KOMUNIKASI KELUARGA POLA PENGASUHAN ANAK (1)

Bidang Sosial:Komunikasi

LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL

Judul penelitian:

KOMUNIKASI KELUARGA, POLA PENGASUHAN ANAK BALITA
DAN REMAJA, SERTA MODEL KOMUNIKASI TRANSFORMASI
NILAI-NILAI BUDAYA PADA KELUARGA ETNIS BETAWI
(Masyarakat Betawi di Jakarta dan Bekasi)
Laporan Penelitian Tahun Pertama
KOMUNIKASI DAN POLA PENGASUHAN ANAK BALITA DAN REMAJA YANG
TERJADI DALAM KELUARGA BETAWI DI JAKARTA DAN BEKASI

PENANGGUNGJAWAB PROGRAM
DR. AFRINA SARI. M.Si
NIDN: 0317046803

DIPA DP2M : NO KONTRAK; 0889/K4/ KL/ 2013

UNIVERISTAS ISLAM ‘45’ BEKASI

MARET, 2013

2

HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian

Judul tahun pertama

: KOMUNIKASI KELUARGA, POLA PENGASUHAN
ANAK BALITA DAN REMAJA, SERTA MODEL
KOMUNIKASI TRANSFORMASI NILAI-NILAI
BUDAYA PADA KELUARGA ETNIS BETAWI
: KOMUNIKASI DAN POLA PENGASUHAN ANAK
BALITA DAN REMAJA YANG TERJADI DALAM
KELUARGA BETAWI DI JAKARTA DAN BEKASI.

2. Peneliti Utama
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin

c. NIDN
d. Pangkat/Golongan
e. Jabatan Struktural
f. Jabatan Fungsional
g. Fakultas/Jurusan
h. Pusat Penelitian
i. Alamat

: Dr. Afrina Sari. M.Si
: Perempuan
: 0317046803
: Lektor/IIIC
: Dosen Tetap
: Lektor
: FKSB/Ilmu Komunikasi
: LPPM Universitas Islam “45” Bekasi
: Jln. Cut Meutia No.83. gedung PUSKOTDA
Universitas Islam “45 Bekasi
j. Telpon/Faks
: 021-8801027/ 8801192

k. Alamat Rumah
: Pondok Ungu Permai Blok MM.2 No. 4
Rt.03/RW026 Kelurahan Kaliabang Tengah Bekasi
Utara.
l. Telpon rumah/email
: 021- 8881781/afrina.sari@yahoo.co.id
Lama penelitian
: 2 tahun
a) Tahun pertama: Rp. 45.000.000,Biaya dari Instansi lain

:

-

Mengetahui,
Dekan Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa

Bekasi, 20 Desember 2013
Ketua Peneliti


Andi Sopandi. M.Si
45.1.20.06.1997.100

Dr. Afrina Sari. M.Si
45.1.01.04.2009.008
Menyetujui,
Ketua LPPM Universitas Islam “45” Bekasi

Rusham. SE.MM
I. Identitas dan Uraian Umum
Judul Penelitian

: Komunikasi dan Pola Pengasuhan Anak balita dan Remaja

3

1. Ketua Peneliti
a. Nama lengkap
b. Jabatan
c. Jurusan/Fakultas

d. Perguruan Tinggi
e. Alamat Surat
f. Telpon/Faks
g. E-mail

yang terjadi dalam keluarga Betawi di Jakarta dan Bekasi
:
: Dr. Afrina Sari.M.Si
: Dosen Tetap
: Ilmu komunikasi/Fakultas Komunikasi Sastra dan
Bahasa (FKSB)
: Universitas Islam “45” Bekasi
: Universitas Islam “45” Bekasi Jln. Cut Meutia N0.83
Bekasi
: 021-8801027/8801192
: afrina.sari@yahoo.co.id

2. Tim Peneliti
No. Nama dan Gelar
Akademik


Bidang
Keahlian

Instansi

1.

Komunikasi

Unisma

Drs. Ade Kosasih-di
wakilkan ke dosen
lain
(Hermansyah,SE.MM
)

Manajemen


Alokasi
waktu
(jam/Minggu)
3 jam
3 jam

3. Objek Penelitian: Masyarakat Betawi tentang: Pola-pola komunikasi dalam pengasuhan
anak Balita dan remaja.
Tahun pertama: Komunikasi dan pola pengasuhan anak Balita dan
remaja yang terjadi dalam keluarga Betawi Jakarta
dan Bekasi.
4. Masa pelaksanaan :
Tahun pertama:
a. Mulai : Juni 2013
b. Akhir : Desember 2013
5. Usulan Biaya:
a. Tahun I
: Rp. 45.000.000,6. Lokasi Penelitian : Kampung Ujung Harapan Bekasi, Jakarta Timur (Condet),
Jakarta Utara (Kampung Tugu).
7. Temuan ;

Masyarakat Betawi yang diteliti adalah masyarakat yang tinggal di Kampung Tugu
Jakarta Utara, Kampung Condet Jakarta Timur, dan kampung ujung Harapan Bekasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di ketiga lokasi bukan lagi dikatakan
sebagai masyarakat yang terpinggirkan. Ketergusuran mereka dari wilayah asal lebih
disebabkan karena rata-rata dari keluarga besar mereka telah menjual tanah warisan
dan mengantikan dengan rumah yang di beli lebih kecil. Hasil menjual tanah dibagikan
sebagai warisan. Sebagian dari mereka malah ada yang menyewa rumah dan sebagian
lagi ada yang tinggal bersama dengan keluarga lainnya. Ada yang membeli rumah dari
warisan yang diterima dari orangtua. Pola komunikasi dalam pengasuhan anak pada
masyarakat di kampung Tugu Jakarta Utara, lebih di pengaruhi dari cara-cara yang

4

didapat dari generasi sebelumnya. Rata-rata masyarakat Betawi di kampung Tugu ada
yang beragama Nasrani, sebagian beragama Islam. Pengaruh Budaya Portugis masih
ada dalam perayaan natal bagi umat nasrani yang ada di kampung Tugu. Bagi
Masyarakat yang beragama Islam mengikuti cara-cara islam dalam mengembangkan
pola pengasuhan pada keluarga. Masyarakat Betawi di kampung Condet Jakarta Timur,
lebih mengembangkan cara-cara tradisi keluarga yang di pengaruhi oleh cara-cara
Budaya Arab. Masyarakat betawi yang tinggal di Kampung Condet beragama Islam,

dan lebih mengembangkan cara-cara kehidupan Islami. Begitu juga Masyarakat Betawi
di kampung ujung Harapan Bekasi, lebih mengembangkan cara-cara dan tradisi
keislaman yang di warisi dari generasi sebelumnya. Masyarakat kampung Ujung
Harapan di pengaruhi oleh K.H Nur Ali, yaitu Kiai yang mengembangkan Islam di
Bekasi, dan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat ujung harapan Bekasi.
Hampir seluruh masyarakat Ujung harapan Bekasi adalah Islam. Pola-pola pengasuhan
anak lebih di dominasi dengan cara-cara Islam. Pola pengasuhan dengan konsistensi
dalam mendidik jika di bandingkan antara Balita dan Remaja, masyarakat di kampung
tugu lebih Dominan mendidik anak remaja, sedangkan masyarakat Kampung condet
dan kampung ujung harapan mengarahkan konsistensi mendidik pada anak Balita dan
anak remaja.
Metode:
Metode yang di pakai adalah metode survei dan observasi yang disertai dengan
wawancara mendalam (indept interview) terhadap objek penelitian.
Teori:
Teori yang dipakai adalah teori komunikasi interpersonal, teori interaksionisme
simbolik serta teori fungsional struktural.
Antisipasi yang di kontribusi untuk Ilmu Komunikasi:
Memberikan kajian baru tentang model komunikasi dalam keluarga budaya seperti
Betawi. Akan memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu komunikasi budaya.

Selain itu akan menghasilkan model komunikasi interpersonal budaya Betawi.
8. Jurnal Ilmiah yang menjadi sasaran:
Jurnal Ilmu Komunikasi FISIP UPN VETERA, Yokyakarta.
9. Instansi lain yang terlibat : tidak ada
10. Keterangan lain yang dianggap perlu:
Jika Memungkinkan akan di terbitkan dalam Jurnal Internasional.
11. Kontribusi mendasar pada bidang Ilmu yaitu dengan menemukan pola komunikasi
dalam pengasuhan anak balita dan remaja, terutama Komunikasi interpersonal dalam
pembinaan anak balita di masa tumbuhkembang dan remaja.
ABSTRACT
Budaya yang sebelumnya menjadi dasar dari masyarakat Betawi tidak selalu
memberikan pengaruh dalam menhasilkan pola-pola pengasuhan pada keluarga Betawi.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis bagaimana keluarga Betawi Jakarta dan
Bekasi melakukan komunikasi dengan anggota keluarga dalam pengasuhan. 2)

5

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pola pengasuhan. 4). Menemukan
model komunikasi dalam pengasuhan. Metode penelitian dilakukan secara survei dan
observasi langsung di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pola

komunikasi yang dilakukan keluarga Betawi di Kampung Condet Jakarta Timur lebih
mengembangkan sikap empati kepada remaja dan mengembangkan sikap sportif kepada
anak balita. Pola komunikasi pada keluarga betawi di kampung Tugu menunjukkan bahwa
keluarga mengembangkan sikap sportif kepada remaja. Pola komunikasi pada keluarga di
kampung Ujung Harapan Bekasi menunjukkan bahwa keluarga mengembangkan sikap
terbuka pada anak balita, mengembangkan sikap sportif pada anak balita dan sikap
sportif pada anak remaja. 2) Faktor –faktor komunikasi yang berhubungan secara
signifikan dengan pola pengasuhan anak balita dan remaja di kampung condet adalah; 1)
sikap empati pada remaja 2) sikap sportif pada balita. Faktor komunikasi yang
berhubungan secara signifikan di kampung Tugu adalah sikap sportif pada remaja,
sedangkan faktor komunikasi yang berhubungan secara signifikan di kampung Ujung
Harapan Bekasi adalah 1) sikap terbuka pada balita dan 2) sikap sportif pada balita dan
3) sikap sportif pada remaja.
Keyword: Komunikasi, Pola pengasuhan, Sikap Empati, sikap Sportif.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Betawi adalah nama suku bangsa di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Menurut garis
besarnya, wilayah Budaya Betawi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Betawi Tengah
atau Betawi Kota dan Betawi Pinggiran. Yang termasuk wilayah Betawi Tengah
merupakan kawasan yang pada zaman akhir Pemerintah kolonial Belanda termasuk
wilayah Gemeente Batavia, kecuali beberapa tempat seperti Tanjung Priuk dan sekitarnya.
Sedangkan daerah- daerah lain diluar daerah tersebut, terutama daerah-daerah diluar
wilayah DKI Jakarta, merupakan wilayah budaya Betawi Pinggiran, yang pada masa lalu
oleh orang Betawi Tengah biasa disebut Betawi Ora. Pembagian kedua wilayah budaya itu
bukan semata-mata berdasarkan geografis, melainkan berdasarkan ciri-ciri budayanya,
termasuk bahasa dan kesenian tradisi yang didukungnya. Menurut garis besarnya dialek
Betawi dapat dibagi menjadi dua sub dialek, yaitu sub dialek Betawi Tengah dan sub dialek
Betawi Pinggiran. Etnik Betawi dalam penelitian ini adalah suku bangsa Betawi yang
tinggal di Jakarta dan Bekasi.
Pengaruh budaya asing berakibat kepada beragamnya pelaksanaan budaya pada
etnik Betawi. Pengaruh Budaya Portugis muncul dalam seni musik, tari-tarian, dan
kesukaan akan pakaian hitam. Pengaruh budaya Arab tampak dalam penggunaan bahasa,
kesenian pelaksanaan peribadatan Islam. Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk

6

bahasa, makanan, dan kesenian, terutama dalam irama lagu, dan nama alat musik Gambang
Rancak. Pengaruh Belanda teralihat dalam mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain.
Masyarakat Betawi juga memiliki kepercayaan selain percaya kepada Agama Islam,
terdapat juga kepercayaan masyarakat kepada makhluk-makhluk halus. Hubungan
kepercayaan dan cara dalam pengasuhan lebih di pengaruhi oleh kepercayaan yang
dimiliki masyarakat. Peran kerabat dalam kehidupan dan hubungan sosial memegang peran
yang sangat penting. Pola pengasuhan dan pola transformasi ini sangat di pengaruhi oleh
fungsi dan peran kerabat atau anggota keluarga inti dan batih (Supriatna, 2008).
Keragaman budaya yang mempengaruhi masyarakat budaya Betawi baik yang
tinggal di Jakarta dan Bekasi, berakibat kepada akan memunculkan banyak cara
berkomunikasi dalam pengasuhan terhadap anak dan remaja dalam lingkungan keluarga.
Sehingga akan memunculkan banyak pola-pola pengasuhan dan pola-pola berkomunikasi
dalam keluarga. Selain Keragaman budaya yang mempengaruhi budaya Betawi,
kepercayaan kepada tuhan yang Maha Esa juga mempunyai peran penting dalam
mempengaruhi masyarakat budaya Betawi dalam mentransformasikan nilai-nilai budaya
kepada anak dan remaja pada keluarga Betawi Jakarta dan Bekasi. Sehingga akan
memuncul beragam pola transformasi nilai-nilai yang dilakukan keluarga Betawi Jakarta
dan Bekasi.
Permasalahan
Konsep komunikasi dan pola pengasuhan anak usia balita dan remaja dalam
keluarga Betawi Jakarta dan Bekasi meliputi cara orangtua melakukan interaksi dengan
anak balita dan remaja yang mereka miliki. Cara ini akan bisa muncul dengan bermacam
ragam. Sehingga dampaknya adalah pada kepribadian anak di kala berinteraksi dengan
oranglain diluar anggota keluarga. Penggunaan bahasa yang disertai logat, dialek dan
tekanan nada akan mempengaruhi cara bicara anak saat bermain dengan teman sebayanya.
Hal lain yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah penggunaan komunikasi
nonverbal dalam setiap interaksi dengan anak usia balita dan remaja. Baumrind dalam
Irmawati (2004) menganggap bahwa pola pengasuhan tertentu dalam keluarga akan
memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan pada penelitian tahun
pertama adalah:

7

1) Bagaimana pola komunikasi yang dilakukan keluarga Betawi Jakarta dan Betawi
Bekasi terhadap anak usia balita dan remaja.
2) Apa saja faktor-faktor komunikasi yang berhubungan dengan pola pengasuhan dalam
konteks komunikasi interpersonal orangtua kepada anak usia balita dan remaja pada
keluarga Betawi Jakarta dan Betawi Bekasi.
3) Bagaimana model komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak dan remaja pada
keluarga Betawi Jakarta dan Betawi Bekasi.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan penelitian diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
Tahun pertama:
1) Menganalisis pola komunikasi yang dilakukan keluarga Betawi Jakarta dan Betawi
Bekasi terhadap anak usia balita dan remaja.
2) Mengetahui faktor-faktor komunikasi yang berhubungan dengan pola pengasuhan
dalam konteks komunikasi interpersonal orangtua kepada anak usia balita dan
remaja pada keluarga Betawi Jakarta dan Betawi Bekasi.
3) Menganalisis model komunikasi keluarga dalam pengasuhan anak dan remaja pada
keluarga Betawi Jakarta dan Betawi Bekasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada perhatian terhadap pola pengasuhan anak balita dan
remaja pada masyarakat budaya seperti budaya Betawi, dimana mengidentifikasi beberapa
faktor antara lain: pola pengasuhan keluarga, pola-pola komunikasi verbal dan nonverbal
dalam pengasuhan dan transformasi nilai-nilai budaya, bentuk komunikasi yang digunakan
dalam pengasuhan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai
berikut:
1.

Dalam aspek praktis penelitian diharapkan bermanfaat untuk menemukan model
komunikasi pola pengasuhan kepada anak balita dan remaja pada keluarga Betawi
Jakarta dan Bekasi, bisa sebagai masukan bagi pengambil kebijakan untuk
melestarikan nilai-nilai budaya yang bersifat positif terhadap kepribadian anak balita
dan remaja pada masyarakat budaya.

8

2.

Secara akademis penelitian ini diharapkan bermanfaat karena memberi kontribusi
pada pengembangan ilmu komunikasi, terutama pengembangan Komunikasi lintas
budaya dan pengembangan masyarakat budaya dalam melestarikan nilai-nilai
budaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pola Kehidupan Masyarakat Betawi
Mayoritas masyarakat Betawi baik yang tinggal di Jakarta maupun yang tinggal di

Bekasi beragama Islam. Namun diantara masyarakat tersebut ada yang memiliki
kepercayaan kepada dunia gaib atau tahyul-tahyul. Akibatnya ada pencampuran ajaran
Islam dengan upacara-upacara tradisional yang berkaitan dengan daur hidup. Terutama
pada komunitas tertentu, selain percaya pada ajaran agamanya, mereka juga mempunyai
kepercayaan terhadap hal-hal yang dianggap gaib (super natural), yaitu percaya kepada
adanya hal-hal yang berada diluar batas kemampuan manusia. Mereka percaya bahwa
dunia gaib didiami oleh berbagai makhluk halus dan kekuatan-kekuatan tempat tinggal
sekitar mereka. Sehingga muncul keyakinan yang menganggap tempat-tempat tertentu
merupakan daerah keramat (Supriatna, 2008).
Aktivitas masyarakat Betawi yang berhubungan dengan makhluk gaib berkenaan
dengan upacara-upacara yang berhubungan dengan alam yang dihubungkan dengan mata
pencaharian hidup. Didalam melaksanakan upacara-upacara tersebut menggunakan simbolsimbol tertentu yang merupa ekspresi tingkah laku dan dianggap memiliki daya pengaruh
terhadap orang yang bersangkutan. Mereka beranggapan adanya magis antara keadaan
dalam kondisi tertentu sebagai penyebab dengan efek-efek tertentu sebagai akibatnya.
Supriatna (2008) menjelaskan bahwa masyarakat Betawi yang meyakini upacara-upacara
tradisional yang mereka lakukan merupakan bagian dari ketakwaan terhadap Tuhan Yang
maha esa, karena dalam upacara tradisional terkandung nilai-nilai moral yang merupakan
nilai kejujuran dari setiap pelaku upacara yang tercermin dalam simbol-simbol tertentu dan
ekspresi tingkah lakunya.
Menurut sejarahwan Australia, Lance Casle, konon, Betawi adalah etnis yang baru
lahir. Pendapat itu didasarkannya atas studi demografi penduduk Batavia. Pada sensus
tahun 1815-1853, etnis Betawi belum tercatat. Kategori Betawi sebagai etnis, baru muncul

