Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

(1)

Skripsi

KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012

( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

Disusun Oleh : Tri Maulia Ningsih

090906011

Dosen Pembimbing : Dra. T. Irmayani M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

TRI MAULIA NINGSIH (090906011)

KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012.

(Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012). Rincian isi Skripsi : 93 halaman, 9 tabel, 2 gambar, 16 buku, 1 jurnal, 5 situs internet, 3 arsip daerah, serta 4 wawancara. (Kisaran buku dari tahun 1995-2009).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba memberikan gambaran mengenai fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di kabupaten Aceh Tamiang tahun 2012. Pilkada Aceh memang menarik untuk dikaji mengingat kekerasan dan konflik seakan tak pernah lepas dari wilayah tersebut, meski perdamaian telah didengungkan 2005 lalu melalui perjanjian MoU Helsinki antara RI dan GAM, tetap saja konflik masih melanda negeri serambi Mekkah itu, dengan mengandalkan partai politik lokal (Partai Aceh) yang mulai terbentuk pasca perundingan seolah semakin memperkukuh kekuatan politik mereka diranah pemerintahan. Bisa dikatakan bahwa hampir seluruh kabupaten di Provinsi Aceh dimenangkan oleh pemimpin yang diusung dari Partai Aceh pada pemilu 2012 lalu, begitupula pada pilkada Aceh Tamiang dimana pasangan yang diusung dari Partai Aceh berhasil masuk ke putaran kedua.

Tentu harapan besar mereka adalah menang dalam pilkada, namun kenyataan menunjukkan lain. Kemenangan justru diraih oleh rivalnya yang berasal dari koalisi partai nasional. Lantas isu politikpun muncul, terkait persoalan atas kekerasan dan intimidasi yang terjadi menjelang pemilu putaran kedua, belum lagi kasus money politic yang dilakukan calon terpilih terhadap aparat keamanan (TNI dan Polri) yang lebih memihak kepada mereka. Hal tersebut semakin memperkuat asumsi bahwa


(3)

pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang 2012 dinilai tidaklah demokratis. untuk itulah penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana kualitas demokrasi pada pilkada Aceh Tamiang itu sebenarnya.

Penelitian ini sendiri merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk menjelaskan atau penggambaran secara mendalam tentang situasi pemilukada di Aceh Tamiang tahun 2012. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tamiang dengan informan yang berjumlah 4 orang, penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif yaitu data-data yang dikumpulkan baik data primer dan sekunder akan dieksplor secara mendalam.

Dalam penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana kualitas demokrasi pada pilkada Aceh Tamiang 2012, dilihat dari sudah sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat Tamiang dalam proses kegiatan pemilihan umum, selain itu dapat dilihat pula kebebasan sipil masyarakatnya. Dalam artian masyarakat mulai harus bebas menentukan pilihan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun seperti hal yang sering terjadi di sejumlah daerah di Aceh jika musim pemilu mulai digelar. Dengan demikian kita akan mengetahui sudah sejauh mana tingkat demokrasi pada pemilukada ditingkat lokal terutama pada pemilukada Aceh Tamiang 2012.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

TRI MAULIA NINGSIH (090906011)

THE QUALITY OF DEMOCRACY IN REGIONAL HEAD ELECTIONS ACEH TAMIANG 2012

(Case Study : The Election of Regional Heads Aceh Tamiang 2012). Details of Thesis Content : 93 pages, 19 tables, 2 images, 16 books, 1 journal, 5 website, 3 archive area, and 4 interview (Publication from 1995-2009).

ABSTRACT

This study tries to provide an overview of the phenomena that occur in the implementation of regional head elections in Aceh Tamiang in 2012. Aceh local elections is interesting to study if given the violence and conflict was never out of the region, despite 2005 peace has echoed through the MoU agreement between Indonesia and GAM , still conflict still hit the Mecca porch country, relying on local political parties ( the Party Aceh ), which began to take shape after the negotiations as they further strengthen the political power of government diranah. It could be said that almost all districts in Aceh Province won by the leader of the Aceh Party, which carried on past the 2012 elections, nor the election Tamiang where couples are carried from the Aceh Party made it into the second round.

Sure hope they are a big win in the election, but another reality show. The victory actually achieved by rivals from the national coalition . Then politikpun issues arise, related to the issue of violence and intimidation that occurred prior to the second round of the election, not to mention the case of money politics is conducted elected candidate against security forces ( military and police ) are more favorable to them . This further strengthens the assumption that the implementation of the 2012 election Tamiang assessed is not democratic. for which the study was conducted to determine how the quality of democracy in the actual election Tamiang . This study itself is a descriptive study which is intended to explain or portrayal in depth about the situation in Aceh Tamiang election in 2012. This research was conducted in Aceh Tamiang with 4 informants numbered, qualitative descriptive study with the aim of giving an overview of the situation or condition that occurs by


(5)

using qualitative analysis of data collected both primary and secondary data will be explored in depth.

In this research will also describe how the quality of democracy in Tamiang election of 2012, seen from the extent to which the level of public participation in the process Tamiang election activities, but it can also be seen civil liberties community. In the sense that people are starting to be free to choose without any pressure from any party as it is often the case in a number of areas in Aceh if the election season began was held. Thus we will know how far democratization of elections at the local level, especially in election Tamiang 2012.


(6)

(7)

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda Tercinta


(8)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin Wassalatuwassalamu’ala Ashrofil Anbiya Iwalmursalin wa’ala Aalihi Wa-ashabihi Ajma’in, puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya atas kesehatan jasmaniah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, juga tak lupa penulis ucapkan shalawat beriringkan salam kepada baginda Rasulullah SAW teladan yang baik bagi seluruh umat.

Skripsi yang berjudul “KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan jenjang S1 pada program studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Penyusunan skripsi ini merupakan sebuah rangkaian proses yang dilakukan oleh setiap mahasiswa dalam mencapai kelulusan pada perkuliahan di tingkat akhir, termasuk mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fisip USU.

Penelitian ini terdiri dari 4 bab dengan rincian, BAB I : Membahas latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Membahas mengenai profil sejarah dan deskripsi lokal Kabupaten Aceh Tamiang serta hasil pemilukada Aceh Tamiang 2012 putaran pertama dan kedua. BAB III : Memuat penyajian dan analisis data yang diperoleh dari hasil wawancara yang telah diberikan kepada responden terpilih, data tersebut disajikan dan dianalisis sesuai dengan karakteristik responden mengenai kualitas demokrasi pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012. BAB IV : Berisi kesimpulan atas kritik dan saran yang terkait dengan penelitian.


(9)

Melalui skripsi mengenai “Kualitas Demokrasi pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012” ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi orang banyak, khusus bagi pembaca diharapkan dapat mengetahui dan memahami bagaimana kualitas demokrasi ditingkat lokal, khususnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang tahun 2012, serta memperluas khasanah dan pengetahuan di bidang politik dan menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik. Sementara bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dalam membuat karya ilmiah dan menganalisis kondisi sosial masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini tentu penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dalam tulisan, susunan kalimat maupun proses analisisnya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis akan menyambut dan menerima kritik serta saran yang nantinya akan membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, 25 Februari 2014


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada dasarnya manusia itu diciptakan untuk saling berinteraksi, saling berbagi dan bergantung satu dengan yang lainnya, termasuk penulis yang dalam hal ini membutuhkan orang-orang disekitar agar kesulitan yang dihadapi akan terasa mudah untuk dijalani, begitupula dalam tahap penyelesaian skripsi ini yang juga tidak terlepas dari dukungan serta dorongan orang-orang sekitar yang telah banyak memberikan kontribusinya dalam hidup ini.

Secara langsung maupun tidak langsung mereka yang disebutkan ini bagi penulis adalah orang-orang yang luar biasa, selain dengan membagi ilmu yang telah diketahui kepada penulis, mereka juga termasuk motivator terbesar dalam hidup ini. Untuk itulah penulis haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, antara lain :

1. Terima Kasih kepada Ibunda tercinta Sumiati Ama.Pd. Skripsi ini saya persembahkan untuknya, seorang ibu sekaligus motivator terbaik dalam hidup ini. Melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu yang mampu menjadikan putra putrinya menjadi anak yang berguna meski hanya seorang diri. Juga berterima kasih kepada ayahanda Sumardji, karena berkat dirinyalah saya terlahir ke dunia ini.


