PENGARUH PASAR BEBAS ASEAN TERHADAP KELU
PENGARUH PASAR BEBAS ASEAN TERHADAP
KELUARGA DAN GENERASI MENDATANG
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Tahun 2015, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia
Tenggara. Dengan MEA akan tercipta kesatuan pasar dan basis produksi yang akan membuat
arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar dan skilled labour menjadi tidak ada
hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara
kebijakan pasar bebas dirancang untuk mengubah dunia menjadi pasar terbuka bagi
produk barang – jasa negara makmur. Atas nama pembangunan, negara-negara miskin namun
kaya potensi SDA dan SDMnya akan mendapatkan limpahan investasi dan modal dari Multi
National Corporation yang juga berasal dari negara maju, serta lahan untuk menghasilkan
remitansi bagi tenaga ahli ekspatriat. Demi memperebutkan perhatian MNC global, negaranegara di kawasan yang sama, sebagaimana ASEAN, akan saling berkompetisi
untuk
membuktikan negaranya paling layak mendapatkan aliran investasi dan kapital.
Kondisi ini akan memaksa negara-negara tersebut untuk memberi penawaran terbaik bagi
asing dengan membebaskannya dari hambatan tarif dan non tarif, termasuk pengurangan pajak
dan jaminan tata kelola pemerintahan yang baik. Akibatnya, pemerintah akan meninggalkan
tanggung jawabnya untuk mengelola ekonomi secara mandiri, bahkan tidak lagi menjalankan
fungsi sebagai pelayan hajat hidup masyarakat. Pemerintah yang telah menjalin hubungan
bilateral secara komprehensif dengan AS, bakal menelan mentah-mentah strategi neoliberalisasi
ekonomi, apalagi jika kebijakan itu menjadi prasyarat untuk mendapatkan hutang luar negeri .
Apabila MEA telah berjalan maka persaingan pasar/perdagangan di Indonesia dengan
negara ASEAN lainnya akan semakin kentara, dan sudah barang tentu Indonesia akan tertinggal
jauh mengingat kondisi SDM yang kompetensinya masih jauh dibanding negara ASEAN lain
1
yang sudah tersertifikasi, walaupun pada faktanya pemerintah berencana hendak melakukan
sertifikasi kepada para pekerja Indonesia sebanyak 68.000 orang, namun itu hanya akan menjadi
syarat tertulis untuk bersaing dengan negara lain namun kenyataanya secara softskill tetap jauh
tertinggal. Selain itu, ketertinggalan indonesia dari segi SDA, bukan karena SDA di Indonesia
minim namun masalahnya adalah saat ini Indonesia melakukan beberapa perjanjian dengan
negara asing sehingga banyak SDA yang dikelola oleh asing dan tidak menjadikan Indonesia
sebagai negara yang berdaulat
Selain itu, peralatan produksi masih minim, kurang penambahan dan perawatan juga
apabila akan ditambah kapasitas alatnya harus dengan biaya yang sangat mahal dan itu di
bebankan kembali kepada rakyat yang menjalankan usaha tersebut. Maka, apabila dianalisis
kembali tentu Indonesia belum siap dengan pasar bebas di kawasan Asing Tenggara tersebut,
bahkan cenderung memaksakan dan pada akhirnya rakyat yang akan menelan kesengsaran akibat
persaingan yang ketat, karena sebelumnya pun pada Januari 2010 Indonesia pun pernah
mengadakan perjanjian dengan Cina terkait perdagangan bebas acfta, hal ini pun lebih banyak
merugikan rakyat Indonesia karena faktanya Cina semakin gencar dan bebas bahkan legal
menjual produk-produknya di Indonesia sehingga berdampak kerugian bagi pengusahapengusaha besar atau kecil di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam
sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar
(kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi ini sekaligus akan merobohkan hambatan
untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan
dari perdagangan dan mengalirnya investasi
Akibat yang paling berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial yang bermuara tidak
saja pada kehancuran keluarga, namun juga kehancuran peradaban.Saat beban hidup makin
menyesak, setiap laki-laki ‘terpaksa’ menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah
keluarga.Kesulitan mendapatkan akses pekerjaan menjadikan mereka rela melepas status
terhormat sebagai kepala keluarga.Apalagi strategi massif pemberdayaan perempuan membuat
kewajiban mereka beralih tangan. Wajar jika saat ini di dunia muslim, fungsi qowwam laki-laki
menjadi perlahan-lahan tereduksi.
