BAB III KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012 3.1 Pembahasan - Kualitas Demokrasi Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 ( Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012 )

BAB III KUALITAS DEMOKRASI PADA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH ACEH TAMIANG 2012

3.1 Pembahasan

  Demokrasi bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna, meski demikian demokrasi menurut para pakar ilmu politik dianggap sebagai sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan sistem-sistem yang lain seperti monarki, aristokrasi, otokrasi, dsb. Implikasinya, pemerintah negara manapun yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya harus mampu mengantisipasi dan meminimalkan sifat-sifat negatif dari kehidupan berdemokrasi.

  Masyarakat Indonesia sendiri telah memasuki babak baru dalam berdemokrasi sejak kebijakan desentralisasi digulirkan. Kebijakan ini diyakini mampu membawa perubahan yang lebih baik, karena setiap warga di daerah mulai bebas untuk mengatur kehidupannya setelah sekian lama tidak berkutik di bawah rezim otoriter. Jika dulu selalu dikontrol dan diawasi, sekarang mereka bisa mandiri. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah telah memberikan peluang yang besar bagi warga daerah untuk membangun daerahnya sendiri. Dalam hal ekonomi, mereka bisa menikmati SDA mereka sendiri tanpa harus dibagi dengan daerah lain, sementara dalam berpolitik masyarakat juga bebas menyalurkan aspirasi politiknya.

  Pemilihan Umum Kepala Daerah adalah salah satu penunjang terbentuknya sistem demokrasi. Pilkada Langsung di Indonesia dilaksanakan dengan sejumlah harapan untuk perbaikan kehidupan demokrasi di Indonesia. Harapannya, Pilkada ini bisa lebih meningkatkan semangat pendalaman demokrasi pada tingkat lokal, dengan sistem ini masyarakat menjadi lebih memiliki kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam proses pemilihan kepala daerah. Artinya, masyarakat memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memilih sendiri siapa-siapa yang pantas menjadi kepala daerahnya, dengan demikian peran rakyat dalam rekrutmen politik diharapkan dapat ditingkatkan.

  Pilkada secara langsung dimaksudkan untuk meminimalisir praktek money

  

politic yang dipercaya terjadi secara meluas pada sistem pemilihan melalui lembaga

  perwakilan, dengan asumsi money politic akan lebih sulit dilakukan karena pemegang hak suara adalah semua warga negara yang memiliki hak pilih. Keterlibatan masyarakat luas secara langsung diharapkan membawa semangat baru dalam kehidupan demokrasi dan akan melahirkan pemerintahan yang lebih baik dan berkualitas. Sebagaimana halnya pada pemilihan umum kepala daerah Aceh Tamiang 2012 yang diharapkan dapat berjalan secara demokratis dimana nilai-nilai demokrasi senantiasa diterapkan oleh seluruh elemen masyarakat dan juga para elit politiknya, karena yang kita ketahui sebelumnya bahwa pelaksanaan pilkada di Aceh selalu sarat akan kekerasan dan konflik yang membuat wilayah ini di anggap jauh dari nilai-nilai demokrasi.

3.2 Analisis Pemilihan Umum Kepala Daerah Aceh Tamiang 2012

  Berangkat dari pemikiran Axel Hadenius, yang mengatakan bahwa suatu pemlihan umum termasuk pemilukada secara langsung disebut demokratis jika memiliki “makna”. Istilah bermakna merujuk pada 3 kriteria, yaitu keterbukaan, ketepatan dan keefektifan pemilu.

3.2.1 Keterbukaan

  Putaran kedua dari Pilkada di Aceh Tamiang yang berlangsung pada tanggal

  12 September 2012 merupakan tahap penyelesaian dari Pilkada putaran pertama yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2012. Kedua putaran Pilkada tersebut mengokohkan komitmen rakyat Aceh untuk menyebarluaskan dan memperkuat proses perdamaian. Hari pemilihan berlangsung dengan damai dan teratur, dimana para pemilih berpartisipasi dalam jumlah yang cukup baik meski dalam putaran kedua terjadi penurunan jumlah pemilih, ditandai dengan tidak adanya pelaporan masalah yang begitu besar di Aceh Tamiang. Karena yang diketahui sebelumnya bahwa saat penyelenggaraan pilkada terdapat intervensi dari elemen-elemen militer serta tuduhan intimidasi oleh kedua kandidat menjelang hari pemungutan suara.

  Masyarakat Aceh Tamiang kembali mengunjungi tempat-tempat pemungutan suara pada 12 September 2012 untuk memilih wakilnya, para pemilih telah kembali untuk memasukkan kartu pemilihan ke dalam kotak suara untuk memilih Bupati dan wakil Bupati yang pada putaran pertama tidak berhasil meraih kuota 30 % untuk dapat memimpin di Pilkada putaran pertama. Proses pemilihan yang telah berlangsung secara damai dan tertib di kabupaten tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa rakyat Aceh Tamiang telah sepakat untuk menciptakan perdamaian dan demokrasi di provinsi Aceh, setelah dilanda 30 tahun lebih konflik yang meninggalkan ribuan korban, gempa bumi yang dahsyat dan tsunami.

  Dua kandidat dari jalur yang berbeda, dimana pasangan yang diusung dari koalisi partai (PAN, PBR, PBA dan PKS) bertarung melawan rivalnya dari pasangan yang diusung dari (Partai Aceh). Mereka berlomba untuk mempimpin dan menduduki posisi nomor 1 di Kabupaten Aceh Tamiang yakni pasangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain, sebagai salah satu pasangan kandidat Agussalim dan Abdussamad sebagai lawannya. Namun, beberapa perkembangan selama persiapan menjelang Pilkada telah membawa kembali kenangan pahit akan konflik yang telah berakhir. Seperti keluhan masyarakat di Aceh Tamiang tentang adanya intimidasi dari GAM selama persiapan Pilkada dan masa kampanye.

