Penyiapan Carrier dan Imobilisasi Sachharomyces cerevisiae

10 padat dengan bentuk pipih, bersifat padat tidak rapuh, serta berwarna putih- kecoklatan. Teknik imobilisasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah adsoprsi oleh material organik ampas singkong. Secara umum, Shuler dan Kargi 2002 menyampaikan bahwa terdapat tiga teknik utama dalam mengimobilisasi sel, yaitu adsorpsi, penjeraban entrapment, serta covalent binding. Teknik imobilisasi secara adsorpsi merupakan pelekatan sel pada permukaan carrier dengan memanfaatkan gaya kimia-fisik, seperti gaya Van der Waals, gaya akibat perbedaan muatan pada dua atau lebih gugus kimia, serta gaya dispersi. Syarat utama dari teknik ini adalah carrier yang digunakan harus bersifat tidak larut dalam air. Material tersebut dapat berupa bahan organik, inorganik ataupun resin ion-exchange Dowex, Amberlite, atau Shepadex. Teknik penjeraban entrapment merupakan pengurungan sel secara fisik dalam matriks atau membran tertentu. Teknik imobilisasi ini merupakan metode yang paling umum digunakan pada beberapa skala fermentasi. Secara lebih spesifik, beberapa jenis teknik imobilisasi sel yang tergolong dalam entrapment di antaranya ialah penjeraban dalam matrik, dalam mikroenkapsulasi, serta penjeraban antara membran enkapsulasi. Meskipun cukup umum digunakan, Ariyajaroenwong et al. 2012 menyampaikan bahwa fermentasi oleh sel terimobilisasi secara entrapment terutama pada Ca-alginat memiliki beberapa kelemahan, yaitu terdapat pembatasan difusi diffusion limitation bagi substrat dan nutrien lain ke dalam bead, terdapat pengurangan peran sisi aktif sel dalam mengonversi substrat menjadi etanol, kerusakan pertikel bead akibat respirasi sel yang menghasilkan CO 2 , kestabilan fisik dan kimia yang lemah dari alginat, serta harga carrier yang cukup mahal. Teknik lainnya yaitu imobilisasi dengan memanfaatkan ikatan kovalen. Teknik ini merupakan penempatan sel pada permukaan carrier melalui pembentukan ikatan kovalen. Grup fungsional yang terdapat pada permukaan membran sel akan berikatan dengan carrier melalui gugus spesifik, seperti gugus amino, karboksil, hidroksil, ataupun gugus sulfihidril. Sedangkan grup fungsional pada carrier sebagian besar diaktivasi oleh suatu reagen kimia, seperti cyanogens bromide, carbodiimide dan glutaraldehyde. Secara lebih spesifik, beberapa jenis a b Gambar 4 . Carrier ampas singkong sebelum a dan sesudah b perlakuan oleh HCl 3 11 imobilisasi yang tergolong dalam teknik ikatan kovalen di antaranya ialah ikatan kovalen terhadap carrier dan ikatan kovalen terhadap permukaan sel lain. Dalam penelitian ini, sel Saccharomyces cerevisiae diimobilisasi ke dalam pori-pori ampas singkong yang berperan sebagai carrier. Selain akibat gaya elektrostatik antara selulosa pada carrier dengan gugus amina pada membran sel, adsorpsi pun berlangsung akibat keberadaan media kultivasi dalam pori-pori ampas singkong. Kondisi ini akan mengarahkan Saccharomyces cerevisiae memasuki pori-pori untuk mengonsumsi media. Media inilah yang berperan sebagai pengikat antara carrier dan Saccharomyces cerevisiae. Imobilisasi Saccharomyces cerevisiae pada ampas singkong dengan komponen terbanyak berupa selulosa merupakan teknik imobilisasi yang relatif baru. Menurut de Vasconcelos et al. 2004, teknik imobilisasi pada serat selulosa yang berasal dari bahan alami memiliki beberapa kelebihan, yaitu pertumbuhan sel dapat berlangsung lebih cepat yang ditunjukan oleh doubling time lebih singkat, akses yang lebih mudah terhadap substrat, dan harga bahan carrier yang murah serta ketersediaannya melimpah. Selain itu, fermentasi untuk menghasilkan bioetanol oleh sel terimobilisasi pada serat selulosa cenderung memiliki produktivitas dan efisiensi yang lebih baik dibandingkan dengan oleh