Peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012)

(1)

PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN (KIP) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

DALAM LINGKUNGAN WILAYAH PROPINSI ACEH (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten

Aceh Tenggara Periode 2007-2012)

O

L

E

H

087005031/HK

RULY PARDIAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN (KIP) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

DALAM LINGKUNGAN WILAYAH PROPINSI ACEH (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten

Aceh Tenggara Periode 2007-2012)

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

RULY PARDIAN

087005031/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN

(KIP) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM LINGKUNGAN WILAYAH PROPINSI ACEH.

(Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012)

Nama Mahasiswa : Ruly Pardian

NIM : 087005031

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 November 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH.

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH. 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum. 3. Dr. Pendastaran Tarigan, SH. MS. 4. Dr. Mirza Nasution, SH. M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) adalah sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat didaerah, karena pemilukada merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat didaerah, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy). Memperhatikan hal tersebut berarti pemilukada adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Selanjutnya untuk melaksanakan pemilukada tersebut tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan aparat pelaksana pemilukada itu sendiri yang bersifat independen yang dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan pada wilayah Propinsi Aceh disebut KIP (Komisi Independen Pemilihan) yang berkedudukan dan mempunyai peranan sebagai penyelenggara pemilukada yang kedudukannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemilukada yang dilaksanakan oleh KPUD/KIP selalu menuai protes dari berbagai pihak, khususnya dari calon kepala daerah yang turut dalam penyelenggaraan pemilukada itu sendiri dan akhirnya menimbulkan konflik pada pemilukada, dimana konflik tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang pada akhirnya mencederai makna demokrasi dalam penyelenggaraan pemilukada sebagai pesta demokrasi pada tingkat lokal. Bahkan pengumuman hasil dari pemilukada itu sendiri yang dikeluarkan oleh KPUD/KIP sering dimentahkan


(6)

oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilukada.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya dalam seleksi rekruitmen untuk menjadi anggota KIP/KPUD lebih diperketat lagi dan diharapkan pola rekruitmen dalam perspectif futuristic vieuw akan melahirkan keanggotaan KIP/KPUD yang tangguh, profesional dan berkualitas, sehingga tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, seperti kesalahan yang dilakukan oleh KIP Kabupaten Aceh Tenggara yang pada akhirnya membawa dampak negatif bagi citra sebuah demokrasi.

Kata kunci : Komisi Pemilihan Umum Daerah / Komisi Independen Pemilihan.

Penyelenggaraan.

Pemilihan Umum Kepala Daerah.


(7)

ABSTRAK

General election for the position of Governor or Vice Governor (Pemilukada) which is a process to select a leader in the framework of democracy materialization is expected to represent the vote the people who live in that province because the Pemilukada is a series of political activities to accomodate the interest of the people in that province which in then formulated in to various forms of policies. Considering this point, the Pemilukada is a conditio sine quanon for a modern democratic country which means that the people of a country vote for somebody to represent their participation in running of provincial administration as well as take this condition as a series of political activities to accomodate the interest and aspiration of a society members. To carry out The Pemilukada cannot be separated from the independent role of Provincial General Election Commision (KPUD) and in the Province of Aceh this institution is called Election Independent Commision (KIP) whose domicile, role, and position are regulated in the regulation of legislation.

This normative juridical study is descriptive analytical in nature. The data for this study were obtained through library and field research. The secondary data were referred to the primary, secondary, and tertiary legal materials while the primary data were obtained through interviewing the informants to get the data which were related to the research problems. The data obtained were qualitatively analyzed a juridical interpretation was expected to be able to answers the research legal problems discussed in this study.

The result of this study showed that a lot of protests were raised by various parties in the implementation of the Pemilukada organized by the KPUD/KIP, especially from the Governor candidate him self who involved in organizing the Pemilukada. This conflict could have been resulted from various factors occured during the implementation of the party of democracy at the local level which eventually ruined the meaning of the democracy. Even, the result of the Pemilukada announced by the KPUD/KIP it self is always revoked by the Constitutional Court, an institution with an authority to settle any dispute in relation to the result of Pemilukada.

Thus, to overcome the above problem, it is suggested that the selection process of recruiting KPUD/KIP members need to be more tightly done because the pattern of recruitmrnt based on the perspective of futuristic view is expected to provide reliable, profesional, and qualified KPUD/KIP members that they will not make any mistake in carrying out their duties and authority like what have been done by the KIP members of Aceh Tenggara District which resulted in a negative image for the democracy itself

Keyword : Provincial General Election CommisionlElection Independent Commision, Implementation, General Election for Governorship


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012)”. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian dariMu, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa mengharap ridho dan pertolonganMu, karena penulis


(9)

yakin bahwa Engkau tidak akan membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis muliakan, yaitu:

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH selaku ketua komisi

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan penulis.

2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku

pembimbing II dan juga Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. MHum selaku

pembimbing III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS dan bapak Dr.


(10)

yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

5. Bapak Drs. Jauharuddin, selaku Kepala Kantor Kementerian Agama

Kabupaten Aceh Tenggara yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi hingga jenjang Strata Dua (S-2).

6. Bapak Ir. H. Hasanuddin B, selaku Bupati Kabupaten Aceh Tenggara yang

telah memberi Bantuan Biaya Pendidikan kepada penulis untuk melanjutkan studi jenjang Strata Dua (S-2).

7. Bapak Dedi Muliyadi Selian, ST, selaku Ketua KIP Kabupaten Aceh

Tenggara yang telah banyak memberikan data-data kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

8. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

9. Seseorang yang terdekat dihati penulis, Soibah, S.Pd.I yang dengan

ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga Soibah senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.

10.Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum


(11)

Kiki, Pristi, Leni, Yani, Nova, Claudia) dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada saudara-saudara kandung penulis, yakni: Rudi Panzil, SE (Abang) dan Meily Siska, SPd (Adik).

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda

Alm. Alimin Chan dan Ibunda Hj. Nilawati, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.


(12)

Akhirnya, penulis berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, November 2010. Penulis


(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ruly Pardian.

Tempat Tanggal Lahir : Kutacane / 5 Juli 1977

Alamat : Lk. II Marhamah Kota, Kutacane.

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil.

Status Pribadi : Sudah Menikah.

