HUKUM DAN IDENTITAS KEBANGSAAN PEMB

Bivitri Susanti. Hukum dan Identitas Kebangsaan. Dalam Musa Asya’arie, et. al.,
eds. Menemukan Kembali Kebangsaan dan Rasa Kebangsaan. Jakarta:
Departemen Komunikasi dan Informatika RI, 2008: 159-191.

1

HUKUM DAN IDENTITAS KEBANGSAAN
Bivitri Susanti
...kehidupan hukum adalah suatu proses
dan sebagai demikian ia tidak berjalan bagaikan menarik garis
dari satu titik ke titik yang lain.
Kebudayaan, aspirasi, cita-cita, dunia nilai-nilai
tetap merupakan variabel bebas
yang turut menentukan penampilan akhir dari hukum1
Hukum selalu bisa dilihat dari dua kaca mata. Yang pertama kita sebut saja ‘kaca mata
kuda.’ Kaca mata yang ingin melihat hukum sebagai hukum belaka - hukum yang lahir
dan bekerja dalam dunianya sendiri. Kekuatan-kekuatan lain yang berada di sekitarnya
tidak terlihat karena kaca mata kuda tersebut. Kaca mata kedua kita sebut saja dengan
kaca mata minus, yaitu kaca mata yang ingin melihat secara luas tempat di mana hukum
dibentuk dan bekerja. Ketika kaca mata minus itu digunakan, hukum yang seakan
buram itu menjadi terang dan jelas. Kutipan di atas adalah kutipan dari kaca mata

minus.
Kedua kaca mata ini merupakan pilihan bagi orang-orang yang ingin melihat hukum.
Siapa saja sebenarnya boleh memilih kaca mata yang mana saja. Namun bab ini justru
ingin menunjukkan bahwa hukum seharusnya dilihat dari kaca mata minus. Hukum
tidak bekerja di ruang yang hampa dan untuk dirinya sendiri. Ada konteks politik dan
ekonomi yang bekerja di dalam konteks itu.
Gagasan soal ‘hukum’ lahir untuk menata ketertiban dan memberi kerangka relasi
negara-warga dalam sebuah negara modern. Hukum menjadi penting karena ia adalah
seperangkat teks yang mempunyai kekuasaan. Atas nama hukum, seseorang boleh
dirampas kebebasannya. Misalnya dengan adanya penjara sebagai salah satu sanksi
yang diatur hukum, yang esensinya adalah menghilangkan kemerdekaan manusia.
Sepanjang ada dasarnya dalam undang-undang dan bisa dibuktikan di pengadilan,
seseorang yang dianggap melanggar ketertiban umum sah untuk dikurung selama
bertahun-tahun. Eksistensi kelompok-kelompok di dalam masyarakat pun dapat
ditentukan oleh teks hukum. Kelompok penghayat dan pemeluk agama lain selain enam
agama yang ‘diakui’ negara misalnya, selama puluhan tahun tidak diakui
keberadaannya oleh undang-undang.2 Identitas kelompok diberikan dan tidak diberikan
oleh hukum.
Karena kekuasaannya itulah hukum selalu problematik. Selalu ada pertarungan
kekuatan (politik) dalam pembentukan hukum. Di gedung parlemen maupun di gedung

Satjipto Rahardjo, “Hubungan antara Budaya dan Hukum: Menggagas Tesis Daniel S. Lev,” Harian
Kompas, Kamis 27 April 1995, hlm. 4.
2
Bila ditelusuri peraturan perundang-undangan terkait, sebenarnya tidak ada pemaksaan memeluk agama
tertentu. Namun dalam praktik, ditemui beberapa kebijakan yang menyulitkan kelompok-kelompok
tertentu melakukan pendaftaran serta prosedur administrasi pemerintahan lainnya. Peraturan yang selama
ini dijadikan dasar penolakan pencatatan perkawinan bagi penghayat adalah Penetapan Presiden No. 1
tahun 1965 yang dikukuhkan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1969, mengenai adanya hanya enam
agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
1

2
pengadilan. Hukum dikatakan problematik karena akan selalu ada relasi yang tidak
seimbang di dalam pertarungan kepentingan itu. Dalam pemikiran Gramsci, ada
problem yuridis (“juridical problems”) yang selalu ada di dalam pembentukan hukum
karena hukum bertujuan memelihara homogenitas kelas yang berkuasa dan menciptakan
kompromi sosial yang berguna untuk perkembangan kelompok yang berkuasa tersebut. 3
Hukum menjadi penting dalam politik identitas dan kekuasaan karena hukum tidak
hanya memberikan norma kehidupan antar-warga negara. Namun juga memberikan
dasar tertulis bagi aturan main penyelenggara pemerintahan di suatu wilayah. Maka

hukum juga bisa bertutur mengenai identitas bangsa Indonesia. Dimulai dari ketika
mulai ada identifikasi mengenai bangsa yang ada di wilayah nusantara ini. Identifikasi
yang dilakukan dengan cara pikir negara modern - suatu konsep yang sebenarnya
diimpor oleh bangsa-bangsa yang menjajah nusantara.
Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan ketika itu masih berupa kerajaan-kerajaan dan
kelompok-kelompok masyarakat di wilayah nusantara yang terpecah. Gagasan
mengenai hukum dan ‘rule of law’ justru dibawa oleh bangsa asing yang menjajah
wilayah nusantara. Hukum dan ‘rule of law’ yang hingga kini diletakkan di dalam
kerangka negara modern merupakan sesuatu yang asing bagi bangsa-bangsa yang ada di
wilayah nusantara. Akibatnya, hukum dalam cara pikir perusahaan dagang di wilayah
jajahan ini dipaksa untuk berlaku dengan segala perangkatnya.
‘Hukum lokal’ pun diberi makna oleh bangsa penjajah. Maka timbul berbagai aliran
pemikiran dan para penyokong ‘hukum adat’ di Belanda, yang mendorong pengakuan
hukum adat dalam sistem hukum yang diberlakukan di Hindia Belanda. Hukum adat di
nusantara yang umumnya dipelihara dengan bertutur dan diimplementasikan dengan
sistem ‘peradilan’ tersendiri sesuai adat masing-masing juga kemudian dimasukkan ke
dalam kotak cara pandang ‘rule of law’ yang berkembang di Eropa. Peradilan guna
mengukuhkan putusan ‘peradilan adat’ pun dibangun. Di sini, identitas lokal nusantara
menjadi sesuatu yang diberi oleh bangsa penjajah.
Deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 kemudian diikuti dengan cita-cita untuk

membentuk hukum dengan identitas ‘bangsa Indonesia’ yang baru lahir. Peradilan dan
tatanan hukum pun dibenahi. Namun hukum tetaplah menjadi arena pertarungan politik
untuk mengatur sebuah bangsa. Pertarungan ini bisa dilihat dari lahir dan matinya empat
teks konstitusi yang pernah dimiliki bangsa ini.
Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang dibahas sejak masa pendudukan Jepang
dijadikan UUD bangsa ini yang pertama, dengan janji untuk membuatnya lebih baik.
Namun pernyataan lahirnya sebuah bangsa yang merdeka tidak mudah mendapatkan
tempat. Dan sekali lagi teks hukum dijadikan wadah pernyataan hasil negosiasi antara
dua kelompok yang berseteru. Maka UUD Republik Indonesia Serikat lahir pada 1949
sebagai hasil perundingan pemerintahan Indonesia yang baru lahir dengan Belanda dan
sekutunya. Tak lama, UUD Sementara 1950 lahir untuk menyatakan keinginan bangsa
ini untuk lepas sepenuhnya dari kekuasaan penjajah dan menata sistem politik dan
ekonomi yang baru. Hingga kemudian UUD 1945 diberlakukan kembali pada 1959 dan
terus terpelihara sampai ketika teks ‘baru’ konstitusi lahir dari amandemen 1999-2002.