  Seperti ancaman yang terjadi di daerah-daerah pedalaman yakni kecamatan

   Tenggulun, Sekrak, Tamiang Hulu dan Bandar Pusaka oleh oknum tak dikenal,

  memaksa masyarakat untuk memilih calon yang diusung dari salah satu Partai yang bertarung (Partai Aceh), demikian pula pengaduan dari sejumlah masyarakat yang

  

  berdomisili di Desa Paya Raja Kecamatan Banda Mulia, yang mengaku diancam oleh pendukung salah satu partai yang berkompetisi agar memilih calon yang mereka usung, jika tidak memilihnya maka keselamatan keluargalah dijadikan sebagai taruhannya.

  Bentuk ancaman seperti itu memang sering terjadi jika musim pilkada digelar, seperti halnya pilkada yang berlangsung disejumlah daerah lainnya di Aceh. Kekerasan serta intimidasi seolah tak berujung menyelimuti kabupaten Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dsb, saat menjelang pemilihan bupati/walikota tahun 2012 lalu, begitu pula saat pemilihan gubernur Aceh yang juga berlangsung tahun 2012. Banyaknya kasus kekerasan dan penembakan oleh orang tak dikenal kepada simpatisan pendukung Irwandi Yusuf, Irwandi sendiri merupakan peserta calon gubernur dari jalur independen yang telah mengundurkan diri dari Partai Aceh.

  Terlepas dari hal itu, jika berbicara tentang pilkada Aceh maka masyarakat akan berpandangan bahwa bukan Aceh namanya jika tidak ada konflik. Seolah konflik dan kekerasan akan selalu melekat pada pemilu Aceh menyebabkan daerah ini dinyatakan gagal dalam menjalankan demokrasi yang sebagaimana semestinya. Begitu pula halnya yang terjadi pada penyelenggaraan pilkada Aceh Tamiang, meski ancaman dan intimidasi terjadi di daerah ini. Akan tetapi tidak terlalu berat jika 46 dibanding dengan daerah lainnya, artinya bahwa bentuk ancaman dan intimidasi

  

Wawancara dengan Bapak Ngatijan (Anggota Panwaslu Pilkada Aceh Tamiang 2012) pada 3 Januari

47 2014, pukul 10.30 wib.

  Wawancara dengan Sdra. Eriyan (Warga Lorong II, Desa Paya Raja Kecamatan Banda Mulia Kabupaten Aceh Tamiang) pada 03 Januari 2014, pukul 10.30 wib. masih bisa ditangani atau diatasi oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tamiang sehingga tidak sampai kepada tindak pidana yang harus diselesaikan hingga ke Mahkamah Konstitusi, begitulah penuturan mantan ketua KIP Aceh Tamiang, Ir.

48 Izuddin.

  Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang berjalan dengan baik, meski ancaman dan teror bermunculan disana sini namun tidak menghalangi jalannya pelaksanaan pilkada saat itu, jika dibanding dengan pilkada tahun 2006 tentunya pilkada kali ini jauh lebih baik. Hal tersebut dikerenakan pada saat pilkada tahun 2006 terjadi pelanggaran di salah satu TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang terdapat di Kecamatan Kejuruan Muda, dimana terjadi pembongkaran kotak suara sebelum pelaksanaan pilkada berlangsung sehingga menyebabkan pilkada harus ditunda dalam beberapa waktu, belum lagi bencana alam (banjir bandang) yang menimpa daerah ini dipenghujung tahun 2006.

  Pilkada 2012 kali ini memang tidak serumit pilkada 2006, tapi setidaknya cukup mengejutkan masyarakat kala hasil dari putaran pertama menyebutkan pasangan dari Hamdan Sati-Iskandar dan Agussalim-Abdussamad maju pada putaran kedua. Mengingat calon lainnya juga merupakan saingan berat, seperti pasangan nomor urut 1 (H. M. Jhoni Evita, SE-Drs. Buyung Arifin, MM) yang semula diprediksi akan menang saat pilkada, adalah seorang pengusaha terkenal dengan wakilnya yang merupakan pensiunan Pertamina sehingga nama mereka cukup dikenal baik oleh masyarakat Tamiang, selain itu ada pasangan nomor urut 11 (Drs. H. Jamaluddin T. Muku, Msi-Drs. Suaib Arabi, MAP) yang juga merupakan seorang pengusaha yang eksistensinya begitu baik dimata masyarakat membuat namanya juga 48 tidak dapat disepelekan, adapula wakil bupati periode 2007-2012 yang kembali ikut

  Wawancara dengan Ir.Izuddin, mantan ketua KIP Aceh Tamiang (periode 2008-2013). Pada 09 Desember 2013 pukul 11.28 wib, di Kantor KIP Aceh Tamiang. bertarung yakni pasangan nomor urut 7 (H. Awaluddin, SH, SpN, MH-Ir. Saiful Anwar), tentu masyarakat sudah mengetahui bagaimana kinerjanya sehingga calon tersebut juga tidak dapat dikesampingkan. Begitu pula dengan pasangan nomor urut 5 (H. T.Yusni-Ismail) yang merupakan calon dari koalisi partai Golkar, PPP, PDIP, dan PNBK sehingga namanya cukup dikenal baik oleh masyarakat tamiang.

  Namun demikian hasil pemilu tetaplah harus dihormati, siapa-siapa yang akan menang tentu masyarakat harus bisa menerima karena prediksi hanyalah sebuah perkiraan, belum tentu yang diperkirakan bisa terjadi seperti yang diharapkan. Karena itulah 2 pasangan yang terpilih untuk maju ke putaran kedua ini juga tidak dapat diremehkan begitu saja, keduanya juga memiliki citra yang cukup baik ditengah masyarakat dan memiliki pendukung yang tak sedikit pula.

  Seperti Hamdan Sati yang merupakan seorang pengusaha kelapa sawit dengan wakilnya Iskandar Zulkarnain yang merupakan kepala Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten Aceh Tamiang, sedangkan lawannya sendiri terbantu oleh citra dari sang wakil Abdussamad yang merupakan kepala BPD (Bank Pembangunan Daerah) Aceh Tamiang dan diusung dari Partai Aceh pula yang merupakan partai lokal namun cukup mendapatkan tempat istimewa di mata masyarakat Aceh dibanding partai nasional.

