Identifikasi Fungi Endemik dan Pemanfaatannya untuk Meningkatkan Pertumbuhan Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis) Di Tanah Gambut

(1)

IDENTIFIKASI FUNGI ENDEMIK DAN PEMANFAATANNYA

UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BEBERAPA KLON

KARET (

Hevea brasiliensis

) DI TANAH GAMBUT

HASIL PENELITIAN

Oleh :

SARMILA

091201025/BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRACT

SARMILA. Fungi Species Identification and Its Usage to Increase Growth of Several Kinds of Rubber Clones (Hevea brasiliensis) on Peat Soil, supervised by Budi Utomo and YUNASFI.

Peat soils have a high organic compounds that can be stored and released in the form of element by using soil microbial called fungi. The purpose of this experiment was to detected the type of fungi that can increasing seedlings of Hevea brasiliensis’s growth.

Soil samples were taken from peat soil at Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. This experiment used Factorial Completely Randomized Design with 20 treatments and 3 replications. and conducted in September 2013 to March 2014. Fungi that can be isolated were Rhizhopus sp., Trichoderma sp., Fusarium sp., And Penicillium sp. Fungi were used was endemic fungi from peat soil at Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Parameters measured were plant height, stem diameter, leaf surface area, and total dry weight.

The results showed that the use of fungi affected significantly on growth of plant height, stem diameter, leaf surface area, and Hevetotal dry weight of Hevea brasiliensis’s plant.

Keywords: Endemic fungi, peat soil, Rhizhopus sp., Penicillium sp., Fusarium sp., Trichoderma sp.


(3)

ABSTRAK

SARMILA. Identifikasi Fungi Endemik dan Pemanfaatannya untuk Meningkatkan Pertumbuhan Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis) Di Tanah Gambut, dibimbing oleh BUDI UTOMO dan YUNASFI

Tanah gambut memiliki senyawa organik yang tinggi yang tersimpan dan dapat dibebaskan dalam bentuk unsur dengan menggunakan jasa mikroba tanah yaitu fungi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi jenis fungi yang mampu meningkatkan pertumbuhan bibit Hevea brasiliensis.

Sampel tanah diambil dari tanah gambut Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 20 perlakuan dan 3 ulangan dan dilaksanakan bulan September 2013 sampai dengan bulan Maret 2014. Fungi yang berhasil diisolasi adalah Rhizhopus sp., Trichoderma sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp. Fungi yang digunakan adalah fungi endemik dari tanah gambut Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, luas permukaan daun, dan berat kering total.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fungi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, diameter tanaman, luas permukaan daun, dan berat kering total tanaman Hevea brasiliensis.

Kata Kunci: Fungi endemik, tanah gambut, Rhizhopus sp., Penicillium sp., Fusarium sp., Trichoderma sp.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian

yang berjudul Identifikasi Jenis Fungi Endemik dan Pemanfaatannya untuk

Meningkatkan Pertumbuhan Beberapa Klon Karet (

Hevea Brasiliensis

) Di Tanah

Gambut. Penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana di

Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa menghanturkan terima kasih kepada Dr. Budi Utomo S.P, M.P selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir Yunasfi, M. Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan dan saran dalam menyelesaikan hasil penelitian ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang telah diberikan. Amin.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRACK ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Karet (Hevea brasiliensis) ... 5

Penyebaran Karet...5

Syarat Tumbuh Tanaman Karet...7

Klon – klon Karet Rekomendasi...9

Deskripsi Gambut... ... 10

Karakteristik Gambut... ... 11

Sifat-Sifat Tanah Gambut …….. ... 12

Pengenalan Fungi.... ... 14


(6)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian... ... 19

Bahan dan Alat Penelitian... ... 19

Prosedur Penelitian ………… ... 20

Pengambilan Sampel Tanah... ... 20

Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)... ... 20

Isolasi Fungi dari Tanah Gambut ... 20

Pembiakan Murni ... 21

Identifikasi Fungi ... 22

Pembuatan Starter .. ... 22

Persiapan Media Tanam, Penanaman dan Aplikasi Starter... ... 23

Pemeliharaan Tanaman .. ... 23

Pengamatan Parameter ... 25

Analisis Data.... ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Jenis-jenis fungi yang terdapat pada tanah gambut Serba Huta Jaya,

Kecamatan Merbau, Aek Kanopan yang berhasil diisolasi... ... 28

Karakteristik jenis-jenis fungi dominan pada tanah gambut.. ... 28

Rhizhopus

sp.. ... 28

Fusarium

sp... ... 30

Trichoderma

sp... ... 31

Penicillium

sp.. ... 32

B.

Pertumbuhan

Hevea brasiliensis

setelah Aplikasi Berbagai Fungi.. ... 34

Pembahasan... ... 38

Tinggi Tanaman.. ... 38

Diameter Batang.. ... 40

Luas Permukaan Daun.. ... 41

Berat Kering Total.. ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .... ... 45


(7)

DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1.

Jenis fungi yang berhasil diisolasi dari tanah gambut dan ciri-cirinya... 28

2.

Hasil Duncan Tinggi, Diameter, dan Berat Kering Total

Tanaman...35


(9)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1.

Lokasi pengambilan sampel tanah gambut...18

2.

Cara pengenceran gambut untuk isolasi fungi dan pemurnian fungi pada media

PDA pada cawan petri...24

3.

Cara

membuat

starter

dan

pengaplikasian

starter

pada

bibit

Hevea brasiliensis

...

24

4.

Rhizopus

sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk

mikroskopis (B), konidiofor (a) konidia (b)...29

5.

Fusarium

sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk

mikroskopis (B), konidiofor (a) konidia (b)...30

6.

Trichoderma

sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk

mikroskopis (B), konidia (a) konidiofor (b) ...31

7.

Penicillium

sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk

mikroskopis (B), konidia (a) konidiofor (b) ...33

8.

A: Klon AVROS yang k: Kontrol, a: fungi

Trichoderma

sp., b: fungi

Fusarium

sp., c: fungi

Penicillium

sp., d: fungi

Rhizhopus

sp. B: Klon PB 260

yang k: Kontrol, a: fungi

Trichoderma

sp., b: fungi

Fusarium

sp., c: fungi

Penicillium

sp., d: fungi

Rhizhopus

sp...34

9.

A: Klon PB 340 yang k: Kontrol, a: fungi

Trichoderma

sp., b: fungi

Fusarium

sp., c: fungi

Penicillium

sp., d: fungi

Rhizhopus

sp. B: Klon RRIC yang k:

Kontrol, a: fungi

Trichoderma

sp., b: fungi

Fusarium

sp., c: fungi

Penicillium

sp., d: fungi

Rhizhopus

sp...35

10.

Grafik pertumbuhan tinggi bibit

Hevea brasiliensis

dari minggu ke 1 sampai

minggu ke 9 ...37

11.

Grafik pertumbuhan diameter bibit

Hevea brasiliensis

dari minggu ke 1

sampai minggu ke 9...37


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1.

Analisis ragam penggunaan beberapa jenis klon dan jenis fungi terhadap

pertumbuhan tinggi bibit...49

2.

Analisis ragam penggunaan beberapa jenis klon dan jenis fungi terhadap

pertumbuhan diameter bibit...50

3.

Analisis ragam penggunaan beberapa jenis klon dan jenis fungi terhadap

pertumbuhan luas permukaan daun bibit...51

4.

Analisis ragam penggunaan beberapa jenis klon dan jenis fungi terhadap berat

kering total


(11)

ABSTRACT

SARMILA. Fungi Species Identification and Its Usage to Increase Growth of Several Kinds of Rubber Clones (Hevea brasiliensis) on Peat Soil, supervised by Budi Utomo and YUNASFI.

Peat soils have a high organic compounds that can be stored and released in the form of element by using soil microbial called fungi. The purpose of this experiment was to detected the type of fungi that can increasing seedlings of Hevea brasiliensis’s growth.

Soil samples were taken from peat soil at Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. This experiment used Factorial Completely Randomized Design with 20 treatments and 3 replications. and conducted in September 2013 to March 2014. Fungi that can be isolated were Rhizhopus sp., Trichoderma sp., Fusarium sp., And Penicillium sp. Fungi were used was endemic fungi from peat soil at Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Parameters measured were plant height, stem diameter, leaf surface area, and total dry weight.

The results showed that the use of fungi affected significantly on growth of plant height, stem diameter, leaf surface area, and Hevetotal dry weight of Hevea brasiliensis’s plant.

Keywords: Endemic fungi, peat soil, Rhizhopus sp., Penicillium sp., Fusarium sp., Trichoderma sp.


(12)

ABSTRAK

SARMILA. Identifikasi Fungi Endemik dan Pemanfaatannya untuk Meningkatkan Pertumbuhan Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis) Di Tanah Gambut, dibimbing oleh BUDI UTOMO dan YUNASFI

Tanah gambut memiliki senyawa organik yang tinggi yang tersimpan dan dapat dibebaskan dalam bentuk unsur dengan menggunakan jasa mikroba tanah yaitu fungi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi jenis fungi yang mampu meningkatkan pertumbuhan bibit Hevea brasiliensis.

Sampel tanah diambil dari tanah gambut Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 20 perlakuan dan 3 ulangan dan dilaksanakan bulan September 2013 sampai dengan bulan Maret 2014. Fungi yang berhasil diisolasi adalah Rhizhopus sp., Trichoderma sp., Fusarium sp., dan Penicillium sp. Fungi yang digunakan adalah fungi endemik dari tanah gambut Dusun 12 Belungkut, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang, luas permukaan daun, dan berat kering total.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan fungi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, diameter tanaman, luas permukaan daun, dan berat kering total tanaman Hevea brasiliensis.