3

Antonio Gramsci, Prison Notebooks, (London: Lawrence and Wishart, 1971).

3

UUD 1945 ‘asli’ yang langgeng selama 40 tahun (1959-1999) pun dalam kenyataannya
tidak mulus dan tenang. Hukum lagi-lagi diberi makna tertentu. Kali ini bukan oleh
penjajah, namun oleh pemerintahan yang berkuasa. Meski teks dasarnya sama, yaitu
UUD 1945 ‘asli’, berbagai undang-undang dilahirkan dalam ideologi yang berbeda
dalam masa Demokrasi Terpimpin Soekarno dan masa Orde Baru Suharto.
Pertarungan kekuasaan ini tidak hanya ada di wilayah teks hukum. Arena institusi
peradilan juga mendapatkan pengaruh dari pertarungan kekuasaan. Bila dulu identitas
bangsa Indonesia ‘diberikan’ oleh bangsa penjajah, kali ini arena pertarungan
kekuasaannya dikuasai oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam bangsa ini
sendiri.

1.

PEMBERIAN
IDENTITAS
KOLONIALISME

KEBANGSAAN

PADA


MASA

Dalam catatan literatur kolonial, perdebatan penting mengenai kebijakan hukum di
Hindia Belanda terjadi pada sekitar akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.4 Penting
dicatat dalam konteks identitas kebangsaan, karena perdebatan saat itu berbicara soal
kerangka hukum yang akan dibangun di wilayah jajahan Belanda: apakah akan dibentuk
satu hukum yang berlaku bagi berbagai kelompok bangsa yang ada di wilayah itu,
ataukah terpisah-pisah. Seperti banyak dicatat kemudian, yang terakhir memenangkan
perdebatan. Alasannya, yang akan dibentuk di wilayah jajahan bukanlah suatu ‘negara’,
melainkan suatu sistem ‘pemerintahan’.
Pembedaan identitas dalam hukum ini menimbulkan kontroversi baik di Hindia Belanda
maupun di Belanda sendiri. Politik etis, yang menjadi latar belakang “kebangkitan
bangsa”, semakin meramaikan perdebatan ini. Gagasan mengenai “etik” dimaknai
menjadi dua kutub. Politik etis di satu sisi dianggap menjadi alasan bagi adanya
unifikasi hukum sehingga ada kesetaraan antara bangsa yang menjajah dan yang
terjajah. Sementara di sisi lainnya, politik etis juga dijadikan alasan bagi sebagian
kalangan untuk menghormati hukum lokal - hukum adat.
Sebagai akibat dari politik etis tersebut, timbul perubahan dalam struktur hukum di
Hindia Belanda. Pada 1914, pengadilan tingkat bawah untuk tindak pidana ringan dan

pelanggaran menangani semua perkara tanpa melihat ras dan suku bangsanya. Politik
etis juga menyebabkan pemberlakuan satu hukum pidana bagi semua warga, tanpa
membedakan golongannya, pada 1918.5 Meski perlu dicatat, hukum acara (prosedur di
pengadilan) dan hukum perdata yang mengatur relasi antar-warga, termasuk dalam hal
perdagangan, tidak disatukan sampai masa kolonial berakhir. Dalam hal hukum perdata,
penduduk bumiputera tunduk pada hukum adat, yang isinya berbeda-beda di wilayah
yang berbeda. Sementara itu, golongan China dan Timur Asing tunduk pada hukum
Belanda dalam hal hukum dagang serta beberapa bagian dalam hukum perdata
(pengecualian pada hukum keluarga).
Maka struktur pemerintahan dan pengadilan dipisahkan bagi tiga kelompok besar yang
ada di Hindia Belanda dalam kerangka perdagangan: bangsa Eropa, bangsa bumiputera
atau pribumi, dan bangsa China. Hal ini dikuatkan dalam Indische Staatsregeling,
4
5

John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848 (Sydney: Oughtershaw Press, 1982).
Daniel S. Lev, Judicial Unification in Post-Colonial Indonesia, Indonesia 16 (Oktober 1973), hlm. 4.

4
undang-undang Belanda mengenai wilayah jajahan Hindia Belanda yang dkeluarkan

pada 1918. Undang-undang ini membagi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan,
yaitu penduduk Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Pembagian ini kemudian
direfleksikan ke dalam struktur pengadilan dan keberlakuan undang-undang.
Bagi bangsa Belanda dibentuk tiga tingkatan pengadilan, yaitu Residentiegerecht yang
menangani kasus-kasus pelanggaran dan tindak pidana ringan, Raad van Justitie sebagai
pengadilan tingkat pertama, dan Hooggerechtshof atau Mahkamah Agung di Batavia.
Pengadilan-pengadilan ini menangani kasus-kasus dagang, perdata untuk bangsa Eropa,
serta tindak pidana yang dilakukan oleh orang Eropa. Undang-undang yang
mengaturnya pun rupanya mendekati induknya di Belanda.
Sementara itu, bagi kalangan ‘bumiputera’, pengadilan terbagi menjadi dua bagian,
yaitu pengadilan yang berada di bawah pemerintahan kolonial dan pengadilan adat.
Pengadilan adat didirikan di wilayah-wilayah tertentu yang diakui yurisdiksinya, dengan
nama yang berbeda dan disesuaikan dengan daerahnya. Misalnya saja “madjelis” di
Manado, “kerapatan” di Kalimantan, dan “mahkamat” di Riau.6
Kelancaran perdagangan dan ketertiban menjadi alasan bagi skema pembedaan
golongan ini. Hukum pidana pada intinya mengatur kejahatan dan pelanggaran, suatu
konsepsi penertiban atas ketidaksesuaian perilaku tertentu dengan norma-norma hidup
bersama antarwarga. Dengan pemahaman demikian, hukum pidana berada di wilayah
publik yang lebih terbuka. Dan dorongan gagasan politik etis untuk menyatukan hukum
bagi semua golongan tidak akan berakibat buruk bagi pemerintahan kolonial. Justru,

ketertiban menjadi lebih terjaga. Sebaliknya, hukum perdata, dagang, dan keluarga
mengatur wilayah privat warga serta lalu lintas perdagangan. Penggolongan menjadi
penting karena ada relasi ekonomi dan sosial yang berbeda di sini.
Tentu saja, dalam konteks kolonialisme ada relasi yang jelas-jelas tidak seimbang.
Kalaupun ada pertarungan kepentingan, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh
golongan bumiputera. Gerakan kebangsaan yang muncul pada 1908 belum mampu
menyentuh wilayah hukum. Memang ada gerakan politik yang mulai menunjukkan
identitas kebangsaan, namun tidak identitas hukum. Selain munculnya organisasiorganisasi politik pada awal 1900-an itu, upaya untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan politik, termasuk juga dalam soal hukum, juga tumbuh. Serombongan orang
Indonesia berangkat ke Belanda untuk mendorong pendirian parlemen di Hindia
Belanda pada 1914. Namun di luar soal keberhasilannya dalam mendorong munculnya
sebuah arena politik di Hindia Belanda, gerakan ini belum mampu menyentuh persoalan
hukum. Apalagi, parlemen yang bernama Dewan Rakyat (Volksraad) itu juga ternyata
hanya perpanjangan tangan ratu Belanda yang tidak efektif dalam menjalankan peran
politiknya dalam membuat undang-undang.7
Namun persoalan yang lebih mendalam di samping relasi kolonialisme tersebut, yang
perlu diingat adalah soal timbulnya gagasan mengenai ‘hukum’ itu sendiri. Ada dua
aspek di sini yang perlu digarisbawahi.

Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse,” (Ithaca: Cornell

University Press, 2005), hlm. 28.
7
Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP, Komite Nasional Indonesia Pusat: Parlemen Indonesia 1945-1950
(Jakarta: Yayasan Risalah, 2005), hlm. 2.

6

5
Pertama, gagasan mengenai negara modern (termasuk prosedur demokrasi dan
birokrasi) bersamaan dengan konsepsi soal hukum disebarluaskan ke ‘benua-benua
baru’ yang dijadikan wilayah jajahan atau koloni oleh negara-negara eropa. Meski
dalam kenyataannya kemudian ditemukan kesamaan prinsip-prinsip, “hukum modern”
dalam cara pandang eropa merupakan sesuatu yang baru. Kedua, ‘bangsa Indonesia’
sendiri ketika itu belum lahir. Wilayah nusantara masih terdiri dari berbagai suku dan
kerajaan. Justru kolonialisme yang membentuk bangsa Indonesia dari berbagai suku dan
kerajaan. Negara penjajah membentuk koloni tersendiri dengan sistem hukum yang
dibawanya. Ia memberikan identitas baru kepada penduduk di wilayah itu.
Hukum, memang akan selalu terkait dengan persoalan politik, ekonomi, dan sosial,
yang pada akhirnya tidak bisa lepas dari faktor sejarah. Berangkat dari sejarah politik
kolonialisme inilah, identitas bangsa Indonesia ‘lahir’ dari segi hukum. Paling tidak

dengan memberikan identitas baru: bumiputera, yang hidup bersisian dengan dua
golongan lainnya: Eropa dan China.

2.

PENCARIAN IDENTITAS HUKUM PASCAKOLONIALISME: 19451966

Proklamasi mendorong percepatan pembentukan identitas politik Indonesia. Dengan
segera konstitusi Indonesia disahkan dan institusi-institusi negara dibentuk. Sehari
setelah pernyataan kemerdekaan, Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun sejak
masa pendudukan Jepang digunakan sebagai UUD bagi suatu negara yang baru lahir.
Konsepsi mengenai institusi hukum modern semakin menguat dengan lahirnya UUD.
Perdebatan yang mewarnainya menunjukkan kontestasi ideologi yang menarik.
Pemikiran mengenai hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara, peran kekuasaan
kehakiman, dan lain sebagainya, muncul dalam pembentukan suatu UUD yang
dilahirkan prematur untuk mengambil momentum pernyataan kemerdekaan.
Perdebatan yang muncul ketika itu sebenarnya sudah semakin menandakan kuatnya
adopsi konsep ‘rule of law’ dan gagasan konstitusionalisme, yang bersumber pada soal
perlindungan hak warga negara dan pembatasan kekuasaan negara. Bahkan soal ini
dinyatakan pula dalam bagian ‘penjelasan’ UUD 1945 ketika itu, yang dimuat di dalam
Berita Negara RI. Dinyatakan bahwa Indonesia bukanlah suatu negara berdasarkan
kekuasaan, melainkan suatu negara berdasarkan hukum.
Meski gagasannya muncul, UUD 1945 hanya sedikit saja mengatur soal pembentukan
tatanan hukum yang baru. Karena kondisi revolusi, UUD 1945 memang tidak mengatur
segala sesuatunya secara rinci. Banyak kesepakatan politik di antara berbagai suku
bangsa yang hidup bersisian, yang harus diambil untuk lahirnya bangsa baru. Persoalanpersoalan bangsa yang besar mendapatkan titik kompromi yang maksimal, mulai dari
penentuan bentuk negara, batas wilayah, penduduk, sampai dengan bahasa.
Dalam soal hukum, satu koridor pembentukan hukum baru pascakolonialisme
ditetapkan. Hukum kolonial direncanakan untuk diganti secara gradual untuk tidak
menimbulkan kekosongan hukum. Aturan Peralihan Pasal II mengatur keberlakuan
badan negara dan peraturan yang ada selama belum ada yang baru. Dan penggolongan

