Fiqih Muamalah Bab 3 Murabahah Jual Beli

Fiqih Muamalah Bab 3 Murabahah (Jual Beli)
A. PENGERTIAN
1. Menurut bahasa
Jual beli (‫ )اﻟﺑﯾﻊ‬secara bahasa merupakan masdar dari kata ‫ﺑﻌت‬
diucapkan ‫ﯾﺑﯾﻊ‬-‫ ﺑﺎء‬bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya
keluar dari kata ‫ اﻟﺑﺎع‬karena masing-masing dari dua orang yang
melakukan akad meneruskannya untuk mengambil dan
memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan
pembelian disebut ‫ن اﻟﺑﯾﻌﺎ‬.
Jual beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”.
Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah.
2. Menurut syara’
Pengertian jual beli (‫ )اﻟﺑﯾﻊ‬secara syara’ adalah tukar menukar
harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan
(Mughnii 3/560).
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan
harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin alKasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’i, juz 5, hal. 133)
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta
dengan harta untuk kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini,
Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)


c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran
harta dengan harta untuk saling menjadikan milik”. (Ibnu
Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d. Tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau
kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan
keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh al-Nadii
Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang
dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang
lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah)
f. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf)
dengan ijab dan qabul dengan cara yang sesuai dengan syara.
(Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
g. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling
merelakan dan memindahkan hak milik dengan ada
penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal.
126)
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli
ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang

mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakati.
Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan
dan mengandung hal-hal antara lain :

- Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan
tukar menukar
- Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang
dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah
pihak.
- Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi
sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
- Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua
belah pihak memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan
adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
- Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari

karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah
2 : 198)
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Imam Bukhari rh
berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah
menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas
yang menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan
Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa
berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. (Tafsir Ibnu
Katsir)

-

Allah Swt berfirman, “mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. AlBaqarah 2 : 275)

Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal
ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum syara’ yakni
menyamakan yang halal dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan

jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang
ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka
katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan
antara jual beli dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual
beli”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
Ibnu Juraij berkata, “Barang siapa yang melakukan jual beli,
hendaklah ia mengadakan persaksian”.
Qatadah rh berkata bahwa disebutkan kepada kami bahwa Abu
Sulaiman al-Mur’isyi (salah seorang yang berguru kepada Ka’b)
mengatakan kepada murid-muridnya, “Tahukah kalian tentang
seorang yang teraniaya yang berdoa kepada Tuhannya tetapi
doanya tidak dikabulkan?”. Mereka menjawab, “Mengapa bisa
demikian?”.
Abu Sulaiman berkata, “Dia adalah seorang lelaki yang menjual
suatu barang untuk waktu tertentu tetapi ia tidak memakai saksi
dan tidak pula mencatatnya. Ketika tiba masa pembayaran ternyata

si pembeli mengingkarinya. Lalu ia berdoa kepada Tuhan-nya tetapi
doanya tidak dikabulkan.

Demikian itu karena dia telah berbuat durhaka kepada Tuhannya
yaitu tidak menuruti perintah-Nya yang menganjurkannya untuk
mencatat atau mempersaksikan hal itu”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Abu Sa’id, Asy-Sya’bi, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij
dan Ibnu Zaid serta lainnya mengatakan bahwa pada mulanya
menulis utang piutang dan jual beli itu hukumnya wajib, kemudian
di-mansukh oleh firman Allah Swt, “Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)

berkata, “Engkau benar”. Lalu pemilik uang itu memberikan utang
itu kepadanya untuk waktu yang ditentukan. Lalu ia berangkat
melalui jalan laut (naik perahu).
Setelah keperluannya selesai, lalu ia mencari perahu yang akan
mengantarkannya ke tempat pemilik uang karena saat pelunasan
utangnya hamper tiba. Akan tetapi ia tidak menjumpai sebuah
perahu pun.

Dalil lain yang memperkuat hal ini ialah sebuah hadits yang
menceritakan tentang syariat umat sebelum kita tetapi diakui

syariat kita serta tidak diingkari yang isinya menceritakan tiada
kewajiban untuk menulis dan mengadakan persaksian.

Akhirnya ia mengambil sebatang kayu, lalu melubangi tengahnya,
kemudian uang 1000 dinar itu dimasukkan ke dalam kayu itu
berikut sepucuk surat buat alamat yang dituju. Lalu lubang itu ia
sumbat rapat, kemudian ia datang ke tepi laut dan kayu itu ia
lemparkan ke laut seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau
telah mengetahui bahwa aku pernah berutang kepada si Fulan
sebanyak 1000 dinar. Ketika ia meminta kepadaku seorang
penjamin, maka kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai penjaminku’,
dan ternyata ia rela dengan hal tersebut.

