BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum. Demokrasi dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan melalui proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana seluruh kelompok yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang harus dihormati dan dihargai oleh semua pihak.

  Kata demokrasi berangkat dari dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan. Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah

  

  kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Demokrasi sendiri merupakan sistem kenegaraan yang sangat populer di dunia, banyak Negara menerapkan prinsip demokrasi sebagai landasan dalam menjalankan roda pemerintahannya, demokrasipun dianggap sebagai bentuk kehidupan bernegara yang ideal, populer dan menjadi idaman bagi masyarakat di seluruh dunia, sekalipun Negara itu monarki

  

  absolute seperti Arab Saudi, Thailand, Jepang dan Inggris. Demikian pula dengan Indonesia yang sejak tahun 1945 telah banyak melakukan praktik-praktik kenegaraan dengan berbagai macam label demokrasi, mulai dari demokrasi parlementer,

  1 Prof.Dr.Hafied Cangara.2009. Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali 2 Pers. hal.63.

  Ibid. Hal.66. demokrasi liberal, demokrasi terpimpin sampai demokrasi pancasila, meskipun dalam pelaksanaannya cenderung masih otoriter dan liberalisme.

  Bentuk demokrasi itupun dapat tercermin dalam pelaksanaan pemilihan umum di suatu Negara tertentu untuk memilih pejabat Negara sebagai pemimpin, pemilihan umum yang demokratis menjadi arena pertarungan para anggota masyarakat untuk dipilih dan memilih calon yang akan menduduki jabatan Negara mulai dari presiden dan wakil presiden, anggota parlemen, utusan daerah, gubernur dan wakil gubernur sampai kepada bupati/walikota dan wakil bupati/walikota. Proses pencalonan juga harus terbuka sehingga setiap warga Negara memiliki akses dan berhak untuk mencalonkan diri sesuai syarat-syarat yang diterapkan oleh undang-

   undang yang berlaku.

  Salah satu tujuan dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri adalah untuk mensejahterakan rakyat. Dalam hal ini untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus berupaya untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek baik itu dibidang ekonomi, politik, sosial dan budaya secara merata mulai dari pemerintah pusat sampai ditingkat daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terjadinya ketidakmerataan sistem pembangunan pada masa orde baru menyebabkan banyaknya pemekaran daerah yang tercipta pasca orde reformasi sebagai wujud dari pelaksanaan sistem demokrasi, untuk itulah pemerintah pusat memberikan wewenang pada pemerintah daerah dengan mewujudkan sistem desentralisasi yakni penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  Tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi yakni memberi kesempatan agar daerah memiliki kepercayaan diri untuk menumbuhkan kemampuannya agar bisa 3 mengelola sumber daya yang dimiliki, guna memberi kesejahteraan kepada warganya Ibid. Hal.72. dengan pemberian pelayanan publik yang lebih dekat dan cepat tanpa bergantung

  

  kepada pusat. Maka diperlukanlah pemimpin daerah yang kita sebut sebagai gubernur (ditingkat provinsi), serta bupati/walikota (ditingkat kabupaten/kota). Pemilihan kepala daerah seperti gubernur/wakil gubernur maupun bupati/walikota tentu dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sebuah sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung sendiri merupakan fenomena kenegaraan baru yang terjadi di Indonesia, artinya pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya, pemilihan pemimpin daerah ini dipilih oleh DPRD, akan tetapi karena adanya perubahan yang terjadi pada masa reformasi tahun 1998 maka pemilihan umum kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

  Undang-undang ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

  Karena pada dasarnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih pemimpin daerah. Dengan kata lain, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung,

  

  bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi. Untuk itulah, pelaksanaan pilkada 4 langsung dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan 5 Ibid. Hal.73.

  Joko J.Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, SIstem dan Problema Penerapan di Indonesia. Pustaka Belajar. Hal.98. adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya. Sehingga muncullah konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja dengan ide dan konsep yang lama, melainkan telah bekerja

   dengan ide dan konsep yang baru.

  Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan berubah menjadi lebih baik lagi, pembaruan kabupaten juga berarti perombakan secara menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan massa

  

  rakyat. Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan dan dijadikan tempat perlindungan, pelayanan publik serta

  

  pembangunan. Karena itulah, untuk merealisasikan serta mengaplikasikan prinsip demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, maka diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran daerah Kabupaten Aceh Tamiang.

  Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Aceh. Sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Aceh Timur yang beribukotakan Langsa. Kabupaten ini merupakan hasil dari pemekaran daerah Aceh Timur yang terletak di perbatasan Aceh-Sumatera, dimana penduduk asli di daerah tersebut merupakan kawasan yang banyak bermukim masyarakat Tamiang yang serupa dengan etnis Melayu, selain itu di daerah ini juga terdapat minoritas masyarakat etnis 6 jawa dan etnis Aceh. 7 Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten.Yogyakarta : Pembaruan. 2004. Hal. ix-x. 8 Joko J. Prihatmoko, Op.Cit. Hal.13.

  Ibid . Hal.203.

  Sebagai daerah pemekaran tentu banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah daerah tersebut dengan melakukan pembangunan di berbagai kecamatan yang terdapat di kabupaten Aceh Tamiang, tentu sudah menjadi tanggungjawab pemimpin daerah (dalam hal ini Bupati) yang bertugas membangun dan mensejahterakan masyarakatnya. Pada awal berdirinya Aceh Tamiang yakni pada 2 Juli 2002, daerah ini dipimpin oleh Bupati Ishak Djuned yang notabene merupakan bupati Aceh Timur, lalu Ishak Djuned menunjuk Abdul Latief yang merupakan karyawan PDAM kota Langsa sebagai pejabat sementara Bupati Aceh Tamiang.

  Aceh Tamiang sendiri telah melewati 2 kali pelaksanaan pilkada langsung, yakni pada tahun 2007 dan 2012. Pada pilkada tahun 2007 Abdul Latief yang merupakan bupati Aceh Tamiang ikut berkompetisi dalam proses pemilihan umum kepala daerah dan berhasil terpilih bersama wakilnya Awaluddin untuk memimpin Aceh Tamiang periode 2007-2012. Sehabis masa bakti Abdul Latief, Aceh Tamiang kembali menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung tahun lalu yakni pada 9 April 2012. Penyelenggaran pilkada tersebut dilakukan dalam 2 putaran dikarenakan dari 11 pasangan calon tidak ada suara yang meraih kuota 30%. Kandidat yang masuk ke putaran kedua yakni pasangan nomor urut 4 (Agussalim- Abdussamad) serta pasangan nomor urut 10 (Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain). Pilkada putaran kedua yang dilaksanakan 12 September 2012 lalu, dimenangkan oleh pasangan nomor urut 10 yakni Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain.

  Kemenangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain merupakan fenomena kontroversial bagi masyarakat Aceh Tamiang saat pesta demokrasi berlangsung, dimana pasangan calon yang terpilih adalah pasangan yang diusung dari koalisi partai yakni PAN, PBR, PBA, dan PKS. Sementara yang semula diprediksi akan memenangkan pilkada adalah pasangan yang diusung dari PA. Partai Aceh sendiri merupakan partai lokal yang terbentuk di Aceh pasca perdamaian Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005 lalu antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan NKRI, dimana salah satu persyaratan yang diajukan petinggi GAM pada saat itu adalah dengan meminta untuk mendirikan partai lokal sebagai wujud partisipasi politik mereka dalam mensejahterakan masyarakat Aceh, melalui proses kegiatan politik guna memperoleh kedudukan dalam pemerintahan Aceh. Sebagaimana point

  1.2.1 Mou Helsinki yaitu : “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak

  

penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan

memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang

   memenuhi persyaratan nasional.”

