Pemindahan Pelaku Tindak Pidana Dari Suatu Negara Ke Negara Lain

(1)

PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA DARI SUATU NEGARA KE NEGARA LAIN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DESY KARTIKA. C.SITEPU NIM : 070200357

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA DARI SUATU NEGARA KE NEGARA LAIN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DESY KARTIKA.C.SITEPU NIM : 070200357

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 195703261986011001

Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum

Dosen Pembimbing I, DosenPembimbing II,

Dr.Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

NIP. 197302202002121001 NIP.19750307200122002 Dr. Marlina,S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih setia Nya yang selalu memenuhi hari-hari saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah “Pemindahan Pelaku Tindak

Pidana dari Suatu Negara ke Negara Lain ”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala, namun Penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.untuk itu semua, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.


(4)

6. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS sebagai Dosen Wali saya selama saya berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Keluarga saya yang sangat saya cintai, untuk Bapak ku Josua Sitepu,SH dan Mama ku Dra. Salamah Perangin-angin, hal yang terindah yang diberikan Tuhan ke dalam kehidupan saya, yang selalu mendukung saya secara jasmani dan rohani, yang selalu mendoakan saya dan memberikan saya semangat dan kasih sayang, yang menjadi inspirasi terbesar dalam kehidupan saya. Untuk adik-adik saya, Alm. Benyamin Sitepu, Jeremia sitepu, Marisa K.C. Sitepu yang selalu memberikan semangat dan selalu membuat saya tersenyum sehingga saya menjadi kuat dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Kelompok Kecil Jingle Bells, abang saya Erwin A.P Silaban, saudara-saudara saya Dian Natalia simbolon, Sarah Simanjuntak S.H, Julieta Simorangkir, R.N Abdelina, Linda, Jepta Panjaitan, Andryanto Pasaribu. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Hukum USU: Rotua Hasibuan, Peggy Siahaan, Rina Stephanie, Rini Laura, Elsamaria, Diandes Siahaan. Dan saudara saya Kak Lia Sitepu,kak Rina Ginting.

11.Rekan-rekan saya di GMKI komisariat Fakultas Hukum USU, PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) cabang Medan dan saudara-saudara saya di UKM KMK UP FH USU.

12.Untuk seluruh staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu saya.


(5)

Saya menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Terima Kasih.

Medan, Februari 2011 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Tindak Pidana ... 9

2. Pengertian Ekstradisi ... 11

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : Prosedur Pemindahan Pelaku Tindak Pidana dari Suatu Negara ke Negara Lain Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 A. Asas-asas dalam ekstradisi... 17

B. Syarat-syarat Penahanan yang Diajukan oleh Negara-Peminta ... 22

C. Syarat-syarat yang harus Dipenuhi dalam Mengajukan Permintaan Ekstradisi ... 25


(7)

E. Keputusan Mengenai Permintaan Ekstradisi ... 32 F. Penyerahan Orang yang Dimintakan Ekstradisi ... 34 G. Perjanjian Ekstradisi yang Telah dilakukan Indonesia

dengan Negara-negara Lain ... 35

BAB III : JENIS KEJAHATAN YANG DAPAT DILAKUKAN PERMINTAAN PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA

A. Kejahatan-kejahatan yang Dapat dilakukan Pemindahan

Pelaku Tindak Pidana ... 42

A.1. Jenis Kejahatan yang Dapat Dilakukan Pemindahan pelaku Tindak Pidana berdasarkan Transfer of Sentenced Persons ... 43

A.2. Jenis Kejahatan yang Dapat Dilakukan Pemindahan Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Lembaga ekstradisi ... 49

B. Jenis Kejahatan yang Tidak Dapat dilakukan Pemindahan ... 55

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67


(8)

Pemindahan Pelaku Tindak Pidana Dari suatu Negara ke Negara Lainnya

Desy K. C. Sitepu∗

Dr. Mahmud Mulyadi, S.H. M.Hum

∗∗ Dr. Marlina, S.H. M.Hum∗∗∗

ABSTRAKSI

Ekstradisi yang diartikan sebagai penyerahan penjahat dari suatu negara kepada negara lain Maksud dan tujuan ekstradisi ialah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemindanaan Karena itu patut dan tepatlah penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang mempunyai yurisdiksi. Permasalahan yang diangkat adalah prosedur ekstradisi menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, jenis kejahatan yang dapat dilakukan permintaan peemindahan pelaku tindak pidana.

Metode yang digunakan adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari data sekunder, adapun data sekunder adalah bahan hukum primer berupa literatur hukum pidana,ekstradisi dan bahan hukum sekunder lainnya. Sedangkan, bahan hukum tertier yang digunakan dalam penulisan ini adalah bahan yang didapat dari internet.

Prosedur ekstradisi menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 adalah syarat-syarat yang harus dilakukan dalam proses pemindahan pelaku tindak pidana dari suatu negara ke negara lain. Pelaku tindak pidana yang dapat diekstradisi adalah setiap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta kepada indonesia, atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan untuk dapat menjalani pidana,sedangkan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi adalah kejahatan politik.

*Mahasiwa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan **Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ***Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara ada demi manusia karena itu, negara harus berusaha mencapai kebahagiaan untuk setiap manusia (warga negaranya)1

Setiap negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban didalam wilayah negaranya masing-masing oleh karenanya hakim dari setiap negara dapat mengadili setiap orang yang di dalam wilayah negaranya masing-masing yang telah melakukan suatu tindak pidana, dengan memberlakukan Undang-Undang Pidana yang berlaku di negaranya ini berarti bahwa Undang-Undang Pidana suatu negara itu bukan saja dapat diberlakukan terhadap warga negara dari negara tersebut, melainkan juga terhadap setiap orang asing yang di dalam wilayah negaranya diketahui telah melakukan suatu tindak pidana

. Dengan demikian negara memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan terhadap warga negaranya kebahagiaan dan kesejahteraan tersebut dapat tercapai hanya melalui hukum, karena hukum dapat menciptakan keteraturan, keadilan, dan ketentraman hidup yang kemudian tercipta suatu kehidupan masyarakat (warga negara) yang sejahtera, adil, dan makmur. Sehubungan hal tersebut Van Hattum menyatakan bahwa:

2

Praktek negara–negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidaklah semata-tergantung pada adanya perjanjian tersebut kemungkinan besar jauh sebelumnya terdapat negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian meskipun antara kedua

.

Permintaan pemindahan pelaku tindak pidana tersebut dapat dilakukan bagi pelaku tindak pidana yang berstatus tersangka dan narapidana, Dimana pelaku tindak pidana yang berstatus tersangka adalah pelaku tindak pidana yang masih menjalani proses peradilan atau pemeriksaan, sedangkan pelaku tindak pidana yang berstatus narapidana (terpidana) adalah pelaku tindak pidana yang sudah dijatuhi hukuman dengan kekuatan hukum tetap.

1

Whisnu Situni, Identifikasi Dan Formulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. C.V. Mandar Maju, Bandung, 1989, halaman.1.

2

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman. 90.


(10)

belah pihak belum membuat perjanjiannya bukti–bukti untuk menguatkan dugaan ini masih belum dapat ditunjukkan hubungan baik dan bersahabat antara dua negara, dapat lebih memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian, sebaliknya jika hubungan antara dua negara saling bermusuhan dapat dipastikan amat sukar untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Perlindungan kepada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian bukan pula didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan maka kerjasama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian demikian juga sebaliknya praktek–praktek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk berkerjasama dalam mencegah dan memberantas kejahatan, Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana.

Masalah ekstradisi yang diartikan sebagai penyerahan penjahat dari suatu negara kepada negara lain, di indonesia dewasa ini semakin populer dan mulai memasyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh:

1. Timbulnya kasus-kasus tentang ekstradisi yang melibatkan indonesia, terutama antara tahun 1965 sampai sekarang, seperti kasus Tan Hoa 1968, kasus kapal mimi tahun 1975 dan masih banyak lagi kasus lainnya.

2. Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi, antara lain perjanjian antara Indonesia dengan pilipina, perjanjian antara Indonesia dengan malaysia serta penjajakan ke negara–negara tetangga lainnya.

3. Pemberitaan-pemberitaan pers dan masmedia lainnya turut membantu mempopulerkan istilah dan pengertian ekstradisi

4. Khusus di kalangan ahli hukum, masalah ekstradisi sangat erat hubungannya dengan hukum nasional maupun internasional sehingga mau tidak mau, mereka juga ingin


(11)

mempelajari tentang ekstradisi tersebut. Lebih–lebih lagi dalam rangka pembentukan undang–undang ekstradisi nasional.

Setelah kehidupan bernegara sudah mulai nampak agak lebih maju, terutama mulai abad ke 17, 18, 19 sampai abad ke duapuluh ini dengan tumbuhnya negara–negara nasional hubungan dan pergaulan internasional pun mulai mencari dan menemukan bentuknya yang baru, Negara–negara dalam membuat perjanjian–perjanjian sudah mulai mengadakan pengkhususan mengenai bidang–bidang tertentu instrumen hukum berbentuk perjanjian internasional yang mengatur masalah pelaku tindak pidana yang berstatus tersangka adalah Lembaga Ekstradisi, yaitu suatu perjanjian internasional antar dua negara sesuai dengan tindak pidana yang tertuang dalam perjanjian tersebut. Ekstradisi sebagai pranata hukum yang sudah cukup tua umurnya kini tidak perlu diragukan lagi keberadaannya baik sebagai bagian dari hukum internasional pada umumnya ataupun sebagi bagian dari hukum pidana internasional pada khususnya bahkan juga sebagai bagian dari hukum internasional, ekstradisi tampak dalam bentuk-bentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral ataupun multilateral-regional sedangkan sebagai bagian dari hukum nasional ekstradisi tampak dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara tentang ekstradisi3

Maksud dan tujuan ekstradisi ialah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemindanaan, karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi untuk menuntut atau menjatuhkan pidana pada penjahat tersebut karena itu patut dan tepatlah penjahat tersebut diserahkan untuk diperiksa dan diadili oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas penjahat tersebut penjahat

.