Imam Ahmad berkata bahwa telah menceritakan kepada kami
Yunus bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Laits, dari
Ja’far ibnu Rabi’ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmudz, dari Abu
Hurairah, dari Rasulullah Saw yang mengisahkan dalam sabdanya,
“Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil meminta
meminta kepada seseorang yang juga dari kalangan Bani Israil agar
meminjaminya uang sebesar 1000 dinar. Maka pemilik uang

berkata kepadanya, “Datangkanlah kepadaku para saksi agar
transaksiku ini dipersaksikan oleh mereka”.”

Ia meminta saksi kepadaku, lalu kukatakan, ‘Cukuplah Allah
sebagai saksi’ dan ternyata ia rela dengan hal tersebut.
Sesungguhnya aku telah berusaha keras untuk menemukan
kendaraan (perahu) untuk mengirimkan ini kepada orang yang
telah memberiku utang tetapi aku tidak menemukan sebuah
perahu pun. Sesungguhnya sekarang aku titipkan ini kepada
Engkau”. Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut hingga tenggelam ke
dalamnya. Sesudah itu ia berangkat dan tetap mencari kendaraan
perahu untuk menjuju ke negeri pemilik piutang.

Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai saksi”. Pemilik uang
berkata, “Datangkanlah kepadaku seorang yang menjaminmu”. Ia
menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjamin”. Pemilik uang

Lalu lelaki yang memberinya utang keluar dan melihat-lihat
barangkali ada perahu yang tiba membawa uangnya. Ternyata yang
ia jumpai adalah sebatang kayu tadi yang di dalamnya terdapat


uang. Maka ia memungut kayu itu untuk keluarganya sebagai kayu
bakar.
Ketika ia membelah kayu itu, ternyata ia menemukan sejumlah
harta dan sepucuk surat itu. Kemudian lelaki yang berutang tiba
kepadanya dan datang kepadanya dengan membawa uang 1000
dinar sambil berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha keras
mencari perahu untuk sampai kepadamu dengan membawa
uangmu tetapi ternyata aku tidak dapat menemukan sebuah
perahu pun sebelum aku tiba dengan perahu ini”.
Ia bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu
kepadaku?”. Lelaki yang berutang balik bertanya, “Bukankah aku
telah katakatan kepadamu bahwa aku tidak menemukan sebuah
perahu pun sebelum perahu yang datang membawaku sekarang?’.
Ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah membayarkan utangmu
melalui apa yang engkau kirimkan di dalam kayu tersebut. Maka
kembalilah kamu dengan 1000 dinarmu itu dengan sadar. (HR
Bukhari)
- Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)
Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat di atas bahwa Allah Swt
melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta
sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang
batil yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara
riba dan judi serta cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai
macam tipuan dan pengelabuan.

Sekalipun pada lahiriyahnya seperti memakai cara-cara yang
sesuai syara’ tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya
para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba tetapi
dengan cara hailah (tipu muslihat). (Tafsir Ibnu Katsir)
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kalian”, yakni janganlah kalian menjalankan
usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi
berniagalah menurut syariat dan dilakukan suka sama suka (saling
ridha) di antara penjual dan pembeli serta carilah keuntungan
dengan cara yang diakui oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,

dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S Al Qashash 28 : 77)
Mereka harus senantiasa ingat akan nasibnya dari dunia yang
sangat sedikit dan sebentar. Bila kenikmatan yang sedikit ini tidak
dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan yang abadi tentu
mereka akan menyesal untuk selamanya. Sementara sebagian orang
menjadikan ayat ini sebagai dorongan untuk meningkatkan
kehidupan duniawi, padahal tanpa menggunakan ayat al-Qur’an pun
kebanyakan manusia terus berlomba dalam mencari dan
meningkatkan kehidupan dunia.
Sebaliknya, karena kesibukan duniawi yang tidak pasti ini,
banyak sekali manusia melupakan tugasnya sebagai hamba dalam
menghadapi hari akhirat yang pasti terjadi. Karena itu sangat
diperlukan bagi mereka penjelasan tentang hakikat keni’matan dunia,

bahwa keni’matan tersebut Allah sediakan demi bekal akhirat. Dan
manusia diingatkan bahwa waktu yang tersedia untuk membekali

