KOLABORASI ILMU PENGETAHUAN DAN SASTRA S

KOLABORASI ILMU PENGETAHUAN DAN SASTRA SEBAGAI MEDIASI DALAM
PEMBANGUNAN MENTALITAS BANGSA
Oleh : Azizah Putri P.
Abstrak
Era modernisme dewasa ini untuk memahami sebuah ilmu pengetahuan sangatlah rumit
dengan berbagai teori tentang sumber-sumber pengetahuan yang beraneka ragam melihat dari
orientasi fenomena-fenomena yang ada di kehidupan bermasyarakat.Berfokus pada analisis
pemecahan masalah dan pencapaian taraf hidup yang lebih baik,maka dari itu ilmu pengetahuan
sangatlah di perlukan.Tanpa ilmu pengetahuan kita tidak dapat mengetahui dan memahami setiap
peristiwa yang terjadi pada dunia tanpa koma ini. Dari ilmu pengetahuan akan menghasilkan
produk yang disebut dengan teknologi yang menjadikan kehidupan mudah dan efisien.
Pengetahuan manusia bersifat abstrak umum dan universal.Ketika teka teki ilmu pengetahuan
tidak dapat dijabarkan dan dijelaskan maka sastralah yang berbicara sebagai media
penyampaiannya. Semua ilmu pengetahuan menjadikan bahasa sebagai objek dalam
penyampaiannya,dalam posisi ini sastra memiliki peran penting dalam setiap ilmu dan aspek
kehidupan manusia.Dalam bersosialisasipun kita memerlukan pengetahuan untuk bisa
memahami kondisi dan lingkungan sekitar yang pasti memiliki pola baik secara moral dan
etika.Moral dan Etika inilah yang menjadi persoalan pembangunan mentalitas dengan ilmu
pengetahuan dan Sastra maka dapat membangun sebuah Negara yang lebih baik lagi. Dalam
tulisan ini dianalisis langkah-langkah dan berbagai kelebihan atau keunggulan menginterpretasi
sastra dengan ilmu pengetahuan teori respons pembaca.Dari kajian tersebut dapat ditemukan

bahwa teori respons pembaca memberikan interpretasi yang komprehensif, yang melibatkan
logika, rasa, dan karsa.

Kata kunci : Ilmu Pengetahuan , Sastra , Perilaku manusia , Pembangunan mentalitas
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini masalah social yang ada di dalam masyarakat telah membuka kesadaran
bahwa pembangunan mentalitas bangsa Indonesia sangatlah penting.Mengingat dalam zaman
setelah revolusi ini Stigma negatif dan rendahnya kepercayaan terhadap bangsa sendiri ini
didukung dengan masalah pembangunan. Masalah yang tak kalah pelik dihadapi pemerintah
adalah sikap apatis masyarakat dan partisipasi yang rendah dalam pembangunan,
ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta memecahkan masalahnya,
tingkat adopsi masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan masyarakat yang cenderung
menggantungkan hidup terhadap bantuan orang lain, serta kritik-kritik lainnya yang umumnya
meragukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana
pembangunan.Masalah mendasar gagalnya pembangunan mentalitas bangsa Indonesia ialah
dengan kurangnya budaya membaca.Padahal budaya membaca dapat membentuk karakter-

karakter dari suatu bacaan yang menjadi referensi dalam kehidupan manusia.Penilaian terhadap
mutu bangsa Indonesia dapat dinilai dari karya Sastra.Sejalan dengan kenyataan ini, Husniah dan
Arifani (2010) mengemukakan hal berikut.Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral

yang berkepanjangan.Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan
Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran dalam
menghadapi perbedaan, dan korup.Selain pembelajaran agama, salah satu pelajaran yang
mengajarkan budi pekerti ialah sastra.Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang
sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan
memahami motif yang dilakukan setiap karakter, baik yang protagonis maupun yang antagonis
sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap perbuatannya. Kutipan di atas
memperlihatkan bahwa karya sastra memiliki potensi yang signifikan untuk membentuk budi
pekerti yang luhur lewat mediasi identifikasi berbagai karakter tokoh (baik protagonist maupun
antagonis).yang disajikan oleh teks.Akan tetapi, mayoritas masyarakat dan beberapa kaum
intelektual masih memandang rendah “makna” sastra dan pembelajaran sastra dengan berbagai
alasan.sastra sebagai karya rekaan merupakan topik utama dalam ilmu sastra yang sekaligus
merupakan masalah yang paling banyak dihindari dalam analisis ilmuilmu sosial. Alasannya
jelas karena rekaan dianggap sebagai semata-mata imajinasi atau khayalan, sebagai gejala
psikologis.