Konsekuensi logis yang harus dihadapi keluarga jika ibu-ibu mereka harus berangkat
‘mencari penghasilan’ adalah meninggalkan tanggung jawab sebagai pengurus rumah tangga,
termasuk kewajiban melakukan hadlonahbagi anak yang masih membutuhkannya.Fatalnya,
pemerintah bukannya memastikan fungsi ibu berjalan optimal, namun justru menerbitkan aturan
yang memfasilitasi fenomena mobilisasi pekerja perempuan.Peraturan Presiden RI Nomor 60
Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif menyebutkan bahwa
salah satu unsur dari pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak
berwujud Day Care /Tempat Penitipan Anak.
Tak dapat dipungkiri jika secara tidak langsung rancangan pasar bebas kapitalistik
mengusik, bahkan membawa kehancuran keluarga muslim. Institusi terkecil dalam struktur
kemasyarakatan yang seharusnya berperan dalam pembangunan peradaban rusak karena peran
dan fungsi anggota keluarganya tak lagi selaras dengan tatananAllah SWT, Sang Pengatur
kehidupan. Keluarga terminal menjadi fenomena dimana keluarga hanya menjadi tempat
3
sejenak melepas lelah, kemudian semua anggotanya tersibukkankembali dengan kepentingan
duniawi yang tak hendak berhenti.
Pejabat Indonesia seperti halnya Menag, Lukman Hakim Saifuddin prihatin dengan
tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun. Data Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian
Perkawinan (BP4) menyebutkan lebih dari 60 persen perceraian terlebih dahulu dilayangkan
pihak perempuan (khulu’). Wajar jika generasi menderita krisis identitas karena ‘kehilangan’
figur ayah-ibunya. Wajar pula jika kasus asusila dan kriminal saat ini juga diperankan oleh
kaum muda.Karena itu Prof. Dr. Mohd. Kamal Hassan dari Institut Antarabangsa Tamadun dan
Pemikiran Islam (Istac) Malaysia mengungkapkan bahwa Malaysia dengan Visi 2020 amat
rentan dilanda sindrom budaya seperti di Chicago dan New York. Yakni masyarakatyang
mempunyai taraf kehidupan dan teknologi yang begitu tinggi namun miskin dari segi peradaban.
Tidakcukup dengan merusak kualitas generasi, kepunahan generasi juga bakal menjadi momok
masa depan. Tuntutan karier membuahkan keinginan perempuan pekerja untuk menunda
kehamilan, membatasi jumlah anak atau bahkan tak ingin memilikinya. Fenomena ini telah
menimpa Asia Timur, yang telah lebih dulu mengalami kapitalisasi. Jepang dan Korea Selatan
telah mengalami problem demografi akut.Jepang mengalami penurunan kelahiran yang
berkelanjutan sejak tahun 1970an hingga mengakibatkan kurangnya tenaga kerja pada tahun
1990an akibat berkurangnya penduduk usia produktif. Sedangkan Korea Selatan, padatahun
2006, rasio fertilitas di Korea Selatan hanya 1,1 yang sekaligus menjadi yang terendah di dunia.
Bahkan Singapura yang menjadi prototipe kapitalis Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1970an dan awal tahun 1980-an, angka kelahirannya menurun sampai 2,1. Sehingga pada awal 1990an, Singapura juga menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja dan beban penduduk usia
lanjut.