Kata Kunci: Fungi endemik, tanah gambut, Rhizhopus sp., Penicillium sp., Fusarium sp., Trichoderma sp.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki lahan perkebunan karet nasional sebesar 3,47 juta Ha dengan produktifitas karet nasional mencapai 2.622.836 ton/tahun dan produktifitas rata – ratanya sebesar 0,75 ton/Ha/tahun. Produktifitas karet Indonesia tersebut 85 % bersumber dari Perkebunan Rakyat (PR) dengan luas lahan 2,93 juta Ha dan produksi mencapai 2.123.629 ton/tahun dengan produksi rata – rata 0,73 ton/Ha/tahun, Perkebunan Negara dengan luas lahan 249.470 Ha dan produksi mencapai 242.358 ton/tahun dengan produksi rata – rata 0,97 ton/Ha/tahun, dan Perkebunan Swasta dengan luas lahan 288.781 Ha dan produksi mencapai 256.849 ton/tahun dengan produksi rata – rata 0,89 ton/Ha/Tahun. Potensi produktifitas karet yang besar ini dapat ditingkatkan dengan cara menggunakan klon-klon unggulan yang diusulkan oleh intensitusi yang melakukan riset penelitian yaitu Balai Penelitian Sungei Putih. Kemudian dengan cara menggunakan lahan tidur atau lahan yang tidak termanfaatkan dan mengkonversi kembali kawasan hutan yang terlanjur dialih fungsikan oleh masyarakat menjadi perkebunan kelapa sawit untuk dikembalikan ke fungsi semula (Budiman, 2012).

Karet telah dikenal sebagai salah satu tanaman kehutanan yang diusulkan sebagai tanaman penghijauan. Berkurangnya luas hutan sekarang akibat konversi hutan menjadi kelapa sawit telah menyebabkan rusaknya kawasan hutan. Areal hutan yang telah menjadi kelapa sawit harus dikonversi kembali ke fungsi awalnya yaitu fungsi hutan. Oleh sebab itu pemerintah membuat solusi berupa Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Rakyat sebagai penyelesaian. Upaya ini diharapkan dapat mengembalikan fungsi kawasan hutan, tetapi tetap tidak menghambat aspek keaktifan masyarakat untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari hutan itu sendiri.


(14)

Kawasan atau lahan yang beralih fungsi tersebut mencakup sebaran wilayah yang luas termasuk tanah gambut, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencari klon yang sesuai pertumbuhannya di tanah gambut yang banyak memiliki keterbatasan, seperti kandungan unsur hara yang sangat sedikit, tanah yang bersifat asam, dan tidak kuat menahan beban berat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan adalah dengan menggunakan fungi dekomposer yang diharapkan mampu merubah sifat fisik dan kimia tanah gambut ini secara cepat dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karet.

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 26 juta Ha. Hampir seluruh lahan gambut yang ada di Indonesia tersebut sebagian besar terdapat di Sumatera seluas 8,9 juta Ha yang berada di Pantai Timur, Pulau Kalimantan seluas 6,3 juta Ha yang berada di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, dan Pulau Papua seluas 10,9 juta Ha. Tanah gambut merupakan media yang kaya bahan organik dimana kandungan bahan organik tanah gambut lebih dari 65% (Noor, 2001).

Kondisi lahan gambut kaya senyawa organik namun sedikit unsur hara. Ketersediaan senyawa organik yang tinggi di lahan gambut merupakan modal yang tersimpan dan dapat dibebaskan dalam bentuk unsur dengan menggunakan jasa mikroba tanah. Fungi, bakteri, atau jenis-jenis protozoa merupakan mikroba tanah yang dapat menguraikan senyawa organik menjadi unsur hara, dengan ketersedian unsur hara maka pertumbuhan tanaman semakin baik.

Fungi merupakan kelompok dekomposer yang menyukai substrat yang mengandung karbohidrat. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya jenis fungi seperti

Aspergillus sp., Curvularia sp., Fusarium sp., Mucor sp., dan Penicilum sp di tanah gambut dari Desa Sei Siarti (Saragih, 2008), dan Trichoderma sp. pada serasah batang kayu yang sudah lapuk di lahan gambut (Samosir, 2009). Tanjung (2013) menemukan


(15)

fungi Aspergillus sp., Penicillium sp., dan Rhizhopus sp. di tanah gambut dan membuktikan bahwa fungi – fungi tersebut dapat membantu meningkatkan pertumbuhan tanaman Shorea platyclados di tanah gambut, karena itu perlu dilakukan percobaan lanjutan pada tanaman yang berbeda yaitu Hevea brasiliensis.

Dalam rangka mempercepat dekomposisi bahan organik perlu dilakukan identifikasi fungi yang terdapat pada tanah gambut, sehingga diketahui fungi yang diperkirakan mempunyai peranan dalam proses dekomposisi di tanah gambut. Fungi yang diidentifikasi diaplikasikan ke tanaman karet (Hevea brasiliensis) lalu diamati pertumbuhannya dan fungi yang paling berperan dalam mempercepat pertumbuhan karet (Hevea brasiliensis).

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendapatkan jenis-jenis fungi endemik pada tanah gambut.

2. Untuk menguji fungi yang mampu meningkatkan pertumbuhan karet (Hevea brasiliensis) pada tanah gambut.

Hipotesis

Pemberian fungi dalam bentuk tunggal dapat memberi pengaruh pada pertumbuhan karet (Hevea brasiliensis) pada tanah gambut.


(16)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan oleh para petani karet untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman karet agar menjadi lebih baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang fungi yang mampu meningkatkan pertumbuhan karet (Hevea brasiliensis).


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Karet (Hevea brasiliensis)

Penyebaran Karet

Tanaman karet berasal dari negara Brazil lalu menyebar ke Nepal, India, Pakistan, Banglades, Sri Langka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Cina Selatan. Setelah percobaan berkali-kali dilakukan oleh Henry Wickham, tanaman karet berhasil dikembangkan di Asia Tenggara. Tanaman karet di Indonesia, Malaysia dan Singapura mulai dibudidayakan sejak tahun 1876. Tanaman karet di Indonesia pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor (Wibowo, 2008).

Karet dengan marga Euphorbiaceae merupakan jenis pohon yang cepat

tumbuh dengan nama lokal Rambung. Tanaman karet (

Hevea brasiliensis

Muell.)

merupakan tanaman perkebunan yang penting di Indonesia, karena merupakan

salah satu produk non migas yang menjadi sumber pemasukan devisa negara

dalam jumlah yang besar. Hasil utama tanaman karet adalah getah (lateks). Lateks

tersebut berperan besar sebagai bahan baku, mulai dari peralatan transportasi,

medis, dan alat-alat rumah tangga. Perkembangan teknologi dan industri yang

semakin maju menyebabkan penggunaan karet alam semakin luas dalam

kehidupan sehari-hari. Hal ini secara langsung mendorong peningkatan konsumsi

karet dunia serta permintaan terhadap karet alam.


(18)

Dalam sistematika (taksonomi) menurut (Setyamidjaja, 1993), tanaman karet diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Family : Euphorbiaceae Genus : Hevea

Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg.

Dalam genus Hevea, hanya species Hevea brasiliensis Muell Arg. yang dapat menghasilkan lateks unggul dan 90% produksi karet alam dihasilkan oleh species tersebut. Tanaman karet adalah pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Beberapa kebun karet memiliki kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun (Budiman, 2012).

Panjang tangkai daun utama 3 – 20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3 – 10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing, tepinya rata dan gundul. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jumlah biji biasanya ada tiga atau enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras.


(19)

Warnanya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet adalah akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi (Budiman, 2012).

Pohon karet yang masih produktif berumur mulai dari 5 – 25 tahun. Pohon karet yang sudah berumur di atas 25 tahun tidak produktif lagi dan harus diremajakan kembali. Batang karet yang ditebang dapat dimanfaatkan sebagai bahan industri mebel mengingat banyaknya pohon-pohon hutan yang perlu dilestarikan sehingga pohon karet dapat dijadikan sebagai kayu pengganti di industri mebel.

Syarat Tumbuh Tanaman Karet

Pada dasarnya tanaman karet memerlukan persyaratan terhadap kondisi iklim untuk menunjang pertumbuhan dan keadaan tanah sebagai media tumbuhnya. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona antara 15° LUdan 15° LS. Di luar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai produksinya juga terlambat. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun, dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 HH/tahun. Namun jika sering hujan pada pagi hari maka kegiatan penyadapan akan terhambat sehingga produksi lateks akan berkurang. Tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 200 m dari permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari permukaan laut tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman karet. Suhu optimal yang diperlukan berkisar antara 25° C sampai 35° C.Kecepatan angin yang terlalu kencang pada umumnya kurang baik untuk penanaman karet (Budiman, 2012).

Menurut Budiman (2012), lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mensyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini disebabkan tindakan perbaikan sifat kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan


(20)

sifat fisiknya. Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3,0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan > pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain :

• Solum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas

• Aerase dan drainase cukup

• Tekstur tanah remah, porous dan dapat menahan air

• Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir

• Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm

• Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro

• Reaksi tanah dengan pH 4,5 - pH 6,5

• Kemiringan tanah < 16% dan

• Permukaan air tanah < 100 cm.

Tanaman karet dapat menghasilkan oksigen dan biomassa yang dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman karet paling tidak selama 30 tahun.


(21)

Klon-klon Karet Rekomendasi

Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam Indonesia sebesar 3 – 4 juta ton/tahun pada tahun 2005. Sasaran produksi tersebut hanya dapat dicapai apabila minimal 85% areal kebun karet rakyat yang saat ini kurang produktif berhasil diremajakan dengan menggunakan klon karet unggul. Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia telah banyak menghasilkan klon-klon unggulan sebagai penghasil lateks dan penghasil kayu. Klon – klon unggul baru generasi ke – 4 untuk periode tahun 2006 – 2010 telah direkomendasikan pada lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 2005 yaitu klon: IRR (Indonesian Rubber Research) 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 104, IRR 112 dan IRR 118. Klon IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan pelepasannya, sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi. Klon-klon tersebut menunjukkan produktivitas variasi karakter agronomi dan sifat-sifat sekunder lainnya. Untuk itu penggunaan bibit harus dipilih dengan cermat, klon-klon mana yang sesuai agroekologi, wilayah pengembangan dan jenis-jenis produk karet yang akan dihasilkan. Klon-klon lama yang sudah dilepas yaitu GT (Gondang Tapen) 1, AVROS (Algemene Vereniging Rubber Planters Oostkust Sumatra) 2037, PR (Proefstation voor Rubber) 255, PR 261, PR 300, PR 303, RRIM (Rubber Research Institut of Malaysia) 600, RRIM 712, BPM (Balai Penelitian Medan) 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB (Prang Besar) 260, RRIC (Rubber Research Institut of Ceylon) 100, masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati baik dalam penempatan lokasi maupun sistem pengelolaan. Sedangkan klon BPM 1, PR 255, PR 261 memiliki masalah dengan mutu lateks sehingga pemanfaatan lateksnya terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260 sangat peka terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau panjang (Anwar, 2001).


