Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara

(1)

PENJELASAN HUKUM WANPRESTASI YANG

DILAKUKAN KLIEN DENGAN TIDAK MEMBAYAR

HONOR/ TARIF PENGACARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

R

R

E

E

Z

Z

E

E

K

K

Y

Y

P

P

R

R

A

A

N

N

A

A

N

N

T

T

A

A

B

B

A

A

N

N

G

G

U

U

N

N

NIM. 090200362

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PENJELASAN HUKUM WANPRESTASI YANG

DILAKUKAN KLIEN DENGAN TIDAK MEMBAYAR

HONOR/ TARIF PENGACARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

R

R

E

E

Z

Z

E

E

K

K

Y

Y

P

P

R

R

A

A

N

N

A

A

N

N

T

T

A

A

B

B

A

A

N

N

G

G

U

U

N

N

NIM. 090200362

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetuj ui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M. Hum

Pembimbing I

NIP. 195008081980021001 Muhammad Hayat, SH

Pembimbing II

NIP. 195802021988031004 Muhammad Husni, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin,


(4)

SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. O.K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

5. Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

6. Kepada Ayahanda tersayang Rudy Bangun, Ibunda tersayang Murni Br

Purba, atas segala perhatian, dukungan, do’a dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

8. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009, selama


(5)

9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2014


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Keaslian Penulisan ... 6

F. Metode Penelitian ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA ... 9

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian ... 9

B. Akibat Hukum Perjanjian ... 21

C. Pengertian Pengacara ………... 24

D. Tugas dan Fungsi Pengacara………. 26

BAB III KEDUDUKAN PENGACARA DALAM PERKARA PERDATA ... 30

A. Peran Pengacara Dalam Memilih Klien ... 30


(7)

C. Pembuatan Surat Kuasa Antara Pengacara Dengan Klien .... 36

BAB IV AKIBAT HUKUM TIDAK DIBAYARNYA HONOR/TARIF PENGACARA OLEH KLIEN ... 54

A. Hubungan Antara Klien Dengan Pengacara ... 54

B. Pola Pengaturan Honorarium Pengacara Sesuai Dengan Norma Yang Berlaku ... 58

C. Akibat Hukum Wanprestasi Klien Dalam Membayar Honor/Tarif Pengacara ... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA


(8)

PENJELASAN HUKUM WANPRESTASI YANG DILAKUKAN KLIEN DENGAN TIDAK MEMBAYAR HONOR/TARIF PENGACARA

ABSTRAK

*RReezzeekkyyPPrraannaannttaaBBaanngguunn

** Muhammad Hayat, SH *** Muhammad Husni, SH.M.Hum

Perjanjian pengacara dan klien sangat penting untuk mencegah potensi ribut di kemudian hari. Apalagi, kedudukan advokat dan klien pada dasarnya tidak seimbang. Klien lemah dalam posisi pemahaman hukum. Tetapi melalui perjanjian, kedua belah pihak menjadi seimbang. Melalui perjanjian kewajiban para pihak akan diketahui, sehingga klien dan lawyer terlindungi.Pengacara dan klien harus membicarakan hak dan kewajiban masing-masing, lalu menuangkannya ke dalam perjanjian. Kalaupun ada proses tawar menawar dalam penentuan fee, itu adalah sesuatu yang biasa. Penentuan besarnya tarif ditentukan banyak faktor. Masing-masing advokat atau kantor hukum punya kriteria tersendiri. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana hubungan antara klien dengan pengacara, bagaimana pengaturan honorarium pengacara sesuai dengan norma yang berlaku dan bagaimana akibat hukum wanprestasi klien dalam membayar honor/tarif pengacara.

Metode penelitian yang digunakan adalah Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris bersifat deskriptif analtis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui hubungan Antara Klien Dengan Pengacara pada dasarnya adalah hubungan dalam bentuk bantuan hukum dengan cara pemberian kuasa dari klien kepada pengacara untuk mewakili klien bertindak di depan maupun di luar pengadilan. Masyarakat memerlukan bantuan pengacara karena masyarakat tidak paham bagaimana caranya menyelesaikan masalah itu agar mendapatkan keadilan. Pola pengaturan honorarium Pengacara tidak ada ketentuan mengenai pengaturan honorarium jasa hukum oleh advokat. Namun pada umumnya, penentuan jasa hukum biasanya didasarkan pada beberapa variabel seperti tingkat kerumitan perkara, penggunaan waktu dalam menangani perkara, serta nilai perkara itu sendiri. Tidak ada komponen yang pasti ataupun persentase penghitungan biaya. Pada prinsipnya mengenai biaya penanganan suatu perkara merupakan kesepakatan antara advokat dengan klien. Akibat Hukum wanprestasi Klien Dalam Membayar honorarium Pengacara maka dapat dikatakan klien tersebut telah melakukan wanprestasi dan dengan sebab wanprestasi tersebut maka pengacara dapat memutuskan menjadi pengacara kliennya dan menuntut pembayaran honor fee yang belum dibayarkan ditambah denda dan bunga.

Kata Kunci : Wanprestasi, Klien, Honor/Tarif, Pengacara * Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dihadapkan pada benturan-benturan kepentingan yang bermuara kearah terjadinya sengketa dan perselisihan, hal ini karena kehidupan manusia diatur dengan kaedah atau norma hukum, maka sengketa dan perselisihan tersebut langsung bersinggungan dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

Oleh karena itu semakin meningkatnya kebutuhan manusia, semakin meningkat pula kebutuhan manusia terhadap hukum. Disinilah dituntut peranan pengacara dalam menjalankan profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.

Pengacara atau disebut dengan advokat sebagai pemberi bantuan hukum atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Saat ini semakin penting, seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat serta kompleksitasnya masalah hukum.

Lain dari pada itu, pengacara merupakan profesi yang memberikan jasa hukum saat menjalankan tugas dan fungsinya, yang juga berperan sebagai

pendamping, pemberi advise hukum, maupun menjadi kuasa hukum untuk dan

atas nama kliennya.

Begitupun pemberian jasa hukum kepada masyarakat dalam hukum positif mempunyai landasan hukum sangat kuat yang bersumber dalam Undang-Undang


(10)

Dasar (UUD) 1945, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dan lain sebagainya.

Berbicara mengenai profesi pengacara dalam lembaga peradilan, banyak dijumpai peran pengacara yang ikut serta berpartisipasi dalam menyelesaikan perkara yang diembankan dan diamanatkan pada dirinya. Peran pengacara tersebut dapat dilihat dari proses awal pengajuan perkara ke pengadilan tidak lepas dari perannya sebagai advokat dalam memberikan bantuan hukum, dari mulai mengurusi masalah administratif, sampai pada proses litigasi selesai.1

1

Rahmat Rosyadi dan sri Hartini, Advokad Dalam Perspektif Islam & Hukum Positif, Jakarta:

Ghalia Indonesia,2003, hal. 65.