diri demi kepntingan akhirat sangat terbatas. Karena itu janganlah
manusia lalai akan keterbatasan waktu ini.
Ibnu Abi-Ashim mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘jangan
lupa nasibmu dari dunia’ bukan berarti jangan melupakan
keni’matan lahir di dunia, melainkan umurmu. Artinya gunakanlah
usiamu untuk akhirat.”
Dan Ibnul Mubarak juga berpandangan yang sama, ia berkata:
“Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia’ adalah
beramal ibadah dalam taat kepada Allah di dunia untuk meraih
pahala di akhirat.”
Dua ungkapan diatas bukanlah ungkapan yang baru melainkan
kelanjutan dari ungkapan para pendahulunya dari para ahli tafsir
baik generasi shahabat, tabiin atau tabi’ut tabi’in.
Dalam menafsirkan ayat ini Ath-Thabari mengatakan: “Janganlah
kamu tinggalkan nasibmu dan kesempatanmu dari dunia untuk
berjuang demi meraih nasibmu dari akhirat, maka kamu terus
beramal ibadah yang dapat menyelamatkanmu dari siksaan Allah.”
Dia juga mengutip beberapa ungkapan para shahabat,
dianataranya: Ibnu Abbas: “Kamu beramal didunia untuk
akhiratmu.” Mujahid: “Beramal dengan mentaati Allah.”
Zaid: ”Janganlah kamu lupa mengutamakan dari kehidupan
duniamu untuk akhiratmu, sebab kamu hanya akan mendapatkan di
akhiratmu dari apa yang kamu kerjakan didunia dengan
memanfaatkan apa yang Allah rizkikan kepadamu.”

Dari beberapa pernyataan shahabat diatas, dapat diketahui bahwa
yang dimaksud dengan “jangan melupakan nasibmu dari dunia”
adalah peringatan jangan lalai terhadap kesempatan untuk beramal
yang tidak lama lagi akan berakhir. Artinya menyuruh manusia agar
mampu menggunakan semua karunia Allah demi keselamatan dan
kemaslahatan akhirat.
Dengan demikian, maka makna ayat ini sangat erat hubungannya
antara awal, tengah dan penghujung ayat. Dan tidak ada hubungan
dengan perintah untuk berlomba dalam mencari kehidupan duniawi
atau meningkatkan kemajuan ekonomi. Sebab tanpa perintah,
umumnya manusia terus berlomba untuk meraih kehidupan dunia.
2. As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik.
Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan
setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh Hakim
dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang
terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling
meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama
suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak
halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu
Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul Majaz adalah

pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang
Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu…”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda,
“Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum
berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya)
bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR
Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah
(dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun
demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya
itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan
kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan
kewajiban ibadahnya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)

[1475]. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin
telah azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera
memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua
pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli
dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan
perbuatan haram.
Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma’idah
5 : 2)
Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki),
hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu
seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga
persediaan barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik.
C. RUKUN JUAL BELI
Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat :
1. Akad (ijab qabul)
Ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum
dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul
menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan
dengan lisan dan tulisan.

Ijab qabul dalam bentuk perkataan dan/atau dalam bentuk
perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan
uang).
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang
kecilpun harus ada ijab qabul tetapi menurut Imam an-Nawawi dan
ulama muta’akhirin syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli
barang-barang yang kecil tidak dengan ijab qabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari
tidak disyaratkan ijab qabul, ini adalah pendapat jumhur (al-Kahlani,
Subul al-Salam, hal. 4).

1. Akad (ijab qabul)
- Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah
penjual menyatakan ijab atau sebaliknya.
- Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Masalah ijab qabul ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya
sebagai berikut :
a. Madzhab Syafi’i

2. Orang-orang yang berakad (subjek) - ‫ن اﻟﺑﯾﻌﺎ‬

“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab qabul) yang
diucapkan”. (Al-Jazairi, hal.

Ada 2 pihak yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli).

155)

3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Ma’kud ‘alaih adalah barang-barang
pandangan syara’.