3

I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern,(Buku 1) Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2009, halaman.19.


(12)

harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya4

Terdapat 2 (dua) aspek dalam ekstradisi, yaitu: .

5

1. Adanya tindakan suatu pemerintah yang melepaskan wewenang atas seseorang dengan menyerahkan kepada pemerintahan negara lain.

2. Langkah-langkah yang telah diambil yang membuktikan bahwa si pelanggar memang ditahan, baik untuk dituntut maupun untuk menjalani hukuman.Hal ini adalah tanggung jawab dari badan peradilan yang juga harus menunjukkan bahwa orang dimaksud memang sah menurut hukum yang berlaku di negara pemberi ekstradisi agar dapat diekstradisikan. Lembaga yang mempunyai peranan dalam prosedur ekstradisi adalah lembaga eksekutif dan yudikatif. Permintaan penyerahan pelaku kejahatan atau ekstradisi dapat juga dibarengi pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawah pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan6

Untuk lebih mengenali tentang lembaga ekstradisi ada beberapa asas dalam ekstradisi, semua asas ini secara akumulatif disamping ketentuan-ketentuan tentang ekstradisi lainnya, harus dipenuhi,jika dua negara atau lebih menghadapi kasus tentang ekstradisi. Asas-asas tersebut, antara lain adalah

.

7

1. Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality :

2. Asas kekhususan atau spesialitas

4

M budiarto, Masalah Ekstradisi dan jaminan perlindungan atas hak-hak asasi manusia.(buku 1),jakarta: Ghalia,1980,halaman 13.

5

ibid

6

Romli Atmasasmita, kebijakan hukum kerjasama di bidang ekstradisi dalam era globalisasi, diakses dari situs:http://www.legalitas.org diakses tanggal 19 februari 2011

7

I wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum nasional Indonesia,(buku 2) C.V Mandar Maju, Bandung, 1990, Halaman.171.


(13)

3. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik 4. Asas tidak menyerahkan warga negara.

5. Asas Non Bis In Idem atau Ne Bis In Idem 6. Asas daluwarsa8

Ekstradisi merupakan jembatan yang yang dapat menghubungkan dua negara atau lebih dalam menghadapi pelaku-pelaku tindak pidana yang menyangkut kepentingan dari dua negara atau lebih. Khususnya bagi indonesia yang wilayahnya terletak di persimpangan lalu lintas internasional, merupakan sarang empuk bagi para pelaku tindak pidana seperti penyeludupan, perdagangan gelap manusia dan tenaga kerja, terorisme dan lainnya Oleh karena itu perjanjian –perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga dan negara lainnya, merupakan salah satu kebutuhan yang cukup mendesak. Demikian juga bagi para ahli hukum sudah selayaknya juga memahami tentang ekstradisi sebab ekstradisi sebagian merupakan hukum nasional khususnya berhubungan erat dengan hukum pidana.

Berdasarkan hal yang telah di uraikan di atas, maka penulis tertarik untuk mempelajari, memahami dan meneliti secara lebih mendalami mengenai praktek negara dalam melakukan pemindahan pelaku tindak pidana. dan penulis menggunakan UU No.1 Tahun 1979 sebagai pedoman.

Selanjutnya penulis menyusunnya dalam suatu penulisan hukum yang berjudul:

“PEMINDAHAN PELAKU TINDAK PIDANA DARI SUATU NEGARA KE NEGARA

.

B. Perumusan Masalah

Berlatar belakang pada uraian di atas, maka maka ada beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur ekstradisi menurut UU No 1 Tahun 1974?

8


(14)

2. Apa saja jenis kejahatan yang dapat dimintakan untuk dilakukan pemindahan pelaku tindak pidana (ekstradisi)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selain itu berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur ataupun tata cara melakukan ekstradisi.

2. Untuk mengetahui jenis kejahatan-kejahatan yang dapat dilakukan permintaan pemindahan pelaku tindak pidana

Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Secara teoritis, untuk menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana Tanggung Jawab Negara Dalam Melakukan Pemindahan Pelaku Tindak Pidana Dari suatu Negara Ke Negara Lain

2. Secara praktis, untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran juridis dan masukan-masukan yang bermanfaat demi perkembangan ilmu pengetahuan terhadap pemindahan pelaku tindak pidana dari suatu negara ke negara lain.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “pemindahan pelaku tindak pidana dari suatu negara

ke negara lain”. Setelah melakukan penelusuran ke perpustakaan fakultas dan

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, hal ini belum pernah dingkat ataupun ditulis, kalaupun ada substansi pembahasannya berbeda dengan pembahasan yang dipaparkan dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat


(15)

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis menyusun skripsi ini melalui referensi buku-buku, media cetak dan elektronik dan bantuan dari berbagai pihak.

D. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar yang dimana diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah

Het Strafbaar Feit9

a) Perbuatan yang dapat/boleh dihukum

. Akan tetapi ada beberapa terjemahan dari Het Strafbaar Feit, yaitu:

b) Peristiwa pidana c) Perbuatan pidana d) Tindak pidana

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah Het Strafbaar Feit antara lain10

a) vos

:

Merumuskan Tindak Pidana adalah suatu kelakuan manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

b) Pompe

Merumuskan bahwa Tindak Pidana adalah suatu pelanggaran kaidah, (gangguan terhadap ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah hal yang wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan hukum.

c) E. Utrecht

9

S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem Petehaem, Jakarta, 1996, halaman.117-119.

10


(16)

Menerjemahkan bahwa tindak Pidana adalah istilaah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu peristiwa handelen/ doen- positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkaan oleh perbuatan orang). Peristiwa pidana merupakan suaatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum11

Para sarjana Indonesia juga telah memberikan defenisi mengenai tindak pidana, yaitu

.

12

a) Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum :

b) R.Tresna mendefenisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.

c) Moelyatno mendefenisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidanannya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).

d) Wirdjono Prodjodikoro mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana serta pelakunya juga dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.

Kitab undang-undang hukum pidana dapat dijabarkan kedalaam unsur-unsur yang dapat dibagi menjadi 2 unsur yakni : unsur subjektif dan unsur objektif.

1. Unsur Subjektif

11

Evi,Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Semarang, 2005, halaman 5.

12


(17)

Unsur –unsur yang melihat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termaksud kedalamnya yaitu segala sesuat yang terkandung di dalam hati sipelaku.unsur-unsur tersebut meliputi:

a) Kesegajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa)

b) Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging), seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP.

c) Macam-macam maksud (oogmerk), seperti yang dimaksud di terdapat dalam kejahatan pencurian,penipuan,pemalsuan,dll.

d) Merencanakan lebih dahulu (voorbedachte road) seperti yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

e) Perasaan takut (uness) seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.

2. Unsur Objektif

Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku harus dilakukan unsur tersebut meliputi:

a) Sifat melanggar hukum b) Kualitas dari sipelaku

c) Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai suatu akibat.

2. Pengertian Ekstradisi

Eksradisi berasal dari bahasa latin extradere (kata kerja) yang terdiri dari kata ex yang artinya;keluar dan Tradere,artinya: memberikan/menyerahkan, kata ini lebih dikenal/atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada


(18)

negara peminta. Ekstradisi merupakan penyerahan secara formal seseorang oleh suatu negara kepada negara lain guna penuntutan atau dijatuhi hukuman13

Menurut starke, istilah ekstradisi menunjukan suatu proses dimana berdasarkan suatu perjanjian atau atas dasar timbal balik suatu negara menyerahkan kepada negara lain, atas permintaan negara terakhir ini, seseorang yang dituduh atau dihukum karena suatu tindak pidana yang melanggar hukum negara peminta yang berwenang mengadili orang yang diserahkan

.

14

Istilah ekstradisi menunjukkan kepada proses dimana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut

.

15

Adanya permintaan ekstradisi oleh suatu negara ke negara lain didasarkan pada 4 hal yaitu

. Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1979, bahwa pengertian Ekstradisi adalah: “Penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatn di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yuridiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya”.

16

1. Perundang-Undangan Nasional :

Pada abad ke-19 banyak negara yang telah menetapkan uu ekstradisi. Dalam penetapan tersebut, sebagian mereka dipengaruhi keinginan untuk menyelamatkan

13

Adami Chazawi, Hukum pidana materil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia, Malang ,2005, halaman 3.

14

Eddy Damian, Kapita Selekta Hukum Internasional, Bandung:Alumni,1991,halaman 67

15

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, halaman. 469.

16


(19)

kemerdekaan seseorang dan sebagian lagi oleh pandangan mereka, bahwa segala hukum pidana dan prosedur harus didasarkan pada perundang-undangan.

2. Perjanjian Ekstradisi

Menetapkan perjanjiaan ekstradisi, selanjutnya diteruskan dengan usaha membuat perjanjian atau konvensi untuk mengadakan keseragaman.

3. Perluasan konvensi Internasional

Ekstradisi dapat didasarkan atas perluasan suatu konvensi tertentu yang menyatakan bahwa ekstradisi dapat diberikan dalam hal pelanggaran yang disebut dalam perjanjian.