(22)

Deskripsi Gambut

Gambut dalam Bahasa Inggris disebut peat, bog, moor, mire dan fen. Istilah gambut di Indonesia diambil dari kosa kata bahasa Kalimantan Selatan (Suku Banjar) yang berarti material dan bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya mengalami sedikit perombakan (Noor, 2001).

Menurut Andresse (1988), gambut adalah tanah organik, tetapi tidak semua tanah organik disebut tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian asli tumbuhan tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya banyak disebut tanah bergambut. Petani dari Kalimantan Barat menamakan tanah ini dengan sebutan sepuk. Gambut juga sering disebut rawa gambut yang diartikan sebagai lahan basah. Namun tidak berarti semua lahan basah adalah lahan rawa atau lahan gambut.

Menurut Soil Survey Staff (2003), berdasarkan ketebalannya gambut dibedakan menjadi empat kelas:

1. Gambut dangkal, dengan ketebalan 0,5 – 1,0 m 2. Gambut sedang, dengan ketebalan 1,0 – 2,0 m 3. Gambut dalam, dengan ketebalan 2,0 – 3,0 m 4. Gambut sangat dalam, dengan ketebalan > 3,0 m.

Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomi), tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral umumnya. Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor, 2001).


(23)

Karakteristik Gambut

Karakteristik gambut berdasarkan proses awal pembentukannya sangat ditentukan oleh unsur dan faktor berikut:

• Jenis tumbuhan (evolusi pertumbuhan flora), seperti lumut (moss), rumput (herbaceous) dan kayu (wood).

• Proses humifikasi (suhu/iklim).

• Lingkungan pengendapan (paleogeografi).

Semua sebaran endapan gambut berada pada kelompok sedimen alluvium rawa zaman kuarter Holosen. Lokasi gambut umumnya berada dekat pantai hingga puluhan kilometer ke pedalaman. Ketebalan maksimum gambut yang pernah diketahui mencapai 15 m di Riau. Kadar air tanah gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya yang berarti bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya (Mutalib et al, 1991 dalam Tanjung, 2013). Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 g/cm3 sampai 0,2 g/cm3 tergantung pada tingkat dekomposisinya.

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering dengan kadar air < 100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi jika dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering. Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu atau arang yang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali (Salampak, 1999).


(24)

Sifat-sifat Tanah Gambut

Beberapa sifat penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah bahan penyusunnya berasal dari kayu-kayuan, selalu tergenang air, sifat menyusut dan penurunan permukaan gambut (subsidence) karena drainase, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang rendah.

Sifat fisik gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung tahap dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm) dan porositas total 75%-95% menyebabkan terbatasnya alat-alat pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak, 2000). Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Sing dkk, 1986).

Menurut Noor (2001) berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

1. Fibrik : gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan banyaknya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam, diameter antara 0,15 mm sampai 200 mm. Gambut fibrik dapat ditemukan pada lapisan paling bawah di lahan gambut.

2. Hemik : bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat setengah matang (antara fibrik dan hemik).

3. Saprik : bahan gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang. Gambut saprik terdapat pada lapisan paling atas di lahan gambut.


(25)

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung bermacam – macam asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara.

Keasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam amino organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karbosilat yang mengakibatkan keasaman gambut meningkat. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat dapat meracuni tanaman pertanian. Jika tanah lapisan bawah mengandung pirit, pembuatan parit drainase dengan kedalaman mencapai lapisan pirit akan menyebabkan pirit teroksidasi dan menyebabkan meningkatnya keasaman gambut (Sabiham, 1993).

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilaksanakan dengan menambahkan bahan-bahan yang mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu, dan Zn. Kation- kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan ameliorant gambut (Sabihan et al, 1997; Saragih 1996).


(26)

Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5 karena tanah gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan- bahan ameliorant yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999).

Pengenalan Fungi

Trichoderma merupakan salah satu fungi yang dapat dijadikan agen biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat patogen. Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan, parasitisme, predasi, atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Beberapa penyakit tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi Trichoderma. Trichoderma sp. menghasilkan enzim kitinase yang dapat membunuh patogen sehingga fungi ini sangat cocok digunakan dalam mengelola lahan bekas pertambangan untuk kembali melestarikannya (Tjandrawati dkk, 2003).

Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting bagi tanaman yaitu nitrogen, fosfat, dan kalium seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba. Mikroba dapat melarutkan fosfat apabila unsur nitrogen tercukupi. Unsur N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya agar tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas ( simbiotik). Mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Bahan organik banyak mengandung unsur P, namun hanya sedikit atau tidak tersedia bagi


(27)

tanaman. Unsur P yang terkandung di dalam bahan organik akan dilepaskan oleh mikroba pelarut fosfat dan menyediakannya bagi tanaman. Jenis mikroba yang mampu melarutkan P antara lain Aspergillus sp., dan Penicillium sp. Mikroba yang memiliki kemampuan tinggi dalam melarutkan P umumnya juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam melarutkan K (Sumarsih, 2003).

Dari hasil penelitian yang dilakukan terungkap bahwa fungi Penicillium,

Rhizhopus, dan Fusarium memiliki potensi sebagai penghasil glukosa oksidase dengan aktivitas yang cukup tinggi. Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa semakin banyak karbohidrat yang dihasilkan dan tersedia di dalam tanah akan meningkatkan laju pertumbuhan sel-sel dan dengan semakin banyak sel-sel baru yang terbentuk maka pertumbuhan tanaman terutama pertambahan diameter batang akan meningkat (Firman dan Arynantha, 2003).

Manfaat Trichoderma sp. antara lain menghasilkan sejumlah besar enzim ekstraseluler glukanase dan kitinase yang dapat melarutkan dinding sel fungi patogen serta menyerang dan menghancurkan propagul patogen yang ada di sekitarnya.

Trichoderma viridae menghasilkan 2 jenis antibiotik yaitu gliotoksin dan viridian yang dapat melindungi tanaman bibit dari serangan penyakit rebah kecambah (Rifai, 1969), aman bagi lingkungan, hewan maupun manusia karena tidak menimbul residu bahan kimia, serta mampu merangsang pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman. Secara ekonomi, penggunaan Trichoderma sp. lebih murah dibandingkan penggunaan pupuk kimia (Amani, 2008).

Menurut Whitelauw dkk. (1999) dalam Ginting dkk. (2009), mikroba pelarut fosfat di dalam aktivitasnya akan membebaskan sejumlah asam-asam organik. Tanaman dapat menyerap hara fosfat dalam bentuk ion H2PO4. Hara fosfat diperlukan dalam proses metabolisme tanaman antara lain untuk merangsang pertumbuhan tanaman,


(28)

perkembangan akar, pertumbuhan buah, pembelahan sel (pertambahan diameter batang), memperkuat batang, dan meningkatkan ketahanan terhadap rebah. Fungi merombak fosfor organik tanah gambut yang sukar larut menjadi unsur hara fosfor yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan karet. Menurut Cuningham dan Kuiack (1992), fosfor merupakan salah satu unsur utama yang diperlukan tanaman dan memegang peranan penting dalam proses metabolisme (Isroi, 2008).

Beberapa mikroorganisme seperti Fusarium sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp.,

Trichoderma sp., Mucor sp., dan Bacillus sp. telah digunakan dalam proses pengomposan. Mikroorganisme ini membantu menyediakan hara nitrogen (N), fosfat (F) dan kalium (K) di tanah secara cepat. Keadaan ini mampu meningkatkan kualitas tanah sehingga kebutuhan nutrisi pada tanaman dapat tersedia, sehingga mampu menjaga kestabilan kelembaban tanah, yang pada akhirnya membantu akar dalam proses penyerapan unsur hara tanah dengan lebih cepat (Putri, 2006).

Beberapa jamur yang biasa ditemukan di tanah diantaranya adalah Penicillium

sp., Trichoderma sp., Rhizhopus sp., Humicola sp., Fusarium sp., Phytophthora infestans., dan Aspergillus sp. Jamur tanah merupakan salah satu mikroorganisme yang paling banyak ditemui di tanah. Kebanyakan jamur bersifat patogen terhadap tanaman (Putri, 2006).

Sebagian besar spora fungi disebarkan oleh aliran udara hingga mencapai jarak tertentu. Aliran udara akan melepaskan spora dari sporofor atau dapat juga terjadi ketika spora akan dikeluarkan secara paksa atau jatuh pada saat matang, dan tergantung pada guncangan dan kecepatan aliran udara yang dapat menyebabkan spora terbawa ke atas secara horizontal dan akan menempel pada inang yang baru dan dapat tumbuh dan berkembang jika kondisi inang tersebut mendukung (Agrios, 1996).


(29)

Asal Tanah Gambut untuk Penelitian

Kabupaten Labuhanbatu Utara adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari

. Ibu kota kabupaten ini

terletak di Labuhanbatu Utara, desa Belongkut dusun 12 kecamatan Merbau.

Aek Kanopan salah satu daerah yang berada di kawasan pantai Timur Sumatera Utara, yang memiliki kawasan gambut seluas 17.998 Ha. Salah satu lokasi pengambilan sampel tanah gambut di Kec. Merbau desa Belongkut dusun 12 yang memiliki hutan rawa gambut seluas 52 Ha yang masih asli. Lokasi ini bercirikan suhu, dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Mata pencaharian penduduk bertani dan berkebunan kelapa sawit yang belakangan ini digalakkan di lahan gambut. Lokasi pengambilan sampel tanah gambut dapat dilihat pada gambar.


