MORAL DALAM LINTASAN FILSAFAT DAN TEORI
DIMENSI MORAL
DALAM BENTANGAN FILSAFAT DAN TEORI HUKUM
Oleh
Slamet Haryadi1
A. PENDAHULUAN
Worldview modern, beserta tatanan sosial yang dihasilkannya, ternyata
telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan
alam:
“Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan
menjadi subyek-objek, spiritual-material, manusia-dunia dan
sebagainya telah mengakibatkan obyektivisasi alam secara berlebihan
dan pengurasan alam semena-mena. Sehingga mengakibatkan krisis
ekologi.
Kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivistis dan positivistis
akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah sebagai obyek juga,
dan masyarakatapun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah
bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.
Ketiga, dalam modernism ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau
menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah, bahwa
nilai-nilai moral-relegius kehilangan wibawanya. Alhasil timbullah
disorientasi moral-relegius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula
meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan
senterusnya.
Ke-empat adalah materialisme. Jika kenyataan terdasar tidak lagi
ditemukan dalam religi Maka materilah yang dianggap sebagai
1
Dosen Tetap STIH Muhammadiyah Kotabumi
1
kenyataan terdasar. Materialisme ontologisme ini didampingi pula
dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi
keinginan yang tidak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol
hal-hal material.”2
Worldview di atas, di Indonesia dapat diamati dengan banyaknya
fenomena alam, banjir yang terus menerus, tanah longsor, dan bencana alam
yang silih berganti. Hilangnya otoritas moral, relegius dan orientasi kehidupan
materialistis telah menuai, tumbuh suburnya korupsi oleh praktik suap, 3
penyelenggara negara (pejabat publik dan penegak hukum) disemua sektor
kehidupan.
Kehidupan
free
sex,
dengan
kawin
cerai,
nikah
siri,
perselingkuhan. Narkotika, dan meningkatnya berbagai modus kejahatan
anak, membenarkan hilangnya martabat kemanusiaan.
Para pelaku berupaya agar perbuatannya tidak diketahui dan tidak
terjamah oleh hukum, menutupi perbuatannya dengan melemahkan hukum,
“menyuap”, berkolusi ataupun “gratifikasi” kepada Penegak hukum agar bisa
terlepas dari sanksi hukum.4
2
I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:Kanisius,1996)
Hal.29.
3
Indonesia No 1
4
Ketika pejabat-pejabat korup menyuap dan memberi (grativikasi) kepada penegak hukum, maka
kalau yang disuap hakim, maka hakim tersebut adalah hakim korup karena telah berkorupsi.
Lihat Pasal 6 ayat (1), dan ayat (2) dan Pasal 12 c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
riTentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah di ubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 21 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi.
2
Hakim dengan irah-irah “Demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” semestinya bisa menjadi tauladan dalam berhukum dengan
berusaha mencari dan menegakkan keadilan, bukan sebaliknya terlibat dan
menjadi dalang praktek suap, membenarkan yang membayar dan melemahkan
hukum bagi yang tak punya untuk membayar. Perilaku hakim seperti itu
digambarkan dalam penelitian Teddy Asmara sebagai Budaya Ekonomi
Hukum Hakim. Hakim materialistis sebagai hakim rakus 5. Gambaran hakim
materialistis adalah gambaran tata sosial dunia modern dan “hukum modern”
dalam arus utama paradigma Positivistik.6
Paradigma positivistik dalam filsafat modern beserta tata dunia
modern dan hukum modernnya, persis dengan yang dikemukakan Descartes.:
Manusia membutuhkan
pengetahuan praktis yang memungkinkan
manusia mengenali daya dan kekuatan dari semua unsur dan segala
sesuatu yang ada disekitar kita, sehingga menjadikan kita “Tuan” dari
pemilik alam ini. Sedangkan pandangannya terhadap manusia sendiri
Descartes membagi dalam dua hal jiwa sebagai pemikiran (res cogitan)
dan tubuh sebagai keluasan (res extensa), keduanya berdiri sendiri dan
tidak saling bergantung. Jiwa/pemikiran tidak memiliki keluasan spasial
5
6
Hakim materialistis yang oleh komunitas pengadilan diberi label hakim “Buser” dan hakim
“KKO” karena tindakannya dalam berhukum seperti yang tidak mau atau tidak mampu
membendung pikirannya yang berorientasi kepada keuntungan materi. Watak keserakahannya
telah mendorong melakukan tindakan yang mengiyakan keinginan dua pihak yang berseteru
dan memenagkan pihak yang membayar yang lebih tinggi. Lihat Teddy Asmara, Budaya
Ekonomi Hukum Hakim (Semarang,Fasindo,2011),hal.203-213.
Paradigma positivistic adalah gerakan pemikiran yang berpangkal pada
pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh
Descartes dan memperoleh eksistensinya oleh gerakan pencerahan
(Einligtment/Aufklarung) dan menjadi hegemoni hingga abad keduapuluh ini
melalui dominasi sains dan kapitalisme. Lihat.
3
(panjang, pendek, luas, lebar dsb), demikian pula tubuh/keluasan tidak
mempunyai kemampuan berpikir.7 Oleh karena itu tidak heran manusia
dalam bentuknya sebagai raga (tubuh/keluasan) diperbudak oleh
pemikirannya sesuai dengan keinginannya. Dalam gambaran hukum
modern, maka hukum dalam bentuknya yang tertulis menjadi cara
pandang berhukum di Indonesia hingga sekarang, hakim sebagai
penyampai pesan undang-undang. Maka selain gambaran dunia modern
dan gambaran hukum modern menyatu dalam cara pandang Hakim, adalah
hakim materialistis dan tidak kritis, karena semata mendasarkan pada
bunyi teks undang-undang, meskipun bertentangan dengan hati nurani
yang menyuarakan moralitas.8 Dalam keadaan seperti itu, dimungkinkan
sekali pertimbangan hukum putusan disusun tidak tersentuh oleh nilai
kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Putusan pengadilan yang dibuat
terpisah antara teks dan rasio dengan hati nurani yang menjadi
pertimbangan keadilan. Narasi putusan dirumuskan sebagai “permainan
kata-kata” (casuistry) oleh hakim-hakim profesional yang dicari dalam
teks undang-undang yang dapat dianggap membenarkan sehingga
mendapatkan justifikasi logika hukum.
Mengungkap keadilan dalam realitas hukum tidak akan pernah mampu
menembus rasa keadilan karena kehidupan sudah terkonstruksi oleh
konsekuensi kehidupan modern yang materialistis dan cenderung tidak mau
bersusah payah, Paradigma positivism dalam bentuk “hukum modern” legal
Positivistik menampakan karakternya yang sama logis rasional. Pencarian
7
8
Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual;Konfrontasi dengan Para
Filsuf dari Zaman Yunani hingga zaman Modern
(Yogyakarta:Kanisius,2004),hal.206-210.
Hati nurani adalah instansi dalam diri yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan,
secara langsung, kini dan disini. Dengan hati nurani dimaksudkan penghayatan baik atau buruk
berhubungan dengan tingkah laku konkret. Hati Nurani ini memerintahkan atau melarang untuk
melakukan sesuatu kini dan disini. Tidak mengikuti hati nurani, berarti menghancurkan
integritas pribadi dan menghianati martabat terdalam. K.Bertens, Etika
(Jakarta;Gramedia Pustaka Utama,2011). hal.56
4
keadilan (searching to justice) berhenti pada narasi teks undang-undang dan
Uang yang datang. Inilah kebudayaan modern
Oleh karena itu berpijak pada situasi sosial yang ada, maka moral
adalah pusat permasalahan. Moral adalah martabat manusia yang melekat
pada hati nurani9 kepribadian manusia, merupakan domein yang dipinggirkan
dalam wacana rasionalitas modern, oleh karena itu membangkitkan moral
sebagai pokok persoalan ditengah modernitas kehidupan yang penuh korupsi,
merupakan refleksi kritis atas paradigma positivisme dengan tata sosial
modernitasnya.
Hukum modern juga telah memisahkan hukum dan
moral dalam
kerangkeng legal positivistik10 yang memang telah lama bersemayam dalam
alam berhukum para hakim di Indonesia. Oleh sebab itu wacana moral
9
Moral harus dibedakan dengan budaya meskipun keduanya membicarakan
kebiasaan-kebiasaan manusia dalam berbagai traraf kebudayaan dan
peradaban. Seperti dalam Antropologi Budaya, yang dipelajari asal muasal
perkembangan adat kebiasaan manusia tanpa melancarkan keputusan
tentang kebenaran dan kesalahan moral dari adat kebiasaan tersebut. Justru
dari kebenaran dan kesalahan dari adat kebiasaanj itulah yang menjadi
minat flsafat moral. Lihat Puspoprodjo, Filsafat Moral, Kesusilaan dalam
Teori dan Praktek,(Bandung,Pustaka Grafka,1999),hal.24.
10
Hart secara tegas menekankan pemisahan konsep hukum dengan
moralitas. Hart sebagai positivist adalah pengkritik moralis. Neil Mac Comic,
H.L.A. HART, (California:Stanford University Press,1981),page.197. Lihat juga
Widodo Dwi Putro,Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum
(Yogyakarta:Genta,2011),hal.7.
Ajaran
positivism
hukum
memberi
pemahaman kepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya berurusan
dengan norma-norma,hukum dikonsepsikan sebagai narasi teks undangundang secara hitam putih.
5
merupakan ruang yang terbuka bagi ilmu pengetahuan terutama hukum untuk
diskusi yang jujur.
Moralitas
untuk
membimbing
tindakan
dalam
peran
hakim,
menganjurkan kepada manusia untuk menghentikan, mengambil, merevisi dan
menyusun kembali peran-2 yang membentuk masyarakat dalam budaya yang
materialistis dan kapitalis serta tidak memberikan penilaian. Moral idealnya
dapat merefleksi kritis persoalan berhukum yang tidak terjawab oleh hukum
modern. Untuk inilah kajian moral menjadi wacana penting berhukum kita
bukan basa-basi lagi.
B. PEMBAHASAN
Tulisan ini dimaksudkan untuk menampilkan konsepsi moral sebagai
nilai dasar yang fundamental, melekat dalam konsep keadilan sekaligus dalam
konsep hukum yang memungkinkan tetap mengabadi dalam pelbagai
pergeseran paradigma. Konsepsi moral selama ini dan oleh kebanyakan orang
dipahami secara beragam dan cenderung menghilangkan bentuk aslinya
sebagai konsep yang terang dan jelas dalam hubungannya dengan hukum.
Untuk memahami konsep moral dalam hubungannya dengan
perkembangan teori-teori hukum, penulis menganggap Immanuel Kant (1724-
6
1804) filsuf yang paling berpengaruh dan kritis dalam sejarah melampaui
filsafat modernisme, dimana ketika filsuf filsuf modern lain “tidak kritis”.
Pembahasan moral dalam perkembangan teori hukum agar menemukan
tempatnya dalam idealisme hukum. Penulis mempertemukan dengan
Hermeneutika hukum sebagai senter (penerang) yang akan “mencerahkan”
pembahasan dalam istilah Gadamer “dimana para ahli hukum dan teolog
bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora”11 dalam
suasana dan dialog yang komunikatif terbuka dan jujur dalam konteks
kebangsaan kita.
Sebelum menggunakan filsafat moral Kant untuk pembahasan lebih
lanjut, perlu mengenal dan mengerti, apakah yang membuat tindakan baik
atau buruk ? apakah setiap orang yang melakukan tindakan moralnya baik
atau buruk ? bagaimana kita bisa menerima untuk membenarkan kesimpulan
tentang moral atas apa yang seharusnya dilakukan dan apakah setiap orang
mempunyai keharusan ? bagaimana filsafat dan teori moral berusaha
memberikan jawaban sistematis atas banyaknya pertanyaan-pertanyaan umum
tentang apa yang seharusnya dan bagaimana.
11
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum,Sejarah,Teori dan Praktik
(Bandung,Nusa Media,2011),Hal.2
7
Moral oleh K.Bertens mempunyai etimologi yang sama dengan etika 12
sekalipun bahasa asalnya berbeda. Etika adalah merupakan
ilmu moral 13
Moral mengandung arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya
sama dengan moral. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan
nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. 14
12
Etika dalam bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan. Dalam bahasa latin kata untuk
kebiasaan adalah mores dan dari sinilah asal kata moral, moralitas, mores. Secara etimologis
etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari konvensi-konvensi, seperti cara
berpakaian, tata cara, tata karma,etiquette, dan semacam itu. Akan tetapi terdapat kebiasaan
yang fundamental yang berakar pada sesuatu yang melekat pada kodrat manusia, seperti
mengatakan kebenaran, membayar utang, menghormati orang tua dan lain sebagainya.