Uraian diatas memberikan arti, bahwa keberadaan seorang pengacara mempunyai arti penting dalam memberikan jalan keluar terhadap adanya permasalahan yang dihadapi oleh seseorang, khususnya yang berpraktik di pengadilan.

Kepercayaan adalah kunci utama dalam hubungan pengacara dengan klien. Pembelaan asal-asalan bisa menyulut kekesalan klien. Sebaliknya, pembelaan yang berlebihan terhadap klien bisa menyulut amarah pihak lain. Apalagi jika advokat mengeluarkan pernyataan yang menyinggung perasaan pihak ketiga.

Namun hubungan pengacara dengan klien tak selamanya harmonis. Adakalanya kepercayaan berubah menjadi sengketa yang sulit diselesaikan melalui komunikasi biasa.


(11)

Penyebabnya banyak. Yang paling umum terjadi karena masalah

honorarium (fee) dan ketidaksepahaman pengacara dengan klien mengenai

langkah hukum tertentu yang harus dilakukan. Kalau pengacara menyarankan langkah tertentu tapi klien tak setuju, tingkat kepercayaan bisa menipis. Kalau kepercayaan terus makin terkikis, pemberian kuasa bisa putus baik karena inisiatif klien, maupun karena advokat mundur.

Dalam hubungan pengacara klien, honorarium menjadi sesuatu yang penting. Honorarium adalah hak advokat yang wajib dibayarkan klien sesuai kesepakatan. Mekanisme pembayaran dan persyaratan lainnya juga didasarkan pada kesepakatan.

Jika honorarium tidak dibayar sesuai kesepakatan, pengacara biasanya melayangkan gugatan terhadap klien. Jika klien tetap tidak membayar honorarium pengacara, si pengacara bisa melayangkan permohonan pailit terhadap klien.

Langkah advokat menggugat klien karena persoalan honorarium dapat dibenarkan, setidaknya dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung No. 640 K/Pdt/2011. Majelis hakim agung H. Atja Sondjaja, Prof. HM Hakim Nyak Pha, dan Prof. Takdir Rahmadi, mengabulkan gugatan Gani Djemat & Partners terhadap Billy Sindoro. Billy Sindoro pernah memberikan kuasa hukum kepada advokat dari kantor hukum tersebut saat Billy menghadapi perkara di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menunjuk surat kuasa 1 Desember 2008 yang memuat ketentuan ‘kekuasaan ini diberikan dengan


(12)

pembayaran’. Menurut Mahkamah, tergugat belum melaksanakan pembayaran sehingga disebut wanprestasi. Billy dihukum membayar fee pengacara sebesar Rp. 500 juta.

Pertimbangan hukum Mahkamah Agung merujuk pada perjanjian yang dibuat advokat-klien. Lazim terjadi hubungan awal advokat dan klien baru sebatas surat kuasa. Setelah itu, baru dibahas perjanjian mengenai honorarium. Tawaran honorarium sering datang dari pengacara. Legal fee itulah yang dibuat semacam surat penawaran. Jika klien setuju, kedua belah pihak akan tanda tangan.

Perjanjian pengacara dan klien sangat penting untuk mencegah potensi ribut di kemudian hari. Apalagi, kedudukan advokat dan klien pada dasarnya tidak seimbang. Klien lemah dalam posisi pemahaman hukum. Tetapi melalui perjanjian, kedua belah pihak menjadi seimbang. Melalui perjanjian kewajiban para pihak akan diketahui, sehingga klien dan lawyer terlindungi.

Pengacara dan klien harus membicarakan hak dan kewajiban masing-masing, lalu menuangkannya ke dalam perjanjian. Kalaupun ada proses tawar menawar dalam penentuan fee, itu adalah sesuatu yang biasa. Penentuan besarnya tarif ditentukan banyak faktor. Masing-masing advokat atau kantor hukum punya kriteria tersendiri.

Hal ini yang merupakan sebab penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “Penjelasan Hukum wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara”.


(13)

B. Permasalahan

Terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Maka adapun pokok permasalahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara klien dengan pengacara?

2. Bagaimana pengaturan honorarium pengacara sesuai dengan norma yang

berlaku?

3. Bagaimana akibat hukum wanprestasi klien dalam membayar honor/tarif

pengacara?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hubungan antara klien dengan pengacara.

2. Untuk mengetahui pengaturan honorarium pengacara sesuai dengan norma

yang berlaku.

3. Untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi klien dalam membayar

honor/tarif pengacara.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis kajian ini diharapkan memberikan kontribusi penelitian perihal penyelesaian wanprestasi dalam hubungan antara seorang pengacara dengan kliennya.


(14)

b. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik itu pihak yang terkait langsung khususnya masyarakat yang menggunakan jasa pengacara.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan atas ide atau gagasan penulis dan telah dilakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum USU oleh Petugas

Pustaka bahwa judul skripsi Penjelasan Hukum wanprestasi Yang Dilakukan

Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara, ini tidak ditemukan dan tidak ada yang mirip. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan ini adalah asli.

Skripsi ini asli ditulis dan diproses melalui pemikiran penulis, referensi dari peraturan-peraturan, buku-buku, kamus hukum, internet, bantuan dari pihak-pihak yang berkompeten dalam bidangnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau


(15)

penelitian hukum perpustakaan.2

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Data primer data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang

Dasar (UUD) 1945, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang-Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang

diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun

kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

3. Alat pengumpulan data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan yuridis normatif.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2

Ediwarman, Monograf, Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 2010, hal. 24.


(16)

serta menarik kesimpulan.

G. Sistematika Penelitian

Penulisan skripsi ini memiliki sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab merupakan bab yang berisi tentang Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA.

Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, yakni Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian, Akibat Hukum Perjanjian, Pengertian Pengacara dan Tugas dan Fungsi Pengacara.

BAB III : KEDUDUKAN PENGACARA DALAM PERKARA PERDATA

Bab ini akan menguraikan tentang Peran Pengacara Dalam

Memilih Klien, Kedudukan Pengacara Dalam Acara Perdata, serta Pembuatan Surat Kuasa Antara Pengacara Dengan Klien.

BAB IV : AKIBAT HUKUM TIDAK DIBAYARNYA HONOR/TARIF PENGACARA OLEH KLIEN

Bab ini membahas tentang: Hubungan Antara Klien Dengan Pengacara, Pola Pengaturan Honorarium Pengacara Sesuai Dengan Norma Yang Berlaku Serta Akibat Hukum Wanprestasi Klien Dalam Membayar Honor/Tarif Pengacara.


(17)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN


(18)

BAB II

PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.3

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung

pengertian: “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya”.

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

4

3

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.

4


(19)

Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi “.5

Sesuai dengan pengertian di atas, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.6

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan

itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum/rechtshandeling.

Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.7

Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak yang laim memikul

kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau

5

Ibid., hal. 6.

6

Ibid., hal. 7.

7


(20)

voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai kreditur atau schuldeiser. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.8

1. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai melekat/droit de suite.

Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak. Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Hukum/

Vermogenrecht kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru

bias tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde

persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht

dengan hukum perjanjian:

2. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk

menghormati hak seseorang atas benda tadi, tidak dapat diganggu gugat/in violable et sacre.

3. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan

sesukanya atas benda tersebut.9

8

Ibid., hal. 8.

9


(21)

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan

diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht

berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang

tertentu saja.10

1. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang

tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan. Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “hak yang tidak dapat diganggu gugat/inviolable

et sacre“ dan memiliki hak melekat kepada pemiliknya/droit de suite, tidak

mempunyai daya hukum lagi.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada orang/persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengeecualian :

2. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata,

dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).11

10

Ibid., hal. 9.

11


(22)

Perjanjian/verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban / prestasi yang mereka perjanjikan.

Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa.

Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Ajdi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa.

Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara : 1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti

natuurlijke verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini

pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan (perintah eksekusi) dan eksekusi riel (waktu eksekusi), ganti rugi serta uang paksa.12

12


(23)

2. Syarat Sah Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual.13

13

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 2001, hal. 17.

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.


(24)

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.14

Mengenai kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

14


(25)

apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.15

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.

15


(26)

lawannya.

Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru

dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian

adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan :

1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara

sah.

2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa


(27)

3. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.

Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali. Sesuai kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan


(28)

oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.


(29)

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat itu.

“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan , maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.16

“Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”.

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

17

16

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hal. 94.

17

Wirjono Prodjodikoro. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Mandar Maju, Bandung, 2011. hal. 36.


(30)

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

“Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang”.18

B. Akibat Hukum Perjanjian

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Jika ada dua orang mengadakan perjanjian, maka masing-masing mereka bertujuan untuk memperoleh prestasi dari pihak lawannya. Prestasi tersebut dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian ini dibuat dengan maksud supaya dilaksanakan dan umumnya memang dilaksanakan. Masing-masing pihak harus melaksanakan apa yang disetujui dengan tepat.

18


(31)

“Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada seseorang lain, atau dimana seorang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu“.

Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :

1. Perjanjian untuk memberikan, menyerahkan suatu barang.

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu 3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Hal yang seharusnya dilaksanakan itu disebut prestasi.

Dalam menentukan batas antara memberi dan berbuat sering kali menimbulkan keragu-raguan. Walaupun menurut tata bahasa bahwa memberi adalah berbuat, akan tetapi pada umumnya yang diartikan dengan memberi adalah menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas sesuatu benda. Misalnya penyerahan hak milik atas sebuah rumah atau memberi kenikmatan atas barang yang disewa kepada si penyewa. Adapun yang dimaksud dengan berbuat adalah setiap prestasi yang bersifat positif yang tidak berupa memberi, misalnya melukis.

Perjanjian untuk menyerahkan, memberikan sesuatu misalnya : jual beli, tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai dan lain-lain.

Perjanjian untuk berbuat sesuatu misalnya : Perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat suatu grasi, dan lain-lain sebagainya.


(32)

“ Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu misalnya : perjanjian untuk tidak membuat tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya “.19

Dalam mengadakan suatu perjanjian, biasanya orang tidak mengatur atau menetapkan apa yang mejadi hak dan kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal yang pokok saja, jadi untuk melaksanakan suatu perjanjian

Dalam hukum perjanjian, bagaimana jika salah satu pihak tidak menepati janjinya, dimana salah satu pihak tidak dapat mewujudkan prestasi yang telah dijanjikan.

Mengenai perjanjian untuk menyerahkan sesuatu, tidak terdapat petunjuk dalam undang-undang. Sedangkan dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu dan perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu , maka jika salah satu pihak wanprestasi, perjanjian itu dapat diexecutie secara riil. Artinya pihak yang lain dapat merealisasikan apa yang menjadi hak menurut perjanjian. Bila para pihak tidak memenuhi perjanjian itu, maka perjanjian itu batal, sehingga salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian itu tidak terdapat hak untuk merealisasikan apa yang menjadi haknya menurut undang-undang.

Dengan demikian si kreditur menurut undang-undang boleh dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya. Atau si kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian, dengan tidak mengurangi haknya untuk ganti kerugian. Misalnya : tembok yang didirikan dengan melanggar perjanjian, dapat dirobohkan.

19

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 2007, hal. 2-3.


(33)

seharusnya lebih dahulu ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut. Menetapkan secara tegas hak dan kewajiban masing-masing pihak.

C. Pengertian Pengacara

Pengacara atau advokat atau kuasa hukum adalah kata benda, subyek. Dalam praktik dikenal juga dengan istilah Konsultan Hukum. Dapat berarti seseorang yang melakukan atau memberikan nasihat (advis) dan pembelaan “mewakili” bagi orang lain yang berhubungan (klien) dengan penyelesaian suatu kasus hukum.20

Pembelaan dilakukan oleh pengacara terhadap institusi formal (peradilan) maupun informal (diskursus), atau orang yang mendapat sertifikasi untuk memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Di Indonesia, untuk dapat menjadi seorang pengacara, seorang sarjana yang berlatar belakang Perguruan Tinggi hukum harus mengikuti pendidikan khusus dan lulus ujian

Istilah pengacara berkonotasi jasa profesi hukum yang berperan dalam suatu sengketa yang dapat diselesaikan di luar atau di dalam sidang pengadilan. Dalam profesi hukum, dikenal istilah beracara yang terkait dengan pengaturan hukum acara dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata. Istilah pengacara dibedakan dengan istilah Konsultan Hukum yang kegiatannya lebih ke penyediaan jasa konsultasi hukum secara umum.

20

Wikipedia Indonesia, "Pengacara", Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pengacara, Diakses tanggal 6 Juni 2014.


(34)

profesi yang dilaksanakan oleh suatu organisasi pengacara.21

Sedangkan sebelumnya dipergunakan istilah pembela, advokat, procureur

(pokrol) dan pengacara. Menurut pendapat beberapa orang sarjana bahwa istilah

penasehat hukum lebih tepat jika dibandingkan dengan istilah–istilah terdahulu. Istilah penasehat hukum pertama sekali dipakai oleh Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 kemudian oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Dengan keluarnya Undang-Undang-Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara langsung juga menghapuskan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 maka perihal istilah “penasehat hukum” digantikan dengan istilah “advokat”. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 38 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi “Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat”.

Sebelum keluarnya Undang-Undang Kehakiman di atas maka perihal pemakaian istilah advokat juga telah diterapkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan dalam Pasal 1 angka 1 nya “advokat adalah orang yang berfrofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.