METODE
Untuk mendapatkan data penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan cara
1.)Wawancara
Wawancara dilakukan kepada responden dalam pengambilan data. Danim (2002; 138),

mengatakan bahwa wawancara ada dua jenis, yaitu wawancara relative berstruktur dan
wawancara bebas, wawancara relatif berstruktur adalah wawancara yang dilakukan oleh peneliti
dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang disertai alternatif jawabannya.Sedangkan
wawancara tidak berstruktur identik dengan wawancara bebas.
2.)Studi Lapangan
Menurut Danim (2002; 16), peneliti kualitatif tidak cukup sebagai mencatat apa adanya atas
femomena, gejala, atau kondisi yang dilihat atau dirasakannya. Diperlukan ketajaman untuk
bercari data karena setiap fenomena atau peristiwa bias menjadi data apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu, disertai dengan ketajaman pemikiran dan panca indra dari seseorang peneliti
kualitatif.
3.)Studi dokumentasi
Dokumentasi dalam hal ini berbentuk tulisan atau catatan berupa laporan, arsip, ataupun catatan
materi lain yang berhubungan Dokumen–dokumen tersebut tidak disiapkan secara khusus untuk
merespon permintaan peneliti.Selanjutnya analisis selama pengumpulan data menurut Miles dan

Huberman dalam Muhadjir (2000; 45), mempunyai langkah-langkah sebagai berikut : 1)
meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi dilokasi penelitian.
Peneliti perlu mencatat sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi
sebagaimana adanya, faktual atau objektif-deskriptif. 2). membuat catatan reflektif. Menuliskan
apa yang diterangkan dan terpikir oleh peneliti dengan sangkut pautnya dengan objektif diatas.

Mengadakan pemilihan dan pemberian kode yang berbeda antara catatan objektif dengan catatan
reflektif. 3) membuat catatan marginal. Miles dan Huberman memisahkan komentar peneliti
mengenai subtansial dimasukan didalam catatan marginal. 4) penyimpanan data.

PEMBAHASAN
1.Pengertian Mentalitas

1)
2)
3)
4)

Setiap kali kita berbicara mengenai mentalitas bangsa, kita harus memperhatikan apakah kita
berbicara mental partikularistis atau mental bangsa (universalistis). Kita tidak bisa
melihat mental manusia jawa atau seniman dangdut mewakili mental bangsa Indonesia. Jadi
untuk mengetahui mentalitas bangsa, perlu diadakan penelitian secara empirik yang menyeluruh
(selama ini belum pernah dilakukan) misalnya sensus kependudukan.Suatu hal yang tidak mudah
untuk dilaksanakan.Walaupun demikian, ada baiknya kita tetap juga memperhatikan pendapat
yang sudah ada mengenai mentalitas bangsa.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa mentalitas bersumber pada sistem nilai budaya, dengan

menggunakan kerangka Kluckhon, ia mengungkapkan adanya dua golongan besar mentalitas,
yaitu mentalitas masyarakat kota dan mentalitas masyarakat desa.Menurutnya orang desa bekerja
keras untuk makan.Orang desa mempunyai orientasi hidup ditentukan oleh kehidupan masa
kini.Orang hidup harus selaras dengan alam. Dalam hubungannya dengan sesamanya orang tani
menilai tinggi, konsep sama rata sama rasa. Gotong royong mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini
menyebabkan sikap mereka menjadi sangat konformistis (diharapkan orang menjaga agar jangan
dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain).
Orang kota beranggapan, bahwa manusia bekerja untuk mendapatkan kedudukan,
kekuasaan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran. Orientasi waktunya lebih
ditentukan oleh masa lampau.Mereka terlalu banyak menggantungkan dirinya pada nasib. Dalam
hubungan dengan sesamanya, orang kota amat berorientasi ke arah atasan, dan menunggu restu
dari atas.
Gambaran di atas menurut Koentjaraningrat merupakan sikap mental yang sudah lama
mengendap dalam pikiran kita, karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya kita
sejak beberapa generasi yang lalu yang terkondisi sedemikian rupa sehingga bertahan dalam
rentang waktu yang panjang.Sedangkan setelah revolusi, mentalitas bangsa Indonesia bersumber
pada kehidupan ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas.Hal ini disebabkan
karena keberantakkan ekonomi dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan
sosial budaya. Mentalitas ini mempunyai kelemahan:
Sifat mentalitas yang meremehkan mutu