Perbuatan-perbuatan tersebut bukan sekedar kebiasaan atau adat semata, melainkan berasal dari
suaatu prinsip yang pasti dalam kodrat hakekat manusia. Baik dalam arti seutuhnya, bukan
dalam hal ini atau hal itu, dalam lapangan ini atau lapangan itu, melainkan baik sebagai
manusia. Manusia bisa baik sebagai ahli politik, pedagang, atau apasaja. Tetapi selama ia tidak
memiliki susila yang baik, ia beliumlah baik sebagai manusia. Hal-hal seperti itulah yang akan
dibicarakan dalam filsafat moral atau etika.Poespoprodjo, Filsafat Moral:Kesusilaan Dalam
Teori dan Praktek (Bandung:Pustaka Grafika,1999),hal.18-19.
13
John StuartHenry Hazlit Mills dalam Henri Hazlit,Dasar-Dasar Moralitas,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003),hal.7.
14
Baik dan buruk suatu perbuatan manusia, dalam arti etis telah memainkan peranan dalam
hidup setiap manusia bukan saja sekarang tetapi sejak masa lampau ditemukan keinsafan
tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Pengertian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum yang terdapat dimana-mana
dan pada segala zaman. Dengan kata lain, moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi
universal. Lihat K. Bertens,Etika (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2011)Hal.7-16.
8
Baik dan buruk dalam perspektif kehidupan moral manusia, melekat
sikap batin dan perbuatan-perbuatan lahiriahnya. 15 Oleh karena itu moral
berhubungan dengan hati nurani, tuntutan yang harus ditaati atau diminta
ditaati sebagai keharusan moral.16 Kenyataan moral menarik untuk dikaji
terutama terkait dengan Hakim sebagai penjaga keadilan masyarakat.
Oleh karena itu dengan pengetahuan dan pengalaman moralitas, tugas
etika adalah menyelidiki, menemukan, menjelaskan prinsip-prinsip moral
yang berlaku umum baik untuk kehidupan sosial maupun untuk kehidupan
pribadi. Penyelidikan tentang moralitas dapat dilakukan melalui pendekatan
non filosofis (etika deskriftif) dan pendekatan filosofis (etika normatif dan
etika analitis).17 Dengan kata lain etika atau moral menjadi cabang disiplin
filsafat. Poespoprodjo menyebutnya, filsafat moral mempelajari fakta dari
pengalaman bahwa manusia membedakan yang benar dan yang salah, yang
15
Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang
yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan
yang baik pula. Sikap batin seringkali disebut hati. Tetapi sikiap batin yang baik baru dapat dilihat
oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Dengan kata lain moral
dapat diukur dengan tepata apabila kedua segi diperhatikan. Al.Purwa Hadiwardoyo, Moral dan
Masalahnya (Yogyakarta:Kanisius,1990),hal.13-14.
16
Bertens membagi keharusan menjadi dua macam, keharusan alamiah dan keharusan moral.
Keharusan alamiah didasarkan pada hukum alam. Contoh, “bila lebih dari separuh tiangnya
digergaji, rumah itu harus roboh”. Sedangkan keharusan moral di dasarkan pada hukum moral,
contoh, janji harus ditepati, barang yang dipinjam harus dikembalikan. Op.Cit.hal.15.
17
Ibid hal.24.
9
baik dan yang buruk dan mempunyai rasa wajib. Tiga macam kecenderungan
manusia untuk menentukan putusan atas perbuatannya yaitu:
1.Perbuatan-perbuatan manusia sepantasnya/seharusnya dikerjakan
manusia;
2.Perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya/seharusnya/seyogyanya
dikerjakannya oleh manusia;
3.Perbuatan-perbuatan manusia boleh mengerjakannya atau boleh tidak
mengerjakannya.18
Filsafat moral dipahami sebagai refleksi kritis atas tingkah laku manusia
dari sudut norma atau dari sudut baik dan buruk. Ciri khas filsafat tampak pada
moral atau etika. Filsafat moral juga tidak berhenti pada yang konkret, pada yang
secara factual dilakukan, tetapi bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan, tentang yang baik dan buruk untuk dilakukan. Dalam relasi
dengan hukum dan moral hakim, filsafat moral juga menyibukkan diri dengan
menyoroti segi normatif dan segi evaluatif.
mengevaluasi mengapa hakim
melakukan praktik suap korupsi dibiarkan (permissive) atau dicegah dan
dilawan ? bagaimana argumentasinya ? dan apa yang harus dilakukan manusia ?
Filsafat moral Kant tepat digunakan untuk melintas berbagai paradigma
yang menjadi pangkal pemikiran teori hukum, karena konsepsi moral Kant
menurut penulis memiliki kemampuan yang mengesankan dalam menjelaskan
konsep moral dalam tindakan manusia khususnya Hakim sebagai “judge made
18
Op.Cit.Poespoprodjo,hal.20-21.
10
law” dengan irah-irah “Keadilan yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa”.
Kant meskipun dipengaruhi oleh pandangan Rasionalisme, tetapi lebih “out of
the box” dari hegemony positivisme yang kuat pada saat itu, menurut Simon
Petrus, Kant mengaku bangun dari “tidur dogmatik”nya dan memulai suatu
filsafat yang dinamakannya sebagai kritisme19.
Kritik Kant terhadap rasionalisme dan empirisme dituangkan dalam
karyanya “Kritik der reinen Vernunft” ( Kritik atas Budi) filsafatnya telah
mengalihkan, bahwa pengenalan berpusat pada subjek (manusia), bukan pada
objek (alam) sebagaimana dibanggakan Descartes. Sebelum itu, filsafat lebih
dipandang sebagai suatu proses berpikir dimana “kita” sebagai subjek
mengarahkan diri pada “dunia”. AKan tetapi sejak muncul pemikiran Kant arah
tersebut berubah. Sekarang Obyek mengarahkan diri kepada Subjek untuk proses
menjadi pengetahuan. Dengan demikian Filsafat Kant tidak diawali dengan
penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan mempelajari strukturstruktur Subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek20.
19
20
Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan berlebih dahulu menyelidiki
kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisme perlu dipertimbangkan dalam kaitannya
dengan filsafat dogmatik (dogmatisme). Dogmatisme menganggap pengetahuan objektif
sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Sebagai suatu sistem filosofis, dogmatisme
mempercayai kemampuan rasio dan mendasarkan padandangannya pada ketentuan-apriori
atau pemahaman yang ada tentang Tuhan,substansi atau monade, tanpa menanyakan apakah
rasio telah memahami hakekatnya sendiri, yaitu luas dan batas-batas kemampuannya.
Lihat,Simon Petrus L.Tjahyadi, Petualangan Intelektual:konfrontasi dengan Para Filsuf dari
zaman Yunani sampai Zaman Modern (Yogyakarta:Kanisius,2004), hal.278-299.
Ibid.
11
Ajaran Moral Kant, di dasarkan apa yang disebut dengan “kewajiban”
sebagai
dasar tindakan. Buku Kant yang juga terkenal Grundelgung zur
Metaphysic der Sitten (Landasan Metafisika kesusilaan), Kant mengatakan
bahwa satu-satunya hal yang terbaik “tanpa kecuali” adalah keinginan baik.
Semua hal lain (kekayaan, praestasi, atau kesehatan) hanyalah baik secara
terbatas. Semua itu menjadi tidak baik bila disalah gunakan oleh orang yang
akan berbuat jahat. Namun dalam keadaan pada saat itu kita harus berjuang
melawan berbagai dorongan hawa nafsu, misalnya dorongan untuk mencari
untung atau menang sendiri, bertindak
menurut keinginan baik berarti
bertindak demi kewajiban. Hanya kalau bertindak demi kewajiban sebagai
hukum batin yang kita ta’ati, maka tindakan kita mencapai moralitas. Jika
hanya melakukan ssesuatu demi ketaatan pada norma lahiriah dan bukan demi
kewajiban, maka kita baru memenuhi tuntuan legalitas saja. Tindakan ini
belum memiliki nilai moral. Secara moral tidak baik dan tidak buruk. Nilai
moral suatu tindakan terletak pada pelaksanaan kewajiban atau dengan kata
lain, kewajiban adalah dasar tindakan moral.
Kata “kewajiban” sebagai dasar tindakan, kata “keinginan baik” dan
kata “hawa nafsu” menurut penulis mengandung pemaknaan yang dalam,
12
transendensi yang melampui batas relasi manusia dan yang maha adil. Kant
seperti menginsyafi adanya kewajiban atas manusia sebagai makhluk yang
berakal dan mulia dilahirkan untuk kebaikan orang, melakukan tindakan
senantiasa dalam cara dan jalan yang benar “tanpa pamrih” sehingga mampu
mengendalikan hawa nafsu yang selalu menggoda untuk berbuat “pamrih”.
Ini menarik, tetapi Kant merasionalkan memaknai kewajiban
menurutnya adalah keharusan rasa hormat terhadap hukum. (hukum disini
dipakai untuk menunjukkan daya ikatnya yang berlaku secara umum bukan
sifat lahiriahnya). karena hukum yang bersifat lahiriah pada dasarnya belum
bisa memberikan kewajiban kalau hukum tersebut tidak bisa membangkitkan
rasa hormat (achtung) dalam diri kita untuk mentaatinya. Hukum yang
membangkitkan rasa hormat bisa kita lihat sebagai kewajiban.
Menurut Kant kewajiban sebagai tindakan moral dibedakan antara
tindakan yang sesuai dengan kewajiban dan tindakan demi kewajiban. Yang
pertama tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung
(misalnya rasa iba) melainkan ada tujuan baik atau kepentingan yang
menguntungkan. Tindakan pedagang yang tidak ingin menipu pembeli.
Tindakannya
sesuai
dengan
keajibannya
bersifat
baik
dan
jujur.
Tetapikenyataan ini belum menunjukkan apa-apa tentang nilai moral tindakan
tersebut. Kedua, tindakan ini mengeampingkan unsure-unsur subyektif seperti
13
kepentingan
diri
sendiri,
pertimbangan
untung
rugi,
dan
berbagai
kecenderungan langsung, seperti rasa senang atau rasa enak.
Dari dua contoh di atas yang perlu mendapat perhatian. Pertama
moralitas bersumber pada tekad batin untuk melaksanakan kewajiban, maka
secara moral kita dapat menilai orang lain secara pasti tetapi dari perbuatan
lahiriahnya saja. Kedua perbedaan antara perbuatan yang sesuai dengan
kewajiban dan perbuatan yang dijalankan demi kewajiban mengimplikasikan
adanya perbedaan dalam kekuatan atau daya ikat suatu kewajiban. Oleh Kant
keajiban juga terbagi menjadi dua, katagoris atau hipotetis. Imperatif hipotetis
adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan sarana
atau syarat untuk mencapai sesuatu yang lain, contoh bila ingin mendapat nilai
10 dalam ujian bahasa Jerman, belajarlah dengan giat. Sedangkan Imper
Katagoris adalah perintah mutlak dan berlaku secara umum entuknya, kamu
wajib, karena kamu wajib,maka kamu bisa.
Kant juga pertama mengedepankan prinsip hormat kepada pribadi
dalam ajarannya mengenai moral. Prinsip ini mengatakan, kita tidak boleh
menjadikan diri sendiri atau orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan
menempatkan manusia sebagai pribadi bermartabat. Kedua menunjukan satu
aspek penting yaitu dalam memilih dan menentukan tujuan kita sebagai
14
kaeadah tujuan (mengambil keputusan moral) memperhatikan pertimbangan
pihak lain.
Selain itu Kant menyebut Prinsip Otonomi sebagai prinsip kesusilaan
yang paling tinggi karena membawa manusia pada pandangan kebebasan
sebagai kodrat dan kemampuan diri sendiri dalam tindakan moral.
AJaran moral Kant dalam relasinya dengan Tuhan adalah Allah dan
Suara hati dan Allah dengan tujuan moralitas. Kesadaran moral dalam suara
hati adalah mengandaikan Allah yang perintahnya wajib kita taati. Manusia
menyadari tuntutan Allah yang menjamin hukum abadi. Bagi Kant suara hati
adalah kesadaran akan suatu otoritas yang secara mutlak mengikat manusia
pada
kewajibannya.
Sedangkan
kesadaran
moral
mewajibkan
kita
mengusahakan kebaikan tertinggi. Dengan kata lain kebahagiaan disediakan
oleh Allah bagi mereka yang hidup baik secara moral.