(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Sampel tanah gambut diambil dari Desa Belongkut Dusun 12, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Isolasi fungi dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penanaman dilakukan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2013 sampai dengan Maret 2014.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit stump Hevea brasiliensis yang berumur 3 bulan yang diperoleh dari salah satu perkebunan karet yang ada di Desa Sungei Putih dengan jenis klon AVROS, PB 260, PB 340, dan RRIC 100, tanah gambut yang diambil dari desa Belongkut dusun 12, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan, kentang, dekstrosa, agar-agar, streptomycin sulfat, akuades, alkohol dan jagung.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: peta lokasi pengambilan sampel, cawan petri, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, gelas ukur, shaker, autoklaf, laminar flow, inkubator, ose, lampu Bunsen, kompor gas, kukusan, kapas, kertas label, plastik tahan panas, polibag 30 x 35 cm2, aluminium foil, selotif, mikroskop cahaya, kaca benda, kaca penutup, gunting, kamera digital, jangka sorong, meteran, dan timbangan analisis.


(31)

Prosedur Penelitian

1.

Pengambilan sampel tanah

Pengambilan contoh tanah diawali dengan menentukan lokasi

pengambilan contoh tanah secara

purposive sampling

dengan kriteria tanah

gambut yang tidak pernah diberi pupuk (yang masih asli) yang berada di desa

Belongkut dusun 12, Kecamatan Merbau. Berdasarkan kriteria tersebut dilakukan

pengambilan contoh tanah dari 10 titik lokasi di lahan gambut yang masih asli di

desa Belongkut dusun 12, Kecamatan Merbau. Contoh tanah tersebut kemudian

dikompositkan dan dilakukan isolasi mikroorganisme.

2. Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)

Isolasi fungi menggunakan medium PDA (Potato Dextro Agar) yang dibuat sendiri. Sebanyak 200 gr kentang yang telah dikupas dan dibersihkan kemudian diiris tipis-tipis. Kentang direbus selama 15-20 menit dengan air steril secukupnya. Kemudian disaring dengan kain. Filtrat yang diasilkan dimasukkan ke dalam gelas ukur kemudian ditambahkan 20 gr dekstrosa dan ditambahkan 20 gr agar kemudian dimasukkan air steril hingga volumenya menjadi satu liter. Kemudian dipanaskan dan diaduk hingga medium tampak bening. Lalu medium diseterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 oC dan tekanan 2 atm selama 15 menit. Media yang telah diseterilisasi selanjutnya dituang ke dalam cawan petri.

3. Isolasi Fungi Dari Tanah Gambut

Isolasi fungi dilakukan dengan cara ekstrak pengenceran, dengan menggunakan metode agar cawan. Dasar metode cawan adalah asumsi bahwa setiap suatu sel hidup akan membentuk satu koloni, sehingga jumlah koloni-koloni yang muncul dalam cawan petri memiliki jumlah bakteri asal. Agar ketelitian dari pengamatan lebih tinggi, maka


(32)

jumlah koloni dalam cawan petri dibatasi 30-300 koloni. Untuk memperoleh selangan tersebut, maka biakan perlu diencerkan (Hadioetomo, 1990).

Tanah gambut dimasukkan 10 g ke dalam Erlenmeyer yang sudah berisi air steril sebanyak 100 ml kemudian kocok dengan shaker selama 30 menit (ini disebut pengenceran 10-1 ) hal ini untuk memisahkan mikroba dari tanah, kemudian diambil 1 ml dari sampel masukkan ke dalam tabung reaksi 1 yang berisi 9 ml air steril kocok hingga campuran homogen, kemudian ambil 1 ml dari tabung reaksi 1 masukkan ke dalam tabung reaksi II yang berisi 9 ml air steril kocok hingga homogen, kemudian ambil 1 ml dari tabung reaksi II masukkan kedalam tabung reaksi III yang berisi 9 ml air steril kocok hingga campuran homogen. Setelah itu dari tabung reaksi I,II, dan III dituangkan sebanyak 0,1 ml ke dalam cawan petri I dari tabung reaksi I, cawan petri II dari tabung reaksi II, dan cawan petri III dari tabung reaksi III, yang sudah berisi PDA dengan suhu 500 C menggunakan pipet tetes mikro kemudian disebar dengan menggunakan spatula di atas permukaan PDA sampai kering biarkan sampai fungi tumbuh pada media biakan tersebut, ini dilakukan dengan tiga kali ulangan.

4. Pembiakan Murni

Biakan isolasi fungi dari pengenceran yang berasal dari cawan petri I, II, III dilihat pertumbuhan fungi yang paling dominan, dibuat biakan murni. Jenis fungi yang dominan dipindahkan ke dalam cawan petri yang telah diisi PDA terlebih dahulu dan diinkubasi selama 14 hari. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopisnya, yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna koloni dan diameter koloni.

5. Identifikasi Fungi

Biakan murni fungi diremajakan pada media PDA, dan diinkubasi selama 14 hari. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopisnya, yaitu ciri-ciri


(33)

koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna koloni dan diameter koloni. Fungi juga ditumbuhkan pada kaca objek dengan cara membuat potongan agar yang telah ditumbuhi fungi diletakkan pada kaca objek, dan ditutupi dengan gelas penutup. Biakan pada kaca objek ini ditempatkan dalam kotak plastik yang telah diberi pelembab berupa kapas basah. Biakan kaca ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai fungi tumbuh cukup berkembang, kemudian dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop untuk pengambilan data mikroskopis. Diamati dan diidentifikasi fungi yang ada pada mikroskop yang menyangkut bentuk, warna hifa, miselia, konidia, dan jenis fungi. Kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi.

6. Pembuatan Starter

Jagung pecah giling dicuci bersih hingga semua kulit ari dan ampas terbuang lalu ditiriskan. Jagung dikukus selama ± 60 menit, kira-kira hampir matang diangkat. Jagung yang sudah dingin diberi 1 g streptomycin untuk 3 kg jagung. Jagung dimasukkan dalam plastik tahan panas ukuran 1 kg sebanyak masing-masing 300 g, disterilkan dalam autoklaf dengan suhu mencapai 121ºC tekanan 1atm. Jagung dalam plastik dipindahkan ke dalam laminar flow untuk diinokulasi dengan isolat fungi murni yang sudah dibiakkan di media PDA sebelumnya. Fungi di media jagung dibiarkan sampai tumbuh merata di semua bagian jagung. Starter fungi yang sudah berumur ± 2 minggu sudah dapat diaplikasikan ke media tanaman dalam polibag.

Persiapan Media Tanam, Penanaman dan Aplikasi Starter

Media tanam menggunakan tanah gambut yang masih asli (tidak pernah terkena pupuk) yang diambil dari desa Belongkut dusun 12 PT Bat, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan. Sampel tanah sebagian diambil terlebih dahulu untuk dianalisis di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.


(34)

Tanah gambut yang sudah diambil langsung dimasukkan ke dalam polibag agar kondisinya sesuai dengan lingkungan asalnya. Tanah gambut yang dimasukkan ke dalam polibag masing-masing sebanyak 5 kg dan dibuat lubang di tengah-tengahnya. Bibit

Hevea brasiliensis umur 3 bulan dipindahkan ke dalam polibag yang telah diisi tanah gambut. Starter diaplikasikan sesuai dosis yang sudah ditetapkan ke media tanam pada masing-masing polibag (kecuali polibag kontrol) dan disiram setiap pagi dan sore hari dengan takaran yang sama.

Pemeliharaan Tanaman

a.

Penyiraman

Penyiraman bibit dilakukan pada sore hari dengan menggunakan gembor,

tetapi disesuaikan dengan kondisi dilapangan. Jika media masih lembab, maka

tidak perlu disiram karena akan menyebabkan busuk akar.

b.

Penyiangan

Untuk menghindari persaingan antara gulma dan tanaman, maka dilakukan

penyiangan. Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang

berada pada polibag.


(35)

Fungi yang tumbuh dipotong dan dipindahkan ke cawan petri yang berisi PDA

Gambar 2. Cara pengenceran gambut untuk isolasi fungi dan pemurnian fungi pada media PDA pada cawan petri

Gambar 3. Cara membuat starter dan pengaplikasian starter pada bibit Hevea brasiliensis

Pengamatan Parameter

Sebelum dilakukan pengamatan parameter, terlebih dahulu dilakukan pengambilan data awal tiap parameter. Data yang diperoleh pada saat pengukuran parameter dikurangi terhadap data awal sebelum pengukuran. Pengamatan mulai

Fungi yang telah dibiakkan dari cawan petri I, II, III

Cawan petri berisi PDA

Fungi yang diisolasi dari tanah gambut dilakukan identifikasi

Biakan murni yang telah diidentifikasi

Fungi ditanam di starter selama Pengaplikasian starter


(36)

dilakukan 2 minggu setelah tanam (2 MST), selama 3 bulan dan parameter yang diamati antara lain adalah:

a. Tinggi semai (cm)

Tinggi semai diukur mulai dari pangkal batang dipermukaan tanah sampai titik tumbuh terkahir. Pengukuran tinggi digunakan dengan menggunakan penggaris.

b. Diameter batang (cm)

Diameter batang diukur dengan jangka sorong pada pangkal batang kira-kira 1 cm dari permukaan tanah (diberi tanda patok kayu setinggi 1 cm dari permukaan tanah). Pengukuran berikutnya dilakukan di pengukuran pertama atau sejajar dengan patok yang sudah dipasang tadi, demikian selanjutnya.

c. Luas daun

Pengamatan luas daun dilakukan pada akhir pengambilan data. Daun terlebih dahulu digambar di atas kertas milimeter, lalu discan ke komputer, selanjutnya dihitung dengan menggunakan program software komputer Image J. Daun yang dihitung adalah seluruh daun yang ada pada bibit.

d. Bobot Kering Total

Dianalisis setelah data terakhir diambil (hari terakhir bulan ke-3). Daun, akar dari setiap perlakuan dan kontrol masingmasing dimasukkan ke dalam amplop yang sudah dilubangi lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 70ºC selama 24 jam. Setelah daun dan akar benar-benar kering masing-masing ditimbang dengan timbangan analisis.

