Penyiapan Carrier dan Imobilisasi Sachharomyces cerevisiae
10 padat dengan bentuk pipih, bersifat padat tidak rapuh, serta berwarna putih-
kecoklatan.
Teknik imobilisasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah adsoprsi oleh
material organik ampas singkong. Secara umum, Shuler dan Kargi 2002 menyampaikan bahwa terdapat tiga teknik utama dalam mengimobilisasi sel, yaitu
adsorpsi, penjeraban entrapment, serta covalent binding. Teknik imobilisasi secara adsorpsi merupakan pelekatan sel pada permukaan carrier dengan
memanfaatkan gaya kimia-fisik, seperti gaya Van der Waals, gaya akibat perbedaan muatan pada dua atau lebih gugus kimia, serta gaya dispersi. Syarat
utama dari teknik ini adalah carrier yang digunakan harus bersifat tidak larut dalam air. Material tersebut dapat berupa bahan organik, inorganik ataupun resin
ion-exchange Dowex, Amberlite, atau Shepadex.
Teknik penjeraban entrapment merupakan pengurungan sel secara fisik dalam matriks atau membran tertentu. Teknik imobilisasi ini merupakan metode
yang paling umum digunakan pada beberapa skala fermentasi. Secara lebih spesifik, beberapa jenis teknik imobilisasi sel yang tergolong dalam entrapment di
antaranya ialah penjeraban dalam matrik, dalam mikroenkapsulasi, serta penjeraban antara membran enkapsulasi. Meskipun cukup umum digunakan,
Ariyajaroenwong et al. 2012 menyampaikan bahwa fermentasi oleh sel terimobilisasi secara entrapment terutama pada Ca-alginat memiliki beberapa
kelemahan, yaitu terdapat pembatasan difusi diffusion limitation bagi substrat dan nutrien lain ke dalam bead, terdapat pengurangan peran sisi aktif sel dalam
mengonversi substrat menjadi etanol, kerusakan pertikel bead akibat respirasi sel yang menghasilkan CO
2
, kestabilan fisik dan kimia yang lemah dari alginat, serta harga carrier yang cukup mahal.
Teknik lainnya yaitu imobilisasi dengan memanfaatkan ikatan kovalen. Teknik ini merupakan penempatan sel pada permukaan carrier melalui
pembentukan ikatan kovalen. Grup fungsional yang terdapat pada permukaan membran sel akan berikatan dengan carrier melalui gugus spesifik, seperti gugus
amino, karboksil, hidroksil, ataupun gugus sulfihidril. Sedangkan grup fungsional pada carrier sebagian besar diaktivasi oleh suatu reagen kimia, seperti cyanogens
bromide, carbodiimide dan glutaraldehyde. Secara lebih spesifik, beberapa jenis
a b
Gambar 4 . Carrier ampas singkong sebelum a dan
sesudah b perlakuan oleh HCl 3
11 imobilisasi yang tergolong dalam teknik ikatan kovalen di antaranya ialah ikatan
kovalen terhadap carrier dan ikatan kovalen terhadap permukaan sel lain. Dalam penelitian ini, sel Saccharomyces cerevisiae diimobilisasi ke dalam
pori-pori ampas singkong yang berperan sebagai carrier. Selain akibat gaya elektrostatik antara selulosa pada carrier dengan gugus amina pada membran sel,
adsorpsi pun berlangsung akibat keberadaan media kultivasi dalam pori-pori ampas singkong. Kondisi ini akan mengarahkan Saccharomyces cerevisiae
memasuki pori-pori untuk mengonsumsi media. Media inilah yang berperan sebagai pengikat antara carrier dan Saccharomyces cerevisiae.
