INTERAKSI KELELAWAR DAN MANUSIA: POTENSI ZOONOSIS DI INDONESIA
Ageng Wiyatno *, Krisna Nur Andriana Pangesti**
*Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jalan Diponegoro No.69, Jakarta Pusat, Indonesia 10430 **Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan Jl. Percetakan Negara No.23A, Jakarta Pusat, Indonesia Email: [email protected]
BATS AND HUMAN INTERACTION: ZOONOTIC POTENTIAL IN INDONESIA
Naskah masuk :19 Juni 2017 Revisi I : 28 Agustus 2017 Revisi II : 15 September 2017 Naskah Diterima :02 Oktober 2017
Abstrak
Berbagai wabah yang disebabkan oleh emerging/re-emerging infectious diseases (EID/REID) terjadi di beberapa negara selama dua dekade terakhir. Beberapa kasus zoonosis EID/REID, terdapat penyakit yang ditransmisikan dari hewan liar. Review ini mengulas tentang potensi kelelawar sebagai salah satu sumber viral zoonosis EID/REID baik di tingkat global maupun Indonesia serta penelitian yang dapat dilakukan. Dalam dua dekade terakhir, berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme terjadi di beberapa negara dan umumnya merupakan emerging /reemerging infectious diseases (EID/REID). Sebagian besar kasus EID/ REID tergolong zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan secara alami dari hewan ke manusia. Kelelawar adalah hewan liar yang banyak menarik perhatian dari segi kesehatan masyarakat global karena berhubungan dengan transmisi penyakit-penyakit menular yang disebabkan oleh virus, seperti Ebola, Marburg, Nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Co-V dan the Middle East Respiratory Syndromes (Mers Co-V).
Kata Kunci: EID, zoonosis, kelelawar
Abstract
In the last two decades, various types of infections caused by microorganisms occurred in some countries and most of them are emerging /re-emerging infectious diseases (EID/REID). Majority of EID/REID cases are a zoonosis, a disease that is naturally transmitted from animals to human. This review discusses the bats as a potential source of viral zoonotic both global and Indonesia, including the research activities that have been done. In the last two decades, various types of infections caused by microorganisms occur in some countries and are generally emerging/re-emerging infectious diseases (EID / REID). Most cases of EID / REID are zoonotic, a disease that is transmitted naturally from animal to human. Bats are wild animals that attract much attention in terms of global public health as they relate to the transmission of infectious diseases caused by viruses, such as Ebola, Marburg, Nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Co-V and the Middle East Respiratory Syndromes Mers Co-V).
Keywords: EID, zoonotic, bats
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
PENDAHULUAN
Selama dua dekade terakhir, berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme kembali mewabah di banyak negara, fenomena ini dikenal sebagai penyakit infeksi baru timbul dan timbul kembali atau Emerging and Re-Emerging Infectious Diseases (EID/REID). Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam laporan pertemuan Committee on Emerging Microbial Threats to Health di Amerika Serikat pada tahun 1992 (Institute of Medicine (US) Committee on Emerging Microbial Threats to Health, 1992). Definisi EID/REID menurut US CDC – Atlanta adalah penyakit yang baru muncul di suatu populasi atau sebelumnya telah ada namun menunjukkan kenaikan jumlah insiden atau menyebar ke lokasi yang lebih luas (Morens dan Fauci, 2012). Lebih lanjut, World Health Organization (WHO) menyatakan pada sidang World Health Assembly (WHA) ke 48 tahun 1995 bahwa EID/REID bukan hanya menjadi ancaman bagi wilayah/negara tertentu namun telah menjadi ancaman global (World Health Assembly 48, 1995). Semenjak itu, EID/REID mendapat perhatian dari banyak pihak tidak hanya kalangan pemerintah namun juga dari para akademia.
Emerging and Re-Emerging Infectious Diseases (EID/REID) terjadi akibat interaksi kompleks antara agen penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Faktor genetik dan biologi dari agen penyebab penyakit maupun manusia sebagai pejamu adalah kontributor utama munculnya EID/REID. Selain itu faktor sosial, politik dan ekonomi juga memiliki peranan dalam proses munculnya penyakit infeksi (Morens dan Fauci, 2013). Lebih spesifik, faktor tersebut adalah perilaku, status demografi, kemajuan teknologi dan industri, perkembangan ekonomi, pemanfaatan lahan, perdagangan, perjalanan antar negara, serta menurunnya kualitas sistem kesehatan masyarakat (Morens dan Fauci, 2013; Washer, 2011). Beberapa negara berkembang, khususnya di wilayah Asia Tenggara, tengah menghadapi kondisi tersebut sehingga dianggap sebagai negara-negara yang rawan terhadap munculnya EID/REID (Rosenberg, 2015; Coker et al., 2011).
Sekitar 60-75% dari kasus EID/REID merupakan zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, baik hewan ternak ataupun hewan liar (Jones et al., 2008; Marano dan Pappaioanou, 2004). Hewan liar dianggap sebagai reservoir dari beberapa patogen yang sebelumnya tidak diketahui dapat menyebabkan infeksi
pada manusia (Daszak, Cunningham dan Hyatt, 2000). Salah satu hewan liar yang berpotensi menyebabkan zoonosis adalah kelelawar. Kelelawar telah banyak dikaitkan dengan berbagai penyakit infeksi virus yang berdampak besar bagi manusia seperti Ebola, Marburg, Nipah, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Co-V dan Middle East Respiratory Syndromes (MERS) Co-V. Keterlibatan kelelawar dalam transmisi berbagai virus patogen telah banyak dilaporkan beberapa tahun terakhir (Beranová dan Zendulková, 2016; Dato et al., 2016; Han et al., 2015, 2016; Hayman, 2016; Host dan Damania, 2016; Leendertz et al., 2016; Rodhain, 2015; Young dan Olival, 2016). Peran kelelawar dalam transmisi zoonosis yang diduga berkaitan dengan keunikan karakter kelelawar telah banyak ditelaah berdasarkan data sejarah evolusi, ekologi, dan biologinya. Meskipun begitu, perdebatan tentang karakter yang menjadikan kelelawar begitu unik sehingga menjadi reservoir utama penyebaran virus masih belum terjawab. Review ini akan mengulas potensi kelelawar sebagai sumber kasus EID/REID yang bersifat zoonosis baik secara global dan Indonesia pada khususnya.
BAHAN DAN METODE
Kami melakukan tinjauan terhadap artikel yang melaporkan mengenai studi/ investigasi virus pada kelelawar di Indonesia. Metode pencarian dilakukan secara sistematis pada sumber data (databases) MEDLINE, EMBASE dan Google Scholar dengan kata kunci; “bats and Indonesia, dan virus” (untuk artikel berbahasa Inggris) dan “kelelawar dan Indonesia, dan virus” (untuk artikel berbahasa Indonesia. Kriteria inklusi artikel adalah artikel yang melaporkan penemuan virus pada kelelawar di Indonesia dan dipublikasi antara tahun 2000 hingga April 2017. Sedangkan artikel akan dieksklusi bila merupakan penelitian ilmu dasar (basic science), tinjauan pustaka atau merupakan replikasi penelitian (artikel dari satu studi dengan hasil yang sama).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari pencarian melalui Medline dan Embase, terdapat delapan artikel berbahasa Inggris yang memenuhi kriteria. Sedangkan melalui Google scholar, terdapat satu publikasi berbahasa Indonesia dalam kriteria. Hasil pencarian tersebut disampaikan dalam Tabel 1.