Sifat mentalitas yang suka menerabas
Sifat mentalitas tak percaya diri sendiri
Sifat mentalitas tak berdisiplin murni

5) Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh.[4]
Berbeda dengan Koentjaraningrat, A.S. Munandar mengadakan penelitian empiris (1979)
untukmenjelaska orientasi nilai budaya dan mentalitas yang ada pada alam pikiran manusia
Indonesia.Kuesionernya diisi oleh manajer, supervisor dan karyawan dari berbagai perusahaan
swasta dan pegawai negeri.
Pertanyaan-pertanyaannya berkisar pada aspek-aspek kepemimpinan, motivasi, komunikasi,
pengambilan keputusan, tujuan, dan pengendalian.Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa
sistem manajemen yang dirasakan pada saat ini pada masing-masing perusahaan berada di antara
sistem manajemen benevolent authoritative dan consultative.Pada aspek pengambilan keputusan
yang diraskan digunakan sekarang adalah sistem manajemen benevolent, yaitu keputusan
diambil di tingkat pucuk pimpinan, beberapa hal didelegasikan ke bawah, bawahan kadangkadang di ajak berunding (konsultasi).Tidak ada kelompok yang menginginkan sistem
manajemen partisipative.
Munandar melihat bahwa manusia pembangun Indonesia perlu memilki suatu sistem nilai
yang mendasari, mempedomani, dan mengarahkan perilakunya sehari-hari, perilakunya dalam
pelaksanaan kegiatan-kegiatan produktif, ia juga melihat bahwa Ekaprasetya Pancakarsa yang
merupakan code of conduct atau dasar pedoman perilaku manusia Indonesia pada umumnya

perlu disoroti lebih lanjut.
Berikut ini adalah pendapat Koentjaraningrat berdasarkan kerangka nilai dari Kluckhon:
"Suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar
banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan, dan demikian bersifat hemat
untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan, lebih menilai tinggi hasrat
eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi; lebih menilai tinggi orientasi ke arah
achievement dari karya dan akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuannya
sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggungjawab sendiri".
Pitirim Sorokin mengemukakan teori bahwa kehidupan sosial diresapi dan disebabkan oleh
mentalitas, yaitu ideational (peka bagi nilai-nilai spiritual, spekulatif), sensate atau inderawi
(mementingkan nilai-nilai material dan empiris), dan diantara kedua ekstrim itu 'mentalitas
campuran'..
2.Hakikat keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan sastra dalam pengembangan
mentalitas bangsa
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber dapat diketahui bahwa ilmu
pengetahuan memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.”Hakikatnya ilmu
pengetahuan bermula pengalaman manusia ketika berhadapan dengan alam sekitar.Manusia
hidup ada di dalam pengalaman sehari-hari lalu ketika mereka hidup dari pengalaman sehari-hari
lama-kelamaan menemukan fenomena atau yang lebih di sebut dengan keajekan .Dari keajekankeajekan muncullah pengetahuan,pengetahuan-pengetahuan tersebut berkembang secara
sistematis yang kemudian menjadikan ilmu pengetahuan itu penting bagi kehidupan setiap

manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang ada”,kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Bpk.Drs Aribowo, M.S, dalam wawancara di Fakultas Ilmu Budaya hari senin ( 23/03/15).

Pada dasarnya manusia tidak hanya memiliki tubuh tetapi jiwa,sehingga rasa ingin tahu
tentang sesuatu proses terjadinya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan juga muncul karena apa
yang sudah diketahui atau refleksi langsung dan spontan ,disusun dan sistematik menggunakan
metode yang bersifat baku. Menurut (Paul feyerabend,1975) Metode baku seperti itu tidak perlu
karena dapat memasung kreativitas ilmu dan sesuangguhnya ilmu dapat berkembang paling baik
tanpa metode.
Metode ilmu pengetahuan akan sangat bemanfaat untuk mengerti bahwa ilmu
pengetahuan akan sangat bermanfaat untuk mengerti bahwa ilmu pengetahuan tidak lebih dari
salah satu cara untuk mengerti bagaimana budi kita bekerja. Metode-metode ilmu pengetahuan
adalah metode yang logis karena ilmu pengetahuan mempraktekkan logika.Namun selain logika
temuan temuan ilmu pengetahuan dimungkinkan oleh akal budi manusia yang terbuka pada
realitas.Maka logika dan imajinasi merupakan dua dimensi penting dari seluruh kerja ilmu
pengetahuan.
Di pihak lain,Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan terakhir ini,ilmu pengetahuan
dilihat sebagai upaya untuk menjelaskan hubungan antara berbagai hal dan peristiwa alam
semesta ini secara sistematis dan rasional yang dapat melahirkan sebuah Asumsi.Asumsi tersebut
seolah-olah berdiri sendiri padahal setiap peristiwa atau fenomena saling keterkaitan satu sama