Imobilisasi Saccharomyces cerevisiae pada ampas singkong dengan komponen terbanyak berupa selulosa merupakan teknik imobilisasi yang relatif
baru. Menurut de Vasconcelos et al. 2004, teknik imobilisasi pada serat selulosa yang berasal dari bahan alami memiliki beberapa kelebihan, yaitu pertumbuhan
sel dapat berlangsung lebih cepat yang ditunjukan oleh doubling time lebih singkat, akses yang lebih mudah terhadap substrat, dan harga bahan carrier yang
murah serta ketersediaannya melimpah. Selain itu, fermentasi untuk menghasilkan bioetanol oleh sel terimobilisasi pada serat selulosa cenderung memiliki
produktivitas dan efisiensi yang lebih baik dibandingkan dengan oleh sel terimobilisasi pada Ca-alginat.
Proses imobilisasi dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan kultivasi Saccharomyces cerevisia pada kondisi aerobik selama 24 jam. Kondisi
aerobik bertujuan agar substrat digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk pertumbuhan sel. Shuler dan Kargi 2002 menyatakan bahwa kultivasi dalam
kondisi aerobik mengakibatkan media dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk proses pertumbuhan. Jika kultivasi dilakukan dalam kondisi
anerobik, maka media akan digunakan untuk menghasilkan etanol. Ampas yang mengandung sel terimobilisasi dan Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi
disajikan pada Gambar 5.
Jumlah Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada akhir kultivasi
mencapai 1.76x10
11
sel per gram carrier. Jumlah sel inilah yang menjadi total sel awal dalam fermentasi secara repeated-batch. Jika dibandingkan dengan
penelitian lain, maka jumlah sel terimobilisasi pada penelitian ini lebih banyak
Gambar 5.
Ampas yang mengandung sel terimobilisasi a dan Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi dengan perbesaran 400x b
b a
12 dibandingkan dengan hasil penelitian lain, yaitu Kopsahelis et al. 2007 dengan
jumlah sel terimobilisasi sekitar 10
9
sel per gram carrier. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi proses dan jenis carrier. Kopsahelis et al. 2007
mengimobilisasi Saccharomyces cerevisiae dari ragi roti pada volume kerja 800 mL dengan menggunakan ampas gandum sebagai carrier, sedangkan
penelitian ini mengimobilisasi Saccharomyces cerevisiae yang ditumbuhkan dari isolat murni pada volume kerja 100 mL dengan menggunakan ampas singkong
sebagai carrier. 3.3
Fermentasi secara Repeated-Batch
Fermentasi pada penelitian ini dilakukan secara repeated-batch sebanyak 6 siklus. Kopsahelis et al. 2007 melakukan penelitian produksi bioetanol secara
repeated-batch oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas gandum. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa jumlah siklus batch yang
dapat dicapai ialah 6 kali. Hasil tersebut menjadi dasar penentuan jumlah siklus yang digunakan dalam penelitian ini.
Pada dasarnya, mekanisme konversi glukosa menjadi etanol dalam fermentasi secara repeated-batch ini terdiri atas dua tahapan utama, yaitu
pembentukan piruvat dan pembentukan etanol dari piruvat tersebut. Pembentukan piruvat berlangsung melalui jalur glikolisis yang merupakan rangkaian reaksi-
reaksi fosforilasi dan defosforilasi. Senyawa yang berperan sebagai donor dan akseptor fosfat dalam jalur glikolisis ialah ATP dan ADP Didu, 2010. Secara
keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam jalur glikolisis ialah sebagai berikut.
C
6
H
12
O
6
+ 2ADP + 2NAD
+
+ 2Pi 2priuvat + 2ATP + 2NADH+H
+
Gulkosa Adenosin
Fosfat Adenosin
difosfat inorganik trifosfat
Dalam tahapan selanjutnya, piruvat yang telah dihasilkan dari jalur glikolisis diubah menjadi asetaldehid oleh enzim piruvat dekarboksilase disertai
pelepasan CO
2
. Reaksi terakhir ialah konversi asetaldehid menjadi etanol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Secara keseluruhan, reaksi yang berlangsung dalam
proses konversi piruvat menjadi etanol ialah sebagai berikut. Substrat utama dalam produksi bioetanol pada penelitian ini ialah
hidrolisat pati singkong. Akyuni 2004 menyatakan bahwa selain mengandung gula pereduksi glukosa dan fruktosa, hidrolisat pati juga mengandung jenis gula-
13 gula lain, salah satunya ialah sukrosa. Dalam hal ini, sukrosa pun dapat dikonversi
menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae melalui dua tahap utama. Tahap pertama adalah pemecahan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, sedangkan
tahap kedua adalah konversi glukosa ataupun fruktosa menjadi etanol Ageng, 2009. Secara umum, reaksi konversi sukrosa menjadi etanol adalah sebagai
berikut.