Syarat shighat menurut madzhab Syafi’i :
yang bermanfaat

menurut

4. Ada nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar pengganti barang ini yaitu dengan sesuatu yang
memenuhi 3 syarat yaitu bisa menyimpan nilai (store of value), bisa
menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa
dijadikan alat tukar (medium of exchange).
D. SYARAT JUAL BELI

1. Berhadap-hadapan
Pembeli dan penjual harus menunjukkan shighat akadnya
kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya yakni
harus sesuai dengan orang yang dituju.
Dengan demikian tidak sah berkata, “Saya menjual
kepadamu!”. Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada
Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2. Ditujukan pada seluruh badan yang akad

Tidak sah berkata, “Saya menjual barang ini kepada kepala
atau tangan kamu”.
3. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak
bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab kecuali jika
diwakilkan.
4. Harus menyebutkan barang dan harga
5. Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
6. Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum
mengucapkan, jual beli yang dilakukannya batal.
7. Ijab qabul tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang
terlalu lama yang menggambarkan adanya penolakan dari
salah satu pihak.
8. Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
9. Tidak berubah lafazh
Lafazh ijab tidak boleh berubah seperti perkataan, “Saya
jual dengan 5 dirham”, kemudian berkata lagi, “Saya
menjualnya dengan 10 dirham”, padahal barang yang dijual

masih sama dengan barang yang pertama dan belum ada
qabul.
10. Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
11. Tidak dikaitkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada
hubungan dengan akad.
12. Tidak dikaitkan dengan waktu
b. Madzhab Hambali
Syarat shighat ada 3 yaitu :
1. Berada di tempat yang sama
2. Tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak terdapat pemisah yang
menggambarkan adanya penolakan.
3. Tidak dikatkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak
berhubungan dengan akad
c. Imam Malik berpendapat :

“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami
saja”. (al-Qurthubi, hal. 128)
Syarat shighat menurut madzhab Maliki :
1. Tempat akad harus bersatu
2. Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
Di antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisah yang
mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara
adat.
d. Madzhab Hanafi
Syarat shighat :
1. Qabul harus sesuai dengan ijab
2. Ijab dan qabul harus bersatu
Yakni berhubungan antara ijab dan qabul walaupun
tempatnya tidak bersatu
e. Pendapat kelima adalah penyampaian akad dengan perbuatan
atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah yaitu :
“Aqad bi al-mu’athah ialah mengambil dan memberikan dengan
tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli
sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia

mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai
pembayaran”. (al-Jazairi, hal. 156)
2. Orang yang berakad (aqid)
- Baligh dan berakal.
Sehingga tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil, orang
gila dan orang bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan
harta.
Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan”. (Q.S. An-Nisa 4 : 5)
[268]. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang
belum baligh atau orang dewasa yang jahil (tidak dapat
mengatur harta bendanya).
- Beragama Islam.
Syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda
tertentu, misal penjualan budak muslim kepada orang kafir sebab
kemungkinan besar pembeli tersebut akan merendahkan abid
yang beragama Islam, sedangkan Allah Swt melarang orang-orang
mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan
mukmin.

Allah Swt berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman”. (Q.S. An-Nisaa 4 : 141)
Syarat aqid menurut 4 madzhab :
a. Madzhab Syafi’i
1. Dewasa atau sadar
Aqid harus balig dan berakal, menyadari dan mampu
memelihara din dan hartanya. Dengan demikian, akad
anak mumayyiz dianggap tidak sah.
2. Tidak dipaksa atau tanpa hak
3. Islam
Dianggap tidak sah, orang kafir yang membeli kitab AlQur’an atau kitab-kitab yang berkaitan dengan dinul Islam
seperti hadits, kitab-kitab fiqih atau membeli budak yang
muslim.
Allah Swt berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak
memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang
mukmin”. (Q.S. An-Nisa’ 4 : 141)
4. Pembeli bukan musuh

Umat Islam dilarang menjual barang, khususnya senjata
kepada musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan
menghancurkan kaum muslimin.
b. Madzhab Hambali
1. Dewasa
Aqid harus dewasa (baligh dan berakal) kecuali pada jual
beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin
dari walinya dan mengandung unsur kemashlahatan.
2. Ada keridhaan
Masing-masing aqid harus saling meridhai yaitu tidak
ada unsur paksaan. Ulama Hanabilah menghukumi makruh
bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau
karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar
harga umum.
c. Madzhab Maliki
1. Penjual dan pembeli harus mumayyiz
2. Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan
wakil
3. Keduanya dalam keadaan sukarela
Jual beli berdasarkan paksaan adalah tidak sah.

