Resistensi Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Resisten 72 67,9 67,9 67,9

Intermediet 6 5,7 5,7 73,6

Sensitif 28 26,4 26,4 100,0


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Lanjutan)

Bakteri Penyebab ISK

Bakteri Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Escherichia coli 62 58,5 58,5 58,5

Klebsiella pneumoniae 14 13,2 13,2 71,7

Pseudomonas aeruginosa 6 5,7 5,7 77,4

Enterobacter aerogenes 5 4,7 4,7 82,1

Citrobacter koserii 1 ,9 ,9 83,0

Acinetobacter baumanii 2 1,9 1,9 84,9

Pseudomonas luteola 3 2,8 2,8 87,7

Staphylococcus epidermidis 3 2,8 2,8 90,6

Enterobacter cloacae 1 ,9 ,9 91,5

Staphylococcus

saprophyticus 3 2,8 2,8 94,3

Serratia marcescens 1 ,9 ,9 95,3

Klebsiellla ozaenae 2 1,9 1,9 97,2

Klebsiella ornithinolytica 1 ,9 ,9 98,1

Morganella morganii 1 ,9 ,9 99,1

Burkholderia cepacia 1 ,9 ,9 100,0

Total 106 100,0 100,0

Analisis Bivariat

Hasil diagnosis hubungan antara penyakit terkait dan penyerta pada ISK

dengan jenis kelamin

Crosstabs

Case Processing Summary

Diagnosis terhadap Jenis Kelamin

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Diagnosis terhadap Jenis Kelamin

Count

Diagnosis Total

ISK+ Penyakit terkait

ISK+Penyerta

Jenis Kelamin

Laki-Laki 51 8 59

Perempuan 34 13 47

Total 85 21 106

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3,274a 1 ,070

Continuity Correctionb 2,447 1 ,118

Likelihood Ratio 3,264 1 ,071

Fisher's Exact Test ,088 ,059

Linear-by-Linear

Association 3,243 1 ,072

N of Valid Cases 106

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,31. b. Computed only for a 2x2 table


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Lanjutan)

Hasil diagnosis hubungan antara penyakit terkait dan penyerta pada ISK

dengan Usia

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Diagnosis terhadap Usia 106 100,0% 0 0,0% 106 100,0%

Diagnosis terhadap Usia

Count

Usia Diagnosis Total

ISK+ Penyakit terkait

ISK+ penyakit Penyerta

< 20 tahun 9 3 12

21-30 tahun 7 1 8

31-40 tahun 6 0 6

41-50 tahun 9 5 14

51-60 tahun 17 3 20

> 61 tahun 37 9 46

Total 85 21 106

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4,477a 5 ,483

Likelihood Ratio 5,369 5 ,372

Linear-by-Linear Association ,009 1 ,923

N of Valid Cases 106

a. 6 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,19.


Dokumen yang terkait

Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan

3 130 66

Pola Resistensi Antimikroba pada Infeksi Saluran Kemih yang disebabkan Bakteri Penghasil ESBL dan Non-ESBL

4 91 159

Pola Kuman Penyebab Infeksi Saluran Kemih Dan Sensitivitasnya Terhadap Antibiotika Di RSUP H.Adam Malik Periode Januari 2009-Desember 2009.

1 45 75

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GEN RESISTENSI CIPROFLOXACIN PADA ISOLAT ESCHERICHIA COLI MULTIDRUGS RESISTANCE DARI PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSUD ABDOEL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG

3 36 87

POLA KUMAN DAN RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN Pola Kuman Dan Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik Pada Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Periode

0 10 17

POLA KUMAN DAN RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN Pola Kuman Dan Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik Pada Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Periode

0 5 12

POLA RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) DI RUMAH SAKIT X Pola Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik pada Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode Januari 2013-Se

0 3 22

POLA RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) Pola Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik pada Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode Januari 2013-September 2015.

0 2 14

PENDAHULUAN Pola Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik pada Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode Januari 2013-September 2015.

0 4 9

DAFTAR PUSTAKA Pola Resistensi Bakteri terhadap Antibiotik pada Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode Januari 2013-September 2015.

0 3 4