C
12
H
22
O
11
+ H
2
O C
6
H
12
O
6
+ C
6
H
12
O
6
Sukrosa Air
Glukosa Fruktosa
C
6
H
12
O
6
2C
2
H
5
OH + 2CO
2
+ Kalor Glukosa
Etanol Karbondioksida Kadar etanol hasil penelitian ini adalah 42.72-63.66 gL. Hasil analisa
terhadap kondisi setiap siklus menunjukkan telah terjadi penurunan kadar etanol dan peningkatan kadar gula sisa seiring dengan peningkatan jumlah siklus. Kadar
etanol tertinggi dihasilkan pada siklus pertama, yaitu 63.66 gL dan pada siklus yang sama kadar gula sisa berada pada konsentrasi terendah 5.96 gL. Kadar
etanol terendah dihasilkan pada siklus terakhir, yaitu 42.72 gL dan pada siklus yang sama kadar gula sisa berada pada konsentrasi tertinggi 12.88 gL.
Penurunan kadar etanol bersamaan dengan peningkatan kadar gula sisa ini disebabkan oleh sel perlu beradaptasi terhadap lingkungan baru. Adaptasi
berlangsung sebagai konsekuensi dari media fermentasi yang berbeda dengan media imobilisasi. Selain itu, adaptasi pun berlangsung disebabkan oleh kondisi
imobilisasi sel dalam keadaan aerobik, sedangkan fermentasi dalam keadaan anerobik. Gambar 6 menyajikan kadar etanol dan kadar gula sisa hasil penelitian
ini data lengkap disajikan pada Lampiran 2.a.
Untuk mengetahui perbedaan antara satu siklus dengan siklus berikutnya,
dilakukan analisa statistika menggunakan Uji T den gan nilai α=0.05 Riduan dan
Akdon, 2010. Hasil Uji T tersebut disajikan pada Lampiran 3 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan secara signifikan antara kadar etanol dan kadar gula
sisa pada siklus pertama dengan siklus kedua, sedangkan antara siklus kedua dan
Gambar 6. Kadar etanol dan kadar gula sisa pada setiap siklus
repeated-batch
14 siklus-siklus selanjutnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan
signifikan antara siklus pertama dan kedua memperlihatkan bahwa proses berlangsung tidak stabil yang ditunjukkan dengan penurunan kadar etanol cukup
tinggi selisih 12.92 gL atau turun sebesar 20.28. Penurunan produksi kadar etanol ini disebabkan oleh sel perlu beradaptasi terhadap media dan kondisi proses
yang berbeda dari media dan kondisi saat imobilisasi sel. Media kultivasi yang digunakan saat imobilisasi ialah media sintetik serta dilangsungkan dalam kondisi
aerobik, sedangkan media saat fermentasi ialah hidrolisat pati singkong serta dilangsungkan dalam kondisi anaerobik.
Hasil Uji T menunjukkan bahwa fermentasi secara repeated-batch berlangsung stabil pada siklus kedua hingga siklus terakhir. Kondisi tersebut
sesuai dengan target dari fermentasi secara repeated-batch, yaitu diharapkan proses pada setiap siklus berlangung stabil Pacheco et al., 2010. Dengan
demikian, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa ampas singkong cocok dan baik untuk digunakan sebagai carrier pada imobilisasi sel Saccharomyces
cerevisiae.
