PERAN ASEAN DALAM MENANGANI KASUS KABUT

PERAN ASEAN DALAM MENANGANI KASUS KABUT ASAP DI
INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN

Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara
beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi
negara-negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, kesatuan
substansional (kelompok-kelompok atau badan-badan dalam suatu

negara),

seperti birokrasi dan pemerintah domestik, serta individu-individu. (Perwita,
2006:2) Dalam hubungan internasional tersebut terdapat berbagai pola hubungan
antar bangsa seperti: pola penjajahan, pola hubungan ketergantungan, pola
hubungan sama derajat antar bangsa. Hal ini memiliki arti penting, yakni dapat
mengikat dua atau beberapa pihak untuk membentuk aturan yang harus diditaati
oleh semua pihak yang mengadakan hubungan dan kerjasama internasional.
Dalam menjalani hubungan antar negara, azas yang digunakan dalam hubungan
tersebut adalah etika dalam hubungan internasional. Hal ini diartikan sebagai
suatu aturan tidak tertulis sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh negara yang

berdaulat dalam menjalin sebuah hubungan guna meminimalisir gesekan/ konflik
antar negara. (Perwita, 2006:136)
Dengan semakin kompleksnya sebuah hubungan antar negara pasca-globalisasi,
peran negara dalam menjaga sebuah hubungan sedikit bertambah, yakni menjaga
stabilitas kerjasama yang pada praktiknya tidak hanya dilakukan oleh aktor utama
dalam negara. (Perwita, 2006:136) Hubungan antar negara juga dilakukan oleh
aktor non negara yang pada akhirnya akan mendorong pemerintah untuk
melakukan tindakan maupun kebijakan atas perilaku aktor non negara tersebut.
Semisal terorisme internasional, hak asasi manusia (HAM), faktor demografi dan
migrasi internasional, dan lingkungan hidup.
1

Dalam hubungan yang semakin kompleks seperti di atas, interaksi antar negara
juga dapat diatur oleh organisasi internasional yang bersifat regional yang
menyangkut isu kepentingan yang terjadi pada lingkungan politik kepentingan
beberapa negara. Pada bentuk interaksi di dalam organanisasi internasional
tersebut juga dapat dibentuk mekanisme perundingan maupun dorongan terhadap
negara angotanya untuk membuat kebijakan. (Nuraeni, 2010: 60) Hal demikian
dapat dilihat seperti Association of South East Asian Nations (ASEAN) sebagai
organisasi regional di kawasan Asia Tenggara.

ASEAN yang memayungi sebelas negara di kawasan Asia Tenggara ini memiliki
peran dalam setiap isu internasional yang menyangkut kepentingan regionalnya.
Hal ini dapat dilihat pada isu kabut asap di Indonesia yang menjadi isu hangat
bagi beberapa negara angota ASEAN.
I.1. Latar Belakang Masalah
Isu kabut asap yang telah terjadi di Indonesia telah memberi perhatian khusus bagi
beberapa negara kawasan Asia Tenggara. Pasalnya, isu kabut asap di Indonesia
telah mengganggu bagi sebagian negara tetangga Indonesia. Hal demikian seperti
yang terjadi pada pertengahan tahun 2013 di Riau. Isu ini menjadi isu
internasional yang ditandai oleh respon Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber
Daya Air Singapura, Vivian Balakrishnan dan Menteri Lingkungan dan Sumber
Daya Alam Malaysia, G. Palanivel. (news.detik.com: 2013) Pernyataan tersebut
merupakan bukti bahwa isu kabut asap yang terjadi di Indonesia sudah masuk
dalam isu regional, mengingat ketiga negara tersebut merupakan bagian dari
ASEAN.
Dalam merespon kedua pernyataan negara tetangga tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan
bertanggungjawab terhadap perilaku warga negaranya yang menyebabkan
terganggunya negara lain. (news.detik.com: 2013)
Merunut pada fenomena isu kabut asap di kawasan Asia Tenggara ini, kabut asap