Pendidikan : 1. SD Muhammadiyah : Tahun 1989.

Kutacane

2. Madrasah Tsanawiyah : Tahun 1993.

Muallimin Yogyakarta

3. Madrasah Aliyah : Tahun 1996.

Muallimin Yogyakarta

4. Fakultas Syariah IAIN : Tahun 2001.

Medan

Nama Orang Tua Laki-Laki : Alm. Alimin Chan.

Nama Orang Tua Perempuan : Hj. Nilawati.

Anak Ke : 2 Dari 3 Bersaudara.

Tahun Masuk Di SPS Ilmu : Tahun 2008.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka teori ... 12

2. Kerangka konsepsi ... 30

G. Metode Penelitian ... 32

1. Spesifikasi penelitian ... 32

2. Alat pengumpul data ... 33


(15)

BAB II : PERANAN KIP DAN KPUD DALAM

PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DIATUR DALAM BEBERAPA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 35

A. Peranan KIP Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh Diatur Dalam Beberapa Peraturan Perundang-Undangan ... 43

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum... 43

2. Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Di Aceh ... 44

B. Peranan KPUD Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Diaturatur Dalam Beberapa Peraturan Perundang-Undangan ... 50

1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ... 50

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 57

BAB III : MEKANISME PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH YANG DILAKSANAKAN OLEH KPUD ... 66

A. Tahap Persiapan ... 67

B. Tahap Pelaksanaan ... 67

1. Penetapan daftar pemilih ... 67

2. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah (peserta pemilihan) ... 70


(16)

3. Kampanye ... 76

4. Pemungutan suara ... 80

5. Penetapan calon terpilih dan pelantikan ... 89

6. Pengesahan pengangkatan calon terpilih ... 90

BAB IV : PENYEBAB KONFLIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN ACEH TENGGARA PERIODE 2007-2012 ... 92

A. Pengertian Konflik ... 92

B. Penyebab Terjadinya Konflik Pada Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012 ... 93

C. Penyelesaian Konflik Pada Pemilihan Bupati/ Wakil Bupati Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012 ... 99

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. . Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112 LAMPIRAN


(17)

ABSTRAK

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) adalah sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat didaerah, karena pemilukada merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat didaerah, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy). Memperhatikan hal tersebut berarti pemilukada adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Selanjutnya untuk melaksanakan pemilukada tersebut tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan aparat pelaksana pemilukada itu sendiri yang bersifat independen yang dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan pada wilayah Propinsi Aceh disebut KIP (Komisi Independen Pemilihan) yang berkedudukan dan mempunyai peranan sebagai penyelenggara pemilukada yang kedudukannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yatu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemilukada yang dilaksanakan oleh KPUD/KIP selalu menuai protes dari berbagai pihak, khususnya dari calon kepala daerah yang turut dalam penyelenggaraan pemilukada itu sendiri dan akhirnya menimbulkan konflik pada pemilukada, dimana konflik tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang pada akhirnya mencederai makna demokrasi dalam penyelenggaraan pemilukada sebagai pesta demokrasi pada tingkat lokal. Bahkan pengumuman hasil dari pemilukada itu sendiri yang dikeluarkan oleh KPUD/KIP sering dimentahkan


(18)

oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilukada.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan diatas, hendaknya dalam seleksi rekruitmen untuk menjadi anggota KIP/KPUD lebih diperketat lagi dan diharapkan pola rekruitmen dalam perspectif futuristic vieuw akan melahirkan keanggotaan KIP/KPUD yang tangguh, profesional dan berkualitas, sehingga tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, seperti kesalahan yang dilakukan oleh KIP Kabupaten Aceh Tenggara yang pada akhirnya membawa dampak negatif bagi citra sebuah demokrasi.

Kata kunci : Komisi Pemilihan Umum Daerah / Komisi Independen Pemilihan.

Penyelenggaraan.

Pemilihan Umum Kepala Daerah.


(19)

ABSTRAK

General election for the position of Governor or Vice Governor (Pemilukada) which is a process to select a leader in the framework of democracy materialization is expected to represent the vote the people who live in that province because the Pemilukada is a series of political activities to accomodate the interest of the people in that province which in then formulated in to various forms of policies. Considering this point, the Pemilukada is a conditio sine quanon for a modern democratic country which means that the people of a country vote for somebody to represent their participation in running of provincial administration as well as take this condition as a series of political activities to accomodate the interest and aspiration of a society members. To carry out The Pemilukada cannot be separated from the independent role of Provincial General Election Commision (KPUD) and in the Province of Aceh this institution is called Election Independent Commision (KIP) whose domicile, role, and position are regulated in the regulation of legislation.

This normative juridical study is descriptive analytical in nature. The data for this study were obtained through library and field research. The secondary data were referred to the primary, secondary, and tertiary legal materials while the primary data were obtained through interviewing the informants to get the data which were related to the research problems. The data obtained were qualitatively analyzed a juridical interpretation was expected to be able to answers the research legal problems discussed in this study.

The result of this study showed that a lot of protests were raised by various parties in the implementation of the Pemilukada organized by the KPUD/KIP, especially from the Governor candidate him self who involved in organizing the Pemilukada. This conflict could have been resulted from various factors occured during the implementation of the party of democracy at the local level which eventually ruined the meaning of the democracy. Even, the result of the Pemilukada announced by the KPUD/KIP it self is always revoked by the Constitutional Court, an institution with an authority to settle any dispute in relation to the result of Pemilukada.

Thus, to overcome the above problem, it is suggested that the selection process of recruiting KPUD/KIP members need to be more tightly done because the pattern of recruitmrnt based on the perspective of futuristic view is expected to provide reliable, profesional, and qualified KPUD/KIP members that they will not make any mistake in carrying out their duties and authority like what have been done by the KIP members of Aceh Tenggara District which resulted in a negative image for the democracy itself

Keyword : Provincial General Election CommisionlElection Independent Commision, Implementation, General Election for Governorship


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat, karena pemilu merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy).

Dengan perkataan lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat.

Pemilihan umum mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme

pemerintahan secara tertib, teratur dan damai serta lahirnya masyarakat yang dapat menghormati opini orang lain. Disamping itu lebih lanjut akan lahir suatu masyarakat yang mempunyai tingkat kritisme yang tinggi, dalam arti bersifat selektif atau biasa memilih yang terbaik menurut keyakinannya.