  Partai Aceh yang sebelumnya bernamakan Partai Gerakan Aceh Merdeka, kemudian pernah berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri ini sendiri memiliki basis yang cukup besar dalam menarik massa, bahkan petinggi PA juga menginginkan agar seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh dapat dipimpin oleh calon yang diusung dari partai mereka. Terlepas dari apakah mereka melakukan intimidasi terhadap masyarakat atau tidak namun terbukti dalam pemilihan bupati/walikota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh ada 8 kabupaten/kota yang dimenangkan oleh PA. Seperti Kabupaten Aceh Besar dimenangkan oleh Mukhlis Basyah-Samsulrizal, Kabupaten Pidie yang dimenangkan oleh pasangan Sarjani Abdullah-M.Iriawan, Kabupaten Aceh Timur oleh Hasballah-Syahrul bin Syamaun, Kabupaten Aceh Utara dimenangkan oleh Muhammad M Thaib-Muhammad Djamil, Kabupaten Aceh Jaya dimenangkan oleh Azhar Abdurrahman-Tgk.Maulidi, Kota

   Bireun oleh pasangan Ruslan H Daud-Mukhtar Abda, Kota Lokhseumawe oleh

  Suaidi Yahya/Nazaruddin, serta Kota Sabang oleh Zulkifli H.Adam-Nazaruddin, begitu pula pada pemilihan Gubernur Aceh yang juga dimenangkan oleh pasangan 9 dari Partai Aceh yakni Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. 10 http://www.partaiaceh.com/2012/02/sejarah-partai-aceh.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.

  http://www.acehtraffic.com/2012/04/pasangan-lusruskan-mou-menangkan-6.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.

  Proses pemilihan bupati Aceh Tamiang 2012 sejatinya memanglah tidak berjalan mulus, dikarenakan perseteruan kepentingan oleh kedua kubu (kubu Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain dan Agussalim-Abdussamad) yang sama-sama kuat, dalam rangka merebut posisi nomor satu di daerah ini. Berbagai ancaman kekerasan dan teror muncul, diantaranya teror yang berdatangan dari kubu pendukung PA yang mengancam masyarakat pedalaman agar memilih calon yang mereka usung, belum lagi berkembangnya isu yang datang dari kubu Hamdan Sati mengenai keterlibatan aparat keamanan (dalam hal ini TNI dan Polri) dalam proses pilkada Aceh Tamiang yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati.

  Hamdan diduga melakukan blockade disejumlah daerah dengan mengandalkan kekuatan aparatur Negara dan memaksa masyarakat untuk memilihnya, isu semakin berkembang saat seluruh kader dari PA menggelar aksi demonstrasi dan meminta pada Mahkamah Konstitusi untuk mengulang kembali pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang, mereka juga menuntut pihak Hamdan Sati karena diduga telah melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Namun yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah jika memang benar bupati terpilih melakukan kecurangan dan sebagainya, lantas apa yang membuat masyarakat masih mau memilihnya? Apakah masyarakat Tamiang mulai terbuai dengan berbagai suap yang diberikan calon terpilih? Atau sebaliknya karena takut akan ancaman yang datang pada mereka? Lalu seperti apa sebenarnya preferensi pemilih masyarakat Tamiang pada pilkada langsung tersebut. Apakah nilai-nilai demokrasi pilkada langsung di Aceh Tamiang sudah mulai luntur? Ataukah malah isu mengenai proses pelaksanaan pemilu yang sarat akan kekerasan dan intimidasi tersebut, hanyalah kabar burung yang sengaja dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab?

  Melihat fenomena tersebut tentu membuat penulis begitu tertarik untuk membahas, serta mendeskripsikan lebih dalam tentang bagaimana kualitas demokrasi pilkada Aceh Tamiang 2012 sebenarnya, maka dari itu diperlukanlah sebuah penelitian ini untuk diangkat, guna mengetahui bagaimana kualitas demokrasi Aceh Tamiang saat penyelenggaraan pilkada berlangsung. Karena pada dasarnya pemilihan umum kepala daerah merupakan laboratorium demokrasi di Indonesia, dari situlah kita dapat melihat sudah sejauh mana demokrasi ditingkat lokal berjalan dan ditahap apa sebenarnya kita berada. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada akan selalu hangat untuk dikaji dan diperbincangkan.

  1.2 Rumusan Masalah

  Rumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya, dan rumusan masalah dapat menghasilkan jawaban daripada topik penelitian atau judul penelitian. Menurut Nazir, perumusan masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang jelas dan padat, berisi implikasi adanya data untuk memecahkan masalah, serta merupakan dasar dalam membuat hipotesis dan judul

   penelitian.

  Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis ingin mendeskripsikan suatu fenomena pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

  

“Bagaimana Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh

Tamiang 2012 ?”

