BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SYD HOSEN NASR

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
SEYYED HOSSEIN NASR

MAKALAH
Disampaikan dalam Forum Seminar Kelas
Mata kuliah Filsafat Islam Modern
Semester II Tahun Akademik 2013 – 2014

Oleh :
NURDIN
NIM. 80100213100

Dosen Pemandu :
Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, MA
Dr. Muhammad Sabri, AR, MA

PROGRAM SARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu gelombang besar yang menghantam keras umat Islam akhirakhir ini adalah persoalan intelektualisme Islam yang mulai redup, hingga
akhirnya menjadi tantangan tersendiri dewasa ini bagi semua pihak yang berada
dalam garis demarkasi Islam. Begitulah opini-opini yang sering dimunculkan oleh
mereka yang berlainan arah perjuangan dengan umat Islam. Sebuah usaha untuk
menelanjangi umat Islam dari luar. Setidaknya ada tiga buah dalih yang
digunakan kalangan orientalis untuk menyakinkan umat Islam, tentang keredupan
kegiatan intelektual ini. Pertama, isu tentang tertutupnya pintu ijtihad yang telah
berlangsung lama sekali sekitar ribuan tahun silam. Kedua, serangan Al-Ghazali
terhadap filsafat, ini melalui karyanya yang sangat monumental “Tahafut alfalasifah”. Dan ketiga, meninggalnya Ibnu Rusyd, yang dianggap sebagai simbol
rasionalisme Islam.
Terkait dengan paradigma kaum orientalis ini, tidak hanya terkesan
objektif, tetapi juga memiliki dampak yang sangat serius, terutama ini berkenaan
dengan perspektif dan penyikapan umat Islam belakangan terhadap dimensidimensi intelektual.
Pada satu sisi, gema tertutupnya pintu ijtihad dan serangan-serangan AlGhazali terhadap filsafat secara terus-menerus diresonansi, sehingga mampu
membungkam setiap potensi intelektual umat Islam yang akan berkembang. Pada
sisi lain para orientalis dengan rasa meyakinkan, terutama terhadap kalangan yang
sering disebut sebagai cendikiawan Muslim, bahwa intelektualisme barat adalah

“pisau” yang paling tajam untuk membedah berbagai persoalan umat manusia.
Ini tidak saja menimbulkam gelombang keawaman dan apatisme
intelektual yang merata di kalangan Islam, tetapi juga melahirkan para
cendikiawan Muslim, yang dengan pisau analisis serta metodologinya yang baru,
mencoba “meletakkan” iman dan transendensi Islam sebatas kebenaran yang
bersifat hipotetik. Dampak lain yang lebih besar adalah timbulnya inferioritas
peradaban di kalangan Islam, terutama berkenaan dengan dimensi-dimensi
2

intelektual, yang secara terminatif akan mempengaruhi bahkan menghambat
perkembangan Islam di masa-masa yang akan datang.
Tetapi benarkah kegiatan intelektual umat Islam telah redup? Benarkah
pintu ijtihad telah tertutup? Benarkah filsafat Islam telah mati karena hantaman
Al-Ghazali melalui Tahafut al-falasafah dan meninggalnya Ibnu Rusyd?
Dalam hal ini Seyyed Hossein Nasr dengan berbagai pemikiranya
menunjukan bahwa tudingan para orientalis terhadap kegiatan intelektual umat
Islam terlalu banyak memiliki cacat dan tidak dapat dipertanggung jawabkan1.
Makalah ini mencoba menguraikan bagaimana pemikiran Seyyed Hossein
Nasr terhadap kegiatan intelektual_kefilsafatan sebagai bukti bahwa kegiatan
intelektual Islam belum mati dan masih berlangsung hingga saat ini.


B. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan diatas, maka lahirlah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr ?
2. Bagaimana Pemikiran
Tradisional?

Seyyed

Hossein

Nasr

tentang

Islam

3. Bagaimana Gagasannya tentang Islamisasi?

1. Dikutip dari, http://filsafat.kompasiana.com/2013/02/14/seyyed-hossein-nasr534260.html. diakses pada tanggal 29 April 2014.


