URGENSI ASA HUKUM DAN AKAD PERBANKAN SYA

URGENSI ASAS HUKUM DAN AKAD
DALAM KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH
Oleh : Asep Rozali

A. Pendahuluan.
Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
peranan bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai agent of
development. Disamping itu dalam hubungannya dengan masyarakat, bank
berperan sebagai perantara bagi masyarakat yang kekurangan/membutuhkan dana
dengan masyarakat yang mempunyai/kelebihan dana. Mengingat perannya seperti
ini maka bank dikenal juga dengan intermediary institution atau perantara
keuangan masyarakat (financial intermediary).1
Terkait dengan hal tersebut di Indonesia fungsi dan peran dimaksud
dijalankan oleh dua sistem perbankan, yaitu perbankan konvensional sebagaimana
diatur dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998, Tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disingkat
UUP 1998), dan perbankan syariah sebagaimana diatur dalam Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disingkat UUPS
2008).
Berlakunya dua peraturan perundang undangan perbankan ini menunjukan
bahwa Indonesia menganut dual banking system, yakni dipraktikannya dua sistem

perbankan yang berbeda dalam satu negara, dalam hal ini perbankan konvensional
dan perbankan syariah. Keduanya secara yuridis formal mempunyai kedudukan
yang sama sebagai agent of development dan sebagai intermediary financial.

1

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,2000,hlm 67.
1

2

Mencermati kegiatan usaha dua jenis perbankan di atas proses dan produknya
merupakan perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu format tertulis. Dalam
perbankan konvensional perbuatan hukum tersebut dituangkan dalam bentuk
perjanjian tertulis, sedangkan dalam perbankan syariah perbuatan hukum
dimaksud dituangkan dalam bentuk akad.
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III Bab II Perikatan yang
Lahir dari Kontrak atau Perjanjian Bagian 1 Ketentuan umum Pasal 1319
disebutkan bahwa Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun
yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang

termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.
Demikian pula terkait keabsahan perjanjiannya sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata yang harus memenuhi 4 (empat) syarat, meliputi :
a)

Kesepakatan;

b) Kecakapan;
c)

Hal tertentu;dan

d) Kausa atau sebab yang halal.
Ketentuan ini berlaku bagi semua perjanjian tertulis maupun tidak tertulis,
termasuk perbuatan hukum yang melahirkan perjanjian dari kegiatan usaha
perbankan konvensional. Hal ini sejalan pula dengan asas yang dianut oleh Kitab
Undang Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1338 yang dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak. Disamping ketentuan ketentuan tersebut, kegiatan usaha
bank konvensional diatur pula oleh peraturan Bank Indonesia.
Akan tetapi apakah ketentuan ketentuan tersebut berlaku pula bagi kegiatan

usaha perbankan syariah, khususnya berkaitan dengan perjanjian dan asas hukum
yang menjiwainya ?. Hal ini mengingat karena kedua lembaga tersebut berasal
dari sistem hukum yang berbeda ?
B. Usaha Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah.
Kedua peraturan perundangan tersebut mengatur hal hal yang berhubungan
dengan segala kegiatan yang berkaitan dengan perbankan, salah satunya adalah
Usaha Bank.

3

Usaha bank umum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUP 1998 meliputi :
a.

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu;

b.

memberikan kredit;


c.

menerbitkan surat pengakuan hutang;

d.

membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya:

1.

surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan suratsurat dimaksud;

2.

surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;


3.

kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

4.

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;

5.

obligasi;

6.

surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

7.

instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun;


e.

memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;

f.

menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

g.

menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

h.

menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;


i.

melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak;

j.

melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

4

k.

dihapus

l.

melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali

amanat;

m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan
Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
n.