6
penduduk hapus secara hukum dengan pernyataan mengenai warga negara Indonesia di
dalam UUD 1945.
Di bidang peradilan, dalam catatan Daniel S. Lev, unifikasi baru terjadi pada 1947,
ketika pemerintah menetapkan UU No. 7 Tahun 1947 yang mengatur mengenai
kekuasaan dan organisasi Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung. 8 Namun
undang-undang itu hanya mengatur secara singkat dalam enam pasal untuk menyatakan
bahwa MA dan Kejaksaan dari republik yang baru lahir telah ada sejak tanggal
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Gagasan besar mengenai adanya sistem peradilan
nasional Indonesia dibicarakan pada Juni 1948, meski dalam kenyataannya RUU itu
tidak dapat ditetapkan karena pendudukan kembali Ibukota Yogyakarta oleh Belanda.9
Dalam bidang peradilan di mana penggolongan hukum terjadi secara efektif, peradilan
adat dan Islam juga mengalami evolusi. Dukungan politik untuk eksistensi peradilan
Islam, dalam bentuk pengadilan agama bagi pemeluk agama Islam, kuat dan nyata
sehingga ia bertahan setelah kolonialisme. Namun tidak demikian halnya bagi peradilan
adat, yang tidak mendapatkan dukungan politik yang solid karena tidak ada kekuatan
politik yang memperjuangkan aspirasi adat secara khusus.10
Pertarungan wilayah politik yang berbuah pada konstelasi hukum kembali berlanjut
pada 1949. Perundingan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda yang
belum mengakui kemerdekaan Indonesia berujung pada lahirnya UUD Republik
Indonesia Serikat. Pemerintahan federal dengan sistem parlementer dilahirkan.
Namun UUD ini tidak berlaku lama. Pada 15 Agustus 1950, ditetapkan UU No. 7
Tahun 1950 yang menjadi dokumen kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia
Serikat dengan pemerintah daerah bagian Negara Republik Indonesia. UU tersebut
menyatakan UUD RIS sebagai Undang-undang Dasar Sementara Negara yang
berbentuk republik-kesatuan dengan nama Republik Indonesia, dengan janji untuk
membentuk UUD baru yang definitif oleh Konstituante yang dipilih melalui Pemilihan
Umum.
Maka periode penerapan sistem pemerintahan parlementer dimulai di Indonesia. Dalam
bidang penegakan hukum, Daniel S. Lev mencatat periode ini sebagai suatu masa di
mana wibawa lembaga penegak hukum memiliki integritas dan dihormati karena
independensinya, jauh lebih baik dari saat ini.11
Namun kondisi ini mulai memburuk pada akhir 1950-an, di mana lembaga-lembaga
hukum mulai dilemahkan secara politik.12 Pelemahan ini dilakukan secara politik antara
lain dengan menempatkan Ketua Mahkamah Agung di dalam kabinet dan menempatkan
militer di dalam Kejaksaan Agung. Hakim-hakim, menurut Soekarno, harus dilihat

8

Daniel S. Lev, Judicial Unification in Post-Colonial Indonesia.
Ibid.
10
Ibid.
11
Lihat Sebastiaan Pompe, “Demokrasi dan Rule of Law, Pelajaran dari 1950-an,” Majalah Tempo, 17
Agustus 2007. Untuk elaborasi mengenai kondisi pada masa demokrais parlementer, lihat juga: Daniel S.
Lev, The Politics of Judicial Developments in Indonesia, Comparative Studies in Society and History,vol.
VII, no. 2 (1966); Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, A study of Institutional Collapse,
(Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 2005), terutama Bab II.
12
Ibid.

9

7
sebagai “hakim rakyat revolusi.”13 Intervensi politik ini kemudian dikuatkan dalam teks
hukum. Hal ini terlihat dalam Penjelasan UU No. 13 Tahun 1965 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan hakim sebagai instrumen revolusi. Bahkan, dinyatakan
pula, proses peradilan bisa diintervensi oleh pemerintah atas nama revolusi, seperti
tercantum di dalam UU No. 14 Tahun 1964 tentang Mahkamah Agung.
Kondisi ini memuncak dengan masuknya era Demokrasi Terpimpin pada akhir 1950-an.
Dalam aspek hukum, jatuhnya gagasan “rule of law” dan konstitusionalisme ditandai
dengan dibubarkannya Konstituante, yang ditugaskan membentuk UUD baru yang
definitif pascakolonialisme, pada Juli 1959.
Jatuh-bangunnya tiga konstitusi dalam masa 1945-1959 menjadi catatan sejarah hukum
yang luar biasa. Bukan saja dalam pembentukan struktur hukum dan peradilan di
dalamnya, tetapi juga kontestasi gagasan dan ideologi yang terkandung di dalamnya.
UUD RIS dan UUDS merupakan teks hasil pertarungan kekuasaan pascakolonialisme di
antara berbagai kekuatan politik. Konstitusi memang lebih banyak dilihat sebagai
dokumen politik ketimbang hukum, namun ide untuk membentuk sistem hukum
Indonesia berjalan bersisian dengan pendokumentasian aspirasi politik di dalamnya.
Peleburan penggolongan peradilan warisan kolonial serta menguat dan melemahnya
lembaga peradilan dalam masa ini penting untuk dilihat sebagai bentuk lain tarik
menarik kekuasaan dalam hukum untuk mendefinisikan identitas kebangsaan.

3.

HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBANGUNAN: 1966-1998

Periode penting berikutnya dalam dinamika perkembangan hukum Indonesia adalah
pada masa Orde Baru. Kata kunci pembangunan juga digunakan dalam pengembangan
hukum masa Orde Baru. Ada dua hal penting yang didorong oleh arsitek hukum masa
Orde Baru. Pertama, berangkat dari kepercayaan bahwa masa penuh dinamika politik
telah berlalu dan stabilitas politik sudah terbit, muncul pemikiran yang kuat untuk
memulai unifikasi hukum pascakolonialisme secara lebih sistematis. Pembicaraan soal
identitas bangsa pascakolonialisme muncul dengan kuat dalam bentuk unifikasi hukum
– suatu istilah untuk menamakan digantinya hukum warisan kolonial menjadi ‘hukum
nasional’.
Kedua, pembangunan yang tengah diupayakan oleh pemerintah harus disokong oleh
semua aspek, termasuk aspek hukum. Sehingga hukum juga harus mampu untuk
memfasilitasi pembangunan hukum dan mendorong modernisasi. ‘Pembangunan’ yang
dimaknai dengan bangunan fisik dan angka statistik, membutuhkan kondisi politik yang
stabil. Pertumbuhan ekonomi harus dicatat dengan baik setiap, tanpa adanya hambatan
yang disebabkan oleh gejolak sosial-politik. Asumsinya, pembangunan ekonomi hanya
akan berhasil jika didukung oleh stabilitas nasional yang mantap.14

Lihat Sukarno, “Djalankan Kewadjibanmu sebagai hakim rakjat hakim revolusi,” Varia Peradilan 4,
(1965): 3. Pada Agustus 1960, enam bulan setelah menempatkan Ketua Mahkamah Agung sebagai
menteri di dalam Kabinet, Soekarno juga mengecam keras prinsip trias politica. Lihat: Herbert Feith,
Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta: SInar Harapan, 1995), terutama Bagian Ketiga:
Struktur Konstitusi dan Ideologi Demokrasi Terpimpin.
14
Juwono Sudarsono, “Integrasi, Demokrasi, dan Pembaruan Politik,” Kompas, 2 Desember 1987.

