INDIVIDU SOSIOPATIK DAN REAKSI SOSIAL

makalah

INDIVIDU SOSIOPATIK DAN REAKSI SOSIAL
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Patologi Sosial
Dosen Pengampu : Saifuddin, S.Sos, M. Ag

Disusun oleh:

1.titik pujiati

411035

2.Nofa Dhiah Pertiwi

411036

3.Kusmiatin Rofiah

411037


4.Agus Pamuji

411039

5.Shoid al-Firmansyah

411040

JURUSAN DAKWAH
PRODI STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM (BKI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2013

I. Latar Belakang
Lebih dari sepuluh tahun berjalan sejarah reformasi di Indonesia dengan
membawa beberapa agenda yang menjadi cita-cita seluruh bangsa. Berbagi
usaha dan program dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi, mulai dari
membuat undang-undang anti korupsi sampai mendirikan lembaga dan institusi
yang berhubungan dengan kegiatan pemberantasan dan upaya pencegahan
tindakan atau perilaku tersebut, yang dinamakan KPK yaitu Komisi

Pemberantasan Korupsi.
Namun dalam kenyataanya perilaku korupsi makin marak dan makin
beragam bentuknya, makin banyak para pejabat dan mantan pejabat yang
sudah diproses oleh KPK makin banyak pula muncul kasus baru. Pernyataan
dari Quraisyihab dalam khutbah aidil fitrinya di Istiqlal pada 1 Syawal 1432 H
kemarin yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang sakit, bukan
tidak beralasan. Bentuk-bentuk perilaku masyarakat yang menyimpang dari
norma-norma kepatutan sudah semakin dianggap hal yang wajar. Mulai dari
amuk massa, prilaku agresif dan kekerasan kelompok, penjualan orang,
pencurian, prostitusi, fitnah dan kriminalisasi sampai memang perilaku para
pemimpin yang korup dan tidak malu-malu merasa diri tidak besalah di
hadapan pulik, padahal bukti dan fakta tidak bisa dibantahkan, lalu sibuk
mencari pembenaran dan kambing hitam dengan menyalahkan orang lain.
Dalam kajian Patologi Sosial, Perilaku korupsi termasuk suatu tindakan
atau perilaku yang menyimpang, atau deviasi sama dengan tindakan kriminal
lainnya seperti; perjudian, pelacuran, perkosaaan, pencurian, pembunuhan dan
lain lain. Bahkan dalam pembahasan kesehatan mental dan Psikologi perilaku
tersebut termasuk dalam mental yang tidak sehat dan perilaku menyimpang dan
ganguan-ganguan kontrol diri.


1

II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi sosiopatik?
2. Kasus seperti apa yang menjadi contoh perilaku sosiopatik?
3. Bagaimana reaksi sosial dari perilaku sosiopatik tersebut?
III.

Pengertian Sosiopatik
Menurut sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang

berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada
suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di
tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.
Arti sosiopatik ialah menjadi sakit secara sosial, adapun terjadinya
sebabnya bahwa satu lingkungan dengan kultur yang tidak menguntungkan
bisa memberikan banyak rangsangan kepada individu – individu tertentu untuk
menjadi sakit secara sosial.
Menurut Paul B Horton perilaku sosiopatik memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.1

 Penyimpangan harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang
tidaknya suatu perilaku harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui
penyebabnya.
 Penyimpangan bisa diterima bisa juga ditolak.
 Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya
ditentukan oleh frekuensi dan kadar penyimpangan.
 Penyimpangan terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya
budaya ideal adalah segenap peraturan hukum yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat. Antara budaya nyata dengan budaya ideal selalu
terjadi kesenjangan.
1

Lihat Kartini Kartono. 1997. Patologi sosial 1 (edisi Baru) Jakarta Rajawali Perss.

2

 Terdapat norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma
penghindaran adalah pola perbuatan yang dilakukan orang untuk
memenuhi keinginan mereka, tanpa harus menentang nilai-nilai tata
kelakuan secara terbuka.