4. Tata Krama Internasional

Dalam hal ini tidak terdapat hukum, perjanjian atau konvensi yang mengatur sebagaimana tersebut diatas, ekstradisi dapat dilaksanakan atas dasar suatu tata krama oleh negaraa terhadap negara yang lain disebut “Disguished Extradition.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dan penelitian sejarah hukum. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian yurisid normatif melihat hukum dalam arti normatif (law in the book).17

2. Sumber Data

17

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif : suatu Tinjauan singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001, halaman.52.


(20)

Adapun data yang dikumpul dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dibagi atas 3 (tiga), yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat, seperti perundang-undangan,sumber-sumber hukum nasional dan sumber hukum internasional b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 3. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (Studi Kepustakaan), yaitu mempelajari dan menganalisa

secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan, catatan kuliah dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini sehingga diperoleh data ilmiah sebagai bahan dalam uraian teoritis.

4. Analisis Data, Analisa data dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif, yaitu suatu analisi data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci. Adapun bagian-bagiannya adalah :


(21)

Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Prosedur Ekstradisi Menurut UU No 1 Tahun 1974

Pada bab ini akan diuraikan mengenai syarat-syarat untuk penahanan yang diajukan oleh negara peminta, syarat-syarat yang harus dipenuhidalam mengajukan ekstradisi,pemeriksaan terhadap orang yang dimintakan ekstradisi, keputusan mengenai permintaan ekstradisi, penyerahan orang yang dimintakan ekstradisi.

Bab III : Jenis Kejahatan Yang Dapat Dilakukan Permintaan Ekstradisi

Pada bab ini akan diuraikan mengenai, jenis kejahatan yang dapat dilakukan ekstradisi, jenis kejahatan yang tidak dapat dilakukan ekstradisi,dan hubungan bilateral antara Indonesia dengan negar-negara lain dalm hubungan ekstradisi. Bab IV : Penutup

Bab ini merupakan bab akhir dari skripsi ini, dan merupakan penutup dari rangkaian bab-bab sebelumnya dimana dalam bab ini penulis membuat suatu kesimpulan atas pembahasan skripsi ini yang kemudian dilanjutkan dengan memberi saran-saran atas masalah-masalah yang tidak terpecahkan yang diharapkan akan berguna dalam kehidupan masyarakat dan praktek perkembangan ilmu pengetahuan.


(22)

BAB II

PROSEDUR EKSTRADISI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979

A. Asas-asas dalam Ekstradisi, antara lain adalah18 1. Asas Kejahatan Ganda Atau Double Criminality

:

Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum negara-peminta maupun hukum negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing negara itu berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum kedua negara sama-sama mengklasifikasikan kejahatan itu sebagai kejahatan atau tindak pidana.

2. Asas kekhususan atau spesialitas

Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi.

3. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik

Jika negara-diminta berpendapat, bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada

18

I wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum nasional Indonesia(buku 2), Halaman.171.


(23)

kesatuan pendapat, baik dikalangan para ahli maupun dalam praktek negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik ataukah tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subjektif. Karena sukarnya menentukan kriteria objektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik dalam perjanjian maupun dalam perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan.

4. Asas tidak menyerahkan warga negara.

J.G.Starke mengatakan bahwa Kewarganegaraan itu tiada lain daripada keanggotaan seseorang pada suatu negara. Sebagai anggota dari suatu negara sudah tentu hubungannya dengan negara dimana dia menjadi anggota atau kewarganegaraan, mengandung segi kekhususan tersendiri pula19

19

Akrial, Zul. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara sendiri dikaitkan dengan politik Hukum nasional, diakses dari situs WWW. Legalitas.org, tanggal 19 februari 2011.

.Jika orang diminta ternyata adalah warga negara dari negara-diminta, maka negara-diminta “dapat” menolak permintaan dari negara-peminta. Asas ini berlandaskan pada pemikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara-diminta menolak permintaan negara-peminta,


(24)

negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri.

5. Asas Non Bis In Idem atau Ne Bis In Idem

Perbuatan yang telah diputuskan dengan putusan yang telah menjadi tetap (in kracht van gewijsde). Dalam Hukum Pidana Nasional Asas ini terdapat dalam KUHP yang berbunyi:

Pasal 76:

(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam arti hakim Indonesia, termaksud juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.

Ketentuan pasal 76 ayat 1 diletakkan suatu dasar yang disebut dengan asas ne bis in idem( bahasa latin) yang melarang negara untuk menuntut yang kedua kalinya terhadap si pembuat yang perbuatannya telah diputus oleh pengadilan yang putusan mana telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ialah putusan yang tidak dapat lagi dilawan dengan upaya hukum biasa.20

Dalam UU No 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi Asas Ne Bis In Idem terdapat dalam pasal 10 yang berbunyi:permintaaan ekstradisi ditolak, jika putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan Republik Indonesia yang berwenang mengenai kejahatan yang dimintakan ekstradisinya mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

21

Asas ini sebagai salah satu Hukum pidana (nasional dan internasional) juga merupakan asas ekstradisi. Adapun tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan kepastian

20

Adami Chazawi, pelajaran hukum pidana bagian II (buku 2) , jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, halaman 152.

21


(25)

hukum bagi setiap orang pada umumnya. Orang yang sudah dijatuhi putusan pidana dengan kekuatan mengikat dan tetap tidak dapat diadili atau dijatuhi hukuman untuk kedua kali atau lebih atas kasus kejahatan yang sama.22

6. Asas daluwarsa23

Daluwarsa atau lewat waktu dikenal dalam hampir semua sistem hukum negara-negara di dunia.makna dari daluwarsa ini adalah memberikan adanya suatu kepastian hukum bagi semua piha, bahwa suatu peristiwa hukum apabila sudah sedemikian lama terjadinya, misalnya: sudah terjadi sekian tahun yang lampau dan selama ini tetap dibiarkan saja dalam semua pihak, sehingga sudah dilupakan orang seolah-olah tidak pernah terjadi maka setelah sampai atau melewati jangka waktu tertentu tidak bisa diapa-apakan lagi, mengenai berapa lama suatu peristiwa hukum sudah dianggap daluwarsa, hal ini berbeda-beda dalam setiap sistem hukum. Permintaan negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa menurut hukum dari satu atau kedua pihak.

.

Bab mengenai prosedur ekstradisi, meliputi antara lain, syarat–syarat untuk menahan orang yang diminta berdasarkan permintaan dari negara peminta, yaitu syarat apa yang harus dipenuhi oleh negara peminta agar orang yang diminta bisa ditahan, syarat–syarat permintaan ekstradisi untuk dapar dipertimbangkan, tentang pemeriksaan terhadap orang yang di ekstradisikan, pencabutan dan perpanjangan penahanan, keputusan mengenai permintaan ekstradisi yakni apakah permintaan ekstradisi itu akan dikabulkan ataukah ditolak serta mengenai penyerahan orang yang diminta, barang – barang bukti dan lain – lain. 24

22

I wayan Parthiana, Loc.cit (buku 4), halaman.131.

23

Ibid, Halaman.172.

24

I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional (buku 3), Alumni, Bandung,1983, halaman.131.


(26)

B. Syarat–syarat penahanan yang diajukan oleh negara peminta

Ada kalanya negara peminta sebelum mengajukan permintaan ekstradisi secara resmi kepada negara diminta, memandang perlu untuk terlebih dahulu menahan orang yang perlu diminta itu. Sudah tentu negara peminta tidak boleh secara langsung menangkap dan menahan orang tersebut sebab dia berada dalam wilayah peminta.

Untuk itu, negara peminta dapat meminta kepada negara diminta supaya melakukan penahanan terhadap orang yang bersangkutan. Setelah itu dapat segera disusul dengan pengajuan permintaan ekstradisinya. Tujuan penahanan ini adalah agar supaya orang yang bersangkutan tidak melarikan diri ke negara lain sampai diajukan permintaan ekstradisi. Negara diminta stelah menerima permintaan untuk menahan tersebut, terlebih dahulu mempertimbangkan apakah penahanan itu dapat dilakukan ataukah tidak. Sudah barang tentu penahanan tersebut haruslah berdasarkan hukum (hukum acara pidana) negara diminta. Yang memerintahkan penahan tersebutadalah pejabat yang berwenang dari negara – diminta. Kepala Kepolisian R.I atau Jaksa agung R.I dapat memerintahkan penahanan yang dimintakan oleh negara lain atas dasar alasan yang mendesak jika penahanan itu tidak bertentangan dengan hukum negara R.I25

Dengan jelas dapat kita lihat, alasan untuk menahan tersebut yaitu, atas dasar alasan yang mendesak konkritnya alasan yang mendesak itu, pertimbangannya tergantung pada pihak peminta dan keputusan untuk menerima atau tidaknya permintaan penahanan itu sepenuhnya terletak pada pemerintah indonesia. Syarat untuk dapat dilakukan penahanan adalah jika hukum Indonesia memperbolehkannya atau tidak bertentangan dengan hukum Indonesia.

.

26

Agar supaya orang yang diminta itu tidak ditahan berlarut – larut, sampai melebihi dari batas waktu yang diperkenankan oleh hukum Indonesia, negara peminta di dalam

25

Lihat pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi


(27)

mengajukan permintaan untuk menahan itu harus pula menyertai dengan suatu penegasan bahwa dokumen-dokumen serta persyartan lain untuk mengajukan permintaan ekstradisi sudah siap/tersedia, dan dalam tempo yang secepatnya akan menyampaikan permintaan ekstradisi. Dengan penegasan ini dapat lebih menyakinkan pihak Indonesian bahwa negara peminta itu benar-benar akan mengajukan permintaan ekstradisi pada waktu yang secepatnya, Dalam permintaan untuk penahanan itu negara peminta harus menerangkan bahwa dokumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 sudah tersedia dan bahwa negara tersebut segera dalam waktu tersebut dalam pasal 21 akan menyampaikan permintaan ekstradisi27

1. Kepala Kepolisian R.I., atau

.