lain seperti contohnya: mengapa orang Indonesia membuat sebuah alat penyejuk ruangan seperti
AC ? Karena Indonesia bermusim panas jadi membutuhkan alat pendingin atau penyejuk tubuh.
Kaitan dengan implementasi keterkaitan antara sastra dan ilmu pengetahuan ialah
sebelum munculnya ilmu pengetahuan,manusia telah berupaya menjelaskan dan memahami
berbagai peristiwa tersebut melalui apa yang dikenal sebagai mitos atau cerita dongeng,karena
budaya kita terkenal dengan istilah budaya lisan.Melalui cerita dongeng-dongeng manusia dapat
menyimpulkan dan memahami berbagai tingkat fenomena melalui fakta yang ada di
dalamnya.Dalam hal ini Sastra memiliki keterkaitan dan peran penting sebagai obyek
penyampaiaan .Pada dasarnya Ilmu pengetahuan dan sastra merupakan karya budi yang logis
sekaligus dapat imajinatif.Namun selain logika temuan ilmu pengetahuan di mungkinkan oleh
akal budi manusia yang realitas dengan cara pendekatan pada masyarakat.Namun,pendekatan
kepada masyarakatpun tidaklah mudah karena perbedaan dialektika yang ada di setiap daerah
sangat beraneka ragam dan memerlukan sosialisasi.
Melalui Ilmu pengetahuan dan Sastra dapat membangun mentalitas sebuah bangsa. Dapat
diketahui dari berbagai sumber bahwa sebuah negara yang maju pastinya tidak melupakan
sejarah bangsanya.Sejarah tersebut di dapat dari beberapa sumber ilmu pengetahuan yang
ada.Ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sejarah dapat di pelajari melalui sebuah karya sastra
yang berkualitas,semakin karya sastra itu memiliki nilai estetika yang baik menggambarnya
majunya perabadaban di Negara tersebut.Seperti Yunani memiliki filsuf yang berpengetahuan
dan berwawasan tinggi baik dalam karya sastra maupun dalam hal lainnya.Ditinjau dari beberapa

factor pembangunan mentalitas suatu bangsa pastinya memerlukan apa yamg dinamakan

kecerdasan intelektual.Kecerdasan intelektual ini di dapatkan dari berbagai ilmu pengetahuan
karena hanya dengan ini sumber daya manusia yang lebih baik dapat di persiapkan lebih matang
lagi.Maka dengan bekal inilah manusia dapat membuat sebuah kebijakan yang sesuai dengan
kondisi yang ada berdasar pada ilmu pengetahuan. Sejalan dengan kenyataan ini, Husniah dan
Arifani (2010) mengemukakan hal berikut.Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral
yang berkepanjangan.Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan
pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis, kurang toleran
dalam menghadapi perbedaan, dan korup.Selain pembelajaran agama, salah satu pelajaran yang
mengajarkan budi pekerti ialah sastra.Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang
sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan
memahami motif yang dilakukan setiap karakter, baik yang protagonis maupun yang antagonis
sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam setiap perbuatannya. Kutipan di atas
memperlihatkan bahwa karya sastra memiliki potensi yang signifikan untuk membentuk budi
pekerti yang luhur lewat mediasi identifikasi berbagai karakter tokoh (baik protagonist maupun
antagonis) dalam pembangunan mentalitas bangsa.Tetapi beberapa orang masih menganggap
makna sastra sebagai sarana ilmu pengetahuan sebagai hal yang rendah.