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Percobaan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor dan ulangan sebanyak 3 kali dimana:


(37)

1. Faktor I: Jenis klon karet yang ditanam yang terdiri dari 4 klon yaitu: AVROS

PB 260 PB 340 RRIC 100

2. Faktor II: Jenis fungi yang digunakan yang terdiri: K: Kontrol

A: Fungi Trichoderma sp. B: Fungi Fusarium sp. C: Fungi Penicillium sp. D: Fungi Rhizhopus sp.

Percobaan dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier sebagai berikut: Yij= � + Ti+Mj+Uk+TM(ij)+ℇijk

Yij = Pengaruh jenis klon (T) ke-i dan pemberian fungi (M) dengan jenis yang berbeda ke-j pada ulangan (U) ke-k

µ = nilai tengah umum

Ti =Pengaruh jenis klon yang berbeda ke-i

Mj =Pengaruh pemberian fungi dengan jenis yang berbeda ke-j

TM(ij) =Pengaruh interaksi antara jenis klon yang berbeda ke I dan pemberian fungi dengan jenis yang berbeda ke_j

ℇijk =Galat pengaruh jenis klon (T) yang berbeda ke-i dan pemberian fungi (M) dengan jenis yang berbeda ke-j pada ulangan (U) ke-k

Analisis statistik didasarkan pada analisis variansi pada setiap parameter dan uji lanjutannya menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995)


(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis fungi yang terdapat pada tanah gambut Serba Huta Jaya, Kecamatan Merbau, Aek Kanopan

Hasil penelitian menunjukan ada 4 jenis fungi yang paling dominan dari hasil isolasi fungi pada tanah gambut dari Desa Serba Huta Jaya, Kecamatan Merbau, Aek Kanopan. Jenis - jenis fungi yang berhasil diisolasi adalah Rhizopus sp., dengan jumlah koloni 40; Penicillium sp., dengan jumlah koloni sebanyak 70; Fusarium sp., dengan jumlah koloni 15; dan Trichoderma sp., dengan jumlah koloni 23. Hasil pengamatan 4 jenis fungi yang paling dominan dari hasil isolasi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Jenis fungi yang berhasil diisolasi dari tanah gambut dan ciri-cirinya Jenis Fungi Pengamatan Makroskopik Pengamatan mikroskopik

Warna Koloni

Diameter Koloni

Ukuran Konidiofor

Diameter Hifa

Diameter Konidia

Rhizhopus sp. Hitam coklat 7.6 cm 7.5-12.5 µm 8.25 µm 2.5 - 5 µm

Penicillium sp Putih Abu-abu 8.6 cm 500 µm 8.5 µm 2.8 µm

Fusarium sp Putih Krem 8 cm 20-50 µm 7.5 µm 2.3-2.5 µm

Trichoderma sp Hijau Pekat 9 cm 18- 25 µm 8.25 µm 2.5-3.2 µm

Karakteristik jenis-jenis fungi dominan pada tanah gambut

1. Rhizopus sp

Pada media PDA dalam suhu ruang, koloni di awal pertumbuhan berwarna putih. Seiring bertambahnya umur koloni, warna koloni berubah menjadi abu-abu kecoklatan atau hitam kecoklatan. Pada umur 7 hari koloni berdiameter 4-5 cm dan pertumbuhannya terhenti pada umur 14 hari dengan diameter koloni 7,2 cm dan menunjukan warna seperti yang terlihat pada gambar. Ciri- ciri mikroskopis yaitu rhizoid berwarna hijau kekuningan


(39)

dan bercabang banyak. Hifa berwarna hitam bening agak kekuningan dengan diameter 7,5 µm – 12,5 µm, konidia berbentuk semi bulat hingga bulat, berwarna hitam kecoklatan hingga hijau kecoklatan,dan berdiameter 2,5 µm – 5 µm. Bentuk koloni dan mikroskopik

Rhizopus sp., dapat dilihat pada gambar 4.

A B

Gambar 4 . Rhizopus sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopis (B), konidiofor (a) konidia (b)

Berdasarkan hasil isolasi, salah satu fungi yang ditemukan adalah jenis Rhizopus

sp. Berdasarkan penelitian sebelumnya, Rhizopus mampu tumbuh pada tanah. Menurut Purwantisari dan Rini (2009), beberapa jenis jamur yang biasa ditemukan pada tanah diantaranya adalah Penicillium sp., Trichoderma sp., Rhizopus sp., Humicola sp.,

Fusarium sp., Phytophthora infestans., dan Aspergillus sp. Jamur tanah merupakan salah satu mikroorganisme yang paling banyak ditemui di tanah dan kebanyakan jamur bersifat patogen terhadap tanaman.


(40)

Fungi jenis Rhizopus sp., yang ditemukan pada sampel kemungkinan berasal dari udara yang terbawa oleh air hujan dan jatuh ke tanah melalui air aliran permukaan tanah yang menjadikannya terdapat pada tanah. Menurut Agrios (1996), butiran – butiran air hujan yang jatuh dari atas akan mengambil dan membawa spora fungi yang terdapat di udara dan mencucinya ke bawah.

2. Fusarium sp.

Pada media PDA dalam suhu ruang, koloni di awal pertumbuhan berwarna putih. Seiring bertambahnya umur koloni, warna koloni berubah menjadi putih krem. Pada umur 7 hari diameter koloni mencapai 5 cm dan pertumbuhannya terhenti pada umur 14 hari dengan diameter koloni mencapai 7,9 cm dan menunjukkan warna seperti yang terlihat pada gambar.

A B

Gambar 5. Fusarium sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopis (B), konidiofor (a) konidia (b)

Menurut Sastrahidayat (1990), pertumbuhan fungi pada medium PDA diawali dengan pertumbuhan miselium berwarna putih, semakin tua warnanya menjadi krem atau kuning pucat, dalam keadaan tertentu berwarna merah muda atau agak ungu. Miselium


(41)

bersekat dan membentuk percabangan. Beberapa isolat Fusarium akan membentuk pigmen biru atau merah di dalam medium (Agrios, 1996). Daur hidup

Fusarium sp., mengalami fase patogenesis dan saprogenesis. Pada fase patogenesis, jamur hidup sebagai parasit pada tanaman inang. Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran propagul dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat pertanian dan manusia.

3. Trichoderma sp.

Pada media PDA dalam suhu ruang, koloni memiliki diameter 4 – 5 cm dalam 7 hari, dan pada umur 14 hari diameter koloni mencapai 9 cm. Pertumbuhan awal

Trichoderma berbentuk anyaman miselium dengan permukaan yang mulus, putih berair dan memiliki banyak hifa karena pembentukan hifa-hifa sangat cepat. Selanjutnya koloni

Trichoderma sp akan berubah warna menjadi hijau pekat dan bagian bawahnya tetap tidak berwarna. Bentuk koloni dan mikroskopik Trichoderma sp. dapat dilihat pada gambar berikut.

A B

Gambar 6 . Trichoderma sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopis (B), konidia (a) konidiofor (b)


(42)

Berdasarkan hasil isolasi fungi yang dilakukan, pada medium ditemukan jenis

Trichoderma sp, dengan penampilan warna disebabkan pewarnaan fialospora, jumlah spora dan adanya perpanjangan hifa steril. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida, yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan ke ujung percabangan bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan panjang terutama pada ujung cabang berukuran 18 x 2,5 µm. Konidia berbentuk semibulat hingga oval pendek, berukuran (2,8-3,2) x (2,5-2,8) µm, dan berdinding tipis. Sporanya dapat bertahan lama pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.

Menurut Rifai (1969), Tricoderma sp. bermanfaat menghasilkan sejumlah besar enzim ekstraseluler glukanase dan kitinase yang dapat melarutkan dinding sel fungi patogen, menyerang dan menghancurkan propagul patogen yang ada di sekitarnya.

Trichoderma viridae menghasilkan 2 jenis antibiotik yaitu gliotoksin dan viridian yang dapat melindungi tanaman bibit dari serangan penyakit rebah kecambah dan aman bagi lingkungan, hewan maupun manusia karena tidak menimbulkan residu bahan kimia. Secara ekonomi, penggunaan Trichoderma sp. lebih murah dari pada penggunaan pupuk kimia karena mampu merangsang pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman.

4. Penicilium sp.

Bentuk koloni pada media PDA pada umur 7 hari berwarna putih keabuan pekat seperti beludur dan dikelilingi warna putih. Koloni bagian tengah lebih tebal dibandingkan bagian pinggir pada cawan petri. Koloni mempunyai diameter 4 – 5 cm pada umur 7 hari dan pada umur 14 hari mempunyai diameter 8 cm. Konidiofor berukuran 400 – 500 µm, tegak, umumnya bercabang, bersepta, mempunyai metula dan


(43)

kadang – kadang mempunyai cabang tersier dari sel konidia (fialid). Bentuk fialidnya agak silindris dengan ukuran 4,7 – 8,5 µm. Bentuk konidia memanjang dan bercabang, kadang – kadang halus dan kasar berwarna hijau dengan ukuran 2,5 µm. Bentuk koloni dan mikroskopik Penicillium sp., dapat dilihat pada gambar.

A B

Gambar 7 . Penicillium sp., koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopis (B), konidia (a) konidiofor (b)

Penicillium sp. yang diperoleh dari sampel yang diamati menunjukkan bahwa fungi tersebut dapat berkembang pada tanah masam yang memiliki pH rendah. Fungi tersebut terdapat di dalam tanah dalam jumlah yang terbanyak, dan terdapat di dalam lapisan permukaan tempat bahan organik yang tersedia. Hal ini sesuai dengan pendapat Bucman dan Nyle (1982), bahwa fungi akan berkembang baik pada tanah masam, netral, dan alkali. Beberapa diantaranya akan menyukai pH yang rendah, sehingga di tanah masam dapat dijumpai fungi Penicillium sp., dalam jumlah yang banyak.