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng
Tabel 1. Studi pada kelelawar berkaitan dengan viral zoonosis di Indonesia No
Spesies Kelelawar
Deteksi
Virus yang ditemukan
1 Sendow I, et al. Emerg Infect Dis.
Hendra dan Nipah virus like 2006.12(4):711-2. 2 Sendow I, et al. Zoonoses and public
Sumatera dan Jawa Pteropus vampyrus
Antibodi
NA
Kalimantan Barat
Pteropus vampyrus (survei utama
Antibodi
Nipahvirus
health. 2010.57(7‐8):499-503.
pada babi)
3 Sasaki M, et al. Virology Journal 2012, 2010-2012 Gorontalo, Jawa
- Virus RNA Henipa virus like and 9:240
Pteropus vampyrus, Pteropus sp,
Barat, Sumatera
Aceredon celebensis
Rubulavirus like
Barat
4 Breed AC, et al. PLoS One.
Non NiV, non HeV Henipa 2013.8(4):e61316.
2004-2005 Sulawesi, Sumba
Acerodon celebensis (n = 15),
Virus RNA,
Pteropus alecto (n = 45) Rousettus
Antibodi
virus
amplexicaudatus (n = 1) and D.
peronii iyatno, 5 Sendow I, et al. PLoS One.
Sumatera Utara (2
Pteropus vampyrus
- Virus RNA Nipahvirus
2013.8(7):e69544. et. al lokasi) - Antibodi 6 Sasaki M, et al. Journal of virology.
2010-2012 Gorontalo,
Pteropus vampyrus
- Virus DNA Alphaherpesvirus
2014.88(17):9819-29.
Surabaya, Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat
- Virus RNA Betacoronavirus 2015.160(4):1113-8.
7 Anindita PD, et al. Arch of Virol
2012-2013 Gorontalo,
Dobsonia Moloccusensis
Surabaya, Yogya
8 Kobayashi S, et al. Arch
- Virus DNA Novel Polyomavirus Virol.2015. 160(4):1075-82.
2012-2013 Gorontalo,
Fruit bats
Surabaya, Yogya
9. Sendow I, et al. Jurnal Biologi
Pontianak
P. Alecto
- Antibodi
Hendra virus
Indonesia.2013.9(1);31-38
Manado
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
Studi untuk mendeteksi adanya bukti infeksi virus pada kelelawar di Indonesia yang bertujuan untuk menelusuri potensi transmisi zoonosis virus pada kelelawar dilakukan terutama untuk deteksi virus genus Henipavirus, yaitu virus Nipah dan/atau virus Hendra (5 artikel) sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 1. Uji serologi untuk membuktikan adanya paparan terhadap virus genus ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat positivitas (positivity rate) pada spesies kelelawar yang berbeda. Pada P. vampyrus, tingkat positivitas deteksi virus Nipah yang didapatkan dari 5 studi adalah sekitar 24 persen dengan rentang antara 2,8-38,1 persen, sedangkan pada P. Alecto (1 studi) adalah 17,2 persen. Berdasarkan penelitian tersebut P. vampyrus di Indonesia merupakan spesies yang paling banyak terpapar oleh Nipah virus dibandingkan dengan spesies lain. Sebaliknya, antibodi terhadap virus Hendra ditemukan lebih banyak pada P. Alecto (2 studi) sebanyak 18 persen daripada P. vampyrus (2 studi) adalah 1,2 persen. Penelitian tersebut membuktikan bahwa virus Nipah dan Hendra bersirkulasi di populasi kelelawar di Indonesia.
Selain uji serologi, studi lain berusaha mendeteksi keberadaan material genetik virus (RNA/DNA) pada kelelawar menggunakan metode molekular baik PCR maupun sekuensing. Terdapat tiga studi yang melaporkan deteksi material genetik virus genus Henipavirus, dan tiga studi mengidentifikasi virus dari keluarga Paramyxovirus genus Rubulavirus, keluarga Coronavirus, Herpesvirus dan Polyomavirus yang sebelumnya belum pernah diketahui. Deteksi material genetik virus tersebut menunjukan bahwa terdapat juga berbagai macam virus lain yang bersirkulasi di kelelawar Indonesia.
Kelelawar merupakan spesies mamalia dengan tingkat keragaman paling tinggi, yaitu sekitar 1300 spesies dari total 6000 spesies mamalia di permukaan bumi (Johnson, de Roode dan Fenton, 2015). Tingginya keragaman tersebut didukung oleh bukti sejarah evolusi kelelawar yang terpisah dari spesies mamalia lainnya jauh sebelum manusia, lebih dari lima puluh juta tahun lalu (Simmons et al., 2008; O’Leary et al., 2013). Variasi spesies kelelawar dapat diamati baik dari segi morfologi dan anatomi, dari kelelawar pemakan serangga berbobot dua gram dengan bentang sayap hanya delapan sentimeter hingga spesies pemakan buah yang berbobot 1000 gram dengan bentang sayap 200 cm (Calisher, C.H., et al., 2008). Selain itu, usia dan strategi reproduksi kelelawar juga berbeda dengan mamalia lain seukurannya. Usia maksimum kelelawar 3.5 kali lebih panjang dibandingkan mamalia lain yang seukuran. Sebagai contoh, tikus hidup dalam rentang waktu yang singkat, sekitar 1-2 tahun dan mampu bereproduksi
delapan kali sepanjang hidupnya dengan jumlah anak 4-8 ekor dalam satu siklus reproduksi. Sebaliknya, beberapa spesies kelelawar dapat hidup hingga 30 tahun dan hanya bereproduksi 1-2 kali per tahun dengan jumlah anak 1-3 ekor per siklus (Wilkinson dan South, 2002).
Berdasarkan jenis makanannya, kelelawar terbagi menjadi pemakan buah, pemakan serangga, pemakan nektar, pemakan darah, dan pemakan ikan. Kelelawar juga merupakan makhluk sosial yang hidup membentuk koloni. Kepadatan koloni spesies pemakan serangga
dapat mencapai 3000 ekor/m 2 , dengan jutaan individu per koloni. (Betke et al., 2008). Koloni kelelawar pemakan buah (misalnya jenis Pteropus) dapat terbang sejauh 18 km untuk mencari makanan. Sebagian bermigrasi sangat jauh untuk menghindari cuaca ekstrim atau mengikuti musim buah-buahan. Aktivitas hidup berkoloni dan bermigrasi ini meningkatkan peluang transmisi virus antar spesies kelelawar dan juga hewan lain (Luis et al., 2015).