Selanjutnya diatur tentang prosedur yang harus ditempuh oleh negara peminta dalam menyampaikan permintaan penahanan tersebut. Permintaan untuk penahanan disampaikan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta kepada Kepala Kepolisian R.I atau kepada Jaksa Agung R.I melalui INTERPOL Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram .permintaan penhanan tersebut dapat disampaikan kepada:

2. Jaksa Agung R.I.

Sedangkan saluran yang harus dilakukan adalah: 1. Melalui INTERPOL Indonesia, atau

2. Melalui saluran diplomatik28

Surat permintaan penahanan itu dapat disampaikan lewat pos atau dengan telegram. Setelah surat permintaan ekstradisi untuk menahan itu diterima oleh Kepala Kepolisian atau Jaksa Agung, dan setelah dipertimbangkan ternyata permintaan penahanan itu dapat dikabulkan, maka pejabat yang berwenang/ jaksa agung atau kepala kepolisian R.I mengeluarkan surat perintah untuk menangkap dan atau menahan orang ynag bersangkutan.

.

27

Lihat pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

28


(28)

Semuanya itu dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan – ketentuan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (pasal 19 (2)). Penyimpangan dari ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia diperkenankan seperti ditentukan dalam pasal 19 (3). Pasal 19 (3) ini berbunyi: Menyimpang dari ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia yang berlaku, maka terhadap mereka ynag melakukan kejahatan yang dapat diekstradisikan berdasarkan undang-undang ini dapat dilakukan penahanan.

Apabila setelah orang yang bersangkutan ditahan, ternyata dalam waktu yang dipandang cukup sejak dia ditahan, permintaan ekstradisi dari negara peminta belum juga diterima oleh pemerintahan indonesia, maka pemerintah indonesia harus melepaskan orang tersebut dari tahanan. Mengenai berapa lama jangka waktu tersebut, ditentukan dalam perjanjian ekstradisi dengan negara peminta tersebut, misalnya: perjanjian ekstradisi antara indonesia dengan pilipina menentukan waktu 20 hari (pasal 11 (5) ) , demikian juga perjanjian ekstradisi Indonesia – Malaysia pasal 2 (5) dalam hal perjanjian ekstradisi tersebut masih belum ada, maka jangka waktu penahanan29

C. Syarat-Syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan Permintaan Ekstradisi.

tersebut tunduk pada hukum indonesia (ketentuan hukum acara pidana indonesia).

Jika antara ketentuan mengenai lamanya penahanan (sementara) dalam perjanjian ekstradisi bertentangan dengan yang terdapat dalam hukum acara pidana indonesia, maka ketentuan dalam perjanjian ekstradisilah yang diterapkan. Sebab ketentuan dalam perjanjian ekstradisi merupakan peraturan yang bersifat khusus, merupakan perkecualian dari ketentuan umum yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana. Ini sesuai dengan adagium; lex specialis

derogat legi generali.

Oleh karena masalah ekstradisi adalah masalah antar negara (negara-peminta dan negara-diminta) maka permintaan harus diajukan melalui saluran diplomatik sebagaimana

29


(29)

lazimnya dalam hubungan-hubungan internasional. Dalam hal ini adalah pejabat-pejabat tinggi masing-masing negara yang ruang lingkup tugas dan kewenangannya mengenai masalah hubungan luar negeri,seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan dutabesar sepanjang menyangkut hubungan antara negara dengan negara dimana dutabesar yang bersangkutan diakreditasi.30

a) Surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Menteri kehakiman R.I untuk selanjutnya oleh Menteri Kehakiman diteruskan kepada Presiden.

Syarat-syarat untuk permintaan ekstradisi adalah:

b) Surat permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk menjalani pidana, harus disertai lembaran asli atau salinan otentik dari putusan pengadilan yang berupa pemindanaan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti,lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara-peminta.

c) Sedangkan surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahtan (dia belum diadili atau disangkakan hukuman), harus disertai: lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta, uraian mengenai kejahatan yang dijadikan dasar atau alasan untuk meminta ekstradisi, dengan menyebutkan waktu dan tempat kejahtan dilakukan, dengan disertai bukti tertulis yang diperlukan, keterangan-keterangan saksi di bawah sumpah mengenai pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan, keterangan yang diperlukan untuk menetapkan identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya, permohonan pensitaan barang.

30


(30)

Dengan ketiga surat-surat ini sudahlah cukup untuk menguatkan permintaan ekstradisi. Dalam putusan pengadilan yang berisi atas penghukuman orang tersebut, dipandang sudah mencakup keterangan saksi-saksi, uraian kejahatan yang ditunduhkan, pemerikaan barang dan lain-lainnya. Sedangkan untuk permintaan seorang tersangka, terdakwa, tertuduh, oleh karena proses pemeriksaannya di negara-peminta masih agak mentah, maka uraian kejahatan yang dituduhkan dan yang dijadikan dasar untuk meminta ekstradisi, ketentuan-ketentuan hukum (pidana) yang dituduhkan, keterangan saksi-saksi, memang sangat diperlukan. Disamping untuk memperkuat permintaan ekstradisi bagi negara-peminta, juga bagi negara-diminta dalam mempertimbangkan permintaan ekstradisi tersebut betul-betul lebih meyakinkan sehingga akan dapat mengambil keputusan yang tepat.surat-surat tersebut merupakan alat bukti tertulis.

Menurut penjelasan pasal demi pasal Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tersebut, bukti tertulis ialah dokumen-dokumen yang erat hubungannya dengan kejahatan tersebut, misalnya: surat hak milik, atau apabila bukti-bukti tersebut berupa alat, benda atau senjata, cukup foto-foto dari barang tersebut, atau apa yang dinamakan “copie collatione”31

D. Pemeriksaan Terhadap Orang Yang Dimintakan Ekstradisi

Diperkenankannya untuk mengajukan copy/salinan atau foto-foto saja, jadi berbeda dengan alat bukti dalam proses pemeriksaan perkara biasa menurut penjelasan UU tersebut disebabkan oleh karena dalam ekstradisi, pemeriksaan oleh pengadilan hanya akan untuk menetapkan apakah orang tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada dapat diekstradisikan ataukah tidak. Jadi tidak untuk memutuskan salah satu atau tidaknya orang tersebut.

Setelah instansi yang berwenang kejaksaan atau kepolisian, menerima permintaan ekstradisi dari Menteri Kehakiman yang setelah mempelajarinya berpendapat bahwa,

31


(31)

kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan itu dapat dikenakan penahanan menurut hukum acara pidana indonesia, maka terhadap orang yang bersangkutan dapat dikenakan penahanan sementara. Pengeluaran surat perintah atau penahanan orang yang bersangkutan juga dilakukan menurut hukum acara pidana Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1979.

Namun demikian, penyimpangan dari hukum acara pidanan Indonesia juga diperkenankan, yaitu jika kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat di ekstradisikan berdasarkan undang-undang ekstradisi Indonesia maka orang tersebut dapat dikenakan penahanan, walaupun menurut hukum acara pidana Indonesia terhadap kejahatannya itu tidak boleh dikenakan penahanan. Tegasnya, walaupun menurut KUHAP atas kejahatannya itu orang yang bersangkutan tidak boleh dikenakan penahanan, tetapi jika negara-peminta meminta kepada negara-diminta (Indonesia) supaya orang tersebut ditahan, maka Indonesia harus menahannya32

Dalam pasal 26 (1) ditentukan, apabila yang melakukan penahan tersebut kepolisian R.I maka setelah menerima surat permintaan ekstradisi, kepolisian melakukan pemeriksaan tentang orang tersebut atas dasar keterangan atau bukti-bukti dari negara peminta itu. Hasil pemeriksaan itu dicatat dalam berita acara dan segera diserahkan kepada kejaksaan R.I setempat (pasal 26 (2) ). Jika yang melakukan penahanan adalah kejaksaan, maka pihak kejaksaanpun juga harus melakukan pemeriksaan seperti ketentuan pasal 26 (1), walaupun tidak ditegaskan demikian. Dengan dibatasinya pemeriksaan hanya atas dasar surat permintaan ekstradisi dan bukti atau keterangan dari peminta, ini berarti bahwa kejaksaan ataupun kepolisian tidak diperkenankan mendasarkan pemeriksaannya pada hukum acara pidana indonesia. Jika sudah terpenuhi sesuai dengan surat permintaan ekstradisi dan bukti atau keterangan dari negara peminta, walaupun masih terdapat kekurangan berdasarkan

.

32


(32)

Hukum acara pidana Indonesia, maka kepolisian ataupun kejaksaan tidak boleh melengkapi atau mengharuskan melengkapinya agar sesuai dengan ketentuan Hukum acara pidana indonesia.