4. Penjual harus sadar dan dewasa
Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi aqid
kecuali dalam membeli hamba yang muslim dan membeli
mushaf.
d. Madzhab Hanafi
1. Berakal dan mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh.
Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan
berakal secara umum terbagi 3 :
- Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah
- Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti
tidak sah talak oleh anak kecil
- Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan
kemudharatan yaitu aktifitas yang boleh dilakukan tetapi
atas seizin wali.
2. Berbilang
Sehingga tidak sah akad yang dilakukan seorang diri.
Minimal 2 orang yang terdiri dari penjual dan pembeli.
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Barang yang diperjualbelikan (objek) :

a. Suci (halal dan thayyib). Tidak sah penjualan benda-benda
haram atau bahkan syubhat.
b. Bermanfaat menurut syara’.
c. Tidak ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan hal lain, seperti “jika
ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu”.
d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan, “Kujual motor ini
kepadamu selama 1 tahun” maka penjualan tersebut tidak sah
karena jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara
penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.
e. Dapat diserahkan cepat atau lambat, contoh :
- Tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat
ditangkap lagi
- Barang-barang yang sudah hilang
- Barang-barang yang sulit diperoleh kembali karena samar,
seperti seekor ikan yang jatuh ke kolam sehingga tidak
diketahui dengan pasti ikan tersebut.
f. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain :
- Dengan tidak seizin pemiliknya
- Barang-barang yang baru akan menjadi pemiliknya
g. Diketahui (dilihat).

Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya,
beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran lainnya. Maka tidak sah
jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.
Syarat ma’qud ‘alaih menurut madzhab :
- Madzhab Syafi’i
1. Suci
2. Bermanfaat

2. Milik penjual secara sempurna
Dipandang tidak sah jual beli fudhul, yakni menjual barang
tanpa seizin pemiliknya.
3. Barang dapat diserahkan ketika akad
4. Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
Barang harus jelas dan diketahui kedua belah pihak yang
melangsungkan akad.

3. Dapat diserahkan

5. Harga diketahui oleh kedua belah pihak

4. Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain

6. Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah

5. Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad
- Madzhab Hambali
1. Harus berupa harta
Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat
menurut pandangan syara’. Ulama Hanabilah mengharamkan
jual beli Al-Qur’an, baik untuk muslim maupun kafir sebab AlQur’an itu wajib diagungkan, sedangkan menjualnya berarti
tidak mengagungkannya.
Begitu pula mereka melarang jual beli barang-barang
mainan dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya.

Barang, harga dan aqid harus terhindar dari unsur-unsur yang
menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah, seperti riba.
- Madzhab Maliki
1. Bukan barang yang dilarang syara’
2. Harus suci, maka tidak boleh menjual khamr dan lain-lain
3. Bermanfaat menurut pandangan syara’
4. Dapat diketahui oleh kedua orang yang berakad
5. Dapat diserahkan

- Madzhab Hanafi : (Alaudin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib
Asy-Syarai’, juz 5, hal. 138-148)
1. Barang harus ada
Tidak boleh akad atas barang-barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang belum
tampak atau jual beli anak hewan yang masih dalam
kandungan.
2. Harta harus kuat, tetap dan bernilai
Yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
3. Benda tersebut milik sendiri
4. Dapat diserahkan
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa yang bisa dijadikan standar nilai
(harga) adalah dinar emas dan dirham perak.
Ibnu Khaldun rh berkata, “Allah telah menciptakan dua logam
mulia, emas dan perak, sebagai standar ukuran nilai untuk seluruh
bentuk simpanan harta kekayaan. Emas dan perak adalah benda
yang disukai dan dipilih oleh penduduk dunia ini untuk menilai
harta dan kekayaan.
Walaupun, karena berbagai keadaan, benda-benda lain didapat,
namun tujuan utama dan akhirnya adalah menguasai emas dan

perak. Semua benda lain senantiasa terkait perubahan harga pasar,
namun itu tak berlaku pada emas dan perak. Keduanya-lah ukuran
keuntungan, harta dan kekayaan”. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah)
Syarat uang menurut Imam Al-Ghazali ada 3 yaitu :
 Penyimpan Nilai (Store of Value)
Yaitu uang harus bisa mempunyai nilai atau harga yang tetap
(stabil).
 Satuan Perhitungan/Timbangan (Unit of Account)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai satuan perhitungan atau
timbangan (Unit of Account) untuk menimbang atau menilai
suatu barang atau jasa.
Allah Swt menjadikan uang dinar dan dirham sebagai hakim dan
penengah di antara harta benda lainnya sehingga harta benda
tersebut dapat diukur nilainya dengan uang dinar dan dirham
(menjadi satuan nilai). (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222)
 Alat Tukar (Medium of Exchange)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai alat tukar (Medium of
Exchange) untuk melakukan transaksi perdagangan barang atau
jasa.
Uang dinar dan dirham menjadi perantara untuk memperoleh
barang-barang lainnya. Karena uang tidak dapat memiliki manfaat
pada dirinya sendiri, namun ia memiliki manfaat bila