(11)

2. Terima Kasih kepada kedua kakanda tercinta Muhammad Subakti, S.Pd dan

Pratu Yulistiawan Trisnadi, yang selama ini selalu memotivasi saya untuk semangat tidak hanya dalam hal menyelesaikan skripsi melainkan dalam hal menjalani problema kehidupan, tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada adik tercinta Siti Indriati Fauziah yang saat ini sedang menyelesaikan studinya di Akademi Kebidanan, tetaplah menjadi adik yang ceria yang selalu menghibur keluarga dikala duka dan kelak jadilah bidan yang profesional. Serta terima kasih pula untuk kakak ipar Susanti Amd.Kep

yang telah hadir menjadi bagian dari keluarga ini dan melengkapi kebahagiaan dibalik penderitaan.

3. Terima Kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Terima Kasih kepada Ibu T.Irmayani, M.Si. Selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang tak pernah bosan membimbing dalam hal memberikan pengarahan serta nasehatnya kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Terima Kasih kepada Bapak Ir.Izuddin, selaku mantan ketua KIP Aceh Tamiang periode 2008-2013 yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penelitian skripsi ini.


(12)

6. Terima Kasih kepada Bapak Alhamda, SHI. Selaku ketua KIP Aceh Tamiang periode 2013-2018 yang telah memberikan nasehat serta motivasi yang membangun untuk penyelesaian skripsi ini.

7. Terima Kasih kepada Bapak Ahmad Effendi, selaku tokoh masyarakat di Kabupaten Aceh Tamiang, Bapak Ngatijan dan Saudara Eriyan, yang telah bersedia menjadi narasumber untuk penyelesaian skripsi ini.

8. Terima Kasih kepada seluruh dosen Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menyelesaikan studi di Departemen Ilmu Politik. Tentu gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” itu memang pantas diberikan kepada bapak/ibu dosen yang tak pernah kenal lelah mengajar dan membagi ilmu kepada seluruh mahasiswanya.

9. Terima Kasih kepada seluruh staff pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU yang telah banyak membantu menyelesaikan urusan administrasi terkait perkuliahan selama masa studi di departemen Ilmu Politik FISIP USU. Kepada kak siti, bang burhan dan kak ema terimakasih banyak atas bantuannya selama ini.

10.Terima Kasih kepada sahabat-sahabat terbaik selama menjalani perkuliahan di Departemen Ilmu Politik, Leni Maya Sari Barus, Indah Sartika, dan Dhea Raisa Darus. Waktu begitu cepat berlalu, kini masing-masing dari kita mulai


(13)

disibukkan oleh serangkaian aktifitas guna meraih masa depan, meski harus berpisah kuharap jalinan persahabatan kita akan tetap terjaga. Love you all para kecebong-kecebongku.

11. Terima Kasih kepada teman-teman terbaik yang telah menjadi teman suka duka dalam penyelesaian skripsi ini : Evi Rizki Rahmadani, Utari Rumaoli Sitorus, Said Furqan, Fredi dan Ira. Terima Kasih juga kepada teman-teman lainnya di Departemen Ilmu Politik : Elisa, Kafi, Edo, Novi, Meliska, Chastry, Yudit, Reska, Bilhaq, Febri, serta teman seperjuangan selama menjalani PKL di DPW Partai NasDem Sumut : Nico, Putra dan Azis. Dan kepada seluruh teman-teman stambuk 2009 yang tidak dapat saya sebut satu persatu, terimakasih atas segalanya.

12.Terima Kasih kepada teman-teman Asrama Putri USU yang telah menjadi bagian dari penyemangat hidup saya : Fitri Hidayati Sinaga, kak Ade, Titin, kak Fani, kak Vivin, kak Dela, kak Asri, dan juga ibu kantin Asrama (Ibu Ana) yang sering menjadi teman curhat.

13.Terima Kasih kepada teman terbaik selama ngekost saat awal kuliah : kak Ridha, teman berbagi suka duka dan memiliki hobi yang sama, serta kak Tiwi yang selalu memberikan nasehat-nasehatnya demi kemajuan perkuliahan saya.


(14)

14.Semoga skripsi ini berguna bagi pembaca nantinya dan semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya, melindungi kita dari segala kemaslahatan dan memberikan keberkahan pada kita semua. Aamiin… amin.. ya rabbal a’lamin.

Medan, 25 Februari 2014


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ………... i

Abstract ………... iii

Halaman Persetujuan ………... v

Lembar Persembahan ………... vi

Kata Pengantar ………... vii

Ucapan Terima Kasih ………. ix

Daftar Isi …….…..……….………...………...……. xiv

Daftar Tabel dan Gambar ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ………..………...………... 1

1.2Rumusan Masalah ……..………...………... 8

1.3Batasan Masalah ………..………..……….…….………. 8

1.4Tujuan Penelitian ………..………..……….………. 9

1.5Manfaat Penelitian ………….…….………..………..………….. 9

1.6Kerangka Teori ………..………..……….………... 9

1.6.1 Demokrasi 1.6.1.1Konsep dan Teori Demokrasi ………….…………. 10


(16)

1.6.1.3Demokrasi Tingkat Lokal ………..………. 18

1.6.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung 1.6.2.1Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung …….. 23

1.6.2.2Sistem Pemilukada Langsung ………..…... 25

1.6.2.3Pemilukada sebagai Praktik Demokrasi ……..…… 26

1.7Metodologi Penelitian 1.7.1 Metode Penelitian ……….... 30

1.7.2 Jenis Penelitian ………... 30

1.7.3 Lokasi Penelitian ……… 31

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data ………...…... 31

1.7.5 Teknik Analisis Data ………...…………... 32

1.8Sistematika Penulisan ……….………..…..…...…... 33

II. DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG 2.1 Latar Belakang Sejarah Kabupaten Aceh Tamiang……….. 34

2.1.1 Sejarah Kerajaan Benua Tamiang………... 34

2.1.2 Pemekaran Kabupaten Aceh Tamiang………...………... 42

2.2 Profil Kabupaten Aceh Tamiang………... 47

2.2.1 Wilayah Administratif………... 50

2.2.2 Demografi………... 51

2.2.3 Sosial, Budaya dan Ekonomi………... 53


(17)

2.3 Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012…………... 56

2.3.1 Pemilukada Putaran Pertama……….. 57

2.3.2 Pemilukada Putaran Kedua……… 60

BAB III. KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012 3.1 Pembahasan……… 62

3.2 Analisis Pilkada Aceh Tamiang 2012……… 63

3.2.1 Keterbukaan……… 63

3.2.1.1 Kebebasan Sipil………..………...……. 70

3.2.1.2 Pengawasan Keamanan……….. 74

3.2.2 Ketepatan……….………..………….... 76

3.2.3 Keefektifan Pemilu……….……… 77

3.2.3.1 Partisipasi Politik………...……….… 77

3.2.3.1.1 Ikut Memilih dalam Pemilu………. 78

3.2.3.1.2 Golput………... 84

BAB IV. PENUTUP 4.1 Kesimpulan……….... 87


(18)

Daftar Pustaka………...…… 91

Daftar Lampiran :

Lampiran 1. Transkip Wawancara dengan Ir.Izuddin Lampiran 2. Transkip Wawancara dengan Ahmad Effendi Lampiran 3. Transkip Wawancara dengan Ngatijan dan Eriyan


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Ciri Utama Negara dalam Tiga Dimensi……… 22

Tabel 2 Proses Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota di Aceh……….….. 43

Tabel 3 Batas Wilayah Aceh Tamiang……… 48

Tabel 4 Luas Kabupaten Aceh Tamiang………. 51

Tabel 5 Jumlah Penduduk Aceh Tamiang……….. 52

Tabel 6 Hasil Pemilukada Putaran Pertama……….... 59

Tabel 7 Hasil Pemilukada Putaran Kedua……….. 61

Tabel 8 Hasil Perhitungan Suara Pemilih dan Penggunaan Hak pada Pilkada 2012 Putaran Pertama……… 79

Tabel 9 Hasil Perhitungan Suara Pemilih dan Penggunaan Hak pada Pilkada 2012 Putaran Kedua………... 80

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Lambang Kabupaten Aceh Tamiang………... 49


(20)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

TRI MAULIA NINGSIH (090906011)

KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012.

(Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012). Rincian isi Skripsi : 93 halaman, 9 tabel, 2 gambar, 16 buku, 1 jurnal, 5 situs internet, 3 arsip daerah, serta 4 wawancara. (Kisaran buku dari tahun 1995-2009).

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba memberikan gambaran mengenai fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di kabupaten Aceh Tamiang tahun 2012. Pilkada Aceh memang menarik untuk dikaji mengingat kekerasan dan konflik seakan tak pernah lepas dari wilayah tersebut, meski perdamaian telah didengungkan 2005 lalu melalui perjanjian MoU Helsinki antara RI dan GAM, tetap saja konflik masih melanda negeri serambi Mekkah itu, dengan mengandalkan partai politik lokal (Partai Aceh) yang mulai terbentuk pasca perundingan seolah semakin memperkukuh kekuatan politik mereka diranah pemerintahan. Bisa dikatakan bahwa hampir seluruh kabupaten di Provinsi Aceh dimenangkan oleh pemimpin yang diusung dari Partai Aceh pada pemilu 2012 lalu, begitupula pada pilkada Aceh Tamiang dimana pasangan yang diusung dari Partai Aceh berhasil masuk ke putaran kedua.

Tentu harapan besar mereka adalah menang dalam pilkada, namun kenyataan menunjukkan lain. Kemenangan justru diraih oleh rivalnya yang berasal dari koalisi partai nasional. Lantas isu politikpun muncul, terkait persoalan atas kekerasan dan intimidasi yang terjadi menjelang pemilu putaran kedua, belum lagi kasus money politic yang dilakukan calon terpilih terhadap aparat keamanan (TNI dan Polri) yang lebih memihak kepada mereka. Hal tersebut semakin memperkuat asumsi bahwa


(21)

pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang 2012 dinilai tidaklah demokratis. untuk itulah penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana kualitas demokrasi pada pilkada Aceh Tamiang itu sebenarnya.

Penelitian ini sendiri merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk menjelaskan atau penggambaran secara mendalam tentang situasi pemilukada di Aceh Tamiang tahun 2012. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tamiang dengan informan yang berjumlah 4 orang, penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif yaitu data-data yang dikumpulkan baik data primer dan sekunder akan dieksplor secara mendalam.

Dalam penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana kualitas demokrasi pada pilkada Aceh Tamiang 2012, dilihat dari sudah sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat Tamiang dalam proses kegiatan pemilihan umum, selain itu dapat dilihat pula kebebasan sipil masyarakatnya. Dalam artian masyarakat mulai harus bebas menentukan pilihan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun seperti hal yang sering terjadi di sejumlah daerah di Aceh jika musim pemilu mulai digelar. Dengan demikian kita akan mengetahui sudah sejauh mana tingkat demokrasi pada pemilukada ditingkat lokal terutama pada pemilukada Aceh Tamiang 2012.


(22)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

TRI MAULIA NINGSIH (090906011)

THE QUALITY OF DEMOCRACY IN REGIONAL HEAD ELECTIONS ACEH TAMIANG 2012

(Case Study : The Election of Regional Heads Aceh Tamiang 2012). Details of Thesis Content : 93 pages, 19 tables, 2 images, 16 books, 1 journal, 5 website, 3 archive area, and 4 interview (Publication from 1995-2009).

ABSTRACT

This study tries to provide an overview of the phenomena that occur in the implementation of regional head elections in Aceh Tamiang in 2012. Aceh local elections is interesting to study if given the violence and conflict was never out of the region, despite 2005 peace has echoed through the MoU agreement between Indonesia and GAM , still conflict still hit the Mecca porch country, relying on local political parties ( the Party Aceh ), which began to take shape after the negotiations as they further strengthen the political power of government diranah. It could be said that almost all districts in Aceh Province won by the leader of the Aceh Party, which carried on past the 2012 elections, nor the election Tamiang where couples are carried from the Aceh Party made it into the second round.

Sure hope they are a big win in the election, but another reality show. The victory actually achieved by rivals from the national coalition . Then politikpun issues arise, related to the issue of violence and intimidation that occurred prior to the second round of the election, not to mention the case of money politics is conducted elected candidate against security forces ( military and police ) are more favorable to them . This further strengthens the assumption that the implementation of the 2012 election Tamiang assessed is not democratic. for which the study was conducted to determine how the quality of democracy in the actual election Tamiang . This study itself is a descriptive study which is intended to explain or portrayal in depth about the situation in Aceh Tamiang election in 2012. This research was conducted in Aceh Tamiang with 4 informants numbered, qualitative descriptive study with the aim of giving an overview of the situation or condition that occurs by


(23)

using qualitative analysis of data collected both primary and secondary data will be explored in depth.

In this research will also describe how the quality of democracy in Tamiang election of 2012, seen from the extent to which the level of public participation in the process Tamiang election activities, but it can also be seen civil liberties community. In the sense that people are starting to be free to choose without any pressure from any party as it is often the case in a number of areas in Aceh if the election season began was held. Thus we will know how far democratization of elections at the local level, especially in election Tamiang 2012.


(24)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum. Demokrasi dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan melalui proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana seluruh kelompok yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang harus dihormati dan dihargai oleh semua pihak.

Kata demokrasi berangkat dari dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan. Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat.1 Demokrasi sendiri merupakan sistem kenegaraan yang sangat populer di dunia, banyak Negara menerapkan prinsip demokrasi sebagai landasan dalam menjalankan roda pemerintahannya, demokrasipun dianggap sebagai bentuk kehidupan bernegara yang ideal, populer dan menjadi idaman bagi masyarakat di seluruh dunia, sekalipun Negara itu monarki absolute seperti Arab Saudi, Thailand, Jepang dan Inggris. 2

1

Prof.Dr.Hafied Cangara.2009. Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali Pers. hal.63.

2

Ibid. Hal.66.

Demikian pula dengan Indonesiayang sejak tahun 1945 telah banyak melakukan praktik-praktik kenegaraan dengan berbagai macam label demokrasi, mulai dari demokrasi parlementer,


(25)

demokrasi liberal, demokrasi terpimpin sampai demokrasi pancasila, meskipun dalam pelaksanaannya cenderung masih otoriter dan liberalisme.

Bentuk demokrasi itupun dapat tercermin dalam pelaksanaan pemilihan umum di suatu Negara tertentu untuk memilih pejabat Negara sebagai pemimpin, pemilihan umum yang demokratis menjadi arena pertarungan para anggota masyarakat untuk dipilih dan memilih calon yang akan menduduki jabatan Negara mulai dari presiden dan wakil presiden, anggota parlemen, utusan daerah, gubernur dan wakil gubernur sampai kepada bupati/walikota dan wakil bupati/walikota. Proses pencalonan juga harus terbuka sehingga setiap warga Negara memiliki akses dan berhak untuk mencalonkan diri sesuai syarat-syarat yang diterapkan oleh undang-undang yang berlaku.3

Tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi yakni memberi kesempatan agar daerah memiliki kepercayaan diri untuk menumbuhkan kemampuannya agar bisa mengelola sumber daya yang dimiliki, guna memberi kesejahteraan kepada warganya

Salah satu tujuan dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri adalah untuk mensejahterakan rakyat. Dalam hal ini untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus berupaya untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek baik itu dibidang ekonomi, politik, sosial dan budaya secara merata mulai dari pemerintah pusat sampai ditingkat daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terjadinya ketidakmerataan sistem pembangunan pada masa orde baru menyebabkan banyaknya pemekaran daerah yang tercipta pasca orde reformasi sebagai wujud dari pelaksanaan sistem demokrasi, untuk itulah pemerintah pusat memberikan wewenang pada pemerintah daerah dengan mewujudkan sistem desentralisasi yakni penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

3


(26)

dengan pemberian pelayanan publik yang lebih dekat dan cepat tanpa bergantung kepada pusat.4

Karena pada dasarnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih pemimpin daerah. Dengan kata lain, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi.

Maka diperlukanlah pemimpin daerah yang kita sebut sebagai gubernur (ditingkat provinsi), serta bupati/walikota (ditingkat kabupaten/kota). Pemilihan kepala daerah seperti gubernur/wakil gubernur maupun bupati/walikota tentu dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sebuah sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung sendiri merupakan fenomena kenegaraan baru yang terjadi di Indonesia, artinya pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya, pemilihan pemimpin daerah ini dipilih oleh DPRD, akan tetapi karena adanya perubahan yang terjadi pada masa reformasi tahun 1998 maka pemilihan umum kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

5

4

Ibid. Hal.73.

