RENUNGAN DAN CITA CITA LANDREFORM

“RENUNGAN ATAS CITA-CITA LANDREFORM”
Oleh: Isma Muslihati Saleha1

Prolog
Saat masih SMP saya mempunyai seorang teman bernama Alinda Gapuraning Rahayu.
Dia dikenal sebagai anak keturunan ningrat di sekolah. Orangtuanya memiliki tanah dan
sawah yang begitu luas di daerah Baleendah Kabupaten Bandung. Waktu itu belum
muncul pertanyaan yang cukup mengkritisi fenomena itu. Barulah setelah kelas tiga
SMA pertanyaan yang berkaitan dengan hal itu datang di pikiran saya.
Melalui sebuah renungan singkat, sesaat setelah mengunjungi kontrakan seorang
tetangga yang biasa membantu pekerjaan rumah. Namanya Bi Nani yang waktu itu
sedang sakit. Maka aku dan ibu datang menjenguk. Setelah dua kali bertanya kepada
orang di jalan, sampailah kami disana. Sebuah kontrakan deret duapuluh saling
berhadapan dipinggir sawah.
Mata pencaharian orang-orang yang tinggal disana bermacam-macam. Ada pengamen
dengan satu istri dan dua anaknya. Ada tukang sol sepatu beserta istrinya yang sudah
renta namun masih semangat menjalani hidup. Ada juga beberapa menjadi pembantu
rumah tangga. Salah satunya bi nani yang telah lama cerai dengan suaminya dan tinggal
bersama empat orang anaknya. Anak keduanya namanya Wulan, lulusan SMP. Ia ingin
sekali melanjutkan pendidikan ke SMA. Namun apadaya tak punya biaya. Akhirnya dia
berjualan gorengan keliling kampung setiap sore untuk membantu memenuhi kebutuhan

keluarganya.
Sesampainya dirumah, perenungan itu dimulai. Mengapa saya dan keluarga saya bisa
memiliki rumah, kendaraan, dan sebidang tanah. Sementara mereka itu tidak
memilikinya. Lalu saya mencari tahu kapan keluarga saya bisa memiliki rumah dan
tanah-tanah itu? “Kata ibu, hal itu didapat dengan jerih payah ayah bekerja selama 15
tahunan dari lulus stm tahun 80’an kemudian diterima bekerja di perusahaan milik
negara.” “Dulupun keluarga kita ngontrak selama kurang lebih 12 tahunan, kata Ibu
1 Mahasiswa Baru

Jurusan PKN Universitas Pendidikan Indonesia 2014

melanjutkan.” Alhamdulillah aku sangat bersyukur, dengan ditemani sebuah mobil
minibus tahun 80’an, motor vespa tahun 70’an keluargaku dapat harmonis sampai hari
ini.
Aku langsung teringat kembali sosok Alinda teman SMP yang keturunan ningrat itu.
Suatu ketika sepulang sekolah aku bertemu dengannya di daerah Buah Batu. Ia baru
turun dari sebuah mobil sedan cukup mewah dengan mengenakan seragam sekolah
SMA. “Hey Alinda, bagaimana kabarnya? Baik! Jawabnya. Sekolah dimana sekarang?
Oh aku sekolah di BPI ma.” Aku lalu berpamitan pulang. Nampaknya begitu mudahnya
bagi dia untuk berkendara ke sekolah dengan sedan mewah tanpa harus membanting

tulang seperti abah. Abah pernah bilang, “Daripada dibeulikeun mobil alus, mendingan
we ditabungkeun jang engke neruskeun sakola ade nepi jadi sarjana mun bisamah.
Mobil mah ieu weh -Si Kabut Salju- de, kajeun butut asal maju... ”
Rasanya, ketiga perempuan muda-belia ini (wulan-alinda-aku) masing-masing mewakili
kelas sosialnya dalam potret sosial ekonomi masyarakat Indonesia hari ini. Pertanyaan
yang muncul kemudian “1. Apa penyebab dari perbedaan kondisi-status sosial-ekonomi
itu? 2. Sejauh mana peran negara dalam mengikis jurang pemisah (gape) antara SiKaya
dan SiMiskin? 3. Hal atau Jalan apakah yang dapat merubah kondisi-status sosialekonomi seseorang agar lebih baik? 4. Dimanakah positioning Kaum Menengah dalam
menyikapi hal tersebut? 5. Bagaimana dengan Landreform hari ini?
Pembahasan
Setelah meraba-raba apa penyebab terjadinya perbedaan –nasib sosial-ekonomi di
tengah masyarakat, tentu negara secara tidak langsung ikut andil (bertanggung jawab).
Seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal .... menyatakan bahwa:
“...Tanah, air, laut dan udara se...” Jelas sudah bahwa negara mempunyai kewajiban
guna berusaha melakukan pemerataan kesejahteraan masyarakatnya melalui berbagai
cara yang ditempuh. Mungkin, pada masa Orde Baru adanya program transmigrasi
menjadi salah satu realisasi dari pasal tersebut. Namun pasca reformasi program itu
tidak digalakan lagi oleh pemerintah. Padahal menurutku hal itu dapat membantu
masyarakat bawah yang sudah patah arang menjalani kehidupan sosialnya saat ini.