3.Implementasi karya sastra dalam pembangunan mentalitas

Karya sastra memiliki signifikansi dan urgensi yang mendasar sebagai mediasi yang tepat dalam
pembentukan karakter bangsa.Sekurang-kurangnya, hal ini dipandang dari enam alasan
berikut.Pertama, karya sastra merupakan sarana penyampaian misi yang efektif. Jika dalam ilmu
sosial pengarang tidak bebas melakukan kritik terhadap penguasa yang sewenang-wenang,
misalnya, dalam karya sastra pengarang dapat “bersembunyi” dari tekanan kekuasaan yang
represif. Hal demikian disebabkan oleh alasan bahwa karya sastra memiliki "dunianya
tersendiri".
Kedua, dibandingkan dengan ilmu eksakta dan ilmu sosial lainnya, karya sastra merupakan
kreativitas yang mengutamakan dimensi-dimensi totalitas.Karya sastra termasuk genre yang
paling lengkap melukiskan gejala-gejala kehidupan.Konstruksi bahasa metaforis dan konotatif
mampu menjangkau kehidupan sosial pada tingkat yang paling asasi. Karya sastra berhasil
melukiskan secara mendalam dan mendetail emosi-emosi manusia, suatu bentuk penjelajahan
yang tidak mungkin dilakukan oleh ilmu eksakta atau ilmu sosial lain. Wilayah karya sastra
adalah wilayah pribadi, yaitu wilayah kehidupan manusia yang telah dihuni oleh dimensidimensi
sosio-psikologis, bukan fisik atau biologis.Ketiga, karya sastra selalu berusaha menemukan
dimensi-dimensi tersembunyi dalam kehidupan manusia, dimensi-dimensi yang tidak terjangkau
oleh kualitas evidensi empirik bahkan oleh instrumen laboratorium. Oleh karena itu, ia selalu
merupakan bagian yang esensial dalam kehidupan manusia karena pada dasarnya karya sastra
berfungsi untuk lebih memahami dunia ini (Culler, 1977:238). Keempat, dengan ciri-ciri
kreativitas, kapasitas evokasi, dan penggunaan sarana bahasa metaforis, karya sastra merupakan
mediasi-mediasi yang tepat untuk menanamkan unsur-unsur subjektivitas hubungan-hubungan
sosial.Dimensi-dimensi yang dilukiskan bukan hanya entitas tokoh secara fisik, melainkan sikap

dan perilaku, serta kejadian-kejadian yang mengacu pada kualitas struktur sosial.Kelima, karya
sastra memiliki kemampuan yang luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke
dalam totalitas naratif semantik, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia
fiksional.Sebagai sebuah dunia miniatur, karya sastra berfungsi menginventarisasikan sejumlah
kejadian yang dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi.Keenam, karya sastra
merupakan konsumsi yang bergizi bagi kognisi dan afektif.Jika sains dan teknologi serta
beberapa ilmu social lain mengarahkan tujuannya hanya pada dimensi kognisi, karya sastra tidak
hanya membidik dimensi tersebut, tetapi juga mengajarkan karakter tanpa harus menggurui lewat
cerita-cerita yang disuguhkan kepada para siswa (para pembaca).Ketujuh, karya sastra tidak
hanya berfungsi memenuhi eksistensi emosi-emosi individual, tetapi juga sebagai pembentuk
nilai-nilai fundamental bagi perkembangan mentalitas bangsa.Karya sastra dipandang sebagai
motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna dan pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat
mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta. Hal ini selaras dengan filosofi
Aristoteles yang mengatakan bahwa seni (termasuk sastra) mengangkat jiwa manusia melalui
proses katarsis karena seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah (Ratna, 2003:5).
Pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran juga dijelaskan oleh Rosenblatt (Rudy,
2005:81) sebagai berikut: (a) sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam demokrasi; (b)
sastra mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap emosi, dan ukuran nilai sosial serta pribadi; (c)
sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan hidup, pola hubungan, dan filsafat; (d)
sastra membantu pemilihan imajinasi yang berbeda melalui pengalaman mengkaji karya sastra;
(e) pengalaman sastra memungkinkan pembaca memandang kepribadiannya sendiri dan
masalah-masalahnya secara objektif dan memecahkannya dengan lebih baik; (f) sastra
memberikan kenyataan kepada orang dewasa sistem nilai yang berbeda sehingga mereka
terbebas dari rasa takut, bersalah, dan tidak pasti. Sepakat dengan rincian Rosenblatt di atas,
aspek kecerdasan, kebajikan, moral, dan kebijaksanaan dapat ditingkatkan melalui
sastra.Kecerdasan emosional peserta didik dapat diberdayakan dengan mengaktifkan penafsiran
terhadap karya sastra secara bebas, tajam, kontekstual, dan bermakna. Analisis karya sastra tidak
hanya memfokuskan diri pada wilayah-wilayah structural, seperti genre sastra, tema, amanat,
tokoh utama-tokoh pembantu, tokoh protagonist-tokoh antagonis, jenis alur, point of view,
penokohan, dan sebagainya. Akan tetapi, unsure-unsur pembangun karya sastra, baik unsure
internal maupun unsure eksternal, dieksplorasi dan dielaborasi secara luas dan tajam.
(http://eprints.unsri.ac.id/3955/2/Isi.pdf)