  1.3 Batasan Masalah

  Dalam sebuah penelitian, penulis memerlukan batasan masalah agar masalah yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Adapun batasan 11 masalahnya, yakni : M.Arif Nasution,dkk. 2008. Metode Penelitian. Medan : Fisip Usu Press. Hal. 47.

  1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilukada.

  2. Kebebasan Sipil dalam proses pemilukada.

  1.4 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian merupakan keinginan yang ingin dilakukan dan dicapai dalam melakukan suatu penelitian, untuk itu tujuan penelitian perlu kiranya disusun

  

  secara spesifik sesuai dengan kepentingan penelitian. Oleh karena itu, tujuan penelitian penulis adalah untuk menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pilkada Aceh Tamiang 2012, dan menganalisis kebebasan sipil dalam proses pilkada Aceh Tamiang 2012.

  1.5 Manfaat Penelitian a.

  Bagi Penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dalam membuat karya ilmiah dan menganalisis kondisi sosial masyarakat.

  b.

  Khususnya bagi pembaca akan memahami bagaimana kualitas demokrasi ditingkat lokal, khususnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang tahun 2012.

  c.

  Memperluas khasanah dan pengetahuan di bidang politik dan menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik.

12 Ibid. Hal 59.

1.6 Kerangka Teori

  Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan pemikirannya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang membuat pokok-pokok pemikiran yang menggambarkan

   sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti.

  Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori ini adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara menerangkan dan merumuskan hubungan antara konsep pemikiran.

1.6.1 Demokrasi

1.6.1.1 Konsep dan Teori Demokrasi

  Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum. Demokrasi sendiri dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan melalui proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana semua kelompok yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang harus dihormati dan dihargai oleh semua pihak.

  Kata “demokrasi” terdiri atas dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani, 13 yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan.

  

Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hal.24. Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Secara terminologi demokrasi adalah

  

  sebagai berikut: Joseph A. Schumpeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencaan

  • instutisional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
  • pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan- tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. Sementara definisi demokrasi lainnya seperti dikemukakan oleh Ebenstein bercirikan empirisme rasional, individu-oriented, negara sebagai alat, kesukarelaan, hukum di atas hukum, cara, persetujuan dan persamaan. Sedangkan Robert Dahl, seperti dikutip oleh Samuel Huntington mengungkapkan bahwa demokrasi tidak boleh melibatkan unsur emosi akan tetapi menggunakan akal sehat. Pemikiran Dahl

  Philippe C. Schmitter, demokrasi merupakan sebagai suatu sistem

   terhadap demokrasi menandai bergulirnya babak baru pemikiran tentang demokrasi.

  Adapun beberapa teori-teori demokrasi yaitu :

  1. Demokrasi Klasik

  Demokrasi dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, 14 dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas Prof.Dr.Hafied, Op Cit. Hal. 63.

   diakses 22 Oktober 2013 pukul 20.25 wib. pelbagai permasalahan kenegaraan. Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino. Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum.

  Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri. Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.

2. Kontrak Sosial

  Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman Pencerahan yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, zaman pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu aman pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di zaman pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah dijelaskan di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. yang jelas adalah bahwa pada zaman pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran. Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain, perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam fraksinya. Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah. Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing- masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.

  Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Dengan demikian Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah

   memasuki kondisi sipil.

  Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.

  Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan

16 Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 176.

  hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.

  Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya memiliki power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).

  Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam. Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal. Untuk menghindar dari kondisi yang memiliki hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua, untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum untuk dibedakan dari hanya kehendak semua. Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak, akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya.

3. Trias Politica

  Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, dilatarbelakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.

  Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis, Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut: a.

  Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang

  (mengadili) Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

1.6.1.2 Prinsip Demokrasi

  Menurut Masykuri Abdillah, prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan

  

  (Equality), kebebasan (freedom), dan kemajemukan (pluralisme). Prinsip Persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Prinsip Kebebasan menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Sedangkan Prinsip Pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya

   merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan).

  Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena jika prinsip-prinsip ini berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yang lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di luar partai politik yang telah ditentukan.

  17 U. Ubaidillah. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. 18 IAIN Jakarta Press, Jakarta. Hal. 165.

  Ibid. Hal.166.