dipergunakan untuk hal-hal yang lain. (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin,
hal 222)
Kenapa emas dan perak? Menurut Al-Ghazali dikarenakan kedua
barang tambang itulah yang dapat tahan lama dan mempunyai
keistimewaan dibanding dengan barang yang lain serta keduanya
mempunyai nilai atau harga yang sama (stabil).
Al-Maqrizi, ulama abad ke-8 Hijriyah, salah seorang murid Ibnu
Khaldun. Beliau memangku jabatan hakim (qadhi al-Qudah)
madzhab Maliki pada masa amirat Sultan Barquq (784 – 801 H).
(Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, hal. 16)
Pada tahun 791 H, Sultan Barquq mengangkat al-Maqrizi sebagai
muhtasib di Kairo. Jabatan tersebut diembannya selama 2 tahun.
Pada masa ini, al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan
berbagai permasalahan pasar, perdagangan dan mudharabah
sehingga perhatiannya terfokus pada harga-harga yang berlaku,
asal-usul uang dan kaidah-kaidah timbangan. (Hammad bin
Abdurrahman al-Janidal, Manahij al-Bahitsin fi al-iqtishad al-Islamii,
2/208)
Menurut al-Maqrizi, baik pada masa sebelum atau setelah
kedatangan Islam, uang digunakan oleh umat manusia untuk
menentukan harga barang dan nilai upah. Untuk mencapai tujuan
ini, uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak. (AlMaqrizi, al-Nuqud al-‘Arabiyah al-Islamiyah wa ‘ilm al-Namyat, hal.
73)
E. Hukum dan Sifat Jual Beli

Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli
menjadi 2 macam :
1. Jual beli yang sah (shahih)
Jual beli yang shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan
syara’, baik rukun maupun syaratnya.
2. Jual beli yang tidak sah
Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah
satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau
batal. Dengan kata lain menurut jumhur ulama, rusak dan batal
memiliki arti yang sama.
Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli
menjadi 3 yaitu :
1. Jual beli shahih
Adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya,
sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
2. Jual beli batal
Adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang
tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya,
seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
3. Jual beli fasid (rusak)

Adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya
tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli
yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh sehingga
menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat dengan
jumhur ulama bahwa batal dan fasad adalah sama.
F. JUAL BELI YANG DILARANG DALAM ISLAM
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah alZuhaily meringkasnya sbb :
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila
dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih dan
mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang
dipandang tidak sah jual belinya adalah sbb :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah.
Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk dll.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz)
dipandang tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan
sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang
belum baligh tidak sah sebab tidak ada ahliah.

Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah,
jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka
antara lain beralasan salah satu cara untuk melatih kedewasaan
adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga
pengamalan atas firman Allah Swt.
Allah Swt berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu
mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa' 4 :
6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika
barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak
sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan
yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa
seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni
ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang
rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya
ada khiyar.

Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli
tersebut tidak sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin
pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli
ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya.
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli
fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan,
bangkrut ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka
menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah,
Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah,
harus ditangguhkan.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak
sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat
dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang
bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama
Malikiyah dan Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah
dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah
yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari

hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli
tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya
dibolehkan pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah
dll.
g. Jual beli malja’
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam
bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli
tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut
ulama Hanabilah.
2. Terlarang Sebab Shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan
pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada
kesesuaian di antara ijab dan qabul, berada di satu tempat dan
tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang
tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih
diperdebatkan oleh para ulama adalah sbb :
a. Jual beli mu’athah
Adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad,
berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak
memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan shahih apabila
ada ijab dari salah satunya.

Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan
atau cara-cara lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan
barang dan menerima uang dipandang sebagai shighat dengan
perbuatan atau isyarat.
Adapun ulama Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni
al-Muhtaj, juz 2, hal.3) berpendapat bahwa jual beli harus
disertai ijab qabul yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup
dengan isyarat sebab keridhaan sifat itu tersembunyi dan tidak
dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Mereka hanya
membolehkan jual beli dengan isyarat bagi orang yang uzur.
Jual beli mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama
Hanafiyah tetapi sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya
seperti Imam Nawawi. (As-Suyuti, Al-Asbah, hal. 89)
Menurutnya, hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia.
Begitu pula Ibn Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam
hal-hal kecil.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan
adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau
utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul
melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah seperti
surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan

Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan
khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu,
isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila
isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat
dibaca), akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada
di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat
terjadinya aqad.
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan
tetapi, jika lebih baik, seperti meninggalkan harga, menurut
ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah
menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan
pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid
menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat
pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang
jualan) dan harga.

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila
ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat,
berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang
akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada
larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian
ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada
atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung
yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan
ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung
kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw
bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual
beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)
Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang dilarag ada 10
macam :

- Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang
masih dalam kandungan induknya
- Tidak diketahui harga dan barang
- Tidak diketahui sifat barang atau harga
- Tidak diketahui ukuran barang dan harga
- Tidak diketahui masa yang akan datang seperti, “Saya jual
kepadamu jika fulan datang”.
- Menghargakan dua kali pada satu barang
- Menjual barang yang diharapkan selamat
- Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika
tongkat jatuh maka wajib membeli
- Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar
melempari seperti seseorang melempar bajunya, kemudian
yang lain pun melembar bajunya maka jadilah jual beli
- Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain maka
wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis
seperti khamr. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang

barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin
dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak
untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya
setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki seperti air sumur
atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh
jumhur ulama empat madzhab. Sebaliknya ulama zhahiriyah
melarang secara mutlak.
Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah yakni
semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad,
sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan
pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak
dapat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa
harus menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar
ketika melihatnya.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah,
sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan
sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 macam :
- Harus jauh sekali tempatnya
- Tidak boleh dekat sekali tempatnya
- Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
- Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
- Penjual tidak boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat
dipindahkan sebelum dipegang tetapi untuk barang yang tetap
dibolehkan.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama
Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah
melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah
ada buah tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama
Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika buahbuahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.

4. Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan
dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang
diperselisihkan di antara para ulama, di antaranya berikut ini :
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama
Hanafiyah tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi
akad atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah
batal sebab ada nash yang jelas dari hadits Bukhari dan Muslim
bahwa Rasulullah Saw mengharamkan jual beli khamr, bangkai,
anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat
yang dituju (pasar) sehingga orang yang mencegatnya akan
mendapat keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
hal itu makruh tahrim.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh
khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu
termasuk fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jum’at

Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat
Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu adzan pertama.
Sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketika khatib sudah
berada di mimbar (adzan kedua).
Ulama Hanafiyah menghukumi makruh tahrim, sedangkan
ulama Syafi’iyah menghukumi shahih haram. Tidak jadi
pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah dan tidak
sah menurut ulama Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zhahirnya shahih
tetapi makruh. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan
Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun
masih dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang
menyuruh untuk membatalkannya sebab ia akan membelinya
dengan harga yang tinggi.
h. Jual beli memakai syarat

Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti,
“Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak
dijahit dulu”.
Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika
bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat
maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad,
sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika
hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
C. Hikmah Disyariatkannya Jual Beli
1. Pemenuhan kebutuhan hidup dengan adanya saling tukar menukar
(pengganti)
2. Melapangkan persoalan kehidupan dan tetapnya alam sehingga
bisa meredam perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan
dan penipuan. (Nailul Authar 5/151)
D. Perbedaan antara Jual Beli dan Riba
1. Jual beli dihalalkan oleh Allah Swt, sedangkan riba diharamkan.
2. Dalam aktifitas jual beli, antara untung dan rugi bergantung kepada
kepandaian dan keuletan individu. Sedangkan dalam riba hanya
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam semua
aktivitasnya (Fii Dzilaalil Qur’an 1/327), tidak membutuhkan
kepandaian dan kesungguhan bahkan terjadi kemandegan,
penurunan dan kemalasan.