sel terimobilisasi pada Ca-alginat. Proses imobilisasi dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan kultivasi Saccharomyces cerevisia pada kondisi aerobik selama 24 jam. Kondisi aerobik bertujuan agar substrat digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk pertumbuhan sel. Shuler dan Kargi 2002 menyatakan bahwa kultivasi dalam kondisi aerobik mengakibatkan media dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk proses pertumbuhan. Jika kultivasi dilakukan dalam kondisi anerobik, maka media akan digunakan untuk menghasilkan etanol. Ampas yang mengandung sel terimobilisasi dan Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi disajikan pada Gambar 5. Jumlah Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada akhir kultivasi mencapai 1.76x10 11 sel per gram carrier. Jumlah sel inilah yang menjadi total sel awal dalam fermentasi secara repeated-batch. Jika dibandingkan dengan penelitian lain, maka jumlah sel terimobilisasi pada penelitian ini lebih banyak Gambar 5. Ampas yang mengandung sel terimobilisasi a dan Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi dengan perbesaran 400x b b a 12 dibandingkan dengan hasil penelitian lain, yaitu Kopsahelis et al. 2007 dengan jumlah sel terimobilisasi sekitar 10 9 sel per gram carrier. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi proses dan jenis carrier. Kopsahelis et al. 2007 mengimobilisasi Saccharomyces cerevisiae dari ragi roti pada volume kerja 800 mL dengan menggunakan ampas gandum sebagai carrier, sedangkan penelitian ini mengimobilisasi Saccharomyces cerevisiae yang ditumbuhkan dari isolat murni pada volume kerja 100 mL dengan menggunakan ampas singkong sebagai carrier. 3.3 Fermentasi secara Repeated-Batch Fermentasi pada penelitian ini dilakukan secara repeated-batch sebanyak 6 siklus. Kopsahelis et al. 2007 melakukan penelitian produksi bioetanol secara repeated-batch oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas gandum. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa jumlah siklus batch yang dapat dicapai ialah 6 kali. Hasil tersebut menjadi dasar penentuan jumlah siklus yang digunakan dalam penelitian ini. Pada dasarnya, mekanisme konversi glukosa menjadi etanol dalam fermentasi secara repeated-batch ini terdiri atas dua tahapan utama, yaitu pembentukan piruvat dan pembentukan etanol dari piruvat tersebut. Pembentukan piruvat berlangsung melalui jalur glikolisis yang merupakan rangkaian reaksi- reaksi fosforilasi dan defosforilasi. Senyawa yang berperan sebagai donor dan akseptor fosfat dalam jalur glikolisis ialah ATP dan ADP Didu, 2010. Secara keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam jalur glikolisis ialah sebagai berikut. C 6 H 12 O 6 + 2ADP + 2NAD + + 2Pi  2priuvat + 2ATP + 2NADH+H + Gulkosa Adenosin Fosfat Adenosin difosfat inorganik trifosfat Dalam tahapan selanjutnya, piruvat yang telah dihasilkan dari jalur glikolisis diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat dekarboksilase disertai pelepasan CO 2 . Reaksi terakhir ialah konversi asetaldehid menjadi etanol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Secara keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam proses konversi piruvat menjadi etanol ialah sebagai berikut. Substrat utama dalam produksi bioetanol pada penelitian ini ialah hidrolisat pati singkong. Akyuni 2004 menyatakan bahwa selain mengandung gula pereduksi glukosa dan fruktosa, hidrolisat pati juga mengandung jenis gula- 13 gula lain, salah satunya ialah sukrosa. Dalam hal ini, sukrosa pun dapat dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae melalui dua tahap utama. Tahap pertama adalah pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, sedangkan tahap kedua adalah konversi glukosa ataupun fruktosa menjadi etanol