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak

o.

bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Selain kegiatan usaha di atas, bank umum dapat melakukan kegiatan lainnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang meliputi :
a.

melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;


b.

melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di
bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

c.

melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat

d.

kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

e.


bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang
berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPS 2008 disebutkan bahwa Bank Syariah

terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Adapun
usaha yang dapat dilakukan diatur dalam Pasal 19 yang meliputi :
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:

5

a.

menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b.

menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau

bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c.

menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah , Akad
musyarakah , atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d.

menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah , Akad salam , Akad
istishna’,atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e.

menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f.

menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;

g.

melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h.

melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah;

i.

membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip
Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah , mudharabah ,
murabahah , kafalah , atau hawalah

j.

membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k.

menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip
Syariah;

l.

melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad
yang berdasarkan Prinsip Syariah;

6

m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah;
n.

memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

o.

melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;

p.

memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan

q.

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
a.

menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b.

menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c.

menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah , Akad
musyarakah , atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d.

menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah , Akad salam , Akad
istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e.

menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f.

menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;

g.

melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

7

h.

melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah;

i.

membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar
transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,
musyarakah , mudharabah , murabahah , kafalah , atau hawalah ;

j.

membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k.

menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip
Syariah;

l.

menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah;

m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n.

memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan

o.

melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain kegiatan usaha di atas dalam Pasal 20 disebutkan :
(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1), Bank Umum Syariah dapat pula:
a.

melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b.

melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau
lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;

c.

melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus
menarik kembali penyertaannya;

8

d.

bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip
Syariah;

e.

melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal;

f.

menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip
Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

g.

menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka
pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pasar uang;

h.

menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka
panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pasar modal; dan

i.

menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah
lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2), UUS dapat pula:
a.

melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b.

melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal;

c.

melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus
menarik kembali penyertaannya;

d.

menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip
Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

e.

menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka
pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pasar uang; dan

9

f.

menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah
lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Pasal 21 meliputi:
a.

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

1.

Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah; dan

2.

Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b.

menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

1.

Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah ;

2.

Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah , salam , atau istishna’;

3.

Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;

4.

Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah
berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik ; dan

5.

Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;

c.

menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan
Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

10

d.

memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan

e.

menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya
yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.

C. Asas Asas Hukum Perbankan dan Akad Syariah.
1.

Asas asas Hukum Perbankan.
Penting untuk dipahami bahwa asas hukum merupakan nilai nilai yang

kedudukannya lebih tinggi dari peraturan perundang undangan 2, merupakan
sumber pokok dan jiwa dari norma norma yang berlaku serta menjadi landasan
penerapan norma dan sekaligus sebagai leading motive dari norma norma
tersebut3.Ernest J Weintreib sebagaimana dikutip dan diterjemahkan oleh Ahmad
Ali, bahwa Jantung hukum adalah pembuatan putusan pengadilan dan penalaran
yang didasarkan asas asas hukum dan pengaplikasiannya pada kasus kasus
tertentu.4 Gambaran ini menunjukan bahwa sangat naif berkecimpung dalam
dunia hukum tanpa mempelajari asas asas hukum yang melandasinya dalam
kehidupan nyata5.
Pengertian asas asas hukum dikemukakan secara berbeda oleh beberapa ahli
hukum sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang yang berbeda
sebagaimana dikutip oleh Khudzaifah Dimyati 6sebagai berikut :
Roeslan Saleh, mengartikan Asas asas hukum sebagai pikiran pikiran dasar
sebagai aturan bersifat umum menjadi fundamen dari sistem hukum.
Sri Soemantri M, Asas mempunyai padanan dengan beginsel atau principle
sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuam berpikir.Asas
hukum adalah dasar normatif untuk membedakan antara daya ikat normatif
dengan keniscayaan yang memaksa.
2

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan keempat, Aumni, Bandung,1986
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi kedua, CetakanPertama, Prenada
Media Jakarta, 2003.
4
Ahmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,Cetakan Pertama, Yarsif
Watampone,Jakarta, 1998,
5
Muhamad Djumhana, Asas Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan I,Bandung,
2008, hlm vi.
6
Khudaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia
1945-1990, Muhammadyah University Press, Surakarta, 2004, hlm 193-194.
3