Hal ini pelu, demi kepentingan terjaminnya kepastian hukum bagi semua pihak, terutama bagi orang yang bersangkutan. Sebab orang yang diminta itu, nantinya akan diperiksa dan diadili di negara-peminta, di negara –peminta dan dengan berdasarkan hukum negara-peminta itu sendiri. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa kejaksaan atau kepolisian dalam memeriksa orang yang bersangkutan, harus mendasarkan pada surat permintaan ekstradisi dan keterangan atau bukti dari negara peminta33

Jika pemerintah indonesia memandang lebih baik ditahan dan diperiksa oleh pihak yang kejaksaan ataupun kepolisian di tempat yang lain, misalnya di jakarta, surabaya, medan, hal ini bisa saja dilakukan. Misalnya untuk lebih amannya pemeriksaan atau karena di tempat yang dipilih itu lebih lengkap perlatannya dan personil pemeriksaan dibandingkan dengan di tempat yang terpencil dimana orang yang bersangkutan ditahan semula. Pihak kejaksaan setelah selesai memeriksa kasus tersebut atau setelah selesai memeriksa berita acara perkara dari polisi, meminta kepada Pengadilan Negeri di daerah tempat ditahannya orang itu disertai dengan alasan-alasannya secara tertulis supaya Pengadilan Negeri memeriksa dan kemudian menetapkan apakah orang tersebut dapat diekstradisikan atau tidak

.

34

Memang pada akhirnya, penentuan terakhir ada pada Presiden setelah memperoleh pertimbangan-pertimbangan Menteri Kehakiman, Luar Negeri, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisia R.I.namun di pengadilannlah orang yang dimintai itu secara langsung dapat . Hal ini diatur dalam pasal 27. Oleh karena pemeriksaan di Pengadilan adalah boleh dikatakan sebagai penentu tentang dapat atau tidaknya orang yang bersangkutan diekstradisikan, sehingga diberikan kesempatan kepadannya untuk didampingi penasehat hukumnya dan mengajukan pembelaan.

33

I Wayan Parthiana,op.cit(buku ke-3),halaman 228

34


(33)

memberikan keterangna-keterangannya 35

. Selanjutnya pasal 28 menegaskan bahwa perkara ekstradisi termaksud perkara-perkara yang didahulukan. Artinya hakim Pengadilan Negeri wajib untuk lebih memprioritaskan atau mendahulukan pemeriksaan perkara mengenai ekstradisi daripada perkara-perkara biasa. Sebab dalam perkara ekstradisi tersangkut kepentingan negara lain yaitu negara-peminta. Selain daripada itu, perkara yang ekstradisi menyangkut kejahatan berat dan mungkin menggoncangkan masyarakat luas tertama di negara-peminta 36

a) Apakah identitas dan kewarganegaraan dari orang yang dimintakan ekstradisi itu sesuai dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan ileh negara.

.

Dalam pasal 32 ditegaskan hal-hal yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah:

b) Apakah kejahatan yang dimaksud merupakan kejahatan yang dapat diekstradisi menurut pasal 4 dan bukan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer.

c) Apakah hak penuntut atau hak melaksanakan putusan Pengadilan sudah atau belum kadaluwarsa.

d) Apakah terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan telah atau belum dijatuhkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti. e) Apakah kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara-peminta sedangkan

di Indonesia tidak.

f) Apakah orang tersebut diperiksa di Indonesia atas kejahatan yang sama.

Dalam pasal 33 (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 ditentukan bahwa dari hasil pemeriksaan tersebut pada pasal 32 Undang-undang No 1 tahun 1979 Pengadilan menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan. Selanjutnya dalam ayat 2 ditegaskan, pengadilan tersebut beserta surat-suratnya yang berhubungan dengan perkara itu

35

Ibid. Halaman 230.

36


(34)

segera diserahkan kepada Menteri kehakiman untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan penyelesaian lebih lanjut.

E. Keputusan mengenai permintaan ekstradisi

Dalam pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979, ditegaskan setelah Presiden menerima penetapan Pengadilan beserta pertimbangan-pertimbangan tersebut dalam ayat (1), maka presiden memberikan keputusan tentang dapat atau tidaknya orang yang diminta itu diekstradisikan. Di dalam ayat (3) ditegaskan bahwa jika menurut penetapan Pengadilan permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetapi Menteri Kehakiman R.I memerlukan tambahan keterangan, maka Menteri kehakiman R.I meminta keterangan yang dimaksud kepada negara-peminta dalam waktu yang dianggap cukup. Mengenai berapa lama waktu yang dianggap cukup tersebut, didasarkan pada pertimbangan jarak serta luasnya negara yang meminta ekstradisi. Misalnya, jika negara-peminta tersebut di benua eropah haruslah diberikan batas waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengna kawasan Asia Tenggara, di dalam melengkapi permintaan tersebut.

Juga perlu dipertimbangkan luas peminta yang bersangkutan. Jika negara-peminta tersebut wilayahnya demikian luas tentulah akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengumpulkan kelengkapan atau tambahan keterangan, jika dibandingkan dengan negara kecil. Oleh karena itu,untuk menetapkan berapa lama waktu yang dianggap cukup itu, ditentukan dalam perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara-peminta yang bersangkutan37

Keputusan terakhir mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan ekstradisi negara-peminta itu terletak di tangan presiden, setelah menerima penetapan Pengadilan serta pertimbangan-pertimbangan dari Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa agung dan

.

37


(35)

Kepala Kepolisian R.I Keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi itu diberitahukan atau disampaikan oleh mnteri Kehakiman R.I kepada negara-peminta melalui saluran diplomatik (pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979).

F. Penyerahan Orang Yang Dimintakan Ekstradisi

Jika permintaan negara-peminta dikabulkan oleh negara-diminta dan sudah dilakukan pemberitahuannya secara tertulis kepada negara-peminta yang biasanya pemberitahuan itu disertai pula dengan penentuan mengenai tempat dan waktu dilakukan penyerah-terimaannya, maka selanjutnya dilakukanlah proses penyerah-terimaan orang yang diminta tersebut oleh pejabat yang berwenang dari diminta kepada pejabat yang berwenang dari peminta. Mengenai tempat penyerah-terimaannya, ditentukan sebelumnya oleh negara-diminta, yakni, di suatu tempat atau di wilayah negara-diminta itu sendiri, meskipun boleh juga dilakukan di suatu tempat di wilayah negara-ketiga , namun harus ada persetujuan dari negara-ketiga yang bersangkutan.

Negara-peminta setelah menerima pemberitahuan dari negara-diminta tentang dikabulkannya permintaan untuk pengekstradisiannya, dalam jangka waktu yang dipandang layak, harus menyampaikan surat pemberitahuan kepada negara-diminta mengenai rencana pengambilan orang yang diminta atau yang akan diekstradisikan. Surat tersebut, antara lain berisi: nama dan identitas dari pejabatnya yang berwenang yang akan menerima penyerah-terimaan orang yang bersangkutan, dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang terkait dengan pengekstradisian tersebut kalau memang dibutuhkan 38

Pada waktu dan tempat yang sudah ditetapkan oleh negara-diminta, dilakukanlah penyerah-terimaan orang yang bersangkutan beserta dengan penyerah-terimaan barang-barang yang terkait (kalau memang barang-barang itu ada) oleh pejabat yang berwenang dari

negara-.

38


(36)

diminta kepada pejabat yang berwenang dari negara-diminta kepada pejabat yang berwenang dari negara-peminta pada suatu dokumen berita acara serah terima yang otentik yang sebelumnya sudah disiapkan oleh negara yang diminta39

G. Perjanjian Bilateral Ekstradisi antara Indonesia dengan negara-negara Lain .

. Negara-diminta dapat saja menentukan tempat penyerah-terimaan tersebut, misalnya, di suatu kota yang jauh dari garis perbatasan darat antara kedua negara, atau disuatu kota yang di wilayahnya sendiri yang jauh dari bandara ataupun pelabuhan. Hal ini tentu saja akan membutuhkan waktu ynag cukup lama untuk membawa orang yang bersangkutan dari kota tempat penyerah-terimaan melalui perjalanan darat untuk menuju ke garis perbatasan atau bandara ataupun pelabuhan di negara-diminta. Hal inipun juga bisa menimbulkan suatu resiko yang tidak kecil. Misalnya, jika orang yang bersangkutan ketika dalam perjalanan darat dari tempat serah-terima ke pelabuhan atau bandara (di wilayah negara-diminta) yang jaraknya puluhan bahkan ratusan kilometer, ternyata berhasil melarikan diri dari penjagaan pejabat yang berwenang dari negara-peminta. Jika larinya baru beberapa meter saja dari kendaraan pengangkutnnya dan bisa ditangkap langsung oleh pejabat tersebut dan dimasukkan kembali ke dalam kendaraan yang mengangkutnya, tentulah tidak ada persoalan apa-apa. Sebaliknya jika kemudian dia berhasil menyelinap dan tidak bisa ditangkap oleh pejabat negara-peminta, maka pejabat negara-peminta tersebut tentu saja tidak bisa langsung mencari dan menangkap sendiri orang itu di wilayah negara-diminta. Dia harus meminta bantuan dari pejabat yang berwenang dari negara-diminta. Hal ini tentu akan merepotkan kedua pihak. Namun,demi memperkecil atau menghapuskan resiko tersebut, serah terima secara resmi sebaiknya dilakukan tempat yang sudah ditentukan.

Ekstradisi diakui sebagai suatu mekanisme kerjasama antar negara dalam mencegah dan memberantas kejahtan lintas negara yang selanjutnya disebut sebagai kejahatan transnasiona

39


(37)

lekstradisi sebagai suatu prananta hukum memang sudah dikenal sejak lama, asas-asas hukumnya sudah diakui dan diterima serta dipraktekkan secara luas diseluruh dunia dengan berbagai variasi.indonesia sudah memiliki enam perjanjian bilateral soal ekstradisi yang telah diratifikasi, yakni sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintahan Republik Indonesia Dan Pemerintahan Malaysia Mengenai Ekstradisi.40 Dalam perjanjian ekstradisi dengan Malaysia tersebut sudah dimasukkan semua azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional mengenai ekstradisi seperti:

a. azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana baik menurut sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Malaysia ("double criminality") b. kejahatan politik tidak diserahkan,

c. hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri dan lain-lainnya.

Prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional negara masing-masing.

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Phillipina41

Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas azasumum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional mengenai ekstradisi seperti:

a. Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Philipina (Double Criminality);

.

b. Kejahatan politik tidak diserahkan;

40

http://Hukum .Unsrat.ac.id, Diakses tanggal 18 februari 2011

41


(38)

c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri, dan lainlainnya.

Disamping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan.Prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara.

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintahan Kerajaan Thailand Tentang Ekstradisi42

Dalam perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah Thailand tersebut sudah dimasukkan semua azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam Hukum Internasional mengenai ekstradisi, seperti:

a. Azas bahwa tentang yang bersangkutan merupakan tindakPidana, baik menurut sistim hukum Indonesia maupun sistim hukum Thailand (double criminality) ;

b. Pelaku kejahatan politik tidak diekstradisikan ;

c. Hak untuk tidak menyerahkan warganegara sendiri, kecuali apabila demi penegakan Hukum dan Keadilan dikehendaki lain;

d. Dan azas-azas lainnya.

Tata cara penangkapan, penahanan dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional negara masing-masing.

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara

Republik Indonesia Dan Australia.

Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Australia bertujuan meningkatkan kerjasama dalam bidang penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan yaitu, dengan cara mencegah lolosnya pelaku tindak pidana dari tuntutan dakwaan dan pelaksanaan hukuman.

Tatacara Ekstradisi antara Australia dan Indonesia, adalah:

42


(39)

Ekstradisi akan ditempuh dengan cara Negara Peminta mengajukan permintaan ekstradisi kepada Negara yang diminta. Permintaan harus tertulis dan disampaikan melalui saluran diplomatik disertai dokumen-dokumen otentik yang diperlukan. Apabila permintaan atas orang yang sama datang dari dua negara atau lebih maka Negara yang Diminta harus menentukan kepada negara mana ekstradisi itu akan dilakukan.

5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah

Republik Indonesia Dan Pemerintah Hongkong Untuk Penyerahan Pelanggar Hukum Yang Melarikan Diri43

Dalam Persetujuan ini mengenai penyerahan pelanggar hukum ditempuh dengan tata cara (pasal 17) sebagai berikut :

a. Pihak diminta harus, segera sesudah mengambil keputusan mengenai permintaan penyerahan, memberitahukan keputusan tersebut kepada Pihak Peminta.

b. Jika seseorang akan diserahkan, orang itu harus dikirim oleh pejabat dari Pihak diminta ke suatu tempat pemberangkatan yang berada dalam yurisdiksinya.

c. Pihak Peminta harus mengambil orang tersebut dalam waktu yang ditentukan oleh Pihak Diminta dan jika tidak diambil dalam jangka waktu tersebut Pihak Diminta dapat menolak penyerahan orang itu untuk pelanggaran yang sama.

d. Jika ada keadaan yang berada di luar kuasa menghalangi salah satu pihak untuk menyerahkan dan mengambil orang yang akan diserahkan, pihak yang bersangkutan harus memberitahukan pihak yang lain. Dalam kasus yang demikian, kedua belah pihak harus menyetujui suatu tanggal yang baru untuk penyerahan yang telah ditentukan.

6) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Korea44

43

Ibid


(40)

Karakteristik yang membedakan perjanjian ekstradisi ini dengan perjanjian ekstradisi lain adalah:

a. Tidak ada Daftar Kejahatan (List of Crime)

Kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah semua kejahatan yang dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun atau lebih. Ketentuan sistem tanpa daftar dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan transnasional yang baru. b. Penolakan terhadap permintaan ekstradisi apabila orang yang diminta sedang Dalam proses pemeriksaan atau telah diadili dan dipidana, atau dibebaskan oleh pengadilan di Negara yang Diminta, atas kejahatan yang dimintakan ekstradisinya. c. Penolakan terhadap permintaan ekstradisi apabila didasarkan pada alasan ras,agama, kebangsaan, jenis kelamin, atau pandangan politik.

d. Kebijaksanaan untuk Mengekstradisi Warga Negara Sendiri Pada dasarnya ekstradisi terhadap warga negara sendiri harus ditolak, kecuali atas dasarkebijaksanaan dari Negara yang Diminta jika hal tersebut dianggap layak untuk dilakukan. Kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisi ditentukan pada saat kejahatan dilakukan.

e. Pengecualian terhadap Asas Kriminalitas Ganda Tidak diberlakukannya asas kriminalitas ganda (double criminality) dalam bidangpajak, kepabeanan, pengawasan valuta asing, atau masalah penerimaan negara lainnya.

f. Pidana Mati

Perjanjian ini tidak mengatur tentang penolakan ekstradisi terhadap kejahatan yang diancam pidana mati.

g. Ekstradisi Sederhana

Ekstradisi dapat segera dilakukan apabila pelaku kejahatan setuju terhadap

44


(41)

permintaan ekstradisi tersebut. Negara yang Diminta harus segera mengambil langkah-langkah untuk mempercepat ekstradisi ekstradisi tersebut, sepanjang hukum nasionalnya memperbolehkan hal tersebut.

h. Pemindahan Narapidana

Ekstradisi terhadap narapidana diperbolehkan sepanjang narapidana tersebut telah menjalani pidana dan mempunyai sisa masa pidana paling sedikit 6 (enam) bulan. i. Penundaan Ekstradisi

Apabila orang yang diminta sedang diperiksa atau sedang menjalani pidana di Negara yang Diminta untuk kejahatan yang dilakukan selain kejahatan yang dimintakan ekstradisi, Negara yang Diminta dapat mengekstradisikan atau menunda ekstradisinya sampai selesai proses pemeriksaan atau orang yang diminta selesai menjalani sebagian atau keseluruhan pidananya.

j. Wilayah Negara Pihak

Menurut perjanjian ini yang dimaksud wilayah Negara Pihak adalah :

1. wilayah yang berada di bawah kedaulatan salah satu Pihak, dan laut yang berbatasan dengannya, di mana Pihak tersebut melaksanakan kedaulatannya sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982;

2. Laut yang berbatasan lainnya dan landas kontinen di mana para Pihak

melaksanakan hak berdaulat atau hak lainnya menurut Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982, tetapi hanya yang berkaitan dengan pelaksanaan hak berdaulat atau hak lainnya;

3.kapal dan pesawat udara yang dimiliki oleh Pemerintah atau yang terdaftar di salah satu Negara Pihak, jika kapal tersebut berada di laut bebas atau jika pesawat udara tersebut sedang dalam penerbangan, pada saat dilakukannya kejahatan yang dimintakan ekstradisinya.


(42)

BAB III

JENIS KEJAHATAN YANG DAPAT DILAKUKAN PERMINTAAN EKSTRADISI

A. Jenis kejahatan yang dapat dilakukan pemindahan pelaku tindak pidana (Ekstradisi)

Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan menunjukkan, batas-batas teritorial antara satu negara dengan negara lain di dunia, baik di dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Pada dewasa ini, hampir dapat dipastikan bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan tidak dapat hanya dipandang sebagai yuridiksi kriminil lebih dari satu negara atau dua negara sehingga menimbulkan masalah konflik yuridiksi yang sangat mengganggu hubungan internasional antara negara yang berkepentingan di dalam kasus tindak pidana tertentu yang bersifat lintas batas teritorial.

Masyarakat internasional mengakui bahwa perkembangan tindak pidana lintas batas teritorial tersebut makin mempertinggi tingkat kesulitan kerjasama antar negara dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan terutama jika dalam tindak pidana tersebut terlibat warga negara asing.

Pandangan pakar hukum internasional yaitu Bassioni tentang Hukum Pidana Internasional, yang menyatakan bahwa45

Hukum pidana internasional semakin relevan dengan perkembangan dunia dewasa, dan semakin pasti berkelanjutan menjadi disiplin hukum penting, mahasiswa ilmu hukum memerlukan pengetahuan tentang masalah kejahatan transnasional dan internasional yang terus meningkat jumlahnya, intensitas dan ancaman kedamaian dan stabilitas dunia serta keamanan dan keselamatan individu dan seluruh dunia. Bahaya ini berasal dari negara,

:

45

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional,Refika Aditama, Bandung, 1994, halaman 76.


(43)

perorangan serta kelompok dari seluruh penjuru dunia terlepas dari ideologi, kepercayaan, dan faktor-faktor penting lainnya.

Istilah kejahatan internasional menunjukkan adanya suatu peristiwa kejahatan yang sifatnya internasional, atau yang lintas batas negara, atau yang menyangkut kepentingan dari dua negara atau lebih negara. Terhadap kejahatan internasional tersebut diatur dalam hukum pidana internasional, yaitu kaidah-kaidah atau asas-asas hukum pidana yang menunjukkan adanya kejahatan yang benar-benar internasional.

1. Berdasarkan Perjanjian Transfer Of Sentenced Persons46

Sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional yang multilateral dan terbuka, dalam bidang hukum pidana maka perjanjian Transfer Of Sentenced Persons dewasa ini telah menduduki tempat yang cukup terhormat. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya baik dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral, regional, dan multilateral, maupun berbentuk perundang-undangan nasional negara-negara.