5

Joko J.Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, SIstem dan Problema Penerapan di Indonesia. Pustaka Belajar. Hal.98.

Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan


(27)

adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya. Sehingga muncullah konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja dengan ide dan konsep yang lama, melainkan telah bekerja dengan ide dan konsep yang baru.6

Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan berubah menjadi lebih baik lagi, pembaruan kabupaten juga berarti perombakan secara menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan massa rakyat.7 Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan dan dijadikan tempat perlindungan, pelayanan publik serta pembangunan.8

6

Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten.Yogyakarta : Pembaruan. 2004. Hal. ix-x.

7

Joko J. Prihatmoko, Op.Cit. Hal.13.

8

Ibid. Hal.203.

Karena itulah, untuk merealisasikan serta mengaplikasikan prinsip demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, maka diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran daerah Kabupaten Aceh Tamiang.

Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Aceh. Sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Aceh Timur yang beribukotakan Langsa. Kabupaten ini merupakan hasil dari pemekaran daerah Aceh Timur yang terletak di perbatasan Aceh-Sumatera, dimana penduduk asli di daerah tersebut merupakan kawasan yang banyak bermukim masyarakat Tamiang yang serupa dengan etnis Melayu, selain itu di daerah ini juga terdapat minoritas masyarakat etnis jawa dan etnis Aceh.


(28)

Sebagai daerah pemekaran tentu banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah daerah tersebut dengan melakukan pembangunan di berbagai kecamatan yang terdapat di kabupaten Aceh Tamiang, tentu sudah menjadi tanggungjawab pemimpin daerah (dalam hal ini Bupati) yang bertugas membangun dan mensejahterakan masyarakatnya. Pada awal berdirinya Aceh Tamiang yakni pada 2 Juli 2002, daerah ini dipimpin oleh Bupati Ishak Djuned yang notabene merupakan bupati Aceh Timur, lalu Ishak Djuned menunjuk Abdul Latief yang merupakan karyawan PDAM kota Langsa sebagai pejabat sementara Bupati Aceh Tamiang.

Aceh Tamiang sendiri telah melewati 2 kali pelaksanaan pilkada langsung, yakni pada tahun 2007 dan 2012. Pada pilkada tahun 2007 Abdul Latief yang merupakan bupati Aceh Tamiang ikut berkompetisi dalam proses pemilihan umum kepala daerah dan berhasil terpilih bersama wakilnya Awaluddin untuk memimpin Aceh Tamiang periode 2007-2012. Sehabis masa bakti Abdul Latief, Aceh Tamiang kembali menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung tahun lalu yakni pada 9 April 2012. Penyelenggaran pilkada tersebut dilakukan dalam 2 putaran dikarenakan dari 11 pasangan calon tidak ada suara yang meraih kuota 30%. Kandidat yang masuk ke putaran kedua yakni pasangan nomor urut 4 (Agussalim-Abdussamad) serta pasangan nomor urut 10 (Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain). Pilkada putaran kedua yang dilaksanakan 12 September 2012 lalu, dimenangkan oleh pasangan nomor urut 10 yakni Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain.

Kemenangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain merupakan fenomena kontroversial bagi masyarakat Aceh Tamiang saat pesta demokrasi berlangsung, dimana pasangan calon yang terpilih adalah pasangan yang diusung dari koalisi partai yakni PAN, PBR, PBA, dan PKS. Sementara yang semula diprediksi akan memenangkan pilkada adalah pasangan yang diusung dari PA. Partai Aceh sendiri merupakan partai lokal yang terbentuk di Aceh pasca perdamaian Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005 lalu antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan


(29)

NKRI, dimana salah satu persyaratan yang diajukan petinggi GAM pada saat itu adalah dengan meminta untuk mendirikan partai lokal sebagai wujud partisipasi politik mereka dalam mensejahterakan masyarakat Aceh, melalui proses kegiatan politik guna memperoleh kedudukan dalam pemerintahan Aceh. Sebagaimana point 1.2.1 Mou Helsinki yaitu : “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.”9

Partai Aceh yang sebelumnya bernamakan Partai Gerakan Aceh Merdeka, kemudian pernah berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri ini sendiri memiliki basis yang cukup besar dalam menarik massa, bahkan petinggi PA juga menginginkan agar seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh dapat dipimpin oleh calon yang diusung dari partai mereka. Terlepas dari apakah mereka melakukan intimidasi terhadap masyarakat atau tidak namun terbukti dalam pemilihan bupati/walikota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh ada 8 kabupaten/kota yang dimenangkan oleh PA. Seperti Kabupaten Aceh Besar dimenangkan oleh Mukhlis Basyah-Samsulrizal, Kabupaten Pidie yang dimenangkan oleh pasangan Sarjani Abdullah-M.Iriawan, Kabupaten Aceh Timur oleh Hasballah-Syahrul bin Syamaun, Kabupaten Aceh Utara dimenangkan oleh Muhammad M Thaib-Muhammad Djamil, Kabupaten Aceh Jaya dimenangkan oleh Azhar Abdurrahman-Tgk.Maulidi, Kota Bireun oleh pasangan Ruslan H Daud-Mukhtar Abda, 10

9

http://www.partaiaceh.com/2012/02/sejarah-partai-aceh.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.

10

http://www.acehtraffic.com/2012/04/pasangan-lusruskan-mou-menangkan-6.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.

Kota Lokhseumawe oleh Suaidi Yahya/Nazaruddin, serta Kota Sabang oleh Zulkifli H.Adam-Nazaruddin, begitu pula pada pemilihan Gubernur Aceh yang juga dimenangkan oleh pasangan dari Partai Aceh yakni Zaini Abdullah-Muzakir Manaf.


(30)

Proses pemilihan bupati Aceh Tamiang 2012 sejatinya memanglah tidak berjalan mulus, dikarenakan perseteruan kepentingan oleh kedua kubu (kubu Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain dan Agussalim-Abdussamad) yang sama-sama kuat, dalam rangka merebut posisi nomor satu di daerah ini. Berbagai ancaman kekerasan dan teror muncul, diantaranya teror yang berdatangan dari kubu pendukung PA yang mengancam masyarakat pedalaman agar memilih calon yang mereka usung, belum lagi berkembangnya isu yang datang dari kubu Hamdan Sati mengenai keterlibatan aparat keamanan (dalam hal ini TNI dan Polri) dalam proses pilkada Aceh Tamiang yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati.

Hamdan diduga melakukan blockade disejumlah daerah dengan mengandalkan kekuatan aparatur Negara dan memaksa masyarakat untuk memilihnya, isu semakin berkembang saat seluruh kader dari PA menggelar aksi demonstrasi dan meminta pada Mahkamah Konstitusi untuk mengulang kembali pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang, mereka juga menuntut pihak Hamdan Sati karena diduga telah melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Namun yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah jika memang benar bupati terpilih melakukan kecurangan dan sebagainya, lantas apa yang membuat masyarakat masih mau memilihnya? Apakah masyarakat Tamiang mulai terbuai dengan berbagai suap yang diberikan calon terpilih? Atau sebaliknya karena takut akan ancaman yang datang pada mereka? Lalu seperti apa sebenarnya preferensi pemilih masyarakat Tamiang pada pilkada langsung tersebut. Apakah nilai-nilai demokrasi pilkada langsung di Aceh Tamiang sudah mulai luntur? Ataukah malah isu mengenai proses pelaksanaan pemilu yang sarat akan kekerasan dan intimidasi tersebut, hanyalah kabar burung yang sengaja dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab?

Melihat fenomena tersebut tentu membuat penulis begitu tertarik untuk membahas, serta mendeskripsikan lebih dalam tentang bagaimana kualitas demokrasi pilkada Aceh Tamiang 2012 sebenarnya, maka dari itu diperlukanlah sebuah


(31)

penelitian ini untuk diangkat, guna mengetahui bagaimana kualitas demokrasi Aceh Tamiang saat penyelenggaraan pilkada berlangsung. Karena pada dasarnya pemilihan umum kepala daerah merupakan laboratorium demokrasi di Indonesia, dari situlah kita dapat melihat sudah sejauh mana demokrasi ditingkat lokal berjalan dan ditahap apa sebenarnya kita berada. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada akan selalu hangat untuk dikaji dan diperbincangkan.