11

Moh.Koesnoe, Asas hukum sebagai suatu pokok ketentuan atau ajaran yang
berdaya cakup menyeluruh terhadap segala persoalan hukum di dalam masyarakat
yang bersangkutan dan berlaku sebagai dasar dan sumber materil ketentuan
hukum yamg diperlukan.
A A Oka Mahendra, Asas asas hukum adalah dasar dasar umum yang
terkandung dalam peraturan hukum yang mengandung nilai nilai moral dan etis
merupakan petunnjuk arah bagi pembentukan hukum yang memenuhi nilai nilai
filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai nilai sosiologis yang
sesuia dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan nilai yuridis yang
sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Solly Lubis, Asas asas hukum adalah dasar kehidupan yang merupakan
pengembangan nilai nilai yang dimasyarkatkan menjadi landasan hubungan
sesama anggot masyarakat.
Asas asas hukum tersebut dibedakan antara asas asas hukum umum dengan
asas asas hukum khusus atau antara asas asas hukum regulatif dengan asas asas
hukum konstitutif. Pembedaan ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji7, bahwa Asas asas hukum konstitutif merupakan asas
asas yang harus ada bagi kehidupan suatu sistem hukum, sedangkan asas asas
hukum regulatif perlu bagi berprosesnya sistem hukum tersebut.Asas asas hukum
tersebut ada yang berlaku umum; artinya harus ada pada setiap sistem hukum,
Asas asas hukum khusus merupakanperwujudan dari kekhususan masyarakat dan
kebudayaan yang tercermin dalam sistem hukumnya.Asas asas hukum khusus
tersebut baik yang konstitutif maupun regulatif dapat dibahas menurut bidang
bidang tata hukum, misalnya hukum tata negara, dan seterusnya. Pembentukan
kaidah kaidah hukum yang tidak dilandaskan pada asas asas hukum konstitutif
menghasilkan kaidah kaidah yang secara material bukan merupakan kaidah
hukum.Kalau asas asas hukum regulatif tidak diperhatikan maka yang dihasilkan
adalah kaidah hukum yang tidak adil.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Sudikno Mertokusumo 8 mengemukakan
7
8

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta, hlm 64.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 36.

12

bahwa Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh
bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, lex posteriori derogat legi
priori, asas bahwa sps ysng lshirnya tampak benar, untuk sementara harus
dianggap demikian sampai diputus (lain) oleh pengadilan. Asas hukum khusus
berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata,
hukum pidana dan sebagainya yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum
umum seperti pacta sunt servandha, asas konsensualisme, asas praduga tak
bersalah.
Dalam hubungannya dengan kegiatan usaha perbankan, asas hukum
perbankan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU Perbankan 1992 didasarkan
pada demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Penjelasan
Pasal 2 menyebutkan bahwa demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Adapun demokrasi
ekonomi ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, yaitu
perekonomian disusun sebagi usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Disamping asas sebagaimana disebutkan di atas, dalam menjalankan kegiatan
usaha perbankan dikenal pula beberapa prinsip yang erat kaitannya dengan
perbuatan hukum. Prinsip dimaksud adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana
diatur Pasal 29 ayat (2), prinsip Kepercayaan, sebagaimana diatur Pasal 29 ayat
(4), prinsip kerahasiaan, sebagaimana diatur mulai dari Pasal 40 sampai dengan
Pasal 47 A, dan prinsip mengenal nasabah yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(sekarang menjadi Costumer Due Dilligence, PBI No.12/20/PBI/2010).
Dalam UUP 1998 disebutkan pula perihal prinsip syariah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 angka 13 : “Prinsip syariah adalah perjanjian berdasarkan hukum
islam antara bank dengan pihak lain...”.
Jadi dengan demikian dalam kaitan usaha bank konvensional melalui
perbuatan hukum yang dituangkan dalam perjanjian, asas asas hukum perbankan
sebagaimana diuraikan diatas harus ditaati dan dijalankan disamping asas asas
hukum dan syarat keabsahan perjanjian yang terdapat dalam Buku III Kitab
Undang Undang Hukum Perdata.