  Dengan kata lain, demokrasi mengarah pada suatu sistem politik yang dijalankan oleh suatu pemerintahan, seperti Henry B. Mayo dalam buku Introduction

   to Democratic Theory memberi defenisi sebagai berikut : Sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas atas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan

politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

1.6.1.3 Demokrasi Tingkat Lokal

  Teori Demokrasi Lokal menurut Timothy D. Sisk mengkonsepsikan Demokrasi dalam pemerintahan lokal adalah tatanan demokrasi yang paling mendasar yang dengannya segenap warga memiliki peluang yang paling aktif dan langsung berperan serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup

  

  segenap anggota masyarakat. Selain itu, secara terminologi demokrasi menurut Sidney Hook adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan

  ,

  mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa sedangkan arti kata Lokal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu ruang yang luas atau terjadi disuatu tempat. Jadi, demokrasi lokal jika di simpulkan dari pengertian tersebut adalah bentuk pemerintahan yang mana rakyatlah yang menentukan keputusan- keputusan didalam sebuah pemerintahan yang berlangsung di sebuah ruang lingkup yang lebih kecil atau dibawah hirarkis pemerintahan sebuah Negara.

  19 20 Mirriam Budiarjdo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 117.

http://iesdepedia.com/blog/2013/01/14/demokrasi-lokal-teori/ diakses 22 Oktober 2013 pukul 20.00

wib.

  Konsep yang di sebutkan oleh Timothy D. Sisk dalam teori demokrasi lokal ini adalah kewarganegaraan dan masyarakat, musyawarah, pendidikan politik, pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Berikut adalah sedikit gambaran mengenai konsep yang dikemukakan Timothy D. Sisk :

  • adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih

  Kewarganegaraan dan Masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya

  4 langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.

  • terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam

  Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya

  5

  masyarakat . musyawarah adalah konsep yang biasanya dilakukan dalam Demokrasi diranah lokal mengingat bahwa musyawarah adalah konsepsi

  6 demokrasi yang lebih dekat dengan dialektika masyarakat.

  • “pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di

  Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses

  7

  masyarakat . adanya pendidikan politik memungkinkan masyarakat awam sekalipun untuk bisa berkontribusi di dalam segala urusan pemerintahan , maksudnya berkontribusi yaitu dengan jalan penyampaian aspirasi. Pendidikan politik membuat masyarakat punya pegangan yang kuat dan tidak buta dalam keikutsertaan segala proses politik. Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para

  • pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal juga berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan
mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial.

  Selain Timothy D. Sisk, teori demokrasi lokal juga berangkat dari pemikiran Dove yang menyatakan bahwa budaya tradisional selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakatnya pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Jadi, segala urusan yang terkait dengan perubahan politik dan sosial tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah melekat dan berkembang dimasyarakat. Budaya ternyata mampu memberi paradigma yang kuat terhadap masyarakat hingga mempengaruhi tindakan sosial dan politik masyarakat tersebut.

  Pada dasarnya, demokrasi ditingkat lokal merupakan implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di tingkat regional tetapi di tingkat lokal.

  Adanya demokrasi ditingkat lokal sebagai akibat dari proses demokrasi regional yang dituntut oleh perkembangan desentralisasi. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.

  Selain itu pada tingkat lokal, adakalanya demokrasi hanya difokuskan pada institusi pemerintahan saja. Ted Robert Gurr misalnya sangat menekankan keberadaan institusi eksekutif, Menurut Gurr, demokrasi mengandung empat unsur: 1) persaingan partisipasi politik, 2) persaingan rekruitmen politik, 3) keterbukaan rekruitmen eksekutif, dan 4) tantangan yang dihadapi eksekutif. Pendapat ini semestinya juga memasukkan dimensi lain, karena keberadaan eksekutif di daerah tidak bisa dilepaskan dari proses dan hasil pemilu yang melibatkan sejumlah actor

   politik.

  Sebagai mekanisme sistem politik, sebagaimana dikemukakan Mitchell dan Simmons, demokrasi terdiri dari empat kelompok pembuat keputusan: pemilih, parlemen, birokrat, dan kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok ini bersaing memperebutkan posisi dan kekuasaan, baik pada level nasional maupun lokal. Demokrasi harus dilihat sebagai proses politik yang membuka peluang bagi partisipasi politik rakyat untuk secara efektif melakukan pengawasan terhadap agenda dan keputusan politik.