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya, dan rumusan masalah dapat menghasilkan jawaban daripada topik penelitian atau judul penelitian. Menurut Nazir, perumusan masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang jelas dan padat, berisi implikasi adanya data untuk memecahkan masalah, serta merupakan dasar dalam membuat hipotesis dan judul penelitian.11

1.3Batasan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis ingin mendeskripsikan suatu fenomena pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ?”

Dalam sebuah penelitian, penulis memerlukan batasan masalah agar masalah yang diangkat tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Adapun batasan masalahnya, yakni :

11


(32)

1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilukada. 2. Kebebasan Sipil dalam proses pemilukada.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan keinginan yang ingin dilakukan dan dicapai dalam melakukan suatu penelitian, untuk itu tujuan penelitian perlu kiranya disusun secara spesifik sesuai dengan kepentingan penelitian.12

1.5Manfaat Penelitian

Oleh karena itu, tujuan penelitian penulis adalah untuk menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pilkada Aceh Tamiang 2012, dan menganalisis kebebasan sipil dalam proses pilkada Aceh Tamiang 2012.

a. Bagi Penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dalam membuat karya ilmiah dan menganalisis kondisi sosial masyarakat.

b. Khususnya bagi pembaca akan memahami bagaimana kualitas demokrasi ditingkat lokal, khususnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang tahun 2012.

c. Memperluas khasanah dan pengetahuan di bidang politik dan menjadi bahan rujukan bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik.

12


(33)

1.6Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan penjelasan titik tolak ataupun landasan pemikirannya dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang membuat pokok-pokok pemikiran yang menggambarkan sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti.13

1.6.1 Demokrasi

Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori ini adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara menerangkan dan merumuskan hubungan antara konsep pemikiran.

1.6.1.1Konsep dan Teori Demokrasi

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum. Demokrasi sendiri dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan melalui proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana semua kelompok yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang harus dihormati dan dihargai oleh semua pihak.

Kata “demokrasi” terdiri atas dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan.

13

Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hal.24.


(34)

Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Secara terminologi demokrasi adalah sebagai berikut: 14

- Joseph A. Schumpeter mengatakan, demokrasi merupakan suatu perencaan instutisional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

- Philippe C. Schmitter, demokrasi merupakan sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.

Sementara definisi demokrasi lainnya seperti dikemukakan oleh Ebenstein bercirikan empirisme rasional, individu-oriented, negara sebagai alat, kesukarelaan, hukum di atas hukum, cara, persetujuan dan persamaan. Sedangkan Robert Dahl, seperti dikutip oleh Samuel Huntington mengungkapkan bahwa demokrasi tidak boleh melibatkan unsur emosi akan tetapi menggunakan akal sehat. Pemikiran Dahl terhadap demokrasi menandai bergulirnya babak baru pemikiran tentang demokrasi.15

Demokrasi dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas Adapun beberapa teori-teori demokrasi yaitu :

1. Demokrasi Klasik

14

Prof.Dr.Hafied, Op Cit. Hal. 63.

diakses 22 Oktober 2013 pukul 20.25 wib.


(35)

pelbagai permasalahan kenegaraan. Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.

Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum.

Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri. Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.

2. Kontrak Sosial

Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman Pencerahan yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif


(36)

kesejarahan, zaman pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu aman pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di zaman pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah dijelaskan di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. yang jelas adalah bahwa pada zaman pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.

Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain, perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam fraksinya. Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah. Hobbes menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.

Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Dengan demikian


(37)

Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam. Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan). Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil.16

Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.

16


(38)

hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.

Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya memiliki power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).

Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam. Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.

Untuk menghindar dari kondisi yang memiliki hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua, untuk


(39)

memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum untuk dibedakan dari hanya kehendak semua. Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak, akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya.

3. Trias Politica

Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, dilatarbelakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.

Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis, Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut:

a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang

c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili)

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan


(40)

kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

1.6.1.2 Prinsip Demokrasi

Menurut Masykuri Abdillah,prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas persamaan (Equality), kebebasan (freedom), dan kemajemukan (pluralisme). 17 Prinsip Persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat biasa ataupun pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Prinsip Kebebasan menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan. Sedangkan Prinsip Pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama pemikiran dan sebagainya merupakan conditio sine qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakkan). 18

17

U. Ubaidillah. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. IAIN Jakarta Press, Jakarta. Hal. 165.

18

Ibid. Hal.166.

Prinsip-prinsip ini harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya, karena jika prinsip-prinsip ini berjalan tanpa diikuti oleh prinsip-prinsip yang lainnya maka demokrasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Misalnya adalah demokrasi tidak akan dapat berjalan walaupun adanya pembagian kekuasaan, tetapi tidak diikuti oleh adanya pemerintahan berdasarkan atas hukum, atau tanpa diikuti oleh adanya partai politik yang lebih dari satu. Karena sangat sulit dikatakan demokrasi bila tidak adanya alternatif pilihan di luar partai politik yang telah ditentukan.


(41)

Dengan kata lain, demokrasi mengarah pada suatu sistem politik yang dijalankan oleh suatu pemerintahan, seperti Henry B. Mayo dalam buku Introduction to Democratic Theory memberi defenisi sebagai berikut :19

Teori Demokrasi Lokal menurut Timothy D. Sisk mengkonsepsikan Demokrasi dalam pemerintahan lokal adalah tatanan demokrasi yang paling mendasar yang dengannya segenap warga memiliki peluang yang paling aktif dan langsung berperan serta dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup segenap anggota masyarakat.

Sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas atas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. 1.6.1.3 Demokrasi Tingkat Lokal

20

19

Mirriam Budiarjdo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 117.

20

http://iesdepedia.com/blog/2013/01/14/demokrasi-lokal-teori/ diakses 22 Oktober 2013 pukul 20.00 wib.

Selain itu, secara terminologi demokrasi menurut Sidney Hook adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa, sedangkan arti kata Lokal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu ruang yang luas atau terjadi disuatu tempat. Jadi, demokrasi lokal jika di simpulkan dari pengertian tersebut adalah bentuk pemerintahan yang mana rakyatlah yang menentukan keputusan-keputusan didalam sebuah pemerintahan yang berlangsung di sebuah ruang lingkup yang lebih kecil atau dibawah hirarkis pemerintahan sebuah Negara.


(42)

Konsep yang di sebutkan oleh Timothy D. Sisk dalam teori demokrasi lokal ini adalah kewarganegaraan dan masyarakat, musyawarah, pendidikan politik, pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Berikut adalah sedikit gambaran mengenai konsep yang dikemukakan Timothy D. Sisk :

- Kewarganegaraan dan Masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.4 - Musyawarah. Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya

terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat5. musyawarah adalah konsep yang biasanya dilakukan dalam Demokrasi diranah lokal mengingat bahwa musyawarah adalah konsepsi demokrasi yang lebih dekat dengan dialektika masyarakat.6

- Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses “pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat7. adanya pendidikan politik memungkinkan masyarakat awam sekalipun untuk bisa berkontribusi di dalam segala urusan pemerintahan , maksudnya berkontribusi yaitu dengan jalan penyampaian aspirasi. Pendidikan politik membuat masyarakat punya pegangan yang kuat dan tidak buta dalam keikutsertaan segala proses politik.

- Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat lokal juga berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan


(43)

mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya, demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial.

Selain Timothy D. Sisk, teori demokrasi lokal juga berangkat dari pemikiran Dove yang menyatakan bahwa budaya tradisional selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakatnya pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Jadi, segala urusan yang terkait dengan perubahan politik dan sosial tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah melekat dan berkembang dimasyarakat. Budaya ternyata mampu memberi paradigma yang kuat terhadap masyarakat hingga mempengaruhi tindakan sosial dan politik masyarakat tersebut.

Pada dasarnya, demokrasi ditingkat lokal merupakan implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia. Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat. Hal paling mendasar dalam demokrasi adalah keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Perkembangan desentralisasi menuntut adanya proses demokrasi bukan hanya di tingkat regional tetapi di tingkat lokal.

Adanya demokrasi ditingkat lokal sebagai akibat dari proses demokrasi regional yang dituntut oleh perkembangan desentralisasi. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.