13

8
Kedua cita-cita hukum tadi, sebut saja unifikasi dan hukum untuk pembangunan, dijalin
dalam pembentukan hukum selama masa Orde Baru. Berbagai ketentuan normatif,
dengan cita-cita unifikasi hukum, dibentuk sebagai alat untuk mencapai stabilitas
nasional tadi. Di sisi lainnya, cita-cita konstitusional Orde Baru untuk menerapkan
UUD 1945 “secara murni dan konsekuen” melahirkan pemaknaan atas teks UUD 1945
yang memang singkat dan tidak terlalu jelas memberikan aturan main bagi
penyelenggaraan pemerintahan.
UUD 1945 misalnya, dianggap mengandung motivasi “social engineering” atau tekad
untuk menciptakan suatu masyarakat Indonesia yang modern dan baru.15 UUD 1945
juga dianggap mengandung konsep negara integralistik. Pada tingkat pengaturan,
konsep negara integralistik ini dipahami dengan menunjukkan relasi antara kedaulatan
rakyat yang dianggap habis disalurkan kepada MPR, yang kemudian memberikan
mandat kepada presiden untuk membentuk peraturan perundang-undangan dan
menyelenggarakan pemerintahan.16
Dalam kerangka pembangunan dan stabilitas pula, muncul pula gagasan kuat
mengenai hukum sebagai alat untuk mengarahkan pembangunan. Gagasan ini terlihat
salah satunya dalam instrumen perencanaan hukum yang dibuat oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN). Instrumen perencanaan hukum ini yang disebut Prolegnas
dan dibentuk pada 1977 ini ditujukan untuk menghasilkan legislasi yang terencana
dengan jelas dan diarahkan. Soal “mengarahkan” ini bisa disimpulkan dari konsepsi
“keterlibatan Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam politik hukum”17 seperti
diungkapkan oleh Prof. Sunaryati Hartono:
“Jelas bahwa untuk setiap bidang (sektor dalam lingkaran) Hukum diperlukan
keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat
penegak hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat, agar
supaya pada akhirnya peraturan perundang-undangan yurisprudensi dan hukum
kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap
bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan
organisasi yang “mengarahkan” dan mensinkronkan semua usaha oleh masingmasing “pelaku” dalam proses pembentukan Hukum Nasional. Inilah yang
menjadi tugas Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk memikirkan konsep
dan perencanaannya yang mengandung asas-asas pengikat, agar supaya
pembangunan seluruh Sistem Hukum Nasional, tetapi juga masing-masing
bidang Hukum berlangsung secara sinkron, terpadu dan sistemik. Di sinilah
keterlibatan Badan Pembangunan hukum Nasional dalam politik hukum."
“Unifikasi” menjadi kata kunci dalam “pembangunan hukum” di masa Orde Baru. Katakata kunci pada masa Orde Baru seperti “pengarahan” dan “pembinaan”
dikonseptualkan pada bidang hukum menjadi unifikasi. Unifikasi dimaknai sebagai
keterpaduan dan kesearahan, suatu model pembentukan berbagai undang-undang yang
Sunaryati Hartono, “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia,”
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Fakultas HUkum Universitas
Padjadjaran, 1 Agustus 1991.
16
Lihat A. Hamid. S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara: Sutau Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun
Waktu Pelita I-Pelita IV,” Disertasi Doktor pada Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Desember 1990.
15

17

Hartono, loc. cit.

9
diarahkan sedari awal untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai tentu
saja pembangunan yang didukung oleh stabilitas.
Hal ini dilakukan misalnya dengan membuat paket undang-undang politik (UU Pemilu,
UU Partai Politik, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD) yang
menutup pintu masuk bagi aspirasi politik di luar aspirasi politik yang dominan ketika
itu. Akibatnya, sudah bisa diduga siapa saja yang akan menduduki jabatan di MPR,
yang setiap tahunnya selama 32 tahun telah bersepakat untuk memilih Suharto sebagai
presiden. Dengan politik legislasi itu pula, kebebasan berbicara dihalang-halangi, agar
kritik dari masyarakat sipil tidak mengganggu stabilitas ekonomi pemerintah. Misalnya
saja dengan adanya Undang-Undang No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan
Tindakan Subversi, yang dapat dengan mudah digunakan untuk menangkap orang-orang
yang dianggap mengganggu stabilitas politik.18 Demikian pula. undang-undang tentang
organisasi massa juga dibuat sebagai alat kontrol bagi organisasi-organisasi massa dan
undang-undang mengenai referendum untuk mengubah UUD dibuat untuk menutup
jalan bagi perubahan UUD 1945.
Di ranah hubungan pusat dan daerah, lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan di Daerah lahir dengan nuansa sentralistik. Lima tahun sesudahnya,
muncul pula Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang
menyeragamkan bentuk kesatuan masyarakat terkecil di seluruh nusantara menjadi
“desa” sebagaimana dikenal di Jawa.
Sementara itu, di ranah institusional, pelemahan institusi penegak hukum negara
dilakukan secara politik, dengan meneruskan intervensi lembaga eksekutif pada
lembaga yudikatif. Meski paksaan politik tidak lagi dilakukan secara terang terangan
melalui pernyataan politik dan hukum seperti masa Soekarno, disain institusionalnya
membuat Mahkamah Agung menjadi lemah. Persoalan sesungguhnya bukan terletak
hanya pada soal satu atau dua “atap” seperti yang selama ini dikira. 19 Namun lebih
kepada masuknya kultur birokrasi dan metode pengelolaan organisasi serta keuangan
sebagai akibat dari diposisikannya pegawai Mahkamah Agung sebagai pegawai negeri
sipil.
Hukum memang strategis sebagai jalan untuk mencapai stabilitas dan mendorong
pembangunan karena hukum memberikan kerangka bagi penyelenggaraan
pemerintahan. Hukum juga kuat karena kekuatan memaksa (coercive) yang dimilikinya.
Teks hukum menjadi ruang yang strategis untuk mengontrol segala pola kehidupan.
Mulai dari kebebasan berbicara sampai pengelolaan sumber daya alam. Ruang
perencanaan hukum diarahkan secara ketat melalui program legislasi nasional dan
pembentukannya pun dilakukan dalam situasi politik yang eksklusif dengan disain
parlemen yang tertutup tanpa adanya partisipasi publik. Sementara itu, institusi penegak
hukum secara taktis dikuasai untuk memberikan pemahaman atas hukum di pengadilan
yang menguntungkan bagi penguasa.
Ruang untuk berdiskusi soal hukum sangat sempit, sebagaimana pula sempitnya celah
untuk mendiskusikan aspek-aspek lainnya. Diskusi hukum seringkali diarahkan pada
18

Untuk diskusi yang lebih mendalam mengenai undang-undang ini, lihat antara lain: Loebby Loqman,
Delik Politik di Indonesia (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1993).
19
“Dua atap” mengacu pada aspek administrasi yang ketika itu diletakkan di bawah atap Departemen
Kehakiman sementara atap sebenarnya ada di Mahkamah Agung.