13

Perbankan Syariah sebagaimana disebutkan dalam UUPS 2008 Pasal 1 angka
7 adalah Bank yang menjalankan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan
menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Prinsip syariah itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12 adalah prinsip
hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Tim Pengkajian Hukum Islam BPHN dalam laporannya tahun 1983/1984
sebagaimana dikutip oleh Mohamad Daud Ali9 menyebutkan beberapa asas
hukum islam yaitu asas hukum islam yang bersifat umum, asas hukum islam
dalam lapangan hukum pidana, dan asas hukum islam dalam lapangan hukum
perdata.
1.

Asas asas umum meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum islam
meliputi :

a.

Asas keadilan (QS Shad (38) : 26), (QS An Nisa (4) : 135), (QS Al Maidah
(5) : 8) ;

b.

Asas kepastian hukum (QS Bani Israil (17) : 15), (QS Al Maidah (5) : 95)
;dan

c.

Asas kemanfaatan (QS Al Baqarah (2) :178).

2.

Asas asas dalam lapangan hukum pidana, antara lain :

a.

Asas legalitas (QS Al Isra (17) : 15), (QS Al An’am (6) : 19);

b.

Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain (QS Al Muddatstsir
(74) : 38), (QS Al An’am (6) : 164 ;dan

c.

Asas praduga tak bersalah .

3.

Asas asas dalam lapangan hukum perdata meliputi :

a.

Asas kebolehan (QS Al Baqarah (2) : 185, 286);

b.

Asas kemaslahatan hidup ;

c.

Asas kebebasan dan kesukarelaan (QS An Nisa (4) : 29);

d.

Asas menolak mudarat, mengambil manfaat;

9
Mohamad Daud Ali, Hukum islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia,
RadjaGrafindo Persada, Cetakan 17, Jakarta, 2012, hlm 127.

14

e.

Asas kebajikan (QS Al Maidah (5) : 90);

f.

Asas kekeluargaan;

g.

Asas adil dan berimbang;

h.

Asas mendahulukan kewajiban daripada hak;

i.

Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain;

j.

Asas kemampuan berbuat;

k.

Asas kebebasan berusaha;

l.

Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa;

m. Asas perlindungan hak;
n.

Asas hak milik berfungsi sosial (QS At Taubah (9) : 60), Al Hasyr (59) :7;

o.

Asas yang beritikad baik harus dilindungi;

p.

Asas risiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga/pekerja.

q.

Asas mengatur sebagai petunjuk; dan

r.

Asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi (QS Al Baqarah (2) :
282).
Fathurrahman Djamil10 menyampaikan pula asas asas akad syariah yang

disebutkannya berasal dari berbagai sumber yang dimodifikasi yaitu sebagai
berikut :
1.

Kebebasan (Hurriyah) (QS :Al Baqarah (2) : 256, Al Maidah (5) : 1, Al Hijr
(15) : 29, Ar Rum (30):30, At Tin (95) :4, Al Ahzab (33):72, dan HR Tirmidzi
dari ‘Amir bin ‘Auf : Perdamaian dapat dilakukan kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,
dan kaum muslimin terikat dengan syarat syarat mereka kecuali syarat syarat
yang mengharmkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

2.

Persamaan atau Kesetaraan (Al Musawah) (QS Al Hujurat (49) : 3. Asas ini
sering dinamakan asas keseimbangan para pihak, walaupun faktanya terdapat
keadaan seperti standard contract. Terkait ini hukum islam menganggap
bahwa standard contract sifatnya tetap hanya merupakan usulan atau
penyajian, dan bukan bersifat final.

10
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjaanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 14 - 26.

15

3.

Keadilan (Al Adalah) (QS Al Araf (7) : 29, An Nahl (16) : 90, Asy Syura
(42) : 15, Al Maidah (5) : 1, 8-9, Al Baqarah (2) : 177, Al Mu’minun (23) : 8.

4.

Kerelaan/Konsensualisme (Al Ridhaiyyah) (QS An Nisa (4) : 29. Namun
adakalanya ketentuan perundang undangan menetapkan suatu formalitas
seperti akta notaril.