Konsep moral Kant tersebut dengan hermeneutika hukum akan
digunakan
sebagai
pengurai
hukum
dengan
paradigmanya
dalam
peerkembangan teori hukum.
1. Paradigma Aristotelian
Hakekat Manusia dalam Perspektif Filsafat
15
Dalam tradisi kaum Aristotelian, kerangka berpikir yang dianut adalah
idealisme, dengan teori a priori menjadikan pangkal kebenaran terletak pada
subyektivisasi manusia. Suatu perbuatan benar-salahnya dilihat dari normanorma moral dan sosial masyarakat. Kebenaran dihasilkan oleh kesesuaian
antara perbuatan dengan patokan baik-buruknya dan atau benar-salahnya
perbuatan.
Berpangkal pada paradigma Aristotelian ini, maka Moral adalah tolok
ukur kemanusiaan dengan kepribadian yang utuh dan bermartabat yang
memberikan penilaian tentang baik-buruk, benar-salah. Karena kehadiran
manusia dalam semesta alam untuk sesuatu yang pasti. Pertanyaan
fundamental atas hidupnya, dari mana asalnya dan kemana harus menuju
menjadi latar kehidupannya. Para pendiri negara (The founding Fatahers) soal
“sangkan paraning urip” (asal mula tujuan hidup) menjadi soal fundamental,
dengan latar kebangsaan yang berbhineka tunggal ika, dibangun pandangan
hidup Pancasila, agar tujuan manusia dan tujuan negara sejalan, menjadi
manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang
adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat,
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan
dan perwakila
serta
berkeadilan sosial, dalam kejiwaan bangsa yang kekeluargaan dan bergotong
royong. Falsafah hidup bangsa saat ini mulai terlupakan.
16
Keberadaan manusia, oleh Poespoprodjo adalah hal yang khusus dan
terdapat tuntutan keharusan yang mesti ditaati jika ia hendak hidup sebagai
manusia. Seperti terkandung dalam Serat Wulang Reh, Djangkep XI
Asmaranadana Sebagai berikut:
“Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira. Uripe pada lan
kebo, angur kebo dagingira kalal yen pinangana, pan manusa
dagingipun, yen pinangan mesti karam. (Tidaklah mudah orang itu
hidup, bila tiada tahu akan hakekat hidupnya, samalah hidupnya
dengan kerbau, bahkan kerbau lebih berharga, dagingnya halal bila
dimakan, sedangkan daging manusia bila dimakan pasti haram)”21
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, membuat alat-alat dan
mengetahui penggunaan alat-lat tersebut untuk tujuannya. Oleh karena itu
tidaklah membutuhkan loncatan pemikiran yang sulit untuk kemudian
bertanya mengenai dirinya sendiri, untuk apakah manusia ?, tujuan apakah
yang dipastikan untuk dicapainya ? apakah arti hidupnya, apakah maksud
hidupnya ?, tetapi apakah manusia secara total mempunyai tujuan ?. Untuk
itu diperlukan kesesuaian antara penggunaan alat dengan cara yang benar.
Ada cara bmasyarakat yang benar, berhukum yang benar. Cara yang benar
memberi kepuasan, kesuksesan, dan ketenangan sedangkan cara yang salah
menyebabkan kekecewaan, kegagalan dan frustasi.
21
Lihat Poepoprodjo, Filsafat Moral,Kesusilaan dalam Teori dan Praktik,
(Bandung,Pustaka Grafka,1999),hal.17.
17
Oleh karena itu Aristoteles yang lahir di Yunani, memulai menyusun
cara-cara hidup yang baik ke dalam suatu system dan dilakukan penyelidikan
tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat yang melahirkan cabang filsafat
moral (filsafat kesusilaan) atau etika.
Etika Aristoteles telah memberikan tempat yang pantas untuk yang
namanya keadilan, kebajikan,
kemurahan hati, pemikirannya yang
mengarahkan kepada jalan yang baik dan kemanfataan seseorang di
masyarakat. Etka Aristoteles juga sering digambarkan sebagai naturalistic,
berusaha mencari dan menunjukkan keharmonian antara moralitas dengan
perilaku manusia.22
Moral dalam Perspektif Hukum Alam (Paradigma Aristotelian)
Untuk memahami konteks prinsip-prionsip pemikiran hukum alam
khususnya dalam bentuknya sebagai norma moral. Dari beberapa catatan
penting buku Summa Theologiae Thomas Aquinas terdapat 3 tingkatan atau
level interelasi hukum alam yang menjadi ajarannya.23 Tingkatan pertama,
yang terdiri dari beberapa pengetahuan tentang prinsip-prinsip hukum alam
yang secara umum menjadi ajaran hukum alam sendiri. Tingkatan kedua,
22
Andreas Sofrononiou, Moral Philosophy, The Ethical Approach: Throuhg The Ages (Swindon
UK,Psysys Limited,2003). p.23
23
William E May, German Grisez on Moral Principles and Moral Norm:Natural and Cristian.
Edited, Robert P.George, Natural Law and Moral Inquiry:Ethic, Metaphisyc, and Politic in the
work Germain Grisez (Whasington DC:Georgetown university Press,1998),page.4.
18
mencakup norma moral khusus yang menjadi perhatian adalah pada
“pengejawantahan tindakan manusia yang dapat segera dilakukan dengan
sedikit pertimbangan yang diperoleh dari prinsip-prinsip kebiasaan. Yang
menjadi ajaran tindakannya adalah “latar alamiah setiap orang untuk
memberikan penilaian atas apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan.
Thomas Aquinas menegaskan bahwa ajaran moral Decalogue24 termasuk
dalam tingkatan kedua dari ajaran (aliran) hukum alam. Tingkatan ketiga
berupa penilaian untuk pertimbangan banyak keadaan yang berbeda yang
diperlukan untuk melakukan tindakan berhati-hati bukan kepada setiap orang
tetapi untuk bijaksana.
Ajaran moral tidak termasuk dalam ajaran decalogue, tepatnya
merupakan ajaran yang sesuai dengan yang ditemukan melalui penyelidikan
yang cermat terhadap kebijaksanaan tetapi terkandung dalam prinsip-prinsip
ajaran decalogue. Makna ajaran moral tidak menerangkan kepada semua
orang, tetapi orang agar menjadi bijaksana, dan ajaran moral dimaksud adalah
lebih bersifat melengkapi ajaran decalogue.
Uraian di atas menunjukkan secara jelas Thomas Aquinas berpegang
pada ajaran hukum alam yang utama (decalogue) dan yang umum (moral).
24
Decalogue adalah risalah ajaran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Musa
dalam bentuk Ten Commandement.
19
Hukum alam sebagai landasan dikenal oleh setiap orang sebagai cahaya
kebenaran. Kebenaran dalam kaedah moral secara khusus dapat ditemukan
dan ditunjukkan dalam decalogue, bahkan individu terbiasa memahami
kebenaran dari ajaran moral yang terdapat dalam decalogue dengan
mengkaitkannya dengan dasar-dasar yang utama dan yang umum, meskipun
kebenaran yang dimaksudkan masih samar (khususnya tentang realitas dosa
dan konsekuensinya), karena itu Tuhan membuat manusia mengenalnya
melalui wahyu illahi.
Lebih lanjut Thomas Aquinas berpegang pada
kebenaran ajaran moral khusus (misalnya, sadarlah mumpung belum tua,
hormati orang yang lebih tua) dalam ajaran decalog dapat ditunjukkan sebagai
nur, bahwa pengabdian kepada Tuhan adalah premis untuk lebih memastikan
norma moral.
Tetapi apakah yang dimaksud dengan keutamaan dan keumuman
dalam prinsip hukum alam, yang dikenal sebagai dasar-dasar kealamiahan
yang pasti itu adalah ajaran moral. Seperti ditegaskan Thomas Aquinas dalam
Summa Theologiae, bahwa yang paling utama dari ajaran hukum alam adalah
sebagai berikut, kebaikan adalah suatu yang harus dilakukan dan dikejar,
sedangkan perbuatan jahat harus dihindari. Thomas juga menyebutkan
ajarannya semua di dasarkan padaajaran hukum alam yang selanjutnya
menjadi dasar tindakan manusia. Memahami kealamiahan sebagai kebaikan
20
sebagai konsekuensi yang harus diraih. Semua pikiran ditujukan untuk
menjadi manusia yang cenderung alamiah dan memahami mencegah dan
menghindari kejahatan.
Thomas mengidentifikasi kemajuan manusia adalah pada kehidupan
itu sendiri. Seperti Pasangan suami isteri dalam memberikan pendidikan
kepada anak, kehidupan sosial dengan pengetahuan yang benar terutama
kebenaran tentang Tuhan sebagai tujuan manusia mencapai kebaikan dan
menghindari kejahatan. Tetapi di dalam prinsip hukum alam tentang
keutamaan dan keumuman juga berkaitan dengan ajaran moral tentang satu
keharusan tidak membunuh (one ought not to kill/non esse occidendum)
adalah kesimpulan yang berasal dari proposisi dasar hukum alam bahwa
“kejahatan tidak boleh dilakukan kepada siapapun juga”.
Paling utama dari ajaran moral secara sederhana sebagaimana
disebutkan dalam sepeluh ajaran dari decalog yaitu,: first and principle
precept of the law, you shall love the lord your God, you shall love your
neighbor, first and common precept of natural law, All of the precept
Decalogue are reffered to these two as conclution
to their common
principles, more certain moral precept, commandement regarding love of
God and neighbor and other of this kind, whereby one is commanded to do to
21
another what he would have done to himself, are as it were the end of the
precept.25
2. Filsafat Moral dalam Perspektif Hukum Modern (Paradigma
Positivistik)
Pembicaraan filsafat dan ajaran moral dalam perspektif filsafat modern
dan hukum modern bisa digolongkan mengalami marginalisasi, karena pada
saat itu filsafat pengetahuan yang berkembang dalam paradigma positivistic
terbangun dalam epistemology pendayagunaan potensi pengetahuan untuk
mengelola alam dan segala apa yang ada disekitar kita sebagai objek – subjek.
Sehingga
dengan
demikian.
Pengetahuan
manusia
terpisah
dengan
kepentingan manusia, maka moral, perasaan, emosi, ideology tidak masuk
dalam menentukan pengetahuan itu. Menurut Widodo26, Pengetahuan
merupakan suatu hal yang steril dari subyektivitas manusia itu sendiri ilmu
pengetahuan hanya metode untuk memperoleh suatu pengetahuan sehingga ia
lepas dari permasalahan-permasalahan etika dimana hal itu urusan manusia.
Pengetahuan-untuk pengetahuan bukan pengetahuan untuk manusia. Dalam
lapangan hukum hukum untuk hukum, bukum hukum untuk manusia.
25
26
Ibid, p.6.
Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap
(Yogyakarta:Genta,2011),Hal.50-55.
Paradigma
Positivisme
Hukum
22
Positivisme diartikan sebagai sesuatu yang nyata, pasti dan jelas atau
kebalikan sesuatu yang khayal, metaphisik, dan tidak lagi dibuktikan secara
empiris. Dalam perkembangannya , positivism semakin ketat dan menuju
kearah penataan dan atau penertiban, tidak hanya membatasi fakta yang dapat
diamati secara empiric, namun pengetahuan harus berbasi pada data.
Positivisme terus berkembang dengan segala variannya dan tidak
hanya mengutak atik fakta melainkan ranah bahasa dan teks yakni positivism
logis. Jika positivism memberikan perhatian pada data sebagai sumber ilmiah
ilmu pengetahuan, maka positivisme logis untuk memberikan criteria yang
ketat, menetapkan apakah sebuah pernyataan benar, salah atau tidak memiliki
makna sama sekali dengan cara memverivikasi secara empiris berdasrkan
hubungan dengan data atau fakta. Semua bentuk pernyataan atau diskursus
yang tidak dapat diverifikasi secara empiris adalah “etika dan estetika”.27
Dalam pemikiran hukum modern, moral yang memuat
proposisi
normative dan evaluative, menurut pandangan positivistic dianggap tidak
rasional dan non kognitif dan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Karena itu
kaum positivistic memepelajari hukum secara ilmiah memisah hukum dan
moral.28
27
28
Ibid.kan hukum dan moral
Hart secara tegas bersikukuh menekankan pemisahan konsep hukum dengan moralitas. Hart
sebagai positivist adalah pengkritik moralis. Neil Mac Comic, H.L.A. HART,
(California:Stanford University Press,1981),page.197
23
Adalah KH.A.Mustofa Bisri tokoh Nahdlatul Ummah (NU) langitan
yang risau dengan kondisi modernitas dan hokum modern di Indonesia secara
kritis tetapi estetis mengungkapkan dalam pusinya (1987) yang berjudul “Kau
Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagai Mana” sebagai berikut:
Kau ini bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku Kau suruh berdisiplin, Kau menyontohkan yang lain
Aku harus bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, Kau sendiri memanggilnya dengan pengeras
suara tiap saat
Kau bilang Kau suka damai, Kau ajak Aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh membangun, Aku membangun Kau merusaknya
Aku Kau suruh menabung, Aku menabung Kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku menggarap sawah, sawahku Kau tanami rumah-rumah
Kau bilang Aku harus punya rumah, Aku punya rumah Kau meratakannya
dengan tanah
Kau ini bagaimana?