3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota
Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai
ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah
seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan
matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islam tradisional dan
Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah. Beliau
sempat

memperoleh

pendidikan

barat


modern

di

Institiut

Teknologi

2

Massachussets dan Universitas Harvard .
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan selanjutnya oleh ayahnya ia
dikirim ke Qum untuk bekerja dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk atThabtaba’I untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal
Alquran dan syair-syair klasik Persia.
Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan telah mewarnai hubungan
antara barat dan timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak
moralnya telah mempengaruhi negara-negara muslim yang dalam banyak hal
sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong
keinginan Seyyed Hossein Nasr untuk belajar ke barat, bahwa untuk melawan
pemikiran sekuler Barat harus masuk ke sarangnya.3

Pada usia 13 tahun, Seyyed Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk
melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan selanjutnya perguruan tinggi. Ia
mengikuti jurusan matematika dan fisika di Massachussets di bawah bimbingan
seorang guru terkenal yakni Bertrand Russel.
Pada tahun 1954, Seyyed Hossein Nasr melanjutkan studinya ke
Universitas Harvard. Pada awalnya ia mengambil jurusan geologi dan geofisika,
tetapi kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menekuni
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang bertitik fokus pada ilmu pengetahuan

2. Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein
Nashr from 1958 through 1993, (Kuala Lumpur: t.p, 1994), h. xiii.
3. M. Thabthaba’I, Islam Syi’ah (Jakarta: Grafiti Press, 1989), h. 95

4

Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed Hossein Nasr belajar sejarah dan pemikiran
Islam dari tokoh terkenal lainnya yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu pengetahuan
pada George Sarton dan sejarah Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson4.
Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak
pemikiran, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh

pemikir keIslaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan
sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein
Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal.
Pada tahun 1958, Seyyed Hossein Nasr berhasil merai gelar doktor dengan
judul disertasi “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah
bimbingan H.A.R. Gibb yang kemudian diterbitkan pada tahun 1964.

B. Pemikiran & Pandangan Seyyed Hossein Nasr
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yakni tentang tradisi Islam atau Islam
tradisional di tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas
yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional
menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan
membawa manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga
menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.
Islam tradisional ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan
modernitas yang tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan.
Visi Islam tradisional lebih utuh untuk bisa memandang realitas karena Islam
tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan
dengan keilahian.
Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari

pohon itulah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi
yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern
yang melepaskan diri dari ilahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam
realitasnya mengatur segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar
pemikiran yang ia bangun.

4. Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi, h. 95.

5

Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang
terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada
zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia
tradisional. Manusia suci,menurut nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal
maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung
kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan
mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.
Manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal
kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan
kebaikan. Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung

kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu. Menurut Nasr, tradisi yang
mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng, tetap, abadi dan
berkesinambungan, sifatnya tidak akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya
waktu.
Terlepas dari beberapa defenisi di atas, Seyyed Hossein Nasr dalam
bukunya “Traditional Islam in the Modern World” memaparkan dengan tegas
bahwa yang ia maksud adalah tradisi yang menyiratkan sesuatu yang sakral
seperti yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu maupun pengungkapan
dan pengembangan prean sakral itu di dalam sejarah kemanusiaan tertentu untuk
dimaksudkan dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan yang
horizontal dengan sumber asli maupun vertikal yang menghubungkan setiap
denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan realitas transenden
meta-historis.5
Lebih lanjut, Seyyed Hossein Nasr merinci tradisi dengan tiga ciri yaitu:
tradisi yang bersifat suci karena diturunkan tuhan pada berbagaia gama lewat
pewahyuan dalam konteks zaman dan tempat yang berbeda. Tradisi senantiasa
tidak berubah karena mengandung kontinuitas, mengandung sain mengenai
realitas mutlak dan cara mengaktualisir dan merealisasi pengetahuan pada masa
tempat dan masa yang berbeda.6 Jelasnya tradisi merupakan seruan dari pusat
5. Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam in the Modern World. Terj. (Bandung:

Pustaka, 1994), h. 3
6. Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight of Modern. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994),
h. 7-9.