Fungi ini berperan dalam proses dekomposisi terutama dalam mendekomposisikan serasah, memberikan unsur hara pada tanaman dan membantu pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Herman dan Goenadi (1999) yang menyatakan bahwa mikroorganisme seperti Penicillium sp., dan Aspergillus sp., mampu menghasilkan polisakarida yang berguna sebagai perekat partikel tanah sehingga


(44)

fungi ini dapat digunakan untuk meningkatkan agregat – agregat tanah agar aerasi tanah menjadi lebih baik, sehingga pertumbuhan tanaman juga akan lebih baik karena terdapat bahan organik bagi tanaman dari hasil pendekomposisian fungi Penicillium sp.

B. Pertumbuhan Hevea brasiliensis Setelah Aplikasi Berbagai Jenis Fungi

Pengaplikasian jenis fungi endemik tanah gambut pada bibit Hevea brasiliensis

berumur 3 bulan dilakukan selama 3 bulan penanaman di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Parameter yang diamati yaitu tinggi bibit, diameter bibit, luas permukaan daun, dan biomassa tanaman. Hasil pengamatan dapat dilihat pada gambar yang tertera di bawah.

A B

Gambar 8. A: Klon AVROS yang k: Kontrol, a: fungi Trichoderma sp., b: fungi

Fusarium sp., c: fungi Penicillium sp., d: fungi Rhizhopus sp. B: Klon PB 260 yang k: Kontrol, a: fungi Trichoderma sp., b: fungi Fusarium sp., c: fungi Penicillium sp., d: fungi Rhizhopus sp


(45)

A B

Gambar 9. A: Klon PB 340 yang k: Kontrol, a: fungi Trichoderma sp., b: fungi Fusarium

sp., c: fungi Penicillium sp., d: fungi Rhizhopus sp. B: Klon RRIC yang k: Kontrol, a: fungi Trichoderma sp., b: fungi Fusarium sp., c: fungi

Penicillium sp., d: fungi Rhizhopus sp

Berdasarkan hasil pengamatan, pemberian fungi endemik pada bibit Hevea brasiliensis dapat meningkatkan pertumbuhan dan penambahan tinggi, diameter, dan berat kering total atau biomassa. Rata-rata penambahan tinggi, diameter, dan berat kering total atau biomassa dapat dilihat pada tabel yang tertera di bawah ini.

Tabel 2. Hasil Duncan Tinggi, Diameter, dan Berat Kering Total Tanaman Jenis Fungi Tinggi Tanaman

(cm)

Diameter Tanaman (cm)

Berat kering Total Tanaman (gr)

K 20,48a 0,60a 6,57a

Trichoderma sp. 26,43ab 0,73b 10,68b

Fusarium sp 27,63ab 0,76b 11,04b

Penicillium sp 32,69b 0,78b 14,46c

Rhizhopus sp 33,49b 0,90c 15,69c

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaplikasian fungi berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, namun penggunaan klon karet dan interaksi antara jenis fungi dan klon karet tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Berdasarkan hasil uji


(46)

lanjutan Duncan, tinggi rata – rata tanaman kontrol menunjukkan hasil yang paling kecil dan tidak berbeda nyata dengan rataan tinggi tanaman yang diberi fungi Trichoderma sp. dan tanaman yang diberi fungi Rhizopus sp., namun berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Fusarium sp. dan Penicillium sp. Tinggi rata – rata tanaman yang diberi fungi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara satu sama lain. Tanaman yang memberikan hasil paling tinggi adalah tanaman yang diberi fungi Penicillium sp.

Berdasarkan hasil uji sidik ragam untuk diameter tanaman, pengaplikasian fungi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman, namun penggunaan jenis klon dan interaksi antara jenis klon dan fungi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap diameter rata – rata tanaman. Berdasarkan hasil uji lanjutan Duncan, diameter rata – rata tanaman kontrol menunjukkan hasil yang paling rendah dan berbeda nyata dengan diameter rata – rata tanaman yang diberi fungi. Diameter rata – rata tanaman yang diberi fungi Trichoderma sp. tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Rhizopus

sp. dan tanaman yang diberi fungi Penicillium sp., namun berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Fusarium sp.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaplikasian fungi berpengaruh nyata terhadap berat kering total tanaman, namun penggunaan klon karet dan interaksi antara jenis fungi dan klon karet tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering total tanaman. Berdasarkan hasil uji lanjutan Duncan, berat kering total rata – rata tanaman kontrol menunjukkan hasil yang paling rendah dan berbeda nyata dengan berat kering total rata – rata tanaman yang diberi perlakuan fungi. Berat kering total rata – rata tanaman yang diberi fungi Trichoderma sp. tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi

Rhizopus sp., namun berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Fusarium sp. dan


(47)

Berdasarkan hasil sidik ragam terhadap luas permukaan daun, pengaplikasian beberapa jenis fungi, penggunaan beberapa jenis klon bibit Hevea brasiliensis serta interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap luas permukaan daun. Luas daun rata – rata dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Duncan Luas Permukaan Daun Tanaman

Jenis Fungi AVROS PB 260 PB 340 RRIC

Kontrol 93,66bcd 70,05a 100,28bcdef 92,26abc

Trichoderma sp. 89,93abc 95,36bcd 89,55abc 96,29bcde

Fusarium sp. 138,46gh 101,31bcdef 138,14gh 131,00fgh

Penicillium sp. 111,24cdefg 93,56bcd 112,27cdefg 159,95h

Rhizhopus sp. 128,84efgh 104,29cdefg 75,78ab 125,61defg

Pertumbuhan dari beberapa perlakuan pemberian fungi pada bibit Hevea brasiliensis memiliki nilai yang bervariasi pada setiap parameter pengamatan. Hasil pengukuran tinggi dan diameter tanaman yang dilakukan setiap 7 hari sekali sebanyak 9 kali pengamatan dapat dilihat melalui grafik garis seperti yang tertera pada gambar 10 dan gambar 11.

Gambar 10. Grafik pertumbuhan tinggi bibit Hevea brasiliensis dari minggu ke 1 sampai minggu ke 9

0 10 20 30 40

M 1 M 3 M 6 M 9

Kontrol Trichoderma sp Fusarium sp Penicillium sp Rhizhopus sp T inggi b ib it (c m) Waktu Pengamatan


(48)

Gambar 11. Grafik pertumbuhan diameter bibit Hevea brasiliensis dari minggu ke 1 sampai minggu ke 9

Pembahasan

Tinggi Tanaman

Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman yang dilakukan di rumah kaca, pengaplikasian fungi endemik berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, namun penggunaan klon karet dan interaksi antara jenis fungi dan klon karet tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Hasil uji Duncan untuk tinggi beberapa klon karet dengan berbagai fungi menunjukkan bahwa tinggi tanaman yang paling rendah adalah tanaman kontrol dengan tinggi rata – rata 20,48 cm dan tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Trichoderma sp. dan tanaman yang diberi fungi Rhizopus sp., tetapi berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Fusarium sp. dan Penicillium sp. Tinggi tanaman yang diberi fungi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara satu sama lain. Tanaman yang memberikan hasil paling tinggi adalah tanaman yang diberi fungi

Penicillium sp. dengan tinggi rata – rata 33,49 cm.

Pemberian fungi yang berbeda pada tanaman Hevea brasiliensis memberikan reaksi pertumbuhan dan pertambahan tinggi tanaman yang berbeda. Hal ini diduga karena adanya perbedaan kemampuan antara beberapa jenis fungi dalam menyediakan unsur

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

M1 M3 M6 M9

Kontrol Trichoderma sp Fusarium sp Penicillium sp Rhizhopus sp D ia m ete r bi bi t (c m) Waktu pengamatan


(49)

hara bagi Hevea brasiliensis serta perbedaan enzim yang dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan tanah gambut yang kaya bahan organik berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin sehingga unsur hara menjadi tersedia di dalam tanah dan dapat dimanfaatkan oleh Hevea brasiliensis untuk meningkatkan pertumbuhannya.

Sumarsih (2003) menyatakan bahwa mikroba – mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting bagi tanaman, yaitu N, P, dan K keseluruhannya melibatkan aktivitas mikroba. Mikroba dapat melarutkan fosfat apabila unsur N tercukupi. Unsur N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya agar tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas (non – simbiotik). Mikroba penambat N non – simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Bahan organik banyak mengandung unsur P namun hanya sedikit atau tidak tersedia bagi tanaman. Mikroba pelarut fosfat akan melepaskan ikatan P dari bahan organik dan menyediakannya bagi tanaman. Mikroba yang mampu melarutkan P antara lain Trichoderma sp., dan Penicillium sp.. Mikroba yang berkemampuan tinggi dalam melarutkan unsur P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan unsur K.

Rasti dan Sumarsono (2008) mengemukakan bahwa pengertian umum mikroorganisme perombak bahan organik atau biodekomposer adalah mikroorganisme pengurai serat, lignin, dan senyawa organik yang mengandung nitrogen dan karbon dari bahan organik (sisa-sisa organik dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati). Penggunaan mikroba fungi penyubur tanah dapat memberikan berbagai manfaat yaitu (1) menyediakan sumber hara bagi tanaman, (2) melindungi akar dari gangguan hama dan penyakit, (3) menstimulir sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, (4) memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh


(50)

pucuk, kuncup bunga, dan stolon, (5) sebagai penawar racun beberapa logam berat, (6) sebagai metabolit pengatur tumbuh, dan (7) sebagai bioaktivator.

Diameter Batang

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di rumah kaca, rata-rata pertumbuhan diameter tertinggi terdapat pada fungi Fusarium sp. dengan diameter rata – rata 0,90 cm dan pertumbuhan diameter terendah terdapat pada tanaman kontrol dengan diameter rata – rata 0,60 cm.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian fungi memberikan pengaruh nyata terhadap diameter batang. Pemberian jenis fungi yang berbeda dapat mempengaruhi laju pertumbuhan diameter batang pada Hevea brasiliensis. Diduga tanaman Hevea brasilinsis memanfaatkan zat gula sebagai karbohidrat untuk melakukan pembelahan sel serta perkembangan jaringan sel yang mengakibatkan pembesaran pada diameter batang. Zat gula yang digunakan berasal dari degradasi selulosa menjadi glukosa.