Memperhatikan hal tersebut berarti pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam


(21)

penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.1

Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.2

Lebih lanjut Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul I’Es Regimes

Des Politiques menyatakan sebagai berikut:

Cara pengisian jabatan demokratis dibagi menjadi dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Yang dimaksud demokrasi langsung merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat secara langsung memilih seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan, sedangkan demokrasi perwakilan merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat memilih seseorang atau partai politik untuk memilih seseorang menduduki jabatan tertentu guna menyelenggarakan tugas-tugas (kelembagaan) negara seperti kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.3

Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratik mungkin tercipta. Masyarakat

1

Miriam Budiarjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, (Jakarta: Jurnal Ilmu Politik, No. 10, 1990), hlm. 37.

2

Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 94.

3

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Naskah Akademik Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 Usulan Komisi Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,


(22)

demokratik ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan, maupun keharusan-keharusan lain seperti kesadaran hukum dan keseyogiaan dalam berperilaku untuk senantiasa dapat menakar dengan tepat berbagai hal memerlukan keseimbangan. Harmoni tersebut antara lain berwujud sebagai keserasian antara kepentingan individu dengan masyarakat, antara asfek kehidupan kerohanian dan kebendaan, antara kepentingan pusat dan daerah dan sebagainya.4

Secara yuridis konstitusional, berkenaan dengan pemilihan umum di Indonesia dewasa ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan:

1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Daerah adalah perseorangan.

5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum

yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang-undang.

Selanjutnya pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari hakikat otonomi daerah dalam mewujudkan desentralisasi atau proses pendemokrasian

4


(23)

pemerintahan dengan keterlibatan langsung masyarakat melalui pendekatan dalam pemilihan kepala daerah, guna mengatur dan mengurus urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah secara bebas dan mandiri.

Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3 (tiga) faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan pendemokrasian pemerintahan:

1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).

2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat

memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik.

3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap

masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.5

Dalam hubungan ini, pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota

Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan

Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal

merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:

1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem

NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan 5

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 34.


(24)

pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan

UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.

3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak

diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.

4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui

pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.

5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas

ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh.

Di era reformasi ini dimana telah terbuka kesempatan berdemokrasi dalam menyampaikan aspirasi mulai dari tingkat akar bawah sampai pada tingkat atas.


(25)

Otonomi khusus telah memberikan konstribusi yang besar terhadap perkembangan perpolitikan dan demokrasi di tingkat daerah. Pemilihan kepala daerah merupakan pesta demokrasi di tingkat daerah yang dilaksanakan secara demokratis. Pemilihan kepala daerah dilaksanakan untuk memilih kepala daerah baik itu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5(lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil.

Pemilihan Kepala Daerah di Propinsi Aceh memang berbeda dengan daerah yang lain, dimana memiliki keistimewaan dan fenomena yang lain. Pesta Demokrasi ditingkat lokal khususnya di Propinsi Aceh merupakan pemilihan kepala daerah yang terbesar di Indonesia, dimana dilaksanakan di 19 Kabupaten/kota. Pemilihan Kepala Daerahyang pertama dilakukan secaralangsung oleh rakyat Aceh. Ini artinya, masyarakatlah yang menentukan masa depan daerah dan pemimpinya. Dalam kurun sejarah Aceh merupakan daerah modal bagi Indonesia. Tetapi keistimewaan dan kekhususan yang diberikan ternyata belum bisa menyentuh hati rakyat.

Dari segi aturan ada dua hal khusus yang membedakan pemilihan kepala daerah Aceh yaitu:

1. Penyelenggaraan pemilihan kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi

Independen Pemilihan disingkat KIP adalah KIP propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari komisi pemilihan Umum (KPU) KIP hanya


(26)

berada di Aceh, berbeda dengan di daerah lain dimana pemilihan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Keberadaan KIP diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh, sedangkan teknis pelaksanaannya dirinci dalam Qanun Nomor 2, 3, dan 7 Tahun 2006. KIP beranggotakan 5 orang, dibentuk oleh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, diseleksi oleh tim independen yang bersifat ad hoc dan menjabat selama lima tahun. Anggota KIP telah dilantik ole Kedua; dibukanya ruang bagi calon independen untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Calon independen pertama kali dikenal dalam sistem hukum Indonesia melalui pemilihan kepala daerah Aceh yang lalu. Bukan saja itu pilkada kali ini dilaksanakan setelah konflik lebih dari 30 tahun dan bencana yang menewaskan ratusan ribu jiwa manusia.

2. Dibukanya ruang bagi calon independen untuk maju dalam pemilihan

Kepala daerah.

Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemerintah memberikan kewenangan pada Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota melalui sistem pemilihan langsung di Nanggroe Aceh Darussalam yang baru saja lepas dari konflik yang berkepanjangan. Pemilihan kepala daerah diidealkan memiliki tingkat kredibilitas yang benar-benar legitimasi untuk diterima umum, selanjutnya akan melahirkan proses serta mekanisme demokrasi berdasarkan aspirasi rakyat era reformasi.

Eksistensi lembaga Komisi Independen (KIP) walaupun sifatnya independen, namun tetap dihadapkan oleh kasus-kasus yang krusial yang memiliki kepentingan banyak pihak. Terseretnya pakar politik saat itu menjabat sebagai ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP). Menyadari hal itu, tuntutan


(27)

penyelenggaraan pemilihan yang harus sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan dan desakan arus bawah reformasi kekuasaan, berbagai masalah teknis, yang harus dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP). Di sisi lain, kesuksesan penyelenggaraan pemilu seolah-olah terlepas dari kesuksesan sebuah pekerjaan besar.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, sebagaimana halnya pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Aceh Tenggara dimana Pihak Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengambil alih proses Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Aceh Tenggara, menyusul gagalnya Komisi Independen (KIP) setempat untuk menetapkan hasil penghitungan suara pada pesta demokrasi yang berlangsung 11 Desember 2006, yang pada akhirnya menyisakan tanda tanya besar tentang keabsahan prosedural pengambilalihan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat akan arti pentingnya peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, maka penulis tertarik memilih dan menetapkan judul tentang ”Peran Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2006-2011)” untuk diteliti.