6

eksistensi, mengandung kebenaran metafisis dan selalu memancarkan yang
bersumber dari realitas transenden.
Di samping itu, menurut Seyyed Hossein Nasr , bahwa tradisi mencakup
tiga hal yaitu: ad-din sebagai agama yang meliputi semua aspek dan segala
cabangnya, as-sunnah sebagai sesuatu yang sakral dan telah dan sudah menjadi
kebiasaan turun-temurun di kalangan masyarakat tradisional. Yang terakhir adalah
as-silsilah, sebagai mata rantai yang mengaitkan masing-masing periode, episode
atau tahap kehidupan dan pemikiran dalam dunia tradisional kepada sumber
segala sesuatu.7

C. Gagasannya tentang Islamisasi
Konsep Islamisasi sains menggunakan pendekatan sakralisasi. Ide ini
dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya, sains modern
yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas sehingga

perlu dilakukan sakralisasi. Nasr mengritik sains modern yang menghapus jejak
Tuhan di dalam keteraturan alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat
Alah tetapi entitas yang berdiri sendiri.
Ide sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi sains
yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya
cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science) dibangun di
atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin). Padahal Islamisasi
sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam. Sains sakral menafikan
keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama.
Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran Islam sebagai agama
yang benar. Oleh karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi
jika nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai Islam.
Semangat pembaharuan (tajdid), ini merupakan cita-cita Nasr untuk
mengembalikanIslam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak
terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai

7. Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam in the Modern World. Terj. (Bandung:
Pustaka, 1994), h. 3

7

Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan Renaisans
yang menurut pengertian yang sebenarnya.
Suatu renaisanas dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan,
yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan
(mujaddid) tersebut. Namun seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh
reformasi” menurut pengertian modernnya yang disebut muslih.
Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada
asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan
Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh
kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia
menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya
kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal
siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.
Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi
materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam
dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang
ada disekitarnnya.
Sayyed Hossein Nasr, adalah orang yang telah sekian lama hidup dan
akrab dengan dunia modern yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak
tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Ia menggelorakan semangat
pembaharuan (tajdid), yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban
barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur’an
dan al-Hadits. Semangat pembaruan atau tajdid ini kemudian kita yang kenal
dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi.
Nasr merupakan figur yang sangat relevan, ia menggembor-gemborkan
tentang tajdid. Nasr merupakan tokoh yang memiliki wawasan yang sangat luas
tentang seluk-beluk peradaban modern dengan segala implikasi-implikasi yang
bisa ditimbulkannya.Namun demikian, keakraban Nasr dengan alam modern tidak
lantas menyebabkan ia tercerabut dari akar peradaban Islam, malah ia lebih
menancapkan lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah
berhasil menciptakan batasan-batasan antara Islam dan Barat, tradisi dan

8

modernisasi, dan dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan
mengambil tempat.
Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam
merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala
potensi yang telah diberikan Tuhan untuk manusia dan menyadari hakekat
keberadaan dirinya di muka bumi ini yaitu untuk beribadah dan menghambakan
dirinya pada Tuhan8

8. Di kutip dari, http://filsafat.kompasiana.com/2013/02/14/seyyed-hossein-nasr534260.html. diakses pada tanggal 29 April 2014

9

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota
Teheran, Iran. Ayahnya bernama Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai
ulama, dokter dan pendidik pada masa dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah
seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan
matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islad tradisional dan
Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah. Beliau
sempat

memperoleh

pendidikan

Barat

modern

di

Institiut

Teknologi

Massachussets dan Universitas Harvard.
Selama masa pendidikannya, baik secara akademis maupun melalui kontak
pemikiran, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh
pemikir keIslaman tradisional seperti Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan
sebagainya. Salah satu gagasan mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein
Nasr adalah pemikiran filsafat metafisika universal. Salah satu tokoh yang juga
banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon. Rene Guenon merupakan salah
satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya
peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam
kerangka besar pemikiran perennial.
Manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal
kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan
kebaikan. Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung
kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu. Menurut Nasr, tradisi yang
mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng, tetap, abadi dan
berkesinambungan, sifatnya tidak akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya
waktu.
Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada
asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan
Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh
kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia
menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya
10

kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal
siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.

11

DAFTAR PUSTAKA

Dikutip

dari, http://filsafat.kompasiana.com/2013/02/14/seyyed-hossein-nasr534260.html.

Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein
Nashr from 1958 through 1993, (Kuala Lumpur: t.p, 1994)
M. Thabthaba’I, Islam Syi’ah (Jakarta: Grafiti Press, 1989)
Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi
Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam in the Modern World. Terj. (Bandung:
Pustaka, 1994)
Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight of Modern. Terj. (Bandung: Pustaka,
1994)
Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam in the Modern World. Terj. (Bandung:
Pustaka, 1994)

12