(44)

Selain itu pada tingkat lokal, adakalanya demokrasi hanya difokuskan pada institusi pemerintahan saja. Ted Robert Gurr misalnya sangat menekankan keberadaan institusi eksekutif, Menurut Gurr, demokrasi mengandung empat unsur: 1) persaingan partisipasi politik, 2) persaingan rekruitmen politik, 3) keterbukaan rekruitmen eksekutif, dan 4) tantangan yang dihadapi eksekutif. Pendapat ini semestinya juga memasukkan dimensi lain, karena keberadaan eksekutif di daerah tidak bisa dilepaskan dari proses dan hasil pemilu yang melibatkan sejumlah actor politik.21

Banyak pendekatan bisa digunakan untuk melihat model mana yang berlaku pada suatu Negara dunia ketiga, walaupun tidak mencakup semua ciri pada suatu Sebagai mekanisme sistem politik, sebagaimana dikemukakan Mitchell dan Simmons, demokrasi terdiri dari empat kelompok pembuat keputusan: pemilih, parlemen, birokrat, dan kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok ini bersaing memperebutkan posisi dan kekuasaan, baik pada level nasional maupun lokal. Demokrasi harus dilihat sebagai proses politik yang membuka peluang bagi partisipasi politik rakyat untuk secara efektif melakukan pengawasan terhadap agenda dan keputusan politik.

Pendapat serupa juga dikemukakan Holden, di dalam demokrasi rakyat diberikan hak membuat keputusan (dalam bentuk kebijakan publik) menyangkut masalah-masalah penting. Pendapat Dahl dan Holden sangat relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal, yang memberikan peluang peranan atau partisipasi politik rakyat untuk mengawal agenda reformasi, karena seperti dikemukakan Almond dan Nelson, partisipasi politik rakyat merupakan salah satu tolok ukur penting untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratis, otoriter, atau bentuk sistem politik lainnya.

21

TB. Massa Djafar,“Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal,” Jurnal Politik Vol.12008. hal.2.


(45)

model. Chai Anand, misalnya, menggambarkan tiga model sistem politik di dunia ketiga. Model ini sangat mempengaruhi sistem politik lokal.

Tabel 1

Ciri Utama Negara dalam Tiga Dimensi

Ciri Pembangunan Dimensi Keamanan Dimensi Partisipasi Dimensi Pembangunan Nilai dominan Kemajuan Persatuan, Kestabilan Persamaan, Kebebasan Modernisasi Kemakmuran, Efisiensi Tatanan,Disiplin, Penghargaan, Keberanian Kemerdekaan, keadilan, partisipasi Kestabilan Struktur Kekuasaan Dominan

Militer dan Polisi Institusi pollitik parpol, kelompok kepentingan, LSM Birokrasi Hubungan dengan masyarakat Tertutup, mobilisasi, paksaan, kudeta Terbuka, partisipasi, otonom Dualistis (semi terbuka), kudeta

Sumber : TB. Massa Djafar,Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal, Jurnal Politik Vol.1.2008. hal.3.

Berdasarkan model di atas, negara-negara dapat digolongkan ke dalam tiga dimensi, bergantung pada usaha pembangunan demokrasi ditingkat lokal disetiap negara, apakah lebih memfokuskan atau mengutamakan keamanan (Security), partisipasi (Participation), atau pembangunan (Development).


(46)

Secara teoritis, pendemokrasian di Indonesia bersumber pada krisis legitimasi, kelas menengah, (pertumbuhan) ekonomi, budaya (agama), dan campur tangan negara luar (kebijakan AS dan sekutunya). Faktor-faktor tersebut menjadi pendukung sekaligus penghalang tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Tentu saja generalisasi ini harus dilihat secara kritis, dan dikaitkan dengan fenomena yang berkembang di daerah (sekarang dan masa datang). Kelas menengah, ekonomi, agama atau budaya adalah faktor-faktor yang banyak mempengaruhi demokratisasi di Indonesia terutama ditingkat lokal.

Faktor penting lain yang patut dipertimbangkan adalah peranan elit politik, dalam hal kemampuan secara tepat mengambil keputusan politik yang menjangkau masa depan dan mendisain kebijakan-kebijakan pendukung dari keputusan politik yang diambil tersebut. Seperti dikemukakan Linz dan Stepan, peranan elit politik merupakan variabel penting, terutama terhadap keberhasilan demokratisasi dan demokrasi di suatu Negara, karena demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat itu.22

1.6.2 Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung 1.6.2.1 Pemilukada Langsung

Pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah sebuah mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya dan calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan main yang sama. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung tertuang

22


(47)

dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 dan penyelenggaraan Pemilihan Daerah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik Gubernur/wakil gubernur maupun bupati/walikota dan wakil bupati/walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi (otonom).23

Dipilihnya sistem pemilukada langsung mendatangkan optimisme dan pesimisme tersendiri di kalangan masyarakat. Pemilukada dinilai optimisme sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga kehidupan demokrasi di tingkat lokal dapat berkembang. Sementara pesimisme masyarakat terhadap sistem pilkada langsung dinilai dapat memberi peluang besar bagi pemimpin

Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.

23


(48)

daerah atas berkembangnya gejala KKN akibat wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, serta tumbuhnya “money politic” di kalangan pejabat daerah yang terjadi setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah.

Namun terlepas dari hal tersebut, keberhasilan pilkada langsung untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada kritisme dan rasionalisme rakyat sendiri, pada titik itulah pesimisme terhadap pilkada langsung menemukan relevansinya. Tentu saja, dengan adanya perubahan dalam pemilihan umum kepala daerah ini maka telah menunjukkan bahwa ada kedewasaan demokrasi pada masyarakat Indonesia itu sendiri.

1.6.2.2 Sistem Pemilukada Langsung

Untuk mengetahui penerapan sistem pilkada langsung di Indonesia, perlu ditinjau berbagai jenis sistem pilkada langsung yang selama ini pernah diterapkan di daerah-daerah di beberapa Negara dengan sistem presidensial.24

a. First Past the Post System, sistem ini dikenal sebagai sistem sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah, karenanya sistem ini dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana. Konsekuensinya, calon kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separuh suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan. b. Preferential Voting System atau Aprroval Voting System, cara kerja sistem ini adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya

24


(49)

terhadap calon-calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan pilkada langsung dan terpilih menjadi kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama yang terbesar. Sistem ini dikenal sebagai mengakomodasi sistem mayoritas sederhana namun dapat membingungkan proses perhitungan suara di setiap tempat pemungutan suara (TPS) sehingga perhitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.

c. Two Round System atau Run-off System, sesuai namanya cara kerja sistem ini pemilihan dilakukan dengan dua putaran dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolute (lebih dari 50 persen) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasangan calon kepala daerah dengan perolehan suara terbanyak harus melalui pemilihan putaran kedua beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. Lazimnya, jumlah suara minimum yang harus diperoleh para calon pada pemilihan putaran pertama agar dapat mengikuti putaran kedua bervariasi, dari 20 persen sampai 30 persen, sistem ini paling populer di Negara-negara demokrasi presidensial. d. Sistem Electoral College, cara kerja sistem ini adalah setiap daerah pemilihan

diberi alokasi atau bobot suatu dewan pemilih sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada, keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan tersebut dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara dewan pemilih terbesar akan memenangkan pilkada langsung. Umumnya, calon yang berhasil memenangkan suara di daerah-daerah pemilihan dengan jumlah penduduk padat terpilih menjadi kepala daerah.


(50)

1.6.2.3 Pemilukada sebagai Praktik Demokrasi

Axel Hadenius mengatakan bahwa suatu pemlihan umum termasuk pemilukada secara langsung disebut demokratis jika memiliki “makna”. Istilah bermakna merujuk pada 3 kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3) keefektifan pemilu.25

1. Keterbukaan

Keterbukaan disini mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa ada pilihan dari antara alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi). Selain itu, pilkada langsung dapat disebut kompetitif apabila secara hukum dan kenyataan tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon atau kelompok-kelompok tertentu atas dasar alasan-alasan politik. Pembatasan disini dimaksudkan sebagai diskriminasi dan bertentangan prinsip keadilan demokrasi dan kesamaan didepan hukum.

Lebih jauh lagi, dalam kompetisi pilkada langsung pemilih harus memiliki pilihan diantara berbagai alternatif politik yang bermakna, syarat berkompetisi harus berlaku sama bagi seluruh calon dalam pengertian satu medan permainan yang sama. Dengan kata lain kriteria ini diarahkan pada makna kebebasan sipil, yakni analisis terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.26

2. Ketepatan

25

Ibid. Hal.112.