Kemampuan terbang banyak dikaitkan dengan evolusi sistem imun kelelawar terhadap penyakit. Spesies kelelawar merupakan satu-satunya mamalia yang dapat terbang dengan tenaga sayap. Kemampuan tersebut menjadikan kelelawar sebagai mamalia dengan persebaran paling luas di muka bumi setelah manusia (Monroe dan Wicander, 2014). Terbang membutuhkan banyak energi dan meningkatkan laju metabolisme sehingga menghasilkan banyak sisa metabolisme. Tingginya laju metabolik tersebut diduga meningkatkan dan/atau membantu proses aktivasi sistem imun kelelawar (O’Shea et al., 2014). Secara umum, kelelawar memiliki komponen sistem imun yang mirip dengan manusia, namun memiliki beberapa pola respon imun yang berbeda, diantaranya respon interferon terhadap infeksi virus dan jumlah ekspresi immunoblobulin (Baker, Schountz dan Wang, 2013; Zhang et al., 2013). Analisis genetik menunjukkan bahwa sistem imun kelelawar berevolusi bersamaan dengan kemampuan terbangnya. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa regulasi perbaikan DNA sangat dibutuhkan oleh kelelawar untuk menghadapi konsekuensi akibat tingginya laju metabolisme ketika terbang (Zhang et al., 2013).
Selain efektivitas aktivasi sistem imun yang meningkat, pembakaran energi yang dilakukan ketika terbang meningkatkan suhu tubuh kelelawar sehingga mampu menekan jumlah virus patogen. Suhu tubuh kelelawar ketika terbang dapat mencapai suhu 41ºC, sama seperti yang dialami mamalia ketika demam, yaitu 38-41 o
C (Blatteis, 1998). Sebaliknya, hibernasi pada kelelawar yang hidup di daerah dengan empat musim telah terbukti menghambat replikasi virus patogen dan
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
mengakibatkan beberapa virus ikut mengalami masa tergantung pada dosis infeksi dan jenis sel yang dilalui hibernasi (Davis et al., 2016). Perubahan suhu tubuh
virus sebelum mencapai jaringan syaraf. Kasus rabies tersebut merupakan seleksi alami terhadap virus yang
pada manusia yang disebabkan oleh gigitan kelelawar diduga meningkatkan diversitas virus pada kelelawar.
telah banyak dilaporkan di beberapa tempat (Francis Ko-evolusi virus dan kelelawar mengakibatkan virus
et al., 2014; Badillo, Mantilla dan Pradilla, 2009). mampu bertahan pada rentang suhu yang lebar dan
Lyssavirus terbukti memiliki penyebaran geografi yang memperoleh keuntungan dalam beradaptasi dengan
amat luas. Hal yang menarik perhatian adalah kasus pejamu yang baru, khususnya manusia (O’Shea et al.,
Lyssavirus pada kelelawar dilaporkan pada negara 2014). Hal tersebut adalah salah satu penyebab mengapa
yang telah dapat mengontrol kasus rabies, seperti di virus dari kelelawar dapat menimbulkan manifestasi
Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Sedangkan di klinis yang lebih berat bahkan menimbulkan kematian
Indonesia, kasus rabies pada manusia dilaporkan terjadi pada pejamu baru (selain kelelawar).
di beberapa daerah, namun kasus yang disebabkan oleh Penelitian menunjukkan bahwa jumlah virus
gigitan kelelawar belum pernah dilaporkan. zoonosis yang ditemukan per spesies kelelawar lebih
b. Henipavirus
banyak daripada rodensia, meskipun jumlah total Ketertarikan dunia penelitian terhadap sirkulasi virus yang ditemukan pada seluruh spesies kelelawar
virus pada kelelawar diawali dari wabah virus Hendra (61) lebih sedikit daripada rodensia (68), dikarenakan
dan Nipah, anggota keluarga Paramyxoviridae dan genus jumlah total populasi rodensia yang dua kali lipat
Henipavirus. Virus Hendra atau sebelumnya disebut lebih banyak daripada kelelawar (Luis et al., 2013).
dengan Equine morbillivirus, pertama kali diidentifikasi Jumlah total rodensia dan kelelawar adalah sekitar
pada tahun 1994 setelah terjadinya kasus kematian 62% dari seluruh mamalia di permukaan bumi, dengan
kuda dan pawangnya di Hendra, Brisbane, Australia proporsi 41% rodensia dan 21% kelelawar (Luis et al.,
(Selvey et al., 1995). Kasus yang sama juga terjadi di 2013). Keberagaman spesies virus pada kelelawar juga
Mackay (1995) dan Queensland (2004)(Hanna et al., dikaitkan dengan kecenderungan spesies kelelawar yang
2006; Rogers et al., 1996). Penyelidikan epidemiologi berbeda untuk hidup di dalam ekosistem yang sama
dengan menggunakan tes serologi pada kelelawar jenis (sympatry) sehingga meningkatkan interaksi satu sama
Pteropus mengindikasikan bahwa kelelawar merupakan lain. (Daszak, Cunningham dan Hyatt, 2000; Luis et al.,
reservoir untuk virus Hendra. Kasus virus Hendra pada 2013). Lebih dari 248 virus baru telah berhasil diisolasi
kuda masih dilaporkan terjadi setiap tahun di Australia atau terdeteksi pada kelelawar selama 10 tahun terakhir
dengan puncak jumlah kasus terjadi pada tahun 2011 dan beberapa virus tersebut memiliki potensi zoonosis
(Mahalingam et al., 2012).
cukup besar, sebagai contoh adalah virus dari keluarga Empat tahun setelah wabah virus Hendra di Coronaviridae, Herpesviridae,
Australia, terjadi wabah ensefalitis dan penyakit saluran Adenovirus, dan Astrovirus (O’Shea et al., 2014;
Paramyxoviridae,
pernapasan pada babi dan pekerja peternakan babi di Young dan Olival, 2016). Potensi zoonosis virus lebih
Malaysia dan Singapura pada tahun 1998-1999 (Chua tinggi pada virus dengan ciri bermaterial genetik RNA
et al., 1999; Paton et al., 1999). Wabah yang awalnya dan bersegmen, serta dapat bereplikasi di sitoplasma
diduga disebabkan oleh virus Japanese encephalitis (Pulliam JRC, Dushoff J. 2009).