  Pendapat serupa juga dikemukakan Holden, di dalam demokrasi rakyat diberikan hak membuat keputusan (dalam bentuk kebijakan publik) menyangkut masalah-masalah penting. Pendapat Dahl dan Holden sangat relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal, yang memberikan peluang peranan atau partisipasi politik rakyat untuk mengawal agenda reformasi, karena seperti dikemukakan Almond dan Nelson, partisipasi politik rakyat merupakan salah satu tolok ukur penting untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratis, otoriter, atau bentuk sistem politik lainnya.

  Banyak pendekatan bisa digunakan untuk melihat model mana yang berlaku 21 pada suatu Negara dunia ketiga, walaupun tidak mencakup semua ciri pada suatu TB. Massa Djafar,“Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal,” Jurnal Politik Vol.12008.

  hal.2. model. Chai Anand, misalnya, menggambarkan tiga model sistem politik di dunia ketiga. Model ini sangat mempengaruhi sistem politik lokal.

  

Tabel 1

Ciri Utama Negara dalam Tiga Dimensi

Ciri Pembangunan Dimensi Keamanan Dimensi Partisipasi Dimensi Pembangunan

  Nilai dominan Kemajuan

  Persatuan, Kestabilan

  Persamaan, Kebebasan

  Modernisasi Kemakmuran, Efisiensi

  Tatanan,Disiplin, Penghargaan, Keberanian

  Kemerdekaan, keadilan, partisipasi

  Kestabilan Struktur Kekuasaan Dominan

  Militer dan Polisi Institusi pollitik parpol, kelompok kepentingan, LSM

  Birokrasi Hubungan dengan masyarakat

  Tertutup, mobilisasi, paksaan, kudeta

  Terbuka, partisipasi, otonom

  Dualistis (semi terbuka), kudeta

  

Sumber : TB. Massa Djafar,Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal,

Jurnal Politik Vol.1.2008. hal.3.

  Berdasarkan model di atas, negara-negara dapat digolongkan ke dalam tiga dimensi, bergantung pada usaha pembangunan demokrasi ditingkat lokal disetiap negara, apakah lebih memfokuskan atau mengutamakan keamanan (Security), partisipasi (Participation), atau pembangunan (Development).

  Secara teoritis, pendemokrasian di Indonesia bersumber pada krisis legitimasi, kelas menengah, (pertumbuhan) ekonomi, budaya (agama), dan campur tangan negara luar (kebijakan AS dan sekutunya). Faktor-faktor tersebut menjadi pendukung sekaligus penghalang tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Tentu saja generalisasi ini harus dilihat secara kritis, dan dikaitkan dengan fenomena yang berkembang di daerah (sekarang dan masa datang). Kelas menengah, ekonomi, agama atau budaya adalah faktor-faktor yang banyak mempengaruhi demokratisasi di Indonesia terutama ditingkat lokal.

  Faktor penting lain yang patut dipertimbangkan adalah peranan elit politik, dalam hal kemampuan secara tepat mengambil keputusan politik yang menjangkau masa depan dan mendisain kebijakan-kebijakan pendukung dari keputusan politik yang diambil tersebut. Seperti dikemukakan Linz dan Stepan, peranan elit politik merupakan variabel penting, terutama terhadap keberhasilan demokratisasi dan demokrasi di suatu Negara, karena demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat

   itu.

1.6.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung

1.6.2.1 Pemilukada Langsung

  Pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah sebuah mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya dan calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan 22 main yang sama. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung tertuang Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 1999. Hal. 6. dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 dan penyelenggaraan Pemilihan Daerah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

  Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

  Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik Gubernur/wakil gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya

  

  intervensi (otonom). Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.

  Dipilihnya sistem pemilukada langsung mendatangkan optimisme dan pesimisme tersendiri di kalangan masyarakat. Pemilukada dinilai optimisme sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga kehidupan demokrasi di tingkat lokal dapat berkembang. Sementara pesimisme masyarakat 23 terhadap sistem pilkada langsung dinilai dapat memberi peluang besar bagi pemimpin Joko J.Prihatmoko, Op.Cit, hal. 98. daerah atas berkembangnya gejala KKN akibat wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, serta tumbuhnya “money politic” di kalangan pejabat daerah yang terjadi setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah.