Aku Kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku Kau suruh bertanggung jawab, Kau sendiri terus berucap Wallahu a'lam
bissawab
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku jujur, Aku jujur Kau tipu Aku
Kau suruh Aku sabar, Aku sabar Kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh memliihmu sebagai wakilmu, sudah kupilih Kau bertindak
24
semaumu
Kau bilang Kau selalu memikirkanku, Aku sapa saja Kau merasa terganggu
3. Moral dalam Perspektif Hukum Post Modernisme (Paradigma
Kritikal)
Postmodernisme29 meskipun sebagai istilah masih kontroversial, tetapi
dilain
pihak
telah
memikat
minat
masyarakat
akademik
untuk
mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental
yang kini sedang dialami umat manusia. Beragamnya aliran yang masuk
dalam
Postmodernisme,
kiranya
masih
dapat
diidentifikasi
dan
dikelompokkan, seperti kelompok Dekonstruktif, dan yang lain kelompok
yang cenderung Konstruktif atau revisioner. Pada kelompok dekonstruktif
dapat dimasukkan pemikiran-pemikiran Derrida, Lyotard, Foucault dan Rorty.
Sedangkan pada kelompok konstruktif atau revisioner dapat dimasukkan,
seperti Heidegger, Gadamer, Ricouer, Mary Hesse dari tradisi hermeneutika.
Selain itu David R.Griffin, Frederic Ferre, D.Bohn, dari tradisi studi proses
29
Post Modernisme merupakan istilah yang longgar dan ambigu dalam pengertiannya. Ia
digunakan untuk memayungi segala aliran pemikiran yang satu sama lain sering tidak persis
saling berkaitan. Ambiguitas dan kelonggarannya sebanding dengan istilah modern itusendiri.
Ada banyak hal yang biasa disinyalir sebagai karakter umum kemodernan yang sebetulnya
selalu dapat
diragukan dan digugat pula. Dan dari sudut ini ketidakjelasan makna
Postmodernisme boleh jadi justru berakar pada ketidakjelasan makna kemodernan itu
sendiri.Lihat. Bambang Sugiharto, Op.Cit.hal.16.
25
Whitehedian. Juga F.Capra, J.Lovelock, Gary Zukav, I.Prigogine dari tradisi
fisika yang berwawasan holistik.30
Bila diamati dari studi-studi ilmiah dan diskusi-diskusi tentang
Postmodernisme kelompok konstruktif dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan
intelektual berlatar relegius, seperti Nurcholis Madjid, Amien Abdullah,
Mudji Sutrisno dan lain-lain dan selain itu dari akademisi termasuk
diantaranya adalah Essmi Warrasih yang menginspirasi tradisi hermeneutika
dalam studi doktoral di Universitas Diponegoro. Hermeneutika sebagai studi
hukum seiring dengan berkembangnya postmodernisme. Mulai merebak
kembali sekitar tahun 1970an dengan banyaknya studi-studi penting
diantaranya Kemanfaatan Bible dalam akhlak (moralitas) Kristen, etika Bibel,
dan Etika testamen31 dan banyak lagi.
Studi Hermeneutika sesungguhnya telah dimulai dan dilakukan pada
masa kejayaan hukum alam dalam fungsinya menafsirkan pesan ilahiyah
dalam bentuknya sebagai herneneuin, yakni mengacu kepada seorang pendeta
bijak Delpic. Hermeneuin diasosiasikan dengan pada dewa Hermes. Tepatnya,
Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada dibalik
pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia
30
Bambang Sugiharto,Op.Cit.hal.16.
Charles H.Crosgrof,Appeling to Scripture, In Moral Debat:Five Hermeneutical
Rules (Michigan: Wm.B eerdmans Publishing,2002),page.1.
31
26
manusia.32 kemudian terjadi pergeseran paradigma positivistic, hermeneutika
dan moral kehilangan otoritasnya, oleh karena itu dalam paradigma
konstruktivistik dalam tata sosial postmodernime, tampak mulai bersinergi
kembali sebagaimana dikemukakan Gadamer, dimana para ahli hukum dan
teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.33
Hermeneutika merupakan titik fokus mengungkap yang sebenarnya
makna pemberantasan korupsi, dan mempertegas “penjelasan” makna khusus
suap pada hakim dalam hubungann dengan dunianya (worldview) dan dengan
teks dan suasana batin (moral) hakim. Serta memahami interpretasi hakim
terhadap pertimbanganan hukum (putusan) bermakna moral suap atau moral
anti suap.
Upaya membongkar moral hakim melawan korupsi (suap) adalah
fokus utama studi hermeneutika hukum untuk meberikan jawaban yang benar
atas pergulatan moral hakim terhadap suap. Hermeneutika menjadi nasib
penentu perlawanan terhadap korupsi (suap) di lingkungan peradilan dan
32
Asal kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata heermeneuin
yang berartri menafsirkan dan kata benda hermenea yang berarti
interpretasi. Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuki dasar makna dalam
pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi
dalam teoloogi dan sastra dan dalam konteks sekarang ia menjadi keyword
untuk memahami hermeneutika modern. Lihat
Richard E.Palmer,
Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta,Pustaka
Pelajar,2005). hal.14-25.
33
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik
(Bandung,Nusa Media,2011) hal.2.
27
membawa implikasi penting terhadap
penegakan hukum yang adil bagi
kehidupan dan keberadaan orang banyak dalam hubungannya dengan
pemberantasan korupsi.
Hermeneutika hukum yang berbasis paradigma konstrutivisme hendak
merenungkan pemikiran postmodernisme tentang,
1) “yang baik” atau hukumnya hukum,
2) Yang Benar, atau hukum moral subjek yang berlangsung secara
mandiri, dan,
3) Prinsip-prinsip suatu bawaan dalam system hukum.34
Menurut Ducilla Cornell terdapat dua pengertian ketika menyebut
perkataan “yang baik” . Pertama yang baik harus dipahami dalam pengertiannya
yang universal, sebagai keniscayaan yang tidak terhindarkan lagi pada semua
subjek. Kedua, yang baik harus dipahami sebagai kemungkinan imanen
reinterpretasi etis terhadap semesta konkret dalam suatu system hukum yang
terkonseptualisasi sebagai nomos yang tidak tertentukan. Ketiga bidang ini “yang
baik”, “yang benar” dan prinsip-prinsip legal tidak bisa direduksi menjadi
34
Lihat Drucilla Cornel, Dari Mercusuar:Janji Keselamatan dan Kemungkinan
Interpretasi Hukum dalam Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Hal.206-234.
28
kategori-kategori pikiran, karena semua itu menggambarkan tipe interaksi
manusia.
Hegel mengenali adanya saling pengaruh antara ketiga hal tesebut, karena
itu ia memaknai sebagai bagian dari sistem. Tetapi makna ketiga dalam
pengenalan Hegel sampai kepada kita hanya melalui pengetahuan absolut dimana
yang baik tersingkap sepenuhnya. Hegelianisme hanyalah salah satu diantara
banyak upaya yang mencoba mendasarkan sistem hukum aktual diatas landasan
konsepsi mengenai yang baik.
Drucilla dengan berfokus pada Hegel dengan alasan yang berbeda. Hegel
menolak teori-teori deontologist mengenai yang benar sebagai basis system
hukum modern, ia menentang Neo Kantoanisme yang memandang bahwa
normativitas yang benar tidak bisa bersandar pada dirinya sendiri. Dengan kata
lain Hegel mengingatkan kepada kita dalam modernitas maupun postmodernitas
sekalipun kita masih terkungkung dalam jalinan ketiga hal tersebut. Justru bidang
yang baik iniloah yang diperdebatkan
dalam moralitas neo Kantian yang
inkonsisten dengan modernitas.
Sebagai ganti atas hukumnya hukum atau “yang baik” ditempatkan
“hukum
subjek” yang bebas mandiri. Sebagaimana dikatakan Hegel bahwa
manusia tidak dapat lepas dari hukumnya hukum sebagai yang dimaknai yang
baik, karena teori yang benar bisa didasarkan secara normatif hanya dengan
29
menyebutkan secara tersirat tentang yang baik itu. Justru kegigihan atas saling
pengaruh antara ketiga bidang tersebut membuat kisah postmodern yang
diuraikan Drucilla menjadi istimewa dibandingkan dengan sudut pandang neo
Kantianisme.
Perdebatan terkini dalam yurisprudensi Amerika mengenai kemungkinan
hermeneutika hukum menjawab atas pertanyaan, bisakah kita lepas dari Penal
Colony dalam sistem hukum modern ? jika hukum direduksi mkenjadi legitimasi
positif kekuasaan institusional melalui prosedur hukum yang mapan. Menurut
Levinas adalah yang baik, hukumnya hukum, sebagai tanggungjawab atas yang
lain yang menyeru kita pada keadilan.
C. PENUTUP
Moral dalam lintasan Perkembangan teori-teori hukum sejatinya
menempati kedudukan yang fondasional dalam filsafat, teori maupun metode
dalam berhukum. Worldview dari ketiga paradigma sebagaimana diuraikan dalam
pembahasan sesungguhnya menempatkan moral sebagai institusi penting dalam
berhukum, hanya saja hegemony yang mendunia dari pemikiran positivist
Descartes, memarginalkan urgensi moral dalam mewujudkian keadilan dalam
berhukum. Paradigma Aristotelian, sejak awal telah menyiratkan tentang keadilan
sebagai hal penting dalam filsafat hukum. Demikian juga dalam Paradigma
30
Konstruktivisme yang mengusung Postmodernisme sebagai perlawanan dalam
filsafat hermeneutika ternyata memiliki lintasan dengan paradigma Aristotellian
tentang bagaimana hukumnya hukum, yang baik yang memberikan keadilan.
Dalam filsafat Postmodernisme, teoridan filsafat hermeneutika hukum dapat
menyemai keadilan, karena hermeneutika hukum mendasarkan pada kejujuran
subyek sebagai manusia, para ahli hukum, teolog dan para ilmuan kemanusiaan
duduk bersama bedialog dengan moral, hati nurani, agama dan ilmu social
menemukan keadilan yang dibuthkan oleh hukum.
Wallhu alam Bishawab,
DAFTAR PUSTAKA
31
Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta:Kanisius,1990.
Charles H. Crosgrof, Appeling to Scripture, In Moral Debat:Five
Hermeneutical Rules, Michigan: Wm. B Eerdmans Publishing,2002.
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum,Sejarah,Teori dan Praktik,
Bandung,Nusa Media,2011.
I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme,
Yogyakarta:Kanisius,1996.
Tantangan
Bagi
Filsafat,
John Stuart Henry Hazlit Mills dalam Henri Hazlit,Dasar-Dasar Moralitas,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2003.
K. Bertens, Etika, Jakarta;Gramedia Pustaka Utama,2011.
Neil Mac Comic, H.L.A. HART, California:Stanford University Press,1981.
Puspoprodjo, Filsafat Moral, Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung,
Pustaka Grafika,1999.
Richard
E.
Palmer,
Hermeneutika,
Teori
Interpretasi,Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2005.
Baru
Mengenai
Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual;Konfrontasi dengan Para
Filsuf dari Zaman Yunani hingga zaman Modern,
Yogyakarta,Kanisius,2004.
Teddy Asmara, Budaya Ekonomi Hukum Hakim (Semarang,Fasindo,2011)
Widodo
Dwi
Putro,
Kritik
Terhadap
Hukum,Yogyakarta:Genta,2011.
Paradigma
Positivisme
32
33
DALAM BENTANGAN FILSAFAT DAN TEORI HUKUM
Oleh
Slamet Haryadi1
A. PENDAHULUAN
Worldview modern, beserta tatanan sosial yang dihasilkannya, ternyata
telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan
alam:
“Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan
menjadi subyek-objek, spiritual-material, manusia-dunia dan
sebagainya telah mengakibatkan obyektivisasi alam secara berlebihan
dan pengurasan alam semena-mena. Sehingga mengakibatkan krisis
ekologi.