Dapat dikatakan bahwa transmigrasi merupakan bagian kecil dari cita-cita Landreform.
Ada komoditas kecil masyarakat diorganisir oleh pemerintah, yang diberikan lahan
garapan, lalu mereka bisa menanam hasil bumi, bisa dipanen lalu kemudian dijual dan
menghasilkan pundi-pundi rupiah. Secara sederhana, transmigrasi menjadi rajutan
harapan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Meskipun hal
itu membutuhkan proses adaptasi yang tidak sebentar.
Setelah tidak digalakannya transmigrasi oleh pemerintah, yang terjadi saat ini adalah:
kebanyakan orang-orang dari desa mengadu nasib di kota-kota besar dan tak
terorganisir oleh pemerintah. Sehingga pada akhirnya menyuguhkan wajah lain kotakota besar yang muram. Ditengah pesatnya pembangunan, terdapat pemukiman kumuh,
gelandangan dan pengemis, pedagang kaki lima, dll. Mereka pun secara terpaksa dan
tanpa pilihan mengadu nasib tanpa kepastian. Peran pendidikan pun tidak kalah
pentingnya dalam menghasilkan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda ini. Orang yang
berbekal ijazah SMA misalnya, akan lebih mempunyai peluang pekerjaan di perantauan.
Namun, bagi mereka yang tak memilikinya, akan lebih sulit merubah keadaan.
Dari paparan singkat diatas, bisa dikatakan bahwa salah satu penyebab dari
ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat antara lain: “Melemahnya peranan negara
dalam melaksanakan pemerataan kesejahteraan masyarakat.” Lalu apakah landreform
bisa menjadi jalan bagi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Mari
kita masuk kedalam definisi-definisi dari beberapa ahli tentang hal ini.
Lipton dalam salah satu tulisannya mendefinisikan konsep landreform yang diartikan

sebagai: “Pengambil alihan tanah secara paksa, yang biasanya dilakukan oleh negara,
dari pemilik-pemilik tanah yang luas, dengan ganti rugi sebagian. Dan pengusahaan
tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari hubungan antara manusia dengan tanah
dapat tersebar lebih merata daripada sebelum pengambilalihan.” 2
Jika demikian, tentu Landreform ini mempunyai kaitan dengan renunganku tentang
adanya perbedaan kondisi sosial di sekitar kita. Bisa saya katakan bahwa orang yang
keturunan ningrat itu dulunya adalah para “pengkhianat” rakyat. Disaat rakyat kecil di
2 http://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-2/hukum/hukum-agraria/pengertian-landreform/ (sumber utama tidak diketahui)

kerja rodikan, mereka menjadi kaki tangan pihak Belanda. Sebagai balas jasa, mereka
(para kaum ningrat) diberikan rumah, tanah yang luas dan strategis, sawah, kendaraan,
dll oleh pihak Penjajah Belanda secara legal hukum yang berlaku saat itu. Bahkan,
setelah Indonesia merdeka, tentu tidak sedikit para pejabat Negara yang melakukan
peng-klaim-an terhadap kekayaan yang sebetulnya dimiliki Negara dan harus
sepenuhnya dimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat Indonesia.
Sehingga, jika kita perhatikan para tuan tanah, turunan ningrat saat ini yang memiliki
tanah-tanah luas, sawah-sawah terhampar, perkebunan, dll adalah mereka itu turunan
dari para “pengkhianat” zaman dulu. Coba kita lihat nasib para veteran negeri ini,
terkadang menyayat hati. Tinggal di tempat yang tidak nyaman, penuh dengan
kemelaratan, dan mendapatkan tunjangan yang terlalu kecil. Sungguh berbeda nasibnya

dengan para turunan “pengkhianat” itu. Padahal para veteran itulah yang siap sedia mati
merelakan jiwa-raga nya untuk bangsa ini, bukan malah diam dibawah ketiak “PenjajahBelanda”. Mereka para pecundang zaman, bagai langit dan bumi jika dibandingkan
semangat Jendral Besar Soedirman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini.
Memperhatikan secara seksama tentang maksud dan tujuan Landreform memang sangat
masuk akal, bahkan bisa saya katakana bahwa ini sebuah keharusan. Namun, tentu
harus melalui berbagai proses yang dilewati. Misalnya langkah awal yang dilakukan
dprd tingkat dua dengan memperluas lahan garapan masyarakat pegunungan,
memperbaiki sistem perkoperasian disana, jangan sampai para tengkulak yang sejahtera
seorang diri, akses infrastrukturnya diperbaiki, dll. Setelah saya membaca beberapa
artikel, nampaknya belum ada percontohan daerah yang menjalankan Landreform ini
atau berusaha melaksanakannya secara serius guna mewujudkan “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”. Memang, masih banyak jalan menuju “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”, Landreform bukanlah satu-satunya jalan menuju tujuan itu.
Akan tetapi, tidak ada alas an bagi Negara ini untuk tidak adil terhadap warga
negaranya. Salam Mahasiswa!

Referensi: Dari berbagai sumber di internet.