(28)

B. Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan peranan KIP dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dalam lingkungan wilayah propinsi aceh, sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Komisi

Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan?

2. Bagaimana Mekanisme peneyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah

yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)?

3. Apa yang menjadi penyebab konflik pada pemilihan umum kepala daerah

Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012?

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan

Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala Daerah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.

b. Untuk mengetahui Mekanisme peneyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah


(29)

c. Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik pada pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Aceh Tenggara periode 2007-2012.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh.

2. Secara praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi

Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan

penegakan dan pengembangan ilmu hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan

dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh.


(30)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan,

penelitian yang mengangkat judul tentang “Peranan Komisi Independen

Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2006-2010)” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya adalah:

Tesis Saudara Marudut Hasugian, dengan judul: “Pelaksanaan Pemilihan Presiden Berdasarkan Paradigma Demokrasi Konstitusional (Studi Mengenai Sidang Umum MPR 1999)”.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori


(31)

Dalam teori ini terdapat 2 (dua) istilah yang terlebih dahulu harus dipahami maknanya, yakni: kedaulatan dan rakyat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku bagi seluruh wilayah dan rakyat negara tertentu. Sedangkan rakyat suatu negara adalah semua orang yang berada didalam wilayah negara dan tunduk kepada kekuasan negara.6

Teori kedaulatan rakyat muncul pada zaman Renaissance yang mendasarkan hukum pada akal dan rasio. Dasar ini pada abad ke-18 Jeans Jacque Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah ”perjanjian masyarakat” (contract social) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Adapun teori Jeans Jacque Rousseau tersebut dikemukakannya dalam bukum karangannya yang berjudul Le Contract Social. Teori ini menjadi dasar faham kedaulatan rakyat yang mengajarkan bahwa negara berstandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-peraturan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.7

Demokrasi sebagai asas yang dipergunakan dalam kehidupan ketatanegaraan dewasa ini banyak dianut oleh negara-negara didunia, yakni suatu negara dengan sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat.

6

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 109. 7


(32)

Menurut paham kedaulatan rakyat, rakyat memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi

membuat undang-undang.8

Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang

dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative

democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.9

Oleh sebab itu menurut Sjahran Basah, kalaupun demokrasi langsung dimungkinkan terjadi pada masa yunani purba, hal itu disebabkan oleh karena:

1. Karena pengertian negara idntik dengan pengertian kota, dan yang

dimaksud dengan kota pada waktu itu ialah hanya tempat sekitar itu saja, maka wilayah daerahnya terbatas sekali.

2. Dari segi jumlah penduduknya sebagai warga sebuah kota sudah tentu jumlahnya masih sedikit.10

8

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Hill. Co, 1992), hlm. 41.

9

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di

Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 70.

10

Sjahran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 83.


(33)

Sejalan dengan realitas tersebut, maka ada beberapa sebab demokrasi langsung tidak dapat diterapkan, antara lain:

1. Pada umumnya wilayah suatu negara luas, dan kemungkinan tidak

terdiri dari suatu daratan, melainkan terdiri atas banyak pulau-pulau.

2. Pada umumnya rakyat suatu negara sudah berjumlah besar.

3. Masalah negara yang bersifat politis, jumlahnya semakin meningkat

dan kompleks serta rumit, sehingga rakyat awam (biasa) akan mendapatkan kesulitan apabila dimintai pendapatnya secara langsung (ditempat), untuk menilai dan menelaahnya, guna dipakai sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan, terutama bagi negara-negara yang tingkat pendidikan rakyatnya belum begitu maju.11

Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun.

Seiring dengan itu, negara Indonesia juga menganut paham kedaulatan rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam negara Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem konstitusional berdasarkan

11

S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi dan


(34)

Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).

Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan bahan retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan-gagasan luhur tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik dan egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang berkeragaman atau plural, dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu, perwujudan demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum, efektifitas dan keteladanan kepemimpinan, dukungan sistem pendidikan masyarakat, serta basis kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan berkeadilan.12

Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum (nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu 12

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 56.


(35)

sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.13

Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat

absolutisme.

3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.

4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.

5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak

bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki perwujudan keikutsertaan

13


(36)

masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.14

B. Teori dan Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum adalah merupakan institusi pokok pemerintahan perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme utama untuk mengimplementasikan persetujuan tersebut menjadi wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, khususnya untuk memilih presiden / kepala daerah. Bahkan dinegara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi corak legitimasi kekuasaan (otoritas).

.

15

Oleh karena itu, pemilihan umum yang dituntut demokrasi bukanlah sembarang pemilihan umum, akan tetapi pemilihan umum dengan syarat-syarat tertentu. Pemilihan umum yang tidak memenuhi syarat-syarat-syarat-syarat tersebut hanyalah merupakan simbol belaka yang tidak banyak artinya bagi perkembangan demokrasi. Meskipun ketentuan perundang-undangan yang ada memang sudah memberikan syarat-syarat tersebut, sebagaimana misalnya istilah langsung, umum, bebas, rahasia yang bila dilaksanakan

14

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan

Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang: UNSIKA, 1993), hlm. 47.

15

Marzuki, Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara, Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era


(37)

sesuai arti yang terkandung didalamnya sudah menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis, akan tetapi yang diperlukan adalah meningkatkan kualitas pemilihan umum dari pemilihan umum ke pemilihan umum, sehingga pemilihan umum yang diadakan semakin lama semakin baik.

Dengan demikian, pemilihan umum yang demokratis haruslah diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik. 2. Aturan permainan yang fair.

3. Dihargainya nilai-nilai kebebasan.

4. Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan

berbagai kekuatan politik secara proporsional. 5. Tiadanya intimidasi.

6. Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan

umum.

7. Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungkawabkan secara

moral dan hukum.16

Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat

kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi,

berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral laws dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut

dengan electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui

pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan 16

Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 37.


