PEMBAHASAN Prevalensi Trauma Gigi Anterior pada Anak Usia 6-12 Tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal

BAB 5 PEMBAHASAN

Trauma gigi anterior sangat sering terjadi pada anak. Hal ini dapat dilihat dari tingginya prevalensi dari berbagai negara terutama pada gigi permanen. Trauma gigi permanen anterior pada anak dapat menyebab kehilangan gigi secara dini yang berdampak pada kehidupan sosial anak, menganggu fungsi berbicara dan pengunyahan. 1,2 Pada penelitian ini riwayat trauma gigi didapat dari hasil wawancara dengan subjek peneliti sehingga didapat sampel sebanyak 612 anak usia 6-12 tahun. Kecamatan Medan Barat yang diwakili oleh SD Pertiwi dan SDN 060843 dan di kecamatan Medan Sunggal diwakili oleh SD Panca Budi dan SDN 060916 terdapat 22,71 Tabel 3 anak yang terkena trauma gigi permanen anterior. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Andreasen dan Ravn cit. Glendor sebesar 22 kasus sementara Trabert J, dkk sebesar 18,9 kasus. Hasil ini lebih rendah dibandingkan penelitian Sgan-Cohencit. Glendor, dkk yaitu 29,6 dan Malikew, dkk sebesar 35 kasus. Penelitian ini juga lebih tinggi jika dibandingkan penelitian V.M. Martin, dkk di Brazil dengan hasil 12,7 kasus. Perbedaan ini dapat terjadi karena perbedaan lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, dan budaya yang berbeda. 2,5,6,17 Pada penelitian ini dijumpai perbedaan prevalensi trauma gigi permanen anterior pada anak laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini menunjukkan anak laki-laki lebih sering terkena trauma dari pada anak perempuan dengan presentase anak laki-laki sebanyak 15,20 dibandingkan dengan anak perempuan 7,51 Tabel 3. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Orlando GG, dkk dan Martins VM, dkk yang menyatakan bahwa anak laki-laki sering terkena trauma gigi permanen daripada perempuan. Prevalensi yang lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak perempuan ini dikaitkan dengan perbedaan aktivitas antara anak laki-laki dan perempuan, dimana anak laki-laki lebih aktif dalam bermain dan berolahraga daripada anak perempuan, hal ini dikemukakan oleh Andreasen dan Glendor bahwa anak laki-laki lebih banyak dua kali terkena trauma gigi daripada anak perempuan. 2,3,6,10 Penelitian menunjukkan bahwa presentase trauma gigi anterior tertinggi terdapat pada anak usia 12 tahun yaitu sebanyak 22,30 sementara presentase yang terendah terdapat pada anak usia 6 tahun yaitu sebanyak 5,04 Tabel 4. Hal ini sesuai dengan penelitian Bonini, dkk dan Cameron A, dkk bahwa yang paling sedikit terkena trauma adalah anak usia 6 tahun dan yang teringgi 11 tahun dan 12 tahun. Bastone, dkk menyatakan bahwa frekuensi tertinggi trauma gigi adalah pada usia 9-15 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia 9-15 tahun aktifitas anak sudah mulai meningkat. Pada penelitian ini dijumpai bahwa trauma gigi paling sering pada anak laki-laki adalah usia 12 tahun yaitu sebanyak 19 anak 13,66 Tabel 4. Pada anak perempuan dijumpai hasil tertinggi adalah usia 12 tahun yaitu sebanyak 12 anak 8,64. Hasil terendah untuk anak laki-laki dijumpai pada anak usia 6 tahun yaitu sebanyak 4 anak 2,89 dan untuk anak perempuan hasil terendah dijumpai pada anak usia 6 tahun dan 7 tahun yaitu masing-masing 3 anak 2,15.Tingginya prevalensi pada anak laki-laki usia 12 tahun karena anak lebih aktif bermain, berolahraga dan mereka lebih memiliki banyak aktitas maka resiko terjadinya trauma lebih besar. 16,18,19 Hasil penelitian ini mendapatkan jumlah gigi yang terkena trauma adalah sebanyak 150 gigi. Gigi insisivus sentralis maksila kiri merupakan elemen gigi yang paling sering terkena trauma yaitu sebanyak 34,67 Tabel 5 diikuti insisivus sentralis maksila kiri sebanyak 14,67, insisivus sentralis maksila kanan sebanyak 14,67 insisivus sentralsi mandibula kiri sebanyak 12,0. Gigi yang paling sedikit terjadi trauma yaitu kaninus maksila kiri sebanyak 0,67 diikuti kaninus mandibula kanan sebanyak 1,33. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Othman, dkk yang menyatakan bahwa gigi insisivus sentralis atas lebih sering terkena trauma. Gigi insisivus sentralis atas lebih sering terkena trauma sering kali dikaitkan dengan protrusi dan penutup bibir yang tidak adekuat. Keadan ini sering dijumpain peneliti pada beberapa anak yang mengalami trauma pada gigi insisivus sentralis. 1,8 Hasil penelitian ini menemukan terjatuh sebagai sebab utama dari trauma gigi permanen anterior yaitu sebanyak 32,66 Tabel 6, lalu diikuti oleh trauma ketika berolahraga yaitu 24,0. Hal ini sesuai dengan pernyataan Glendor bahwa terjatuh merupakan penyebab utama dari trauma gigi. Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Patel MC, dkk dan Bastone EB, dkk yang menyatakan terjatuh merupakan penyebab trauma yang paling sering terjadi diikuti oleh kecelakaan dan bermain. Melihat hal tersebut The American Academy of Pediatry Dentistry AAPD menganjurkan penggunaan alat pelindung ketikan beraktifitas yang dapat mendistribusikan kekuatan sehingga mencegah terjadinya trauma terhadap gigi, rahang, lidah, bibir, dan pipi yang dikenal sebagan mouthguard. Penyebab lain trauma gigi yaitu bermain, kecelakaan dan kendaraan. 2,3,7,15,16 Trauma gigi yang paling sering terjadi disekolah sebanyak 48 dan dirumah sebanyak 36 Tabel 7. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar aktifitas anak berada disekolah maupun dirumah,hal ini sesuai dengan penelitian Glendor, dkk menyatakan lokasi terjadi trauma pada anak sering terjadi disekolah ataupun dirumah setelah itu di jalan, di tempat olahraga dan ditempat umum lainnya, hal ini karena anak lebih banyak menghabiskan waktunya disekolah dan dirumah daripada dilokasi lainnya hal berbeda dijumpai pada Bastone, dkk menyatakan bahwa trauma gigi permanen paling sering terjadi dirumah maupun disekolah. Tempat lain yang menjadi lokasi terjadinya trauma yaitu di jalan raya dan di tempat olahraga. 3,15,16 Penelitian ini menunjukkan bahwa fraktur enamel merupakan kasus yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak 51,33 diikuti oleh fraktur enamel dentin yaitu sebanyak 29,34 kasus, fraktur mahkota kompleks 10,67 kasus, lalu luksasi intrusi sebanyak 4,0 kasus, luksasi ekstrusi sebanyak 3,33 kasus dan terendah avulsi sebanyak 1,33 Tabel 8. Penelitian ini tidak jauh dengan beda dengan penelitian Patel Mc, dkk yang mendapatkan fraktur enamel sebanyak 46,7 lalu diikuti fraktur enamel- dentin sebanyak 35,45 kasus, fraktur mahkota kompleks sebanyak 12,71 kasus, dan avulsi sebanyak 2,69 kasus. Presentase hasil peneltian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Nooshen Asim Khan dkk di Pakistan yang mendapatkan fraktur enamel sebanyak 14,85 kasus sementara De Costa dkk di Brazil mendapatkan hasil yang lebih rendah yaitu sebanyak 7,6 kasus. Penelitian diatas menunjukkan fraktur enamel merupakan kasus trauma paling sering yang dialami lalu diikuti fraktur enamel-dentin dan fraktur mahkota kompleks. 7,9,12 Pada penelitian ini mendapatkan sebanyak 80 Tabel 9, kasus trauma gigi pada anak yang hanya dibiarkan saja oleh orang tua dan hanya 20 kasus yang dibawa kedokter gigi untuk melakukan penambalan. Banyaknya kasus trauma yang tidak dirawat mungkin disebabkan karena kurangnnya kesadaran akan kesehatan gigi, hal tersebut dapat terjadi karena perawatan trauma gigi yang mahal dan dikarenakan kasus dalam penelitian ini didominasi oleh fraktur enamel yang tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak menganggu kualitas hidup anak maka para orang tua malas untuk memeriksanya kedokter gigi.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN