7
sebagai Organisasi Regional yang mampu mengatasi Isu terorisme dalam kawasannya.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Mengapa ASEAN fokus berperan terhadap penanganan Isu Terorisme di kawasan Asia Tenggara?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisa fokus peran ASEAN dalam menangani Isu Terorisme dalam kawasannya.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pikirian melalui penelitian ini kepada peneliti
– peneliti lainnya yang fokus pada isu terorisme. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu peneliti
– peneliti untuk memahami sudut pandang yang berbeda tentang berbagai kasus yang menyeret
keamanan negara dengan isu terorisme. b.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi pandangan baru tentang peran ASEAN dalam menangani isu terorisme yang berada di kawasan Asia
Tenggara. Juga dapat mengubah anggapan ataupun cara pandang dalam menangani kasus terorisme yang berada di Asia Tenggara. Serta mampu
memberikan kontribusi kepada masyarakat luas untuk memerangi terorisme untuk membantu negara serta ASEAN.
8
1.5 Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian telah dilakukan dengan fenomena atau isu yang relevan sama, namun sebuah peneltian akan berbeda dilihat dari setiap sudut
pandang penelitian tersebut, maka dari itu untuk membedakan penelitian ini peneliti mengambil bebrapa penelitian terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan
berpedaan terkait ASEAN dan Isu terorisme.
Dalam penelitian pertama yang diteliti oleh Dewi Kurniawati
8
meneliti tentang Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya Pencenggahan
Serangan Teroris di Indonesia Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali Pertamana 12 Oktober 2002. Berangkat dari latar belakang yang melihat tragedi
911 sebagai pencuat kembali isu terorisme dan disusul dengan aksiteroris berikutnya di Indonesia yaitu pada peristiwa Bom Bali menjadikan isu terorisme
menghampiri Asia Tenggara dan menjadikannya sebagai “Terroris Haven” bagi
jaringan terorisme sekaligus front kedua dalam perang global melawan teror. Permasalahan tidak berhenti sampai disana, serngan bom bali pertama 12 oktober
2002 bukanlah serangan teroro bom yang pertama dan terakhir. Hampir setiap setiap tahun setelah serangan di Bali tahun 2002, Indonesia secara beruntun
diguncang oleh berbagai teror bom bunuh diri. Disamping hal tersebut latar belakang dalam penelitian Dewi melihat dari sudut pandang intelejen Indonesia
yang dianggap gagal mengantisipasi terjadinya bom bali, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah “mengapa Intelijen Indonesia gagal
8
Dewi Kueniawati 1006743506 , 2012, Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya Pencenggahan Serangan Teroris di Indonesia Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali Pertamana
12 Oktober 2002, Tesis Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia Jakarta
9
mengantisipasi terjadinya bom bali pertama tahun 2002, serta kemungkinan apa yangmuncul jika kerja sama intelejen di kawasan ASEAN sudah hadir sebelum
kejadian tersebut?”. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut Dewi menggunakan penjabaran tipologi kegagalan intelejen dari Thomas Copeland,
yaitu Problem With Warning Information, Organizational and Bureaucratic issues, dan Leadership and Policy Failures.
Kemudian dari tipologi tersebut maka Dewi Menarik kesimpulan kegagalan muncul diakibatkan karena para pengambil keputusan yang gagal untuk
mengenali potensi permasalahan tersebut. Kegagalan ini terjadi diakibatkan karena pemimpin yang sedang berkuasa menyangkal terhadap keberadaan
kelompok radikal, yang sudah di indikasi beroperasi aktif di Indonesia dengan afiliansi terhadap jaringan kelompok radikal global. Dilihat dari tahap kegagalan
yang bersifat Organisasional dan Birokratis, kesulitan ini muncul ketika ada keengganan untuk berbagi informasi baik secara internal maupun eksternal. Dewi
menemukan dua fakta yang bertolak belakang namun cukup menarik. Terlihat secara konsisten bahwa nara sumber yang berasal dari BIN pada dasarnya
menyatakan mereka memiliki indikasi – indikasi, walaupun demikian tidak dapat
mendapatkan soal kepastian kapan dan dimana bom akan meledak. Dan analisa terakhir keterkaitan dengan permasalahan berasal dari Analisa Intelejen ketegori
pada bagian inibersifat sangat taktis, karena bergantung pada sumber daya manusia, yaitu agen intelejen di lapangan serta yang melakukan analisa pada
bom Bali 2002. Untuk mengakhiri analisa dari penelitian ini peneliti menggunakan metode Counterfactual Reasoning hal yang dibahas dalam konteks
10
ini yaitu, bahwa Indonesia seharusnya bisa lebih memanfaatkan keanggotaannya di ASEAN untuk membantu meningkatkan keamanan nasionalnya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian pertama milik Dewi adalah penelitian ini lebih melihat peran ASEAN secara menyeluruh terhadap
penanganan isu terorisme di Asia Tenggara, sedangkan Dewi lebih fokus pada isu terorisme di Indonesia dan peran dari Interlegen ASEAN dalam kasus Bom Bali.
