Sumenep PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURU

PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN MENURUT ISLAM
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya,
kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya
(leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style”
merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah
pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal
ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah
kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk mencapai
tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara
pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah
seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa
untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin,
maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 : 35) bahwa :
“Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia istilahkan
“initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan).
Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan
bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan
prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam

menunjukkan persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya
dalam suatu kerja.”
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
bahwa kepemimpinan adalah “proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau kelompok orang
untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.”
Dari defenisi kepemimpinan itu dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi
pemimpin, pengikut dan variabel situasional lainnya. Perlu diperhatikan bahwa defenisi tersebut
tidak menyebutkan
suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apa pun dimana seseorang berusaha mempengaruhi
perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan dari waktu ke
waktu, apakah aktivitasnya dipusatkan dalam dunia usaha, pendidikan, rumah sakit, organisasi
politik atau keluarga, masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Sedangkan George R Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai
kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat
marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat
memotivasi diri sendiri;

(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan

bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan
wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
Kemudian, kepemimpinan yang berhasil di abad globalisasi menurut Dave Ulrich adalah:
“Merupakan perkalian antara kredibilitas dan kapabilitas.” Kredibilitas adalah ciri-ciri yang ada
pada seorang pemimpin seperti kompetensi-kompetensi, sifatsifat, nilai-nilai dan kebiasaankebiasaan yang bisa dipercaya baik oleh bawahan maupun oleh lingkungannya.
Sedangkan kapabilitas adalah kamampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi serta
dalam mengembangkan sumber-sumber daya manusia untuk kepentingan memajukan organisasi
dan atau wilayah
kepemimpinannya.” Kredibilitas pribadi yang ditampilkan pemimpin yang menunjukkan
kompetensi seperti mempunyai kekuatan keahlian (expert power) disamping adanya sifat-sifat,
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang positif (moral character) bila dikalikan dengan
kemampuan pemimpin dalam menata visi, misi, dan strategi organisasi/ wilayah yang jelas akan
merupakan suatu kekuatan dalam menjalankan roda organisasi/wilayah dalam rangka mencapai
tujuannya.
Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu,
pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah
tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila
tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang
baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan
lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (QS.
al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik
dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah
tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawaban

tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurangkurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh,
Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan

mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin
suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia
melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang
menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan
kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja
berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang
lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan

boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika
berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt.,
yang disertai oleh tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin
melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau
bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip
dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir.
Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah
kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip
Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa
hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir,
pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain
sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan
yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya

kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung
jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu
dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana
Hadits Nabi dari :Tamim bin Aws
meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?”
Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada
masyarakat kamu.”
Nah, kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat mondial,
penulis hanya ingin mengingatkan, semoga tulisan ini bisa dipahami, dijadikan nasihat dan
sekaligus dapat dilaksanakan dengan baik. Insya Allah. Amiin !

PETUNJUK AL-QURAN DALAM MEMILIH PEMIMPIN
Oleh: Agus Saputera
Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut
kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang
menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau
tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.
Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset",
karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan,

kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi
kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan
impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat,
saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.
Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana
kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya
lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu
sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas,
kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan,
dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.
Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana
seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal
yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan
Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi
merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan
ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat),
lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan
menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga
(dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang

zalim".
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan
diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya sematamata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi
kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan
sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenangwenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat
kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw
bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan
penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga

ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu
berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan
Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang
pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R.
Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan
dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya
adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan
melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang.
Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka

berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin
menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga
dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil
amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang
lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus
urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia
bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu,
seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta
dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan
bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.
Kriteria pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat
kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya
terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya,
yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di
dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang
menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik

dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3)
Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan
menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu
penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya
(akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi
(kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24
dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami
jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran

dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini
merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain
adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu
menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S.
Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut
tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan
kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu
mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat.
Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat

menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia
yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q.
S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai
(mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri
para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam
dada mereka.
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi
pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu
pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia
(akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur
urusan-urusan duniawi.
Memilih pemimpin
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai
dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw
dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan
agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan
permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang
pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan
kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah
"cerminâ" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana
keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".
Sikap rakyat terhadap pemimpin
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain
Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya
masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak
membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok
manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak
melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan
rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa
(kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami
tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9):
129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat
baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan
penyayang kepada kaum mukmin.
Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi
pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan
menjadi pemimpin yang baik dan benar.(*)
Penulis adalah:
Staf Hukmas dan KUB
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag)
Prov. Riau
Pekanbaru, 18 Februari 2011