Ageng, 2009. Secara umum, reaksi konversi sukrosa menjadi etanol adalah sebagai berikut. C 12 H 22 O 11 + H 2 O C 6 H 12 O 6 + C 6 H 12 O 6 Sukrosa Air Glukosa Fruktosa C 6 H 12 O 6 2C 2 H 5 OH + 2CO 2 + Kalor Glukosa Etanol Karbondioksida Kadar etanol hasil penelitian ini adalah 42.72-63.66 gL. Hasil analisa terhadap kondisi setiap siklus menunjukkan telah terjadi penurunan kadar etanol dan peningkatan kadar gula sisa seiring dengan peningkatan jumlah siklus. Kadar etanol tertinggi dihasilkan pada siklus pertama, yaitu 63.66 gL dan pada siklus yang sama kadar gula sisa berada pada konsentrasi terendah 5.96 gL. Kadar etanol terendah dihasilkan pada siklus terakhir, yaitu 42.72 gL dan pada siklus yang sama kadar gula sisa berada pada konsentrasi tertinggi 12.88 gL. Penurunan kadar etanol bersamaan dengan peningkatan kadar gula sisa ini disebabkan oleh sel perlu beradaptasi terhadap lingkungan baru. Adaptasi berlangsung sebagai konsekuensi dari media fermentasi yang berbeda dengan media imobilisasi. Selain itu, adaptasi pun berlangsung disebabkan oleh kondisi imobilisasi sel dalam keadaan aerobik, sedangkan fermentasi dalam keadaan anerobik. Gambar 6 menyajikan kadar etanol dan kadar gula sisa hasil penelitian ini data lengkap disajikan pada Lampiran 2.a. Untuk mengetahui perbedaan antara satu siklus dengan siklus berikutnya, dilakukan analisa statistika menggunakan Uji T den gan nilai α=0.05 Riduan dan Akdon, 2010. Hasil Uji T tersebut disajikan pada Lampiran 3 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan secara signifikan antara kadar etanol dan kadar gula sisa pada siklus pertama dengan siklus kedua, sedangkan antara siklus kedua dan Gambar 6. Kadar etanol dan kadar gula sisa pada setiap siklus repeated-batch 14 siklus-siklus selanjutnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan signifikan antara siklus pertama dan kedua memperlihatkan bahwa proses berlangsung tidak stabil yang ditunjukkan dengan penurunan kadar etanol cukup tinggi selisih 12.92 gL atau turun sebesar 20.28. Penurunan produksi kadar etanol ini disebabkan oleh sel perlu beradaptasi terhadap media dan kondisi proses yang berbeda dari media dan kondisi saat imobilisasi sel. Media kultivasi yang digunakan saat imobilisasi ialah media sintetik serta dilangsungkan dalam kondisi aerobik, sedangkan media saat fermentasi ialah hidrolisat pati singkong serta dilangsungkan dalam kondisi anaerobik. Hasil Uji T menunjukkan bahwa fermentasi secara repeated-batch berlangsung stabil pada siklus kedua hingga siklus terakhir. Kondisi tersebut sesuai dengan target dari fermentasi secara repeated-batch, yaitu diharapkan proses pada setiap siklus berlangung stabil Pacheco et al., 2010. Dengan demikian, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ampas singkong cocok dan baik untuk digunakan sebagai carrier pada imobilisasi sel Saccharomyces cerevisiae. Kadar etanol hasil penelitian ini 42.72-63.66 gL lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian lain, yaitu 19.82-37.83 gL Pacheco et al., 2010, 40.92-51.67 gL Kopsahelis et al., 2007, dan 51.30 gL Plessas et al., 2007. Kadar etanol hasil penelitian ini lebih tinggi disebabkan oleh kemampuan ampas singkong yang lebih banyak mengimobilisasi sel dibandingkan dengan jenis carrier lain, seperti ampas jambu mete Pacheco et al., 2010, ampas gandum Kopsahelis et al., 2007, dan kulit jeruk Plessas et al., 2007. Kadar etanol hasil penelitian ini lebih tinggi juga dipengaruhi oleh perbedaan kadar total gula awal, kondisi pH awal, serta jumlah total sel awal. Berbagai faktor tersebut dibahas secara lebih spesifik bersamaan dengan pembahasan pada parameter- parameter selanjutnya. Parameter lain berupa produktivitas dan yield hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 7 data lengkap