Semua ekses buruk itu tak mustahil menimpa Indonesia.Semua berawal dari visi
pembangunan kapitalistik yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah hanya
mengejar angka-angka semu yang tidak pernah menyentuh realitas permasalahan. Padahal,
masyarakat tidak hanya menginginkan kekayaan, namun juga penghargaan atas nilai-nilai
kemuliaan yang bersumberkan ajaran agama.
Umat Islam harus menolak rezim pasar bebas, bukan saja karena akibat buruk yang
ditimbulkannya, namun karena perspektif mendasarnya bertentangan dengan Islam. Selayaknya
kapitalisme, program ini menjadi sarana bagi Kuffar penjajah untuk mempertahankan kontrol
4
mereka terhadap Muslim dan negerinya. Rezim pasar bebas akan mencegah mereka membangun
pondasi ekonomi yang kuat sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri.
Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan
berpengaruh.
Oleh karena itu haram untuk menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh
Amerika dan negara-negara barat. Di samping secara faktual jelas-jelas merugikan, sejatinya
kebijakan tersebut tidak lain merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (freedom
of ownership) yakni kebebasan untuk memiliki dan menguasai berbagai jenis komoditi.
Padahal di dalam Islam konsep kemilikan telah diatur dengan jelas. Seseorang individu hanya
berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori milkiyyah fardiyyah. Sementara
untuk kepemilikan umum (milikiyyah ‘ammah) dan negara (milikiyyatu ad daulah) berada di
tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Di samping itu, pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagai negara-negara kufur
mampu mencengkram dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut
secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
َولَ ؤن يَجؤ َع َل ا
اُ لِ ؤل َكافِ ِرينَ َعلَى ؤال ُم ؤؤ ِمنِينَ َسبِي ًل
“Dan Allah tidak memperkenankan orang-orang Kafir menguasai orang-orang beriman.”
(QS al-Nisa [4]: 141)
Hal
yang
sama
Menurutnya perdagangan
juga
luar
dikemukakan
negeri
yang
oleh
berbasis
Syekh
Taqiuddin
teori free
An-Nabhany.
market (hurriyatu
al-
mubadalah) yakni perdagangan luar negeri antara negara dilakukan tanpa hambatan seperti tarif
bertentangan dengan Islam. Alasannya perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara
negara Islam dengan negara lain berada dalam tanggungjawab negara. Sebagaimana difahami
bahwa negara memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara
lain termasuk hubungan antara rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi,
perdagangan ataupun yang lainnya. Oleh karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan
bebas tanpa kontrol.
Di samping itu negara Islam memiliki otoritas untuk mengizinkan atau melarang
komoditas tertentu untuk diekspor. Syara’ juga telah memberikan tanggangjawab kepada negara
5
untuk mengatur pedagang ahlu al-harb dan mu’ahid. Termasuk dalam hal ini memberikan
pelayanan kepada rakyatnya yang berdagang baik di dalam maupun di luar negeri.
Alhasil, dalam membuat berbagai perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain
negaraKhilafah Islamiyyah—yang insya Allah akan tegak dalam waktu yang tidak lama lagi–
punya tanggung jawab dalam mengontrol semua bentuk hubungan dengan luar negeri.
6
BAB III
PENUTUP
Demikianlah pandangan dan sikap Islam terhadap pasar bebas. Dan hendaknya dari sudut
pandang Islam sematalah seorang mukmin mengambil sikap dan langkah. Seiring dengan itu,
dengan pemahaman Islam yang cukup, menjadi bekal untuk menjaga kemuliaan diri, keluarga
dan masyarakat, sehingga bukan sebaliknya justru mengambil langkah dan kebijakan yang jauh
menyimpang dari ketentuan Allah SWT.
Semoga Allah senantiasa melindungi kita.
Kemajuan globalisasi tidak akan
mempengaruhi perubahan pola pikir atau gaya hidup apapun selama iman tetap di dalam hati
kita.