10
hukum dalam bentuknya yang teknokratik. Pendidikan hukum diarahkan untuk
melahirkan sarjana-sarjana hukum yang “siap pakai”, untuk terjun ke dunia hukum
praktis, baik di dalam institusi birokrasi hukum maupun institusi swasta. Hukum lebih
banyak difungsikan sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Karena itu, tidak banyak
pemikiran hukum di luar arus utama (mainstream) yang muncul selama masa Orde
Baru.
Para advokat pun terkooptasi oleh kekuasaan Orde Baru. Tidak ada suatu organisasi
advokat yang menegakkan etika profesi dan menjaga profesionalisme profesi hukum.
Berbagai organisasi advokat bermunculan tanpa adanya satu kode etik dan standarisasi
profesi hukum.20 Ujian profesi advokat pun dijalankan bukan oleh organisasi advokat,
namun oleh pengadilan. Untuk menjadi advokat, ketika itu, mereka harus membayar
sogokan. Sama halnya dengan untuk menjadi hakim dan jaksa.
Kondisi ini menyisakan tiga pilihan bagi sarjana-sarjana hukum pada masa itu: (1)
bekerja di dalam sistem yang korup dengan menjadi hakim, jaksa, ataupun advokat, (2)
berkutat pada urusan hukum bisnis tanpa harus bersentuhan dengan pengadilan, atau (3)
bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum. Pilihan terakhir tak banyak diambil.
Namun lahirnya Lembaga Bantuan Hukum pada 1971 merupakan suatu langkah penting
dalam dunia hukum Indonesia. Bukan saja karena arena kerjanya yang penting bagi
pencari keadilan yang tidak mempunyai akses kekuasaan. Tapi terlebih karena di balik
pendirian LBH terkandung gagasan rule of law yang berisi soal pembatasan kekuasaan
dan perlindungan hak asasi manusia.21
Uraian singkat di atas tentunya tidak akan cukup untuk menjelaskan bangunan hukum
Orde Baru secara rinci. Namun secara umum, gambaran mengenai hukum yang
dihasilkan adalah hukum yang mengerangkeng. Disain ketertutupan ruang politik dibuat
dalam hukum, dan dalam ruang politik yang tertutup itu kemudian hukum-hukum
lainnya dihasilkan dan diterapkan. Hukum menjadi alat kekuasaan yang menjerat seperti
jaring laba-laba: menjerat kuat bagi yang kecil, namun dapat dengan mudah
dihancurkan dan dibentuk oleh yang besar.
Bila pada masa sebelumnya tiga konstitusi silih berganti menjadi dasar penyelenggaraan
negara yang baru lahir dengan pencarian identitas kebangsaan yang kuat, masa Orde
Baru menandakan suatu pemahaman lain tentang hukum. Konstitusi diposisikan sebagai
sesuatu yang sakral tanpa bisa diubah dan diganggu gugat bersama dengan dasar negara
Pancasila, dengan interpretasi yang diatur ketat. Lantas ruang pembentukan dan
penegakan hukum ditutup bagi pihak di luar jaringan kekuasaan. Hukum berada di
bawah politik. Dalam bahasa Nonet dan Selznick, yang terjadi adalah hukum represif,
yaitu hukum yang berada di bawah kekuasaan politik dan digunakan untuk tujuan
ketertiban dan dikontrol penuh oleh politik penguasa. “Identitas hukum” yang dituju
dibahasakan sebagai “unifikasi hukum.” Unifikasi hukum ini ditujukan untuk mengganti
hukum-hukum warisan kolonial. Namun demikian pola-pola pembentukan hukum yang

20

Terakhir pada masa pembentukan UU Advokat (UU 18/2003) pada 2003 tercatat adanya delapan
organisasi. Tentang kondisi profesi hukum di Indonesia, lihat: Binziad Kadafi, dkk., Advokat Indonesia
Mencari Legitimasi, Penelitian tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: PSHK,
2001).
21
Daniel S. Lev, “Legal Aid in Indonesia,” Monash University Southeast Asian Studies Working Paper
(Clayton, Victoria, 1988).

11
dibuat secara mekanistik dan terencana ini sesungguhnya dipolakan untuk menyokong
pembentukan hukum yang ditujukan untuk stabilias pembangunan.

4.

‘REFORMASI HUKUM’: 1998-2007

Turunnya Suharto dari kursi kepresidenan menjadi penanda perubahan yang penting
bagi Indonesia. Perubahan politik tersebut membawa serta tuntutan perubahan, selain
terjadinya dispersi kekuatan politik kepartaian, juga mengkonstruksi kata kunci baru
dalam politik, yakni ‘demokrasi’, ‘keadilan’ dan ‘penegakan hukum’.
Masuknya tiga kata kunci baru ini berakibat pada perubahan besar-besaran dalam
wilayah pembentukan dan penegakan hukum. Begitu banyak peraturan perundangundangan yang dihasilkan sejak 1998 sampai saat buku ini diterbitkan. Tak kurang dari
300-an undang-undang sudah diundangkan. Penyebabnya, tak lain karena begitu banyak
perubahan yang harus dilakukan, dan kebanyakan perubahan itu harus dilakukan
melalui perubahan peraturan perundang-undangan.
Dua isu yang menjadi fokus utama pasca-1998 adalah pemberantasan korupsi dan hak
asasi manusia (HAM). Dua wilayah ini menjadi perhatian utama isu pembaruan hukum
karena kondisi keduanya yang begitu buruk selama masa Orde Baru.
Pernyataan politik mengenai penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dituangkan di
dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999. Kemudian pada 1999 diundangkan UU No.
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjabarkan hak-hak asasi serta
menjadi dasar dalam bentuk undang-undang bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.22 Setahun kemudian diundangkan UU No. 26
Tahun yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia. Menyusul
kedua undang-undang itu, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia dituangkan di
dalam konstitusi pada amandemen keempat tahun 2002.
Dorongan perbaikan di bidang HAM terus berlanjut. Pada 2004, DPR dan presiden
mengesahkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Lantas pada 2005, kovenan internasional mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya
serta kovenan mengenai hak-hak sipil dan politik diratifikasi masing-masing dengan UU
No. 11 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005. Rencana Aksi Nasional di
bidang HAM juga ditetapkan untuk menjadi acuan dalam menegakkan dan
memajukan perlindungan HAM.
Sementara itu, pemberantasan korupsi dinyatakan secara politik dalam Ketetapan MPR
No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Dalam ketetapannya itu MPR menginstruksikan DPR
dan pemerintah untuk membentuk kebijakan untuk memberantas korupsi, termasuk
menyiapkan proses peradilan bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Suharto
dan kroninya. Sama halnya dengan isu HAM, dorongan yang besar untuk memberantas
korupsi juga segera direspon dalam legislasi. Pada 1999, DPR dan pemerintah
mengundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
22

Sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia didirikan dengan Keputusan Presiden No. 50 Tahun
1993.