9

tahun 1930. Dia menyimpulkan, etnis bernama Betawi adalah campuran Sunda, Jawa,
Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Situs Bappedajakarta.go.id mencatat etnis
pembentuk itu adalah mereka yang dijadikan budak belian, yang di abad ke-18 merupakan
mayoritas (49 persen) penduduk Batavia.
Betawi. Sebagai kategori suku dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930.
Asal mula Betawi terdapat berbagai pendapat, yang mengatakan berasal dari kesalahan
penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Ada pula cerita lain, yaitu pada waktu tentara
Mataram

menyerang

Kota

Batavia yang

diduduki

oleh

Belanda,

tentara

Belanda kekurangan peluru. Belanda tidak kehilangan akal, mereka mengisi meriammeriamnya dengan kotoran mereka dan menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara
Mataram sehingga tersebar bau tidak enak, yakni bau kotoran orang-orang Belanda.
Sambil berlarian tentara Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya
bau tahi! bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi. Menurut Bunyamin
Ramto, masyarakat Betawi secara geografis dibagi dua bagian, yaitu Tengah dan
Pinggiran. Masyarakat Betawi Tengah meliputi wilayah yang dahulu menjadi Gemente
Batavia minus Tanjung Priok dan sekitarnya atau meliputi radius kurang lebih 7 km dari
Monas, dipengaruhi kuat oleh budaya Melayu dan Agama Islam seperti terlihat dalam
kesenian Samrah, Zapin dan berbagai macam Rebana. Dari segi bahasa, terdapat banyak
perubahan vokal a dalam suku kata akhir bahasa Indonesia menjadi e, misal guna menjadi
gune. Masyarakat Betawi Pinggiran, sering disebut orang sebagai Betawi Ora yang
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bagian utara dan selatan. Kaum Betawi Ora
dalam beberapa desa di sekitar Jakarta berasal dari orang Jawa yang bercampur dengan
suku-suku lain. Sebagian besar mereka itu petani yang menanam padi, pohon buah dan
sayur mayur. Bagian utara meliputi Jakarta Utara, Barat, Tangerang yang dipengaruhi
kebudayaan Cina,

misalnya

musik

Gambang Kromong,

tari

Cokek

dan

teater

Lenong. Bagian Selatan meliputi Jakarta Timur, Selatan, Bogor, dan Bekasi yang
sangat dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Jawa dan Sunda. Sub dialeknya merubah ucapan
kata-kata yang memiliki akhir kata yang berhuruf a dengan ah, misal gua menjadi guah.
Komunitas penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang berbahasa Melayu,
dikemudian hari disebut sebagai orang Betawi. Orang Betawi ini disebut juga sebagai
orang Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara orang-orang Jawa, Melayu, Bali,
Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers (keturunan Indo-Portugis)

10

yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal abad ke-15. Di samping itu,
juga merupakan

percampuran

darah

antara berbagai

etnis

budak-budak

Bali,

serdadu Belanda dan serdadu Eropa lainnya, pedagang Cina atau pedagang Arab,
serdadu Bugis atau serdadu Ambon, Kapten Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan
orang Mestizo (Prasetijo.A, 2009)
Sementara itu mengenai manusia Betawi purbakala, adalah sebagaimana manusia
pulau Jawa purba pada umumnya, pada zaman perunggu manusia Betawi purba sudah
mengenal bercocok tanam. Mereka hidup berpindah-pindah dan selalu mencari tempat
hunian yang ada sumber airnya serta banyak terdapat pohon buah-buahan. Mereka pun
menamakan tempat tinggalnya sesuai dengan sifat tanah yang didiaminya, misalnya nama
tempat Bojong, artinya tanah pojok. Disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri
dari suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari Nusantara
juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka disebut inlanders, yang bekerja
pada orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor,
atau opas. Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya kecil.
Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan sandal, tukang
kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan kue, atau berkeliling kota dengan
warung dorongnya.

Sementara

sebutan

wong Melayu

atau

orang

Melayu

lebih

merujuk kepada bahasa pergaulan (lingua franca) yang dipergunakan seseorang, di
samping nama Melayu sendiri memang sudah menjadi sebutan bagi suku bangsa yang
berdiam di Sumatra Timur, Riau, Jambi dan Kalimantan Barat. Posisi wanita Betawi di
bidang pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan dalam angkatan kerja relatif lebih rendah
apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di Jakarta dan propinsi lainnya di
Indonesia. Keterbatasan kesempatan wanita Betawi dalam pendidikan disebabkan oleh
kuatnya pandangan hidup tinggi mengingat tugas wanita hanya mengurus rumah tangga
atau ke dapur, disamping keterbatasan kondisi ekonomi mereka. Situasi ini diperberat
lagi dengan adanya prinsip kawin umur muda masih dianggap penting, bahkan lebih
penting dari pendidikan. Tujuan Undang-Undang Perkawinan untuk meningkatkan
posisi wanita tidak banyak memberikan hasil. Anak yang dilahirkan di Jakarta,
tidak mempunyai hubungan dengan tempat asal di luar wilayah bahasa Melayu, dan tidak
mempunyai hubungan kekerabatan atau adat istiadat dengan kelompok etnis lain di Jakarta.

11

Mata pencaharian orang Betawi dapat dibedakan antara yang berdiam di
tengah kota dan yang tinggal di pinggiran. Di daerah pinggiran sebagian besar adalah
petani buah-buahan, petani sawah dan pemelihara ikan. Namun makin lama areal pertanian
mereka makin menyempit, karena makin banyak yang dijual untuk pembangunan
perumahan, industri, dan lain-lain. Akhirnya para petani ini pun mulai beralih pekerjaan
menjadi buruh, pedagang, dan lain-lain.
Dalam