baru teridentifikasi sebagai kasus yang disebabkan oleh Keterlibatan kelelawar dalam transmisi viral
virus Nipah pada tahun 1999. Wabah virus Nipah di zoonosis antara lain berkaitan dengan virus dibawah
Malaysia sendiri akhirnya berhasil dikendalikan pada ini:
akhir tahun 1999. Kelelawar dikaitkan dengan infeksi
a. Lyssavirus virus Nipah, setelah hasil analisis isolat virus Nipah Lyssavirus merupakan salah satu genus dari keluarga
dari urin kelelawar menunjukkan karakter genetik yang Rhabdoviridae. Virus rabies adalah salah satu spesies
identik dengan virus yang ditemukan pada manusia Lyssavirus yang paling awal dideteksi sebagai virus
(Yob et al., 2001; Chua, Chua dan Wang, 2002). zoonosis yang diasosiasikan dengan kelelawar (Sullivan
Wabah ensefalitis di Bangladesh yang disebabkan et al., 1954). Setidaknya ada enam spesies dari 14 spesies
oleh kontaminasi “raw sap” (nira mentah) oleh urin Lyssavirus yang dapat menyebabkan rabies dan empat
kelelawar jenis Pteropus terjadi pada tahun 2001-2003 spesies diantaranya ditemukan pada kelelawar (Banyard
(Hsu et al., 2004; Rahman et al., 2012). Kasus baru infeksi et al., 2014). Lyssavirus adalah virus neurotropik dengan
virus Nipah di Bangladesh hingga saat ini masih terus waktu inkubasi yang sangat beragam, mulai dari 31
dilaporkan, bahkan India dan Filipina telah melaporkan hari hingga 9 bulan, bahkan hingga lebih dari 4 tahun
adanya kasus virus Nipah (Harcourt et al., 2005; Luby (Shankar et al., 2012; Gardner, 1970; Gadre et al., 2010),
et al., 2009; Chadha et al., 2006). Selain penularan
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
melalui konsumsi nira mentah yang terkontaminasi urin kelelawar, pada kasus Nipah di Bangladesh dan India didapatkan bukti adanya transmisi antar manusia melalui kontak dekat dengan pasien (Gurley et al., 2007).
c. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) Coronavirus Wabah SARS dimulai pada tahun 2002 dan SARS
Co-Vmenjadi pusat perhatian dunia. SARS Co-V muncul pertama kali di Guangdong, Tiongkok, berawal dari satu sumber penularan secara cepat menyebar ke 29 negara termasuk ke kawasan Asia Tenggara (Hilgenfeld dan Peiris, 2013). Wabah SARS diperkirakan mengakibatkan lebih dari 8000 kasus dan menyebabkan kematian lebih dari 700 orang di seluruh dunia (Peiris dan Guan, 2004). Kasus SARS Co-V tetap dilaporkan pada tahun 2003-2004 secara sporadik di Tiongkok, namun hasil investigasi molekular menunjukkan bahwa kasus yang terjadi pada tahun 2003-2004 disebabkan oleh virus yang berbeda dari kasus tahun 2002 (Song et al., 2005).
Investigasi epidemiologi pada wabah SARS terjadi pada tahun 2002 mengindikasikan peran hewan sebagai sumber infeksi. Penelitian serologi terhadap para pedagang di pasar hewan di Tiongkok menunjukkan adanya hubungan antara kasus SARS Co-V dengan hewan yang diperjual-belikan di pasar hewan tersebut (Song et al., 2005; Guan et al., 2003). Awalnya, musang dianggap sebagai reservoir dari virus ini, namun perbandingan hasil uji serologis pada musang dari pasar hewan dengan musang di penangkaran menunjukkan bahwa musang hanya merupakan pejamu perantara dan bukan hewan reservoir utama SARS Co-V (Hu et al., 2015). Keterkaitan kelelawar dengan SARS teridentifikasi setelah dilakukan surveilance SARS Co-V terhadap berbagai jenis hewan di Hongkong, sehingga ditemukan Coronavirus yang mirip dengan kasus SARS pada manusia pada kelelawar jenis Rhinolopus (Guan et al., 2003). Coronavirus yang ditemukan pada tahun 2005 kemudian disebut dengan SARS-like Coronavirus (SL-Coronavirus). Penemuan tersebut memicu berbagai kegiatan surveilance Coronavirus di wilayah lain sehingga memungkinkan terdeteksinya SL-Coronavirus di Afrika pada jenis kelelawar Hipposideros dan Chaerophon. Pada saat itu, hasil analisis genetik terhadap SL-Coronavirus belum dapat menyimpulkan bahwa Coronavirus dari kelelawar berkaitan dengan SARS pada manusia. Hipotesis tersebut baru dapat dibuktikan pada tahun 2013, yaitu ketika Coronavirus yang serupa dengan virus yang menginfeksi manusia pada tahun 2002 terdeteksi pada kelelawar jenis Pteropus (Yang et al., 2015). Beberapa tahun kemudian, berbagai spesies Coronavirus lainnya terdeteksi di kelelawar, termasuk
spesies yang mirip dengan Coronavirus 229E dan NL63, jenis Coronavirus yang sudah lama bersirkulasi di manusia (Hu et al., 2015).
d. Middle East Respiratory Syndrome (MERS) Coronavirus Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
merupakan strain baru dari keluarga Coronavirus yang terdeteksi pertama kali pada kasus pneumonia berat di Saudi Arabia pada tahun 2012 (Zaki et al., 2012). Hingga akhir tahun 2016, sebanyak 1935 kasus telah dikonfirmasi di seluruh dunia, dengan 690 diantaranya meninggal dunia (WHO | Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV), 2017). Belajar dari kasus SARS, peneliti menduga adanya peran riwayat kontak manusia dengan hewan, yaitu unta jenis Camelus dromedary. Virus MERS yang terdeteksi pada unta di Saudi Arabia, Qatar dan Mesir memiliki kemiripan genetik yang tinggi dengan MERS Co-V penyebab kasus pada manusia (>99%) (Chu et al., 2014). Merujuk kepada kasus SARS Co-V, peneliti menduga keterlibatan kelelawar dalam transmisi virus ini (Azhar et al., 2014). Pada tahun 2013, Memish, dkk berhasil mendeteksi sekuens parsial RNA betacoronavirus di sampel feses dari kelelawar Taphozous perforatus di Saudi Arabia dengan tingkat kesamaan 100% dengan MERS Co-V (Memish et al., 2013). Meskipun begitu, transmisi MERS Co-V secara langsung dari kelelawar ke manusia belum pernah dilaporkan. Kasus MERS Co-V pada manusia masih dilaporkan di Semenanjung Arab hingga saat ini, namun analisa mengindikasikan MERS Co-V tidak berpotensi menyebabkan pandemik, setidaknya hingga saat ini (Breban, Riou dan Fontanet, 2013; Butler, 2015). Setelah kasus MERS Co-V merebak, berbagai jenis Coronavirus lain juga telah terdeteksi pada kelelawar, diantaranya BtCoV-HKU4, BtCoV-HKU5, NeoCoV dan SC2013. Berdasarkan analisis filogenetik terhadap semua Coronavirus yang ditemukan pada kelelawar, MERS Co-V dan BtCoV- HKU5 diduga berevolusi dari strain yang sama sekitar 400-500 tahun yang lalu. Peneliti menduga MERS Co-V berpindah dari kelelawar ke unta yang kemudian diekspor ke Semenanjung Arab pada sekitar 20 tahun lalu dari Afrika (Corman et al., 2014).