Kedua, pandangan modern yang bersifat obyektivistis dan positivistis
akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah sebagai obyek juga,
dan masyarakatapun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah
bahwa masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.
Ketiga, dalam modernism ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau
menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah, bahwa
nilai-nilai moral-relegius kehilangan wibawanya. Alhasil timbullah
disorientasi moral-relegius, yang pada gilirannya mengakibatkan pula
meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental, dan
senterusnya.
Ke-empat adalah materialisme. Jika kenyataan terdasar tidak lagi
ditemukan dalam religi Maka materilah yang dianggap sebagai
1
Dosen Tetap STIH Muhammadiyah Kotabumi
1
kenyataan terdasar. Materialisme ontologisme ini didampingi pula
dengan materialisme praktis, yaitu bahwa hidup pun menjadi
keinginan yang tidak habis-habisnya untuk memiliki dan mengontrol
hal-hal material.”2
Worldview di atas, di Indonesia dapat diamati dengan banyaknya
fenomena alam, banjir yang terus menerus, tanah longsor, dan bencana alam
yang silih berganti. Hilangnya otoritas moral, relegius dan orientasi kehidupan
materialistis telah menuai, tumbuh suburnya korupsi oleh praktik suap, 3
penyelenggara negara (pejabat publik dan penegak hukum) disemua sektor
kehidupan.
Kehidupan
free
sex,
dengan
kawin
cerai,
nikah
siri,
perselingkuhan. Narkotika, dan meningkatnya berbagai modus kejahatan
anak, membenarkan hilangnya martabat kemanusiaan.
Para pelaku berupaya agar perbuatannya tidak diketahui dan tidak
terjamah oleh hukum, menutupi perbuatannya dengan melemahkan hukum,
“menyuap”, berkolusi ataupun “gratifikasi” kepada Penegak hukum agar bisa
terlepas dari sanksi hukum.4
2
I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat (Yogyakarta:Kanisius,1996)
Hal.29.
3
Indonesia No 1
4
Ketika pejabat-pejabat korup menyuap dan memberi (grativikasi) kepada penegak hukum, maka
kalau yang disuap hakim, maka hakim tersebut adalah hakim korup karena telah berkorupsi.
Lihat Pasal 6 ayat (1), dan ayat (2) dan Pasal 12 c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
riTentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah di ubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 21 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi.
2
Hakim dengan irah-irah “Demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” semestinya bisa menjadi tauladan dalam berhukum dengan
berusaha mencari dan menegakkan keadilan, bukan sebaliknya terlibat dan
menjadi dalang praktek suap, membenarkan yang membayar dan melemahkan
hukum bagi yang tak punya untuk membayar. Perilaku hakim seperti itu
digambarkan dalam penelitian Teddy Asmara sebagai Budaya Ekonomi
Hukum Hakim. Hakim materialistis sebagai hakim rakus 5. Gambaran hakim
materialistis adalah gambaran tata sosial dunia modern dan “hukum modern”
dalam arus utama paradigma Positivistik.6
Paradigma positivistik dalam filsafat modern beserta tata dunia
modern dan hukum modernnya, persis dengan yang dikemukakan Descartes.:
Manusia membutuhkan
pengetahuan praktis yang memungkinkan
manusia mengenali daya dan kekuatan dari semua unsur dan segala
sesuatu yang ada disekitar kita, sehingga menjadikan kita “Tuan” dari
pemilik alam ini. Sedangkan pandangannya terhadap manusia sendiri
Descartes membagi dalam dua hal jiwa sebagai pemikiran (res cogitan)
dan tubuh sebagai keluasan (res extensa), keduanya berdiri sendiri dan
tidak saling bergantung. Jiwa/pemikiran tidak memiliki keluasan spasial
5
6
Hakim materialistis yang oleh komunitas pengadilan diberi label hakim “Buser” dan hakim
“KKO” karena tindakannya dalam berhukum seperti yang tidak mau atau tidak mampu
membendung pikirannya yang berorientasi kepada keuntungan materi. Watak keserakahannya
telah mendorong melakukan tindakan yang mengiyakan keinginan dua pihak yang berseteru
dan memenagkan pihak yang membayar yang lebih tinggi. Lihat Teddy Asmara, Budaya
Ekonomi Hukum Hakim (Semarang,Fasindo,2011),hal.203-213.
Paradigma positivistic adalah gerakan pemikiran yang berpangkal pada
pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh
Descartes dan memperoleh eksistensinya oleh gerakan pencerahan
(Einligtment/Aufklarung) dan menjadi hegemoni hingga abad keduapuluh ini
melalui dominasi sains dan kapitalisme. Lihat.
3
(panjang, pendek, luas, lebar dsb), demikian pula tubuh/keluasan tidak
mempunyai kemampuan berpikir.7 Oleh karena itu tidak heran manusia
dalam bentuknya sebagai raga (tubuh/keluasan) diperbudak oleh
pemikirannya sesuai dengan keinginannya. Dalam gambaran hukum
modern, maka hukum dalam bentuknya yang tertulis menjadi cara
pandang berhukum di Indonesia hingga sekarang, hakim sebagai
penyampai pesan undang-undang. Maka selain gambaran dunia modern
dan gambaran hukum modern menyatu dalam cara pandang Hakim, adalah
hakim materialistis dan tidak kritis, karena semata mendasarkan pada
bunyi teks undang-undang, meskipun bertentangan dengan hati nurani
yang menyuarakan moralitas.8 Dalam keadaan seperti itu, dimungkinkan
sekali pertimbangan hukum putusan disusun tidak tersentuh oleh nilai
kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Putusan pengadilan yang dibuat
terpisah antara teks dan rasio dengan hati nurani yang menjadi
pertimbangan keadilan. Narasi putusan dirumuskan sebagai “permainan
kata-kata” (casuistry) oleh hakim-hakim profesional yang dicari dalam
teks undang-undang yang dapat dianggap membenarkan sehingga
mendapatkan justifikasi logika hukum.
Mengungkap keadilan dalam realitas hukum tidak akan pernah mampu
menembus rasa keadilan karena kehidupan sudah terkonstruksi oleh
konsekuensi kehidupan modern yang materialistis dan cenderung tidak mau
bersusah payah, Paradigma positivism dalam bentuk “hukum modern” legal
Positivistik menampakan karakternya yang sama logis rasional. Pencarian
7
8
Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual;Konfrontasi dengan Para
Filsuf dari Zaman Yunani hingga zaman Modern
(Yogyakarta:Kanisius,2004),hal.206-210.
Hati nurani adalah instansi dalam diri yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan,
secara langsung, kini dan disini. Dengan hati nurani dimaksudkan penghayatan baik atau buruk
berhubungan dengan tingkah laku konkret. Hati Nurani ini memerintahkan atau melarang untuk
melakukan sesuatu kini dan disini. Tidak mengikuti hati nurani, berarti menghancurkan
integritas pribadi dan menghianati martabat terdalam. K.Bertens, Etika
(Jakarta;Gramedia Pustaka Utama,2011). hal.56
4
keadilan (searching to justice) berhenti pada narasi teks undang-undang dan
Uang yang datang. Inilah kebudayaan modern
Oleh karena itu berpijak pada situasi sosial yang ada, maka moral
adalah pusat permasalahan. Moral adalah martabat manusia yang melekat
pada hati nurani9 kepribadian manusia, merupakan domein yang dipinggirkan
dalam wacana rasionalitas modern, oleh karena itu membangkitkan moral
sebagai pokok persoalan ditengah modernitas kehidupan yang penuh korupsi,
merupakan refleksi kritis atas paradigma positivisme dengan tata sosial
modernitasnya.
Hukum modern juga telah memisahkan hukum dan
moral dalam
kerangkeng legal positivistik10 yang memang telah lama bersemayam dalam
alam berhukum para hakim di Indonesia. Oleh sebab itu wacana moral
9
Moral harus dibedakan dengan budaya meskipun keduanya membicarakan
kebiasaan-kebiasaan manusia dalam berbagai traraf kebudayaan dan
peradaban. Seperti dalam Antropologi Budaya, yang dipelajari asal muasal
perkembangan adat kebiasaan manusia tanpa melancarkan keputusan
tentang kebenaran dan kesalahan moral dari adat kebiasaan tersebut. Justru
dari kebenaran dan kesalahan dari adat kebiasaanj itulah yang menjadi
minat flsafat moral. Lihat Puspoprodjo, Filsafat Moral, Kesusilaan dalam
Teori dan Praktek,(Bandung,Pustaka Grafka,1999),hal.24.
10
Hart secara tegas menekankan pemisahan konsep hukum dengan
moralitas. Hart sebagai positivist adalah pengkritik moralis. Neil Mac Comic,
H.L.A. HART, (California:Stanford University Press,1981),page.197. Lihat juga
Widodo Dwi Putro,Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum
(Yogyakarta:Genta,2011),hal.7.
Ajaran
positivism
hukum
memberi
pemahaman kepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya berurusan
dengan norma-norma,hukum dikonsepsikan sebagai narasi teks undangundang secara hitam putih.
5
merupakan ruang yang terbuka bagi ilmu pengetahuan terutama hukum untuk
diskusi yang jujur.
Moralitas
untuk
membimbing
tindakan
dalam
peran
hakim,
menganjurkan kepada manusia untuk menghentikan, mengambil, merevisi dan
menyusun kembali peran-2 yang membentuk masyarakat dalam budaya yang
materialistis dan kapitalis serta tidak memberikan penilaian. Moral idealnya
dapat merefleksi kritis persoalan berhukum yang tidak terjawab oleh hukum
modern. Untuk inilah kajian moral menjadi wacana penting berhukum kita
bukan basa-basi lagi.
B. PEMBAHASAN
Tulisan ini dimaksudkan untuk menampilkan konsepsi moral sebagai
nilai dasar yang fundamental, melekat dalam konsep keadilan sekaligus dalam
konsep hukum yang memungkinkan tetap mengabadi dalam pelbagai
pergeseran paradigma. Konsepsi moral selama ini dan oleh kebanyakan orang
dipahami secara beragam dan cenderung menghilangkan bentuk aslinya
sebagai konsep yang terang dan jelas dalam hubungannya dengan hukum.
Untuk memahami konsep moral dalam hubungannya dengan
perkembangan teori-teori hukum, penulis menganggap Immanuel Kant (1724-
6
1804) filsuf yang paling berpengaruh dan kritis dalam sejarah melampaui
filsafat modernisme, dimana ketika filsuf filsuf modern lain “tidak kritis”.
Pembahasan moral dalam perkembangan teori hukum agar menemukan
tempatnya dalam idealisme hukum. Penulis mempertemukan dengan
Hermeneutika hukum sebagai senter (penerang) yang akan “mencerahkan”
pembahasan dalam istilah Gadamer “dimana para ahli hukum dan teolog
bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora”11 dalam
suasana dan dialog yang komunikatif terbuka dan jujur dalam konteks
kebangsaan kita.
Sebelum menggunakan filsafat moral Kant untuk pembahasan lebih
lanjut, perlu mengenal dan mengerti, apakah yang membuat tindakan baik
atau buruk ? apakah setiap orang yang melakukan tindakan moralnya baik
atau buruk ? bagaimana kita bisa menerima untuk membenarkan kesimpulan
tentang moral atas apa yang seharusnya dilakukan dan apakah setiap orang
mempunyai keharusan ? bagaimana filsafat dan teori moral berusaha
memberikan jawaban sistematis atas banyaknya pertanyaan-pertanyaan umum
tentang apa yang seharusnya dan bagaimana.
11
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum,Sejarah,Teori dan Praktik
(Bandung,Nusa Media,2011),Hal.2
7
Moral oleh K.Bertens mempunyai etimologi yang sama dengan etika 12
sekalipun bahasa asalnya berbeda. Etika adalah merupakan
ilmu moral 13
Moral mengandung arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya
sama dengan moral. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan
nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. 14
12
Etika dalam bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan. Dalam bahasa latin kata untuk
kebiasaan adalah mores dan dari sinilah asal kata moral, moralitas, mores. Secara etimologis
etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari konvensi-konvensi, seperti cara
berpakaian, tata cara, tata karma,etiquette, dan semacam itu. Akan tetapi terdapat kebiasaan
yang fundamental yang berakar pada sesuatu yang melekat pada kodrat manusia, seperti
mengatakan kebenaran, membayar utang, menghormati orang tua dan lain sebagainya.