22

Istilah pembela misalnya sering disalah tafsirkan seakan-akan berfungsi sebagai

21 Ibid. 22

Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 32.


(35)

penolong tersangka atau terdakwa bebas ataupun terlepas dari pemidanaan walaupun ia jelas bersalah melakukan yang didakwakan.

Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberkan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan (proses litigasi). Sedangkan penasehat hukum adalah orang yang bertindak memberikan nasehat-nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/perbuatan yang akan dan yang telah dilakukan kliennya (non litigation).23

23

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 87.

D. Tugas dan Fungsi Pengacara

Tugas merupakan kewajiban; sesuatu yang wajib dilakukan atau ditentukan untuk dilakukan. Berbicara mengenai tugas advokat berarti sesuatu yang wajib dilakukan oleh advokat dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat atau kliennya. Oleh karenanya, seorang advokat dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada negara, pengadilan, klien, dan pihak lawannya.

Persepsi masyarakat terhadap tugas advokat sampai saat ini, masih banyak mengandung unsur salah paham, masih banyak yang menganggap bahwa tugas advokat hanya membela perkara di pengadilan dalam perkara perdata, pidana, dan tata usaha negara di hadapan kepolisian, kejaksaan, dan di pengadilan. Pada dasarnya pekerjaan advokat tidak hanya bersifat litigasi, tetapi mencakup tugas lain di luar pengadilan, yang bersifat non litigasi.


(36)

Adapun tugas seorang advokat bukanlah merupakan pekerjaan (vocation

beroep), akan tetapi lebih merupakan sebuah profesi. Karena profesi advokat tidak

sekedar bersifat ekonomis, yang berorientasi hanya untuk mencari nafkah, akan lebih dari pada itu, mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi di dalam masyarakat. Profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (Officium Nobile), karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial, keyakinan dan lain sebagainya.

Tugas seorang advokat sendiri adalah membela kepentingan masyarakat

(publik defender) dan kliennya. Keberadaan seorang advokat dibutuhkan ketika

seseorang atau lebih anggota masyarakat menghadapi suatu masalah atau problem di bidang hukum. Sebelum menjalankan tugasnya, ia harus bersumpah terlebih dahulu sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Dalam menjalankan tugasnya, ia juga harus memahami kode etik advokat sebagai landasan moral.

Bagaimanapun tugas seorang advokat dalam memberikan jasa hukum masyarakat tidak terinci dalam uraian tugas, karena seorang advokat bukanlah seorang pejabat negara sebagai pelaksana hukum, sebagaimana polisi, jaksa, dan hakim. Ia merupakan profesi yang bergerak di bidang hukum, untuk memberikan pembelaan, pendampingan, dan menjadi kuasa untuk dan atas nama kliennya. Ia disebut sebagai benteng hukum atau garda keadilan dalam menjalankan fungsinya.

Fungsi, merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari tugas, di mana berkaitan dengan pekerjaan atau profesi yang disandang oleh seorang advokat,


(37)

karena keduanya merupakan sistem kerja yang saling mendukung, dan dalam menjalankan tugasnya, seorang advokat harus berfungsi:

a. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;

b. Memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam negara hukum Indonesia; c. Melaksanakan kode etik advokat;

d. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran;

e. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan dan kebenaran) dan moralitas;

f. Menjunjung tinggi citra profesi advokat sebagai profesi terhormat (Officum

Nobile);

g. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat, dan martabat advokat;

h. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat; i. Menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik advokat;

j. Membela klien dengan cara jujur dan bertanggung jawab;

k. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat;

l. Memelihara kepribadian advokat;

m. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat antara sesama advokat yang didasarkan kepada kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan, serta saling menghargai dan mempercayai;


(38)

tunggal organisasi advokat;

o. Memberikan pelayanan hukum (legal service); p. Memberikan nasehat hukum (legal advice);

q. Memberikan konsultasi hukum (legal konsultation); r. Memberikan pendapat hukum (legal opinion); s. Menyusun kontrak-kontrak (legal drafting); t. Memberikan informasi hukum (legal information); u. Membela kepentingan klien (litigation);

v. Mewakili klien di muka pengadilan (legal representation);

w. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada rakyat lemah dan tidak mampu (legal aid).

Berdasarkan rumusan diatas, seorang advokat dalam membela, mendampingi, mewakili, bertindak dan dalam menunaikan tugas dan fungsinya, harus selalu mempertimbangkan hak serta kewajiban terhadap klien, pengadilan, diri sendiri, negara, sebagai perwujudan untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan.

Disamping itu, profesi advokat akan di pandang mulia di masyarakat, apabila dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagai seorang pemberi jasa, mampu memenuhi keinginan dan tuntutan masyarakat yang membutuhkan, secara maksimal.


(39)

BAB III

KEDUDUKAN PENGACARA DALAM PERKARA PERDATA

A. Peran Pengacara Dalam Memilih Klien

Pengacara atau Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan. Dengan demikian, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi kode etik advokat.24

Dalam menjalankan tugasnya para Advokat tidak hanya menjalankan pekerjaan yang diamanatkan oleh undang-undang selain itu juga menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting yaitu bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan masyarakat umum yang dilayaninya, seorang Advokat harus berpegang teguh kepada kode etik advokat, namun dalam kenyataannya, pelaksanaan hukum dilapangan masih ada Advokat yang melakukan pelanggaran kode etik advokat tersebut

Penerapan kode etik dalam profesi hukum sangat penting karena dipakai sebagai salah satu bentuk ketahanan moral profesi advokat dengan menjelaskan tentang fungsi kode etik tersebut di dalam masyarakat tentang penegakan dan penerapan kode etik tersebut.

25

24

Ria & Partners, " Peran Kode Etik Bagi Advokat Dalam Menjalankan Profesi", Melalui

http://riaadvocate.com/?p=476, Diakses tanggal 6 Juni 2014.

25 Ibid.


(40)

Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas profesinya advokat terikat pada kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat dikenai tindakan apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sumpah/janji advokat atau kode etik profesi advokat (Pasal 6 huruf e dan huruf f Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat).

Perbuatan menolak klien sendiri merupakan pelanggaran terhadap

sumpah/janji advokat yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat. Salah satu sumpah/janji yang diucapkan advokat berbunyi:

“Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.”

Namun, di dalam Kode Etik Profesi Advokat Indonesia (KEAI) advokat dibolehkan atau bahkan diwajibkan dalam kondisi-kondisi tertentu untuk menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien, atau mengundurkan diri dari pengurusan perkara kliennya. Dalam kaitan ini, KEAI mengatur bahwa: a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada

setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya (Pasal 3 huruf a KEAI).

b. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya (Pasal 4 huruf g KEAI).

c. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan


(41)

tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 4 huruf j KEAI).26

Dalam peradilan perdata, advokat berkedudukan sebagai kuasa atau wakil kliennya. Landasan hukum advokat dalam peradilan perdata adalah Pasal 123 HIR

(Reglemhet Herziene Indladsch ent) Pasal 123 ayat (1): Bilamana dikehendaki,

kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi kuasa itu dalam surat permintaaan yang ditandatanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut Akan tetapi, KEAI melarang advokat menolak klien dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya (Pasal 3 huruf a KEAI). Larangan yang sama juga diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Advokat.