FIGUR DAN KRITERIA PEMIMPIN IDEAL DALAM PERSPEKTIF
ALQURAN
Tidak ada nikmat yang wajib senantiasa kita syukuri melainkan karena kita tetap dijadikan Allah
Ta’ala sebagai ummatul quran. Dan ketika kita membanggakan diri sebagai ummatulquran, maka
wujud syukur kita adalah dengan berusaha secara maksimal untuk menjadikan alquran sebagai
pijakan hidup ini dalam semua aspeknya. Termasuk diantaranya adalah menjadikan alquran
sebagai pijakan dan rujukan dalam memilih pemimpin. Sebab, alquran adalah petunjuk bagi
orang-orang bertakwa. Karena itu, kita senantiasa berusaha menjadikan alquran sebagai pedoman
dalam mengarungi kehidupan ini. sehingga hidup kita senantiasa berada dalam naungan alquran.
Dan mudah-mudahan karena semangat interaksi kita dengan alquran, dan keselarasan hidup
dengan alquran, kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafa’at alquran.
Sesuai dengan tema pada kesempatan ini tentang “Figur dan Kriteria Pemimpin Ideal Dalam
Perspektif Alquran”. Maka diantara panduan alquran dalam memimpin adalah tertera dalam
surah Al Anbiya’ ayat 73.
‫خي ينرا د‬
(73 :‫عادبددينن )النبياء‬
‫نونجنعل يننانهيم أ ندئ زنمةة ي نيهندونن دبأ نيمدرننا نوأ نيونحي يننا دإل ني يدهيم دفيعنل ال ي ن‬
‫ت نودإنقانم ال ز نصنلادة نودإينتاء ال ز نزنكادة نونكاننوا ل نننا ن‬
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah kami dan telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah”.
(Al Anbiya’: 73)
Ayat ini menyinggung sosok pemimpin ideal seperti yang ada pada diri para nabi manusia
pilihan Allah. Karena secara korelatif, sebelum dan setelah ayat ini berbicara tentang para nabi
dan rasul. Mereka adalah orang-orang pilihan Allah Ta’ala sekaligus pemimpin umat yang telah
berhasil membawa kepada kebaikan kehidupan masyarakat pada masa itu. Kita-pun berharap
mendapatkan para pemimpin yang mampu membawa kebaikan dan keberkahan di dunia dan
dapat membawa kebahagiaan kelak di akhirat.
Yang sangat menarik untuk dicermati secara redaksional adalah pilihan kata ‘aimmah’ dalam
ayat di atas. Kepemimpinan umumnya menggunakan terminologi khalifah atau Amir. Tentu
pilihan kata tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa Al-Qur’an
sebagai bagian dari kemu’jizatan al-qur’an, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah isyarat
tentang sosok pemimpin yang sesungguhnya diharapkan, yaitu sosok pemimpin ideal dalam
sebuah negara atau masyarakat adalah juga layak menjadi pemimpin dalam kehidupan beragama
bagi mereka. Mereka bukan hanya tampil di depan dalam urusan dunia, tetapi juga tampil di
barisan terdepan dalam urusan agama. Inilah yang sering diistilahkan dengan agamawan yang
negarawan atau negarawan yang agamawan.
Dan memang sejarah kesuksesan kepemimpinan terdahulu yang berdampak pada kebaikan dan
kesejahteraan masyarakatnya seperti kepemimpinan di era Rasulullah dan para sahabatnya
adalah bahwa pemimpin negara di masa itu juga pada masa yang sama adalah pemimpin shalat.
Tidak pernah terjadi, bahwa pemimpin Negara saat itu hanya memiliki kualifikasi kepemimpinan
dalam memenej negara, tetapi juga dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan

beragama umat. Karena urusan duniawi dan ukhrawi sesungguhnya merupakan satu kesatuan
yang sinergis dalam totalitas ajaran Islam. Perhatian pemimpin yang parsial pada salah satu
aspek tertentu menunjukkan minimnya atau ke-tidak mampuannya menjadi ‘imam’ seperti yang
diisyaratkan oleh ayat di atas.
Kemudian ayat yang berbicara tentang kriteria pemimpin ideal yang senada dengan ayat di atas
adalah surah As-Sajdah ayat 24.
(24 :‫نونجنعل يننا دمن ينهيم أ ندئ زنمةة ي نيهندونن دبأ نيمدرننا ل ن زنما نصبننروا نونكاننوا دبآنيادتننا نيودقننونن )السجدة‬
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (As Sajdah:
24)
Kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini yang menjadi pembeda dengan ayat pada surah AlAnbiya’ adalah kesabaran dalam menegakkan kebenaran dengan tetap komitmen menjalankan
perintah dan meninggalkan larangan Allah. Selain itu sebelumnya mereka adalah orang-orang
yang memiliki kwalitas keyakinan yang sangat tinggi
Tentu bagi seorang pemimpin, tetap komitmen dengan kebenaran memerlukan mujaahadah
(kesungguhan), keberanian dan kesabaran yang jauh lebih besar karena bisa dipastikan dirinya
akan berhadapan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan
kemaksiatan di tengah-tengah umat.
1. 1.