Perbuatan-perbuatan tersebut bukan sekedar kebiasaan atau adat semata, melainkan berasal dari
suaatu prinsip yang pasti dalam kodrat hakekat manusia. Baik dalam arti seutuhnya, bukan
dalam hal ini atau hal itu, dalam lapangan ini atau lapangan itu, melainkan baik sebagai
manusia. Manusia bisa baik sebagai ahli politik, pedagang, atau apasaja. Tetapi selama ia tidak
memiliki susila yang baik, ia beliumlah baik sebagai manusia. Hal-hal seperti itulah yang akan
dibicarakan dalam filsafat moral atau etika.Poespoprodjo, Filsafat Moral:Kesusilaan Dalam
Teori dan Praktek (Bandung:Pustaka Grafika,1999),hal.18-19.
13
John StuartHenry Hazlit Mills dalam Henri Hazlit,Dasar-Dasar Moralitas,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003),hal.7.
14
Baik dan buruk suatu perbuatan manusia, dalam arti etis telah memainkan peranan dalam
hidup setiap manusia bukan saja sekarang tetapi sejak masa lampau ditemukan keinsafan
tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Pengertian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum yang terdapat dimana-mana
dan pada segala zaman. Dengan kata lain, moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi
universal. Lihat K. Bertens,Etika (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2011)Hal.7-16.
8
Baik dan buruk dalam perspektif kehidupan moral manusia, melekat
sikap batin dan perbuatan-perbuatan lahiriahnya. 15 Oleh karena itu moral
berhubungan dengan hati nurani, tuntutan yang harus ditaati atau diminta
ditaati sebagai keharusan moral.16 Kenyataan moral menarik untuk dikaji
terutama terkait dengan Hakim sebagai penjaga keadilan masyarakat.
Oleh karena itu dengan pengetahuan dan pengalaman moralitas, tugas
etika adalah menyelidiki, menemukan, menjelaskan prinsip-prinsip moral
yang berlaku umum baik untuk kehidupan sosial maupun untuk kehidupan
pribadi. Penyelidikan tentang moralitas dapat dilakukan melalui pendekatan
non filosofis (etika deskriftif) dan pendekatan filosofis (etika normatif dan
etika analitis).17 Dengan kata lain etika atau moral menjadi cabang disiplin
filsafat. Poespoprodjo menyebutnya, filsafat moral mempelajari fakta dari
pengalaman bahwa manusia membedakan yang benar dan yang salah, yang
15
Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang
yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan
yang baik pula. Sikap batin seringkali disebut hati. Tetapi sikiap batin yang baik baru dapat dilihat
oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Dengan kata lain moral
dapat diukur dengan tepata apabila kedua segi diperhatikan. Al.Purwa Hadiwardoyo, Moral dan
Masalahnya (Yogyakarta:Kanisius,1990),hal.13-14.
16
Bertens membagi keharusan menjadi dua macam, keharusan alamiah dan keharusan moral.
Keharusan alamiah didasarkan pada hukum alam. Contoh, “bila lebih dari separuh tiangnya
digergaji, rumah itu harus roboh”. Sedangkan keharusan moral di dasarkan pada hukum moral,
contoh, janji harus ditepati, barang yang dipinjam harus dikembalikan. Op.Cit.hal.15.
17
Ibid hal.24.
9
baik dan yang buruk dan mempunyai rasa wajib. Tiga macam kecenderungan
manusia untuk menentukan putusan atas perbuatannya yaitu:
1.Perbuatan-perbuatan manusia sepantasnya/seharusnya dikerjakan
manusia;
2.Perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya/seharusnya/seyogyanya
dikerjakannya oleh manusia;
3.Perbuatan-perbuatan manusia boleh mengerjakannya atau boleh tidak
mengerjakannya.18
Filsafat moral dipahami sebagai refleksi kritis atas tingkah laku manusia
dari sudut norma atau dari sudut baik dan buruk. Ciri khas filsafat tampak pada
moral atau etika. Filsafat moral juga tidak berhenti pada yang konkret, pada yang
secara factual dilakukan, tetapi bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak
boleh dilakukan, tentang yang baik dan buruk untuk dilakukan. Dalam relasi
dengan hukum dan moral hakim, filsafat moral juga menyibukkan diri dengan
menyoroti segi normatif dan segi evaluatif.
mengevaluasi mengapa hakim
melakukan praktik suap korupsi dibiarkan (permissive) atau dicegah dan
dilawan ? bagaimana argumentasinya ? dan apa yang harus dilakukan manusia ?
Filsafat moral Kant tepat digunakan untuk melintas berbagai paradigma
yang menjadi pangkal pemikiran teori hukum, karena konsepsi moral Kant
menurut penulis memiliki kemampuan yang mengesankan dalam menjelaskan
konsep moral dalam tindakan manusia khususnya Hakim sebagai “judge made
18
Op.Cit.Poespoprodjo,hal.20-21.
10
law” dengan irah-irah “Keadilan yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa”.
Kant meskipun dipengaruhi oleh pandangan Rasionalisme, tetapi lebih “out of
the box” dari hegemony positivisme yang kuat pada saat itu, menurut Simon
Petrus, Kant mengaku bangun dari “tidur dogmatik”nya dan memulai suatu
filsafat yang dinamakannya sebagai kritisme19.
Kritik Kant terhadap rasionalisme dan empirisme dituangkan dalam
karyanya “Kritik der reinen Vernunft” ( Kritik atas Budi) filsafatnya telah
mengalihkan, bahwa pengenalan berpusat pada subjek (manusia), bukan pada
objek (alam) sebagaimana dibanggakan Descartes. Sebelum itu, filsafat lebih
dipandang sebagai suatu proses berpikir dimana “kita” sebagai subjek
mengarahkan diri pada “dunia”. AKan tetapi sejak muncul pemikiran Kant arah
tersebut berubah. Sekarang Obyek mengarahkan diri kepada Subjek untuk proses
menjadi pengetahuan. Dengan demikian Filsafat Kant tidak diawali dengan
penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan mempelajari strukturstruktur Subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek20.
19
20
Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan berlebih dahulu menyelidiki
kemampuan rasio dan batas-batasnya. Kritisme perlu dipertimbangkan dalam kaitannya
dengan filsafat dogmatik (dogmatisme). Dogmatisme menganggap pengetahuan objektif
sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Sebagai suatu sistem filosofis, dogmatisme
mempercayai kemampuan rasio dan mendasarkan padandangannya pada ketentuan-apriori
atau pemahaman yang ada tentang Tuhan,substansi atau monade, tanpa menanyakan apakah
rasio telah memahami hakekatnya sendiri, yaitu luas dan batas-batas kemampuannya.
Lihat,Simon Petrus L.Tjahyadi, Petualangan Intelektual:konfrontasi dengan Para Filsuf dari
zaman Yunani sampai Zaman Modern (Yogyakarta:Kanisius,2004), hal.278-299.
Ibid.
11
Ajaran Moral Kant, di dasarkan apa yang disebut dengan “kewajiban”
sebagai
dasar tindakan. Buku Kant yang juga terkenal Grundelgung zur
Metaphysic der Sitten (Landasan Metafisika kesusilaan), Kant mengatakan
bahwa satu-satunya hal yang terbaik “tanpa kecuali” adalah keinginan baik.
Semua hal lain (kekayaan, praestasi, atau kesehatan) hanyalah baik secara
terbatas. Semua itu menjadi tidak baik bila disalah gunakan oleh orang yang
akan berbuat jahat. Namun dalam keadaan pada saat itu kita harus berjuang
melawan berbagai dorongan hawa nafsu, misalnya dorongan untuk mencari
untung atau menang sendiri, bertindak
menurut keinginan baik berarti
bertindak demi kewajiban. Hanya kalau bertindak demi kewajiban sebagai
hukum batin yang kita ta’ati, maka tindakan kita mencapai moralitas. Jika
hanya melakukan ssesuatu demi ketaatan pada norma lahiriah dan bukan demi
kewajiban, maka kita baru memenuhi tuntuan legalitas saja. Tindakan ini
belum memiliki nilai moral. Secara moral tidak baik dan tidak buruk. Nilai
moral suatu tindakan terletak pada pelaksanaan kewajiban atau dengan kata
lain, kewajiban adalah dasar tindakan moral.
Kata “kewajiban” sebagai dasar tindakan, kata “keinginan baik” dan
kata “hawa nafsu” menurut penulis mengandung pemaknaan yang dalam,
12
transendensi yang melampui batas relasi manusia dan yang maha adil. Kant
seperti menginsyafi adanya kewajiban atas manusia sebagai makhluk yang
berakal dan mulia dilahirkan untuk kebaikan orang, melakukan tindakan
senantiasa dalam cara dan jalan yang benar “tanpa pamrih” sehingga mampu
mengendalikan hawa nafsu yang selalu menggoda untuk berbuat “pamrih”.
Ini menarik, tetapi Kant merasionalkan memaknai kewajiban
menurutnya adalah keharusan rasa hormat terhadap hukum. (hukum disini
dipakai untuk menunjukkan daya ikatnya yang berlaku secara umum bukan
sifat lahiriahnya). karena hukum yang bersifat lahiriah pada dasarnya belum
bisa memberikan kewajiban kalau hukum tersebut tidak bisa membangkitkan
rasa hormat (achtung) dalam diri kita untuk mentaatinya. Hukum yang
membangkitkan rasa hormat bisa kita lihat sebagai kewajiban.
Menurut Kant kewajiban sebagai tindakan moral dibedakan antara
tindakan yang sesuai dengan kewajiban dan tindakan demi kewajiban. Yang
pertama tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung
(misalnya rasa iba) melainkan ada tujuan baik atau kepentingan yang
menguntungkan. Tindakan pedagang yang tidak ingin menipu pembeli.
Tindakannya
sesuai
dengan
keajibannya
bersifat
baik
dan
jujur.
Tetapikenyataan ini belum menunjukkan apa-apa tentang nilai moral tindakan
tersebut. Kedua, tindakan ini mengeampingkan unsure-unsur subyektif seperti
13
kepentingan
diri
sendiri,
pertimbangan
untung
rugi,
dan
berbagai
kecenderungan langsung, seperti rasa senang atau rasa enak.
Dari dua contoh di atas yang perlu mendapat perhatian. Pertama
moralitas bersumber pada tekad batin untuk melaksanakan kewajiban, maka
secara moral kita dapat menilai orang lain secara pasti tetapi dari perbuatan
lahiriahnya saja. Kedua perbedaan antara perbuatan yang sesuai dengan
kewajiban dan perbuatan yang dijalankan demi kewajiban mengimplikasikan
adanya perbedaan dalam kekuatan atau daya ikat suatu kewajiban. Oleh Kant
keajiban juga terbagi menjadi dua, katagoris atau hipotetis. Imperatif hipotetis
adalah perintah bersyarat yang mengatakan suatu tindakan diperlukan sarana
atau syarat untuk mencapai sesuatu yang lain, contoh bila ingin mendapat nilai
10 dalam ujian bahasa Jerman, belajarlah dengan giat. Sedangkan Imper
Katagoris adalah perintah mutlak dan berlaku secara umum entuknya, kamu
wajib, karena kamu wajib,maka kamu bisa.
Kant juga pertama mengedepankan prinsip hormat kepada pribadi
dalam ajarannya mengenai moral. Prinsip ini mengatakan, kita tidak boleh
menjadikan diri sendiri atau orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuan
menempatkan manusia sebagai pribadi bermartabat. Kedua menunjukan satu
aspek penting yaitu dalam memilih dan menentukan tujuan kita sebagai
14
kaeadah tujuan (mengambil keputusan moral) memperhatikan pertimbangan
pihak lain.
Selain itu Kant menyebut Prinsip Otonomi sebagai prinsip kesusilaan
yang paling tinggi karena membawa manusia pada pandangan kebebasan
sebagai kodrat dan kemampuan diri sendiri dalam tindakan moral.
AJaran moral Kant dalam relasinya dengan Tuhan adalah Allah dan
Suara hati dan Allah dengan tujuan moralitas. Kesadaran moral dalam suara
hati adalah mengandaikan Allah yang perintahnya wajib kita taati. Manusia
menyadari tuntutan Allah yang menjamin hukum abadi. Bagi Kant suara hati
adalah kesadaran akan suatu otoritas yang secara mutlak mengikat manusia
pada
kewajibannya.