  Namun demikian tidak membuat kedua calon tersebut dapat terlepas dari permberitaan yang kontroversi, ditandai dengan munculnya berbagai isu politik baik menjelang pilkada putaran kedua maupun sesudahnya, seperti berita pengundur dirian Hamdan Sati dari pencalonannya diputaran kedua yang dimuat oleh koran lokal setempat, hal tersebut sempat membuat nuansa memanas kala Hamdan ingin mengundurkan diri, karena secara otomatis Agussalimlah yang mutlak dinyatakan menang, sementara masyarakat masih menimbang-nimbang akankah daerah ini nantinya akan dipimpin oleh calon yang berasal dari Partai Aceh?

  Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh seorang tokoh masyarakat Aceh

  

Tamiang Bapak Ahmad Effendi misalnya. Menjelaskan bahwa saat ini PA (Partai

  Aceh) seperti berada di atas angin saat Irwandi Yusuf menduduki jabatannya sebagai Gubernur Aceh periode 2007-2012, ketika Irwandi memutuskan untuk keluar dari PA dan memilih jalur independen pada pilkada Aceh 2012 seolah tak membuat PA gentar sehingga mereka kembali mengusung calon dari petinggi GAM yakni Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, ditambah lagi kemenangan yang diraih mereka pada pemilu tersebut semakin mengukuhkan bahwa PA adalah partai lokal yang kuat. Karena itulah mereka ingin membangun massa yang lebih banyak lagi diseluruh Aceh agar di setiap daerah diharapkan dapat dipimpin oleh calon yang mereka usung, tak terkecuali pada pilkada Aceh Tamiang, melihat hal itu masyarakat justru semakin khawatir akan keberadaan PA yang saat ini semakin berkembang dengan pesat.

  Seakan mengingatkan kembali kenangan pahit akan konflik di masa lalu, jika daerah ini juga dipimpin oleh calon dari PA maka kemungkinan hal tersebut bisa saja kembali terjadi, karena seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa belum setahun Zaini Abdullah-Muzakir Manaf menjabat sebagai gubernur, rakyat Aceh sudah diresahkan oleh pembentukan bendera Aceh yang mengandung pro dan kontra dikarenakan logo dalam bendera tersebut yang mirip dengan lambang GAM, belum lagi ketika pilkada disejumlah daerah di Aceh mulai digelar. Masyarakat selalu diresahkan oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal, ditambah lagi kasus penembakan pekerja asal Jawa di Banda Aceh tahun lalu. Sudah pasti hal tersebut menyebabkan masyarakat yang bersuku Jawa semakin khawatir jika daerah ini akan dikuasai PA, sementara hampir sebagian besar jumlah penduduk di 49 Aceh Tamiang adalah masyarakat bersuku bangsa jawa.

  Wawancara dengan Ahmad Effendi, Tokoh Masyarakat Aceh Tamiang, pada 5 Desember 2013 di Desa Kotalintang Atas, Aceh Tamiang.

  Lebih lanjut ia menilai bahwa jika melihat pertarungan dari kedua calon tentu bapak Ahmad memiliki prediksi bahwa kekuatan Hamdan jauh lebih besar dibanding Agussalim-Abdussamad, dari segi figur pasangan Hamdan-Iskandar lebih berkompeten dalam hal perpolitikan dikarenakan pasangan ini sudah pernah berpartisipasi juga pada pilkada 2006, namun gagal. Nama mereka juga tak begitu asing ditengah masyarakat mengingat Hamdan Sati adalah putra dari pengusaha terkenal yakni Tuan Sati, tentu semakin menguatkan posisinya diputaran kedua tersebut, sementara pasangan Agussalim-Abdussamad hanya terbantu oleh keberadaan partai yang mendukungnya tanpa memprioritaskan figur dari diri mereka masing-masing.

  Terlepas dari hal itu tentu keresahan masyarakat mendapatkan relevansinya. Mantan ketua KIP menyatakan bahwa tidak semudah itu calon yang telah ditetapkan untuk maju ke putaran kedua lalu mengundurkan diri dikarenakan alasan politik yang tidak begitu jelas, bisa jadi itu adalah isu yang dikembangkan sebagai bentuk strategi pemenangannya untuk menguji publik apakah masyarakat akan merelakan dia mengundurkan diri begitu saja atau malah sebaliknya.

  Sementara setelah hasil putaran kedua diumumkan yang menunjukkan bahwa Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain diputuskan sebagai pemenangnya, terjadilah demonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang oleh pendukung PA dan masyarakat lainnya terkait ketidakpuasan mereka atas terpilihnya pasangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain sebagai bupati/wakil bupati Aceh Tamiang, dikarenakan dugaan atas keterlibatan aparat keamanan (TNI/Polri) dalam proses pilkada, yang dilakukan oleh Hamdan Sati dengan mem-blockade sejumlah daerah terpencil dan melakukan intimidasi oleh masyarakat setempat, Hamdan Sati juga diduga telah melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Dalam hal ini, ditinjau berdasarkan fakta yang ada isu terkait hal tersebut dapat dikatakan tidaklah benar.

  Keterlibatan aparat keamanan baik itu TNI maupun Polri adalah semata-mata hanya untuk mengamankan proses pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang, dengan kata lain aparat keamanan dikerahkan untuk mengekang pergerakan GAM yang sewaktu- waktu bisa saja berulah. Selain itu, terkait praktik money politic yang dilakukan oleh Hamdan adalah dugaan yang tidak beralasan, PA tidak dapat menjelaskan secara pasti rincian mengenai praktik money politic yang dilakukan rivalnya itu sehingga gugatan yang dilayangkannya ke Mahkamah Konstitusi perlahan dicabut. Dalam hal ini sudah jelaslah bahwa pihak PA berusaha berlaku curang ingin menjatuhkan calon terpilih yang sudah ditetapkan oleh KIP sebagai pemenangnya.

  Hal tersebut mungkin saja terjadi mengingat apa yang dilakukan calon yang diusung PA adalah sebagian dari bentuk strategi politik agar dapat memenangkan pilkada, hanya saja strategi yang dimaksud tidaklah sejalan dengan prinsip demokrasi, karena sudah tentu hal tersebut termasuk melanggar hukum. Karena pada dasarnya pilkada harus terbuka dimana calon-calon yang bersaing tidak dibenarkan untuk saling menjatuhkan.