Masih dalam satu isu yaitu isu terorisme namun berbeda dalam kawasan dan penelitian ini lebih kepada kawasan Asia Tenggara.
Penelitian kedua menganalisis
“Kerjasama ASEAN dalam Menghentikan
Aliran Dana Operasional Terorisme Internasional di Asia Tenggara” oleh Maya Damayanti
9
. Memandang Visi ASEAN 2020, yaitu menciptakan ASEAN sebagai komunitas negara
– negara Asia Tenggara, yaitu mencita - citakan ASEAN sebagai komunitas negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil, dan
sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis Tahun 2020. ASEAN menyatakan komitmen untuk memerangi terorisme sesuai dengan
Piagam PBB, hokum Internasional lainnya, dan Ressolusi PBB yang relevan. ASEAN menetapkan delapan jenis kejahatan lintas negara yang ditangani dalam
kerjasama ASEAN, yaitu terorisme, perompakan, penyelundupan manusia, perdagangan gelap, narkoba penyelundupan senjata, kejahatan ekonomi
Internasional, pencucian uang, kejahatan internet dunia maya. Pemberantasan terorisme merupakan salah satu bentuk kerjasama di bawah mekanisme AMMTC.
9
Maya Damayanti 106083003630 , 2012, Kerjasama ASEAN dalam mengehentikan Aliran Dana Operasional Terorisme Internasional di Asia Tenggara, Skripsi Jurusan Hubungan Internasional, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
11
Untuk memperkuat kerjasama, ASEAN juga telah menyusun dan mendatangi ASEAN Convention on Counter Terrorisme ACCT, kerjasama ini memberikan
dasar hukum yang kuat guna meningkatkan kerjasama untuk pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Kerjasama dan saling berbagi data
intelijen diantara negara – negara ASEAN yang mengaruh pada penangkapan
terorisme juga merupakan factor pendorong peningkat rasa percaya diri di kawasan. Kerjasama ASEAN di bidang pertukaran informasi intelejen selama ini
telah berjalan sangat baik terutama setelah terbentuknya ASEAN Regional Forum ARF tahun 1994. Karena serangkaian serangan terorisme, teroris memerlukan
dana unutk melakukan aksinya. Menurut Maya para teroris memerlukan banyak uang untuk menjalankan berbagai aksinya. Dengan Resolusi pada pertemuan ke
empat tanggal 9 September 1999, Majelis Umum PBB mengadopsi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorsm yang selanjutnya
disingkat sebagai Konvensi Pendanaan terorisme Convention on Financing TerrorismCFT, melarang segala tindakan untuk mendanai terorisme. Maka dari
hal tersebut Maya meng ajukan pertanyaan “bagaimanakan kerjasama ASEAN
dalam menghentikan aliran dana operasional terorisme internasional di Asia Tenggara?”