 Penyimpangan sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang
merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan
perubahan sosial.
Adapun sebab-sebab terjadinya perilaku menyimpang adalah sebagai
berikut :2
a. Penyimpangan sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna
Karena ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam
kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku
yang pantas dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani
proses sosialisasi yang tidak sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak
mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.
Contohnya seseorang yang berasal dari keluarga broken home dan kedua
orang tuanya tidak dapat mendidik si anak secara sempurna sehinga ia
tidak mengetahui hak-hak dan kewajibanya sebagai anggota keluarga
maupun sebagai anggota masyarakat. Perilaku yang terlihat dari anak
tersebut misalnya tidak mengenal disiplin, sopan santun, ketaatan dan lainlain.
b. Penyimpangan karena hasil proses sosialisasi subkebudayaan menyimpang
Subkebudayaan adalah suatu kebudayaan khusus yang normanya
bertentangan dengan norma-norma budaya yang dominan. Unsur budaya
menyimpang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota2


Lihat Davidson C.G; Neale.J; Kring A.M..2004.Psikologi Abnormal. Alih Bahasa

Noermalasari Fajar. Jakarta: Raja Grafindo.

3

anggota kelompok yang bertentangan dengan tata tertib masyarakat.
Contoh kelompok menyimpang diantaranya kelompok penjudi, pemakai
narkoba, geng penjahat, dan lain-lain.
c. Penyimpangan sebagai hasil proses belajar yang menyimpang
Proses belajar ini melalui interaksi sosial dengan orang lain, khususnya
dengan orang-orang berperilaku menyimpang yang sudah berpengalaman.
Penyimpangan inipun dapat belajar dari proses belajar seseorang melalui
media baik buku, majalah, koran, televisi dan sebagainya.
Biasanya tingkah laku sosiopatik itu akan mendapat reaksi dari
masyarakat berupa :3
o Hukuman
o Penolakan
o Pemisahan

o Pengucilan
IV.

Korupsi Sebagai Tindakan Sosiopatik
Secara pandangan umum korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik

politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.
Mohammad Hatta mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya,
artinya bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau masyarakat
secara keseluruhan tidak bertekad untuk memberantasnya.

3

Lihat http://beibzqueen.blogspot.com/2010/01/bab-2.html pada 01 Oktober 2013 pukul 20

: 50 WIB


4

Korupsi dalam pandangan politik pada umumnya korupsi dimasukkan
orang sebagai masalah politik karena menyangkut penyalahgunaan (misuse)
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Pemerintah telah merumuskan
UU Anti Korupsi yang terdiri dari empat unsur penting, yaitu unsur
penyalahgunaan wewenang, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi,
unsur merugikan keuangan negara dan unsur pelanggaran hukum.
Selain faktor di atas banyak lagi aspek psikologis yang menyebabkan
seseorang untuk melakukan korupsi, personality yang tidak sehat, tidak
mandiri, lokus of control terhadap prilaku yang rendah, ketidak matangan
emotional, proses berfikir jangka pendek, pengaruh kelompok sosial, gaya
hidup yang hedonism dan lain sebagainya mendorong seseorang untuk
berprilaku menyimpang dan menghalakan segala cara.
Negara Indonesia adalah negara yang termasuk memiliki suber daya alam
yang kaya, tetapi karena pemerintahannya tidak dapat mengelolanya dengan
system manajement yang baik sehingga keuntungan dari kekayan itu hanya
sedikit yang dapat dinikmati oleh rakyat. Pemerintah justeru memperbanyak
hutang untuk pembanggunan dan mencukupi pemasukan negara sehingga
rakyat


pun

terlilit

dalam

kemiskinan

permanen.

Kemiskinan

yang

berkepanjangan menumpulkan kecerdasan dan kreatifitas bahkan menimbulkan
sikap-sikap hopless putus asa sehingga banyak yang mencari jalan pintas untuk
mengatasi ersoalanya dengan perilaku menyimpang dan menghalalkan segala
cara, mencuri, merampok, berjudi masuk terjerembap dalam kurungan
keyakinan mistik, fatalism dan lain-lain.

Kepercayaan terhadap pentingnya nilai-nilai prestasi, kerja keras,
kejujuran, dan keterampilan, kecerdasan semakin memudar karena kenyataan
yang ditemui dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya,
banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi tetap saja miskin dan
menjadi orang pinggiran hanya karena mereka datang dari kelompok keluarga
yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, pedangan kecil dan

5

pegawai rendahan. Sementara itu, banyak yang mendapatkan kekayaan dengan
mudah aman walau tidak jujur, kerja santai, tidak kreatif karena mereka datang
dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa,
dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, muncul keyakinan pada masyarakat bahwa tidak perlu jujur,
karena orang jujur tidak akan mujur, tidak perlu pandai karena yang
dibutuhkan berpandai-pandai, tidak perlu kerja keras karena dengan jalan
korupsi kolusi dan nepotisme, meyuap, menjilat lancar semua urusan.
Kepercayaan terhadap pentingnya kecerdasan intelektual pun menurun karena
hanya dipakai para elite untuk membodohi masyarakat saja. Pengaruh media
dan gaya hidup yang materialistis berlebihan sebaliknya, menjadikan

masyarakat menjadi lebih percaya adanya peruntungan hingga menempuh
jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif
terhadap penyimpangan sehingga perdukunan, perjudian, kejahatan dan
perilaku menyimpang lainnya dalam berbagai bentuk semakin marak di manamana.
Disamping itu persoalan penegakan hukum yang tidak tegas, pandang
bulu, tebang pilih makin menjadi reinforcement penguatan perilaku
menyimpang tersebut karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor
itu sangatlah ringan. Mencuri miliaran sampai dengan triliunan hanya dihukum
beberapa tahun saja, bahkan banyak kasus besar yang merugikan negara hingga
triliunan dan hingga kini masih tidak jelas penyelesaiannya, ataupun sangat
sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara. Akhirnya masyarakat
merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun
tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup
nyaman karena dipenjara juga bias hidup enak dengan fasilitas yang elit, dan
akan mendapatkan remisi pada setiap hari besar agama dan kenegaraan, apa
lagi kalau tidak terbukti di persidangan atau malah tidak ketauan maka
beruntunglah orang-orang seperti itu.

6

Dalam tinjauan Psikologi, seorang pemimpin dan pejabat yang
menghalalkan segala cara, dan menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi
dan kelompok (Keluarga, suku, klan, Partai) nya, adalah termasuk kedalam
kategori orang yang sakit secara mental. Banyak pemimpin yang abnormal
pembawa bibit penyakit mental, seperti sikap tidak jujur, korup, tidak pernah
puas dengan kekayaan, mereka bahkan menularkan penyakit sosial ini
kebawahan dan bahkan ke lingkungan sekitarnya. Pemimpin-pemimpin yang
sakit secara sosial itu adalah cerminan dari masyarakat yang tengah sakit pula.
Karena mereka hadir dan muncul serta dipilih oleh masyarakat yang sangat
pragmatis dan bahkan oportunis.
Akhirnya sikap-sikap seperti di atas yang memperparah korupsi sebagai
patologi sosial, pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut
terdistorsi. dari awalnya masyarakat menganggap perilaku korupsi itu sebagai
patologi sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat.

V. Reaksi Sosial terhadap Perlaku Sosiopatik
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti
yang telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang
merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif.
Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat,
dipandang dari segi pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya
dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena
berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya
dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya.

a. Reaksi represif

7

Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan
kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi
dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.
Contoh kasus; tema (pembobolan )
b. Reaksi preventif
Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak
pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak
pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif
ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan
adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota
masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat
terjadi.
Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan
reaksi informal,4
1) Reaksi Formal
Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada
pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh
pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan
reaksi tersebut.
Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem
peradilan pidana, dengan demikian adalah;5
(1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,
4

Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011 dari http://

http://www.kompas.com
5

Lihat Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang

8

(2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta
(3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kejahatannya.
Contoh kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor)
Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi
masyarakat sipil salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk
mengenakan simbol-simbol berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku
korupsi. Hal ini semakin menarik ketika ICW secara khusus mengusulkan
sejumlah rancangan pakaian khusus bagi koruptor tersebut.
Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus
koruptor" masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada
membuat malu itu sendiri dan sebagian berpendapat untuk membuat jera.
Perlu dipahami bahwa keinginan untuk membuat malu dan jera lebih
melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau tidak melihat pada sejauh
mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik.
Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru
melanggar hak-hak dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para
koruptor yang dimaksud masih berstatus sebagai tersangka. Sederhananya,
reaksi tetap harus melindungi hak tersangka untuk diduga tidak bersalah.
Bila ini kembali dilihat dengan filosofi pemasyarakatan jelas tidak
mendukung semangat memberikan reaksi formal yang manusiawi dan
melindungi HAM.
Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir
dari setiap reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan"
kesalahan pelaku dan membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide
"pakaian khusus koruptor" dalam hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat
bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini.

9

Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah
kepastian bahwa proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan
korupsi dan kepastian bahwa hakim akan memberikan hukuman yang
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku
kejahatan untuk tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan
masyarakat. Penjelasan teoritik tersebut disebut Reintegrative Shaming.
Pelaku kejahatan cukup dibuat malu namun ditujukan untuk membuat
dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang telah dilakukan. Dalam
konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis kejahatan dapat
dipulihkan dengan cara ini.
Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat
malu yang tidak ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi.
Dalam hal ini pelaku kejahatan cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh
dari itu juga menciptakan "rasa sakit" secara psikologis. Stigmatisasi
secara simbolik juga memperlihatkan penolakan masyarakat bagi pelaku
kejahatan.
2) Reaksi Informal
Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi
oleh warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah
mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja
bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar
peraturan yang ada.6
Dalam kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal
sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan
beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas
ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi
6

http://fauzistks.blogspot.com/2011/08/makalah-reaksi-masyarakat-terhadap.html Pada 01

Oktober 2013, Pukul 20:55 WIB

10

operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui
dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.

VI.

Kesimpulan
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan

jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Kalau dahulu, masyarakat melihat dan menilai perilaku menyimpang
seperti korupsi dari sudut pandang moralitas, yang bertentangan dengan nilainilai norma dan Agama saja. Akan tetapi saat ini para Psikolog sosial
menyebut perbuatan korupsi dan berbagai penyimpangan sejenisnya sebagai
Patologi Sosial.
Korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya, muncul dari
kebiasaan yang salah dari seorang individu, yang mana kebiasaan yang
dilakukan secara terus menerus akan dianggap sebagai suatu yang lumrah dan
akhirnya menjadi budaya buruk yang tumbuh di masyarakat.
Berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat
menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet
atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap
pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan. Hal tersebut terjadi
karena sebagian besar dari masyarakat kita tidak menyadari bahwa sebenarnya
uang yang dicuri oleh para koruptor tersebut adalah miliknya juga, dan ada
haknya didalam yang hilang akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh
orang-orang itu.

DAFTAR PUSTAKA

11

Davidson C.G; Neale.J; Kring A.M..2004.Psikologi Abnormal. Alih Bahasa
Noermalasari Fajar. Jakarta: Raja Grafindo.
Djamaludi Ancok, 2004. Psikologi terapan, (mengupas dinamika kehidupan
umat manusia) Yogyakarta, Darussalam
Kartini Kartono. 1997. Patologi sosial 1 (edisi Baru) Jakarta Rajawali Perss.
Kompas. 2011. Korupsi Itu Mencuri dari Si Miskin diakses 3 September 2011
dari http:// http://www.kompas.com
Mudjiran, 2002, Patologi Sosial Jilid 1 Padang FIP IKIP Padang
Nevid J.S; Rathus S.A; Greene B.. 2003. Psikologi Abnormal. Alih Bahasa
Tim Fakultas Psikologi UI. Jakarta: Erlangga
Siswanto, 2007. Kesehatan mental ( konsep, cakupan dan perkembangannya)
Andi Yogyakarta

12