3.2.1.1 Kebebasan Sipil

  Kebebasan sipil dapat dikatakan sebagai masyarakat sipil (civil society) yang mempunyai kebebasan dalam menentukan dan ikutserta dalam membangun Negara. Dengan kata lain kebebasan sipil sifatnya lebih mengarah pada makna keterbukaan, yang mengandung maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka dan bebas bagi setiap warga Negara atau hak pilih universal, bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki hak yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat.

  Hak-hak tersebut dimiliki manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan kelamin, karenanya bersifat azasi dan universal, yang menyangkut hak hidup, hak hidup tanpa adanya perasaan takut dilukai atau dibunuh orang lain, hak untuk bebas dan hak untuk memilih sesuatu. Kriteria ini lebih diarahkan pada makna analisis terhadap kebebasan warga dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.

  Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakat. Secara umum ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya. Namun demikian secara lebih mendalam masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu kekhawatiran itu ditandai dengan adanya porsi atas kebebasan warga untuk memilih berbagai alternatif politik, sehingga tidak mengurangi kapabilitas terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi yang dimaksudkan.

  Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sudah menjadi rahasia umum jika pilkada di Aceh selalu sarat akan kekerasan dan intimidasi, pemaksaan terhadap masyarakat agar memilih calon yang mereka usung, belum lagi memberi ancaman akan keselamatan keluarganya jika mereka tidak memilih calon yang dimaksud, atau bahkan kekerasan fisik sering ditemui disejumlah daerah di Aceh kala pilkada menjelang, begitu pula halnya yang terjadi di Aceh Tamiang. Keluhan masyarakat akan tindakan intimidasi memang sering terjadi baik dari pihak Hamdan Sati (Koalisi Partai) maupun dari pihak Agussalim (Partai Aceh), tidak diketahui secara jelas kubu mana yang memang benar-benar salah soal mengintimidasi masyarakat namun penelusuran di lapangan yang dilakukan oleh penulis dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bentuk intimidasi dari pendukung PA benar adanya namun tidak begitu berat sehingga mengakibatkan hal tersebut tidak perlu diproses secara hukum.

  Di sisi lain, masyarakat sempat dibuat bingung oleh fenomena kecurangan yang dilakukan bupati terpilih Hamdan Sati saat ia dinyatakan menang oleh KIP Aceh Tamiang, berita tersebut semakin berkembang kala pendukung dari PA semakin menggencarkan isu politik tersebut sampai ke Mahkamah Konstitusi, mereka menganggap bahwa proses pilkada putaran kedua berlangsung dengan sangat tidak demokratis dikarenakan adanya tekanan dan tindakan depresik aparat keamanan di lapangan.

  Namun isu tersebut seolah hilang begitu saja saat bupati terpilih menduduki masa jabatannya, masyarakat seolah dilupakan oleh fenomena yang menggencarkan warga kala mereka berdemonstrasi di depan kantor DPRD Aceh Tamiang, ternyata dalam hal kelanjutan gugatan yang dilayangkan mereka ke Mahkamah tidak dapat dipertanggungjawabkan, secara perlahan mereka mencabut gugatan tersebut karena tidak dapat menjelaskan bukti-bukti nyata akan kecurangan yang dilakukan oleh rivalnya tersebut.

  Melihat hal ini, tentu masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana kualitas calon pemimpin daerah yang akan mereka pilih, sebuah ancaman tidak menjadi persoalan karena pada faktanya masyarakat sudah jelas menentukan pilihan pada calon terpilih 2012 lalu. Jika benar pihak Hamdan Sati melakukan kecurangan tentu masyarakat tidak akan mau memilihnya. Secara tidak langsung pendewasaan akan kehidupan berdemokrasi di Aceh Tamiang sudah mulai terlihat, ditandai oleh keberanian masyarakat untuk menentang bentuk penindasan atau ancaman tersebut, mereka tidak takut akan ancaman yang menghampiri karena pada dasarnya mereka menyadari bahwa mereka adalah masyarakat politik yang bebas dalam menentukan hak pilihnya, kepada siapa mereka akan memilih orang lain tidak berhak mengintervensinya, dengan kata lain pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.

  Melihat fenomena yang terjadi, dapat dikatakan bahwa posisi Hamdan Sati saat itu terasa diuntungkan oleh kebijakan pusat atas pengerahan aparat keamanan (dalam hal ini TNI/Polri) dalam proses pemilihan umum, dikarenakan penulis melihat pertarungan pilkada putaran kedua tersebut tidak lagi kompetisi antar calon maupun antar partai nasional dan partai lokal, melainkan sudah mengarah pada pertarungan antar NKRI dan GAM, karena dalam hal ini posisi Hamdan seperti terlindungi oleh keberadaan aparat keamanan sementara Agussalim yang dibawah naungan Partai Aceh seperti terlindungi oleh keberadaan GAM, dalam kasus ini seolah mengingatkan kembali kenangan pahit akan konflik yang berkepanjangan di bumi Serambi Mekkah ini. Karena dugaan akan keberadaan aparat keamanan yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati meskipun pada faktanya mereka berfungsi untuk mengamankan jalannya pilkada dari pergerakan GAM yang bisa saja berulah.

  Sudah pasti imbasnya pada masyarakat itu sendiri, karena dibingungkan oleh opini-opini publik yang tak beralasan, namun menyikapi kasus tersebut ternyata masyarakat mulai menyadari bahwa sudah saatnya mereka bangkit dari keterpurukan sejak konflik berkepanjangan melanda daerah ini, dengan bermodalkan keberanian dan tekad yang kuat untuk bebas dari segala bentuk penindasan adalah solusinya. Agar mewujudkan sistem yang demokratis di tingkat daerah sebagai wujud nyata pendemokratisasian di era reformasi yang sejalan pada UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana tujuan dari penetapan UU tersebut adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.

  Selain itu merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan begitu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi. Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung yang bebas dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.

  Dengan demikian, pada kasus ini sifat keterbukaan pada pilkada Aceh Tamiang dikatakan relatif baik, artinya masyarakat tamiang telah mengokohkan komitmen untuk menyebarluaskan dan memperkuat proses perdamaian guna menciptakan sistem yang demokratis pasca reformasi diterapkan di negeri ini. Mereka mulai menyadari bahwa kebebesan sipil sangat diprioritaskan dalam hal memilih, masyarakat tidak perlu takut akan adanya bentuk intimidasi dan tekanan dari PA karena pada dasarnya masyarakat memiliki kebebasan dalam menentukan hak pilihnya, pemilih bebas menentukan pilihan sesuai hati nurani tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun.