Selain itu, advokat juga tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan (Pasal 4 huruf i KEAI).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa advokat diperbolehkan menolak klien

apabila terpenuhi syarat dan kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal 3 huruf a, Pasal 4 huruf g dan huruf j KEAI.

B. Kedudukan Pengacara Dalam Acara Perdata

26

Hukum Online.com, " Advokat Boleh Menolak Klien", Melalui http://www.hukumon line.com/klinik/detail/lt4cee226d8122d/advokat-boleh-menolak-klien, Diakses tanggal 6 Juni 2014.


(42)

Pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat dengan surat gugat ini.“

Dengan Pasal 123 HIR ini, hukum acara perdata mengenal adanya sistem lembaga perwakilan. Sehingga peran advokat dapat membantu pihak-pihak yang berpekara dalam mempertahankan hukum perdata materiil. Hukum perdata bagi seorang advokat adalah seorang interprestasi dan perang ilmiah, karena itu sebagai advokat mencoba mempertahankan unsur-unsurnya di dalam hukum acara.

Dasar adanya sistem lembaga perwakilan adalah dikarenakan masih banyaknya pencari keadilan yang kurang mampu atau kurang memahami dalam mengajukan gugatan dan tangkisan dengan rumusan sedemikian rupa. Oleh karena itu, lembaga perwakilan bermaksud menjaga agar jangan sampai pihak-pihak pencari keadilan dirugikan hanya membuat kesalahan-kesalahan elementer dalam hukum acara perdata yang terikat oleh banyaknya peraturan dan macam-macam formalitas.27

27

Kantor Hukum/Law Office SURJO & PARTNERS, "Memahami Profesi Hukum Advokat Dalam Perkara Perdata", Melalui http://surjoadvokat.blogspot.com/2013/07/memahami-profesi-hukum-advokat-dalam.html, Diakses tanggal 6 Juni 2014.

Oleh karena itu, sebagai advokat yang bertindak untuk dan atas nama kliennya diharuskan memiliki kemampuan dan keberanian berpekara, apalagi mengingat kliennya telah memberikan kepercayaan yang besar padanya.

Kemampuan berpekara adalah keampuan untuk menyusun surat-surat, seperti surat gugatan, jawaban, replik, duplik, maupun kemapuan dalam memberikan pembuktian, mengajukan konklusi akhir dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan penyelesaian perkara di persidangan.


(43)

Hal ini disebut sebagai ketrampilan profesional, sedangkan keberanian berperkara dimaksudkan untuk berhadapan dengan lawan dan hakim di pengadilan.

Tugas advokat sebagai lembaga perwakilan adalah menyaring dan menyusun kejadian-kejadian yang ia peroleh dari kliennya, kemudian ia kumpulkan sebagai bahan untuk nantinya dituangkan dalam bentuk yuridik, yang akan dimajukan dalam sidang pengadilan.

Namun fungsi advokat sebenarnya tidak hanya terbatas di dalam pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan. misi seorang advokat adalah memberikan bantuan hukum berdasarkan undang-undang kepada kliennya. Misalnya, seorang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar, maka advokat dapat menjadi juru runding (negosiator) bagi kliennya untuk menyelesaikan masalah itu dengan jalan perdamaian tanpa harus ke pengadilan.

Sedangkan peran advokat dalam dunia usaha dapat dikatakan sebagai legal counsel atau menjadi pelobi penghubung antara dunia usaha dan badan-badan pemerintah yang biasa disebut: berfungsi sebagai regulator agencies. Dalam hal ini, advokat dapat mencegah agar perusahaan tidak mendapat kesulitan di kemudian hari.28

Selain perannya beracara di pengadilan (perdata), di masa modern sekarang ini, adalah perannya dalam membuat “memorandum hukum” atau legal audit (pemeriksa hukum), dan legal opinion (pendapat hukum) dalam menangani kasus yang dihadapi klien. Bahkan, legal audit dan legal opinion sudah menjadi

28 Ibid.


(44)

keharusan atau kewajiban bagi perusahaan yang akan go public di pasar modal.

Pada umumnya, legal opinion atau legal audit ini diberlakukan dalam

bidang hukum yang terkait dengan perusahaan (corporate law), walaupun legal

audit dan legal opinion itu tidak semata hanya menyangkut bidang hukum

perusahaan. Legal audit ini biasanya dibuat setelah membaca seluruh dokumen yang ada, dan untuk perusahaan biasanya terdiri dari: kontrak-kontrak, korespondensi, Anggaran Dasar Perusahaan beserta Perubahannya, dokumen-dokumen perusahaan lainnya, seperti: ijin usaha dan ijin-ijin lainnya, pajak, bukti kepemilikan, dokumen pembukuan, dan dokumen lain-lain sejauh ada

relevansinya dan penting dengan kasus yang bersangkutan. Sedangkan legal

opinion (pendapat hukum) merupakan pandangan-pandangan hukum atau

aspek-aspek hukum apa saja yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi perusahaan klien.29

Tampaknya, perlu dilihat apa yang telah dikemukan oleh Lord Mac Millan, seorang Lord Advocate-General di Skatlandia dan penasehat House of

Lords, yang menyatakan bahwa kewajiban seorang advokat terdiri dari 5 bagian

Jadi, pada prinsipnya, tugas advokat adalah memberikan nasehat dan pembelaan dalam arti menurut hukum kepada kliennya. Namun demikian, dalam menjalankan perannya itu, advokat mempunyai fungsi yang lebih luas lagi daripada hanya sekedar menjadi penasehat dan pembela, yakni harus mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memajukan profesi hukum, peradilan dan hukum dalam arti luas.