5.

Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidq) (QS Ali Imran (3) : 95, Al Ahzab (33) :
70.

6.

Kemanfaatan (Al Manfaat) (QS Al Baqarah (2) : 168, An Nahl (16) : 114.

7.

Tertulis (Al Kitabah) (QS Al Baqarah (2) : 282-283.
Dalam UUPS 2008, asas hukum perbankan diamanatkan dalam Pasal 2 yang

menyatakan bahwa Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya
berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian.
Begitu pentingnya asas asas ini sehingga asas asas tersebut harus dilindungi
serta dijamin Undang undang perbankan syariah. Hal ini sebagaimana
dikemukakan

Muhammad Amin

Suma

sebagaimana

dikutip

Neni

Sri

Imaniyati11.Asas asas yang dimaksud adalah Asas Ridhaiyyah, Asas Manfaat, Asas
Keadilan, dan Asas Saling Menguntungkan. Asas asas dimaksud merupakan pula
asas asas yang tertuang dalam al uqud atau akad sebagai hasil dari proses
transaksi yang terjadi dalam rangka perbankan syariah menjalankan kegiatan
usahanya. Pengabaian terhadap hal tersebut berakibat batal demi hukum setiap
akad perbankan syariah dan berarti pula melestarikan sistem ekonomi
konvensional yang berifat ribawi dalam arti luas.
Oleh karen itu, maka disamping harus dipahami asas asas hukumnya, perlu
dipahami pula tentang akad, aqd, al uqud sebagai realisasi adanya transaksi yang
terjadi dalam kegiatan usaha perbankan syariah.

2.

Akad Syariah
Fathurrahman Djamil dalam karyanya Penerapan Hukum Perjanjian

11
Muhammad Amin Suma dalam Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2010, hlm 46-47.

16

dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah mengutip beberapa pendapat
pakar hukum islam berkenaan dengan aqad. Menurut Wahbah al Zuhaili, secara
bahasa akad adalah ikatan antara dua hal, baik ikatan secara nyata maupun ikatan
secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Sedangkan menurut al
Jurzani, bertolak dari kata aqd atau uqdah yang berarti simpul atau buhul seperti
yang terdapat pada benag atau tali, maka terjadilah perluasan paemakaian kata
aqd pada semua yang dapat diikat dan ikatan itu dapat dikukuhkan. Oleh karena
itu menamakan ikatan syar’i antara suami isteri disebut dengan uqdatu al nikah
sedangkan melakukan ikatan antara satu dengan lain dalam rangka kegiatan usaha
seperti dalam jual beli dinamakan aqdu al buyu dengan menggunakan kata aqad
atau uqdah. Pengertian akad dibedakan pula dalam arti umum dan arti khusus.
Dalam pengertian umu menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, yaitu
segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri,
seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya
membutuhkan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan
dalam artian khusus diartikan sebagai perikatan yang ditetapkan dengan ijab
qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya atau
menghubungkan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya sesuai
syara’ dan berdampak pada objeknya. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut,
Wahbah al Zuhaili mendefinisikan aqad sebahai hubungan antara ijab qobul
sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat)
hukum pada objeknya.12
Lebih lanjut Fathurrahman mengemukakan bahwa perangkat hukum
perjanjian dalam syariah Islam adalah terpenuhinya rukun dan syarat dari suatu
akad. Rukun adalah unsur esensial yang mutlak harus ada dalam akad atau
transaksi, sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk melengkapi rukun.
Rukun Akad menurut para ulama adalah :
a. Kesepakatan untuk mengikatkan diri (shigat al ‘aqd);
b. Pihak pihak yang berakad (al muta’aqidain/al ‘aqdain);
c. Objek akad (al ma’qud alaih/mahal al ‘aqd);
12

Fathurrahman Djamil, Op Cit, hlm 4-6.

