Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang dipengaruhi dan mempengaruhi, atau yang satu mempengaruhi dan yang lain mematuhi. Hubungan
ini selalu diamati dan dipelajari oleh ilmuwan politik yang mengikuti pandangan ketiga ini.
Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan mempertahankan kekuasaan juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, konseptualisasi tersebut
tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiyai atau pendeta untuk
mempengaruhi jamaah agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik. Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang
kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di atas diikuti
maka kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara berfikir dan perilaku anggota jamaah termasuk dalam kategori kegiatan politik. Kedua,
kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih memiliki konsep-konsep yang lain seperti kewenangan, legitimasi,
konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan ideologi. Jadi politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan semata dalam ilmu
politik merupakan konseptualisasi yang sempit dan kurang tajam. Walaupun harus diakui bahwa konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tidak
terpisahkan dari ilmu politik.
4. Pandangan Fungsionalisme
Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan
tersebut di atas. Dewasa ini para sarjana politik memandang politik dari kacamata fungsional. Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elit politik dalam
membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Di antara sarjana politik yang menggunakan pandangan fungsional dalam
mempelajri gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell. David Easton merumuskan politik sebagai the authoritative allocation of values for a society, atau
6
alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat.
Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan yang mempengaruhi mendukung, mengubah, menentang proses
pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who
gets what, when, how, atau masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. “Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilai-nilai, “Kapan” berarti
ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak, “Bagaimana” berarti dengan cara apa
seseorang mendapatkan nilai-nilai. Yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai sebagai
hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang
bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan yang
Maha Esa, kemanusiaan, kehormatan, dan nasionalisme. Di samping yang bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret seperti pangan, sandang,
perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Nilai-nilai itu ada yang berupa kebutuhan spiritual, ada
pula yang berupa kebutuhan materi-jasmaniah. Nilai yang abstrak dan kongkrit itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan umum yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah. Jadi, kegiatan mempengaruhi pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum berarti mempengaruhi pembagian dan penjatahan
nilai-nilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat. Kelemahan pandangan fungsionalisme adalah menempatkan pemerintah
sebagai sarana dan wasit terhadap persaingan di antara berbagai kekuatan politik untuk mendapatkan nilai-nilai yang terbanyak dari kebijakan umum.
Fungsionalisme mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga memiliki kepentingan sendiri, baik berupa kepentingan yang melekat pada kepentingan
lembaga pemerintah yang mewakili kepentingan umum, maupun kepentingan para elit yang memegang jabatan melaksanakan peranan.
7
Di samping itu, fungsionalisme cenderung melihat nilai-nilai secara instrumental bukan sebagai tujuan seperti yag ditekankan pandangan klasik. Bagi
fungsionalisme nilai-nilai sebagai tujuan bersifat sangat relatif karena berbeda dari satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain.
Dalam hal ini, politik tidak dapat pernah bersifat netral, bahwa politik secara ideal seharusnya menyangkut kebaikan bersama.
5. Pandangan Konflik