sistem

kekerabatan,

pada

prinsipnya mereka

mengikuti

garis

keturunan bilineal, artinya garis keturunan pihak ayah atau pihak ibu. Adat menetap
sesudah nikah sangat tergantung pada perjanjian kedua pihak orang tua sebelum
pernikahan dilangsungkan. Ada pengantin baru yang menetap di lingkungan kerabat
suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di lingkungan kerabat istri (matrilokal).
Secara umum orang tua cenderung menyandarkan hari tuanya pada anak perempuan.
Mereka menganggap anak perempuan akan lebih telaten mengurus orang tua dari
pada menantu perempuan.
Tatanan sosial orang Betawi lebih didasarkan pada senioritas umur, artinya
orang muda menghormati orang yang lebih tua. Hal ini dapat diamati dalam
kehidupan sehari-hari. Apabila seseorang bertemu dengan orang lain, yang muda
mencium tangan orang yang lebih tua. Pada hari-hari Lebaran, orang yang didahulukan
adalah orang tua atau yang dituakan. Memang orang Betawi juga cukup menghormati
haji, orang kaya, orang berpangkat, asalkan mereka memang baik dan bijaksana, atau
memperhatikan kepentingan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, maka kehidupan masyarakat budaya Betawi yang
menjadi kajian dalam penelitian ini meliputi: 1) pola-pola mata pencaharian, 2) pola-pola
kekerabatan, 3) pola-pola hubungan sosial, dan 4) pola-pola kebiasaan (tradisi).
Pengertian Komunikasi Interpersonal
Pengertian komunikasi Interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua
orang individu atau lebih dalam konteks kepentingan masing-masing individu. Komunikasi
interpersonal antara orangtua dengan anak balita dan remaja pada masyarakat Betawi,
dapat diperhatikan pada saat mereka melakukan aktivitas bersama. Komunikasi
Interpersonal terkadang tidak efektif apabila tidak ada tujuan yang jelas dalam melakukan
proses komunikasi. Menurut DeVito (2007) faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi
interpersonal agar menjadi lebih efektif adalah :

12

a. Keterbukaan: Sifat keterbukaan menunjukkan paling tidak dua aspek tentang
komunikasi interpersonal. Aspek pertama yaitu, bahwa kita harus terbuka pada
orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Dari sini orang lain akan mengetahui
pendapat, pikiran dan gagasan kita. Sehingga komunikasi akan mudah dilakukan.
Aspek kedua dari keterbukaan merujuk pada kemauan kita untuk memberikan
tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang segala sesuatu yang
dikatakannya, demikian sebaliknya.
b. Empati: Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada
peranan atau posisi orang lain. Mungkin yang paling sulit dari faktor komunikasi
adalah kemampuan untuk berempati terhadap pengalaman orang lain. Karena
dalam empati, seseorang tidak melakukan penilaian terhadap perilaku orang lain
tetapi sebaliknya harus dapat mengetahui perasaan, kesukaan, nilai, sikap dan
perilaku orang lain.
c. Perilaku Sportif: Komunikasi interpersonal akan efektif bila dalam diri seseorang
ada perilaku sportif, artinya seseorang dalam menghadapi suatu masalah tidak
bersikap bertahan (defensif). Menurut DeVito (2007), keterbukaan dan empati tidak
dapat berlangsung dalam suasana yang tidak sportif. Menurut Kohlberg dalam
Crain (2007) tahapan moral ini berhubungan dengan kemajuan kognitif dan tingkah
laku moral.
Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang
dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat
langsung diketahui balikannya. Menurut DeVito (2007), komunikasi interpersonal adalah
penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok
kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan
balik segera. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap
muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah
komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat,
guru-murid dan sebagainya. Pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi
antar komunikator dengan komunikan,komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam
upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis
berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan

13

komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui
secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat
memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya (Liliweri, 2007).
Miller (2005) mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi
interaksi intim, percakapan sosial, interogasi atau pemeriksaan dan wawancara.
a. Interaksi intim termasuk komunikasi di antara teman baik, anggota famili, dan
orang-orang yang sudah mempunyai ikatan emosional yang kuat.
b. Percakapan sosial adalah interaksi untuk menyenangkan seseorang secara
sederhana. Tipe komunikasi tatap muka penting bagi pengembangan hubungan
informal dalam organisasi. Misalnya dua orang atau lebih bersama-sama dan
berbicara tentang perhatian, minat di luar organisasi seperti isu politik,
teknologi dan lain sebagainya.
c. Interogasi atau pemeriksaan adalah interaksi antara seseorang yang ada dalam
kontrol, yang meminta atau bahkan menuntut informasi dari yang lain.
Misalnya seorang karyawan dituduh mengambil barang-barang organisasi maka
atasannya akan menginterogasinya untuk mengetahui kebenarannya.
d. Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi interpersonal di mana dua
orang terlibat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Misalnya atasan
yang mewawancarai bawahannya untuk mencari informasi mengenai suatu
pekerjaannya.
Selain itu, Komunikasi interpersonal juga mempunyai beberapa tujuan. DeVito
(2007) menjelaskan bahwa ada 6 tujuan komunikasi interpersonal yaitu;
1) Menemukan Diri Sendiri; Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah
menemukan personal atau pribadi. Bila kita terlibat dalam pertemuan interpersonal
dengan orang lain kita belajar banyak sekali tentang diri kita maupun orang lain.
Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara
tentang apa yang kita sukai, atau mengenai diri kita. Adalah sangat menarik dan
mengasyikkan bila berdiskusi mengenai perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita
sendiri. Dengan membicarakan diri kita dengan orang lain, kita memberikan
sumber balikan yang luar biasa pada perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita.
2) Menemukan Dunia Luar; Hanya komunikasi interpersonal menjadikan kita dapat
memahami lebih banyak tentang diri kita dan orang lain yang berkomunikasi