Untuk menjawab pertanyaannya Maya menggunakan konsep kerjasama Internasional adalah sisi lain dari konflik Internasional yang juga merupakan salah
satu aspek dalam hubungan Internasional. Isu keamanan regional dan global memerlukan keterlibatan aktif semua negara untuk mewujudkan perdamaian dan
ketertiban dunia. Seperti yang dikemukakan oleh K.J Holsti, bahwa kerjasama
12
Internasional menjadikan hidup lebih mudah, nyaman, dan efisien. Berikutnya konsep keamanan dari Buzan dperkenalkan dimana substansi studi keamanan
diperluas tanpa meninggalkan fokus utamanya pada aspek kekuatan militer. Dengan demikian Maya menyimpulkan beberapa poin yaitu dalam
pemberantasan terorisme, ASEAN memberikan secara khusus mengenai bagaimana cara untuk memberantas organisasi terorisme, memberantas dukungan
infrasturtur yang menunjang terorisme seperti pendanaan terorisme, dan diajukan ke pengadilan bagi pelaku kegiatan terorisme. Para pemimpin ASEAN juga
sepakat untuk mengembangkan program dalam rangka peningkatan kemampuan negara anggota ASEAN untuk melakukan investigasi, deteksi, monitoring, dan
pelaporan kegiatan terorisme, membahas dan menggali ide – ide dan inisiatif yang
praktis untuk
meningkatkan peran
ASEAN. Selanjutnya,
kerjasama pemberantasan terorisme dilakukan dengan membentuk ASEAN Convention on
Counter Terrorism ACCT. Kerjasama berikutnya dilakukan untuk tukar menukar informasi intelejen, koordinasi penegek hukum , pertukaran informasi
penggerakan kelompok teroris, modus operasi di teroris, penyidikan rekening teroris di negara yang diduga teroris tersebut menyembunyikan uangnya mampu
melakukan pencucian uang, membekukan asset teroris, training pelatihan menangani bagaimana mengontrol persebaran bahan
– bahan peledak.
Menurut Maya kerjasama – kerjasama ASEAN tersebut belum efektif
karena ASEAN belum efektif dalam pengambilan keputusan sehingga belum mampu mengatasi perbedaan pendapat yang cukup mendasar dalam merumuskan
strategi yang diperlukan untuk memerangi terorisme, dan tantangan terbesar yang
13
akan dihadapi ASEAN adalah mengatasi nilai – nilai historis yang selama ini telah
tertanam, yaitu ketetapan mereka untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri masing
– masing negara.
Pada penelitian kedua Maya mengambil fokus penelitian tentang dana operasional pelaku terorisme, dimana aksi terorisme lebih didukung dengan
peralatan yang lengkap dan canggih, ini pula yang membedakan penelitian milik Maya dengan penelitian ini. Walaupun pada dasarnya ada Peran ASEAN dalam
penelitian Maya tersebut namun berbeda dengan penelitian ini yang mencari alasan dari Peran ASEAN terhadap isu terorisme
Penelitian ketiga oleh Evely Adisa
10
dengan penelitian yang berjudul Rezim Non
– Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran. Dalam penelitian ini membahas fenomena lemahnya rezim non proliferasi nuklir
internasional dalam mengahadapi perilaku nuklir Iran. Negara tersebut dapat tetap membangun program nuklirnya meskipun telah menandatangani Traktat Non
– Proliferasi Nuklir NPT. Teori signifikansi rezim Stephen D. Krasner
menyatakan adanya faktor factor yang mempengaruhi perkembangan rezim internasional. Faktor
– faktor tersebut yaitu egoistic self – interest, political power, dan norms and principles digunakan untuk membantu menjelaskan
fenomena ini. Maka hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah faktor –
faktor seperti egoistic self – interest, political power, dan norms and principles
mempengaruhi rezim internasional . Rezim non – proliferasi nuklir internasional
10
Evely Adisa 1006743872, 2012, Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran,
Tesis Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Jakarta
14
mengalami hambatan dalam mengatasi isu nuklir Iran karena 1 perilaku egoistic self
– interest Iran dalam mendahulukan kepentingannya yang diwujudkan dalam program nuklirnya; 2 Iran memiliki kekuatan politik politic power yang
diwujudkan dalam kemampuan diplomasinya; dan 3 Iran tidak mentaati norma dan prinsip norms and principles yang terdapat dslam rezim non
– ploriferasi nuklir internasional. Kepemilikan material nuklir oleh negara yang kurang dapat
memfasilitasi keamanan dari material tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi negara itu sendiri, negara tetangga dan juga dunia. Keamanan dari material nuklir
merupakan hal yang utama mengingat partikel – partikel radioaktif yang
terkandung di dalam material tersebut sangat berbahaya bagi manusia. Pada penelitian ketiga milik Evely ada perbedaan kasus atau isu yang
dibahas dengan penelitian ini namun menggunakan teori yang sama untuk menjawab fenomena atau isu yang diangkat yaitu menggunakan Rezim
Internasional.