Kadar etanol hasil penelitian ini 42.72-63.66 gL lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian lain, yaitu 19.82-37.83 gL Pacheco et al.,
2010, 40.92-51.67 gL Kopsahelis et al., 2007, dan 51.30 gL Plessas et al., 2007. Kadar etanol hasil penelitian ini lebih tinggi disebabkan oleh kemampuan
ampas singkong yang lebih banyak mengimobilisasi sel dibandingkan dengan jenis carrier lain, seperti ampas jambu mete Pacheco et al., 2010, ampas
gandum Kopsahelis et al., 2007, dan kulit jeruk Plessas et al., 2007. Kadar etanol hasil penelitian ini lebih tinggi juga dipengaruhi oleh perbedaan kadar total
gula awal, kondisi pH awal, serta jumlah total sel awal. Berbagai faktor tersebut dibahas secara lebih spesifik bersamaan dengan pembahasan pada parameter-
parameter selanjutnya. Parameter lain berupa produktivitas dan yield hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 7 data lengkap disajikan pada Lampiran
2.2.
Produktivitas merupakan perbandingan antara kadar etanol yang
dihasilkan terhadap lama fermentasi Pacheco et al., 2010. Hal ini berarti bahwa terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi produktivitas fermentasi, yaitu
Gambar 7. Produktivitas dan yield etanol pada setiap siklus
repeated-batch
15 lama fermentasi dan kadar etanol. Dengan lama fermentasi yang sama 24 jam,
semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan, produktivitas pun akan semakin tinggi. Produktivitas etanol hasil penelitian ini adalah sebesar 1.78-2.66 gLjam.
Lama fermentasi yang relatif sama pun digunakan oleh Kopsahelis et al. 2007 yang menghasilkan produktivitas fermentasi lebih rendah, yaitu 1.52-2.00
gLjam. Perbedaan produktivitas ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu jenis carrier, kondisi proses, dan nilai pH awal.
Nilai pH awal pada penelitian ini adalah 5.5, sedangkan Kopsahelis et al. 2007 menggunakan pH awal 7-7.5. Casida seperti disitir oleh Supatmawati
2010 menyatakan bahwa pH optimal bagi aktivitas Saccharomyces cerevisiae adalah 3-6. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pH awal dalam kisaran
optimal, sedangkan penelitian Kopsahelis et al. 2007 di luar kisaran pH optimal. Hal tersebutlah yang menyebabkan produktivitas pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan penelitian Kopsahelis et al. 2007. Meskipun demikian, produktivitas hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Plessas et al. 2007,
yaitu 5.13 gLjam. Perbedaan produktivitas ini disebabkan oleh perbedaan kadar total gula awal dan jumlah total sel awal. Kadar total gula awal pada penelitian ini
ialah 140 gL dengan jumlah total sel awal sebanyak 1.76x10
11
sel per gram carrier, sedangkan kadar total gula awal pada penelitian Plessas et al. 2007
adalah 125 gL dengan jumlah total sel awal 10
13
sel per gram carrier. Kondisi total gula awal lebih rendah serta jumlah total sel awal lebih tinggi menyebabkan
konversi gula menjadi etanol berlangsung lebih cepat, sehingga produktivitas pun lebih tinggi.
Yield merupakan perbandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap jumlah substrat yang digunakan Pacheco et al., 2010. Dengan demikian, selain
faktor jumlah etanol yang dihasilkan, parameter yield pun dipengaruhi oleh jumlah substrat yang dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae. Pemanfaatan
substrat dalam jumlah lebih banyak tidak secara pasti akan menghasilkan yield dalam jumlah yang lebih tinggi. Kondisi ini dikarenakan substrat tidak hanya
dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae, melainkan juga dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan pemenuhan energi bagi sel-sel tersebut.
Yield etanol yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0.33-0.47 g etanolg substrat. Nilai yield ini menunjukkan bahwa dihasilkan etanol sekitar 0.33-0.47
gram untuk setiap penggunaan 1 gram hidrolisat pati oleh Saccharomyces cerevisiae.