(38)

kemudian suara tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara partai politik yang bersaing.17

Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Defenisi ini mengisyaratkan bahwa sistem pemilihan umum mengandung elemen-elemen struktur kertas suara dan cara pemberian suara, besar distrik serta penerjemahan suara menjadi kursi. Dengan demikian hal-hal seperti administrasi pemilihan umum dan hak pilih, walaupun penting berada diluar

lingkup pembahasan sistem pemilihan umum.18

Sedangkan electoral process adalah menyangkut mekanisme yang

dijalankan didalam mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye (baik yang menyangkut isi, tema, prosedur, dan teknik) pemberian suara, serta penghitungan suara.19

Berkenaan dengan pemilihan umum, Soeharto dalam buku Otobiografi ”Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, mengemukakan:

17

Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam

Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 1992), hlm. 31. 18

Ibid, hlm. 33. 19

Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 72.


(39)

Pemilu bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai alat untuk menyehatkan kehidupan demokrasi kita. Saya menyadari untuk menyehatkan kehidupan demokrasi itu, pemilu memang bukan merupakan satu-satunya alat. Meskipun demikian, pemilu adalah alat yang paling penting, yang sesuai dengan keinginan hati nurani kita semua. Justeru melalui pemilu inilah rakyat sendiri dapat secara langsung aktif memilih wakilnya yang dipercaya.20

Didalam sistem pemiliha umum, paling tidak terdapat 3 (tiga) elemen sebagai berikut:21

Pertama, besar distrik, yang dimaksud dengan distrik adalah wilayah geografis suatu negara yang batas-batasnya dihasilkan melalui suatu pembagian untuk tujuan pemilihan umum. Dengan demikian luas sebuah distrik dapat sama besar dengan wilayah administrasi pemerintahan, dapat pula berbeda. Oleh karena itu besar distrik adalah banyaknya anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam suatu distrik pemilihan. Besar distrik bukan berarti jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dibedakan menjadi distrik beranggota tunggal (single member distric) dan distrik beranggota jamak (nulty member distric).

Kedua, struktur kertas suara, yaitu cara penyajian pilihan diatas kertas suara. Cara penyajian pilihan ini menentukan pemilih dalam memberikan suara. Jenis pilihan dapat dibedakan menjadi 2(dua), yaitu kategorikal,

20

G. Dwipanaya dan Ramadhan, K.H., Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya

(Otobiografi), (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hlm. 261.

21

Benjuino Theodore, Sistem Pemilihan Umum: Sebuah Perkenalan,


(40)

dimana pemilih hanya memilih satu partai atau calon, dan ordinal, dimana pemilih mempunyai kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah gabungan dari keduanya.

Ketiga, electoral formula, adalah bahagian dari sistem pemilihan umum yang berhubungan dengan penerjemahan suara menjadi kursi. Termasuk didalamnya rumus yang digunakan untuk menerjemahkan perolehan suara menjadi kursi, serta ambang batas pemilihan (electoral threshold).

Pemilihan umum sebagai salah satu dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, tentunya dengan sendirinya akan membawa konsekuensi adanya berbagai sistem pemilihan umum yang berbeda satu sama lain berdasarkan sudut pandang terhadap rakyat, sehingga pemilihan umum dibedakan atas 2 (dua) macam:

1. Sistem Pemilihan Mekanis.

Sistem pemilihan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dan memandang rakyat (korps) pemilih sebagai suatu massa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam setiap pemilihan. Menurut sistem pemilihan umum mekanis, partai-partai yang mengorganisir pemilih-pemilih dan memimpin


(41)

pemilih berdasarkan sistem be party, multy party, atau uny party, sehingga partai politik merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari sistem ini.22

Sejalan dengan pandangan tersebut, Jean Blondel mengemukakan dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada 2 (dua) prinsip pokok, yaitu: Pertama, single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Kedua, multy member contituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional).23

a. Sistem distrik (single member constituency).

Sistem ini merupakan system pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang tercakup) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Didalam sistem ini, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single member constituency) atas dasar pluralitas. Kondisi pluralitas terjadi. Kondisi pluralitas dapat terjadi apabila sejumlah partai atau calon mampu memperoleh suara yang lebih banyak atau besar dibandingkan dengan saingannya yang terkuat, sekalipun tidak berarti bahwa partai atau calon

22

Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: CV. Sinar Bakti, 1983), hlm. 333.

23

Miriam Budiarjo, Demokrasi Di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi


(42)

tersebut memperoleh suara paling banyak dibandingkan dengan kombinasi suara lawan-lawannya.24

Secara umum, sistem distrik memiliki prosedur pemilihan yang dapat memaksimalkan perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilihan anggota badan perwakilan lebih banyak ditentukan oleh pemilih, bukan partai yang menentukan calonnya, melainkan rakyat. Partai politik yang menjadi cantolan seorang calon anggota badan perwakilan lebih banyak berperan sebagai fasilitator daripada penentu kebijakan, sehingga asfek representasinya lebih kuat.25

Secara teoritis sistem distrik (isingle member constituency) ini memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:26

1. Anggota lembaga perwakilan rakyat yang terpilih akan

benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama didaerah pemilihannya (distrik) karena wakil yang terpilih merupakan kehendak sepenuh rakyat. Pendapat ini diperkuat karena masyarakat tidak hanya memilih partai, tetapi memilih langsung nama calon anggota lembaga perwakilan rakyat.

2. Sistem ini akan lebih mendekatkan anggota lembaga perwakilan

rakyat dengan masyarakat pemilihnya. Karena itu integritas dan kualitas personal akan menjadi prioritas. Posisi demikian lebih menguatkan anggota lembaga perwakilan rakyat lebih dekat dan lebih dikenal pemilih.

3. Dalam hubungannya antar lembaga perwakilan rakyat dengan

partai politik tidak lagi dalam posisi dominan dalam menentukan calon. Karena pertimbangan pemilih akan lebih pada kualitas, integritas dan popularitas calon itu didaerah pemilihan (distrik).

4. Dalam hubungannya dengan sistem kepartaian, sistem pemilihan

ini mendorong bersatunya partai-partai politik, karena calon yang terpilih hanya satu, maka berbagai partai politik dipaksa atau terpaksa bergabung untuk mencalonkan seseorang yang memiliki kualitas, integritas dan popularitas diantara calon-calon lain, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai politik.

24

Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, op. cit, hlm. 33. 25

Abdul Bari Azed, op.cit, hlm. 132. 26


(43)

5. Dalam hubungannya dengan organisasi penyelenggaraan pemilihan umum, dengan sistem ini lebih sederhana, tidak perlu memakai banyak orang untuk duduk dalam panitia pemilihan, juga biaya lebih murah dan perhitungan suara lebih cepat, karena tidak perlu menghitung suara yang terbuang.