yang terjadi pada Juni 2013 merupakan bukan kali pertama yang dialami oleh
2

Indonesia dan menjadikan negara tetangga yang terkena imbasnya. Sejak tahun
1997 (suarakarya-online.com: 2013) isu ini pernah terjadi dengan intensitas yang
cukup sering. Fenomena ini merupakan terparah ke-dua setelah fenomena kabut
asap pertama tahun 1997. Index Standar Polutan (ISP) menunjukkan pada 20 Juni
2013 sudah mencapai 321, yakni angka terparah dengan tingkat bahaya yang
sangat tinggi bagi kesehatan. Sedangkan kabut asap pertama pada tahun 1997
yang pada saat itu dianggap berbahaya dan terparah hanya mencapai angka 226.
(tempo.com: 2013)
Diperkirakan banyak kerugian yang dialami oleh negara sekitar lokasi kebakaran
hutan, baik secara ekonomi maupun kesehatan (Glover : 2003). Kerugian ekonomi
yang dialami oleh Singapura misalnya, pada sektor ekonomi Singapura
mengalami pengaruh yang sangat signifikan. Banyak kegiatan perekonomian yang
dihentikan karena ancaman jarak pandang di luar ruangan dan ancaman kesehatan
bagi masyarakat Singapura yang bekerja di lapangan. Selain itu, kerugian yang
sangat besar juga dialami oleh Malaysia terutama di bidang kesehatan. (gatra.com:
2013) Kegiatan di sebagian wilayah Malaysia banyak yang dihentikan dengan
alasan khawatir akan serangan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) sebagai efek

dari kabut asap.
Dengan melihat efek kabut asap yang mengganggu Singapura di kawasan Asia
Tenggara, maka pada 18 Juli 2013 Association of South East Asia Nations
(ASEAN) sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara berinisiatif untuk
melakukan

pertemuan

di

Malaysia

(international.sindonews.com:

2013).

Pertemuan ini merupakan pertemuan ke-15 dengan isu yang sama, yakni
bertujuan untuk mencari solusi terhadap isu kabut asap yang dihadiri oleh
Kelompok Kerja Teknis dan Komite Pengarah Menteri Sub-Regional Polusi Asap
Lintas Batas, antara lain Menteri Lingkungan Hidup dari Malaysia, Brunei,

Indonesia, Singapura, dan Thailand.
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar
Kambuaya, pada pertemuan tersebut didesak oleh beberapa negara anggota
ASEAN untuk segera menanggulangi isu kabut asap yang disebabkan oleh
3

kebakaran hutan. Selain itu, ASEAN sendiri sebagai organisasi regional mendesak
Indonesia untuk meratifikasi Perjanjian Regional sesegera mungkin (menlh.go.id:
2013). Dengan demikian Kambuaya juga menyatakan bahwa setidaknya pada
akhir tahun ini atau awal 2014 Indonesia akan segera meratifikasi perjanjian
bersama tersebut.
Dalam pidatonya, Kambuaya mendapatkan pujian oleh seluruh menteri yang hadir
pada pertemuan tersebut. Hal serupa juga dinyatakan oleh Sekjen ASEAN, Le
Luong Minh, bahwa pernyataan Kambuaya tersebut menunjukkan Pemerintah
Indonesia siap untuk memobilisasi sumber daya yang tersedia dalam upayanya
memadamkan api dan memberantas seluruh sebab masalah kabut asap
(international.sindonews.com: 2013).