e. Filovirus Virus Marburg dan Ebola merupakan anggota dari keluarga Filoviridae. Wabah yang disebabkan oleh Filovirus dilaporkan pertama kali di Zaire pada tahun 1976 (Broadhurst, Brooks and Pollock, 2016). Kasus epidemi virus Ebola pada tahun 2014 menarik perhatian para peneliti akibat tingginya angka kematian dan transmisi antar manusia dan kontak dengan hewan liar. Keterkaitan antara kasus infeksi Filovirus pada manusia
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
dengan hewan sudah diduga sejak tahun 1967, ketika virus yang berasal dari spesimen penelitian kera hijau yang diimpor dari Uganda ke Jerman menginfeksi petugas laboratorium, namun asal virus ini masih belum diketahui (Luby dan Sanders, 1969). Pada tahun 1975, seorang wisatawan yang tidur di dalam sebuah ruangan yang juga menjadi sarang kelelawar pemakan serangga di Zimbabwe dilaporkan terinfeksi virus Marburg (Conrad et al., 1978). Selain itu, peneliti juga mengamati munculnya kasus infeksi yang berhubungan dengan gua bekas tambang yang menjadi sarang kelelawar sehingga diasumsikan adanya keterlibatan kelelawar dalam transmisi virus Marburg. Selanjutnya, virus Marburg berhasil dideteksi pada kelelawar jenis “eloquent horshoe bats” (Rhinolophus eloquens) dan Miniopterus inflatus di tahun 1999 (Swanepoel et al., 2007). Hal tersebut diikuti dengan keberhasilan Towner et al untuk mengisolasi berbagai jenis Marburg virus dari Egyptian rousettes (Towner et al., 2009). Identifikasi kasus Ebola di sekitar koloni kelelawar dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sel kelelawar mampu mengamplifikasi virus ebola memperkuat bukti keterlibatan kelelawar dalam transmisi virus Ebola (Daszak, Cunningham dan Hyatt, 2000). Pada belahan bumi Asia, virus Ebola Reston ditemukan pada kelelawar dan babi di Filipina pada tahun 2011, dan sejauh ini, merupakan satu-satunya Ebola yang ditemukan di Asia (Sayama et al., 2012).
Indonesia, sebagaimana negara di Asia Tenggara lainnya dianggap memiliki faktor risiko tinggi sebagai lokasi munculnya EID/REID. Berbagai faktor yang saling berinteraksi dan berpotensi menstimulasi munculnya EID/REID, baik faktor agen penyakit, manusia sebagai pejamu dan lingkungan dapat ditemui di Indonesia. Tingginya keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia juga mempertinggi peluang munculnya EID/REID yang berasal dari hewan liar. Indonesia memiliki keanekaragaman spesies kelelawar yang tinggi, termasuk jenis kelelawar yang terbukti berperan sebagai pejamu alami untuk virus zoonosis. Keanekaragaman kelelawar di Indonesia menempati 15-21% dari total kelelawar di dunia, dengan sekitar 231 spesies yang terbagi menjadi 10 keluarga dan 52 genus dengan Pteropus sp. Sebagai genus yang paling dominan (Hylsandy, Ery Rahayu dan Wiantoro, 2016; Suyanto, 2001, 2003).
Sebagaimana kasus viral zoonosis pada umumnya, kemunculan EID/REID yang berasal dari kelelawar memiliki keterkaitan dengan berbagai aktivitas manusia. Beberapa contoh kasus viral zoonosis tersebut antara lain kemunculan virus Henipa terkait dengan pembukaan lahan pertanian/peternakan dan pembakaran
hutan, SARS-Coronavirus dengan pasar tradisional, virus Ebola dengan kegiatan berburu hewan liar, dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi manusia dengan hewan dan eksploitasi alam liar merupakan jalur transmisi yang perlu diwaspadai.
Meskipun terdapat bukti paparan sirkulasi virus pada kelelawar di Indonesia, hingga saat ini belum pernah dilaporkan adanya kasus zoonosis yang ditransmisikan langsung ke manusia. Transmisi virus kelelawar ke manusia memang tidak mudah mengingat terdapat adanya perbedaan reseptor untuk virus yang dimiliki oleh kelelawar dan manusia. Namun potensi terjadinya kasus zoonosis virus dari kelelawar tetap harus diwaspadai, mengingat sebagian besar virus zoonosis adalah virus RNA yang mudah bermutasi.
Penelitian bersama antara aspek ekologi dan penyakit infeksi juga pernah dilakukan sebelumnya (Johnson, de Roode dan Fenton, 2015). Meningkatnya eksploitasi sumber daya alam diantaranya konversi hutan menjadi perkebunan, pembakaran hutan dan pembukaan lahan tambang mempertinggi intensitas interaksi manusia dengan hewan liar dan membuka jalur-jalur transmisi patogen baru. Faktor perilaku manusia yang melibatkan interaksi dengan hewan liar juga berperan dalam membuka jalur transmisi virus zoonosis, diantaranya adalah budaya berburu, berdagang, dan mengonsumsi hewan liar khususnya kelelawar. Perilaku manusia merupakan salah satu faktor risiko yang mengawali wabah Ebola di Afrika yaitu aktivitas masyarakat dalam berburu dan mengonsumsi hewan liar untuk memenuhi kebutuhan protein (Leroy et al., 2009). Aktivitas masyarakat yang mirip juga dapat diamati di beberapa daerah di Indonesia, antara lain Sulawesi Utara dan Sumatera Utara. Hal yang membedakan adalah aktivitas konsumsi hewan liar di Indonesia bukan sebagai sumber protein utama, melainkan alternatif yang dihidangkan sesekali atau pada saat acara-acara khusus sehingga intensitas konsumsinya tidak sebanyak di Afrika (Saroyo, 2011; Siagian, Putro dan Mardiastuti, 2011).
Faktor lain yang berpotensi menjadi jalur transmisi virus adalah pariwisata, pembuatan/pemanfaatan guano dari tinja kelelawar, dan konsumsi nira mentah. Wisata alam dan olah raga berupa kunjungan ke gua-gua atau yang dikenal dengan “Cave-tourism” semakin populer di Indonesia. Potensi terjadinya transmisi patogen dapat terjadi akibat interaksi antara kelelawar penghuni gua dengan pengunjung baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemanenan guano (endapan tinja kelelawar) sebagai pupuk untuk pertanian mulai banyak juga dipraktekkan di Indonesia (Suwarno dan Idris, 2007). Hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai kandungan patogen dalam guano yang
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
berpotensi menyebabkan zoonosis. Pemanenan nira di transmisi virus baik mencakup karakter agen penyebab beberapa daerah di Indonesia dilakukan dengan teknik
penyakit (virulensi, kemampuan transmisi antar spesies), yang mirip dengan teknik pemanenan “palm sap” yang
kerentanan baik manusia maupun hewan/hewan liar dilakukan di Bangladesh, yang mengawali terjadinya
terhadap agen penyakit, perilaku manusia (demografi, wabah virus Nipah. Sejauh ini belum ada penelitian
konsumsi, pembukaan lahan, turisme, perdagangan yang menganalisis potensi risiko transmisi virus melalui
dan lain lain), dan lingkungan (iklim, bencana alam, konsumsi nira mentah tersebut di Indonesia.
