Pembahasan .1 Gambaran Stres Akulturasi Mahasiswa Papua yang Menjalani
5.2 Pembahasan 5.2.1 Gambaran Stres Akulturasi Mahasiswa Papua yang Menjalani
Perkuliahan di Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian yang didapatkan yaitu bahwa sebagian besar mahasiswa Papua yang menjalani perkuliahan di Universitas Sumatera Utara mengalami stres
akulturasi dengan kategori rendah yaitu sebanyak 52 orang 92,9, dan hanya 4 orang 7,1 yang mengalami stres akulturasi dengan kategori tinggi. Hasil
tersebut membuktikan bahwa sebagian besar mahasiswa Papua yang menjalani perkuliahan di Universitas Sumatera Utara mampu untuk bersosialisasi dengan
budaya dan lingkungan baru dan juga tidak memiliki masalah patologis akibat dari stres akulturasi yang mereka rasakan. Hasil tersebut bertentangan dengan
penelitian Hapsari Primastuti 2014 yang menyatakan bahwa Mahasiswa Papua merasa kesulitan untuk bersosialisasi di lingkungan orang-orang yang
berasal dari daerah lain, seperti disaat perkuliahan ia merasa kesulitan untuk mendapatkan kelompok untuk mengerjakan tugas, bahkan pernah sampai tidak
mendapatkan kelompok dan mengerjakannya sendirian.Namun dari hasil tersebut juga didapatkan bahwa ada beberapa mahasiswa Papua yang menjalani
perkuliahan di Universitas Sumatera Utara yang mungkin karena faktor individunya belum mampu untuk beradaptasi akulturasi yang rendah yang
ditandai adanya reaksi negatif yang mereka rasakan dari masyarakat dan mahasiswa lokal yang bukan Papua sehingga membuat mereka mudah tegang
emosi dan lebih memilih untuk lebih sering berkumpul dan berinteraksi dengan mahasiswa satu etnis dengan mereka.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 30 orang 53,6 sebagian besar mengalami stres akulturasi
rendah yaitu sebanyak 29 orang 51,8. Hasil tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa mahasiswa berjenis kelamin perempuan
memiliki keterampilan sosial yang lebih baik untuk mengatasi stres akulturasilebih kompromi Pacleb Collins, 2014.Berdasarkan hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa dari 4 orang 7,1 yang mengalami stres akulturasi tinggi, 3 orang 5,3 diantaranya berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut
menunjukkan bahwa laki-laki memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami stres akulturasi dengan kategori tinggi dibandingkan perempuan. Hasil yang didapatkan
juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa mahasiswa laki-laki memiliki sifat dominan yang sering menimbulkan konflik dari berbagai
budaya stres akulturasi dan memiliki keterampilan sosial yang rendah dari pada perempuan Pacleb Collins,2014.
Hasilpenelitian menunjukkan bahwa responden terbanyak terdapat pada umur 20 tahun 17 orang yaitu remaja akhir yangberkontribusi tinggi dalam mengalami
stres akulturasi rendah sebanyak 14 orang 82,35dan juga berkontribusi tinggidalam mengalami stres akulturasi tinggi sebanyak 3 orang 17,65. Pada
umur remaja akhir terjadi perkembangan mental yang pesat Perkembangan mental pada usia remaja akhir mengakibatkan kemampuan remaja untuk menghipotesis
apapun yang berhubungan dengan hidupnya dan lingkungannya juga meningkat Wong’s Hockenberry, 2007. Sedangkan menurut Potter Perry 2005
remaja akhir mampu berhadapan dengan suatu kondisi yang bersifat abstrak. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif menurut Piaget dimana tahapan remaja merupakan tahapan operasional Wong’s, 2001, dimana remaja mungkin
mengalami kebingungan antara ideal dan praktik sama halnya seperti mahasiswa yang merupakan bagian dari usia remaja akhir. Menurut Aksel, Gun, Irmak,
Turkan Cengela, 2007 dalam Angelika, 2013, Anak dan remaja yang bermigrasi beresiko tinggi terhadap perubahan lingkungan. Migrasi yang terlalu
jauh jaraknya serta memiliki atmosfir budaya dan sosial yang sangat jauh berbeda dengan daerah asal kelahiran akan membuat penyesuaian diri semakin sulit dan
menyebabkan perbedaan kesejahteraan psikologis pada remaja migran. Hasil penelitian yang diperoleh juga menunjukkan bahwa responden pada
angkatan pertama tahun 2012 sebanyak 11 orang 100 seluruhnya memiliki tingkat stres akulturasi rendah sama dengan angkatan 2015 sebanyak 21 orang
100 yang merupakan angkatan pertama sekali yang terpapar dengan lingkungan baru yang seluruhnya juga memiliki stres akulturasi rendah.Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan stres akulturasi yang signifikan yang dirasakan oleh mahasiswa Papua tahun 2015 yang baru terpapar dengan