I.2. Rumusan Masalah
Pertemuan tingkat menteri tersebut membuktikan bahwa signifikansi isu kabut

asap memang menjadi perhatian penting bagi kawasan Asia Tenggara. Dalam hal
ini, maka menjadi ketertarikan bagi penulis untuk melihat sejauh mana peran
ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara untuk mengambil
sikap dalam proses penyelesaian isu kabut asap di kawasannya.
Bagaimana Peran ASEAN dalam proses penyelesaian isu Kabut Asap di kawasan
regional?
I.3. Tujuan Penelitian
1. Melihat sejauh mana peran ASEAN di kawasan Asia Tenggara dalam isu
kabut asap.
2. Melihat sejauh mana upaya ASEAN dalam menangani konflik antar
negara terkait isu kabut asap di Asia Tenggara.
3. Mengetahui karakter dan pola hubungan kerjasama antar negara-negara
anggota ASEAN dalam organisasi regional.

4

4. Mengetahui sejauh mana loyalitas negara-negara anggota terhadap otoritas
ASEAN.
I.4. Kerangka Pemikiran
Untuk menganalisis peran ASEAN dalam proses penyelesaian isu kabut asap di

Indonesia maka penulis memerlukan teori dan konsep-konsep yang dapat
mendukung proses analisis. Penulis menggunakan teori peran dan konsep
regionalisme.
I.4.1. Teori Peran
Peran (role) dalam ilmu hubungan internasional menurut Mohtar Mas’oed
merupakan perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang, kelompok maupun
organisasi untuk menduduki suatu posisi tertentu, baik posisi di dalam kelompok
organisasi ataupun dalam sebuah negara (Mas’oed, 1989:45). Mas’oed juga
menjelaskan bahwa setiap individu atau kelompok yang memegang pada posisi
tersebut diharapkan akan menjalankan perilaku sesuai posisinya. Dengan kata
lain, arti yang diharapkan tersebut adalah individu atau kelompok tertentu dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, sesuai porsinya sebagai satu bagian dalam
menjalankan tugasnya. Misalnya sebagai aktor politik harus berperan untuk
menjalankan tugasnya sesuai tuntutan di bidang dan posisi yang didudukinya.
Teori peran ini konsern pada tingkah laku individu dan suatu kelompok. Hal ini
memiliki beberapa faktor yang dapat dipelajari pada konteks kelompok, organisasi
serta masyarakat. Dalam teori peran terdapat dua hal untuk menganalisis peran
dalam politik (Bruce dkk, 1979:3-17). Pertama, pada umumnya aktor politik
berusaha menyesuaikan perilakunya dengan nilai perilaku yang berlaku dalam
posisi


yang

didudukinya.

Kedua,

teori

ini

mempunyai

kemampuan

mendeskripsikan lembaga politik adalah serangkaian pola perilaku yang berkaitan
dengan peran suatu kelompok dalam menyelesaikan tugas politiknya.
Peran yang diinterpretasikan sebagai tingkah laku ini pada dasarnya bersifat
insidentil, atau dapat dimaknai sebagai suatu tindakan berdasarkan kejadian suatu


5

fenomena yang menuntut individu maupun kelompok untuk mengambil suatu
keputusan. Kata peran sendiri memiliki tugas tergantung pada porsi dan
tanggungjawab suatu kelompok atau individu. Pada tingkat internasional
misalnya, suatu institusi bahkan organisasi internasional dapat berperan
berdasarkan tingkat integritasnya. Perwita menjelaskan menjadi tiga kategori
peran

organisasi

internasional

(Perwita,

2005:95).

Pertama,

organisasi


internasional merupakan arena atau tempat pertemuan bagi anggota-anggotanya
untuk membicarakan bahkan membahas masalah-masalah yang dihadapi.
Kedua, organisasi internasional sebagai instrumen yang digunakan oleh negaranegara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar
negerinya. Ketiga, organisasi internasional sebagai aktor independen yang dapat
membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi kekuasaan ataupun
paksaan dari luar organisasi tersebut.
Pada tingkat Asia Tenggara sendiri, ketiga kategori tersebut dianggap sebagai
acuan untuk mencapai tujuan bagi negara-negara angota ASEAN. Sehingga hal ini
menuntut ASEAN untuk berperan dalam setiap isu internasional yang terjadi pada
tingkat regional, terutama pada isu kabut asap yang dibahas sekarang.
I.4.2. Konsep Regionalisme
Konsep regionalisme merupakan suatu gagasan yang berpacu pada kepentingan
dan identitas setiap negara yang berada dalam satu regional. Regionalisme
menurut Coulumbis dan Wolfe dalam Introductions to International Relations,
Power and Justice membagi dalam empat kriteria (Coulumbis dan Wolfe, 1986:
306) :
-

Kriteria Geografis: yakni mengelompokan negara berdasarkan lokasinya.