17

d. Tujuan akad (maudhu’ al ‘aqd).
Berkenan dengan syarat akad, para fuqaha menjelaskan bahwa ada
beberapa syarat akad yaitu :
a. Syarat terjadinya akad (syuruth al in’iqad).
b. Syarat sah (syuruth al shihhah).
c. Syarat pelaksanaan (syuruth an nafadz).
d. Syarat keharusan (syuruth al luzum).
Suatu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat dikatakan sebagai akad
yang shahih yang mengikat para pihak, sedangkan bila tidak memenuhi rukun
atau syarat dikatakan akad yang tidak shahih, sehingga tidak berlaku dan tidak
mengikat para pihak. Akad yang secara jelas telah disebutkan dalam Al Qur’an
dan Hadis disebut dengan akad bernama (Al Uqud Al Musamma).
Terkait akad bernama ini terdapat sekitar 25 bentuk akad sebagaimana dirinci
oleh Hasbi al Shiddiqie yaitu, Bai, Kafalah, Hawalah, Rahn,Ba’I al wafa,
Wadi’ah, Al ‘iarah, Hibah, Aqd al qisamah, Syirkah, Mudharabah, Muzaarah,
Musaqah, Wakalah, Shulh, Tahkim, Mukharajah, Qardh, Aqdul umari, Aqdul
muqalah/wala’, Aqdul iqalah, Zawaj, Aqdul washiyyah, Aqdul isha.13
Akad tidak bernama, merupakan akad yang tidak dinamai oleh hukum syara akan
tetapi dalam perjalanan sejarah umat Islam terjadi dalam masyarakat berdasarkan
dalil urf, istihsan, qiyas,dan masalih mursalah, demikian dikemukakan
Fathurrahman Djamil dalam karyanya di atas.
Berdasarkan zatnya, terdapat akad terhadap benda berwujud (‘Ainiyyah), dan
akad terhadap benda tidak berwujud (ghair al ‘aniyyah). Berdasarkan sifatnya,
terdapat akad pokok (Al ‘Aqd Al Ashli), dan akad tambahan (Al Aqd Al Tabi’i).
Berdasarkan terjadinya atau berlakunya, akad dibedakan menjadi akad konsensual
(al Aqd Al Radh’i), akad formalistic (Al Aqd Al Syakili), akad riil (Al Aqd Al
‘Aini). Berdasarkan watak/sifat/pengaruhnya terdapat akad Munjaz,yaitu akad
yang terjadi seketika setelah ada ijab qabul, akad mundhaf ‘ila Al Mustaqbal,
yaitu akad yang disandarkan pada waktu yang akan dating, dan akad Mu’allaq,
yaitu akad yang digantungkan atas adanya syarat tertentu yang harus dipenuhi
13

Hasbi al Shiddiqie, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 93-108.

18

terlebih dahulu.
Pembahasan mengenai produk-produk bank syariah tidak terlepas dari jenis
akad yang digunakan sehingga pembahasan produk tidak terlepas dari
pembahasan akadnya.Jenis akad biasanya melekat pada nama produk. Sebagai
contoh, tabungan wadi’ah berarti produk tabungan yang menggunakan akad
wadi’ah. Akad-akad yang melandasi operasi bank syariah berasal dari akad
tijarah dalam perniagaan (bai’) yang dimaksudkan untuk mencari keuntungan
yang berupa kontrakpertukaran dan kontrak bagi hasil dan akad tabarru’ yang
bukan dimaksudkan untuk mencari keuntungan, tetapi bersifat fee based.
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam
enam kelompok pola, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah;
Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;
Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah;
Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan
Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.

Satu-satunya akad yang bersifat sosial adalah akad pinjaman tanpa bunga (qardh)
sebagai fasilitas untuk nasabah atau untuk penyaluran ZIS (zakat, infaq, dan
sadaqah) dalam bentuk pinjaman kebajikan.
Produk-produk bank syariah dapat dikelompokkan ke dalam produk
pendanaan, produk pembiayaan, dan produk jasa perbankan:
1.
2.
3.
4.