Sedangkan
kesadaran
moral
mewajibkan
kita
mengusahakan kebaikan tertinggi. Dengan kata lain kebahagiaan disediakan
oleh Allah bagi mereka yang hidup baik secara moral.
Konsep moral Kant tersebut dengan hermeneutika hukum akan
digunakan
sebagai
pengurai
hukum
dengan
paradigmanya
dalam
peerkembangan teori hukum.
1. Paradigma Aristotelian
Hakekat Manusia dalam Perspektif Filsafat
15
Dalam tradisi kaum Aristotelian, kerangka berpikir yang dianut adalah
idealisme, dengan teori a priori menjadikan pangkal kebenaran terletak pada
subyektivisasi manusia. Suatu perbuatan benar-salahnya dilihat dari normanorma moral dan sosial masyarakat. Kebenaran dihasilkan oleh kesesuaian
antara perbuatan dengan patokan baik-buruknya dan atau benar-salahnya
perbuatan.
Berpangkal pada paradigma Aristotelian ini, maka Moral adalah tolok
ukur kemanusiaan dengan kepribadian yang utuh dan bermartabat yang
memberikan penilaian tentang baik-buruk, benar-salah. Karena kehadiran
manusia dalam semesta alam untuk sesuatu yang pasti. Pertanyaan
fundamental atas hidupnya, dari mana asalnya dan kemana harus menuju
menjadi latar kehidupannya. Para pendiri negara (The founding Fatahers) soal
“sangkan paraning urip” (asal mula tujuan hidup) menjadi soal fundamental,
dengan latar kebangsaan yang berbhineka tunggal ika, dibangun pandangan
hidup Pancasila, agar tujuan manusia dan tujuan negara sejalan, menjadi
manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang
adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat,
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan
dan perwakila
serta
berkeadilan sosial, dalam kejiwaan bangsa yang kekeluargaan dan bergotong
royong. Falsafah hidup bangsa saat ini mulai terlupakan.
16
Keberadaan manusia, oleh Poespoprodjo adalah hal yang khusus dan
terdapat tuntutan keharusan yang mesti ditaati jika ia hendak hidup sebagai
manusia. Seperti terkandung dalam Serat Wulang Reh, Djangkep XI
Asmaranadana Sebagai berikut:
“Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira. Uripe pada lan
kebo, angur kebo dagingira kalal yen pinangana, pan manusa
dagingipun, yen pinangan mesti karam. (Tidaklah mudah orang itu
hidup, bila tiada tahu akan hakekat hidupnya, samalah hidupnya
dengan kerbau, bahkan kerbau lebih berharga, dagingnya halal bila
dimakan, sedangkan daging manusia bila dimakan pasti haram)”21
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, membuat alat-alat dan
mengetahui penggunaan alat-lat tersebut untuk tujuannya. Oleh karena itu
tidaklah membutuhkan loncatan pemikiran yang sulit untuk kemudian
bertanya mengenai dirinya sendiri, untuk apakah manusia ?, tujuan apakah
yang dipastikan untuk dicapainya ? apakah arti hidupnya, apakah maksud
hidupnya ?, tetapi apakah manusia secara total mempunyai tujuan ?. Untuk
itu diperlukan kesesuaian antara penggunaan alat dengan cara yang benar.
Ada cara bmasyarakat yang benar, berhukum yang benar. Cara yang benar
memberi kepuasan, kesuksesan, dan ketenangan sedangkan cara yang salah
menyebabkan kekecewaan, kegagalan dan frustasi.
21
Lihat Poepoprodjo, Filsafat Moral,Kesusilaan dalam Teori dan Praktik,
(Bandung,Pustaka Grafka,1999),hal.17.
17
Oleh karena itu Aristoteles yang lahir di Yunani, memulai menyusun
cara-cara hidup yang baik ke dalam suatu system dan dilakukan penyelidikan
tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat yang melahirkan cabang filsafat
moral (filsafat kesusilaan) atau etika.
Etika Aristoteles telah memberikan tempat yang pantas untuk yang
namanya keadilan, kebajikan,
kemurahan hati, pemikirannya yang
mengarahkan kepada jalan yang baik dan kemanfataan seseorang di
masyarakat. Etka Aristoteles juga sering digambarkan sebagai naturalistic,
berusaha mencari dan menunjukkan keharmonian antara moralitas dengan
perilaku manusia.22
Moral dalam Perspektif Hukum Alam (Paradigma Aristotelian)
Untuk memahami konteks prinsip-prionsip pemikiran hukum alam
khususnya dalam bentuknya sebagai norma moral. Dari beberapa catatan
penting buku Summa Theologiae Thomas Aquinas terdapat 3 tingkatan atau
level interelasi hukum alam yang menjadi ajarannya.23 Tingkatan pertama,
yang terdiri dari beberapa pengetahuan tentang prinsip-prinsip hukum alam
yang secara umum menjadi ajaran hukum alam sendiri. Tingkatan kedua,
22
Andreas Sofrononiou, Moral Philosophy, The Ethical Approach: Throuhg The Ages (Swindon
UK,Psysys Limited,2003). p.23
23
William E May, German Grisez on Moral Principles and Moral Norm:Natural and Cristian.
Edited, Robert P.George, Natural Law and Moral Inquiry:Ethic, Metaphisyc, and Politic in the
work Germain Grisez (Whasington DC:Georgetown university Press,1998),page.4.
18
mencakup norma moral khusus yang menjadi perhatian adalah pada
“pengejawantahan tindakan manusia yang dapat segera dilakukan dengan
sedikit pertimbangan yang diperoleh dari prinsip-prinsip kebiasaan. Yang
menjadi ajaran tindakannya adalah “latar alamiah setiap orang untuk
memberikan penilaian atas apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan.
Thomas Aquinas menegaskan bahwa ajaran moral Decalogue24 termasuk
dalam tingkatan kedua dari ajaran (aliran) hukum alam. Tingkatan ketiga
berupa penilaian untuk pertimbangan banyak keadaan yang berbeda yang
diperlukan untuk melakukan tindakan berhati-hati bukan kepada setiap orang
tetapi untuk bijaksana.
Ajaran moral tidak termasuk dalam ajaran decalogue, tepatnya
merupakan ajaran yang sesuai dengan yang ditemukan melalui penyelidikan
yang cermat terhadap kebijaksanaan tetapi terkandung dalam prinsip-prinsip
ajaran decalogue. Makna ajaran moral tidak menerangkan kepada semua
orang, tetapi orang agar menjadi bijaksana, dan ajaran moral dimaksud adalah
lebih bersifat melengkapi ajaran decalogue.
Uraian di atas menunjukkan secara jelas Thomas Aquinas berpegang
pada ajaran hukum alam yang utama (decalogue) dan yang umum (moral).
24
Decalogue adalah risalah ajaran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Musa
dalam bentuk Ten Commandement.
19
Hukum alam sebagai landasan dikenal oleh setiap orang sebagai cahaya
kebenaran. Kebenaran dalam kaedah moral secara khusus dapat ditemukan
dan ditunjukkan dalam decalogue, bahkan individu terbiasa memahami
kebenaran dari ajaran moral yang terdapat dalam decalogue dengan
mengkaitkannya dengan dasar-dasar yang utama dan yang umum, meskipun
kebenaran yang dimaksudkan masih samar (khususnya tentang realitas dosa
dan konsekuensinya), karena itu Tuhan membuat manusia mengenalnya
melalui wahyu illahi.
Lebih lanjut Thomas Aquinas berpegang pada
kebenaran ajaran moral khusus (misalnya, sadarlah mumpung belum tua,
hormati orang yang lebih tua) dalam ajaran decalog dapat ditunjukkan sebagai
nur, bahwa pengabdian kepada Tuhan adalah premis untuk lebih memastikan
norma moral.
Tetapi apakah yang dimaksud dengan keutamaan dan keumuman
dalam prinsip hukum alam, yang dikenal sebagai dasar-dasar kealamiahan
yang pasti itu adalah ajaran moral. Seperti ditegaskan Thomas Aquinas dalam
Summa Theologiae, bahwa yang paling utama dari ajaran hukum alam adalah
sebagai berikut, kebaikan adalah suatu yang harus dilakukan dan dikejar,
sedangkan perbuatan jahat harus dihindari. Thomas juga menyebutkan
ajarannya semua di dasarkan padaajaran hukum alam yang selanjutnya
menjadi dasar tindakan manusia. Memahami kealamiahan sebagai kebaikan
20
sebagai konsekuensi yang harus diraih. Semua pikiran ditujukan untuk
menjadi manusia yang cenderung alamiah dan memahami mencegah dan
menghindari kejahatan.
Thomas mengidentifikasi kemajuan manusia adalah pada kehidupan
itu sendiri. Seperti Pasangan suami isteri dalam memberikan pendidikan
kepada anak, kehidupan sosial dengan pengetahuan yang benar terutama
kebenaran tentang Tuhan sebagai tujuan manusia mencapai kebaikan dan
menghindari kejahatan. Tetapi di dalam prinsip hukum alam tentang
keutamaan dan keumuman juga berkaitan dengan ajaran moral tentang satu
keharusan tidak membunuh (one ought not to kill/non esse occidendum)
adalah kesimpulan yang berasal dari proposisi dasar hukum alam bahwa
“kejahatan tidak boleh dilakukan kepada siapapun juga”.
Paling utama dari ajaran moral secara sederhana sebagaimana
disebutkan dalam sepeluh ajaran dari decalog yaitu,: first and principle
precept of the law, you shall love the lord your God, you shall love your
neighbor, first and common precept of natural law, All of the precept
Decalogue are reffered to these two as conclution
to their common
principles, more certain moral precept, commandement regarding love of
God and neighbor and other of this kind, whereby one is commanded to do to
21
another what he would have done to himself, are as it were the end of the
precept.25
2. Filsafat Moral dalam Perspektif Hukum Modern (Paradigma
Positivistik)
Pembicaraan filsafat dan ajaran moral dalam perspektif filsafat modern
dan hukum modern bisa digolongkan mengalami marginalisasi, karena pada
saat itu filsafat pengetahuan yang berkembang dalam paradigma positivistic
terbangun dalam epistemology pendayagunaan potensi pengetahuan untuk
mengelola alam dan segala apa yang ada disekitar kita sebagai objek – subjek.
Sehingga
dengan
demikian.
Pengetahuan
manusia
terpisah
dengan
kepentingan manusia, maka moral, perasaan, emosi, ideology tidak masuk
dalam menentukan pengetahuan itu. Menurut Widodo26, Pengetahuan
merupakan suatu hal yang steril dari subyektivitas manusia itu sendiri ilmu
pengetahuan hanya metode untuk memperoleh suatu pengetahuan sehingga ia
lepas dari permasalahan-permasalahan etika dimana hal itu urusan manusia.
Pengetahuan-untuk pengetahuan bukan pengetahuan untuk manusia. Dalam
lapangan hukum hukum untuk hukum, bukum hukum untuk manusia.
25
26
Ibid, p.6.
Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap
(Yogyakarta:Genta,2011),Hal.50-55.
Paradigma
Positivisme
Hukum
22
Positivisme diartikan sebagai sesuatu yang nyata, pasti dan jelas atau
kebalikan sesuatu yang khayal, metaphisik, dan tidak lagi dibuktikan secara
empiris. Dalam perkembangannya , positivism semakin ketat dan menuju
kearah penataan dan atau penertiban, tidak hanya membatasi fakta yang dapat
diamati secara empiric, namun pengetahuan harus berbasi pada data.
Positivisme terus berkembang dengan segala variannya dan tidak
hanya mengutak atik fakta melainkan ranah bahasa dan teks yakni positivism
logis. Jika positivism memberikan perhatian pada data sebagai sumber ilmiah
ilmu pengetahuan, maka positivisme logis untuk memberikan criteria yang
ketat, menetapkan apakah sebuah pernyataan benar, salah atau tidak memiliki
makna sama sekali dengan cara memverivikasi secara empiris berdasrkan
hubungan dengan data atau fakta. Semua bentuk pernyataan atau diskursus
yang tidak dapat diverifikasi secara empiris adalah “etika dan estetika”.27
Dalam pemikiran hukum modern, moral yang memuat
proposisi
normative dan evaluative, menurut pandangan positivistic dianggap tidak
rasional dan non kognitif dan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Karena itu
kaum positivistic memepelajari hukum secara ilmiah memisah hukum dan
moral.28
27
28
Ibid.kan hukum dan moral
Hart secara tegas bersikukuh menekankan pemisahan konsep hukum dengan moralitas. Hart
sebagai positivist adalah pengkritik moralis. Neil Mac Comic, H.L.A. HART,
(California:Stanford University Press,1981),page.197
23
Adalah KH.A.Mustofa Bisri tokoh Nahdlatul Ummah (NU) langitan
yang risau dengan kondisi modernitas dan hokum modern di Indonesia secara
kritis tetapi estetis mengungkapkan dalam pusinya (1987) yang berjudul “Kau
Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagai Mana” sebagai berikut:
Kau ini bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku Kau suruh berdisiplin, Kau menyontohkan yang lain
Aku harus bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, Kau sendiri memanggilnya dengan pengeras
suara tiap saat
Kau bilang Kau suka damai, Kau ajak Aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh membangun, Aku membangun Kau merusaknya
Aku Kau suruh menabung, Aku menabung Kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku menggarap sawah, sawahku Kau tanami rumah-rumah
Kau bilang Aku harus punya rumah, Aku punya rumah Kau meratakannya
dengan tanah
Kau ini bagaimana?