Seperti benua, sub-benua, kepulauan dan lainnya.

-

Kriteria Politik/ Militer: keikut sertaannya negara dalam berbagai aliansi,
atau dalam berbagai orientasi politik maupun ideologi. Seperti halnya Blok
Sosialis, Blok Kapitalis, Non-Blok dan NATO.

6

-

Kriteria Ekonomi: mengelompokan negara berdasarkan perkembangan
ekonominya. Seperti GNP dan output industria. Misalnya negara-negara
industri, negara-negara berkembang, dan negara-negara keterbelakang.

-

Kriteria Transaksional: mengkategorikan negara berdasarkan frekuensi
movilitas jumlah penduduk yang berpindah tempat, baik untuk pariwisata,
barang jasa, perdagangan dan berita. Hal demikian dapat dilihat seperti
Uni Eropa, wilayah Amerika dan Kanada.

Sementara menurut Bruce russet dalam buku

Perubahan Global dan

Perkembangan Studi Hubungan Internasional berpendapat bahwa regionalisme
memiliki lima kriteria, antara lain:
-

Adanya kemiripan sosiokultural;

-

Sikap politik atau perilaku eksternal terdapat kemiripan, yang biasanya
tercermin pada voting dalam sidang-sidang berskala dunia seperti sidang
PBB;

-

Keanggotaan yang sala dalam organisasi-organisasi supranasional atau
antarpemerintah;

-

Interdepedensi ekonomi, yang diukur dengan kriteria perdagangan sebagai
proporsi pendapatan nasional;

-

Kedekatan wilayah/ geografis, yang diukur dengan jarak terbang antara
ibukota-ibukota negara-negara tersebut;

Regionalisme sendiri sebenarnya termasuk dalam studi kawasan. Teuku May Rudi
menjelaskan bahwa studi kawasan mencakup tiga pola kajian utama (T. May
Rudi, 1997:8), yakni: Pertama, kajian ciri-ciri khusus (typical studies). Kedua,
kajian peristiwa-peristiwa (studies of events). Ketiga, Kajian Regionalisme
(regionalism) dan Organisasi Kerjasama Regional (regional cooperation)
Dalam regionalisme, terdapat proses integrasi internasional (Hopkins dan
Mansbach, 1973: 277). Integrasi internasional dalam regionalisme menurut

7

Hopkins dan Mansbach adalah proses pencapaian kondisi supranasional yang
semula diurus oleh pemerintah nasional beralih ke unit politik yang lebih besar.
Sedangkan menurut Griffiths dan Callaghan, integrasi internasional terdefinisi
menjadi empat hal. Pertama, pergerakan kerjasama antar negara. Kedua, transfer
otoritas kepada institusi supranasional. Ketigai, peningkatan penyamaan nilainilai. Keempat, perubahan menuju masyarakat global, pembentukan komunitas
masyarakat polkitik yang baru (Griffths dan Callaghan, 2002:144).
Integrasi internasional ini dibagi menjadi dua kondisi, yakni pertumbuhan
integratif dan transfer integratif (Hopkins dan Mansbach, 1973: 279).
Pertumbuhan integratif terjadi ketika berbagai prosedur keputusan dan institusiinstitusi harus menangani proses pertumbuhan berbagai keputusan yang harus
diselesaikan. Pertumbuhan ini merupakan hasil dari adanya rasa ketergantungan
negara antara proses ekonomi dan sosial dalam satu kawasan. Sedangkan transfer
integratif terjadi ketika unit-unit (negara-negara) tergabung dalam suatu
komunitas yang lebih luas yang kemudian menjadi pusat dasar otoritas pembuat
keputusan.

