Rumusan Masalah HIVAIDS .1 Epidemiologi

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: bagaimana proporsi infeksi opportunistik pada penderita HIVAIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2010? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui proporsi infeksi opportunistik pada penderita HIVAIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2010. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui proporsi karakteristik penderita HIVAIDS dengan infeksi oportunistik berdasarkan demografi, yaitu jenis kelamin. 2. Mengetahui proporsi karakteristik penderita HIVAIDS dengan infeksi oportunistik berdasarkan demografi, yaitu umur. 3. Mengetahui prooporsi karakteristik penderita HIVAIDS dengan infeksi oportunistik berdasarkan demografi, yaitu pekerjaan. 4. Mengetahui proporsi infeksi opportunistik bakteri, virus, jamur, dan parasit pada penderita HIVAIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2010. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi proporsi infeksi opportunistik pada penderita HIVAIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2010. 2. Dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang proporsi infeksi opportunistik pada penderita HIVAIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 HIVAIDS 2.3.1 Epidemiologi

1. Situasi Global

Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda menentukan karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. Angka seroprevalensi di antara pengguna obat suntik sangat bervariasi di seluruh dunia, namun epidemi terkini terjadi di Eropa bagian timur, Rusia, dan India bagian utara Mandal, 2008. Tabel 2.1. Rekapitulasi Global Epidemi AIDS Jumlah orang yang hidup dengan HIV tahun 2008 Total 33,4 juta [31,1 juta-35,8 juta] Dewasa 31.3 juta [29,2 juta-33,7 juta] Wanita 15,7 juta [14,2 juta-17,2 juta] Anak 15 tahun 2,1 juta [1,2 juta-2,9 juta] Orang yang baru terinfeksi HIV tahun 2008 Total 2,7 juta [2,4 juta- 3,0 juta] Dewasa 2,3 juta [2,0 juta-2,5 juta] Anak 15 tahun 430.000 [240.000-610.000] AIDS-dengan kematian tahun 2008 Total 2,0 juta [1,7 juta-2,4 juta] Dewasa 1,7 juta [1,4 juta-2,1 juta] Anak 15 tahun 280.000 [150.000-410.000] Catatan: jarak estimasi pada tabel dibagi batas jumlah yang aktual, berdasarkan informasi terbaik yang tersedia. Sumber: UNAIDS dan WHO, 2009 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1. Diagnosis Infeksi HIV pada dewasa dan remaja dilhat dari perilaku sex dan kategori transmisi, 2009–40 negara dan 5 area dependen Amerika Serikat. Sumber: CDC, 2009 Tabel 2.2. Epidemiologi HIVAIDS di Asia Jumlah orang yang hidup dengan HIV 2008: 4,7 juta [3,8 juta-5,5 juta] 2001: 4,5 juta [3,8 juta-5,2 juta] Jumlah Infeksi baru HIV 2008: 350.000 [270.000-410.000] 2001: 400.000 [310.000-480.000] Jumlah anak yang baru terinfeksi 2008: 21.000 [13.000-29.000] 2001: 33.000 [18.000-49.000] Jumlah kematian terkait AIDS 2008: 330.000 [260.000-400.000] 2001: 280.000 [230.000-340.000] Sumber: UNAIDS dan WHO, 2009

2. Situasi Nasional

Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia pada tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIVAIDS yang dilaporkan di Indonesia datri tahun ke tahun secara kumulatif cenderung meningkat. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 2006 Ditjen PP PL Depkes RI mengadakan kegiatan estimasi populasi rawan tertular HIV dengan hasil sebagai berikut: Tabel 2.3. Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV Tahun 2006 No. Kelompok Rawan Terinfeksi HIV Estimasi Jumlah ODHA