disajikan pada Lampiran 2.2. Produktivitas merupakan perbandingan antara kadar etanol yang dihasilkan terhadap lama fermentasi Pacheco et al., 2010. Hal ini berarti bahwa terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi produktivitas fermentasi, yaitu Gambar 7. Produktivitas dan yield etanol pada setiap siklus repeated-batch 15 lama fermentasi dan kadar etanol. Dengan lama fermentasi yang sama 24 jam, semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan, produktivitas pun akan semakin tinggi. Produktivitas etanol hasil penelitian ini adalah sebesar 1.78-2.66 gLjam. Lama fermentasi yang relatif sama pun digunakan oleh Kopsahelis et al. 2007 yang menghasilkan produktivitas fermentasi lebih rendah, yaitu 1.52-2.00 gLjam. Perbedaan produktivitas ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu jenis carrier, kondisi proses, dan nilai pH awal. Nilai pH awal pada penelitian ini adalah 5.5, sedangkan Kopsahelis et al. 2007 menggunakan pH awal 7-7.5. Casida seperti disitir oleh Supatmawati 2010 menyatakan bahwa pH optimal bagi aktivitas Saccharomyces cerevisiae adalah 3-6. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pH awal dalam kisaran optimal, sedangkan penelitian Kopsahelis et al. 2007 di luar kisaran pH optimal. Hal tersebutlah yang menyebabkan produktivitas pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Kopsahelis et al. 2007. Meskipun demikian, produktivitas hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Plessas et al. 2007, yaitu 5.13 gLjam. Perbedaan produktivitas ini disebabkan oleh perbedaan kadar total gula awal dan jumlah total sel awal. Kadar total gula awal pada penelitian ini ialah 140 gL dengan jumlah total sel awal sebanyak 1.76x10 11 sel per gram carrier, sedangkan kadar total gula awal pada penelitian Plessas et al. 2007 adalah 125 gL dengan jumlah total sel awal 10 13 sel per gram carrier. Kondisi total gula awal lebih rendah serta jumlah total sel awal lebih tinggi menyebabkan konversi gula menjadi etanol berlangsung lebih cepat, sehingga produktivitas pun lebih tinggi. Yield merupakan perbandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap jumlah substrat yang digunakan Pacheco et al., 2010. Dengan demikian, selain faktor jumlah etanol yang dihasilkan, parameter yield pun dipengaruhi oleh jumlah substrat yang dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae. Pemanfaatan substrat dalam jumlah lebih banyak tidak secara pasti akan menghasilkan yield dalam jumlah yang lebih tinggi. Kondisi ini dikarenakan substrat tidak hanya dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae, melainkan juga dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan pemenuhan energi bagi sel-sel tersebut. Yield etanol yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0.33-0.47 g etanolg substrat. Nilai yield ini menunjukkan bahwa dihasilkan etanol sekitar 0.33-0.47 gram untuk setiap penggunaan 1 gram hidrolisat pati oleh Saccharomyces cerevisiae. Untuk mengetahui kestabilan proses selama fermentasi, dilakukan analisa statistik guna mengevaluasi signifikansi perbedaan nilai yield antara satu siklus dengan siklus-siklus berikutnya. Analisa statistik yield dilakukan secara terpisah dari analisa statistik kadar etanol disebabkan oleh perbedaan faktor yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Dalam perhitungan parameter yield dilakukan perbandingan terhadap jumlah hidrolisat pati yang dikonsumsi sel, sedangkan dalam perhitungan kadar etanol tidak dilakukan perbandingan serupa. Hasil Uji T dengan nilai α=0.05 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara yield etanol pada siklus pertama dengan siklus kedua, sedangkan pada siklus-siklus selanjutnya tidak terdapat perbedaan signifikan data lengkap pada Lampiran 3. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan nyata antara yield etanol pada siklus pertama dan siklus kedua, namun yield etanol stabil pada siklus kedua hingga siklus terakhir. Penurunan yield etanol dari siklus pertama ke 16 siklus kedua disebabkan oleh kondisi lingkungan dan proses fermentasi. Fermentasi pada siklus pertama dilakukan oleh Sacchaaromyces cerevisiae hasil kultivasi saat imobilisasi secara aerobik menggunakan media sintetik. Akan tetapi, proses fermentasi secara repeated-batch dilakukan secara anaerobik dalam media berupa hidrolisat pati. Dengan demikian, siklus pertama digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk beradaptasi, sehingga pada siklus-siklus berikutnya kinerja sel terimobilisasi tersebut menjadi stabil. Yield etanol hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian lain, yaitu 0.27-0.33 g etanolg substrat Kopsahelis et al., 2007 dan 0.34 g etanolg substrat Plessas et al., 2007. Hal ini disebabkan oleh perbedaan total sel awal dan lama fermentasi. Yield hasil penelitian Kopsahelis et al. 2007 lebih rendah disebabkan oleh total sel awal sebanyak 10 9 sel per gram carrier, sedangkan total sel awal pada penelitian ini ialah 1.76x10 11 sel per gram carrier. Dengan total gula awal dan lama fermentasi setiap siklus yang relatif sama, biokatalis yang lebih banyak menyebabkan substrat yang terkonversi menjadi etanol pun lebih banyak, sehingga yield pun semakin meningkat. Hasil penelitian Plessas et al. 2007 lebih rendah disebabkan oleh lama fermentasi lebih singkat, yaitu 10 jam, sedangkan lama fermentasi pada penelitian ini adalah 24 jam. Semakin singkat proses fermentasi, maka waktu yang dimiliki Saccharomyces cerevisiae untuk mengonversi substrat menjadi etanol pun semakin sedikit. Parameter lain berupa persentase konversi gula dan efisiensi, disajikan pada Gambar 8 data lengkap pada Lampiran 2.2. Pacheco et al. 2010 menyampaikan bahwa persentase konversi gula merupakan perbandingan jumlah gula yang dikonversi terhadap jumlah total gula awal. Dalam hal ini, parameter persentase konversi gula tidak hanya mencakup penggunaan hidrolisat untuk menghasilkan etanol, melainkan juga untuk pertumbuhan dan untuk pemenuhan kebutuhan energi sel-sel Saccharomyces cerevisiae. Persentase konversi gula dalam penelitian ini ialah 90.80-95.74. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan kadar total gula awal sebesar 140 gL, jumlah gula yang dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi berkisar antara 127.12-134.04 gL. Hasil ini tergolong cukup tinggi serta tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian lain, yaitu 95.30 Kopsahelis et al., 2007 dan 96.80 Plessas et al., 2007. Tingginya persentase konversi gula ini Gambar 8. Persentase konversi gula dan efisiensi pada setiap siklus repeated-batch 17 menunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong memiliki kemampuan baik dalam memanfaatkan substrat. Berdasarkan persamaan Gay-Lussac, secara teroritis dari setiap penggunaan 1 gram glukosa akan dihasilkan 0.51 gram etanol. Hasil etanol teoritis tersebut dijadikan faktor pembanding dalam penentuan efisiensi produksi. Dalam hal ini, efisiensi merupakan pembandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap faktor pembanding berupa kadar etanol teoritis Pacheco et al., 2010. Perhitungan efisiensi ini dilakukan dengan asumsi hanya gula pereduksi yang dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasai pada ampas singkong. Persamaan Gay-Lussac yang dimaksud ialah sebagai berikut. C 6 H 12 O 6 2C 2 H 5 OH + 2CO 2 + Kalor 1 mol glukosa 2 mol etanol 2 mol karbokdioksida =180 gram glukosa =92 gram etanol Secara prinsip, nilai efisiensi menunjukkan kemampuan Saccharomyces cerevisiae untuk mengubah hidrolisat yang dikonsumsi menjadi etanol. Semakin tinggi nilai