Memberi Petunjuk Dengan Perintah Allah

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ciri utama yang disebutkan di awal
kedua ayat yang berbicara tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu
senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka
memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu. Mereka mencontohkan pengabdian dalam
kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat,
sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada
Allah Ta’ala dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.
Tentunya, melahirkan pemimpin yang senantiasa “Memberi Petunjuk dengan Perintah Allah”
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak cukup dengan popularitas, pencitraan,
kedekatan maupun faktor keturunan dan seterusnya. Tapi memerlukan episode pembinaan
kehidupan yang panjang untuk mendapatkan kriteria pemimpin ideal.
1. 2.

Mereka Mengerjakan Kebajikan

Imam Asy-Syaukani Rahimahullahu dalam Tafsir Fathul Qadir menambahkan bahwa kriteria
pemimpin yang memang harus ada adalah keteladanan dalam kebaikan secara universal sehingga
secara eksplisit Allah menegaskan tentang mereka: “Telah Kami wahyukan kepada mereka untuk
senantiasa mengerjakan beragam kebajikan”. Fi’lal khairat yang senantiasa mendapat

bimbingan Allah adalah beramal dengan seluruh syariat Allah secara integral dan paripurna
dalam seluruh segmen kehidupan.
Pemimpin sejati harusnya senantiasa berpikir secara serius bahwa semua kebijakan dan
keputusannya dipastikan mampu membawa kebaikan dalam kehidupan agama umatnya,
keluarga, ekonomi, sosial masyarakatnya dan lain sebagainya. Ia tidak berpikir secara parsial,
tetapi berpikir bagaimana kebaikan tersebut ada dalam semua lini kehidupan masyarakatnya.
1. 3.

Mendirikan Shalat

Kenapa ketika menyinggung kriteria seorang pemimpin menyinggung hal shalat? Karena
mengukur kebaikan seseorang yang utama dalam perspektif islam mau tidak mau haruslah
melihat sejauh mana ia melaksanakan shalat.
Ini penting, karena yang menyampaikan tentang pentingnya shalat ini adalah Allah Ta’ala sendiri
yang mengulang-ulang dalam banyak ayat alquran ketika menyampaikan kriteria orang mukmin
yang beruntung dan berbahagia.
}‫{ نوال ز ندذينن نهيم دلل ز نزنكادة نفادعنلونن‬3}‫عدن الل ز نيغدو نميعدرنضونن‬
‫ن‬
‫{ نوال ز ندذينن نهيم ن‬2}‫{ ال ز ندذينن نهيم دفي نصنلادتدهيم نخادشنعونن‬1}‫َيد أ نيفل ننح ال ينميؤدمننونن‬
‫{ نوال ز ندذينن نهيم لدنفنرودجدهيم نحادفنظونن‬4
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’
dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya…,” (Al Mu’minun: 1-5)
Begitu juga ketika Allah Ta’ala menyampaikan tentang kriteria calon penghuni neraka adalah
mereka yang meninggalkan shalat.
‫{ نول نيم ن ننك ن نيطدعنم ال يدميسدكينن‬43}‫{ نقانلوا ل نيم ن ننك دمنن ال ينمنصدزلينن‬42}‫نما نسل نك نك نيم دفي نسنقنر‬
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab: “Kami dahulu
tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan
orang miskin”. (Al Mudattsir: 42-44)
Kalau kita melihat pemimpin sudah tidak pernah terlihat shalat, maka bagaimana kita berharap ia
mampu menunaikan amanahnya sebagai pemimpin. Padahal shalat adalah amalan pertama kali
yang akan diuadit oleh Allah Ta’ala kelak di akhirat. Hal yang sangat penting ini saja diabaikan,
bagaimana mungkin dirinya dijadikan pemimpin untuk keluarga dan masyarakat kita?!
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu dia berkata: Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
‫عل ننم ان ينظنروا دفي نصنلادة‬
‫ع ز نز لدنمنلادئك ندتده نونهنو أ ن ي‬
‫ب ال زننانس دبده ي نيونم ال يدقنيانمدة دمين أ ن ي‬
‫عنمالددهيم ال ز نصنلانة نقانل ي ننقونل نربزنننا نج ز نل نو ن‬
‫دإ زنن أ ن ز نونل نما ي ن ن‬
‫حانس ن‬
‫ت ل ننه نتا ز نمةة نودإين نكانن ان يتننقنص دمن ينها نشي يةئا نقانل ان ينظنروا نهيل لدنعبيددي دمين تننط زنوعع نفدإين نكانن‬
‫ت نتا ز نمةة ك ندتبن ي‬
‫عبيددي أ نتن زنمنها أ نيم ن ننقنصنها نفدإين نكان ن ي‬
‫ن‬
‫ن‬
‫عنلى نذاك نيم‬
‫ل ننه تننط زنو ع‬
‫ع نقانل أ ندت زنموا لدنعبيددي نفدرينضتننه دمين تننط زنودعده ث نزمن تنيؤنخنذ ال يأ ي‬
‫عنمانل ن‬