3. Dalam jual beli terdapat 2 kemungkinan untung atau rugi.
Sedangkan dalam riba hanya ada untung dan menutup pintu rugi.
4. Dalam jual beli terjadi tukar menukar yang bermanfaat bagi kedua
belah pihak. Sedangkan riba hanya memberi manfaat untuk satu
pihak saja bahkan saling menzalimi atau merugikan.
E. Macam-Macam Jual Beli
1. Ditinjau dari pertukaran (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa
adillatuhu, 4/595-596) :
a. Jual beli salam (pesanan)
Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan yakni jual beli
dengan cara menyerahkan uang muka terlebih dahulu
kemudian barang diantar belakangan.
b. Jual beli muqayyadah (barter)
Jual beli muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar
barang dengan barang seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang
telah disepakati sebagai alat tukar.
d. Jual beli alat tukar dengan alat tukar

Jual beli alat tukar dengan alat tukar adalah jual beli barang
yang biasa dipakai sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya
seperti dinar dengan dirham.
2. Ditinjau dari hukum
a. Jual beli Sah (halal)
Jual beli sah atau shahih adalah jual beli yang memenuhi
ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan
menjadi milik yang melakukan akad.
b. Jual beli fasid (rusak)
Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan
syariat pada asalnya tetapi tidak sesuai dengan syariat pada
sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang
mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Menurut jumhur ulama fasid (rusak) dan batal (haram)
memiliki arti yang sama. Adapun menurut ulama Hanafiyah
membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal dan fasid
(rusak). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu,
4/425)
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama
hanafiyah berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak
memenuhi ketentuan syara’ bedasarkan hadits Rasul.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang berbuat suatu
amal yang tidak kami perintahkan maka tertolak. Begitu pula

barangsiapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada agama
kita, maka tertolak. (HR Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, jumhur ulama berpendapat
bahwa akad atau jual beli yang keluar dari ketentuan syara’
harus ditolak atau tidak dianggap, baik dalam hal muamalat
maupun ibadah.
Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah
muamalah terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada
ketentuannya dari syara’ sehingga tidak sesuai atau ada
kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti ini adalah
rusak tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal
saja dan ada pula yang rusak saja.
c. Jual beli batal (haram)
Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai
berikut :
1) Jual beli yang menjerumuskan ke dalam riba
i. Jual beli dengan cara ‘Inah dan Tawarruq
Rafi’ berkata, “Jual beli secara ‘inah berarti seseorang
menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran
bertempo, lalu barang itu diserahkan kepada pembeli,
kemudian penjual itu membeli kembali barangnya
sebelum uangnya lunas dengan harga lebih rendah dari
harga pertama.

Sementara itu jika barang yang diperjualbelikan
mengandung cacat ketika berada di tangan pembeli,
kemudian pembeli tersebut menjual lagi dengan harga
yang lebih rendah, hal ini boleh karena berkurangnya
harga sesuai dengan berkurangnya nilai barang tersebut.
Transaksi ini tidak menyerupai riba.
Tawarruq artinya daun. Dalam hal ini adalah
memperbanyak harta. Jadi, tawarruq diartikan sebagai
kegiatan memperbanyak uang.
Contohnya adalah apabila orang yang membeli barang
kemudian menjualnya kembali dengan maksud
memperbanyak harta bukan karena ingin mendapatkan
manfaat dari produknya. Barang yang diperdagangkannya
hanyalah sebagai perantara bukan menjadi tujuan.
ii. Jual beli sistem salam (ijon)
Bedanya dengan kredit, kalau salam, barangnya yang
diakhirkan, uangnya di depan.
iii. Jual beli dengan menggabungkan dua penjualan (akad)
dalam dan satu transaksi
Contohnya penjual berkata, “aku menjual barang ini
kepadamu seharga 10 dinar dengan tunai atau 20 dinar
secara kredit”.

Contoh lain, penjual berkata, “Aku menjual rumahku
kepadamu dengan syarat aku memakai kendaraanmu
selama 1 bulan”.
iv. Jual beli secara paksa
Jual beli dengan paksaan dapat terjadi dengan 2 bentuk :
a) Ketika akad, yaitu adanya paksaan untuk melakukan
akad. Jual beli ini adalah rusak dan dianggap tidak sah
b) Karena dililit utang atau beban yang berat sehingga
menjual apa saja yang dimiliki dengan harga rendah
v. Jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan menjual sesuatu
yang sudah dibeli dan belum diterima
Syarat sahnya jual beli adalah adanya penerimaan,
maksudnya pembeli harus benar-benar menerima barang
yang akan dibeli. Sebelum dia menerima barang tersebut
maka tidak boleh dijual lagi.
2) Jual beli yang dilarang dalam Islam
i. Jual beli yang dapat menjauhkan dari ibadah
Maksudnya adalah ketika waktunya ibadah, pedagang
malah menyibukkan diri dengan jual belinya sehingga
mengakhirkan shalat berjamaah di masjid.

Dia kehilangan waktu shalat atau sengaja
mengakhirkann