7
DAFTAR PUSTAKA
-
Departemen Agama. “Alqur’an dan Terjemahannya”. Tahun 2006
8
KELUARGA DAN GENERASI MENDATANG
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Tahun 2015, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia
Tenggara. Dengan MEA akan tercipta kesatuan pasar dan basis produksi yang akan membuat
arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar dan skilled labour menjadi tidak ada
hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara
kebijakan pasar bebas dirancang untuk mengubah dunia menjadi pasar terbuka bagi
produk barang – jasa negara makmur. Atas nama pembangunan, negara-negara miskin namun
kaya potensi SDA dan SDMnya akan mendapatkan limpahan investasi dan modal dari Multi
National Corporation yang juga berasal dari negara maju, serta lahan untuk menghasilkan
remitansi bagi tenaga ahli ekspatriat. Demi memperebutkan perhatian MNC global, negaranegara di kawasan yang sama, sebagaimana ASEAN, akan saling berkompetisi
untuk
membuktikan negaranya paling layak mendapatkan aliran investasi dan kapital.
Kondisi ini akan memaksa negara-negara tersebut untuk memberi penawaran terbaik bagi
asing dengan membebaskannya dari hambatan tarif dan non tarif, termasuk pengurangan pajak
dan jaminan tata kelola pemerintahan yang baik. Akibatnya, pemerintah akan meninggalkan
tanggung jawabnya untuk mengelola ekonomi secara mandiri, bahkan tidak lagi menjalankan
fungsi sebagai pelayan hajat hidup masyarakat. Pemerintah yang telah menjalin hubungan
bilateral secara komprehensif dengan AS, bakal menelan mentah-mentah strategi neoliberalisasi
ekonomi, apalagi jika kebijakan itu menjadi prasyarat untuk mendapatkan hutang luar negeri .
Apabila MEA telah berjalan maka persaingan pasar/perdagangan di Indonesia dengan
negara ASEAN lainnya akan semakin kentara, dan sudah barang tentu Indonesia akan tertinggal
jauh mengingat kondisi SDM yang kompetensinya masih jauh dibanding negara ASEAN lain
1
yang sudah tersertifikasi, walaupun pada faktanya pemerintah berencana hendak melakukan
sertifikasi kepada para pekerja Indonesia sebanyak 68.000 orang, namun itu hanya akan menjadi
syarat tertulis untuk bersaing dengan negara lain namun kenyataanya secara softskill tetap jauh
tertinggal. Selain itu, ketertinggalan indonesia dari segi SDA, bukan karena SDA di Indonesia
minim namun masalahnya adalah saat ini Indonesia melakukan beberapa perjanjian dengan
negara asing sehingga banyak SDA yang dikelola oleh asing dan tidak menjadikan Indonesia
sebagai negara yang berdaulat
Selain itu, peralatan produksi masih minim, kurang penambahan dan perawatan juga
apabila akan ditambah kapasitas alatnya harus dengan biaya yang sangat mahal dan itu di
bebankan kembali kepada rakyat yang menjalankan usaha tersebut. Maka, apabila dianalisis
kembali tentu Indonesia belum siap dengan pasar bebas di kawasan Asing Tenggara tersebut,
bahkan cenderung memaksakan dan pada akhirnya rakyat yang akan menelan kesengsaran akibat
persaingan yang ketat, karena sebelumnya pun pada Januari 2010 Indonesia pun pernah
mengadakan perjanjian dengan Cina terkait perdagangan bebas acfta, hal ini pun lebih banyak
merugikan rakyat Indonesia karena faktanya Cina semakin gencar dan bebas bahkan legal
menjual produk-produknya di Indonesia sehingga berdampak kerugian bagi pengusahapengusaha besar atau kecil di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggungjawab pemerintah dalam
sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar
(kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi ini sekaligus akan merobohkan hambatan
untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan
dari perdagangan dan mengalirnya investasi
Akibat yang paling berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial yang bermuara tidak
saja pada kehancuran keluarga, namun juga kehancuran peradaban.Saat beban hidup makin
menyesak, setiap laki-laki ‘terpaksa’ menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah
keluarga.Kesulitan mendapatkan akses pekerjaan menjadikan mereka rela melepas status
terhormat sebagai kepala keluarga.Apalagi strategi massif pemberdayaan perempuan membuat
kewajiban mereka beralih tangan. Wajar jika saat ini di dunia muslim, fungsi qowwam laki-laki
menjadi perlahan-lahan tereduksi.
