II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka 1. Teknik Begg pada Perawatan Maloklusi Klas II divisi 1
Maloklusi merupakan penyimpangan oklusi dari nilai normal. Menurut Angle maloklusi Klas II divisi 1 terjadi apabila tonjol distobukal molar permanen pertama atas terletak
dalam bukal groove molar permanen pertama bawah dan insisivus atas proklinasi sehingga overjet besar Linden dkk., 2000.
Karakteristik maloklusi Angle Klas II divisi 1 yaitu mandibula retrognatik, maksila protrusif atau kombinasinya disertai relasi vertikal skeletal rendah dengan overjet besar,
overbite besar dan sudut interinsisal tajam. Morfologi skeletal-dental dan diskrepansi skeletal-dentoalveolar yang dimiliki bervariasi luas Sidlaukas dkk., 2006. Diskrepansi
rahang yang besar membatasi pergerakan antero-posterior gigi insisivus sehingga relasi oklusal sulit dicapai Soliman dkk., 2009.
Teknik Begg pada tahun 1959 dikembangkan oleh Raymond Begg, bertujuan memperbaiki maloklusi dengan karakteristik gerakan tipping gigi. Gerakan bodily dicapai
melalui dua tahap yaitu gerakan tipping posisi mahkota gigi kemudian diikuti gerakan torquing posisi akar gigi. Prinsip pergerakan gigi teknik Begg adalah mekanisme
differensial force yang efektif untuk mengontrol gerakan tipping, bodily dan torquing Cadman, 1975. Kekuatan fisiologis ringan serta kontinyu menghasilkan pergerakan
gigi yang sangat cepat pada teknik Begg. Gaya tersebut dihasilkan dari pemakaian kawat yang lenting dan gaya ringan dari elastik Williams sit. Salzmann, 1974. Braket Begg
memungkinkan gerakan tipping karena hanya ada one point kontak antara braket dan
9 round wire. Keistimewaan teknik Begg yaitu perawatan dilakukan secara komprehensif
sehingga koreksi profil wajah pada kasus Klas II divisi 1 menjadi cepat karena retraksi gigi anterior terjadi bersamaan dengan perubahan oklusi semua gigi dan bite opening,
hal tersebut memungkinkan terjadinya perubahan posisi mandibula sebagai akibat gaya dari pemakaian elastik intermaksiler Klas II Cadman, 1975
.
Perawatan teknik Begg dibagi menjadi 3 tahap. Tahap 1, dilakukan general alignment dan koreksi lengkung gigi, meliputi over-koreksi relasi molar, pengurangan overbite
dan retraksi insisivus atas secara tipping sehingga dicapai relasi edge to edge terhadap insisivus bawah Cadmand,1975; Williams sit.Salzmann,1974. Bite opening terjadi
melalui ekstrusi molar bawah dan melalui intrusi gigi anterior bawah, yang dihasilkan dari kerjasama gaya elastik intermaksiler Klas II dan anchorage bend Cadman, 1975.
Elastik intermaksiler Klas II memberikan gaya antero-posterior, transversal dan vertikal. Gaya tersebut menyebabkan ekstrusi molar bawah dan insisivus atas serta rotasi bidang
oklusal searah jarum jam. Ekstrusi molar yang melebihi pertumbuhan vertikal ramus menyebabkan mandibula berotasi downward Profit dkk.,2007. Anchorage bend memberikan
gaya intrusi pada insisivus atas dan bawah apabila arch wire di pin pada braket slot.
Pada keadaan pasif archwire atas dan bawah akan berada tepat di mucco-buccal fold anterior Fletcher, 1981.