14

dengan kita. Banyak informasi yang kita ketahui datang dari komunikasi
interpersonal, meskipun banyak jumlah informasi yang datang kepada kita dari
media massa hal itu seringkali didiskusikan dan akhirnya dipelajari atau didalami
melalui interaksi interpersonal.
3) Membentuk Dan Menjaga Hubungan Yang Penuh Arti; Salah satu keinginan orang
yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan dengan orang lain.
Banyak dari waktu kita pergunakan dalam komunikasi interpersonal diabadikan
untuk membentuk dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain.
4) Berubah Sikap Dan Tingkah Laku; Banyak waktu kita pergunakan untuk mengubah
sikap dan tingkah laku orang lain dengan pertemuan interpersonal. Kita boleh
menginginkan mereka memilih cara tertentu, misalnya mencoba diet yang baru,
membeli barang tertentu, melihat film, menulis membaca buku, memasuki bidang
tertentu dan percaya bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kita banyak
menggunakan waktu-waktu terlibat dalam posisi interpersonal.
5) Untuk Bermain Dan Kesenangan; Bermain mencakup semua aktivitas yang
mempunyai tujuan utama adalah mencari kesenangan. Berbicara dengan teman
mengenai aktivitas kita pada waktu akhir pekan, berdiskusi mengenai olahraga,
menceritakan cerita dan cerita lucu pada umumnya hal itu adalah merupakan
pembicaraan yang untuk menghabiskan waktu. Dengan melakukan komunikasi
interpersonal semacam itu dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam
pikiran yang memerlukan rileks dari semua keseriusan di lingkungan kita.
6) Untuk Membantu; Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakan
komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan
kliennya. Kita semua juga berfungsi membantu orang lain dalam interaksi
interpersonal kita sehari-hari. Kita berkonsultasi dengan seorang teman yang putus
cinta, berkonsultasi dengan mahasiswa tentang mata kuliah yang sebaiknya diambil
dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas, maka komunikasi interpersonal yang menjadi perhatian
dalam penelitian ini adalah meliputi: 1) sikap keterbukaan, 2) sikap empati, 3) perilaku
sportif yang dilakukan oleh orangtua kepada anak balita dan anak remaja. Hal lain yang
menunjukkan klasifikasi komunikasi interpersonal yang dilakukan tersebut meliputi; 1)
interaksi intim, 2) percakapan sosial. Sedangkan untuk mengetahui tujuan komunikasi

15

interpersonal indikator yang menjadi perhatian meliputi; 1) Menemukan Diri Sendiri, 2)
Menemukan Dunia Luar, 3) Membentuk Dan Menjaga Hubungan Yang Penuh Arti, 4)
Berubah Sikap Dan Tingkah Laku, 5) Untuk Bermain Dan Kesenangan, 6) Untuk
Membantu.
Perkembangan Anak Balita dan Remaja
Menurut Piaget dalam Crain (2007), manusia tumbuh, beradaptasi dan berubah
melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional,
dan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada
seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada
tiga aspek perkembangan intelektual yaitu struktur, isi dan fungsi. Struktur atau skemata
merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia
berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin
pada responsnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi
adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual.
Fungsi itu sendiri terdiri dari organisasi dan adaptasi.
Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang sangat penting
dan kritis dalam hal tumbuhkembang fisik, mental dan psikososial, yang berjalan
sedemikian cepatnya sehingga keberhasilan tahun-tahun pertama untuk sebagian besar
menentukan hari depan anak. Kedalam lainan atau penyimpangan apapun apabila tidak
diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, dan tidak terdeteksi secara nyata
mendapatkan perawatan yang bersifat purna yaitu promotif, preventif, dan rehabilitatif
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya (Gunarsa 2002).
Piaget

dalam Crain (2007) menjelaskan bahwa perkembangan anak merupakan

segala perubahan yang terjadi pada usia anak, yaitu pada masa (1) Infancy toddlerhood
(usia 0-3 tahun), (2) Early childhood (usia >3-6 tahun) dan (3) Middle childhood (usia >611 tahun). Perubahan yang terjadi pada diri anak tersebut meliputi perubahan pada aspek
berikut: fisik (motorik), emosi, kognitif dan psikososial.
Perkembangan Fisik (motorik) merupakan proses tumbuhkembang kemampuan
gerak seorang anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi
yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak.
Perkembangan fisik (motorik) meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus.

16

Perkembangan motorik kasar meliputi kemampuan anak untuk duduk, berlari, dan
melompat termasuk contoh perkembangan motorik kasar. Otot-otot besar dan sebagian
atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan tubuh.
Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak. Karena proses
kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan seorang anak bisa saja berbeda
dengan anak lainnya.
Perkembangan motorik halus merupakan perkembangan gerakan anak yang
menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu. Perkembangan pada
aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar dan berlatih. Kemampuan
menulis, menggunting, dan menyusun balok termasuk contoh gerakan motorik halus.
Adapun perkembangan emosi meliputi kemampuan anak untuk mencintai, merasa
nyaman, berani, gembira, takut dan marah serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Pada aspek
ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya.
Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya,
jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk menyayangi.
Perkembangan kognitif anak nampak pada kemampuannya dalam menerima,
mengolah dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya. Kemampuan
kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa (bahasa lisan maupun isyarat),
memahami kata dan berbicara.
Perkembangan psikososial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Misalnya, kemampuan anak untuk menyapa dan bermain bersama
teman-teman sebayanya. Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua
dan pendidik bisa merancang dan memberikan rangsangan serta latihan agar keempat
aspek tersebut berkembang secara seimbang. Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus
hanya pada satu atau sebagian aspek. Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut diberikan
dengan tetap memerhatikan kesiapan anak, bukan dengan paksaan.
Perkembangan kognitif pada usia 14-15 tahun disebut juga formal thinking yang
kebanyakan dialami remaja. Formal thinking atau yang menurut Piaget formal operation
yaitu sesuatu yang memungkinkan para remaja berfikir sistematis dan dapat menalarkan
secara objektif pemikiran-pemikirannya sehingga ia dapat menerapkan prinsip-prinsip
umum pada situasi tertentu yang dihadapinya. Rest (1994) dalam Crain (2007)
mengggambarkan perkembangan pemahaman moral sebagai peningkatan kemampuan

17

memahami dan mengaplikasikan prinsip untuk memutuskan keadilan (fairness).
Rest(1994) dalam Crain (2007), berpendapat bahwa cara terbaik untuk menggambarkan
enam tahap perkembangan penalaran moral kohlberg adalah dengan melihatnya sebagai
enam konsep cara bagaimana berhubungan dengan orang lain. Konsep tentang cara
bagaimana berhubungan dengan orang lain membantu individu menyaring berbagai detail
untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang paling penting dalam situasi tertentu. Konsep
tersebut menyediakan suatu jalan untuk menghubungkan masing-masing pihak dan suatu
strategi untuk memutuskan pertimbangan apa yang paling penting untuk menghasilkan
tindakan yang benar secara moral.
Istilah Adolescene atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya,
adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Istilah adolescene mempunyai arti luas, mencangkup kematangan mental, emosional,
sosial, dan fisik (Hurlock, 1980). Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian,
yaitu awal masa dan akhir masa remaja. Garis pemisah antara awal masa dan akhir masa
remaja terletak kira-kira sekitar usia tujuh belas tahun; usia saat mana rata-rata setiap
remaja memasuki sekolah menegah tingkat atas. Awal masa remaja berlangsung kira-kira
dari tiga belas tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun, dan masa akhir masa
remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan belas tahun (Hurlock,1980).
Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan
mental yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Semua perkembangan itu
menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan
minat baru. Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal remaja mempengaruhi tingkat
perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilainilai yang telah bergeser. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada lima perubahan pada masa
remaja awal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh. Ketiga, perubahan
minat, peran yang diharapkan kelompok sosial tertentu. Keempat, dengan berubahnya
minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Kelima, Sebagian besar remaja
bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut
kebebasan. Perubahan perilaku mencangkup aspek kognisi, afeksi dan aspek konasi.
Menurut Winkel dalam Crain (2007) kognisi adalah pengetahuan dan pemahaman
yang dimiliki khalayak. Afektif adalah sikap khalayak mengenai tayangan berita di TV.