efisiensi, jumlah etanol yang dihasilkan berdasarkan substrat yang dikonsumsi pun semakin tinggi. Nilai efisiensi yang dihasilkan dalam penelitian ini ialah 65.91-93.13. Dengan demikian, akan dihasilkan 92.27-130.38 gram etanol untuk setiap 140 gram hidrolisat pati yang dikonsumsi oleh Saccharomyces cerevisiae. Jika dilakukan analisis terhadap setiap siklus, telah terjadi penurunan efisiensi dari siklus fermentasi pertama ke siklus fermentasi kedua selisih 16.76. Penurunan ini dimungkinkan akibat proses adaptasi disebabkan oleh fermentasi dalam kondisi anaerobik. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadi penurunan jumlah sel hidup yang dalam keadaan sama sel-sel tersebut juga melakukan adaptasi. Kondisi Saccharomyces cerevisiae yang telah mampu beradaptasi saat memasuki siklus kedua menjadi faktor kestabilan proses dari siklus tersebut hingga siklus terakhir. Nilai efisiensi sebesar 65.91-93.13 yang dihasilkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan nilai efisiensi hasil penelitian lain, yaitu 52.29- 65.15 Kopsahelis et al., 2007 dan 66.18 Plessas et al., 2007. Nilai efisiensi hasil penelitian ini lebih besar disebabkan oleh faktor yang sama sebagaimana terjadi pada yield etanol. Untuk melihat kelebihan fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong dari fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae bebas, diperlukan perbandingan antara kedua jenis fermentasi tersebut. Hal ini akan menjadi dasar guna mengetahui kemampuan ampas singkong sebagai carrier dalam menjaga fungsi dasar Saccharomyces cerevisiae, yaitu mengonversi hidrolisat menjadi bioetanol. Studi perbandingan tersebut disajikan pada Tabel 4 berikut. 18 Tabel 4. Perbandingan parameter fermentasi antara sel Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi dan sel bebas Parameter Saccharomyces cerevisiae Terimobilisasi pada Ampas Singkong Saccharomyces cerevisiae bebas Nadir et al., 2009 Media Fermentasi Hidrolisat Pati Singkong Hidrolisat Pati Singkong Lama fermentasi jam 24 64 Kadar total gula awal gL 140.00 40.00 Kadar gula akhir gL 6.00-12.80 1.15 Kadar etanol gL 42.46-64.01 34.07 Produktivitas gLjam 1.77-2.67 0.53 Tingkat konversi 90.86-95.72 97.12 Data pada tabel 4 memperlihatkan bahwa produksi bioetanol oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong lebih baik dari produksi bioetanol oleh Saccharomyces cerevisiae bebas. Hal ini berdasarkan waktu fermentasi lebih singkat serta kadar total gula awal, kadar etanol yang dihasilkan dan produktivitas yang lebih tinggi. IV. PENUTUP

4.1 Simpulan

Pemanfaatan pati singkong racun varietas SPP memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol berdasarkan kadar patinya yang mencapai 33.30 bb. Rendemen pati yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 26.20 bb dan efisiensi konversi pati menjadi hidrolisat sebesar 36.89 bb. Ampas singkong hasil perlakuan oleh HCl 3 vv dengan ukuran 0.5-2 mm mampu mengimobilisasi Saccharomyces cerevisiae sebanyak 1.76x10 11 sel per gram ampas. Imobilisasi tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu gaya adsorpsi dari pori-pori ampas singkong dan media yang terdapat dalam pori-pori tersebut. Fermentasi secara repeated-batch oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong dengan pengulangan 6 siklus serta kadar total gula awal sebesar 140 gL telah menghasilkan etanol berkadar 42.72-63.66 gL, produktivitas 1.78-2.64 gLjam, yield 0.33-0.47 g etanolg substrat, persentase konversi gula sebesar 90.80-95.74, serta efisiensi sebesar 65.91-93.13. Hasil ini mengindikasikan bahwa fermentasi secara repeated-batch oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong memiliki kestabilan proses yang baik, serta produktivitas, persentase konversi gula dan efisiensi proses yang tinggi.