Namun demikian, patut disadari pemilihan dengan sistem distrik juga mengandung berbagai kelemahan, diantaranya: 27

1. Sistem ini mengakibatkan tidak terhindarkannya marginalisasi

partai-partai kecil dan golongan minoritas.. Keterwakilan partai kecil dalam lembaga perwakilan akan tidak bersifat proporsional dibanding jumlah total suara yang diperoleh partai itu secara nasional. Demikian juga dengan golongan minoritas, apalagi terpencar dalam distrik yang berbeda.

2. Sistem distrik ini juga cenderung mengabaikan suara rakyat yang memilih calon yang kalah. Artinya jika seseorang memenangkan pemilihan disuatu distrik dengan angka 52 persen, maka suara 49 persen sisanya tidak diperhitungkan sama sekali. Akibatnya tanpa komitmen yang kuat pada demokrasi, kemenangan seorang calon dari suatu partai belum tentu mewakili aspirasi murni masyarakat pemilih didistriknya, yang pada gilirannya setelah terpilih, siwakil rakyat akan cenderung menempatkan para pemilih partai kalah pada posisi tak terwakili.

3. Sistem ini dapat menimbulkan kecenderungan bahwa wakil rakyat

yang bersangkutan akan lebih memperhatikan kepentingan rakyat pemilih di distrik yang bersangkutan daripada kepentingan nasional yang lebih luas.

4. Dalam masyarakat yang heterogen atas dasar ras, suku, dan

agama, sistem ini dianggap kurang efektif. Karena itu, ada anggapan bahwa sistem ini memerlukan prasyarat adanya suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologi dan etnis. Namun sebaliknya, kekurangan yang terakhir ini, dapat pula disebut sebagai kelebihan atau keuntungan dari sistem distrik, yaitu dalam kondisi masyarakat yang sangat heterogen, penerapan sistem ini dalam 27

Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996), hlm.


(44)

jangka panjang dapat membantu untuk mengintegrasikan berbagai potensi yang beraneka ragam itu. Pada tingkat nasional, wakil-wakil rakyat di parlemen akan benar-benar mencerminkan keberagaman etnis, suku, agama, geografis, dan bahkan tingkat sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini tentu sejalan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia sejak dahulu.28

b. Sistem proporsional (multy member constituency).

Sistem ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Sistem perwakilan proporsional ini adalah sistem dimana presentase kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Apabila sebuah partai besar memperoleh suara 40 persen, maka partai tersebut harus mendapatkan kursi 40 persen, demikian juga dengan sebuah partai kecil dengan 10 persen suara haru mendapat 10 persen kursi.29

Oleh karena itu dalam sistem ini, masyarakat pemilih dibagi dalam beberapa unit besar wilayah dalam suatu negara. Suatu wilayah negara merupakan suatu daerah pemilihan, maka sisa suara disuatu daerah dapat

ditambahkan dengan suara yang diperoleh dari daerah lain (stembus

28

Ibid. 29

Peter Harris dan Ben Reilly, Demokrasi dan Konflik Yang Mengakar : Sejumlah Pilihan


(45)

accord), sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta pemilihan umum memperoleh kursi atau wakil diparlemen.

Sistem perwakilan berimbang ini dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, diantaranya dengan sistem daftar (list system). Sistem daftar banyak variasinya, tetapi pada umumnya dalam sistem daftar setiap partai atau golongan mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk

bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan.30

Oleh karena itu, dalam tataran teoritis, sistem ini mengandung beberapa kelebihan, diantaranya:31

1. Dalam hubungan antara anggota lembaga perwakilan rakyat yang

terpilih dengan partai politik, sistem ini dianggap lebih representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilihan umum.

2. Dalam hubungannya dengan suara para pemilih, sistem ini

dipandang lebih demokratis, dalam arti lebih egalitarian karena asas one man one vote dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang hilang. Implikasinya, semua kelompaok dalam masyarakat, termasuk kelompok minoritas mempunyai peluang untuk terwakili dalam parlemen, sehingga dianggap memenuhi asas keadilan (sense of justice).

3. Sistem ini tidak ada distorsi, dalam arti tidak ada suara yang

terbuang, melainkan dapat digabungkan dengan suara dari daerah pemilihan lainnya.

30

Saifullah Yusuf dan Fahruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, (Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, 2000), hlm. 107.

31

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 225-226.


(46)

Akan tetapi juga, sistem ini mengandung berbagai kelemahan atau kekurangan, diantaranya sebagai berikut:32

1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai politik, sehingga

mengakibatkan timbulnya partai politik baru. Oleh karena itu, sistem ini tidak menjurus kepada integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, melainkan kecenderungan untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk memanfaatkan persamaan-persamaan.

2. Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatan dengan warga

yang telah memilihnya, baik karena luasnya wilayah pemilihan sehingga sulit untuk dikenal banyak orang maupun karena dominannya peran partai dari pada kualitas, integritas dan popularitas seseorang, sehingga wakil yang terpilih lebih terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang loyalitas kepada masyarakat yang memilihnya.

3. Banyaknya partai politik mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, lebih-lebih dalam sistem pemerintahan parlementer. Hal ini disebabkan karena pembentukan pemerintahan atau kabinet harus didasarkan atas kerjasama (koalisi) antar dua partai politik atau lebih.

2. Sistem Pemilihan Organis. G.Y. Wolhoff , mengemukakan:

Dalam sistem organis rakyat dipandang sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup

seperti genealogi (rumah tangga), iteritorial (desa, kota, daerah),

fungsional spesial (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendikiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite organisme itu. Berdasarkan pandangan ini persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat.33

32

Ibid. 33

Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hlm. 171.