perubahan ekosistem). Penelitian lebih dalam menyangkut Pengawasan melalui kegiatan surveilance pada
pola penyebaran, fungsi biologi dari virus, dan sosio- hewan liar dan lingkungan perlu dilakukan untuk
antropologi menjadi prioritas selanjutnya. deteksi dini transmisi zoonosis dari kelelawar. Pendekatan komprehensif dalam investigasi penyakit
Saran
zoonosis telah dilakukan baik di tingkat global maupun Sebagai upaya meningkatkan kemampuan bersama nasional terutama sejak munculnya kasus flu burung
dalam melakukan penelitian zoonosis tersebut, (Influenza A/H5N1). Pendekatan “Four-Way Linking”
diperlukan penguatan jejaring kolaborasi penelitian merupakan metode investigasi bersama, melibatkan
antara kementerian terkait (Kementerian Kesehatan, unsur epidemiologi, analisis laboratorium, surveilance
Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan
Hidup), Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan bekerjasama untuk mempercepat proses tanggap risiko
Lembaga Non Pemerintah melalui pemanfaatan kasus zoonosis (Setiawaty et al., 2015). Pendekatan
ilnu pengetahuan dan teknologi terkini. Penggunaan tersebut juga dapat diterapkan dalam bidang penelitian,
teknologi terkini perlu dilakukan untuk memfasilitasi terutama dalam berbagi data dan fasilitas penelitian,
penelitian agar lebih akurat, efektif dan efisien dalam kolaborasi penelitian dan kerjasama membangun
mendeteksi dan mengarakterisasi virus zoonosis, salah kapasitas sumber daya manusia. Beberapa tantangan
satunya dengan metode “Next Generation Sequencing” muncul dari pendekatan kolaborasi tersebut antara lain
yang dapat mengkarakterisasi patogen yang terdapat adanya perbedaan prioritas antara kesehatan masyarakat
dalam spesimen baik manusia, hewan dan lingkungan dan kesehatan hewan, belum terkoordinasinya penelitian
secara relatif lebih cepat. Penelitian yang komprehensif untuk hewan liar, dan belum optimalnya kerjasama
terhadap patogen di manusia, hewan, dan lingkungan dengan perguruan tinggi dan lembaga riset terkait.
khususnya di daerah dengan potensi risiko zoonosis Penelitian yang berkaitan dengan interaksi
yang tinggi, diharapkan dapat mendeteksi dan mencegah kelelawar dan manusia di Indonesia saat ini, berfokus
terjadinya transmisi penyakit zoonosis lebih dini. pada diagnosis dan identifikasi virus dengan berbagai
keterbatasan, khususnya keterbatasan sumber daya
UCAPAN TERIMAKASIH
manusia dan fasilitas penelitian. Penelitian penyakit Kami mengucapkan terimakasih kepada Korri zoonosis pada manusia masih sedikit dan berfokus Elvanita El-Khobar atas kesediaannya membaca dan terhadap diagnosis virus pada spesimen pasien dengan memberikan masukan terhadap artikel ini. etiologi penyakit yang tidak diketahui melalui analisis
molekular dan serologi. Sedangkan isolasi virus yang merupakan baku emas deteksi dan identifikasi virus
DAFTAR PUSTAKA
hanya tersedia di laboratorium tertentu. Pada aspek Anindita, P.D., Sasaki, M., Setiyono, A., Handharyani, lingkungan dan hewan, terutama hewan liar, dilakukan
E., Orba, Y., Kobayashi, S., Rahmadani, I., Taha, melalui kegiatan surveilance dan penyelidikan
S., Adiani, S., Subangkit, M., Nakamura, I., epidemiologi terbatas.
Sawa, H. and Kimura, T. Detection of coronavirus genomes in Moluccan naked-backed fruit bats in Indonesia. 2015; Archives of Virology, 160(4),
KESIMPULAN DAN SARAN
pp.1113–1118.
Kesimpulan
Azhar, E.I., El-Kafrawy, S.A., Farraj, S.A., Hassan, Penelitian komprehensif yang perlu dilakukan di
A.M., Al-Saeed, M.S., Hashem, A.M., Madani, Indonesia diantaranya adalah surveilance, identifikasi
T.A. Evidence for camel-to-human transmission dan karakterisasi penyakit khususnya pada daerah
of MERS coronavirus. 2014; N. Engl. J. Med. atau lokasi dengan faktor risiko tinggi terjadinya viral
370, 2499–2505. doi:10.1056/NEJMoa1401505 zoonosis pada jangka waktu tertentu. Penelitian tersebut
Badillo, R., Mantilla, J.C. Pradilla, G. [Human rabies diharapkan dapat memberikan informasi mengenai risiko
encephalitis by a vampire bat bite in an urban
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
area of Colombia]. 2009; Bioméd. Rev. Inst. Nac. Peiris, M., Kayali, G. MERS coronaviruses Salud 29, 191–203.
in dromedary camels, Egypt. 2014; Emerg. Baker, M.L., Schountz, T., Wang, L.-F. Antiviral immune
Infect. Dis. 20, 1049–1053. doi:10.3201/ responses of bats: a review. 2013; Zoonoses
eid2006.140299
Public Health 60, 104–116. doi:10.1111/j.1863- Chua, K.B., Chua, B.H., Wang, C.W. Anthropogenic 2378.2012. 01528.x
deforestation, El Niño and the emergence of Banyard, A.C., Evans, J.S., Luo, T.R., Fooks, A.R.
Nipah virus in Malaysia. 2002; Malays. J. Pathol. Lyssaviruses and bats: emergence and zoonotic
threat. 2014; Viruses 6, 2974–2990. doi:10.3390/ Chua, K.B., Goh, K.J., Wong, K.T., Kamarulzaman, v6082974
A., Tan, P.S., Ksiazek, T.G., Zaki, S.R., Paul, Beranová, K., Zendulková, D. [Rabies in bats]. 2016;
G., Lam, S.K., Tan, C.T. Fatal encephalitis due Klin. Mikrobiol. Infekc ̆ ní Lékar̆ství 22, 68–74.
to Nipah virus among pig-farmers in Malaysia. Betke, M., Hirsh, D.E., Makris, N.C., McCracken, G.F.,
1999; Lancet Lond. Engl. 354, 1257–1259. Procopio, M., Hristov, N.I., Tang, S., Bagchi,
doi:10.1016/S0140-6736(99)04299-3 A., Reichard, J.D., Horn, J.W., Crampton, S.,
Coker, R.J., Hunter, B.M., Rudge, J.W., Liverani, Cleveland, C.J., Kunz, T.H. Thermal Imaging
M., Hanvoravongchai, P. Emerging infectious Reveals Significantly Smaller Brazilian Free-
diseases in southeast Asia: regional challenges to Tailed Bat Colonies Than Previously Estimated.
control. 2011; Lancet Lond. Engl. 377, 599–609. 2008; J. Mammal. 89, 18–24. doi:10.1644/07-
doi:10.1016/S0140-6736(10)62004-1 MAMM-A-011.1
Conrad, J.L., Isaacson, M., Smith, E.B., Wulff, H., Crees, Blatteis, C.M. FEVER, in: Physiology and
M., Geldenhuys, P., Johnston, J. Epidemiologic Pathophysiology of Temperature Regulation.
investigation of Marburg virus disease, Southern 1998; WORLD SCIENTIFIC, pp. 177–192.