26


(51)

Kriteria ini bertujuan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan prosedur pemilu dalam pengertian lebih ketat yaitu semua calon harus memiliki akses yang sama kepada media Negara dan swasta berdasarkan standar-standar hukum yang sama.

3. Keefektifan Pemilu

Pada kriteria ini dimaksudkan bahwa sistem pilkada langsung harus mampu untuk menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi, hal itu juga mengukur tingkat disproporsionalitas sistem pilkada langsung.27 Dengan kata lain, keefektifan pemilukada dapat ditandai dengan pengawasan keamanan, merupakan analisis terhadap interaksi antara sistem pelaksanaan demokrasi dan kehidupan demokrasi. Artinya bahwa kinerja sistem dalam mencapai tujuan demokrasi, mekanisme dan aturan partisipasi politik warga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi, serta sarana dan prasarana mendukung kebebasan sipil.28

Partisipasi politik itu sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara, wakil rakyat maupun pemimpin kepala daerah baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat memengaruhi kebijakan pemerintah. Mery G. Tan membedakan partisispasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas berupa

Selain itu analisis terhadap individu dengan alasan bahwa tindakan partisipasi politik individu dalam pemilukada menjadi faktor kunci dalam kehidupan berdemokrasi, yang ditandai dengan keikutsertaan masyarakat dalam proses pemilihan umum kepala daerah.

27

Ibid. Hal. 114-115.

diakses pada 30 Oktober 2013 pukul 20.35 wib.


(52)

keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar pada sesuatu yang menyangkut kehidupan orang banyak.29

Sementara Hebert McClosky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakatnya dimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan pemilihan umum.30 Sedangkan menurut Robert Dahl partisipasi politik adalah kegiatan yang dilakukan warga Negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.31

1. Partisipasi Aktif / Autonom, yakni kegiatan yang berorientasi pada output dan input politik. Partisipasi aktif adalah kegiatan yang mengajukan usul mengenai suatu kebijakan di pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin di pemerintahan.

Partisipasi sebagai suatu bentuk kegitan dibedakan menjadi dua, yaitu:

2. Partisipasi Pasif / Mobilisasi, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada output politik. Pada masyarakat yang termasuk dalam jenis partisipasi ini hanya mengikuti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.

29

Iclashul Amal, 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Hal. 18.

30

Mirriam Budiarjo, Op.Cit. Hal.367.

31


(53)

1.7Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode ini dimaksudkan untuk menjelaskan atau penggambaran secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian deskriptif merupakan sebuah proses pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaan sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.32

1.7.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada umumnya, penelitian kualitatif ini tidak mempergunakan angka atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.33

32

Hadari Nawawi, 1995. Op Cit. Hal. 63.

33

Bruce A. Chodwick. 1991. “Social Science Research Methods, terj. Sulistia (dkk),” Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Semarang: IKIP Semarang Press. Hal: 234-243.

Selain itu, penelitian deskriptif ini meliputi pengumpulan data melalui pertanyaan maupun kuisioner. Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survey, wawancara, ataupun observasi.


(54)

1.7.3 Lokasi Penelitian

Lokasi pada penelitian ini adalah Komisi Independen Pemilihan Aceh Tamiang.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Bagong Suyanto, dkk. Dalam suatu penelitian kualitatif terdapat tiga macam atau teknik dalam mengumpulkan data, yaitu :34

1. Wawancara secara mendalam dan terbuka, data yang diperoleh merupakan kutipan tentang pengalaman, perasaan, dan pengetahuannya.

2. Observasi langsung/terlibat, proses pengumpulan data dengan turun langsung ke lapangan serta ikut terlibat dalam proses yang tengah dialami subjek penelitian.

3. Penelaahan terhadap dokumen tertulis (kepustakaan), pencarian data dan buku-buku, jurnal, Koran, catatan organisasi dan lainnya.

Dalam hal ini, terkait dengan penelitian data yang diperlukan oleh peniliti adalah :

1. Data Primer

Data primer, yakni melalui wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan terstruktur yang ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai hak politik pada pemilihan kepala daerah langsung. Salah satunya adalah Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang. Selanjutnya observasi, dimaksudkan adalah aktivitas

34


(55)

penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung di lapangan.

Dalam hal ini observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi pengamatan terlibat (observasi partisipasi), artinya observasi yang dilakukan pengamat dengan cara melibatkan diri dalam lingkungan objek pengamatan, seperti meneliti mengenai kualitas demokrasi pada pamilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012, maka untuk mengetahui hal tersebut peneliti melakukan observasi partisipasi yaitu hidup bersama dengan masyarakat tersebut atau turun langsung ke lapangan serta ikut terlibat dalam proses yang dialami sehingga peneliti dapat lebih mendalami fenomena yang terjadi selama pilkada berlangsung.

2. Data Sekunder

Dengan menggunakan data sekunder yakni melakukan studi pustaka atau dokumen dari perpustakaan daerah kabupaten Aceh Tamiang, serta data yang diperoleh dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang.

1.7.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif. Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang diperoleh dari lapangan yang akan dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.


(56)

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang dilakukan penulis dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG

Bab ini akan membahas mengenai profil sejarah dan deskripsi lokal Kabupaten Aceh Tamiang serta hasil pemilukada Aceh Tamiang 2012 putaran pertama dan kedua.

BAB III KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012

Pada bab ini memuat penyajian dan analisis data yang diperoleh dari hasil wawancara yang telah diberikan kepada responden terpilih, data tersebut disajikan dan dianalisis sesuai dengan karakteristik responden mengenai kualitas demokrasi pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012.

BAB IV PENUTUP

Bab terakhir, berisi kesimpulan atas kritik dan saran yang terkait dengan penelitian.


(57)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG 2.1 Latar Belakang Sejarah Kabupaten Aceh Tamiang

2.1.1 Sejarah Kerajaan Benua Tamiang

Tamiang pada awalnya merupakan suatu negeri kerajaan yang telah ada sekitar tahun 1020-an. Bukti adanya Negeri Tamiang adalah bersumber dari data-data sejarah, seperti dalam Prasasti Sriwijaya, buku Wee Pei Shih yang mencatat Negeri

Kan Pei Chiang (Tamiang), dan buku Nagarakretagama yang menyebut

"Tumihang".35 Pada tahun 960, di wilayah Aceh Timur telah berkuasa seorang raja di Negeri Tamiang bernama Tan Ganda. Negeri ini berpusat di Bandar Serangjaya, bandar ini pernah diserang oleh Raja Indra Cola I yang menyebabkan Raja Tan Ganda meninggal. Anak Raja Tan Ganda yaitu Tan Penuh berhasil melarikan diri dari serangan itu. Ketika kondisi Negeri Tamiang telah aman, ia memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman, yaitu Bandar Bukit Karang, di dekat Sungai Simpang Kanan. Sejak saat pemindahan itu, maka mulai berdirilah Kerajaan Bukit Karang dengan raja-rajanya sebagai berikut:36

1. Tan Penuh (1023-1044)

2. Tan Kelat (1044-1088) 3. Tan Indah (1088-1122) 4. Tan Banda (1122-1150) 5. Tan Penok (1150-1190)

November 2013 pukul 16.35 wib.

36

Panitia Pekan Kebudayaan Aceh Timur. 1978. Deskripsi Daerah Kabupaten Aceh Timur-Selayang Pandang. Langsa. Hal. 163.


(58)

Tamiang sendiri adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data sejarah berasal dari kata "Te-Miyang" yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemukan dalam rumpun bambu Betong (istilah Tamiang "bulooh") dan Raja Tan Penoklah yang kemudian mengambil bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar "Pucook Sulooh Raja Te-Miyang", yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong (bambu), tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal.37 Sepeninggalan Tan Penok, karena tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkatnya bernama Pucook Sulooh diangkat sebagai raja yang menggantikan dirinya. Sejak saat itu, Kerajaan Bukit Karang dikuasai oleh Dinasti Sulooh, dengan raja-rajanya sebagai berikut:38

1. Raja Pucook Sulooh (1190-1256)

2. Raja Po Pala (1256-1278) 3. Raja Po Dewangsa (1278-1300) 4. Raja Po Dinok (1300-1330)

Pada akhir pemerintahan Raja Po Dinok (1330), sebuah rombongan para da‘i yang dikirim oleh Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir (1326-1349) dari Samudera Pasai tiba di Tamiang. Kedatangan para da‘i itu tidak mendapat respon positif oleh Raja Po Dinok. Ia menyerang rombongan tersebut yang menyebabkan dirinya tewas di medan perang. Setelah masuknya rombongan da‘i ke Tamiang dan melakukan dakwah keagamaan, banyak rakyat Tamiang yang kemudian memeluk Islam. Berdasarkan kesepakatan antara Sultan Ahmad Bahian Syah dengan para bangsawan dan rakyat Tamiang yang telah memeluk Islam, maka ditunjuklah

November 2013 pukul 17.00 wib

38


(1)

putaran kedua ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Tamiang tergolong cukup baik.