(47)

Dalam sistem pemilihan organis ini partai-partai tidak perlu dikembangkan, karena pemlihan diselenggarakan dan dipimpin oleh setiap persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri. Dengan demikian dalam sistem organis hak suara terletak pada kelompok. Badan perwakilan menurut sistem organisme ini didasarkan pada pengangkatan, sehingga bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa disebut Dewan Korporatif.34

Oleh karena itu, dalam sistem ini yang melalui persekutuan hidup, mungkin ada pemilih, mungkin juga tidak, tetapi itu tidak penting, karena yang terpenting adalah persekutuan-persekutuan hidup ini mengirimkan wakil-wakilnya ke lembaga perwakilan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan atau yang disepakati dalam undang-undang negara yang bersangkutan.35

Berdasarkan pandangan yang demikian, kedudukan lembaga perwakilan ini agak lemah karena hanya didasarkan pada persekutuan hidup, sehingga pada umumnya apabila lembaga ini hendak menetapkan undang-undang yang menyangkut hak-hak rakyat, meskipun undang-undang tersebut telah disetujui lembaga perwakilan, akan tetapi baru berlaku setelah disetujui oleh rakyat melalui referendum.36

34

Abdul Bari Azed, op.cit, hlm. 8. 35

Bintan R. Saragih, op.cit, hlm. 172. 36


(48)

Dinegara yang menganut susunan perwakilan rakyat bikameral, beberapa negara menggunakan gabungan sistem pemilihan organis dan sistem pemilihan mekanis, seperti halnya di Inggris perwakilan itu dinamakan parliement, yang terdiri atas house of lord dan house of commons.

Anggota-anggota house of lord lebih berdasarkan kedudukan misalnya bangsawan,

pemuka-pemuka agama, hakim-hakim tinggi. Sedangkan house of commons

terdiri dari wakl-wakil yang dipilih langsung oleh rakyat.37

Di Indonesia dalam rangka Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ke empat, keanggotaan Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri atas lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum, terdapat juga Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang didasarkan pada pengangkatan. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pemilihan umum 2004, masih terdapat anggota yang diangkat yaitu dari Fraksi ABRI.

2. Kerangka konsepsi.

Atas dasar kerangka teori yang dipaparkan diatas, maka dapat diartikan terhadap istikah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:

Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah adalah KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyelenggarakan pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan

37


(49)

Perwakilan Daerah, Anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota (Pasal 1 angka 16 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah semua kegiatan pemilihan yang meliputi tahapan persiapan pemilihan, pendaftaran pemilih, penetapan pemilih, pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan, penetapan pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota (Pasal 1 angka 13 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing (Pasal 1 angka 2 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil


(50)

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing (Pasal 1 angka 3 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

G Metode Penelitian

Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan sebagai berikut:

a. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doctrinal


(51)

(doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisi baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the judge through judicial process.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis,38

b. Alat Pengumpul Data.

artinya bahwa penelitian ini menggambarkan bagaimana suatu ketentuan hukum dalam konteks teori-teori hukum yang dalam pemaparannya menggambarkan tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh. . Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data primer dan data sekunder.

Dalam melakukan pengumpulan data, dilakukan 2 (dua) cara yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research) dengan instrument penelitian dokumentasi kepustakaan, artinya bahwa Penulis dalam mengkaji persoalan yang berhubungan dengan permasalahan diatas bersumber pada literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan tersebut dengan sumber hukum primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Selain sumber hukum primer tersebut Penulis juga akan merujuk pada sumber hukum sekunder berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku

38

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12.


(52)

maupun artikel yang mengandung komentar maupun analisis tentang peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh dan disamping itu juga Penulis menggunakan sumber hukum tertier seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain yang relevan dengan pokok permasalahan sebagai pendukung terhadap 2 (dua) rujukan yang telah disebutkan sebelumnya.

b. Penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer tentang peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh.

Data ini diperoleh melalui wawancara dengan informan yang merupakan narasumber yang terkait dengan penelitian, seperti:

1. Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh

Tenggara..

2. Bupati Kabupaten Aceh Tenggara.

3. Analisis Data.

Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Data dalam penelitian ini dikumpulkan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Secara umum


(53)

data dari pokok bahasan diawali dengan pengecekan data, inventarisasi buku-buku, peraturan perundang-undangan serta hasil dari penelitian lapangan. Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut diatas, maka dapat dilakukan interpretasi dengan menggunakan metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini secara holistic.

BAB II

PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN (KIP) DAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH (KPUD) DALAM

PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DIATUR DALAM BEBERAPA PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Salah satu agenda yang penting dalam proses perubahan politik adalah menyelenggarakan pemilihan umum. Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi untuk melakukan perebutan kekuasaan (pengaruh) yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit politik (pergantian kekuasaan) dapat dilakukan secara damai dan beradab. Lembaga tesebut adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan dimana kedaulatan rakyat menjadi sumber kekuasaan itu sendiri. Dalam bahasa yang


(54)

data dari pokok bahasan diawali dengan pengecekan data, inventarisasi buku-buku, peraturan perundang-undangan serta hasil dari penelitian lapangan. Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut diatas, maka dapat dilakukan interpretasi dengan menggunakan metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini secara holistic.

BAB II

PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN (KIP) DAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH (KPUD) DALAM

PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DIATUR DALAM BEBERAPA PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Salah satu agenda yang penting dalam proses perubahan politik adalah menyelenggarakan pemilihan umum. Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi untuk melakukan perebutan kekuasaan (pengaruh) yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit politik (pergantian kekuasaan) dapat dilakukan secara damai dan beradab. Lembaga tesebut adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan dimana kedaulatan rakyat menjadi sumber kekuasaan itu sendiri. Dalam bahasa yang


(55)

lebih popular, manajemen kekuasaan seperti itu disebut demokrasi. System politik yang demokratis meskipun sangat kompleks, ruwet serta tidak efisien tetap menjadi pilihan terbaik dibandingkan dengan system-sistem kekuasaan yang lain, seperti system otoritarian, militer, oligarki dan lain-lain.39

Di Indonesia, pengaturan dasar normatif mengenai Pemilu diatur dalam Bab VIIB UUD 1945, yaitu Pasal 22 E yang terdiri dari 6 (enam) ayat, yaitu:

Ayat (1) : Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum bebas

rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

Ayat (2) : Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ayat (3) : Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik.

Ayat (4) : Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan

Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

Ayat (5) : Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan

Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Ayat (6) : Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan Umum diatur dengan

Undang-Undang.