Pendanaan: Giro, Tabungan, Investasi, dan Obligasi;
Pembiayaan: Investment Financing dan Trade Financing;
Jasa Perbankan: Jasa Keuangan, Jasa Nonkeuangan, dan Jasa Keagenan;
Instrumen Keuangan Syariah.
Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan

produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba (bunga), gharar
(ketidakjelasan), dan maysir (judi). Berbagai hal mempengaruhi jenis akad yang
diadopsi suatu negara, seperti system ekonomi yang dianut, madzhab yang dianut,
kedudukan bank syariah dalam undangundang, dan strategi pengembangan yang
diambil. Akad yang digunakan oleh suatu negara bisa saja tidak diterapkan atau
tidak diterima di negara lain karena hal-hal di atas. Akad yang digunakan di

19

Malaysia cukup banyak dan beragam yang kadang-kadang tidak dapat diterima
(secara Syariah) oleh Negara lain. Sementara itu, Indonesia dan negara-negara
Timur Tengah dan Teluk, seperti Sudan, menggunakan akad dengan lebih berhatihati dalam ketentuan Syariah.
Pengembangan produk dan akad perbankan syariah seharusnya selalu
memperhatikan dan mengaitkannya dengan kebutuhan untuk pengembangan
kegiatan produktif di sektor riil dengan tetap mengacu pada ketentuan Syariah
yang disepakati oleh sebagian besar (jumhur) ulama Fiqih (fuqaha). Penggunaan
akad yang controversial atau belum/tidak disetujui oleh jumhur fuqaha pada
akhirnya akan menyulitkan perkembangan perbankan syariah di negara tersebut
karena produk-produk yang didasarkan pada akad tersebut tidak akan diterima
oleh lembaga keuangan syariah negara lain dan dunia internasional.
Penggunaan akad-akad modifikasi sebaiknya segera dihentikan dan
digantikan dengan akad-akad yang telah disepakati oleh jumhur fuqaha. Selain
itu, penggunaan akad-akad berpola nonbagi hasil, apabila memungkinkan,
sebaiknya sedikit demi sedikit digantikan dengan akad-akad berpola bagi hasil.
Sebagai contoh, pembiayaan aneka barang (consumer goods) yang menggunakan
akad murabahah dan turunannya dapat diganti dengan akad musyarakah
mutanaqisah atau musyarakah menurun.
Syarat utama pengembangan sistem keuangan/perbankan syariah dan produk
produknya yang terarah sesuai visi dan misinya adalah dengan mempersiapkan
sumber daya insani (SDI) yang cukup dan berkualitas dalam pemahaman esensi
ekonomi dan keuangan Islam sebagai praktisi, regulator, dan akademisi.14

D. Penutup.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal penting
dalam kegiatan usaha perbankan syariah di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1. Perbankan syariah Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.
14
Acaya, Buku Akad dan Produk Perbankan Syariah, Konsep dan Praktek di beberapa Negara, Bank
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.246-248.

20

2. Berdasarkan UUPS 2008, maka praktik perbankan syariah di Indonesia
khususnya yang menyangkut kegiatan usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi, kehati-hatian, dan prinsip hukum Islam.
3. Akad dan Produk Perbankan syariah harus diselaraskan dengan visi dan
misi yang sejalan dengan prinsip syariah sehingga tidak lagi bersifat
modifikasi.
4. Perlu dipersiapkan sumber daya insani yang mendukung pengembangan
perbankan syariah dari segi regulator, praktisi, dan akademisi.

DAFTAR PUSTAKA

Acaya, Buku Akad dan Produk Perbankan Syariah, Konsep dan Praktek di
beberapa Negara, Bank Indonesia, Jakarta, 2006.
Ahmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,Cetakan Pertama,
Yarsif Watampone,Jakarta, 1998.
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjaanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Hasbi al Shiddiqie, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Khudaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadyah University Press,
Surakarta, 2004.
Mohamad Daud Ali, Hukum islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam Indonesia, RadjaGrafindo Persada, Cetakan 17, Jakarta, 2012.
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung,2000.
Muhamad Djumhana, Asas Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Cetakan I,Bandung, 2008.
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2010
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi kedua,
CetakanPertama, Prenada Media Jakarta, 2003.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Cetakan keempat, Aumni, Bandung,1986
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo,
Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1999.

21