Campe dkk.sit. Begg dan Kesling,1977 menyatakan proses bite opening pada teknik light wire merupakan hal yang unik karena hanya dihasilkan dari intrusi insisivus
bawah. Gaya intrusi anchorage bend pada insisivus atas dihambat oleh gaya ekstrusi dari komponen vertikal elastik intermaksiler Klas II sehingga tekanan intrusi insisivus atas
10 tidak kontinyu. Tepi mesial ridge gigi anchorage molar tidak mengalami elevasi pada
keadaan tersebut Gambar 1
Pada tahap 2 teknik Begg dilakukan penutupan sisa ruang bekas pencabutan space closing dengan menarik gigi posterior ke mesial dan mempertahankan hasil koreksi
yang sudah dicapai pada tahap 1. Hasil akhir tahap 2 dicapai koreksi crowding, spacing dan rotasi gigi segmen anterior-posterior serta memungkinan terjadinya posisi tipping
gigi insisivus yang berlebihan “dish in” Cadmand, 1975; Williams sit. Salzmann, 1974. Tahap 3 teknik Begg, hasil koreksi yang sudah dicapai pada tahap 2 dipertahankan
dilakukan koreksi gigi posterior yang tilting melalui gerakan uprigting dan torquing gigi anterior yang tipping ke palatal Cadmand, 1975; Williams sit. Salzmann, 1974. Pemakaian
B 2
2 1
3 1
A
Gambar 1. Komponen gaya anchorage bend dan elastik Klas II yang bekerja pada teknik Begg. Keterangan: A. Insisivus atas : 1.Gaya retraksi dari komponen
horisontal elastik Klas II 2. Gaya ekstrusi dari komponen vertikal elastik Klas II 3.Gaya intrusi dari anchorage bend B. Insisivus bawah : 1. Gaya
protraksi dari komponen horisontal elastik Klas II. 2. Gaya intrusi dari anchorage bend Hellegondsberg, 1972 sit. Yulia, 2000
11 Gambar 2. Pergerakan tipping gigi pada teknik Begg. A. Posisi dan oklusi gigi pada
akhir tahap 1 ; B. Posisi dan oklusi gigi pada permulaan tahap 3.; C. Selama tahap 3 dilakukan torquing akar gigi untuk mendapatkan sumbu inklinasi
gigi yang baik Cadman, 1975. elastik intermaksiler Klas II mengontrol torquing palatal akar gigi anterior atas sehingga
mahkota insisivus atas tertahan terhadap gerakan ke labial. Prosedur torquing tersebut sangat efektif menghasilkan sudut interinsisal yang optimal Williams sit. Salzmann, 1974.
Perawatan teknik Begg pada 3 tahapan yang dilakukan menggambarkan adanya perubahan inklinasi gigi anterior di setiap akhir tahap perawatan Cadman, 1975. Gambar 2
.
2. Sudut Interinsisal Sudut interinsisal pertama kali diperkenalkan oleh Down dengan definisi derajat
prokumbensi gigi insisivus yang dibentuk oleh perpotongan panjang inklinasi insisivus atas dan bawah Linden dkk., 2000. Sudut interinsisal pada oklusi normal, secara estetik
membentuk profil wajah yang lurus Profit dkk., 2007 dan merupakan faktor utama kestabilan dalam mencegah relaps hasil perawatan ortodontik Rakosi,1982.
Oklusi normal insisivus menurut British Standard Institute, apabila insisal insisivus bawah berkontak tepat dibawah singulum pada sepertiga tengah permukaan palatal
insisivus atas Heasman, 2003. Gigi berada dalam keseimbangan antara 2 kekuatan secara fungsional pada keadaan tersebut Profit dkk., 2007.
Sudut interinsisal bernilai normal 135 ˚ Rakosi,1982, analisis Down menilai berkisar
130 ˚ sampai 150˚ dan analisis Steiner menetapkan 130˚.
Besar sudut interinsisal kurang C
B A
12 dari nilai normal menggambarkan sudut yang tajam dengan inklinasi gigi insisivus atas-
bawah tipping ke labial terhadap basal tulang rahang sehingga diperlukan uprighting gigi tersebut dan sebaliknya Jacobson, 1995. Nilai normal sudut insisal bervariasi berdasarkan
jenis kelamin dan ras individu Feire dkk.,2007. Pergerakan gigi insisivus atas-bawah dalam mengkoreksi sudut interinsisal dibatasi
oleh bentuk anatomi dan ukuran tulang basal rahang. Hubungan anteroposterior rahang atas-bawah ditentukan oleh besar sudut ANB titik A-Nasion- titik B, yang menurut
Steiner 1960 sit. Jacobson, 1995 bernilai normal 2°. Penyimpangan skeletal atau rahang derajat sedang menyebabkan gerakan tipping kadang tidak cukup untuk memperbaiki
hubungan oklusi sehingga perlu dilakukan gerakan bodily atau torque akar Foster, 1999. Retraksi insisivus atas dilakukan dengan gerakan bodily atau gerakan tipping yang
kemudian diikuti torquing, sedangkan kebutuhan over-retraksi dapat dikurangi dengan sedikit proklinasi insisivus bawah Bennet dan Mclaughkin, 1993; Foster, 1999. Gerakan
proklinasi insisivus bawah yang berlebihan dapat mengakibatkan penetrasi akar gigi melampaui lingual cortical plate tulang Kim dkk., 2005.