Mendasarkan pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut diatas, disebutkan bahwa penyelenggara pemilihan umum adalah suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam Pasal ini tidak menentukan secara eksplisit apa nama komisi tersebut, sehingga terserah kepada DPR bersama dengan Pemerintah untuk menentukannya dalam Undang. Misalnya Undang-Undang dapat saja memberi nama kepada komisi tersebut dengan nama Komisi Pemilihan Nasional, Komisi Pemilihan Pusat, Komisi Pemilihan Daerah

39


(56)

Propinsi, dan sebagainya. Namun demikian selama ini komisi tersebut diberi

nama Komisi Pemilihan Umum.40

Berdasarkan hal tersebut diatas, tegas dinyatakan kemandirian penyelenggara Pemilu oleh KPU. Berarti penyelenggara KPU tidak lagi bersifat ad hoc, yang secara temporer melaksanakan tugasnya dan senantiasa terkait dengan pemerintah dalam arti dikontrol oleh pemerintah. Dalam ketentuan ini menjadi daar bahwa pemerintah terlepas dari KPU yang bertugas menyelenggarakan Pemilu sebagai organ yang mandiri didalam kinerjanya.

Sebagaimana diketahui bahwa Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti diamanatkan dalam UUD 1945. sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat sebagaimana tercermin dalam perubahan UUD 1945, Pemilu diselenggarakan bertujuan untuk memilih wakil rakyat untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat. Hal ini menjadi dasar filosofis penyelenggaraan Pemilu yang harus dijadikan sebagai dasar KPU dan KPUD baik pada tingkat Provinsi maupun pada tingkat kabupaten/Kota.

Selanjutnya untuk melaksanakan pemilihan umum tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan aparat pelaksana pemilu itu sendiri, khususnya yang telah berlangsung pada masa sebelum pergeseran dari rezim pemilihan kepala daerah

40

Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


(57)

ke rezim pemilihan umum. Untuk itu, pencermatan yang dilakukan terhadap pelaksanaan Pemilu senantiasa diawali dan senantiasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan Pemilu di tanah air beserta penyelenggara atau pelaksananya yang untuk waktu yang lama dijalankan oleh pemerintah. Baru dalam beberapa tahun belakangan dilaksanakan oleh lembaga yang bersifat mandiri.41

Mencermati pelaksanaan pemilu yang berlangsung ditanah air selama ini, menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu itu berbeda-beda disetiap masa. Berbeda baik dalam hal sistemnya maupun legitimasi formal yang dikandung dalam Undang-Undang sebagai dasar pelaksanannya. Hal ini dapat difahami sebagai refleksi dari pergeseran dinamika dan perkembangan masa yang terus berkembang dinamis dari waktu kewaktu dengan mengakomodasikannya dalam bentuk hukum, khususnya Undang-Undang. Pada masa orde baru, penyelenggara Pemilu itu adalah Pemerintah. Dari kenyataan ini menimbulkan berbagai penafsiran. Ada yang mendukung pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu karena baik infra struktur maupun supra strukturnya sudah siap. Ada yang tidak mendukung karena secara sederhana beralasan, pelaksanaan Pemilu oleh pemerintah tidak obyektif. Ada kepentingan yang sangat kuat dari pemerintah untuk mengatur dalam arti ikut berperan karena kepentingan dan mempengaruhi penyelenggaraan Pemilu. Intinya adalah keinginan kuat untuk

41

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara


(1)

daerah tidak sama persis dengan peranan KPUD sebagai penyelenggara pemilihan umum kepala daerah, karena KIP berada pada wilayah otonomi khusus, sehingga kekhususannya haruslah ada.

2. Hendaknya dalam mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah lebih mengikutsertakan peran atau partisipasi masyarakat daerah yang dijamin keabsahannya, hal ini dianggap perlu sehubungan dengan pemilihan umum kepala daerah adalah merupakan pesta demokrasi pada tingkat lokal. 3. Hendaknya dalam seleksi rekruitmen untuk menjadi anggota KIP/KPUD

lebih diperketat lagi dan diharapkan pola rekruitmen dalam perspectif futuristic vieuw akan melahirkan keanggotaan KIP/KPUD yang tangguh, profesional dan berkualitas, sehingga tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, seperti kesalahan yang dilakukan oleh KIP Kabupaten Aceh Tenggara yang pada akhirnya membawa dampak negatif bagi citra sebuah demokrasi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku :

Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.

Ariwibowo, Negara, Pemilihan Umum dan Demokrasi, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005.

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar harapan, 1994.

---, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, Karawang: UNSIKA, 1993,


(3)

Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Di Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987.

Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty, 1993.

Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1992.

G. Dwipanaya dan Ramadhan, K.H., Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Otobiografi), Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.

Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

---, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

---, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996.

---, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Koirudin, Profil Pemilihan Umum 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Naskah Akademik Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 Usulan Komisi Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.

Marzuki, Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara, Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999, Disertasi, Program Pasca Sarjana USU: Medan, 2007.


(4)

Miriam Budiarjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, Jakarta: Jurnal Ilmu Politik, No. 10, 1990.

Miriam Budiarjo, Demokrasi Di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: CV. Sinar Bakti, 1983.

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999.

---, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.

M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1980.

Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010.

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Peter Harris dan Ben Reilly, Demokrasi dan Konflik Yang Mengakar : Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, Jakarta: International IDEA, 2000.

Poerwodaminto W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah

Secara Langsung, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005).

Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991.

Saifullah Yusuf dan Fahruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, 2000.

Samsul Wahidin, Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.


(5)

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Sjahran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, Bandung: Alumni, 1989.

Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai pengawal Demokrasi, Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi dan Kekuasaa MPR, Yogyakarta: Liberty, 1981.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991.

Syamsudin Haris, Pemilu Langsung Ditengah Oligarki Partai, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2005.

Tri Ratnawati, Potret Pemerintahan Lokal Di Indonesia Dimasa Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Internet :

Benjuino Theodore, Sistem Pemilihan Umum: Sebuah Perkenalan,

http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/publikasi/artikel-opini/aly-yusuf/256-pilkada-aceh-hajatan-statis.

Peraturan Perundang-Undangan :


(6)

Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah..

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.

Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Di Aceh.

Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sumber Lain:

Harian Serambi Mekah, Jumat 2 November 2007.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-III/2005. Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor: 11/PILKADA/2007/PT-BNA. Putusan Pengadilan Negeri Kuta Cane Nomor: 01/Pid/Prap/PN-KC.