1. Penyalahguna NAPZA suntik IDU

90.000

2. Non-IDU partner dari IDU

12.810 3. Wanita Penjaja Seks WPS 8.910

4. Pelanggan WPS

28.340

5. Pasangan pelanggan WPS

5.200 6. Laki-laki Suka Laki-laki LSL 9.160

7. Waria

3.760

8. Pelanggan waria

2.230 9. Warga Binaan Pemasyarakatan WBP 5.190

10. Umum

27.470 Total 193.070 Sumber: Depertemen Kesehatan RI, 2006 Pada April 2009, jumlah penderita HIV dan AIDS di Provinsi Sumatera Utara berjumlah 1680 AIDS 872+HIV808, dengan kasus terbanyak pada kota Medan dengan jumlah 581 penderita AIDS dan HIV 600 orang, menyusul Deli Serdang berjumlah 142 HIV 76+AIDS 66 penderita. Jumlah penderita AIDS yang meninggal di Provinsi Sumatera Utara yang dilaporkan berjumlah 124 orang sampai dengan April 2009 KPA Provinsi Sumatera Utara, 2009. Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Dasar Virologi dan Infeksi HIV 1. Struktur Genomik HIV

Acquired immune defficiency syndrome AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV Human Immmunodeficiency Virus yang termasuk famili retroviridae, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV Djoerban, 2007. HIV adalah retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan banyak gambaran fisikomia yang merupakan ciri khas famili. Genom RNA lentivirus lebih kompleks daripada genom RNA Retrovirus yang bertransformasi. Virus mengandung tiga gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus – gag, pol, dan env Brooks, 2004. Gambar 2.2. Peta genome dari Lentivirus Sumber: Osmand, 2002 Virion HIV-1 berbentuk icosahedral dan memiliki ujun tajam eksternal sebanyak 72. Lebih kompleks dibandingkan HTLV-1 dan HTLV-2. Produk gen dapat dibagi menjadi tiga kelompok Winn, 2006. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.4. Antigen Mayor HIV, Tipe-1 Gen Produk Gen Group-specific antigencore GAG Pprotein 18, p24, p55 Polymerase POL P31, P51, P666 Envelope ENV Gp glycoprotein41, gp120, gp160 Sumber: Winn, 2006

2. Siklus Hidup HIV dan Internalisasi HIV ke Sel Target

HIV merupakan retrovirus obligat intraselular dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target kebanyakan limfosit T-CD4 + . Sel target utama adalah sel yang mempu mengekspresikan reseptor CD4 astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dendritik. Gambar 2.3. Poin potensial dari intervensi pada siklus hidup HIV Sumber: University of Washington, 2004 Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Transmisi Infeksi HIV

1. Transmisi melalui kontak seksual Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagian, cairan serviks. Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi. 2. Transmisi melalui darah atau produk darah Transmisi dapat melalui hubungan seksual terutama homseksual dan dari suntikan darah yang terinfeksi atau produk darah Asjö, 2002. Diperkirakan bahwa 90 sampai 100 orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIVakan mengalami infeksi. Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1 per 835.000 Nasronudin, 2007. Pemeriksaan antibodi HIV pada donor darah sangat mengurangi transmisi melalui transfusi darah dan produk darah contoh, konsentrasi faktor VIII yang digunakan untuk perawatan hemofolia Lange, 2001 3. Transmisi secara vertikal Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil , persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian Air Susu Ibu ASI. Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10, sewaktu persalinan 10-20, dan saat pemberian ASI 10-20 Nasronudin, 2007. Di mana alternatif yang layak tersedia, ibu-ibu positif HIV-1 tidak boleh menyusui bayinya karena ia dapat menambah penularan perinatal Parks, 1996. Selama beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa penularan HIV perinatal dapat dikaitkan lebih akurat dengan pengukuran jumlah RNA-virus di dalam plasma. Universitas Sumatera Utara Penularan vertikal lebih sering terjadi pada kelahiran preterm, terutama yang berkaitan dengan ketuban pecah dini Cunningham, 2004. 4. Potensi transmisi melalui cairan tubuh lain Walaupun air liur pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat dan urin dapat merupakan media transmisi HIV Nasronudin, 2007. 5. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah seseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3 sedangkan risiko penularan HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitara 0,09. Di rumah sakit Dr. Sutomo dan rumah sakit swasta di Surabaya, terdapat 16 kasus kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam 2 tahun terakhir. Pada evaluasi lebih lanjut tidak terbukti terpapar HIV Nasronudin.