Aku Kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku Kau suruh bertanggung jawab, Kau sendiri terus berucap Wallahu a'lam
bissawab
Kau ini bagaimana?
Kau suruh Aku jujur, Aku jujur Kau tipu Aku
Kau suruh Aku sabar, Aku sabar Kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
Aku Kau suruh memliihmu sebagai wakilmu, sudah kupilih Kau bertindak
24
semaumu
Kau bilang Kau selalu memikirkanku, Aku sapa saja Kau merasa terganggu
3. Moral dalam Perspektif Hukum Post Modernisme (Paradigma
Kritikal)
Postmodernisme29 meskipun sebagai istilah masih kontroversial, tetapi
dilain
pihak
telah
memikat
minat
masyarakat
akademik
untuk
mengartikulasikan beberapa krisis dan perubahan sosio-kultural fundamental
yang kini sedang dialami umat manusia. Beragamnya aliran yang masuk
dalam
Postmodernisme,
kiranya
masih
dapat
diidentifikasi
dan
dikelompokkan, seperti kelompok Dekonstruktif, dan yang lain kelompok
yang cenderung Konstruktif atau revisioner. Pada kelompok dekonstruktif
dapat dimasukkan pemikiran-pemikiran Derrida, Lyotard, Foucault dan Rorty.
Sedangkan pada kelompok konstruktif atau revisioner dapat dimasukkan,
seperti Heidegger, Gadamer, Ricouer, Mary Hesse dari tradisi hermeneutika.
Selain itu David R.Griffin, Frederic Ferre, D.Bohn, dari tradisi studi proses
29
Post Modernisme merupakan istilah yang longgar dan ambigu dalam pengertiannya. Ia
digunakan untuk memayungi segala aliran pemikiran yang satu sama lain sering tidak persis
saling berkaitan. Ambiguitas dan kelonggarannya sebanding dengan istilah modern itusendiri.
Ada banyak hal yang biasa disinyalir sebagai karakter umum kemodernan yang sebetulnya
selalu dapat
diragukan dan digugat pula. Dan dari sudut ini ketidakjelasan makna
Postmodernisme boleh jadi justru berakar pada ketidakjelasan makna kemodernan itu
sendiri.Lihat. Bambang Sugiharto, Op.Cit.hal.16.
25
Whitehedian. Juga F.Capra, J.Lovelock, Gary Zukav, I.Prigogine dari tradisi
fisika yang berwawasan holistik.30
Bila diamati dari studi-studi ilmiah dan diskusi-diskusi tentang
Postmodernisme kelompok konstruktif dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan
intelektual berlatar relegius, seperti Nurcholis Madjid, Amien Abdullah,
Mudji Sutrisno dan lain-lain dan selain itu dari akademisi termasuk
diantaranya adalah Essmi Warrasih yang menginspirasi tradisi hermeneutika
dalam studi doktoral di Universitas Diponegoro. Hermeneutika sebagai studi
hukum seiring dengan berkembangnya postmodernisme. Mulai merebak
kembali sekitar tahun 1970an dengan banyaknya studi-studi penting
diantaranya Kemanfaatan Bible dalam akhlak (moralitas) Kristen, etika Bibel,
dan Etika testamen31 dan banyak lagi.
Studi Hermeneutika sesungguhnya telah dimulai dan dilakukan pada
masa kejayaan hukum alam dalam fungsinya menafsirkan pesan ilahiyah
dalam bentuknya sebagai herneneuin, yakni mengacu kepada seorang pendeta
bijak Delpic. Hermeneuin diasosiasikan dengan pada dewa Hermes. Tepatnya,
Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada dibalik
pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia
30
Bambang Sugiharto,Op.Cit.hal.16.
Charles H.Crosgrof,Appeling to Scripture, In Moral Debat:Five Hermeneutical
Rules (Michigan: Wm.B eerdmans Publishing,2002),page.1.
31
26
manusia.32 kemudian terjadi pergeseran paradigma positivistic, hermeneutika
dan moral kehilangan otoritasnya, oleh karena itu dalam paradigma
konstruktivistik dalam tata sosial postmodernime, tampak mulai bersinergi
kembali sebagaimana dikemukakan Gadamer, dimana para ahli hukum dan
teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.33
Hermeneutika merupakan titik fokus mengungkap yang sebenarnya
makna pemberantasan korupsi, dan mempertegas “penjelasan” makna khusus
suap pada hakim dalam hubungann dengan dunianya (worldview) dan dengan
teks dan suasana batin (moral) hakim. Serta memahami interpretasi hakim
terhadap pertimbanganan hukum (putusan) bermakna moral suap atau moral
anti suap.
Upaya membongkar moral hakim melawan korupsi (suap) adalah
fokus utama studi hermeneutika hukum untuk meberikan jawaban yang benar
atas pergulatan moral hakim terhadap suap. Hermeneutika menjadi nasib
penentu perlawanan terhadap korupsi (suap) di lingkungan peradilan dan
32
Asal kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata heermeneuin
yang berartri menafsirkan dan kata benda hermenea yang berarti
interpretasi. Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuki dasar makna dalam
pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi
dalam teoloogi dan sastra dan dalam konteks sekarang ia menjadi keyword
untuk memahami hermeneutika modern. Lihat
Richard E.Palmer,
Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta,Pustaka
Pelajar,2005). hal.14-25.
33
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik
(Bandung,Nusa Media,2011) hal.2.
27
membawa implikasi penting terhadap
penegakan hukum yang adil bagi
kehidupan dan keberadaan orang banyak dalam hubungannya dengan
pemberantasan korupsi.
Hermeneutika hukum yang berbasis paradigma konstrutivisme hendak
merenungkan pemikiran postmodernisme tentang,
1) “yang baik” atau hukumnya hukum,
2) Yang Benar, atau hukum moral subjek yang berlangsung secara
mandiri, dan,
3) Prinsip-prinsip suatu bawaan dalam system hukum.34
Menurut Ducilla Cornell terdapat dua pengertian ketika menyebut
perkataan “yang baik” . Pertama yang baik harus dipahami dalam pengertiannya
yang universal, sebagai keniscayaan yang tidak terhindarkan lagi pada semua
subjek. Kedua, yang baik harus dipahami sebagai kemungkinan imanen
reinterpretasi etis terhadap semesta konkret dalam suatu system hukum yang
terkonseptualisasi sebagai nomos yang tidak tertentukan. Ketiga bidang ini “yang
baik”, “yang benar” dan prinsip-prinsip legal tidak bisa direduksi menjadi
34
Lihat Drucilla Cornel, Dari Mercusuar:Janji Keselamatan dan Kemungkinan
Interpretasi Hukum dalam Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Hal.206-234.
28
kategori-kategori pikiran, karena semua itu menggambarkan tipe interaksi
manusia.
Hegel mengenali adanya saling pengaruh antara ketiga hal tesebut, karena
itu ia memaknai sebagai bagian dari sistem. Tetapi makna ketiga dalam
pengenalan Hegel sampai kepada kita hanya melalui pengetahuan absolut dimana
yang baik tersingkap sepenuhnya. Hegelianisme hanyalah salah satu diantara
banyak upaya yang mencoba mendasarkan sistem hukum aktual diatas landasan
konsepsi mengenai yang baik.
Drucilla dengan berfokus pada Hegel dengan alasan yang berbeda. Hegel
menolak teori-teori deontologist mengenai yang benar sebagai basis system
hukum modern, ia menentang Neo Kantoanisme yang memandang bahwa
normativitas yang benar tidak bisa bersandar pada dirinya sendiri. Dengan kata
lain Hegel mengingatkan kepada kita dalam modernitas maupun postmodernitas
sekalipun kita masih terkungkung dalam jalinan ketiga hal tersebut. Justru bidang
yang baik iniloah yang diperdebatkan
dalam moralitas neo Kantian yang
inkonsisten dengan modernitas.
Sebagai ganti atas hukumnya hukum atau “yang baik” ditempatkan
“hukum
subjek” yang bebas mandiri. Sebagaimana dikatakan Hegel bahwa
manusia tidak dapat lepas dari hukumnya hukum sebagai yang dimaknai yang
baik, karena teori yang benar bisa didasarkan secara normatif hanya dengan
29
menyebutkan secara tersirat tentang yang baik itu. Justru kegigihan atas saling
pengaruh antara ketiga bidang tersebut membuat kisah postmodern yang
diuraikan Drucilla menjadi istimewa dibandingkan dengan sudut pandang neo
Kantianisme.
Perdebatan terkini dalam yurisprudensi Amerika mengenai kemungkinan
hermeneutika hukum menjawab atas pertanyaan, bisakah kita lepas dari Penal
Colony dalam sistem hukum modern ? jika hukum direduksi mkenjadi legitimasi
positif kekuasaan institusional melalui prosedur hukum yang mapan. Menurut
Levinas adalah yang baik, hukumnya hukum, sebagai tanggungjawab atas yang
lain yang menyeru kita pada keadilan.
C. PENUTUP
Moral dalam lintasan Perkembangan teori-teori hukum sejatinya
menempati kedudukan yang fondasional dalam filsafat, teori maupun metode
dalam berhukum. Worldview dari ketiga paradigma sebagaimana diuraikan dalam
pembahasan sesungguhnya menempatkan moral sebagai institusi penting dalam
berhukum, hanya saja hegemony yang mendunia dari pemikiran positivist
Descartes, memarginalkan urgensi moral dalam mewujudkian keadilan dalam
berhukum. Paradigma Aristotelian, sejak awal telah menyiratkan tentang keadilan
sebagai hal penting dalam filsafat hukum. Demikian juga dalam Paradigma
30
Konstruktivisme yang mengusung Postmodernisme sebagai perlawanan dalam
filsafat hermeneutika ternyata memiliki lintasan dengan paradigma Aristotellian
tentang bagaimana hukumnya hukum, yang baik yang memberikan keadilan.
Dalam filsafat Postmodernisme, teoridan filsafat hermeneutika hukum dapat
menyemai keadilan, karena hermeneutika hukum mendasarkan pada kejujuran
subyek sebagai manusia, para ahli hukum, teolog dan para ilmuan kemanusiaan
duduk bersama bedialog dengan moral, hati nurani, agama dan ilmu social
menemukan keadilan yang dibuthkan oleh hukum.
Wallhu alam Bishawab,
DAFTAR PUSTAKA
31
Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta:Kanisius,1990.
Charles H. Crosgrof, Appeling to Scripture, In Moral Debat:Five
Hermeneutical Rules, Michigan: Wm. B Eerdmans Publishing,2002.
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum,Sejarah,Teori dan Praktik,
Bandung,Nusa Media,2011.
I.Bambang Sugiharto, Postmodernisme,
Yogyakarta:Kanisius,1996.
Tantangan
Bagi
Filsafat,
John Stuart Henry Hazlit Mills dalam Henri Hazlit,Dasar-Dasar Moralitas,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2003.
K. Bertens, Etika, Jakarta;Gramedia Pustaka Utama,2011.
Neil Mac Comic, H.L.A. HART, California:Stanford University Press,1981.
Puspoprodjo, Filsafat Moral, Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung,
Pustaka Grafika,1999.
Richard
E.
Palmer,
Hermeneutika,
Teori
Interpretasi,Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2005.
Baru
Mengenai
Simon Petrus L Tjahjadi, Petualangan Intelektual;Konfrontasi dengan Para
Filsuf dari Zaman Yunani hingga zaman Modern,
Yogyakarta,Kanisius,2004.
Teddy Asmara, Budaya Ekonomi Hukum Hakim (Semarang,Fasindo,2011)
Widodo
Dwi
Putro,
Kritik
Terhadap
Hukum,Yogyakarta:Genta,2011.
Paradigma
Positivisme
32
33