4.2 Saran

Saran yang berkaitan dengan penelitian ini disampaikan pada beberapa poin berikut. 19 1. Untuk meningkatkan efisiensi konversi pati menjadi gula, diperlukan pengondisian nilai pH 4-4.5 serta waktu proses yang lebih lama saat sakarifikasi dalam menghidrolisis pati singkong varietas SPP. 2. Perlu dilakukan penelitian optimasi nisbah jumlah carrier dan kadar total gula awal terbaik berdasarkan jumlah sel terimobilisasi, kadar etanol, produktivitas, serta efisiensi. 3. Perlu dikaji lebih lanjut fermentasi secara repeated-batch lebih dari 6 kali siklus untuk mengetahui tingkat kestabilan maksimum ampas singkong sebagai carrier pada imobilisasi secara adsorpsi. DAFTAR PUSTAKA Ageng, D.S. 2009. Profil Fermentasi Sukrosa Menjadi Etanol Menggunakan Zymomonas mobilis yang Dikoamobilkan dengan Ekstrak Invertase. [Skripsi]. Surabaya ID: Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, ITS. Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu Metroxylon sp. untuk Pembuatan Sirup G lukosa Menggunakan α-Amilase dan Amiloglukosidase. [Skripsi]. Bogor ID: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Apriyantono A, Fardiaz, D., Puspitasari N.L., Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. Bogor ID: IPB Press. Aremu, M.O., Layokun, S.K., dan Solomon, B.O. 2010. Production of Poly 3- hydroxybutyrate from Cassava Starch Hydrolysate by Pseudomonas aeruginosa NCIB 950. American Journal of Science and Industrial Research 1 3: 421-426. Ariyajaroenwong, p., Laopaiboon, P., Jaisil, P. dan Laopaiboon, L. 2012. Repeated-batch Ethanol Production from Sweet Sorghum Juice by Saccharomyces cerevisiae Immobilized on Sweet Sorgum Stalks. Energies Vol 5: 1215-1228. Atika, R.D. dan Apsari, A.D. 2012. Pengaruh Konsentrasi Asam Sulfat pada Hidrolisa Asam dalam Pembuatan Etanol dari Onggok Limbah Padat Tepung Tapioka. [laporan penelitian]. Surabaya ID: Departemen Teknik Kimia, ITS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi Singkong Nasional 2008-2012. Jakarta ID: Badan Pusat Statistik RI. de Vasconcelos, J.N., Lopes, C.E. dan de Franca, F.P. 2004. Contonuous Ethanol Production Using Yeast Immobilized on Sugar-cane Stalks. Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 21 03: 357-365. Didu, N. 2010. Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar Ipomea batatas L. secara Fed-Batch dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae. [tesis]. Bogor ID: Sekolah Pascasarjana, IPB.