29 Ibid.


(45)

penting, yakni: ” Dalam membela, bertindak dan menunaikan tugasnya, seorang advokat harus selalu memasukkan ke dalam pertimbangannya kewajiban terhadap klien, terhadap lawan, terhadap pengadilan, terhadap diri sendiri, dan terhadap negara.“30

Pemberin kuasa adalah berasal dari bahasa Belanda yang disebut

lastgeving, dimana kita lihat bahwa lastgeving diatur dalam titel XVI buku III

KUH Perdata dari pasal 1792 sampai dengan 1819 KUH Perdata, adalah suatu persetujuan, dimana seorang yang disebut si pemberi kuasa/pemberi pentintah memberikan kepada orang lain yang disebut si penerima kuasa/penerima perintah suatu kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum untuk kepentingan si pemberi itu yang oleh si penerima diterimanya dengan baik. HIR dan Rbg tidak menganut ketentuan yang mewajibkan pihak-pihak yang berperkara itu Yang dimaksud lembaga perwakilan diatas tidak termasuk orang-orang yang menurut hukum materiil tidak atau belum dapat bertindak sendiri dalam hubungan hukum, dan tidak dapat pula menghadap sendiri di muka Hakim, yang mereka itu diwakili oleh walinya atau wakilnya menurut hukum, seperti anak di bawah umur dan orang dewasa yang sakit jiwanya. Bukan pula yang dimaksudkan dengan perwakilan badan hukum oleh pengurus dan direksinya, dan tidak termasuk ketentuan Pasal 123 ayat 2 HIR yang menyebutkan seorang Jaksa mewakili pemerintah di muka pengadilan perdata.

C. Pembuatan Surat Kuasa Antara Pengacara Dengan Klien

30 Ibid.


(46)

harus diwakili oleh seorang kuasa.

Sementara itu di dalam pasal 160 Rechtvordering (Rv) dianut azas yang mewajibkan untuk diwakili seorang kuasa.

Akan tetapi demikianpun pada pasal 123 HIR dan pasal 147 Rbg tdak melarang pihak-pihak yang berperkara untuk menunjuk seorang kuasa atau wakil yang akan mewakili mereka dalam pemeriksaan di muka persidangan.

Menurut pasal 1793 KUH Perdata persetujuan pemberian kuasa dapat diadakan secara apapun juga, secara lisan malahan menurut kebanyakan daripada ahli hukum secara diam-diam (stil zwijgend) juga diperbolehkan. Ketentuan dalam ayat (2) pasal 1793 KUH perdata bahwa penerima kuasa dapat dilakukan secara diam-diam, dianggap berlaku juga untuk pemberian kuasa.

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Jadi kuasa khusus adalah yang diberikan khusus untuk sekaligus ditentukan secara khusus segala sesuatu yang dapat dikerjakan mengenai hal-hal tertentu.

Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu diperlukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan yaitu misalnya untuk menjual atau menyewakan rumah dengan harga dan syarat-syarat tertentu pula, atau contoh lain misalnya untuk mengajukan suatu perkara gugatan di muka pengadilan menurut pasal 123 HIR/147 Rbg diperlukan suatu kuasa khusus tertulis, sifat khusus itu ditujukan pada keharusan menyebutkan nama pihak yang digugat dan mengenai perkara apa.


(47)

“Begitu pula untuk minta banding dan kasasi, diperlukan surat kuasa khusus dimana disebutkan pengadilan mana, tanggal berapa, nomor berapa dan siapa pihak lawannya".31

1. Harus berbentuk tertulis.

Untuk penjualan barang-barang, mengadakan hipotik, buat suatu dading atau melakukan perbuatan lain mengenai hak milik atas sesuatu barang, pasal 1796 ayat (2) KUH Perdata menentukan perlu adanya suatu pemberian kuasa khusus yang secara tegas tersebut.

Bila ini tidak ditegaskan, maka si penerima kuasa hanya melakukan perbuatan pengurusan (beheer), pelaksanaan pemberian kuasa/perintah ini tidak boleh melampaui batasnya (Pasal 1796 (1) KUH Perdata.

Kuasa khusus ini juga diatur dala pasal 123 HIR/pasal 147 Rbg, dan pelaksanaan surat kuasa khusus ini telah dipertegas kembali oleh Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya No. 01/1971 tertanggal 23 januari 1971.

Suatu surat kuasa khusus antara lain memuat beberapa persyaratan :

a. Bisa surat di bawah tangan yang diperbuat oleh si pemberi kuasa dan si

penerima kuasa.

b. Dibuat oleh Panitera Pengadilan yang dilegalisir oleh Ketua Pengadilan atau oleh seorang hakim.

c. Dengan akta otentik yang diperbuat oleh seorang notaris.

2. Surat kuasa khusus ini harus menyebut nama-nama dari pihak yang

berperkara.

31


(48)

3. Harus menegaskan objek dan kasus dari yang diperkarakan.

Kuasa substitusi (gesubstitueerde gevolmachttigde) yang berperkara, menunjuk lagi orang lain sebagai penggantinya mewakili wajib pajak dari kuasa semula (vide pasal 1803 KUH perdata).

Ini memang diperbolehkan oleh hukum acara, dan kekuasaan kuasa subtitusi inipun seluas yang meliputi hak yang diberikan kepada si kuasa.

Tetapi kuasa substitusi itu harus menyebut dengan jelas sampai dimana hak dan kewajibannya. Jika tidak demikian kuasa subtitusi diangap tidak mempunyai kekuatan sepanjang tindakan-tindakan yang tidak disebut dengan tegas. Surat kuasa substitusi yang hanya berisi untuk melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh si penerima kuasa, dianggap tidak berwenang untuk menandatangani banding, dan permohonan banding atas hal yang demikian telah dinyatakan tidak dapat diterima oleh pengadilan tinggi Medan tanggal 29 Juli 1970 No. 583/1968 putusan mana dikuatkan oleh Mahkamah Agung tanggal 7 Mei 1973 No. 850/Sip/1971.

Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat Kuasa. Surat Kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu Kuasa yang diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis.

Kuasa secara lisan diatur dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan memberikan kuasanya kepada pihak lain dihadapan Hakim yang dilakukan di


(49)

depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan secara lisan namun dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti autentik.

Disamping itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan kewenangan mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa dirugikan.

Karena hal-hal tersebut diatas maka guna menghindari adanya perselisihan mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada umumnya lebih menyukai surat kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat

pelimpahannya dapat dilakukan secara umum32

Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi kekuatan bukti yang sempurna juga pihak pemberi kuasa tidak mudah untuk mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima

dan dapat dibuat dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat Kuasa ini dapat dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris. Dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kuasa/penerima kuasa lebih menyukai pemebrian kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang autentik.

32

Surat Edaran Menteri Dalam Negri No. 14 Tahun 1982 yang ditujukan kepada PPAT seluruh Indonesia.


(50)

kuasa. Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya kepada penerima kuasa saja. Bila penerima kuasa tidak setuju maka pencabutannya harus dilakukan dengan suatau gugatan di Pengadilan. Dalam praktek hal ino jarang terjadi karena si pemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan mengahdapi satu masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada penerima kuasanya tersebut. Maka diharapkan dengan bentuk tertulis jelas dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan dalam suatu surat kuasa.

Dengan demikian semakin menjadi jelas batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi penerima kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak dapat menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan penerima kuasa juga tak dapat melakukan kuasa melebihi kuasa yang diberikan. Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada penerima kuasa secara pribadi kepada penerima kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan penerima kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.