Kemudian penelitian keempat, Mardenis
11
dengan jurnalnya yang berjudul Perkembangan Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya
Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme. Sedikit banyaknya jurnal ini membahas politik luar negeri AS dengan menjadikan
Isu Terorisme sebagai agenda utama. Tahun 2001 AS yang menjadi korban dari aksi besar
– bearan teroris dengan meledakan gedung kembar yaitu WTC atau lebih di kenal dengan peristiwa 911 membuat AS siap siaga dengan keamanan
11
Mardenis, Perkembangan Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No.1 Januari 2011,
Hal 161 - 174
15
negaranya. Pasca peristiwa tersebut AS sangat memerangi aksi terorisme yang membuat banyak korbannya. Berdasarkan cara berpikir demikian, AS kemudian
secara sistematis membangun opini internasional bahwa kampanye anti terorisme yang dipeloporinya merupakan upaya membela kemanusian. Berdasarkan ini
pulahlah AS melegitimasi aksinya keseluruhan dunia, seperti menyerang ke Afganistan dan invansi ke Irak, mengelompokan group atau orang tertentu
sebagai teroris, menangkap, membekukan aset dan tindakan lain yang dianggap penting oleh AS, termasuk menekan negara
– negara lain khususnya negara – negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan menanggapi respon AS yang
menjadi korban aksi terorisme maka, banyak negara yang ikut memerangi terorisme mengubah kebijakan negaranya terhadap isu terorisme. K.J Holsty
menyatakan bahwa kebanyakan studi politik internasional World Politics merupakan studi mengenai kebijakan politik luar negeri, di mana kebijakn ini
didefinisikan sebagai keputusan – keputusan yang merumuskan tujuan
menentukan presiden, atau melakukan tindakan – tindakan tertentu, dan tindakan
– tindakan yang diambil untuk mengimplementasikan keputusan – keputusan it. Studi
– studi ini memusatkan perhatian pada usaha – usaha menggambarkan tindakan dan elemen
– elemen kekuasaan negara – negara besar.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah 1 politik hukum nasional Indonesia dalam pemberantasan terorisme belum sesuai dengan prinsip
– prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD
– 1945, karena kurang menghormati dan melindungi hak
– hak asasi manusia, berpotensi mengancam hak
– hak asasi manusia, berpotensi mengancam integrasi bangsa, kurang
16
menghormati nilai – nilai demokrasi dan kurang memenuhi rasa keadilan rakyat
dan bangsa Indonesia. 2 Perkembangan konstelasi politik Internasional dalam kaitannya dengan pemberantasan terorisme, dalam hal ini sangat didominasi oleh
kepentingan politik, ekonomi dan ideology AS, baik dalam regulasinya dalam berbagai konvensi internasional. 3 Perkembangan konstelasi politik
internasional berimplikasi cukup signifikan terhadap politik hukum nasional Indonesia pemberantasan terorisme, baik dalam proses penerapan dan penegakan
hukumnya. Penelitian keempat milik Mardenis membahas tentang isu terorisme
menjadi poliki internassional oleh AS, serta berpengaruhnya terhadap politik internasional dan implikasinya terhadap hukum di Indonesia untuk memberantas
terorisme. Dalam isu penelitian milik Mardenis dan penelitian ini sama yaitu Isu terorisme, namu berbeda fokus yang diambil. Mardenis memilih pemberantasan
terorisme dapat mempengaruhi politik internasional dan hukum pada suatu negara yaitu AS dan Indonesia inilah yang membedakannya dengan penelitian ini.
Peneliti memberikan empat penelitian terdahulu sebagai bahan perbandingan pada penelitian ini. Pada penelitian pertama, kedua, dan keempat
masih dalam fenomena yang sama yaitu isu terorisme di Asia Tenggara. Di penelitian ketiga fenomena yang dibahas berbeda dengan peneliti, tetapi landasan
teori yang digunakan sama dengan peneliti gunakan. Maka dari itu yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
– penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mengambil sudut pandang Peran ASEAN yang concern terhadap isu
terorisme di Asia Tenggara.
17
Tabel 1.1 Posisi Penelitian
No. Judul dan Nama
Peneliti Jenis Penelitian
dan Alat Analisa Hasil
1. Peran Strategis
Kerjasama Intelejen ASEAN dalam
Upaya Pencenggahan
Serangan Teroris di Indonesia Studi
Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom
Bali Pertama 12 Oktober 2002
Oleh : Dewi Kurniawati
Eksplanatif Pendekatan :
tipologi kegagalan intelejen dari
Thomas Copeland dan
Counterfactual Reasoning
Metode Counterfactual
Reasoning hal yang dibahas dalam konteks ini yaitu,
bahwa Indonesia seharusnya bisa
lebih memanfaatkan
keanggotaannya di ASEAN untuk
membantu meningkatkan
keamanan nasionalnya.