SIMPULAN
Pada dasarnya hakikatnya ilmu pengetahuan bermula pengalaman manusia ketika
berhadapan dengan alam sekitar.Manusia hidup ada di dalam pengalaman sehari-hari lalu ketika
mereka hidup dari pengalaman sehari-hari lama-kelamaan menemukan fenomena atau yang
lebih di sebut dengan keajekan .Dari keajekan-keajekan muncullah pengetahuan,pengetahuanpengetahuan tersebut berkembang secara sistematis yang kemudian menjadikan ilmu
pengetahuan itu penting bagi kehidupan setiap manusia untuk memecahkan masalah-masalah
yang ada.

Kaitan dengan implementasi keterkaitan antara sastra dan ilmu pengetahuan ialah
sebelum munculnya ilmu pengetahuan,manusia telah berupaya menjelaskan dan memahami
berbagai peristiwa tersebut melalui apa yang dikenal sebagai mitos atau cerita dongeng,karena
budaya kita terkenal dengan istilah budaya lisan.Melalui cerita dongeng-dongeng manusia dapat
menyimpulkan dan memahami berbagai tingkat fenomena melalui fakta yang ada di
dalamnya.Dalam hal ini Sastra memiliki keterkaitan dan peran penting sebagai obyek
penyampaiaan .Pada dasarnya Ilmu pengetahuan dan sastra merupakan karya budi yang logis
sekaligus dapat imajinatif.Namun selain logika temuan ilmu pengetahuan di mungkinkan oleh
akal budi manusia yang realitas dengan cara pendekatan pada masyarakat.Namun,pendekatan
kepada masyarakatpun tidaklah mudah karena perbedaan dialektika yang ada di setiap daerah
sangat beraneka ragam dan memerlukan sosialisasi.
Membaca sastra berarti mengenal berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari
realitas kehidupan. Dengan demikian, pembaca akanmemahami motif yang dilakukan setiap
karakter, baik yang protagonis maupun yang antagonis sehingga pembaca dapat memahami
alasan pelaku dalam setiap perbuatannya

DAFTAR PUSTAKA
(http://eprints.unsri.ac.id/3955/2/Isi.pdf di akses 31Oktober 2016,pukul 19.00)
(http://www.bimbingan.org/ilmu-pengetahuan-dan-karya-sastra.htm di akses 31 Oktober
2016,pukul 19.00)
(http://02gremat-gremet.blogspot.com/2012/04/makalah-pemberdayaan-mentalpembangunan.html di akses 31 Oktober 2016,Pukul 19.00)
Keraf,A.Sonny and Mikhael Dua. 2001. ILMU PENGETAHUAN:Sebuah Tinjauan
Filosofis.Yogyakata:Penerbit Kanikus
Koentjaraningrat.2000.KEBUDAYAAN MENTALITAS DAN PEMBANGUNAN .Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama

2. ) a. Setelah mengumpulkan data, langkah selanjutnya yaitu menganalisis data
b. Dengan adanya suatu paragraf kita dapat membedakan suatu gagasan di mulai dan diakhiri dengan adanya paragraf sehingga tidak terjadi kepayahan dalam berfikir
c. Berdasarkan penemuan tersebut disimpulkan bahwa partisipasi dalam pelestarian aset
budaya dapat di tingkatkan melalui berbagai upaya.Diantaranya yaitu upaya peningkatan
pengetahuan sejarah kebudayaan,sikap terhadap kebudayaan,dan minat terhadap wisata budaya dengan peningkatan penyuluhan.Hal ini di karenakan wisata budaya masih di katakan
tidak terlalu penting.Langkah lain yang tidak boleh di tinggalkan yaitu kerjasama antara
instansi terkait dengan Kementrian Dinas Pariwisata.

KOLABORASI ILMU PENGETAHUAN DAN SASTRA SEBAGAI MEDIASI DALAM
PEMBANGUNAN MENTALITAS BANGSA
Tugas Kemahiran Bahasa Indonesia Kelas A

Oleh:

AZIZAH PUTRI PURWASARI
121411133023

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016