2.3.4 Patogenesis dan Patofisiologi HIV 1. Patogenesis

Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan koreseptor kemokin biasanya CCR5 atau CXCR4. Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41 Mandal, 2008. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4. Patofisiologi HIV Sumber: Castillo, 2005 Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse transcriptase RT yang dibawa oleh virus. Ini merupakan proses yang sangar berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim misalnya reverse transcriptase dan protease dan protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru virion selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup hampi semua infeksi adalah grup M dan subtipe grup B domina di Eropa untuk HIV-1 Mandal, 2008. Universitas Sumatera Utara

2. Patofisiologi

Karena peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia gangguan kapasitas intelektual yang parah yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS Sherwood, 2001. Gambar 2.5. Patogenesis HIV Sumber: Fauci, 2003 Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 Universitas Sumatera Utara tahun pertama, 50 berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik tanpa gejala. Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun Djoerban 2008. Gambar 2.6. Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus berkesinambungan pada infeksi HIV yang tidak diterapi. Sumber: Bennet, 2011 Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 9 setiap hari. Universitas Sumatera Utara

2.3.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Infeksi HIVAIDS 1. Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor Nasronudin, 2007. Tabel 2.5. Gejala Mayor dan Minor pada Pasien HIV AIDS Gejala Karekteristik Mayor Berat badan menurun lebih dari 10 dalam 1 bulan Diare kroniks yang berlangsung lebih dari 1 bulan Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan Penurunan kesadaran dan ganggguan neurologis Ensefalopati HIV Minor Batuk menetap lebih dari 1 bulan Dermatitis generalisata Herpes zoster multisegmental berulang Kandidiasis orofaringeal Herpes simpleks kroniks progresif Limfadenopati generalisata Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita Retinitis oleh virus sitomegalo Sumber: Nasronudin, 2007 Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui stadium klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC Nasronudin, 2007. Universitas Sumatera Utara Klasifikasi Klinis dan CD4 CDC Tabel 2.6. Klasifikasi klinis dan CD4 orang dewasa menurut CDC Limfosit CD4 Kategori A asimtomatis, infeksi akut Kategori B simpto- matis Kate- gori C AIDS 500 selmm 3 A1 B1 C1 200-499 selmm 3 A2 B2 C2 200 selmm 3 A3 B3 C3 Sumber: Nasronudin, 2007

2. Pemeriksaan

Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya infeksi HIV. Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA, mempunyai sensitivitas 93-98 dengan spesifitas 98-99. Pemeriksaan serologi HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih spesifik Western blot Nasronudin, 2007. Tes serologi standar terdiri dari EIA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti p17, p24, p55, polimerase p31, p51, p66, dan selubung envelope HIV gp41, gp120, gp160. Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes penapisan melalui EIA terdapat potensi false positif 2. Interpretasi WB meliputi Nasronudin, 2007: a. Negatif: tidak ada bentukan pita b. Positif: reaktif terhadap gp120160 dan gp41 atau p24 c. Indeterminate: terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria hasil positif. Universitas Sumatera Utara Akurasi pemeriksaan serologi standar EIA dan WB atau immunoflourescent assay sensitivitas dan spesifitasnya mencapai 98Nasronudin, 2007.

2.3.6 Penatalaksanaan Klinis Infeksi HIVAIDS

Penatalaksanaan penderita AIDS di UPIPI Nasronudin, 2007 a Penatalaksanaan Umum Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIVAIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, membiasakan gaya hidup sehat antara lain membiasakan senam seperti yang dilakukan di UPIPI. b Penatalaksanaan Khusus Pemberian antiretroviral therapy ART kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi malignansi. Terapi Antiretroviral Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah- langkah yang arif dan bijaksana, serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV Nasronudin, 2007. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.7. Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita dewasa menurut WHO 2006. Stadium Klinis WHO Pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan I ARV belum direkomendasikan Terapi bila CD4 200 sel mm 3 II ARV belum direkomendasikan Mulai terapi bila CD4 200 selmm 3 III Mulai terapi ARV Pertimbangkan terapi bila CD4 350 selmm 3acd dan mulai ARV sebelum CD4 turun 200 selmm 3 IV Mulai terapi ARV Terapi tanpa mempertimbangkan jumlah CD4 Sumber: Nasronudin, 2007

2.4 Infeksi Opportunistik dan HIVAIDS