Kegagalan Intelejen
yang ditujukan
melalui tipilogi
Thomas Copeland sebelumnya jelas
memperlihatkan bahwa pada saat Indonesia mengalalami
situasi
transisional pasca
pergantian rezim.Hal – hal
yang diakibatkan
olehpergantian rezim
itu memperlihatkan
bahwa kegagalan dapat terjadi secara
berlapis – lapis dan tahapan
yang bersifat
politis, kepemimpinan, maupun isu
birokratiss dinas
intelejen haruslah dapat dipecahkan
secara domestic melalui jalur demokratis yang sudah dipilih
sebagai
jalan bersama,
sebelum Indonesia
bisa bergerak
keluar dan
memberikan pengaruh secara regional di Asia Tenggara.
2. Kerjasama ASEAN
dalam Menghentikan Aliran
Dana Operasional
Terorisme Internasional di Asia
Tenggara Deskriptif
Pendekatan: Kerjasama
Internasional oleh K.J Holsti dan
Konsep Keamanan Barry
Memberantas organisasi
terorisme, memberantas
dukungan infrasturtur yang menunjang terorisme seperti
pendanaan terorisme,
dan diajukan ke pengadilan bagi
pelaku kegiatan terorisme. Para pemimpin ASEAN juga
18
Oleh :
Maya Damayanti
Buzan sepakat
untuk mengembangkan
program dalam rangka peningkatan
kemampuan negara anggota ASEAN untuk melakukan
investigasi,
deteksi, monitoring, dan pelaporan
kegiatan terorisme, membahas dan menggali ide
– ide dan inisiatif yang praktis untuk
meningkatkan peran ASEAN dan keikutsertaan ASEAN
bersama
masyarakat. Selanjutnya,
kerjasama pemberantasan
terorisme dilakukan dengan membentuk
ASEAN Convention
on Counter
Terrorism, mencangkup
berbagai program program kerjasama
termasuk bagaimana
menghentikan pembiayaan
terorisme. 3
Rezim Non
– Proliferasi
Nuklir Internasional
dan Program Nuklir Iran
Oleh : Evelyn Adisa Eksplanatif
Pendekatan : Rezim
Internasional Stephen D.
Krasner Faktor
– factor seperti egoistic self
– interest, political power, dan norms and principles
mempengaruhi rezim
internasional .Rezim non –
proliferasi nuklir internasional mengalami hambatan dalam
mengatasi isu nuklir Iran karena 1 perilaku egoistic
self
– interest Iran dalam mendahulukan
kepentingannya yang
diwujudkan dalam program nuklirnya; 2 Iran memiliki
kekuatan politik
politic power
yang diwujudkan
dalam kemampuan
diplomasinya; dan 3 Iran tidak mentaati norma dan
prinsip norms and principles yang terdapat dalam rezim
non
– ploriferasi nuklir
19
internasional. 4.
Perkembangan Konstelasi Politik
Internasional dan Implikasinya
Terhadap Politik Hukum Nasional
Indonesia dalam Pemberantasan
Terorisme, Jurnal Dinamika Hukum,
Vol 11 No.1 Januari 2011, Hal 161 - 174
Oleh : Mardenis Diskriptif
Pendekatan : Kebijakan Luar
Negeri K.J Holsti 1 politik hukum nasional
Indonesia dalam
pemberantasan terorisme
belum sesuai dengan prinsip –
prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
UUD – 1945, karena kurang
menghormati dan melindungi hak
– hak asasi manusia, berpotensi mengancam hak
– hak asasi manusia, berpotensi
mengancam integrasi bangsa, kurang menghormati nilai
– nilai demokrasi dan kurang
memenuhi rasa
keadilan rakyat dan bangsa Indonesia.
2 Perkembangan konstelasi politik Internasional dalam
kaitannya
dengan pemberantasan
terorisme, dalam
hal ini
sangat didominasi oleh kepentingan
politik, ekonomi dan ideology AS, baik dalam regulasinya
dalam
berbagai konvensi
internasional. 3
Perkembangan konstelasi
politik internasional
berimplikasi cukup signifikan terhadap
politik hukum
nasional Indonesia
pemberantasan terorisme,
baik dalam proses penerapan dan penegakan hukumnya.
1.6 Landasan Konsep dan Teori