Konsekuensi logis yang harus dihadapi keluarga jika ibu-ibu mereka harus berangkat
‘mencari penghasilan’ adalah meninggalkan tanggung jawab sebagai pengurus rumah tangga,
termasuk kewajiban melakukan hadlonahbagi anak yang masih membutuhkannya.Fatalnya,
pemerintah bukannya memastikan fungsi ibu berjalan optimal, namun justru menerbitkan aturan
yang memfasilitasi fenomena mobilisasi pekerja perempuan.Peraturan Presiden RI Nomor 60
Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif menyebutkan bahwa
salah satu unsur dari pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak
berwujud Day Care /Tempat Penitipan Anak.
Tak dapat dipungkiri jika secara tidak langsung rancangan pasar bebas kapitalistik
mengusik, bahkan membawa kehancuran keluarga muslim. Institusi terkecil dalam struktur
kemasyarakatan yang seharusnya berperan dalam pembangunan peradaban rusak karena peran
dan fungsi anggota keluarganya tak lagi selaras dengan tatananAllah SWT, Sang Pengatur
kehidupan. Keluarga terminal menjadi fenomena dimana keluarga hanya menjadi tempat
3
sejenak melepas lelah, kemudian semua anggotanya tersibukkankembali dengan kepentingan
duniawi yang tak hendak berhenti.
Pejabat Indonesia seperti halnya Menag, Lukman Hakim Saifuddin prihatin dengan
tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun. Data Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian
Perkawinan (BP4) menyebutkan lebih dari 60 persen perceraian terlebih dahulu dilayangkan
pihak perempuan (khulu’). Wajar jika generasi menderita krisis identitas karena ‘kehilangan’
figur ayah-ibunya. Wajar pula jika kasus asusila dan kriminal saat ini juga diperankan oleh
kaum muda.Karena itu Prof. Dr. Mohd. Kamal Hassan dari Institut Antarabangsa Tamadun dan
Pemikiran Islam (Istac) Malaysia mengungkapkan bahwa Malaysia dengan Visi 2020 amat
rentan dilanda sindrom budaya seperti di Chicago dan New York. Yakni masyarakatyang
mempunyai taraf kehidupan dan teknologi yang begitu tinggi namun miskin dari segi peradaban.
Tidakcukup dengan merusak kualitas generasi, kepunahan generasi juga bakal menjadi momok
masa depan. Tuntutan karier membuahkan keinginan perempuan pekerja untuk menunda
kehamilan, membatasi jumlah anak atau bahkan tak ingin memilikinya. Fenomena ini telah
menimpa Asia Timur, yang telah lebih dulu mengalami kapitalisasi. Jepang dan Korea Selatan
telah mengalami problem demografi akut.Jepang mengalami penurunan kelahiran yang
berkelanjutan sejak tahun 1970an hingga mengakibatkan kurangnya tenaga kerja pada tahun
1990an akibat berkurangnya penduduk usia produktif. Sedangkan Korea Selatan, padatahun
2006, rasio fertilitas di Korea Selatan hanya 1,1 yang sekaligus menjadi yang terendah di dunia.
Bahkan Singapura yang menjadi prototipe kapitalis Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1970an dan awal tahun 1980-an, angka kelahirannya menurun sampai 2,1. Sehingga pada awal 1990an, Singapura juga menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja dan beban penduduk usia
lanjut.