Pertumbuhan diameter bibit mengalami perbedaan yang nyata karena perlakuan yang diberikan terhadap tanaman disebabkan karena bibit yang ditanam adalah bibit stump okulasi yang pertumbuhannya sangat cepat dalam pembukaan mata tunas bibit tersebut.

Menurut Firman dan Aryantha (2003) dari hasil penelitian yang dilakukannya diketahui bahwa fungi Penicilium sp., dan Aspergillus sp. memiliki potensi sebagai penghasil glukosa oksidase dengan aktivitas yang cukup tinggi, sedangkan Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa semakin banyak karbohidrat yang dihasilkan dan tersedia di dalam tanah maka laju pertumbuhan sel-sel baru akan semakin meningkat dan dengan semakin banyak sel-sel baru yang terbentuk maka pertumbuhan tanaman terutama pertumbuhan dan pertambahan diameter batang akan meningkat.


(51)

Menurut Isroi (2008), mikroba yang mampu melarutkan unsur P antara lain

Aspergillus sp. dan Penicilium sp. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarurkan unsur P umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan unsur K. Menurut Whitelauw

dalam Ginting dkk (2009), mikroba pelarut fosfat (P) dalam aktivitasnya akan membebaskan sejumlah asam-asam organik. Tanaman dapat menyerap fosfat dalam bentuk ion H2PO4. Kegunaan hara fosfat dalam proses metabolisme tanaman antara lain untuk merangsang pertumbuhan tanaman, perkembangan akar, pertumbuhan buah, pembelahan sel (pertambahan diameter batang), memperkuat batang, serta meningkatkan ketahanan terhadap rebah. Fungi merombak fosfor organik tanah gambut yang sukar larut menjadi unsur hara fosfor (P) yang dapat dimanfaatkan oleh bibit Hevea brasiliensis

untuk pertumbuhannya. Menurut Cunningham dan Kuiack (1992), fosfor (P) merupakan salah satu unsur utama yang diperlukan tanaman dan memegang peranan penting dalam proses metabolisme.

Luas Permukaan Daun

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengaplikasian fungi memberikan pengaruh nyata terhadap luas permukaan daun. Hal ini diduga karena adanya perbedaan dari jenis fungi dalam menyediakan unsur hara terhadap bibit Hevea brasiliensis

serta perbedaan zat asam yang dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan tanah gambut yang kaya bahan organik berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sehingga unsur hara jadi tersedia di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan oleh Hevea brasiliensis

untuk meningkatkan pertumbuhannya.

Putri (2006) mengemukakan bahwa mikroorganisme seperti

Penicillium sp., Rhizhopus sp., Trichoderma sp., Mucor., dan Bacillus sp., dapat membantu menyediakan hara Nitrogen (N), fosfat (P) dan Kalium (K) di tanah secara cepat. Keadaan ini mampu meningkatkan kualitas tanah sehingga kebutuhan nutrisi pada


(52)

tanaman dapat tersedia, menjaga kestabilan kelembaban tanah, yang pada akhirnya membantu akar dalam proses penyerapan unsur hara tanah dengan lebih cepat.

Pengaplikasian Penicillium sp. memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan luas daun Hevea brasiliensis karena fungi tersebut menyediakan unsur hara bagi bibit tersebut. Enzim yang dikeluarkan oleh fungi dapat mendekomposisikan tanah gambut yang kaya bahan organik berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin sehingga unsur hara jadi tersedia di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan oleh Hevea brasiliensis

untuk meningkatkan pertumbuhannya.

Menurut Sumarsih (2003) selama proses dekomposisi (penguraian bahan organik), mikroba akan mengasimilasi sebagian C, P, N, S, dan K, dan unsur lainnya untuk sintesis sel yang jumlahnya berkisar antara 10 – 70% tergantung pada sifat-sifat tanah dan jenis mikroba yang aktif dalam proses dekomposisi (pengurai).

Menurut Ardi (2009), Nitrogen (N) dapat merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan yang merupakan bagian dari sel (organ) tanaman itu sendiri. Sintesis amino atau protein dalam tanaman akan merangsang pertumbuhan vegetatif yang berwarna hijau seperti daun.

Berat Kering Total

Berdasarkan hasil uji sidik ragam untuk berat kering total tanaman, dapat dilihat bahwa interaksi antara jenis fungi dan jenis klon serta penggunaan faktor tunggal jenis klon tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap berat kering total tanaman, sedangkan penggunaan faktor tunggal jenis fungi memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat kering total tanaman. Hasil uji Duncan untuk bobot kering total menunjukkan bahwa berat kering total rata – rata tanaman kontrol berbeda nyata dengan


(53)

tanaman yang diberi jenis fungi lainnya dan menunjukkan hasil yang paling rendah. Berat kering total rata – rata tanaman yang diberi fungi Trichoderma sp. tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Rhizopus sp., namun berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Fusarium sp. dan tanaman yang diberi fungi Penicillium sp. Tanaman yang diberi fungi Penicillium sp. menunjukkan hasil yang paling tinggi, meskipun tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diberi fungi Fusarium sp. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.

Penicillium sp. merupakan fungi yang dapat berkembang pada tanah masam yang memiliki pH rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Bucman dan Nyle (1982) yang menyatakan bahwa fungi akan berkembang baik pada tanah masam, netral, dan alkali. Beberapa diantaranya juga menyukai tanah denga pH yang rendah.

Penicillium sp. berperan dalam proses dekomposisi terutama dalam mendekomposisikan serasah sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman.

Penicillium sp. juga memiliki potensi sebagai penghasil glukosa oksidase yang dapat menguraikan karbohidrat dengan aktivitas yang cukup tinggi (Firman dan Aryantha, 2003). Semakin banyak karbohidrat yang dihasilkan dan tersedia dalam tanah, maka laju pertumbuhan sel – sel baru tanaman juga akan meningkat sehingga biomassa tanaman juga meningkat (Setyamidjaja, 1986). Selain itu, Penicillium sp. mampu menghasilkan polisakarida yang berguna sebagai perekat partikel tanah sehingga aerasi tanah menjadi lebih baik dan pertumbuhan tanaman juga akan lebih baik (Herman dan Goenadi, 1999).

Pemberian fungi yang berbeda setiap jenisnya dapat mempertahankan Hevea brasiliensis dari serangan penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangan akar dapat meningkat. Hal ini disebabkan fungi Penicillium sp. dan Fusarium sp. mempunyai daya antibiotik yang berperan dalam memelihara ketahanan tanaman, khususnya Penicillium


(54)

mengeluarkan substansi racun citrinum (CH13H14O5) (Djafaruddin, 2000). Yulianto

(1989) menyebutkan bahwa ketahanan tanaman cabai meningkat karena jalinan hifa fungi

Penicillium sp. dan Fusarium sp. dapat menjadi penghalang bagi serangan fungi tanah. Begitu juga dengan Trichoderma sp.yang berfungsi sebagai biokontrol terhadap berbagai patogen tanaman dalam tanah (Mukerji, 2000). Selain itu Trichoderma juga merupakan jamur saprofit tanah meskipun fungsi lainnya masih belum begitu banyak diketahui dengan jelas (Humaidi, 1999).


(55)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Jenis fungi yang diisolasi dari tanah gambut Serba Huta Jaya, Kecamatan Merbau, Kota Aek Kanopan yaitu Rhizhopus sp., Fusarium sp., Penicillium sp., dan

Trichoderma sp.

2. Pemberian fungi Penicillium sp. memberikan hasil yang paling baik terhadap pertumbuhan Hevea brasiliensis.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai fungi yang berpotensi terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman di tanah gambut yang masih asli.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios. G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi ke – 3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Amani. 2008. Biofungisida Trichoderma harzianum

Januari 2014].

Ardi, R. 2009. Unsur Hara dalam Tanah (Makro dan Mikro).

Andresse, J.P. 1974. The Characteristics, Agricultural Potential and Reclamation Problems of Tropical Lowland Peats in South-East Asia. Royal Tropical Institute. Amsterdam. The Netherland.

Azwar, R., dan Yardha. 2000. Potensi Pertumbuhan dan Skala Produktivitas Klon

Karet dan Realisasinya di Pertanaman Komersial. Monograph Series No. 1. Potensi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Otonomi Daerah Istimewa Aceh. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh bekerjasama dengan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Banda Aceh. Hal 101-112

Bucman and Nyle, C.B. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. Penerbit Bhratara Aksara. Jakarta.

Budiman, H. 2012. Budidaya Karet Unggul Prospek Jitu Investasi Masa Depan. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Cunningham, J.E. and C. Kuiack. 1992. Production of Citric and Oxalic Acid and Solublization of Calcium Phosphate by Penicillium bilaii. Applied Environ. Microbiol, 58: 1451 – 1458.


(57)

De Foresta, H. dan Michon, G. 1996. Tree improvement research for agroforestry: a note of caution. Agroforestry Forum 7(3): 8-10.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2005. Pedoman Budidaya Yang Baik Untuk Tanaman Karet (Good Agriculture practices for Rubber). Departemen Pertanian, Jakarta.

Djafaruddin. 2000. Dasar – dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.

Firman, A. P. dan I. P. Aryantha. 2003. Eksplorasi dan Isolasi Enzim Glukosa Oksidase dari Fungi Inperfekti (Genus Penicillium dan Aspergillus). KPP Ilmu Hayati LPPM ITB.

Gomez, K.A dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian

Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Gozali A.D. dan Boerhendhy I. 2003. Pembangunan Batang Bawah. Sapta Bina Usaha Tani Karet Rakyat. Balai Penelitian sembawa, Pusat Penelitian Karet.

Hadioetomo, R.S. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktik Teknik dan prosedur Dasar Laboratorium. Hal 76. Gramedia. Jakarta.

Hardjowegeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan Histosol. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Herman dan D. H. Goenadi. 1999. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri Pupuk Hayati di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Indonesia.