Africa, 1975. 1978; Am. J. Trop. Med. Hyg. 27, Breban, R., Riou, J., Fontanet, A. Interhuman
transmissibility of Middle East respiratory Corman, V.M., Ithete, N.L., Richards, L.R., Schoeman, syndrome coronavirus: estimation of pandemic
M.C., Preiser, W., Drosten, C., Drexler, J.F. Rooting risk. 2013; Lancet Lond. Engl. 382, 694–699.
the phylogenetic tree of middle East respiratory doi:10.1016/S0140-6736(13)61492-0
syndrome coronavirus by characterization of a Breed, A.C., Meers, J., Sendow, I., Bossart, K.N., Barr,
conspecific virus from an African bat. 2014; J. J.A., Smith, I., Wacharapluesadee, S., Wang, L.
Virol. 88, 11297–11303. doi:10.1128/JVI.01498- and Field, H.E. The Distribution of Henipaviruses
in Southeast Asia and Australasia: Is Wallace’s Daszak, P., Cunningham, A.A., Hyatt, A.D. Emerging Line a Barrier to Nipah Virus?. 2013;PLOS ONE,
infectious diseases of wildlife-threats to 8(4), p.e61316.
biodiversity and human health. 2000; Science Broadhurst, M.J., Brooks, T.J.G., Pollock, N.R.
Diagnosis of Ebola Virus Disease: Past, Present, Dato, V.M., Campagnolo, E.R., Long, J., Rupprecht, C.E. and Future. 2016; Clin. Microbiol. Rev. 29, 773–
A Systematic Review of Human Bat Rabies Virus 793. doi:10.1128/CMR.00003-16
Variant Cases: Evaluating Unprotected Physical Butler, D. South Korean MERS outbreak is not a global
Contact with Claws and Teeth in Support of threat. 2015. Nat. News. doi:10.1038/nature.
Accurate Risk Assessments. 2016; PloS One 11, 17709
e0159443. doi:10.1371/journal.pone.0159443 Calisher, C.H., K.V. Holmes, S.R. Dominguez, T.
Davis, A.D., Morgan, S.M.D., Dupuis, M., Poulliott, Schountz, and P. Cryan. Bats prove to be rich
C.E., Jarvis, J.A., Franchini, R., Clobridge, A., reservoirs for emerging viruses. 2008; Microbe.
Rudd, R.J. Overwintering of Rabies Virus in Chadha, M.S., Comer, J.A., Lowe, L., Rota, P.A.,
Silver Haired Bats (Lasionycteris noctivagans). Rollin, P.E., Bellini, W.J., Ksiazek, T.G., Mishra,
2016; PloS One 11, e0155542. doi:10.1371/
A. Nipah virus-associated encephalitis outbreak,
journal.pone.0155542
Siliguri, India. 2006; Emerg. Infect. Dis. 12, 235– Francis, J.R., Nourse, C., Vaska, V.L., Calvert, S., 240. doi:10.3201/eid1202.051247
Northill, J.A., McCall, B., Mattke, A.C. Australian Chu, D.K.W., Poon, L.L.M., Gomaa, M.M., Shehata,
Bat Lyssavirus in a child: the first reported case. M.M., Perera, R.A.P.M., Abu Zeid, D., El Rifay,
2014; Pediatrics 133, e1063-1067. doi:10.1542/ A.S., Siu, L.Y., Guan, Y., Webby, R.J., Ali, M.A.,
peds.2013-1782
Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 87 - 100
Gadre, G., Satishchandra, P., Mahadevan, A., Suja, M.S., Host, K.M., Damania, B. Discovery of a Novel Madhusudana, S.N., Sundaram, C., Shankar, S.K.
Bat Gammaherpesvirus. 2016; mSphere 1. Rabies viral encephalitis: clinical determinants
doi:10.1128/mSphere.00016-16 in diagnosis with special reference to paralytic
Hsu, V.P., Hossain, M.J., Parashar, U.D., Ali, M.M., form. 2010; J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 81,
Ksiazek, T.G., Kuzmin, I., Niezgoda, M., 812–820. doi:10.1136/jnnp.2009.185504
Rupprecht, C., Bresee, J., Breiman, R.F. Nipah Gardner, A.M. An unusual case of rabies. 1970; Lancet
virus encephalitis reemergence, Bangladesh. Lond. Engl. 2, 523.
2004. Emerg. Infect. Dis. 10, 2082–2087. Guan, Y., Zheng, B.J., He, Y.Q., Liu, X.L., Zhuang,
doi:10.3201/eid1012.040701 Z.X., Cheung, C.L., Luo, S.W., Li, P.H., Zhang,
Hu, B., Ge, X., Wang, L.-F., Shi, Z. Bat origin of L.J., Guan, Y.J., Butt, K.M., Wong, K.L., Chan,
human coronaviruses. 2015; Virol. J. 12, 221. K.W., Lim, W., Shortridge, K.F., Yuen, K.Y.,
doi:10.1186/s12985-015-0422-1 Peiris, J.S.M., Poon, L.L.M. Isolation and
Hylsandy, N., Ery Rahayu, S., Wiantoro, S. characterization of viruses related to the SARS
Keanekaragaman Kelelawar di Kawasan coronavirus from animals in southern China.
Universitas Negeri Malang. 2016; 2003; Science 302, 276–278. doi:10.1126/
Institute of Medicine (US) Committee on Emerging science.1087139
Microbial Threats to Health, Emerging Infections: Gurley, E.S., Montgomery, J.M., Hossain, M.J., Bell,
Microbial Threats to Health in the United M., Azad, A.K., Islam, M.R., Molla, M.A.R.,
States. 1992; National Academies Press (US), Carroll, D.S., Ksiazek, T.G., Rota, P.A., Lowe,
Washington (DC).
L., Comer, J.A., Rollin, P., Czub, M., Grolla, Johnson, P.T.J., de Roode, J.C., Fenton, A. Why infectious A., Feldmann, H., Luby, S.P., Woodward, J.L.,
disease research needs community ecology. Breiman, R.F. Person-to-person transmission of
2015; Science 349, 1259504. doi:10.1126/ Nipah virus in a Bangladeshi community. 2007;
science.1259504
Emerg. Infect. Dis. 13, 1031–1037. doi:10.3201/ Jones, K.E., Patel, N.G., Levy, M.A., Storeygard, A., eid1307.061128
Balk, D., Gittleman, J.L., Daszak, P. Global trends Han, H.-J., Wen, H., Zhou, C.-M., Chen, F.-F., Luo,
in emerging infectious diseases. 2008; Nature L.-M., Liu, J., Yu, X.-J. Bats as reservoirs of severe
451, 990–993. doi:10.1038/nature06536 emerging infectious diseases. 2015; Virus Res.