3.2.1.2 Pengawasan Keamanan

  Sementara jika ditinjau dari pengawasan keamanan, pilkada Aceh Tamiang 2012 lalu dapat dikatakan efektif dikarenakan panitia pengawas pemilu (panwaslu) telah mengoptimalkan kinerjanya dalam mensukseskan pilkada pada saat itu, ditandai oleh tidak adanya pelaporan khusus mengenai tindakan kekerasan fisik yang biasanya sering terjadi di pilkada Aceh lainnya. Hal tersebut karena diuntungkan pula oleh keberadaan aparat keamanan (TNI/Polri) yang pada saat pilkada digelar selalu siaga mengendalikan keadaan untuk menciptakan keamanan dan perdamaian selama proses pilkada berlangsung. Meskipun pada awalnya TNI/Polri dianggap tidak netral karena pengamanan yang dilakukan TNI/Polri dikampung-kampung diindikasi melahirkan intimidasi terhadap anggota Partai Aceh.

  Pengamanan TNI/Polri dianggap tidak netral karena keberadaaan mereka di daerah pelosok membuat suasana pilkada menjadi seperti daerah darurat militer, terbuktinya dengan adanya palang portal dijalan masuk desa-desa terpencil (Kecamatan Bandar Pusaka, Kecamatan Sekerak, Kecamatan Bendahara, dan Kecamatan Banda Mulia) yang dijaga sedikitnya 20 aparat TNI/Polri disetiap kampung. Pengawasan keamanan yang bisa dikatakan ketat ini dianggap terlalu berlebihan namun demikian hal ini dilakukan guna menciptakan suatu pemilihan umum kepala daerah yang lebih kondusif dengan mengedepankan suasana yang aman dan tentram.

  Dalam hal ini, posisi aparat keamanan disini juga diharapkan dapat mengekang pergerakan GAM yang seolah-olah bisa saja berulah seperti halnya yang terjadi disejumlah daerah lainnya di Provinsi Aceh, seperti kasus penembakan di Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur, sehingga untuk mencegah hal itu terjadi maka pengawasan keamanan oleh aparat keamanan di daerah ini haruslah diperketat.

  Pengawasan keamanan pada pilkada Aceh Tamiang sejatinya memang telah berjalan secara efektif meski ancaman dan intimidasi kerap terjadi oleh salah satu kandidat dalam hal ini panwaslu dan aparat keamanan saling bahu membahu mengatasi serta mengantisipasi agar kerusuhan dan konflik yang kerap terjadi pada pilkada sebelumnya tidak terjadi lagi pada pilkada 2012.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keefektifan pemilukada bisa ditandai dengan adanya pengawasan keamanan yang baik oleh tim pelaksanaan pemilu, ditandai oleh sarana dan prasarana yang memadai tentu akan menciptakan interaksi antara sistem pelaksanaan demokrasi dan kehidupan demokrasi yang baik pula, dengan demikian hal tersebut dapat meningkatkan partisipasi politik warga untuk berpartisipasi dalam pemilukada, dan jika tujuan daripada berdemokrasi telah terwujud maka dengan sendirinya kebebasan sipil masyarakat akan terealisasikan.

3.2.2 Ketepatan

  Sementara pada makna ketepatan, ditujukan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan prosedur pemilu dalam pengertian lebih lanjut yaitu semua calon harus memiliki akses yang sama kepada media Negara dan swasta berdasarkan standar-standar hukum yang sama. Begitupula pada pelaksanaan pilkada Aceh Tamiang yang dilakukan tepat sasaran yang merujuk pada 2 hal yakni proses dan output, proses artinya pelaksanaan pilkada berjalan sesuai prosedur/UU yang berlaku, sementara output adalah hasil yang diinginkan pemerintah dengan menciptakan pemimpin yang tepat.

  Jika dilihat secara keseluruhan dari pelaksanaannya tentu pilkada Aceh Tamiang 2012 lalu dapat dikatakan berjalan dengan baik ditandai oleh tidak adanya pelaporan kecurangan yang diterima KIP dari 610 TPS yang tersebar di 12 kecamatan tersebut seperti yang pernah terjadi saat pilkada tahun 2006 lalu dimana terdapat pelanggaran di salah satu TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang terdapat di Kecamatan Kejuruan Muda, dengan terjadinya pembongkaran kotak suara sebelum pelaksanaan pilkada berlangsung sehingga menyebabkan pilkada harus ditunda dalam beberapa waktu. Dengan kata lain pelaksanaan pilkada 2012 ini dapat dikatakan “tepat” sarana dan prasarana yang telah disediakan oleh panitia pelaksana pemilu dapat terealisasikan secara baik dan kecurangan-kecurangan yang pernah terjadi di pilkada sebelumnya tidak terjadi pada tahun 2012 tersebut.

  KIP tentunya telah berupaya mengoptimalkan pilkada yang dapat berjalan sesuai dengan prosedur UU yang berlaku, setidaknya dari segi pelaksanaan mulai dari pendaftaran calon yang dimulai maret 2012 hingga berakhirnya masa pilkada putaran pertama dan kedua September 2012 tidak ditemukan adanya kecurangan yang dirasakan para kandidat selama masa pemilu digelar. Artinya bahwa untuk kategori “ketepatan” pilkada Aceh Tamiang dianggap sudah memupuni sehingga melahirkan pemimpin yang tepat pula dimana pemimpin yang diharapkan untuk menang adalah pemimpin yang lebih mengedepankan proporsionalitas dalam persaingan tanpa adanya tindakan untuk menjatuhkan lawannya.