3. Hubungan Sudut Interinsisal, Overbite dan Overjet Overbite adalah jarak vertikal tumpang gigit tepi insisal insisivus atas ke tepi insisal
insisivus bawah. Nilai normal overbite apabila tepi insisal insisivus bawah berkontak dengan singulum permukaan palatal insisivus atas Profit dkk., 2007; secara klinis bernilai
normal apabila insisivus atas menutupi sepertiga insisivus bawah 2- 4 mm Feire dkk., 2007. Inklinasi insisivus bawah mengontrol besar overbite pada saat perawatan ortodontik.
Overbite berkurang apabila insisivus bawah flaring dan overbite bertambah apabila
13 tipping ke lingual Nauman dkk., 2000. Koreksi overbite dilakukan melalui intrusi
atau tipping ke labial gigi anterior serta ekstrusi atau uprighting gigi posterior Bennet dan Mclaughkin, 1993.
Overjet adalah jarak horisontal tepi insisal gigi insisivus atas ke permukaan labial insisivus bawah. Nilai normal overjet 2-3 mm Bennet dan Mclaughkin, 1993. Koreksi
overjet dilakukan melalui proklinasi insisivus bawah, retraksi insisivus atas, distalisasi atau pembatasan pertumbuhan maksila ke depan serta mesialisasi mandibula. Mesialisasi
mandibula dapat diakibatkan oleh rotasi pertumbuhan mandibula ke depan, pertumbuhan kondilus dan pembatasan pertumbuhan vertikal dental-skeletal Bennet dan Mclaughkin,
1993. Besar overbite dipengaruhi oleh besar sudut interinsisal Bennet dan Mclaughkin,
1993; Foster, 1999; Feire dkk., 2007 dan perubahan vertikal dento-skeletal yang meliputi faktor pertumbuhan vertikal skeletal mandibula serta rotasi mandibula.
Sudut interinsisal, overjet dan overbite dipengaruhi oleh diskrepansi ukuran gigi anterior Sangcharearn
dan Ho, 2007 dan inklinasi insisivus atas-bawah Bennet dan Mclaughkin, 1993. Eberhart
dkk. 1987, sit. Nauman dkk., 2000 menjelaskan hubungan overbite dengan perubahan inklinasi insisivus dipengaruhi oleh lokasi pusat rotasi gigi. Gaya yang diberikan pada
gigi insisivus dengan pusat rotasi makin jauh ke arah apikal akan menyebabkan perubahan overbite makin besar akibat inklinasi gigi insisivus yang berubah. Gigi insisivus dengan
pusat rotasi terletak pada insisal gigi, apabila diberikan gaya maka overbite tidak berubah walaupun terjadi perubahan inklinasi gigi insisivus.
Fletcher1981 menggunakan referensi bidang horisontal MaxPMaxillary Plane bidang maksila dan MPMandibula Plane bidang mandibula untuk menilai perubahan
14 inklinasi insisivus. Bidang tersebut memberikan gambaran dari ukuran pergerakan akar
dan mahkota gigi insisivus secara tepat. Bidang maksila dibentuk oleh garis yang ditarik melalui titik ANS Spina Nasalis Anterior dan PNS Spina Nasalis Posterior Jacobson,
1995. Penelitian tentang bidang referensi kraniofasial menunjukkan besarnya variasi interindividual dan intraindividual pada bidang tersebut. Suatu bidang vertikal atau
bidang horizontal sejati membentuk gambaran catatan NHP Nature Head Position Posisi kepala Alami dalam sistem referensi kraniofasial yang valid. NHP merupakan
posisi kepala ketika seseorang berdiri dengan pandangan lurus horisontal kedepan dalam postur alami yang harus direkam secara tepat pada saat dilakukan foto rontgen atau foto
profil. Tracing sefalometri lateral yang berorientasi pada NHP memberikan analisis tracing superimpuse yang valid. Bidang maksila menjadi pilihan bidang referensi horisontal
kraniofasial karena lebih menyerupai dan mendekati garis horisontal sejati dibandingkan SN Sella Tursica- Nasion dan FH Frankfrut- Horizontal Madsen,dkk., 2008.