4. Suasana yang terjadi pada saat sebelum dan sesudah pilkada relatif aman dan damai. Meskipun ada beberapa peristiwa yang sempat dianggap mengganggu kestabilan keamanan di daerah-daerah tertentu. Namun secara umum hal tersebut dapat diatasi dengan baik. Adapun gangguan-gangguan yang dimaksud lebih mengarah kepada tindakan teror serta intimidasi yang dilakukan oleh partai tertentu terhadap masyarakat di wilayah pedesaan yang diyakini merupakan basis suara dari lawan politiknya, sehingga secara psikologis hal tersebut dapat membuat masyarakat khawatir. Mengamati kondisi tersebut maka pihak keamanan yang dalam hal ini adalah TNI dan Polri secara sigap telah menetralisir gangguan tersebut sehingga masyarakat dapat kembali tenang dan bebas dalam menentukan pilihannya pada saat pilkada dilaksanakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebebasan sipil pada pelaksanaan pilkada di kabupaten ini sudah cukup berjalan dengan baik, dimana masyarakat sudah mulai bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak lain.


(2)

4.2 Kritik dan Saran

Untuk meningkatkan kualitas demokrasi ditingkat lokal terutama pada kasus pilkada Aceh Tamiang perlu kiranya memerhatikan beberapa hal, yakni :

1. Melalui pendekatan Pendidikan Politik, dalam hal ini peran KIP Aceh Tamiang sangat diperlukan dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakatnya terkait pilkada yang akan dilaksanakan. Dengan melakukan sosialisasi politik agar masyarakat mengetahui betapa pentingnya memilih dan ikutserta dalam proses kegiatan politik ketika pemilu menjelang. Selain itu pendidikan politik disini mencakup pula kategori untuk menciptakan kesadaran masyarakat akan hak politiknya, karena pada dasarnya setiap masyarakat memiliki hak sipil dan hak politik dalam kehidupannya. Jika hak sipil seseorang peroleh sejak mereka terlahir ke dunia untuk memiliki hak hidup, hak berinteraksi dsb, maka hak politik untuk mengikuti kegiatan politik akan ia dapati setelah usianya mencapai 17 tahun atau jika belum mencapai 17 tahun tetapi sudah menikah ia tetap mendapatkan hak politiknya berdasarkan persyaratan yang diatur dalam perundang-undangan Republik Indonesia. Untuk itu perlu kiranya meningkatkan kesadaran masyarakat Tamiang tentang betapa pentingnya memilih dalam pemilu, karena satu suara yang diberikan saja sangat berpengaruh pada kualitas demokrasi di Aceh Tamiang.

2. Menciptakan Pemilih yang Cerdas. Dalam hal ini kelompok pemilih cerdas tidak akan memilih calon dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, seperti pemilih yang lebih memprioritaskan calon karena sifat kedaerahannya (primordialisme), pemilih akan memilih dikarenakan kesamaan agama, suku dan ras dari sang calon. Pemilih yang seperti ini termasuk kategori pemilih yang tidak cerdas dan banyak terjadi pada masyarakat Aceh Tamiang, dimana sifat sukuisme Tamiang masih sangat


(3)

menonjol. Jika calon bukan putra daerah Tamiang maka sudah jelas sang kandidat akan sulit menang dalam pilkada.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dengan menembus segmen pemilih pemula, pemilih perempuan, kelompok pinggiran, dan tokoh agama. Sosialisasi melalui segmen-segmen tersebut setidaknya dapat mengurangi angka golput yang mencapai 35.5% pada putaran kedua 2012 lalu, karena dapat dikatakan bahwa dari beberapa segmen tersebut adalah kelompok yang sering termarjinalkan dalam hal kehidupan berpolitik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Agustino, Leo. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009.

Amal, Iclashul. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1996.

A.Chodwick, Bruce. “Social Science Research Methods,” terj. Sulistia, dkk, Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Semarang : IKIP Semarang Press, 1991. Arif Nasution, M dkk. Metode Penelitian. Medan : Fisip Usu Press. 2008.

Budiarjdo, Mirriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Cangara, Hafied. Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik, Jakarta : Kencana Media Grup, 2007.

Juliantar, Dadang. Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004.

Mulyana, Edy. Aceh Menembus Batas. Banda Aceh : Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1995.

Panitia Pekan Kebudayaan Aceh Timur. Deskripsi Daerah Kabupaten Aceh Timur-Selayang Pandang. Langsa, 1978.


(5)

Prihatmoko, Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Belajar, 2005.

Sufi, Rusdi. Sejarah Kabupaten Aceh Timur dari Masa Kolonial hingga Kemerdekaan. Banda Aceh : Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2008.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Tubani, H. Syamsul. Pilkada Bima 2005 : Era Baru Demokratisasi Lokal di Indonesia. Jawa Timur : Bina Swagiri - Fitra Tubun, 2005.

U. Ubaidillah, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000.

Jurnal :

TB. Massa Djafar. “Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal,”. Jurnal Politik Vol.1.2008.

Situs Internet :

Aceh dalam Sejarah, 28 Oktober 2009. Sejarah Kerajaan Tamiang.

http://www.acehdalamsejarah.blogspot.com/2009/10/sejarah-kerajaan-tamiang.html

Partai Aceh, 29 Februari 2012. Sejarah Partai Aceh.

diakses pada 25 November 2013 pukul 16.35 wib.

Ratri Istania, SIP, MA. 04 Desember 2012. Otonomi Daerah dalam Perspektif Demokratisasi Lokal.


(6)

diakses 22 Oktober 2013 pukul 20.25 wib.

Rossa Pratiwi. 14 Januari 2013. Demokrasi Lokal. Timothy D. Sisk, Penetapan GubernurDIY.

pada 22 Oktober 2013 pukul 20.00 wib.

The Aceh Traffic Media, 16 April 20

Data Lain-lain :

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang

Badan Pusat Statistik Aceh Tamiang

Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Aceh Tamiang

Wawancara dengan Bapak Ir. Izuddin, mantan ketua KIP Aceh Tamiang (Periode 2008-2013) saat ini menjabat sebagai kepala bagian pendaftaran pemilih dan kampanye di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang.

Wawancara dengan Bapak Ahmad Effendi (Tokoh Masyarakat Aceh Tamiang).

Wawancara dengan Bapak Ngatijan (Anggota Panwaslu Pilkada Aceh Tamiang 2012) Wawancara dengan Sdra. Eriyan (Warga Lorong II, Desa Paya Raja Kecamatan


Dokumen yang terkait

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

2 84 93

Strategi Pemenangan Calon Independen Dalam pemilihan kepala Daerah Medan 2010 (Studi kasus Prof.Dr.H.M.Arif Nasution dan H.Supratikno WS).

3 66 147

Etnisitas Dan Pilihan Kepala Daerah (Suatu Studi Penelitian Kemenangan Pasangan Kasmin Simanjuntak dan Liberty Pasaribu di Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir)

3 45 67

Political Marketing Partai Politik Dalam Pemilihan Umum Presiden 2009 Di Sumut Studi Kasus: DPD Sumut Partai Demokrat

0 42 107

Esensi Pemaknaan Kata “Demokratis” Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indoneisa Pasca Perubahan UUD NRI 1945 (Studi Konstitusional Terhadap Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945)

3 53 101

Partai Politik Lokal Aceh (Studi Etnografi Antropologi Politik Tentang Kekalahan Partai Aceh Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012)

0 28 137

BAB III KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012 3.1 Pembahasan - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

0 0 29

BAB II DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG 2.1 Latar Belakang Sejarah Kabupaten Aceh Tamiang 2.1.1 Sejarah Kerajaan Benua Tamiang - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang

0 1 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

0 0 33

Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

0 0 19