Untuk mengetahui kestabilan proses selama fermentasi, dilakukan analisa statistik guna mengevaluasi signifikansi perbedaan nilai yield antara satu siklus
dengan siklus-siklus berikutnya. Analisa statistik yield dilakukan secara terpisah dari analisa statistik kadar etanol disebabkan oleh perbedaan faktor yang
mempengaruhi kedua parameter tersebut. Dalam perhitungan parameter yield dilakukan perbandingan terhadap jumlah hidrolisat pati yang dikonsumsi sel,
sedangkan dalam perhitungan kadar etanol tidak dilakukan perbandingan serupa.
Hasil Uji T dengan nilai α=0.05 memperlihatkan bahwa terdapat
perbedaan signifikan antara yield etanol pada siklus pertama dengan siklus kedua, sedangkan pada siklus-siklus selanjutnya tidak terdapat perbedaan signifikan data
lengkap pada Lampiran 3. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan nyata antara yield etanol pada siklus pertama dan siklus kedua, namun yield etanol stabil pada
siklus kedua hingga siklus terakhir. Penurunan yield etanol dari siklus pertama ke
16 siklus kedua disebabkan oleh kondisi lingkungan dan proses fermentasi.
Fermentasi pada siklus pertama dilakukan oleh Sacchaaromyces cerevisiae hasil kultivasi saat imobilisasi secara aerobik menggunakan media sintetik. Akan tetapi,
proses fermentasi secara repeated-batch dilakukan secara anaerobik dalam media berupa hidrolisat pati. Dengan demikian, siklus pertama digunakan oleh
Saccharomyces cerevisiae untuk beradaptasi, sehingga pada siklus-siklus berikutnya kinerja sel terimobilisasi tersebut menjadi stabil.
Yield etanol hasil penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian lain, yaitu 0.27-0.33 g etanolg substrat Kopsahelis et al., 2007 dan
0.34 g etanolg substrat Plessas et al., 2007. Hal ini disebabkan oleh perbedaan total sel awal dan lama fermentasi. Yield hasil penelitian Kopsahelis et al. 2007
lebih rendah disebabkan oleh total sel awal sebanyak 10
9
sel per gram carrier, sedangkan total sel awal pada penelitian ini ialah 1.76x10
11
sel per gram carrier. Dengan total gula awal dan lama fermentasi setiap siklus yang relatif sama,
biokatalis yang lebih banyak menyebabkan substrat yang terkonversi menjadi etanol pun lebih banyak, sehingga yield pun semakin meningkat. Hasil penelitian
Plessas et al. 2007 lebih rendah disebabkan oleh lama fermentasi lebih singkat, yaitu 10 jam, sedangkan lama fermentasi pada penelitian ini adalah 24 jam.
Semakin singkat proses fermentasi, maka waktu yang dimiliki Saccharomyces cerevisiae untuk mengonversi substrat menjadi etanol pun semakin sedikit.
Parameter lain berupa persentase konversi gula dan efisiensi, disajikan pada Gambar 8 data lengkap pada Lampiran 2.2.
Pacheco et al. 2010 menyampaikan bahwa persentase konversi gula
merupakan perbandingan jumlah gula yang dikonversi terhadap jumlah total gula awal. Dalam hal ini, parameter persentase konversi gula tidak hanya mencakup
penggunaan hidrolisat untuk menghasilkan etanol, melainkan juga untuk pertumbuhan dan untuk pemenuhan kebutuhan energi sel-sel Saccharomyces
cerevisiae. Persentase konversi gula dalam penelitian ini ialah 90.80-95.74. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan kadar total gula awal sebesar 140 gL,
jumlah gula yang dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi berkisar antara 127.12-134.04 gL. Hasil ini tergolong cukup tinggi serta tidak
jauh berbeda dengan hasil penelitian lain, yaitu 95.30 Kopsahelis et al., 2007 dan 96.80 Plessas et al., 2007. Tingginya persentase konversi gula ini
Gambar 8. Persentase konversi gula dan efisiensi pada setiap
siklus repeated-batch
17 menunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas
singkong memiliki kemampuan baik dalam memanfaatkan substrat. Berdasarkan persamaan Gay-Lussac, secara teroritis dari setiap
penggunaan 1 gram glukosa akan dihasilkan 0.51 gram etanol. Hasil etanol teoritis tersebut dijadikan faktor pembanding dalam penentuan efisiensi produksi. Dalam
hal ini, efisiensi merupakan pembandingan jumlah etanol yang dihasilkan terhadap faktor pembanding berupa kadar etanol teoritis Pacheco et al., 2010.