lingkungan yang baru. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya yang mendapatkan hasil bahwa lingkungan merupakan faktor
tertinggi penyusun stres pada mahasiswa tahun pertama dimana mahasiswa merasakan sulit untuk beradaptasi saat memasuki lingkungan dan suasana baru
Nurmaningtyasih, 2015. Tetapi berdasarkan teori bahwa bervariasinya tingkat stres akulturasi tersebut merupakan hasil dari pengalaman akulturasi dan
tergantung pada sejumlah faktor perantara, termasuk diantaranya karakter dari
Universitas Sumatera Utara
kelompok dominan tuan rumah, sosial dan karakteristik psikologis dari kelompok dan anggota kelompok. Berry, 2006.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mahasiswa Papua mudah tegang jika orang lain berbicara negatif tentang budayanya yaitu sebanyak 43 orang
76,8. Hasil tersebut menunjukkan bahwa emosi mahasiswa Papua meningkat disaat mereka merasakan adanya reaksi negatif dari mahasiswa dan masyarakat
lokal. Menurut Shiraev Levy 2012 pengalaman dan perasaan emosi negatif para pendatang ketika berhubungan dengan anggota dari kelompok etnis tertentu
sebagai masyarakat lokal mayoritas, menyebabkan munculnya prasangka terhadap semua anggota kelompok etnis tersebut. Akhirnya, muncul keengganan para
pendatang untuk memulai dan menjalin kontak secara dekat dengan masyarakat lokal dan cenderung lebih memilih berkumpul dengan kelompok asal partisipan,
karena kelompok sesama mahasiswa Papua dapat memberi dukungan sosial dan emosional kepada para partisipan.
Berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh bahwa sebanyak 38 orang 67,9 mahasiswa Papua merasakan tidak nyaman saat kehilangan kontak
dengan teman-teman Papua. Dari hasil tersebut menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa Papua merasa lebih nyaman jika berada di dalam kelompoknya
sendiri Papua dari pada bergabung dengan orang lain yang bukan Papua. Menurut Wijanarko Syafiq, 2013 kecenderungan untuk lebih bergaul hanya
dengan sesama mahasiswa Papua menyebabkan terjadinya hambatan interaksi terhadap orang lain yang bukan Papua yang menimbulkan dampak personal
maupun sosial bagi mahasiswa Papua tersebut. Keengganan berhubungan dekat
Universitas Sumatera Utara
dengan mahasiswa atau orang lain yang bukan Papua menjadi dampak sosialnya. Komunikasi interpersonal mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan
seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosiobudayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami dan
merespon lingkungan. Menurut Shiraev Boyd dalam Shiraev Levy, 2012 kekurangan dan kesulitan berkomunikasi dapat menimbulkan frustasi dan
perasaan terasing. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa sebanyak 34 orang 60.7
mahasiswa Papua merasa orang lain yang bukan Papua berbicara negatif tentang budayanya. Dari hasil tersebut menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa
Papua merasakan adanya diskriminasi yang berpotensi untuk terjadinya stres akulturasi pada mahasiswa Papua yang menjalani perkuliahan di USU.Menurut
Berry, dkk 2006pengalaman-pengalaman interaksi yang tidak menyenangkan seperti menjadi korban diskriminasi akan membuat masyarakat pendatang enggan
untuk lebih dekat dengan masyarakat lokal dan membuat mereka lebih berfokus pada kelompok etnis mereka sendiri. Hasil penelitian ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Wijanarko Syafiq 2013 kepada mahasiswa Papua dimana hasil penelitiannya menunjukkan para partisipan juga melaporkan
bahwa mahasiswa dan masyarakat lokal yang bukan Papua cenderung memandang mereka secara negatif. Para partisipan mempersepsi bahwa perbedaan
fisik dan warna kulit serta logat bahasa mereka sering menjadi sasaran perhatian dan pembicaraan. Persepsi tersebut membuat mereka merasa asing. Akulturasi
akan lebih sulit pada orang-orang yang menghadapi stigma dalam perbedaan
Universitas Sumatera Utara
warna kulit dan bahasa. Sekalipun stigma tersebut belum dapat dipastikan dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat lokal, hanya persepsi dan perasaan
para partisipan bahwa mereka menjadi target stigma seperti itu saja sudah cukup untuk menghambat adanya interaksi sosial yang baik dengan mahasiswa dan
masyarakat lokal Padila Perez, 2003.