3.2.3 Kefektifan Pemilu

  Makna keefektifan pemilu yang merujuk pada kriteria bahwa sistem pilkada langsung harus mampu untuk menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi, hal itu juga mengukur tingkat disproporsionalitas sistem pilkada langsung. Dengan kata lain, keefektifan pemilukada dapat ditandai dengan pengawasan keamanan, merupakan analisis terhadap interaksi antara sistem pelaksanaan demokrasi dan kehidupan demokrasi. Artinya bahwa kinerja sistem dalam mencapai tujuan demokrasi, mekanisme dan aturan partisipasi politik warga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi, serta sarana dan prasarana mendukung kebebasan sipil. Dalam hal ini tindakan partisipasi politik individu dalam pemilukada juga menjadi faktor kunci dalam kehidupan berdemokrasi, yang ditandai dengan keikutsertaan masyarakat dalam proses pemilihan umum kepala daerah.

3.2.3.1 Partisipasi Politik

  Pelaksanaan pilkada langsung di Aceh Tamiang tahun 2012 ini sudah tentu tidak terlepas dari pentingnya partisipasi politik rakyat. Partisipasi seperti yang kita ketahui bersama bahwa merupakan hak dan kewajiban setiap warga Negara untuk memberikan kontribusinya kepada pencapaian tujuan kelompok, sehingga mereka diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembangunan dengan menyumbangkan inisiatif dan kreatifitasnya. Dengan demikian, didalam partisipasi terdapat komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dan antar sesama anggota masyarakat. Sementara yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses kegiatan politik.

  Partisipasi politik dapat dikatakan juga sebagai proses kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik, atau segala aktifitas yang berkaitan dengan kehidupan politik yang ditujukan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam partisipasi politik tidak ada batasan yang jelas bahwa jumlah pemilih yang menggunakan haknya secara sah sebagai indikator keberhasilan pemilu tersebut, namun kita bisa melihat derajat partispasi politik sebagai respon atas pentingnya rekrutmen politik elit daerah.

  Banyak batasan yang diberikan oleh ahli-ahli politik dalam literatur- literaturnya. Salah satu definisi Partisipasi politik yang berkaitan dengan pilkada langsung ini dapat dilihat dari pendapatnya Miriam Budiardjo yang menyatakan bahwa kegiatan individu atau kelompok secara aktif dalam kehidupan politik, memilih pemimpin dan terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik sebagai batasan dari partisipasi politik.

3.2.3.1.1 Ikut Memilih dalam Pemilu

  Dalam hal ini, jika melihat pilkada Aceh Tamiang 2012, mantan ketua KIP Aceh Tamiang menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakatnya tergolong masih rendah dari hasil presentase yang mereka targetkan, paling tidak hasil perhitungan suara haruslah mencapai 70% sementara faktanya tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana tabel berikut:

  

Tabel 8

Hasil Perhitungan Suara Pemilih dan Penggunaan Hak pada Pilkada 2012

Putaran I

No

  Data Pemilih dan Penggunaan Hak Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan

  1 Jumlah pemilih dalam salinan daftar pemilih tetap (DPT) 91.756 92.072 183.828

  2 Jumlah pemilih dalam salinan DPT yang menggunakan hak pilih

  59.394 59.376 120.770

  3 Jumlah pemilih dalam salinan DPT yang tidak menggunakan hak pilih

  32.362 30.696 64.058

  Sumber : Komisi Independen Pemilihan Aceh Tamiang

  Dari jumlah penduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang berjumlah 251.914 jiwa, telah ditetapkan 183.828 penduduk sebagai daftar pemilih tetap (DPT). Pemilu dilaksanakan pada hari selasa dimulai pukul 08.00-12.00 wib, sebanyak 120.770 penduduk datang ke 610 TPS yang terbagi di 12 kecamatan pada 9 April 2012, sementara tingkat partisipasi masyarakat tamiang pada saat pilkada putaran pertama tergolong masih rendah karena sedikitnya jumlah pemilih yang datang ke TPS dengan presentase 65.69 % yang ikut memilih dan sekitar 34.84 % dinyatakan tidak memberikan hak suaranya. Sementara KIP Aceh menargetkan setidaknya tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada 2012 lalu harus menempati presentasi sekitar 70%.

  Dibandingkan dengan pilkada 2006 tentu pilkada kali ini jauh lebih baik, mantan ketua KIP Aceh Tamiang menuturkan tingkat partisipasi masyarakat pada pilkada 2006 masih sangat rendah ditandai dengan sedikitnya pemilih yang datang ke TPS untuk memilih calon pemimpin daerah dengan presentase yang hanya dibawah 60%, kondisi tersebut didukung pula oleh keadaan daerah ini yang pada saat itu sedang mengalami bencana alam (banjir bandang) yang sempat melumpuhkan aktifitas warga hingga beberapa bulan termasuk dalam pilkada tersebut yang juga ditunda pelaksanaannya, terkait data dan dokumen hasil rekapitulasi pilkada juga tidak dapat diakses mengingat seluruh berkas dinyatakan hilang dan alat-alat elektronik juga tidak dapat difungsikan lagi akibat bencana besar tersebut.

  Sementara pada pilkada putaran kedua pada pilkada 2012 tingkat partisipasi masyarakatnya juga dikatakan cukup baik meski jumlah pemilih sedikit menurun dari putaran pertama, sebagaimana tabel berikut :

  

Tabel 9

Hasil Perhitungan Suara Pemilih dan Penggunaan Hak pada Pilkada 2012

Putaran II

Data Pemilih dan Jenis Kelamin

  No Jumlah Penggunaan Hak Laki-laki Perempuan

  1 Jumlah pemilih dalam salinan 91.756 92.072 183.828 daftar pemilih tetap (DPT)

  2 Jumlah pemilih dalam salinan 59.158 59.772 118.930 DPT yang menggunakan hak pilih

  3 Jumlah pemilih dalam salinan 32.598 32.300 64.898 DPT yang tidak menggunakan hak pilih

  Sumber : Komisi Independen Pemilihan Aceh Tamiang

  Dari hasil pilkada putaran kedua, terdapat 118.930 penduduk yang ikut memilih atau dengan presentase 64.70 % dari jumlah DPT sebanyak 183.828, sedangkan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 64.898 atau 35.30 %. Meski pada putaran kedua jumlah presentase menurun sekitar 0.99 % dari hasil putaran pertama, namun tidak mengurangi tingkat partisipasi masyarakat yang dapat dikategorikan tergolong cukup baik karena jumlah pemilih yang berada di atas 60%.

  Dalam kategori ini keefektifan pemilu pada pilkada Aceh Tamiang dikatakan cukup baik ditandai oleh keikutsertaan masyarakat dalam proses pemilihan umum dengan presentase pemilih yang datang ke TPS di atas 60% yakni dengan presentase 65.69% pada putaran pertama dan 64.70% pada putaran kedua untuk memilih kandidat yang dianggap berkompeten dalam memimpin daerah ini, meski KIP sendiri menilai tingkat partisipasinya masih rendah dari presentase yang mereka targetkan namun demikian presentase yang sudah berada di atas 60% sudah cukup baik dibanding pilkada 2006 yang hanya berkisar dibawah 60%.

  Adakalanya partisipasi politik selalu berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat dijadikan pendukung sekaligus penghalang tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Kelas menengah, ekonomi, agama atau budaya adalah faktor-faktor yang banyak mempengaruhi demokratisasi di Indonesia terutama ditingkat lokal. Seperti halnya pada pilkada Aceh Tamiang 2012, jika dilihat dari kategori kelas menengah adalah jenis masyarakat yang memiliki ekonomi di atas rata-rata, berpenghasilan tinggi dan memiliki pendidikan yang baik (jenjang pendidikan di atas SMA/sederajat) dan umumnya berprofesi sebagai pengusaha serta pejabat daerah.

  Faktor ini termasuk kategori yang menunjang pendemokratisasian di tingkat lokal, karena kategori ini dapat dikatakan juga sebagai pemilih cerdas, dengan ekonomi dan pendidikan yang memadai tentu membuat masyarakat seperti ini memiliki wawasan yang baik dalam menentukan pilihannya, masyarakat seperti ini tidak akan dengan mudah dimobilisasi oleh calon dengan berbagai tawaran seperti dalam bentuk sogokan maupun janji-janji yang sering ditawarkan oleh para kandidat.

  Masyarakat seperti ini akan melihat, mengamati dan menilai bagaimana kinerja para calon sebelum ia menjadi kandidat pemilu, jika ia adalah seorang kepala daripada suatu instansi pemerintahan tentu masyarakat akan mengetahui eksistensinya apakah kandidat termasuk figur pemimpin yang ramah, baik, bijaksana atau malah sebaliknya, masyarakat akan tahu bagaimana caranya mensortir calon yang pantas untuk memimpin daerahnya, dan juga tidak mengesampingkan penilaiannya terhadap visi misi dari para kandidat yang akan bertarung, visi misi yang baik akan mendukung massa yang lebih banyak lagi tentunya.

  Sementara kategori ekonomi adalah jenis masyarakat dengan ekonomi cukup dan pas-pasan atau bisa juga termasuk kategori kelas menengah ke bawah, jenis masyarakat seperti ini memiliki jumlah yang besar di Aceh Tamiang, seperti masyarakat yang memiliki profesi sebagai PNS, guru, pegawai bank, karyawan, pedagang, petani, dsb. Kategori ini juga mendukung terwujudnya pendemokratisasian di tingkat daerah, pemilih dengan kategori ini biasanya pemilih yang sedang transisi menuju pemilih cerdas, karena pada dasarnya jika suatu daerah yang masyarakat memiliki ekonomi yang baik maka daerah tersebut termasuk telah menjalankan demokrasinya di tingkat lokal.

  Sedangkan kategori budaya berangkat dari masyarakat yang terikat akan budaya tradisional (adat istiadat/agama), akan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakatnya pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Jadi, segala urusan yang terkait dengan perubahan politik dan sosial tidak terlepas dari pengaruh budaya yang telah melekat dan berkembang di masyarakat. Budaya ternyata mampu memberi paradigma yang kuat terhadap masyarakat hingga mempengaruhi tindakan sosial dan politik masyarakat tersebut.

  Namun adakalanya pengaruh budaya tradisional ini dapat juga mengurangi pendemokratisasian di tingkat lokal ditandai dengan sifat fanatisme masyarakat terhadap sesuatu hal, seperti yang terjadi di Aceh Tamiang, sifat primordialisme (kedaerahan) pada kenyataannya masih terjadi di daerah ini, sebagian besar pemilih akan memilih calon pada pemilihan umum dilihat dari asal kedaerahan sang calon. Jika melihat dari pertarungan antara Hamdan Sati dan Agussalim tentu masyarakat akan memilih Hamdan yang merupakan putra daerah asli Tamiang, sementara Agussalim adalah calon yang bersuku Aceh. Hal ini juga dipertegas mantan ketua KIP Ir.Izuddin yang juga mengatakan bahwa fenomena itu sering terjadi di daerah ini mengingat sifat kedaerahannya masih begitu melekat sehingga dalam pemerintahan suku Tamiang lebih diprioritaskan. Tak heran jika bupati sebelumnya adalah Abdul Latief yang juga bersuku Tamiang menang dalam pilkada Aceh Tamiang 2007.

  Sifat kedaerahan akan mengurangi pendemokratisasian dikarenakan visi dan misi calon tidak lagi diperhatikan oleh pemilih, sementara pemilih yang baik itu haruslah bersikap netral dan pintar dalam melihat kualitas daripada sang calon pemimpin, apakah ia pantas memimpin daerah ini kedepannya? Dapat menjalankan roda pemerintahan yang baik dan merumuskan kebijakan untuk kemajuan daerahnya? Atau malah sebaliknya. Jika pemilih tetap pada pendiriannya menjadi pemilih yang sifatnya sukuisme tentu hal tersebut sulit untuk mendukung terciptanya sistem yang demokratis.

  Untuk mengatasi hal tersebut, tentu peran KIP Kabupaten Aceh Tamiang sangat diperlukan dalam sosialisasi tahapan pilkada langsung yang juga berpengaruh pada tingkat partisipasi politik dalam pilkada langsung ini. Terpaan pendidikan politik dari berbagai agen dalam pilkada yang dilakukan dengan baik akan berdampak pada kontribusi partisipasi politik yang baik pula. Namun dalam hal ini dapat dikatakan bahwa lebih mudah menjalankan pelaksanaan pemilu daripada menciptakan masyarakat menjadi pemilih yang cerdas, sementara satu-satunya cara untuk mewujudkan sistem yang demokratis di tingkat daerah adalah dilihat dari kemakmuran rakyatnya, jika masyarakat daerah sudah dikatakan makmur dan sejahtera maka demokratisasi secara tidak langsung akan mengikuti sistem yang ada.