Perjanjian Transfer Of Sentenced Persons mengkhususkan dirinya pada bidang hukum pidana, terkait dengan pemindahan narapidana (sentenced persons) dari negara tempat narapidana di hukum (sentencing state) ke negara asal terpidana (administering state) dengan menggunakan perjanjian internasional. Pengaturan perjanjian Transfer Of Sentenced Persons diatur dalam sebuah konvensi yaitu

Convention On The Transfer Of Sentecend Persons, yang disahkan pada tanggal 21

Maret di Strasbourg.

.

Berdasarkan bentuknya, perjanjian Transfer Of Sentenced Persons adalah merupakan perjanjian internasional yang tertulis. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka perjanjian internasional maupun hubungan-hubungan Transfer Of

46

http://pustaka Unpad. ac.id/wp-contect/perjanjian Internasional.pdf,diakses pada tanggal 19 Februari 2011, waktu 13.35


(44)

Sentenced Persons Internasional haruslah berbentuk tertulis, termaksud juga

perjanjian Hal ini disebabkan karena memang perjanjian internasional dalam bentuk tertulis ini memiliki beberapa kelebihan, seperti ketegasan, kejelasan, dan lebih menjamin kepastian hukum para pihak yang berjanji, dimana hasil kesepakatan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis.47

Apabila kita meneliti dan menelusuri benar-benar pasal-pasal perjanjian Transfer Of

Sentenced Persons, secara eksplisit (tegas) memang tidak ada satu pasal yang menyebutkan

jenis kejahatan yang dapat dilakukan pemindahan. Berbeda dengan perjanjian ekstradisi yang menyebutkan secara tegas jenis kejahatan yang dapat dilakukan pemindahan melalui ekstradisi pada prinsipnya, jenis kejahatan yang dimaksud dalam perjanjian Transfer Of

Senteced Persons adalah kejahatan internasional, yaitu berupa war crimes (kejahatan perang), genocide (kejahatan pembasmian etnis tertentu), agression atau agresi, dan lain-lain.

Tindakan atau perbuatan memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat,bangsa-bangsa atau masyarakat internasional dan memenuhi persyaratan bahwa tindak pidana dimaksud memerlukan penanganan secara internasional sehingga dengan demikian penangganan secara internasional, dengan demikian terhadap kejahatan yang dimaksud setiap negara berhak dan berkewajiban untuk menangkap, menahan dan menuntut, serta mengadili pelaku kejahatan yang dimaksud dimanapun kejahatan itu dilakukan

Perjanjian Transfer Of

Sentenced Persons yang dibuat oleh organ resmi suatu negara yang membuat

perjanjian tersebut akan mengikat negaranya.

48

47

Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional (dalam Kerangka studi analistis), Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2006, halaman 15.

48

ibid

. Terhadap kejahatan internasional tersebut diatur dalam ketentuan hukum pidana internasional, yaitu kaidah-kaidah atau asas-asas hukum pidana yang menunjukkan adanya kejahatan yang benar-benar internasional. Tentang luasnya kejahatan yang dapat dijadikan


(45)

untuk pemindahan narapidana asing atau tentang jenis kejahatan yang dapat dilakukan permintaan pemindahan narapidananya, semuanya tergantung pada perjanjian kedua belah pihak. Oleh karena itu, sedikit banyak memang ada perbedaan perjanjian yang satu dengan yang lainnya.

Satu hal yang perlu ditekankan adalah betapa pun luasnya ruang lingkup kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk pemindahan seorang narapidana, kejahatan itu harus dibatasi pada kejahatn yang sama-sama merupakan kejahatan atau tindak pidana menurut hukum nasional dari kedua belah pihak yang sekaligus menunjukkan adanya kesamaan mengenai rasa keadilan dari rakyat kedua belah pihak sebagaimana tampak di dalam hukum pidananya masing-masing. Sebaliknya apabila hanya menurut hukum pidana salah satu pihak saja perbuatan itu digolongkan sebagai kejahatan sedangkan menurut hukum pidana pihak yang lain tidak, maka dalam hal ini tidak terpenuhi asas kejahatan ganda. Sehingga, narapidana semacam ini tidak dapat dipindahkan pelaksanaan hukumannya.

Misalnya: seorang wanita berkewarganegaraan Australia melakukan pengguguran kandungan disebuah tempat di Jakarta, Indonesia, dan ternyata kemudian dia di tangkap oleh polisi Indonesia untuk selanjutnya diadili dan kemudian dijatuhi hukuman pidana yang memiliki kekuatan hukum tetap. Kemudian dia menjalani hukumannya di sutau lembaga permasyarakatan di Jakarta. Sedangkan di australia, pengguran kandungan bukanlah suatu kejahatan, jadi sifatnya legal. Jika dia dipindahkan ke Australia untuk melanjutkan pelaksanaan sisa hukumannya di Indonesia atas kejahatan pengguguran kandungan tersebut, maka akan tampak janggal setidak-tidaknya bagi rakyat Australia, Karena dia menjalani hukuman di negaranya sendiri atas suatu perbuatan yang bukan merupakan kejahatan.

Untuk kasus tersebut diatas, sebaiknya narapidana tersebut dibiarkan saja menjalani hukumannya di negara bersangkutan yakni, negara yang menggolongkan perbuatan itu sebagai kejahatan atau tindak pidana demi memulihkan rasa keadilan rakyat negara yang


(46)

bersangkutan. Dengan demikian, narapidana tersebut akan sadar bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya sah-sah saja dinegaranya sendiri, tetapi belum tentu sah di negara lain.

Pada prinsipnya, perjanjian Transfer Of Senteced Persons memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pemindahan, yaitu49

a) Narapidana itu haruslah warga negara dari administering state :

b) Adanya permintaan narapidana tersebut.

c) Adanya persetujuan dari administering state dan sentencing state. d) Keputusan hukum final

e) Narapidana telah menjalani hukuman tidak kurang dari enam bulan pada saat diajukannya permohonan pemindahan.

f) Kejahatan yang dilakukan bukanlah merupakan kejahatan politik murni atau dilakukan melalui militer.

Perjanjian Transfer Of Sentenced Persons dimulai dengan adanya permintaan dari negara tempat narapidana berkewarganegaraan atas permintaan narapidana itu sendiri. Permintaan ini dilakukan melalui jalur diplomatik antar kedua negara yaitu Sentencing state dan Administering State yang berdasarkan hukum nasional dan konvensi internasional mengenai Transfer Of Sentencing Persons. Setelah adanya kesepakatan dari kedua negara,

Sentencing State memeriksa kembali syarat-syarat dari pelaksanaan pemindahan tersebut dan Administering State memeriksa kembali data-data yang berhubungan dengan narapidana.

Dalam melakukan pemindahan narapidana tersebut, kedua negara harus memperhatikan faktor-faktor yang mendukung terhadap pelaksanaan pemindahan, seperti: tempat rehabilitasi yang baik bagi narapidana. Penyerahan narapidana oleh Sentencing State kepada

Administering State mengakibatkan bahwa tanggung jawab terhadap narapidana akan

49

http://Pustaka Unpad. ac.id/wp-contect/perjanjian Internasional.pdf,diakses pada tanggal 19 Februari 2011


(47)

berpindah di negara asal terpidana, perjanjian Transfer Of Sentencing Persons tidak dapat diartikan sebagai pertukaran narapidana tetapi pemindahan seorang narapidana yang tengah menjalani hukuman di negara asing kepada asalnya. Sehingga dengan menjalani hukuman di negaranya sendiri, diharapkan narapidana lebih dekat denagn lingkungan sosial-budayanya sendiri, suatu hal yang penting artinya bagi perkembangan phisik maupun mentalnya, ketimbang narapidana tersebut menjalani hukumannya di negara asing yang tentu saja serba asing baginya.

2. Berdasarkan Pengaturan Lembaga Ekstradisi

Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan timbal balik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan atau seseorang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana),oleh negara tempatnya berada (negara-diminta) kepada negara yang memiliki yuridiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara-peminta), atas permintaan dari negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.50

50

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi(buku 4), Yrama widya,Bandung,2003, halaman129.

Dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 ditegaskan tentang siapa yang dapat diekstradisikan atau dimintakan ekstradisinya. Yang dapat diekstradisi adalah setiap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta kepada indonesia, atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan untuk dapat menjalani pidana atau perintah penahanan.


(48)

Ada dua tipe subjek atau individu yang dapat dimintakan ekstradisinya oleh negara asing (sebagai peminta), yaitu: (1) Orang yang berstatus tersangka, yaitu orang yang disangka telah melakukan kejahatan dan (2) Orang yang berstatus terhukum, yaitu orang yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan yang berwenang dari negara peminta tersebut atas dasar kejahatan yang dilakukan. Dalam pasal 3 tersebut juga ditegaskan bahwa tujuan dari ekstradisi tersebut adalah untuk mengadili si tersangka atau untuk menjalani hukuman bagi si pelaku.

Berdasarkan asas kejahatan ganda atau double criminality, kejahatan yang disangka telah dilakukan atau hukuman pidana yang telah dijatuhkan tersebut haruslah merupakan kejahatn baik menurut hukum negara peminta maupun hukum negara yang diminta. Asas ini mencerminkan, bahwa perbuatan orang yang diminta tidak dibenarkan menurut hukum pidana nasional kedua negara yang juga berarti bahwa perbuatan itu adalah kejahatan menurut kesadaran hukum dan rasa keadilan dari rakyat kedua negara dan oleh karena itu si pelakunya harus diadili dan juga terbukti bersalah harus dijatuhi hukuman yang setimpal.

Ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang disebutkan dalam daftar kejahatan yang terlampir sebagai salah satu naskah yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Dalam lampiran tersebut dirinci sebanyak 32 jenis kejahatan yyang dapat dijadikan dasar untuk meminta ekstradisi51

Adapun jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai dasar atau alasan untuk meminta ekstradisi atas pelakunya adalah:

.

52

1) Pembunuhan.

2) Pembunuhan yang direncanakan

51

Lihat pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

52


(49)

3) Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yang direncanakan dan penganiayaan berat.

4) Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan

5) Persetubuhan dengan seorang wanita diluar perkawinan atau perbuatan cabul .

6) Perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang yang cukup umur dengan orang lain sama kelamin yang belum cukup umur.

7) Memberikan atau mempergunakan 0bat-obat dan atau alat-alat dengan maksud menyebabkan gugur atau matiya kandungan seorang wanita. 8) Melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu

muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur.

9) Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur.

10)Penculikan dan penahanan melawan hukum. 11)Perbudakan.

12)Pemerasan dan pengancaman

13)Meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas negeri atau uang kertas bank atau mengedarkan mata uang kertas negeri atau kertas bank yang ditiru tau dipalsukan.

14)Menyimpan atau memasukkan uang ke bank Indonesia yang telah ditiru atau dipalsukan.

15)Pemalsuan dan kejahatan yang bersangkutan dengan pemalsuan. 16)Sumpah palsu.


(50)

17)Penipuan53

18)Tindak pidan-tindak pidana yang berhubungan dengan kebangkrutan. .

19)Penggelapan.

20)Pencurian, perampokan. 21)Pembakaran dengan sengaja.

22)Pengerusakan barang atau bangunan dengan sengaja. 23)Penyeludupan.

24)Setiap tindakan kesengajaan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan kereta apai, kapal laut atau kapal terbang dengan penumpang-penumpangnya.

25)Menenggelamkan atau merusak kapal di tengah laut.

26)Penganiayaan di atas kapal tengah laut dengan maksud menghilangkan nyawa atau menyebabkan luka berta.

27)Pemberontakan atau pemufakatan untuk memberontak oleh 2 orang atau lebih diatas kapal di tengah laut menentang kuasa nahkoda, penghasutan untuk memberontak.

28)Pembajakan laut.

29)Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan.

30)Tindak pidana korupsi.

31)Tindak pidana narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya.

32)Perbuatan-perbuatan yang melanggar Undang-undang senjata api, bahan-bahan peledak dan bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.

53


(1)

masing-masing, meskipun berbeda bahkan bertentangan dengan keyakinan politik orang lain, bahkan dengan pandangan politik yang dianut dan diterapkan oleh pihak yang berkuasa. Atau dengan kata lain, tidak dapat dipindahkan atau diserahkannya pelaku kejahatan politik adalah sehubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian politik.

Disamping itu, terdapat pertimbangan praktis untuk menyerahkan pelaku kejahatan politik walaupun masih ada kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Walaupun si pelaku kejahatan politik itu pada waktu melakukan perlawanan terhadap penguasa yang sah secara yuridis formal dia melakukan tindak pidana, akan tetapi mungkin pada suatu saat penguasa yang ditentangnya itu ternyata tidak berkuasa lagi dan ada kemungkinan penguasa tersebut jatuh karena digulingkan oleh pihak-ihak lawan politiknya. Atau sangat boleh jadi, penguasa yang jatuh atau digulingkan itu dianggap sebagai penjahat dan patut diadili dan dijatuhi hukuman.

Apabila si pelaku kejahatan politik itu diserahkan kepada penguasa tersebut (sebelum jatuh dan digulingkan) maka nasibnya akan sangat tergantung pada penguasa yang berkuasa secara temporer, dimana penguasa itu sendiri di kemudian hari belum pasti nasibnya. Sebaliknya, jika penguasa yang ditentangnya itu jatuh atau berhasil digulingkan maka jika dia kembali kenegaranya mungkin dia menjadi pemimpin dan penguasa di negaranya, yang nantinya akan menentukan nasib penguasa yang telah jatuh itu. Oleh karena itulah dipandang lebih adil dan bijaksana jika pelaku kejahatan politik tidak diserahkan supaya nasib seseorang tidak tergantung kepada tangan orang lain (penguasa) yang belum pasti nasibnya dikemudian hari.

Pengecualian terhadap kejahatan yang dapat diserahkan atau dipindahkannya seorang pelaku kejahatan politik dari negara yang diminta kepada negara yang meminta adalah apabila terjadi pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap


(2)

kepala Negara atau anggota keluarganya72

. Karena perbuatan tersebut dianggap bukan kejahatan politik, meskipun hal sedemikian mungkin terjadi dengan latar belakang atau tujuan politik.

72


(3)

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Prosedur ekstradisi menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 meliputi antara lain, syarat–syarat untuk menahan orang yang diminta berdasarkan permintaan dari negara peminta, yaitu syarat apa yang harus dipenuhi oleh negara peminta agar orang yang diminta bisa ditahan,syarat-syarat permintaan ekstradisi untuk dapat dipertimbangkan, tentang pemeriksaan terhadap orang yang di ekstradisikan, pencabutan dan perpanjangan penahanan, keputusan mengenai permintaan ekstradisi yakni apakah permintaan ekstradisi itu akan dikabulkan ataukah ditolak serta mengenai penyerahan orang yang diminta, barang – barang bukti dan lain – lain. Indonesia mendukung proses ekstradisi terhadap pelaku kejahatan melalui hukum nasionalnya.

2. Jenis kejahatan yang dapat dijadikan dasar atau alasan untuk meminta ekstradisi dicantumkan dalam suatu daftar yang berisi jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi. Dimana kejahatan-kejahatan tersebut harus memenuhi asas kejahatan ganda. Dalam lampiran undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi terdapat 32 jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan dimana lampiran tersebut merupakan naskah yang tidak dapat dipisahkan dari Undang-undang sehingga jelaslah bahwa dalam perjanjian ekstradisi disebutkan secara tegas kejahatan yang dapat diekstradisi. Kejahatan politik merupakan kejahatan yang tidak dapat dilakukan ekstradisi didasarkan atas kewajiban semua pihak untuk menghormati


(4)

hak asasi manusia, yakni setiap orang yang memiliki hak atas pandangan politik dan keyakinan politiknya masing-masing yang berbeda bahkan bertentangan dengan pandangan yang dianut dan diterapakan oleh pihak yang berkuasa, sehingga dengan kata lain kejahatan politik berhubungan dengan hak negara untuk memberikan suaka politik kepada pelaku kejahatan politik.

B. SARAN

1. Perlu dipertimbangkan mengenai prosedur ekstradisi yang sederhana, cepat dan mudah, misalnya untuk kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk memintakan ekstradisi yang alat-alat buktinya sudah sangat jelas dan lengkap, untuk jenis kejahatan semacam ini tidak perlu ditempuh melalui prosedur ekstradisi yang panjang seperti yang sudah berlaku selama ini.

2. Negara Indonesia harus lebih tegas untuk menerapkan dan menegakkan undang-undang Nomor 1 tahun 1979 dalam pemindahan pelaku tindak pidana dan Negara Indonesia harus jelas dalam memberikan batasan, ruang lingkup mengenai kejahatan politik sehingga akan jelas perumusan mengenai kejahatan politik, dan meningkatkan kerjasama dengan negara-negara lain menyangkut kejahatan politik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bawengan, G.W, Pengantar Psikologi Kriminal, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991,

Budiarto, M, Masalah Ekstradisi dan jaminan perlindungan atas hak-hak asasi manusia.(buku 1),Jakarta: Ghalia,1980

____________, Ekstradisi dalam Hukum Nasional (buku 2). Jakarta: Ghalia,1981

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia (buku 1). Bayumedia, Malang ,2005

______________, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II (buku 2), jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002,

Damian, Eddy, Kapita Selekta Hukum Internasional, Bandung:Alumni,1991, Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Semarang, 2005,

Loqman, Loebby, Delik Politik Di Indonesia, penerbit IND-HILL-CO, jakarta, 1993.

Parthiana, I Wayan, Ekstradisi dalam Hukum Internasional Modern,(Buku 1) Penerbit Yrama Widya, Bandung, 2009

________________, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum nasional Indonesia (Buku 2), C.V Mandar Maju, Bandung, 1990,

_________________, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional (buku 3), Alumni, Bandung,1983,

__________________, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi (buku 4), Yrama widya,Bandung,2003

Ridwan , H.M. , Ediwarman, Asas-asas Kriminologi, USU Press, Medan, 1994,

Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2007 Syahmin, A.K, Hukum Perjanjian Internasional, Dalam Kerangka studi analisis (buku 1),

Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2006

_____________, Hukum Internasional Publik, Dalam Kerangka Studi Analisis, (buku 2), Bina Cipta, Bandung, 1992

Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem Petehaem, Jakarta, 1996


(6)

Situni, Whisnu, Identifikasi dan Formulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. C.V. Mandar Maju, Bandung, 1989

Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif : suatu Tinjauan singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

INTERNET

Ekstradisi, diakses dari situs http://www.interpol.go.id

http://Pustaka Unpad. ac.id/wp-contect/perjanjian Internasional.pdf,

Akrial, Zul. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara sendiri dikaitkan dengan politik Hukum nasional, diakses dari situs www. Legalitas.org,

http://Hukum .Unsrat.ac.id,

Romli Atmasasmita, kebijakan hukum kerjasama di bidang ekstradisi dalam era globalisasi, diakses dari situs: http://www.legalitas.org