12
Korupsi, yang menggantikan UU yang lama, yaitu UU No. 3 Tahun 1971. Undangundang ini memuat pengaturan yang lebih rinci mengenai tindak pidana korupsi serta
memperberat ancaman sanksinya.
Kembali dengan pola yang sama dengan pemberantasan HAM, UU 31 Tahun 1999 juga
memuat dasar bagi pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
KPK kemudian didirikan secara khusus dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini pun memuat pendirian
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, yang sama dengan Pengadilan HAM,
diletakkan di bawah yurisdiksi pengadilan umum.
Sama halnya dengan isu HAM, Rencana Aksi Nasional di bidang Pemberantasan
Korupsi juga ditetapkan. Lebih lanjut, berbagai upaya juga ditempuh untuk
mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Misalnya dengan hadirnya Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dengan Instruksi Presiden No.
11 Tahun 2005. Untuk menunjukkan komitmennya pada dunia internasional, tak kalah
dengan bidang hak asasi manusia, di bidang pemberantasan korupsi juga dilakukan
ratifikasi konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi (United Nations convention
Against Corruption) dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 2006.
Bidang pemberantasan korupsi dan penegakkan dan pemajuan HAM memang menjadi
fokus utama dalam bidang hukum. Seperti dikatakan di atas, dua wilayah ini menjadi
perhatian utama karena kondisi keduanya yang begitu buruk selama masa Orde Baru.
Karena itulah, terlihat tiga pola yang jelas dalam upaya pembaruan hukum di kedua
bidang ini.
Pertama, dari segi kebijakannya. Terdapat pola yang sama dalam alur pembentukan
kebijakan pada kedua bidang ini. Berawal dari pernyataan politik dalam bentuk
Ketetapan MPR, kemudian dibentuk undang-undang yang memberikan dasar bagi
tindakan yang dilakukan untuk mengupayakan pembenahan di kedua bidang ini. Lantas
dibentuk institusi khusus yang menangani dua isu ini serta sebuah dokumen rencana
aksi yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjalankan upaya pembaruan.
Kedua, ada upaya luar biasa dalam konteks institusi. Tampaknya ada asumsi bahwa
pengadilan yang ada sekarang tidak akan dapat berfungsi secara maksimal dalam kedua
hal ini. Karena itu, pengadilan di bidang HAM dna korupsi perlu diisolasi dalam
pengadilan tersendiri. Isolasi ini dalam hal pembedaan pola penyelesaian perkaranya,
yaitu dengan adanya hakim-hakim ad-hoc, yang ditarik dari ‘luar’ (bukan dari
lingkungan peradilan) untuk bertugas sementara dalam masa tertentu di pengadilan
HAM dan korupsi. Jangka waktu penyelesaian kasus pun dibuat berbeda, untuk
memastikan adanya kepastian penyelesaian kedua kasus ini mengingat tidak pastinya
suatu perkara biasanya diputuskan di lembaga peradilan. Lahirnya Komnas HAM dan
KPK bisa saja dilihat sebagai pola pembentukan komisi yang khusus menangani isu-isu
ini, namun perlu dicatat bahwa Komnas HAM sesungguhnya sudah terbentuk sejak
1993. Komisi lainnya yang bisa diletakkan dalam konteks pola ini untuk bidang HAM
adalah KKR.
Ketiga, terdapat upaya untuk memasukkan standar internasional ke dalam upaya
pemberantasan korupsi dan penegakan serta pemajuan HAM, dengan diratifikasinya
instrumen-instrumen hukum internasional yang terkait. Upaya ratifikasi ini pun

13
dilakukan secara serius salah satunya melalui rencana aksi nasional yang tidak hanya
memuat rencana ratifikasi instrumen hukum internasionla yang terkait, tetapi juga upaya
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait. Komitmen pemerintah
terhadap standar internasional ini merupakan bentuk bekerjanya tekanan internasional
dalam sistem hukum Indonesia. Tekanan ini bisa punya arti positif maupun negatif.
Dalam konteks ratifikasi di bidang HAM dan pemberantasan korupsi, tekanan ini punya
arti positif.
Perubahan juga terjadi di wilayah prosedur pembentukan hukum di legislatif dan
yudikatif. Prosedur pembentukan undang-undang mengalami perubahan dengan
pernyataan kekuasaan legislatif yang lebih kuat dalam proses legislasi. Hal ini
dinyatakan di dalam amandemen UUD 1945. Proses legislasi pun menjadi ‘unik’ dari
segi disain konstitusional karena dua hal. Pertama, setiap undang-undang membutuhkan
‘persetujuan bersama’ presiden dan DPR di satu sisi, namun presiden bisa menolak
menandatangani undang-undang yang sudah disetujui bersama itu. Kedua, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk untuk mewakili daerah dalam pengambilan
keputusan di tingkat nasional, namun tidak diberi kekuatan untuk berkompetisi politik.23
Sedangkan di tingkat teknis proses legislasi, muncul ruang politik yang lebih terbuka
dengan dihilangkannya pembatasan partai politik dan perubahan sistem pemilu sehingga
pembentukan hukum pun dibawa ke ranah publik sebagai alat politik. Proses legislasi
pun untuk pertama kali dibakukan dalam sebuah undang-undang melalui UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di situ dimuat
prosedur pembentukan legislasi mulai dari perencanaan sampai dengan sosialisasi, yang
juga melibatkan partisipasi masyarakat.
Di satu sisi hiruk pikuk pembentukan hukum ini positif karena dengan demikian arena
pembentukan hukum menjadi terbuka dan bisa dicampuri. Namun di lain sisi lainnya
aktor pembentukan hukum menjadi semakin banyak dan hukum pasar juga bekerja di
ruang pembentukan hukum tersebut.
Wilayah yudikatif pun mengalami reformasi. Reformasi ini diawali dengan dari
“penyatuan atap” lembaga yudikatif, dari yang sebelumnya berada di bawah kendali
Departemen Kehakiman untuk aspek administrasi dan Mahkamah Agung untuk aspek
yudisial, menjadi sepenuhnya berada di bawah Mahkamah Agung. Penyatuan atap ini
kemudian diikuti secara oleh upaya pembaruan institusional di tubuh Mahkamah
Agung. Antara lain dengan lahirnya Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung pada
2003 dan kertas-kertas kerja pembaruan peradilan pada tahun yang sama.
Masih di dalam hal institusi penegakan hukum. Amandemen UUD 1945 juga
melahirkan dua lembaga baru dalam bidang peradilan pada amandemen ketiga tahun
2001, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berperan dalam
proses pemakzulan atau impeachment presiden dan wakil presiden dengan
23

Lebih lanjut mengenai kritik konstitusinal atas prosedur pembentukan undang-undang ini, lihat: Bivitri
Susanti, “Menyoal Kompetisi Politik dalam Proses Legislasi di Indonesia,” Catatan pengantar diskusi
“Disain Baru Sistem Politik Indonesia,” yang diadakan oleh CSIS, Jakarta, 22 Maret 2006.