Semua ekses buruk itu tak mustahil menimpa Indonesia.Semua berawal dari visi
pembangunan kapitalistik yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah hanya
mengejar angka-angka semu yang tidak pernah menyentuh realitas permasalahan. Padahal,
masyarakat tidak hanya menginginkan kekayaan, namun juga penghargaan atas nilai-nilai
kemuliaan yang bersumberkan ajaran agama.
Umat Islam harus menolak rezim pasar bebas, bukan saja karena akibat buruk yang
ditimbulkannya, namun karena perspektif mendasarnya bertentangan dengan Islam. Selayaknya
kapitalisme, program ini menjadi sarana bagi Kuffar penjajah untuk mempertahankan kontrol
4
mereka terhadap Muslim dan negerinya. Rezim pasar bebas akan mencegah mereka membangun
pondasi ekonomi yang kuat sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri.
Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan
berpengaruh.
Oleh karena itu haram untuk menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh
Amerika dan negara-negara barat. Di samping secara faktual jelas-jelas merugikan, sejatinya
kebijakan tersebut tidak lain merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (freedom
of ownership) yakni kebebasan untuk memiliki dan menguasai berbagai jenis komoditi.
Padahal di dalam Islam konsep kemilikan telah diatur dengan jelas. Seseorang individu hanya
berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori milkiyyah fardiyyah. Sementara
untuk kepemilikan umum (milikiyyah ‘ammah) dan negara (milikiyyatu ad daulah) berada di
tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Di samping itu, pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagai negara-negara kufur
mampu mencengkram dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut
secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
َولَ ؤن يَجؤ َع َل ا
اُ لِ ؤل َكافِ ِرينَ َعلَى ؤال ُم ؤؤ ِمنِينَ َسبِي ًل
“Dan Allah tidak memperkenankan orang-orang Kafir menguasai orang-orang beriman.”
(QS al-Nisa [4]: 141)
Hal
yang
sama
Menurutnya perdagangan
juga
luar
dikemukakan
negeri
yang
oleh
berbasis
Syekh
Taqiuddin
teori free
An-Nabhany.
market (hurriyatu
al-
mubadalah) yakni perdagangan luar negeri antara negara dilakukan tanpa hambatan seperti tarif
bertentangan dengan Islam. Alasannya perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara
negara Islam dengan negara lain berada dalam tanggungjawab negara. Sebagaimana difahami
bahwa negara memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara
lain termasuk hubungan antara rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi,
perdagangan ataupun yang lainnya. Oleh karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan
bebas tanpa kontrol.
Di samping itu negara Islam memiliki otoritas untuk mengizinkan atau melarang
komoditas tertentu untuk diekspor. Syara’ juga telah memberikan tanggangjawab kepada negara
5
untuk mengatur pedagang ahlu al-harb dan mu’ahid. Termasuk dalam hal ini memberikan
pelayanan kepada rakyatnya yang berdagang baik di dalam maupun di luar negeri.
Alhasil, dalam membuat berbagai perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain
negaraKhilafah Islamiyyah—yang insya Allah akan tegak dalam waktu yang tidak lama lagi–
punya tanggung jawab dalam mengontrol semua bentuk hubungan dengan luar negeri.
6
BAB III
PENUTUP
Demikianlah pandangan dan sikap Islam terhadap pasar bebas. Dan hendaknya dari sudut
pandang Islam sematalah seorang mukmin mengambil sikap dan langkah. Seiring dengan itu,
dengan pemahaman Islam yang cukup, menjadi bekal untuk menjaga kemuliaan diri, keluarga
dan masyarakat, sehingga bukan sebaliknya justru mengambil langkah dan kebijakan yang jauh
menyimpang dari ketentuan Allah SWT.
Semoga Allah senantiasa melindungi kita.
Kemajuan globalisasi tidak akan
mempengaruhi perubahan pola pikir atau gaya hidup apapun selama iman tetap di dalam hati
kita.
7
DAFTAR PUSTAKA
-
Departemen Agama. “Alqur’an dan Terjemahannya”. Tahun 2006
8