18

Konasi adalah tindakan individu menurut cara tertentu. Menurut Hurlock (1980)
menjelaskan beberapa pola perilaku sosial pada masa anak-anak hingga remaja yaitu; (1)
hasrat akan penerimaan sosial, (2) empati, kemampuan meletakkan diri dalam posisi orang
lain dan menghayati pengalaman orang tersebut.
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak kemasa dewasa, oleh
karena itu juga disebut sebagai masa pancaroba yang penuh dengan gejolak dan
pemberontakan. Pada tahun 2006 kasus kenakalan remaja memiliki persentase 53,52 %
paling tinggi dibanding kasus-kasus kejahatan lainnya. Masalah yang muncul dikalangan
remaja bukan hanya dirasakan oleh kalangan remaja sendiri, tetapi juga oleh orangtua dan
orang lain disekitarnya. Moral berasal dari bahasa latin mos (moris), yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakam kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsipprinsip moral (Yusuf, 2004). Lebih lanjut di katakan bahwa banyak faktor yang
berhubungan dengan perkembangan pemahaman moral remaja antara lain faktor keluarga,
teman sebaya, sekolah, media massa, komunitas, perkembangan kognitif, kepribadian dan
lain-lain. Diantara faktor-faktor lingkungan, faktor keluarga adalah faktor yang sangat
berpengaruh terhadap pemahaman moral remaja. Beberapa faktor yang berhubungan
dengan pemahaman moral remaja antara lain konsistensi dalam mendidik, penghayatan
dan pengamalan agama yang dianut, sikap konsistensi orangtua dalam menerapkan norma,
dan sikap orangtua dalam keluarga. Orangtua merupakan faktor primer bagi perkembangan
anak karena yang pertama kali memperkenalkan anak pada hukum dan sistem sosial adalah
orangtua, maka orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan
pemahaman moral anak.
Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana ia mengalami pola
disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja
dimana keluarga tidak lagi merupakan pengaruh tunggal bagi perkembangan mereka,
keluarga tetap merupakan dukungan yang sangat diperlukan bagi perkembangan
kepribadian remaja tersebut. Dengan demikian peran orangtua sangat dibutuhkan, terutama
karena bertanggung jawab menciptakan sistem sosialisasi yang baik dan sehat bagi
perkembangan moral remaja. Remaja sedang tumbuh dan berkembang, karena itu mereka
memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya
secara bijaksana (Hastuti, 2008).

19

Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari
orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain apa yang dianggap benar dan salah
oleh kelompok sosial tersebut. Dari penolakan sosial atau hukuman bagi prilaku yang
salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, anak
memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan
anggota keluarga (Gunarsa, 2004).
Dalam hubungan dengan keluarga, hal penting yang dapat membantu
perkembangan pemahaman moral anak adalah apabila dalam interaksi orangtua mengajak
anak untuk berdialog mengenai nilai-nilai moral. Peningkatan tahap perkembangan
pemahaman moral anak dapat terjadi karena pada situasi demikian terjadi alih peran, yaitu
adanya pertukaran sudut pandang antara anak dan orangtua (Hastuti,2008). Dengan
melakukan komunikasi interpersonal dengan baik akan menghasilkan umpan balik yang
baik pula. Komunikasi interpersonal diperlukan untuk mengatur tata krama pergaulan
antar manusia, sebab dengan melakukan komunikasi interpersonal dengan baik akan
memberikan pengaruh langsung pada struktur seseorang dalam kehidupannya (Littlejohn,
2009). Komunikasi interpersonal dalam keluarga sangat penting karena dengan adanya
komunikasi interpersonal antar sesama anggota keluarga maka akan tercipta hubungan
yang harmonis dan dapat diketahui apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan oleh
salah satu anggota keluarga. Yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal dalam
keluarga yaitu hubungan timbal balik antara anggota keluarga untuk berbagi berbagai hal
dan makna dalam keluarga. Tujuan dari komunikasi interpersonal dalam keluarga yaitu
untuk mengetahui dunia luar, untuk mengubah sikap dan prilaku. Oleh karena itu dengan
melakukan komunikasi interpersonal yang baik diharapkan perkembangan pemahaman
moral akan berjalan baik pada seorang remaja.
Berdasarkan uraian diatas maka, penelitian ini mengamati perkembangan anak
balita dan remaja yang dikaitkan dengan pola pengasuhan dan pola transformasi nilai-nilai
budaya mencakup; 1) konsistensi dalam mendidik, 2) penghayatan dan pengamalan agama
yang dianut, 3) sikap konsistensi orangtua dalam menerapkan norma dan 4) sikap orangtua
dalam keluarga.
Teori struktural fungsional
Pendekatan struktural fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan
dalam institusi keluarga. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai

20

prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini
mempunyai warna yang jelas, yaitu mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan
sosial. Dan keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat. Dan
akhirnya keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah
sistem. Misalnya, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada segmen anggota yang mampu
menjadi pemimpin, dan yang menjadi sekretaris atau anggota biasa. Tentunya kedudukan
seseorang dalam struktur organisasi akan menentukan fungsinya, yang masing-masing
berbeda. Namun perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang
bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan organisasi sebagai kesatuan. Tentunya, struktur
dan fungsi ini tidak akan pemah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang
melandasi sistem masyarakat itu (Megawangi, 2004).
Berbicara tentang pendekatan structural-fungsionalisme, maka kita terlebih dahulu
memulai dari keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat sebagai sebuah fungsi.
Keanekaragaman ini dapat dilihat dalam struktur sosial masyarakat. Oleh sebab itu kita
harus memulai dari struktur sosial. Struktur sosial merupakan sebuah istilah yang sering
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang didefenisikan sebagai sebuah konsep yang jelas.
Istilah struktur sosial digunakan sebagai pandangan umum untuk menggambarkan sebuah
entitas atau kelompok masyarakat yang berhubungan satu sama lain, yaitu pola yang relatif
dan hubungannya di dalam sistem sosial, atau kepada institusi sosial dan norma-norma
menjadi penting dalam sistem sosial tersebut sebagai landasan masyarakat untuk
berperilaku dalam sistem sosial tersebut.
Ahli-ahli fungsionalisme berpendapat bahwa masyarakat yang ada saat ini
mempunyai keperluan-keperluan tertentu untuk memenuhi kehendaknya. Menurut
Brinkerhoff dan White (1989) dalam Sari, (2011), ada tiga asumsi utama para ahli
fungsionalisme yaitu evolusi, harmoni dan stabilitas. Diantara ketiganya stabilitas adalah
yang paling utama karena menentukan sejauhmana sebuah masyarakat dapat bertahan di
alam semesta ini. Kedua evolusi, menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada
sebuah masyarakat melalui proses adaptasi struktur sosial menuju pembaharuan. Hal ini
juga akan menghapuskan segala struktur yang tidak diperlukan lagi.
Masyarakat yang berfungsi adalah masyarakat yang stabil, harmoni dan sempurna
dari segala segi termasuk dari segi kerjasama. persatuan. hormat menghormati dan
sebagainya. Singkatnya masyarakat fungsional merupakan masyarakat yang mempunyai

21

sikap positif. Kehidupan masyarakat fungsional senantiasa seimbang dan disenangi oleh
yang lain.

Mereka mudah gaul antara satu sama lain. Sebaliknya masyarakat tidak

fungsional ialah masyarakat yang tidak berfungsi. Masyarakat tidak berfungsi merujuk
kepada masyarakat yang senantiasa mempunyai masalah seperti tidak puas terhadap
pemerintah, kacau balau, tidak menunjukkan sikap tidak kesamaan. dan selalu porak
peranda, Mereka mempunyai sikap individualistik, Masyarakat juga tidak menghormati
orang tua maupun yang muda dan tidak memiliki nilai-nilai moral yang baik, Mereka
senantiasa bersikap negatif sepanjang kehidupan di alam semesta.
Pendekatan struktural-fungsional untuk menganalisis struktur sosial masyarakat
muncul bersamaan dengan semakin mapannya ilmu biologi, terutama yang berkaitan
dengan struktur biologi kehidupan. Struktur biologi organisme hidup terdiri dari elemenelemen yang saling terkait walaupun berbeda fungsi. Perbedaan fungsi-fungsi tersebut
ternyata diperlukan, terutama untuk saling melengkapi agar suatu sistem kehidupan yang
berkesinambungan dapat terwujud. Kerusakan atau tidak berfungsinya satu elemen dalam
suatu struktur organisme hidup, dapat mempengaruhi elemen-elemen lainnya, sehingga
suatu sistem kehidupan dapat tidak berfungsi dengan baik (Megawangi, 1999).
Teori Fungsional diperkenalkan oleh Comte, Spencer dan E. Durkheim. Spencer
dalam teorinya menyatakan bahawa masyarakat adalah satu. Disamping itu, ia juga
mengkategorikan keluarga sebagai satu. Baik masyarakat maupun keluarga memerlukan
kemudahan seperti tempat tinggal, tempat ibadah dan sebagainya. Ringkasnya teori ini
mengikut Spencer dimana masyarakat terdiri dari dua kumpulan yaitu masyarakat
berfungsi dan tidak berfungsi. Merton yang merupakan seorang ahli fungsionalisme
menyatakan bahwa terdapat perbedaan terhadap fungsi dan disfungsi. Perubahan dalam
sebuah masyarakat, jika memberikan hasil positif, dikatakan fungsional (fungsi). Jika
perubahan sosial dalam sesuatu masyarakat membuahkan hasil negatif maka dianggap
Disfungsional. Kesimpulannya, hal-hal yang mempertahankan status quo disebut
Fungsional, sedangkan yang tidak mempertahankan status quo disebut disfungsional.
Struktural-fungsional berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk
kemampuannya untuk berfungsi secara efektif, dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun
dari seorang laki-laki pencari nafkah dan wanita ibu rumah tangga adalah yang paling
cocok untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industri baru (Poloma,2003).

22

Teori yang dikembangkan oleh Parsons (1964), dan Parsons dan Bales (1956)
dalam Poloma (2003) adalah teori yang paling dominan sampai akhir tahun 1960-an dalam
menganalisis institusi keluarga. Penerapan teori struktural-fungsional pada keluarga oleh
Parsons adalah sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau
berkurangnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi. Bahkan menurut Parsons, fungsi
keluarga pada zaman modern, terutama dalam hal sosialisasi anak dan tension
management untuk masing-masing anggota keluarga, justru akan semakin terasa penting.
Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat.
Keluarga dalam subsistem masyarakat juga tidak akan lepas dari interaksinya
dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat, misalnya sistem
ekonomi, politik, pendidikan dan agama. Dengan interaksinya dengan subsistem-subsistem
tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan.
Megawangi (2005) menyatakan secara garis besar, pendekatan struktural fungsional
dalam bentuk yang ekstrem mempunyai asumsi-asumsi :
a) Masyarakat adalah sistem tertutup yang bekerja dengan sendirinya dan cenderung
homeostatis dan mencapai titik keseimbangan (equilibrium).
b) Sebagai sebuah sistem yang memelihara dirinya, masyarakat memerlukan
kebutuhan-kebutuhan dasar serta prasyarat tertentu yang harus dipenuhi agar
kelangsungan homeostatis dan titik keseimbangan dapat terus berlangsung.
c) Untuk memenuhi kebutuhan dan prasyarat dari sebuah sistem, maka perlu
diberikan perhatian pada fungsi-fungsi dari setiap bagian sistem tersebut.
Dalam bukunya "Pembagian Kerja dalam Masyarakat" (1893), Durkheim meneliti
bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. la memusatkan
perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan
Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme
hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang
mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini,
sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai
kemaju