Humaidi, F., Abadi, A. L. dan Rasminah, S. Ch. Sy. 1999. Tingkat Residu Fungisida Methyl Thiophanate dalam Tanah pada Tanaman Kentang Serta Dampak terhadap Kehidupan Jamur Tanah di Batu Malang. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Isroi. 2008. Aplikasi Trichoderma harzianum dan Aspergillus sp. pada Tanaman. [Diakses 28 Januari 2014].


(58)

Mukerji K G. K. L. Garg. 2000. Biocontrol of Plant Disease. Departement of Botani University of Delhi. India.

Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Kanisus. Yogyakarta.

Putri, D. M. S. 2006. Peengaruh Jenis Media terhadap Pertumbuhan Begonia imperialis

dan Begonia ‘Bethlehem Star’. BIODIVERSITA. ISSN: 1412 – 033X Volume 7, Nomor 2 April 2006. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bali.

Pusat Penelitian Karet. 2006. Waralaba Bibit Karet: Kerjasama Pengembangan Kebun Entres Dalam Rangka Penyebaran Klon-klon Karet Rekomendasi. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Tahun 2006 dan Persiapan Kegiatan Tahun 2007 dalam Rangka Peningkatan Kapabilitas BPTP, tanggal 1-3 Febriari 2006 di Cisarua-Bogor.

Rasti dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan Mikroba Penyubur Tanah. Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1.

Rifai, M.A. 1969. A Revision of the Genus Trichoderma. Mycological Papers No. 116 Herbarium Bogoriense. Bogor.

Sabiham, S. 1993. Pemanfaatan Lumpur Daerah Rawa Pasang Surut Sebagai Salah Satu Alternatif dalam Menurunkan Gas Methan dan Asam Phenol pada Gambut Tebal. Pp. 267 – 280. Dalam S. Triutomo, 1993. Prosiding Seminar Nasional Gambut II. Jakarta.

Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institusi Pertanian Bogor. Bogor.

Samosir, R. 2009. Jenis-Jenis Fungi pada Tegakan Kayu Mati di Lahan Gambut.[Skripsi].

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Saragih, S. D. 2008. Fungi Perombak Bahan Organik di Tanah Gambut. [Skripsi].


(59)

Setiawan, H. D dan Handoko, A. 2005. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Setyamidjaja, D. 1995. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta. 206 hal. Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Buku Ajar. Fakultas Pertanian UPN Veteran.

Yogyakarta.

Tanjung, A. S. 2013. Penggunaan Beberapa Jenis Fungi Endemik Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Meranti Batu (Shorea platyclados) di Tanah Gambut. [Skripsi]. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Tjandrawati, T. 2003. Isolasi dan Karakteristik Sebagai Kitinase Trichoderma viride, TNJ

63. Jurnal Natural Indonesia. ISSN 1410 – 9379.

Wibowo, R.W. 2008. Karet 28 Januari 2014].

Yuleli. 2009. Penggunaan Beberapa Jenis Fungi Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) di Tanah Gambut. [Tesis]. Sekolah Pascsarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Yulianto. 1989. Pengenalan Vesikular-Arbuskular dan Peranannya pada Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.


(1)

Sumber Keragaman db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung F tabel

Jenis fungi 4 0,559 0,140 7,265* 2.61

Jenis klon 3 0,114 0,038 1,975tn 2.84

Interaksi 12 0,382 0,032 1,655tn 2.00

Galat 40 0,770 0,019

Total 59 1,825

ket: *: berpengaruh nyata tn: tidak berpengaruh nyata

2.b. Tabel Duncan

Fungi Tinggi bibit

Kontrol 0,60 cma

Trichoderma sp., 0,76 cmb

Fusarium sp., 0,90 cmc

Penicillium sp., 0,78 cmb

Rhizhopus sp., 0,73 cmb

Keterangan: Perlakuan yang diikuti dengan notasi angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata. Aplikasi fungi yang paling berpengaruh nyata dengan rata – rata tertinggi adalah fungi Fusarium sp.


(2)

Jenis klon

Jenis Fungi

Ulangan

Jumlah

1 2 3

Avros K 103.265 87.02 90.696 280.981

Avros A 86.817 83.408 99.579 269.804

Avros B 134.167 121.301 159.906 415.374

Avros C 69.198 111.074 153.455 333.727

Avros D 161.81 107.691 117.024 386.525

PB 260 K 61.16 71.276 77.728 210.164

PB 260 A 87.468 96.794 101.818 286.08

PB 260 B 95.433 113.542 94.955 303.93

PB 260 C 110.582 84.172 85.939 280.693

PB 260 D 142.535 83.068 87.257 312.86

PB 340 K 95.265 133.17 72.409 300.844

PB 340 A 91.785 87.318 89.551 268.654

PB 340 B 135.817 138.135 140.453 414.405

PB 340 C 112.27 111.072 113.469 336.811

PB 340 D 76.387 75.182 75.784 227.353

RRIC K 92.264 94.456 90.072 276.792

RRIC A 96.288 102.571 90.006 288.865

RRIC B 123.506 130.998 138.491 392.995

RRIC C 159.946 168.268 151.625 479.839

RRIC D 119.149 125.606 132.064 376.819


(3)

Sumber Keragaman db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung F tabel

Jenis fungi 4 13019,105 3254,776 11,102* 2.61

Jenis klon 3 6573,164 2191,055 7,474* 2.84

Interaksi 12 10557,620 879,802 3,001* 2.00

Galat 40 11726,789 293,170

Total 59 41876,678

ket: *: berpengaruh nyata

3.b. Tabel Duncan

Jenis Fungi AVROS PB 260 PB 340 RRIC

K 93,66bcd 70,05a 100,28bcdef 92,26abc

A 89,93abc 95,36bcd 89,55abc 96,29bcde

B 138,46gh 101,31bcdef 138,14gh 131,00fgh

C 111,24cdefg 93,56bcd 112,27cdefg 159,95h

D 128,84efgh 104,29cdefg 75,78ab 125,61defg

Keterangan: Perlakuan yang diikuti dengan notasi angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata. Aplikasi yang paling berpengaruh nyata dengan rata – rata tertinggi adalah interaksi antar fungi Penicillium sp. dengan klon RRIC.


(4)

berat kering total bibit

Jenis Klon Jenis Fungi Ulangan Jumlah

Rata - Rata

1 2 3

BKA BKT BKA BKT BKA BKT

AVROS K 1.02 6.02 1.13 7.89 1.04 6.93 24.03 8.01

AVROS A 1.94 16.20 2.01 6.38 1.95 11.22 39.70 13.23

AVROS B 2.31 7.52 6.26 14.70 2.01 12.52 45.32 15.11

AVROS C 2.21 12.24 2.90 9.19 3.36 22.23 52.13 17.38

AVROS D 3.08 10.40 2.45 5.97 3.61 8.36 33.87 11.29

PB 260 K 1.13 3.05 1.21 3.90 1.28 3.77 14.34 4.78

PB260 A 2.13 8.44 2.03 9.89 2.27 6.05 30.81 10.27

PB 260 B 4.35 12.06 3.96 10.66 4.28 8.83 44.14 14.71

PB 260 C 3.80 6.50 4.00 12.03 3.74 10.90 40.97 13.66

PB 260 D 2.30 9.02 1.74 7.21 1.95 10.90 33.12 11.04

PB 340 K 1.24 6.05 1.43 6.01 1.55 9.80 26.08 8.69

PB 340 A 3.44 8.98 2.34 8.26 3.23 9.66 35.91 11.97

PB 340 B 2.73 13.15 3.09 4.85 3.13 15.72 42.67 14.22

PB 340 C 2.55 8.75 2.59 7.08 2.66 10.23 33.86 11.29

PB 340 D 1.89 7.89 1.78 6.19 1.94 6.78 26.47 8.82

RRIC K 1.01 2.97 1 4.71 1.03 3.75 14.47 4.82

RRIC A 1.98 7.15 1.92 7.8 1.89 5.43 26.17 8.72

RRIC B 2.82 13.75 2.77 9.62 2.13 10.35 41.44 13.81

RRIC C 3.21 19.05 3.35 15.97 2.66 17.7 61.94 20.65


(5)

Sumber Keragaman

db

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F Hitung F tabel

Jenis fungi

4

615,213

153,803

16,490*

2.61

Jenis klon

3

44,368

14,789

1,586

tn

2.84

Interaksi

12

201,692

16,808

1,802

tn

2.00

Galat

40

373,081

9,327

Total

59

1234,354

ket: *: berpengaruh nyata

tn

: tidak berpengaruh nyata

4.b. Tabel Duncan

Fungi

Tinggi bibit

Kontrol

6,58 gram

a

Trichoderma

sp.,

11,05 gram

b

Fusarium

sp.,

14,46 gram

c

Penicillium

sp.,

15,69 gram

c

Rhizhopus

sp.,

10,69 gram

b

Keterangan: Perlakuan yang diikuti dengan notasi angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata. Aplikasi fungi yang paling berpengaruh nyata dengan rata – rata tertinggi adalah fungi Penicillium sp.


(6)

Dokumen yang terkait

Identifikasi Fungi Endemik dan Pemanfaatan Beberapa Klon Unggulan untuk Meningkatkan Pertumbuhan Karet (Hevea brasiliensis) di Tanah Andisol

0 57 69

Studi Karakter Fisiologis Dan Sifat Aliran Lateks Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) IRR SERI 300.

1 55 60

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muall, Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun (Corynespora casiicola Berk &amp; Curt.) di Lapangan

0 34 64

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Penggunaan Berbagai Macam Fungi Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

0 21 49

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Uji Resistensi Beberapa Genotipe Plasma Nutfah Karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun (Corynespora cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Laboratorium

0 30 53

Tanggap Pertumbuhan Dan Serapan Hara Bibit Karet (Hevea Brasiliensis Muell Arg) Asal Stump Mata Tidur Terhadap Ketersediaan Air Tanah

0 43 107

Identifikasi Fungi Endemik dan Pemanfaatannya untuk Meningkatkan Pertumbuhan Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis) Di Tanah Gambut

0 0 13

Identifikasi Fungi Endemik dan Pemanfaatan Beberapa Klon Unggulan untuk Meningkatkan Pertumbuhan Karet (Hevea brasiliensis) di Tanah Andisol

0 0 15