Surat kuasa secara tertulis dibagi atas dua macam , pertama surat kuasa umum dan surat kuasa khusus. Dalam kaitan ini yang akan diuraikan adalah mengenai surat kuasa yang dipakai dalan praktek baik di Pengadilan-Pengadilan, Kepolisian maupun Kejaksaan. Surat Kuasa (khusus) perlu dicermati dengan baik karena kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan membuat batal demi hukum apa yang telah dikuasakan tersebut.33

33

Putusan MA-RI No.531K/Sip/1973 tgl.25 Juli 1974 yang memberi fatwa: “Surat kuasa umum tak dapat dipakai sebagaimana surat kuasa khusus untuk berperkara diPengadilan”.


(51)

Kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil akan membuat gugatan yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak dapat diterima oleh Pengadilan.

Bahkan ada dalam perkara kepailitan dimana Penasehat Hukumnya begitu yakin akan keabsahan Surat kuasanya sehingga dalam permohonan pailit yang diajukannya baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung ternyata hanya melulu membahas dan lebih menekankan pada keabsahan suarat kuasa (khusus) yang dibuat tersebut, walaupun pada akhirnya dua permohonan pailitnya akhirnya kandas ditengah jalan dimana Mahkamah Agung menyatakan permohonan pailit yang diajukan tak dapat diterima karena tidak dipenuhinya persyaratan keabsahan yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999).34

Walaupun dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa yang harus dimuat dalam suatu suirat kuasa (khusus)namun

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November 1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat tanggal 31 Januari 19784 No. 516.1983/G yang menyatakan gugatan Penggugat tak dapat diterima.

Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut antara lain menilai judeks fakti telah salah menerapkan hukum. Dan bahwa pasal 123 HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama Pengadilan Negri hukum mana gugatan harus diajukan.

34

Tim Redaksi Tatanusa. Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara kepailitan. Jakarta: PT. Tatnusa, 1999. hal. 55.


(52)

dalam pembuatan Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat:35 1. Nama para pihak, subjek (identitas);

2. Pokok Sengketa atau obyek sengketa

3. Nama Pengadilan

4. Apa berlaku juga untuk banding/kasasi

ad.1 Nama Para Pihak

Untuk menentukan para pihak dalam pembuatan surat kuasa juga sangat penting sekali, karena kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak memberi kuasa dalam suatu surat kuasa juga dapat membuat gugatan menjadi kandas ditengah jalan. Kekekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu badan hukum akan menimbulkan masalah dalam gugatan.

Seperti putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tanah adat terhadap Gubenur Kepala daerah Irian Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali putusan kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut dibatalkan karena ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus digugat. Padahal proses gugatan itu telah berlangsung lebih dari lima tahun, maka hal ini sungguh ironis sekali.

Mengenai tidak dipenuhi keabsahan surat kuasa khusus dapat membuat kandas suatu gugatan. Pihak yang bertanggung jawab dalam membuat surat kuasa khusus tentunya adalah pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat kuasa

35

Ali Budiarto. Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang Piutang. Jakarta: Ikahi, 2000. hal. 21.


(53)

yang tidak sesuai dengan keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga dapat mengakibatkan tidak diterimanya suatu gugatan. 36

a. Apakah pemberi kuasa merupakan orang perorangan.

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memberikan kuasa maka dalam hal ini perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :

Apabila yang memberikan orang perorangan (persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan adalah si pemberi kuasa termasuk dalam pengertian cakap hukum diantaranya dia adalah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan, tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses gugatan berjalan pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua ahli waris untuk melajutkan gugatan maka gugatan dapat gugur.37

b. Apakah pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak

berbadan hukum atau yang berbadan hukum.

Seperti diketahui bersama bahwa pemberi kuasa dapat merupakan suatu

kumpulan orang–orang namun tidak berbadan hukum seperti Persekutuan Perdata

(matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk persekutuan perdata

banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, law firm (kantor hukum) . Pada bentuk persekutuan perdata maupun firma maka yang berhak memberi kuasa adalah mereka para sekutu yang tercantum dalam akta pendirian persekutuan tersebut. Sedangkan pada CV maka pemberi kuasa adalah sekutu

36

Putusan Pengadilan Negri Suarabaya tanggal. 20 Maret 1979 No. 145/1978/Perdata jo Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal. 19 Maret 1984 No. 175/1983/Perdata jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal. 18 Februari 1988 No. 488K/Pdt/1986.

37


(54)

komanditer.

Apabila pemberi kuasa berbentuk suatu badan hukum maka harus

dibedakan antara badan hukum yang berlatar belakang ketentuan sebagian hukum publik dan sebagian hukum privat dalam hal ini hukum perdata, juga ada badan hukum yang murni tunduk dan diatur dalam ketentuan hukum perdata.

Mengenai badan hukum publik yang juga terikat dengan ketentuan hukum perdata diantaranya adalah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang dapat memberi kuasa masing-masing adalah Kepala Jawatan untuk Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan. Sedangkan untuk badan hukum lain yang murni tunduk pada hukum perdata adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Persroan Terbatas dibedakan anatara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah melakukan go public masih tregantung pada para pemegang sahamnya sehingga dapat berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak dibidang Perbankan.

Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak dalam memberikan kuasa

tergantung dari anggaran dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan perundangan pasar modal, Perbankan.

Seperti misalnya dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang dapat memberikan kuasa adalah direksi yang ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah


(55)

karena dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak dapat memberi kuasa kepada pihak lain sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.

Hal ini pernah terjadi dalam perkara permohonan kepailitan dimana pihak kuasa hukum tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan baru yang telah berkembang serhingga dalam permohonan pailit yang dilakukan tidak memperoleh sasaran artinya permohonan pailitnya kandas ditengah jalan karena syarat formil dalam suatu suarat kuasa khusus yaitu siapa yang berwenang dalam memberikan kuasa tidak diperhatikan. (Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999).38

38

Tim Redaksi Tata Nusa. Loc. Cit.

Sedangkan Penerima Kuasa disini adalah mereka yang telah menjadi

Sarjana Hukum dan telah mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setempat yang dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang dikenal sebagai Penasehat hukum atau Advokat. Untuk Pengacara yang perijinannya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat setelah memenuhi persyaratan tertentu maka Pengacara yang dapat ijin tersebut hanya dapat beracara di Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah Pengadilan Tinggi lain kadang-kadang dapat juga tapi dengan ijin insidentiil dari Pengadilan Tinggi tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut tidak merata, karena ada Pengadilan Tinggi yang dapat memberikan ijin insidentiil tapi ada yang tidak dapat.


(1)

dia dapat mempermasalahkan pihak klien telah melakukan wanprestasi karena terlambat memenuhi kewajibannya.

4. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Misalnya dalam kasus ini pihak klien berjanji akan memakai jasa pengacara sampai kasus diputus oleh pengadilan. Kenyataan yang terjadi tatkala pengacara sudah melaksanakan tugas ternyata pihak klien mengikat perjanjian dengan pengacara lain pada kasus yang sama.

Maka dalam kasus ini dapat dikatakan pihak klien telah melakukan wanprestasi dan pihak pengacara dapat mengajukan tuntutan wanprestasi atas perbuatan pihak produsen tersebut.

Sebagaimana biasanya akibat tidak dilakukannya suatu prestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka pihak lain akan mengalami kerugian. Tentu saja hal ini sama sekali tidak diinginkan oleh pihak yang menderita kerugian, namun kalau sudah terjadi, para pihak hanya dapat berusaha supaya kerugian yang terjadi ditekan sekecil mungkin.

Dalam kenyataannya pada bentuk kontrak perjanjian antara pengacara dengan kliennya ini perihal apabila timbul perselisihan di antara mereka maka para pihak menyelesaikan melalui :

1. Dilakukan penyelesaian secara musyawarah dan jika belum selesai 2. Dilakukan lewat pengadilan dimana perjanjian dibuat.

Berdasarkan kenyataan yang ditemukan dalam perjanjian antara pengacara dengan kliennya maka apabila terjadi perselisihan karena disebabkan hal seperti wanprestasi maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara mengutamakan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(2)

penyelesaian secara musyawarah dan biasanya awal sengketa adalah pelaksanaan pembayaran honor fee pengacara.

Sengketa merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan di dalam dunia bisnis. Diingini atau tidak, sengketa sering kali timbul dan harus dihadapi oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan (di luar pengadilan) atau melalui pengadilan. Jika perselisihan yang ada tetap dapat dibicarakan dan diselesaikan secara baik, penyelesaian secara kekeluargaan merupakan jalur yang sangat wajar dan efisien. Waktu yang terbuang tidak banyak dan biaya yang dikeluarkan tidak besar. Namun, penyelesaian sengketa juga sering dilakukan melalui pengadilan. Dalam hal ini, waktu yang terpakai akan banyak dan harus melalui tahap-tahapan peradilan yang ada, yang tentunya juga melibatkan biaya yang tidak sedikit. Secara fakta, masih banyak pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan karena pihak-pihak yang bersengketa ingin memperoleh kepastian dan kejelasan secara hukum melalui putusan pengadilan tentang obyek sengketa yang ada. Tentunya, putusan pengadilan secara umum bersifat menang-kalah (win-lose).


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Hubungan Antara Klien Dengan Pengacara pada dasarnya adalah hubungan dalam bentuk bantuan hukum dengan cara pemberian kuasa dari klien kepada pengacara untuk mewakili klien bertindak di depan maupun di luar pengadilan. Masyarakat memerlukan bantuan pengacara karena masyarakat tidak paham bagaimana caranya menyelesaikan masalah itu agar mendapatkan keadilan.

2. Pola pengaturan honorarium pengacara sesuai dengan norma yang berlaku tidak ada ketentuannya. Namun pada umumnya, penentuan jasa hukum biasanya didasarkan pada beberapa variabel seperti tingkat kerumitan perkara, penggunaan waktu dalam menangani perkara, serta nilai perkara itu sendiri. Tidak ada komponen yang pasti ataupun persentase penghitungan biaya. Pada prinsipnya mengenai biaya penanganan suatu perkara merupakan kesepakatan antara advokat dengan klien.

3. Akibat Hukum wanprestasi Klien Dalam Membayar Honor/Tarif Pengacara maka dapat dikatakan klien tersebut telah melakukan wanprestasi dan dengan sebab wanprestasi tersebut maka pengacara dapat memutuskan menjadi pengacara kliennya dan menuntut pembayaran honor fee yang belum dibayarkan ditambah denda dan bunga.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(4)

B. Saran

1. Kepada para pihak yang melakukan perjanjian antara pengacara dengan klien hendaknya kesepakatan para pihak tetap dituangkan dalam suatu perjanjian dimana di dalamnya diterangkan hak dan kewajiban para pihak serta akibat-akibat hukum dari tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak.

2. Selain dalam bentuk perjanjian secara tertulis hendaknya perjanjian tersebut juga dibuat dalam suatu akta notaris.

3. Apabila terjadi perselisihan hendaknya para pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut dapat menyelesaikannya di luar pengadilan, melalui musyawarah dan mufakat.


(5)

DAFTARA PUSTAKA

A. BUKU :

Badrulzaman, Darus, Mariam, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Badrulzaman, Darus, Mariam, 1993, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung.

Budiarto, Ali, 2000, Kompilasi Abstrak Hukum Putusan Mahkamah Agung tentang Hukum Hutang Piutang. Ikahi, Jakarta.

Ediwarman, 2010, Monograf, Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.

Fuady, Munir, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gandadinata, Indrareni, 2007, "Wanprestasi Dan Penyelesaiannya Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Pada PT. Bank Internasional Indonesia Kantor Cabang Purwokertohalaman", Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.

Harahap, Yahya, M, 2006, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. Muhammad, Abdulkadir, 2002, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung. .

Prodjohamidjojo, Martiman, 1990, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian. Mandar Maju, Bandung.

Rosyadi, Rahmat dan Hartini, Sri, 2003, Advokad Dalam Perspektif Islam & Hukum Positif, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Salam, Faisal, Moch, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung.

Setiawan, R, 2007, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Penerbit Bina Cipta, Bandung.

Subekti, R, 2001, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(6)

Tim Redaksi Tatanusa, 1999, Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara kepailitan. Jakarta: PT. Tatnusa.

B. Perundang-undangan

KUH Perdata

C. Internet:

Amar Hanafi, "Hubungan Advokat Dengan Client", Melalui

http://pengacaraamarhanafi.blogspot.com/2008/12/hubungan-advokat-dengan-client_28.html.

Hukum Online.com, "Advokat Boleh Menolak Klien", Melalui

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4cee226d8122d/advokat-boleh-menolak-klien.

Hukum Online.com, "Perjanjian Jasa Pengacara terhadap Klien",

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1834/perjanjian-jasa-pengacara-terhadap-klien.

Hukum Online.Com, "Jangka Waktu Pembayaran Honorarium Advokat", Melalui

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50138ef770580/jangka-waktu-pembayaran-1 Kantor Hukum/Law Office SURJO & PARTNERS,

"Memahami Profesi Hukum Advokat Dalam Perkara Perdata", Melalui

http://surjoadvokat.blogspot.com/2013/07/memahami-profesi-hukum-advokat-dalam.html.

Ria & Partners, " Peran Kode Etik Bagi Advokat Dalam Menjalankan Profesi", Melalui http://riaadvocate.com/?p=476.

Wikipedia Indonesia, "Pengacara", Melalui http://id.wikipedia.org /wiki/Pengacara.