14
kewajibannya memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Komisi Yudisial, duduk
berposisian dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Benarkah ada ‘reformasi hukum’?
Elaborasi mengenai perubahan teks dan institusi hukum di atas seakan memberikan
gambaran yang indah: reformasi hukum berjalan dengan baik, dibuktikan dengan
lahirnya seperangkat peraturan perundang-undangan serta institusi-institusi baru.
bernarkah demikian?
Indahnya catatan di tingkat teks perlu diberi dua catatan penting: pertama, discourse
yang bekerja di dalam dunia hukum sesungguhnya masih sama dan kedua, pembenahan
di teks dan institusi tidak berjalan mulus dalam impementasinya.
Lihat saja discourse yang digunakan dalam politik legislasi. Di dalam UU No. 25/2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) periode 2000 – 2004 tercatat
sebagai salah satu program pembangunan di bidang hukum: program pembentukkan
peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa program pembentukkan peraturan
perundang-undangan bertujuan “mewujudkan supremasi hukum” 24 dengan sasaran
“terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan kebutuhan pembangunan”.25
Demikian pula, Prolegnas 2005-2009 menguatkan kembali politik legislasi yang
menggunakan pandangan hukum sebagai alat rekayasa sosial. Yang dibicarakan ini
bukanlah daftar RUU yang dimuatnya, tetapi sebuah pernyataan tegas yang dimuat
sebagai bagian pendahuluan dari Prolegnas tersebut. Dalam bagian pendahuluan
Prolegnas dikatakan,
“Supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat
bidang pembangunan lainnya serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui satu sistem hukum
nasional. Hukum sebagai landasan pembangunan bidang lainnya bermakna
teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/pembangunan (law
as a tool of social engineering), instrumen penyelesaian masalah (dispute
resolution) dan instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control)...”
Implementasi pembenahan di tingkat teks dan institusi juga tidak berjalan mulus. Meski
model pengadilan nasional yang khusus mengadili masalah HAM terdengar menarik
dan baik bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, ada satu catatan penting
di dalam UU No. 26 Tahun 2000. Dikatakan di dalam undang-undang itu, untuk
pelanggaran HAM yang terjadi sebelum undang-undang itu disahkan (2000),
pembentukan pengadilan HAM untuk kasus itu harus terlebih dulu mendapatkan
keputusan politik dari DPR. Karena itulah, bahkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi
24
25

Lampiran UU Propenas. Bab III Huruf C angka 1.
Lampiran UU Propenas. Bab III Huruf C angka 1.

15
pada 1998-1999, yaitu Kasus Trisakti serta Semanggi I dan Semanggi II, justru tidak
pernah diakui secara politik sebagai pelanggaran HAM sehingga hingga kini kasusnya
belum pernah disidangkan.
UU KKR, yang dianggap sebagai salah satu jalan keluar bagi keadilan di masa transisi
(transitional justice) kemudian terjungkal di Mahkamah Konstitusi. UU KKR
dibatalkan secara keseluruhan pada akhir 2006, setelah para kandidat anggota KKR
tidak kunjung disahkan meski sudah diajukan sejak dua tahun sebelumnya. Pengadilan
Khusus Tindak Pidana Korupsi juga mengalami hal yang sama di Mahkamah
Konstitusi. Pengadilan ini dinyatakan inkonstitusional sampai dengan dibentuknya suatu
undang-undang yang khusus mengatur mengenai pengadilan ini.
Pada wilayah pembentukan hukum, fenomena lainnya terjadi. Terbukanya ruang
pembentukan hukum ternyata juga memasukkan pemain-pemain baru yang membawa
misi yang berbeda. Ada norma-norma dari kelompok dominan yang hendak diadopsi ke
dalam hukum. Sebut saja misalnya masuknya arus adopsi norma kesusilaan dan agama
ke dalam norma hukum. Peraturan-peraturan daerah yang dilandaskan pada nilai-nilai
keagamaan lahir. Hal yang sama terjadi dalam pembentukan peraturan perundangundangan di tingkat nasional. Misalnya saja keluarnya RUU tentang Anti-Pornografi
dan Pornoaksi yang sangat kontroversial itu.26 Begitu pula dengan masuknya
pengaturan serupa dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana nasional.
Persoalannya adalah, di wilayah politik tidak terjadi perubahan yang berarti dari praktek
politik dan orientasi kekuasaan di masa Orde Baru maupun sesudahnya. Dalam catatan
Ignas Kleden mengenai orientasi kekuasaan, politik Indonesia tidak mengalami
perubahan apa pun, baik sebelum maupun sesudah reformasi. Karena menurutnya,
orientasi utama dalam realpolitik masih pada usaha memperebutkan kekuasaan (power
building) bukannya efektifitas penggunaan kekuasaan (the use of power).27
Tentu saja juga tidak tepat untuk mengatakan bahwa reformasi hukum sama sekali tidak
terjadi. Reformasi hukum berjalan, namun dengan sangat lambat karena kebanyakan
aktor di bidang reformasi hukum luput melihat bekerjanya proses politik dalam hukum
secara lebih hati-hati.
Perebutan kekuasaan dalam hukum menjadikan hukum sekali lagi dijadikan alat
identikasi kelompok yang dominan. Di satu sisi pemain-pemain lama tetap ada untuk
mempertahankan discourse hukum Orde Baru. Namun di sisi yang lain kekuatankekuatan baru yang muncul karena ruang politik yang terbuka menggunakan hukum
untuk melegitimasi kekuatannya. Akibatnya, sekali lagi yang tertinggal adalah
kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses kekuasaan.
5.

REFLEKSI

Uraian di atas bertutur mengenai satu hal: hukum yang selalu digunakan sebagai “alat”
dari kekuatan yang dominan. Pasalnya, seperti dinyatakan di bagian awal, hukum
strategis dalam perannya sebagai alat mengatur yang sah. Kekuatan yang dominan akan
26

RUU ini sudah berganti judul dan materi muatannya sehingga hanya mengatur pornografi.
Ignas Kleden, “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998 – Mei 2003)”, dalam Analisis
CSIS, No.2 tahun XXXII/2003, hlm. 162

27

16
selalu berupaya penuh untuk mempengaruhi ruang pembentukan hukum. Baik di tingkat
teks maupun pelaksanaan teks tersebut.
Hukum karenanya juga menjadi ruang dalam pembentukan identitas dan pertarungan
kekuatan politik. Kalau dulu bangsa ini diberi identitas melalui hukum oleh Belanda,
sekarang berbagai kelompok masyarakat berlomba untuk diberi identitas oleh hukum.
Melalui pertarungan politik pembentukan hukum di parlemen serta perubahan di tingkat
institusi penegakan hukum.
Maka sama sekali tidak betul untuk melihat hukum dari kaca mata kuda yang sempit
dan cenderung meminggirkan konteks berlakunya hukum. Seperti dikatakan Satjipto
Rahardjo yang dikutip pada bagian awal bab ini, “Kebudayaan, aspirasi, cita-cita, dunia
nilai-nilai tetap merupakan variabel bebas yang turut menentukan penampilan akhir dari
hukum.” Variabel bebas ini tidak mungkin dibatasi dan diisolasi dari hukum.
Sebagaimana halnya bekerjanya sistem politik tidak mungkin dipisahkan dari
pembentukan hukum. Pencaria