  Namun terlepas dari hal tersebut, keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada kritisme dan rasionalisme rakyat sendiri, pada titik itulah pesimisme terhadap pilkada langsung menemukan relevansinya. Tentu saja, dengan adanya perubahan dalam pemilihan umum kepala daerah ini maka telah menunjukkan bahwa ada kedewasaan demokrasi pada masyarakat Indonesia itu sendiri.

1.6.2.2 Sistem Pemilukada Langsung

  Untuk mengetahui penerapan sistem pilkada langsung di Indonesia, perlu ditinjau berbagai jenis sistem pilkada langsung yang selama ini pernah diterapkan di

   daerah-daerah di beberapa Negara dengan sistem presidensial.

  a.

  First Past the Post System, sistem ini dikenal sebagai sistem sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah, karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana. Konsekuensinya, calon kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separuh suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.

  b.

  Preferential Voting System atau Aprroval Voting System, cara kerja sistem ini 24 adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya Ibid, Hal.116. terhadap calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan pilkada langsung dan terpilih menjadi kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang terbesar. Sistem ini dikenal sebagai mengakomodasi sistem mayoritas sederhana namun dapat membingungkan proses perhitungan suara di setiap tempat pemungutan suara (TPS) sehingga perhitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.

  c.

  Two Round System atau Run-off System, sesuai namanya cara kerja sistem ini pemilihan dilakukan dengan dua putaran dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolute (lebih dari 50 persen) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasangan calon kepala daerah dengan perolehan suara terbanyak harus melalui pemilihan putaran kedua beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. Lazimnya, jumlah suara minimum yang harus diperoleh para calon pada pemilihan putaran pertama agar dapat mengikuti putaran kedua bervariasi, dari 20 persen sampai 30 persen, sistem ini paling populer di Negara-negara demokrasi presidensial.

  d.

  Sistem Electoral College, cara kerja sistem ini adalah setiap daerah pemilihan diberi alokasi atau bobot suatu dewan pemilih sesuai dengan jumlah penduduk.

  Setelah pilkada, keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan tersebut dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara dewan pemilih terbesar akan memenangkan pilkada langsung. Umumnya, calon yang berhasil memenangkan suara di daerah-daerah pemilihan dengan jumlah penduduk padat terpilih menjadi kepala daerah.

1.6.2.3 Pemilukada sebagai Praktik Demokrasi

  Axel Hadenius mengatakan bahwa suatu pemlihan umum termasuk pemilukada secara langsung disebut demokratis jika memiliki “makna”. Istilah bermakna merujuk pada 3 kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3)

   keefektifan pemilu.

1. Keterbukaan

  Keterbukaan disini mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa ada pilihan dari antara alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi). Selain itu, pilkada langsung dapat disebut kompetitif apabila secara hukum dan kenyataan tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon atau kelompok-kelompok tertentu atas dasar alasan-alasan politik. Pembatasan disini dimaksudkan sebagai diskriminasi dan bertentangan prinsip keadilan demokrasi dan kesamaan didepan hukum.

Dokumen yang terkait

Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

4 88 116

Perilaku Pemilih Pemula Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013

1 64 93

Peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012)

2 58 135

Hubungan Persepsi Pasien Tentang Kualitas Pelayanan Dengan Citra Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Aceh Tamiang

4 76 170

Model Kampanye Politik Kandidat Kepala Daerah Kabupaten Malang pada Pemilihan Umum Kepala Daerah 2015

0 4 34

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Sosialisasi E-Voting Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) Di Kabupaten Pandeglang

2 26 166

Demokrasi dan Legalitas Mantan Narapidana dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - PenerapanElectronic Voting Sebagai Perwujudan Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Indonesia

0 0 22

BAB III KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012 3.1 Pembahasan - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

0 0 29

BAB II DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG 2.1 Latar Belakang Sejarah Kabupaten Aceh Tamiang 2.1.1 Sejarah Kerajaan Benua Tamiang - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang

0 1 28