Kedua kondisi tersebut diikuti oleh publik untuk ditinjau tentang

pentingnya keputusan yang dibuat dalam suatu sistem yang lebih besar.
I.5. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metoda kualitatif.
Metode ini akan mengandalkan análisisnya dalam bentuk deskriptif (Creswell,
1994: 145). Sehingga penelitian ini dapat disebut sebagai penelitian yang bersifat
deskriptif analitis. Yakni melihat isu yang ada dengan mengaitkan serta
menganalisis melalui teori hubungan internasional dan konsep yang berkaitan
dengan ilmu hubungan internacional (Mas’oed, 1990:223). Dengan metode
tersebut diharapkan akan mempermudah pemahaman tentang peran ASEAN
terhadap isu kabut asap di kawasan Asia Tenggara.
Adapun dalam pengumpulan data penulis menggunakan dua sumber, yakni
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah
sumber data yang langsung didapat dari instansi terkait dan wawancara. Untuk

8

mendapatkan data primer tersebut, penulis akan mendatangi dan mewawancarai
instansi yang terkait isu kabut asap di Indonesia seperti: Kementerian Kehutanan
Indonesia, ASEAN Secretary di Jakarta, Kedutaan Malaysia dan Singapura.
Sumber sekunder maksudnya adalah, penulis menggunakan sumber data yang
tidak langsung, seperti: buku-buku, jurnal, media massa cetak dan internet dengan
situs terpercaya. Untuk mendapatkan data sekunder ini, penulis akan mendatangi
perpustakaan Kementerian Kehutanan Indonesia, Kementerian Luar Negeri
Indonesia, ASEAN Secretary di Jakarta, dan universitas-universitas di kawasan
Jakarta.
Dengan demikian, maka diharapkan data-data yang didapat akan digunakan untuk
mempelajari bagaimana Melihat sejauh mana peran ASEAN di kawasan Asia
Tenggara dalam isu kabut asap, melihat sejauh mana upaya ASEAN dalam
menangani konflik antar negara terkait isu kabut asap di Asia Tenggara,
mengetahui karakter dan pola hubungan kerjasama antar negara-negara anggota
ASEAN dalam organisasi regional, dan mengetahui sejauh mana loyalitas negaranegara anggota terhadap otoritas ASEAN.
I.6. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Masalah
I.2. Rumusan Masalah
I.3. Tujuan Penelitian
I.4. Kerangka Pemikiran
I.5. Metoda Penelitian
I.6. Sistematika Penulisan
Bab II Permasalahan Kabut Asap di Indonesia Tahun 2007-2013
II.1. Sumber-Sumber dan Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kebakaran Hutan
di Indonesia
II.2. Dampak Kabut Asap dan Kebijakan Pemerintah Indonesia, Singapura dan
Malaysia.

9

II.2.1. Indonesia
II.2.2. Malaysia
II.2.3. Singapura
Bab III Upaya ASEAN Dalam Mendorong Proses Ratifikasi Perjanjian
Penyelesaian Kabut Asap
III.1. Orientasi Kerjasama Antar negara ASEAN
III.2. Desakan Negara Kawasan Asia Tenggara Terhadap Indonesia
III.3. Komitmen dan Rencana Tindakan ASEAN terhadap Isu Kabut Asap di
Kawasan Regional
IV. Penutup
IV.1. Kesimpulan
Hipotesis
ASEAN berperan dalam proses penyelesaian isu kabut asap di Indonesia yakni
dengan mengadakan pertemuan ke-15 Meeting of the Sub-Regional Ministerial
Steering Committee (MSC) on Transboundary Haze Pollution 18 Juli 2013 di
Malaysia hingga akhirnya Indonesia berjanji untuk segera meratifikasi Perjanjian
Regional pada akhir tahun 2013.

10