Perhitungan efisiensi ini dilakukan dengan asumsi hanya gula pereduksi yang dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasai pada
ampas singkong. Persamaan Gay-Lussac yang dimaksud ialah sebagai berikut.
C
6
H
12
O
6
2C
2
H
5
OH + 2CO
2
+ Kalor 1 mol glukosa
2 mol etanol 2 mol karbokdioksida =180 gram glukosa
=92 gram etanol Secara prinsip, nilai efisiensi menunjukkan kemampuan Saccharomyces
cerevisiae untuk mengubah hidrolisat yang dikonsumsi menjadi etanol. Semakin tinggi nilai efisiensi, jumlah etanol yang dihasilkan berdasarkan substrat yang
dikonsumsi pun semakin tinggi. Nilai efisiensi yang dihasilkan dalam penelitian ini ialah 65.91-93.13. Dengan demikian, akan dihasilkan 92.27-130.38 gram
etanol untuk setiap 140 gram hidrolisat pati yang dikonsumsi oleh Saccharomyces cerevisiae.
Jika dilakukan analisis terhadap setiap siklus, telah terjadi penurunan efisiensi dari siklus fermentasi pertama ke siklus fermentasi kedua selisih
16.76. Penurunan ini dimungkinkan akibat proses adaptasi disebabkan oleh fermentasi dalam kondisi anaerobik. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadi
penurunan jumlah sel hidup yang dalam keadaan sama sel-sel tersebut juga melakukan adaptasi. Kondisi Saccharomyces cerevisiae yang telah mampu
beradaptasi saat memasuki siklus kedua menjadi faktor kestabilan proses dari siklus tersebut hingga siklus terakhir.
Nilai efisiensi sebesar 65.91-93.13 yang dihasilkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan nilai efisiensi hasil penelitian lain, yaitu 52.29-
65.15 Kopsahelis et al., 2007 dan 66.18 Plessas et al., 2007. Nilai efisiensi hasil penelitian ini lebih besar disebabkan oleh faktor yang sama sebagaimana
terjadi pada yield etanol.
Untuk melihat kelebihan fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong dari fermentasi oleh Saccharomyces
cerevisiae bebas, diperlukan perbandingan antara kedua jenis fermentasi tersebut. Hal ini akan menjadi dasar guna mengetahui kemampuan ampas singkong sebagai
carrier dalam menjaga fungsi dasar Saccharomyces cerevisiae, yaitu mengonversi hidrolisat menjadi bioetanol. Studi perbandingan tersebut disajikan pada Tabel 4
berikut.
18
Tabel 4. Perbandingan parameter fermentasi antara sel Saccharomyces cerevisiae
terimobilisasi dan sel bebas
Parameter Saccharomyces cerevisiae
Terimobilisasi pada Ampas Singkong
Saccharomyces cerevisiae bebas
Nadir et al., 2009
Media Fermentasi Hidrolisat Pati Singkong
Hidrolisat Pati Singkong Lama fermentasi jam
24 64
Kadar total gula awal gL 140.00
40.00 Kadar gula akhir gL
6.00-12.80 1.15
Kadar etanol gL 42.46-64.01
34.07 Produktivitas gLjam
1.77-2.67 0.53
Tingkat konversi 90.86-95.72
97.12 Data pada tabel 4 memperlihatkan bahwa produksi bioetanol oleh
Saccharomyces cerevisiae terimobilisasi pada ampas singkong lebih baik dari produksi bioetanol oleh Saccharomyces cerevisiae bebas. Hal ini berdasarkan
waktu fermentasi lebih singkat serta kadar total gula awal, kadar etanol yang dihasilkan dan produktivitas yang lebih tinggi.
IV. PENUTUP