“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat
adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia
lebih mengetahui-, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya
sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka
Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau
terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada
shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan
dihisab dengan cara demikian”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah.
Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’)
Oleh karena itu Umar bin Khatthab Radhiallahu Anhu begitu sangat selektif dalam memilih atau
mengangkat pejabat yang akan membantunya dalam mensukseskan kepemimpinanya secara
kolektif. Beliau hanya akan mengangkat pejabat yang dikenal kebaikannya secara umum.
Bahkan Umar pernah marah kepada sahabat yang mengangkat pejabat dari orang yang tidak
dikenalnya. Umar bertanya memastikan pengenalannya terhadap seseorang yang diangkatnya:
“Sudahkah kamu pergi bersamanya? Sudahkah kamu bersilaturahmi ke rumahnya? Sudahkah
kamu berbisnis dengannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang membuka sosok pemimpin yang
akan dilantiknya tersebut”.
1. 4.

Menunaikan Zakat

Zakat adalah representasi simbol pengorbanan seseorang apalagi bagi seorang pemimpin. Zakat
itu diambil dari orang-orang yang mampu kemudian dibagikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Maknanya, seorang pemimpin harus berpikir bagaimana cara mendistribusikan
kekayaan kepada mereka yang membutuhkan. Ia berpikir agar kekayaan tidak dimonopoli oleh
pihak-pihak tertentu, tetapi ia berpikir untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, salahsatu
sumbernya adalah pendistribusian zakat dan sumber-sumber lainnya.
‫عل ني يدهيم دإ زنن نصل نتننك نسك نعن ل ز ننهيم نوالل زنه نسدميعع ن‬
‫نخيذ دمين أ نيمنوالددهيم نصندنقةة تننطدزهنرنهيم نوتننزدزكيدهم دبنها نونص ز دل ن‬
‫عدليمع‬
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (At
Taubah: 103)
…… ‫ نوأ ندقينموا ي ال ز نصل ننة نوآنتوا ي ال ز نزنكانة‬..…
“Dan dirikanlah shalat, dan bayarlah zakat hartamu”. (An Nisa’: 77)
1. 5.

Dan Hanya Kepada Allah Mereka Selalu Menyembah

Allah Ta’ala berfirman: “Wakanu Lana Abidin” bukan “Wakanu Abidin” merupakan penegasan
bahwa perbuatan baik yang mereka perbuat lahir dari rasa iman kepada Allah dan jauh dari
kepentingan politis maupun semata-mata malu dengan jabatannya. Maka kata ‘lana (hanya
kepada Kami)’ adalah batasan bahwa hanya kepada dan karena Allah mereka berbuat kebaikan,
membuat kebijakan dan keputusan selama masa kepemimpinannya bahkan selama hidupnya.