Kobayashi, S., Sasaki, M., Nakao, R., Setiyono, A., 205, 1–6. doi:10.1016/j.virusres.2015.05.006
Handharyani, E., Orba, Y., Rahmadani, I., Taha, Han, H.-J., Yu, H., Yu, X.-J. Evidence for zoonotic
S., Adiani, S., Subangkit, M., Nakamura, I., origins of Middle East respiratory syndrome
Kimura, T. and Sawa, H., 2015. Detection of coronavirus. 2016; J. Gen. Virol. 97, 274–280.
novel polyomaviruses in fruit bats in Indonesia. doi:10.1099/jgv.0.000342
Archives of Virology, 160(4), pp.1075–1082. Hanna, J.N., McBride, W.J., Brookes, D.L., Shield, J.,
Leendertz, S.A.J., Gogarten, J.F., Düx, A., Calvignac- Taylor, C.T., Smith, I.L., Craig, S.B., Smith, G.A.
Spencer, S., Leendertz, F.H. Assessing the Hendra virus infection in a veterinarian. 2006;
Evidence Supporting Fruit Bats as the Primary Med. J. Aust. 185, 562–564.
Reservoirs for Ebola Viruses. 2016; EcoHealth Harcourt, B.H., Lowe, L., Tamin, A., Liu, X., Bankamp,
13, 18–25. doi:10.1007/s10393-015-1053-0 B., Bowden, N., Rollin, P.E., Comer, J.A.,
Leroy, E.M., Epelboin, A., Mondonge, V., Pourrut, Ksiazek, T.G., Hossain, M.J., Gurley, E.S.,
X., Gonzalez, J.-P., Muyembe-Tamfum, J.-J., Breiman, R.F., Bellini, W.J., Rota, P.A. Genetic
Formenty, P. Human Ebola outbreak resulting characterization of Nipah virus, Bangladesh. 2004.
from direct exposure to fruit bats in Luebo, Emerg. Infect. Dis. 11, 1594–1597. doi:10.3201/
Democratic Republic of Congo, 2007. 2009; eid1110.050513
Vector Borne Zoonotic Dis. Larchmt. N 9, 723– Hayman, D.T.S. Bats as Viral Reservoirs. 2016; Annu.
728. doi:10.1089/vbz.2008.0167 Rev.
Luby, J.P., Sanders, C.V. Green monkey disease 110615-042203
Virol.
doi:10.1146/annurev-virology-
(“Marburg virus” disease): a new zoonosis. 1969; Hilgenfeld, R., Peiris, M. From SARS to MERS: 10
Ann. Intern. Med. 71, 657–660. years of research on highly pathogenic human
Luby, S.P., Hossain, M.J., Gurley, E.S., Ahmed, B.N., coronaviruses. 2013; Antiviral Res. 100, 286–
Banu, S., Khan, S.U., Homaira, N., Rota, P.A., 295. doi:10.1016/j.antiviral.2013.08.015
Rollin, P.E., Comer, J.A., Kenah, E., Ksiazek, T.G.,
Interaksi Kelelawar dan Manusia: ... (Ageng Wiyatno, et. al)
Rahman, M. Recurrent zoonotic transmission Simmons, N.B., Spaulding, M., Velazco, P.M., of Nipah virus into humans, Bangladesh, 2001-
Weksler, M., Wible, J.R., Cirranello, A.L. The 2007. 2009; Emerg. Infect. Dis. 15, 1229–1235.
Placental Mammal Ancestor and the Post–K-Pg doi:10.3201/eid1508.081237
Radiation of Placentals. 2013; Science 339, 662– Luis, A.D., Hayman, D.T.S., O’Shea, T.J., Cryan,
667. doi:10.1126/science.1229237 P.M., Gilbert, A.T., Pulliam, J.R.C., Mills, J.N.,
O’Shea, T.J., Cryan, P.M., Cunningham, A.A., Fooks, Timonin, M.E., Willis, C.K.R., Cunningham,
A.R., Hayman, D.T.S., Luis, A.D., Peel, A.J., A.A., Fooks, A.R., Rupprecht, C.E., Wood,
Plowright, R.K., Wood, J.L.N. Bat flight and J.L.N., Webb, C.T. A comparison of bats and
zoonotic viruses. 2014; Emerg. Infect. Dis. 20, rodents as reservoirs of zoonotic viruses: are bats
741–745. doi:10.3201/eid2005.130539 special? 2013; Proc. Biol. Sci. 280, 20122753.
Paton, N.I., Leo, Y.S., Zaki, S.R., Auchus, A.P., Lee, doi:10.1098/rspb.2012.2753
K.E., Ling, A.E., Chew, S.K., Ang, B., Rollin, Luis, A.D., O’Shea, T.J., Hayman, D.T.S., Wood,
P.E., Umapathi, T., Sng, I., Lee, C.C., Lim, E., J.L.N., Cunningham, A.A., Gilbert, A.T., Mills,
Ksiazek, T.G. Outbreak of Nipah-virus infection J.N., Webb, C.T. Network analysis of host-
among abattoir workers in Singapore. 1999; virus communities in bats and rodents reveals
Lancet Lond. Engl. 354, 1253–1256. doi:10.1016/ determinants of cross-species transmission. 2015;
S0140-6736(99)04379-2
Ecol. Lett. doi:10.1111/ele.12491 Peiris, J.S.M., Guan, Y. Confronting SARS: a view Mahalingam, S., Herrero, L.J., Playford, E.G., Spann,
from Hong Kong. 2004; Philos. Trans. R. Soc. K., Herring, B., Rolph, M.S., Middleton, D.,
Lond. B. Biol. Sci. 359, 1075–1079. doi:10.1098/ McCall, B., Field, H., Wang, L.-F. Hendra virus:
rstb.2004.1482
an emerging paramyxovirus in Australia. 2012; Rahman, M.A., Hossain, M.J., Sultana, S., Homaira, N., Lancet Infect. Dis. 12, 799–807. doi:10.1016/
Khan, S.U., Rahman, M., Gurley, E.S., Rollin, S1473-3099(12)70158-5
P.E., Lo, M.K., Comer, J.A., Lowe, L., Rota, P.A., Marano, N., Pappaioanou, M. Historical, new, and
Ksiazek, T.G., Kenah, E., Sharker, Y., Luby, S.P. reemerging links between human and animal
Date palm sap linked to Nipah virus outbreak in health. 2004; Emerg. Infect. Dis. 10, 2065–2066.
Bangladesh, 2008. 2012; Vector Borne Zoonotic doi:10.3201/eid1012.041037
Dis. Larchmt. N 12, 65–72. doi:10.1089/ Memish, Z.A., Mishra, N., Olival, K.J., Fagbo,
vbz.2011.0656
S.F., Kapoor, V., Epstein, J.H., Alhakeem, R., Rodhain, F. [Bats and Viruses: complex relationships]. Durosinloun, A., Al Asmari, M., Islam, A.,
2015; Bull. Société Pathol. Exot. 1990 108, 272– Kapoor, A., Briese, T., Daszak, P., Al Rabeeah,
289. doi:10.1007/s13149-015-0448-z A.A., Lipkin, W.I. Middle East respiratory
Rogers, R.J., Douglas, I.C., Baldock, F.C., Glanville, syndrome coronavirus in bats, Saudi Arabia. 2013;
R.J., Seppanen, K.T., Gleeson, L.J., Selleck, Emerg. Infect. Dis. 19, 1819–1823. doi:10.3201/
P.N., Dunn, K.J. Investigation of a second focus eid1911.131172