3.2.3.1.2 Golput (Golongan Putih)

  Bentuk partispasi politik rakyat daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari berbagai bentuknya, mulai dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis, pengamat, maupun partisipan. Seperti pada pilkada Aceh Tamiang 2012 ini maka akan ada presentasi rakyat yang apolitis dalam artian mereka yang termasuk tak acuh dalam kegiatan proses politik. Di Indonesia, prosentase rakyat yang apolitis masih di bawah 30% (rata-rata), sementara bentuk pengamat merupakan porsi yang paling banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam proses politik sebatas sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan ikut memilih. Sementara dalam bentuk partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai aktifis partai, dan kelompok kepentingan. Sebagai aktifis, pertisipasi politik rakyat sudah mengarah pada derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/politik.

  Sifat sukarela dan terlibat dalam memilih pemimpin merupakan proses politik yang dapat digambarkan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung pada tahun 2009 yang lalu. Hal yang sama juga terjadi pada pilkada Aceh Tamiang tahun 2012, dengan tata cara dan tahapan yang relatif sama dengan pemilu presiden dan legislatif diperkirakan partisipasi politiknya juga tidak jauh berbeda. Seperti tentang pemilih tetap yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkada Aceh Tamiang 2012 tentu hal tersebut sangat disayangkan, apalagi jumlah pemilih golput (golongan putih) tergolong besar sekitar 34.84 % pada putaran pertama dan 35.30 % pada putaran kedua.

  Fenomena golput memang bukan tidak beralasan, ada beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya golput. Pertama golput teknis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih dan berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap proses pemilihan tersebut bukanlah hal yang penting bagi mereka. Jika hal itu dinilai penting apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.

  Kedua alasan politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan yang ketiga, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi pada pilkada karena menganggap bahwa perubahan menuju perbaikan hanya mungkin dilakukan dengan mengubah idiologi yang saat ini dengan idiologi yang diyakini sebagai landasannya. Apapun itu, jangan sampai pilkada menjadi sebuah problem menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia yang memang sedang dalam masa transisi.

  Namun demikian untuk menghindari persoalan dari partisipasi politik rakyat daerah maka perlu media sosialisasi politik termasuk didalamnya pendidikan politik yang memadai sehingga rakyat daerah akan merespon dalam bentuk pertisipasi politik yang memadai baik dari sudut pandang kualitas mapun kuantitasnya. Peran partai politik sebagai penyandang fungsi sosialisasi, pendidikan, partisipasi dan rekrutmen politik merupakan media yang sangat efektif dalam memicu partisipasi politik rakyat daerah.

  Disamping itu, peran KIP Kabupaten Aceh Tamiang dalam sosialisasi tahapan pilkada langsung juga berpengaruh pada tingkat partisipasi politik dalam pilkada langsung ini. Selain itu, peran partai politik yang melakukan penjaring calon pasangan dengan objektif dan sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam menentukan pimpinan politik daerah, juga akan menarik minat rakyat daerah untuk berperan serta. Dengan begitu, terpaan pendidikan politik dari berbagai agen dalam pilkada yang dilakukan dengan baik akan berdampak pada kontribusi partisipasi politik yang baik pula.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

  Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yakni sebagai berikut :

  1. Pelaksanaan pemilukada yang diselenggarakan di kabupaten Aceh Tamiang terdiri dari dua putaran, dikarenakan faktor perolehan suara yang diharapkan pasangan calon bupati dan wakil bupati tidak mencapai 30% pada putaran pertama. Sehingga sesuai peraturan yang berlaku maka pasangan calon yang menempati urutan teratas dalam perolehan suara pada putaran pertama akan bersaing kembali dalam pilkada putaran kedua, guna memperebutkan posisi nomor satu di daerah tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh maka pasangan yang bersaing di putaran kedua adalah pasangan nomor urut 4 (Agus Salim-Abdussamad) dan pasangan nomor urut 10 (Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain).

2. Penyelenggaraan pilkada putaran kedua telah dilaksanakan pada tanggal 12

  September 2012, berdasarkan fakta yang ada pelaksanaan tersebut telah berjalan dengan baik, transparan, kompetitif serta berlangsung dengan suasana yang relatif kondusif dan damai. Keadaan ini tentunya dapat diciptakan karena adanya kerjasama dari berbagai pihak yang turut serta didalam menjaga keberhasilan pemilukada di kabupaten Aceh Tamiang.

  3. Dalam proses pemilukada di Aceh Tamiang, masyarakat yang memiliki hak untuk memilih dianggap cukup aktif didalam menentukan pilihannya. Dengan kata lain, jumlah pemilihnya terbilang cukup besar yakni 64.70% pada pemilu putaran kedua ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Tamiang tergolong cukup baik.

  4. Suasana yang terjadi pada saat sebelum dan sesudah pilkada relatif aman dan damai. Meskipun ada beberapa peristiwa yang sempat dianggap mengganggu kestabilan keamanan di daerah-daerah tertentu. Namun secara umum hal tersebut dapat diatasi dengan baik. Adapun gangguan-gangguan yang dimaksud lebih mengarah kepada tindakan teror serta intimidasi yang dilakukan oleh partai tertentu terhadap masyarakat di wilayah pedesaan yang diyakini merupakan basis suara dari lawan politiknya, sehingga secara psikologis hal tersebut dapat membuat masyarakat khawatir. Mengamati kondisi tersebut maka pihak keamanan yang dalam hal ini adalah TNI dan Polri secara sigap telah menetralisir gangguan tersebut sehingga masyarakat dapat kembali tenang dan bebas dalam menentukan pilihannya pada saat pilkada dilaksanakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebebasan sipil pada pelaksanaan pilkada di kabupaten ini sudah cukup berjalan dengan baik, dimana masyarakat sudah mulai bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak lain.

4.2 Kritik dan Saran

  Untuk meningkatkan kualitas demokrasi ditingkat lokal terutama pada kasus pilkada Aceh Tamiang perlu kiranya memerhatikan beberapa hal, yakni :