Oleh karena itu, para pemimpin adalah harus dari hamba-hamba Allah, bukan mereka yang
menghamba dunia, jabatan, menghamba kepentingan asing yang merugikan kaum muslimin dan
sebagainya. Ini penting untuk senantiasa kita perhatikan, karena hidup ini adalah amanah dan
pilihan kita pun adalah amanah. Dan seluruh aktivitas yang kita lakukan di dunia ini, pasti akan
dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dua Fungsi Utama Kepemimpinan
Kriteria-kriteria ini lah yang dapat menjadikan pemimpin melaksanakan fungsi
kepemimpinananya dengan baik. Karena ada 2 hal utama fungsi kepemimpinan dalam islam
yaitu merealisasikan hirasut din (memelihara dan mempertahankan ajaran agama) dan
siyasatud dunya bid din (mengatur dunia dengan agama).
Maka membangun kebaikan sebuah masyarakat atau bangsa harus diawali dengan menciptakan
para pemimpin dalam seluruh levelnya yang shalih yang akan menyebarkan kebaikan di tengahtengah masyarakat mereka.
Abul Hasan Al-Mawardi dalam buku ‘Al-Ahkam As-Sulthaniyah’ menegaskan bahwa
mengangkat dan menegakkan kepemimpinan merupakan kewajiban agama yang bersifat kifa’i
yang menuntut keterlibatan semua pihak untuk merealisasikan kepemimpian yang benar sesuai
dengan panduan Islam dan memberi kemaslahatan serta kesejahteraan bagi seluruh komponen
umat. Kewajiban menegakkan kepemimpinan sama dengan kewajiban jihad dan menuntut ilmu.
Jika sudah ada yang memegang tampuk kepemimpinan dari mereka yang layak untuk itu maka
gugurlah kewajiban atas semua umat. Namun jika belum ada, maka kewajiban tetap berlaku
atas semua imam sampai terbentuknya kepemimpinan. Beliau menukil sebuah hadits dari Abu
Hurairah tentang kemungkinan terjadinya kepemimpinan pasca Rasulullah dan sikap yang
harus ditunjukkan oleh umat terhadap model kepemimpinan tersebut:
‫ نسي ندليك نيم بنيعددي نونلاةع نفي ندليك نيم‬: ‫عل ني يده نونسل ز ننم نقانل‬
‫نونرنوى دهنشانم بينن ن‬
‫عين أ ندبي نهنري ينرنة أ ن زنن نرنسونل الل ز نده نص ز نلى الل ز ننه ن‬
‫عين أ ندبي نصالدعح ن‬
‫عيرنونة ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫د‬
‫د‬
‫د‬
‫ نودإين أنسانءوا نفل نك نيم‬، ‫ نفدإين أيحنسننوا نفل نك نيم نول ننهيم‬، ‫ح ز نق‬
‫ نوي ندليك نيم ال ينفادجنر دبنف ن‬، ‫ال يبن زنر دبدبدزرده‬
‫ نفايسنمنعوا ل ننهيم نوأطينعوا في ك ن ز دل نما نوانفنق ال ي ن‬، ‫جودره‬
‫عل ني يدهيم‬
‫نو ن‬
Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: “Akan datang sepeninggalku beberapa pemimpin untuk kalian. Ada seorang
yang baik yang memimpin kalian dengan kebaikan, namun ada juga pemimpin yang buruk yang
memimpin dengan kemaksiatan. Maka hendaklah kalian tetap mendengar dan taat pada setiap
yang menepati kebenaran. Karena jika mereka baik, maka kebaikan itu untuk kalian dan untuk
mereka. Namun jika mereka buruk, maka keburukan itu hanya untuk mereka”. (HR.
Daruquthni)
Karena begitu pentingnya masalah kepemimpinan ini, Allah Ta’ala menyinggung dalam banyak
ayat-Nya. Bahkan ketika Rasulullah wafat, penguburan jenazah beliau diakhirkan oleh para
sahabat demi memilih pengganti beliau sebagai Khalifah. Dibutuhkan khalifah sebagai
pemersatu bendera umat, dan memutus upaya setan melalui jalan perpecahan di antara
manusia. Agar manusia tidak kosong dari seorang imam yang menegakkan kebenaran. Sehingga
menggantikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam masalah yang besar, hal ini juga

membutuhkan waktu. Ini merupakan masalah terpenting sehingga terlambat dalam
menguburkannya pada waktu itu.
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, bagaimana kita
menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari
Selasa/Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin?
Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau.
Karena Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai pemimpin yang pertama telah
meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini
yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka
bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang
menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada
Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti']
Az-Zarqani Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang menjadikan diakhirkannya pemakaman
Rasulullah adalah karena perbedaan para sahabat terkait dengan kematiannya atau tempat
penguburannya atau karena kesibukan dalam masalah baiat dengan khilafah hingga akhirnya
suasana terkendali dengan terpilihnya Abu Bakar As-Shiddiq. Karena kepanikan musibah besar
yang menimpa mereka, dimana hal itu belum pernah terjadi sebelum dan sesudahnya semacam
itu. Sehingga sebagian di antara mereka seakan-akan jasad tanpa ruh, sebagian lainnya tidak
mampu berkata-kata, sebagian lain tidak mampu berjalan atau karena ketakutan serangan
musuh atau karena shalat (mayat) kepada beliau dengan jumlah yang cukup besar.” (Syarh AlMuwatha’)
Wallahu Ta’ala A’lam