Sudut interinsisal, overjet dan overbite terletak dalam ruang MMPA Mandibular maxillary planes angle. MMPA merupakan sudut yang dibentuk oleh perpotongan bidang
maksila palatal dan bidang mandibula. Rerata MMPA 27 ˚ ± 4˚, tinggi jika lebih besar
dari 31 ˚ dan rendah jika lebih kecil dari 23˚, yang dalam pengukuran linear ANS- Me
Spina Nasalis Anterior–Menton menggambarkan LAFH Heasman, 2003; Sangcharearn dan Ho, 2007. Besar LAFH berperan dalam keharmonisan profil wajah pada arah vertikal,
sedangkan profil wajah pada arah sagital dipengaruhi oleh besar sudut interinsisal Johnston dkk., 2005.
MMPA merupakan salah satu sudut dalam tetragon yang diperkenalkan oleh Dr. Jorge Fastlicth 2000. Tetragon mempunyai 4 sisi yang membentuk 4 sudut UI-MaxP;
15 UI-LI; LI-MP dan MaxP-MP MMPA dengan jumlah keseluruhan sudut bernilai 360
˚ Gambar 3. Sudut tetragon dapat berubah pada proses pertumbuhan atau perawatan
ortodontik, namun jumlah keseluruhannya tetap sama. Sudut interinsisal juga merupakan salah satu sudut yang terbentuk dalam tetragon, sehingga hubungan sudut interinsisal,
overbite dan overjet pada sefalogram lateral dapat digambarkan melalui struktur maksilo- dento-mandibula pada komplek kraniofasial Fastlicth, 2000 sit. Prakash, 2004.
Gambar 3. Hubungan insisivus dalam Tetragon dengan komponen bidang serta sudut pendukung. Keterangan : 1. Bidang maksila MaxP; 2. Bidang mandibula
MP; 3. Bidang oklusal OccP; 4. Sumbu insisivus sentral maksila UI; 5. Sumbu insisivus sentral mandibula LI; 6.Sudut Interinsisal UI-LI 7.
Sudut inklinasi insisivus atas terhadap bidang maksila UI- MaxP; 8. Sudut inklinasi insisivus bawah terhadap bidang mandibula LI-MP; 9.Sudut
bidang maksila terhadap bidang mandibula MMPA Fastlicth, 2000 sit. Prakash, 2004
LAFH
bidang horizontal sejati bidang vertikal sejati
16 Pada gambar 3, diketahui bahwa dalam tetragon besar MMPA berpengaruh terhadap
besar sudut interinsisal, besar inklinasi insisivus atas sudut UI-Max dan besar inklinasi insisivus bawah sudut LI-MP Prakash, 2004 . Menurut Heasman 2003, besar MMPA
berpengaruh terhadap besar overbite serta LAFH. MMPA berubah apabila dilakukan pencabutan gigi dan atau perawatan ortodontik. Besar sudut interinsisal dipengaruhi
oleh besar inklinasi insisivus atas dan insisivus bawah. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi hubungan vertikal-sagital skeletal dalam struktur maksilo-dento-mandibula
Bennet dan Mclaughkin, 1993. Menurut Foster 1999, berbagai variasi hubungan
skeletal dapat menghasilkan hubungan oklusi yang berbeda, walaupun gigi terletak pada posisi yang sama dalam rahang. Hubungan skeletal yang sama bisa menghasilkan
hubungan oklusal yang berbeda akibat adanya variasi inklinasi gigi-gigi dalam rahang. Variasi hubungan skeletal dan inklinasi insisivus atas-bawah berpengaruh terhadap
besar overjet, overbite dan sudut interinsisal. Besar MMPA mempengaruhi pola rotasi mandibula dan overbite. Nilai MMPA kecil
menggambarkan mandibula berotasi kedepan dengan overbite besar serta sebaliknya Sangcharearn dan Ho,2007. Pola rotasi rahang berpengaruh terhadap inklinasi gigi
insisivus, perawatan ortodontik, MMPA, LAFH dan overbite. Rotasi mandibula ke depan counter clockwise menyebabkan penurunan MMPA, LAFH, overbite dan menuntun
insisivus bawah retroklinasi dan sebaliknya. Rotasi maksila ke depan meningkatkan prominensi gigi insisivus atas serta sebaliknya Feire dkk., 2007.
Perubahan MMPA terjadi selama proses perawatan ortodontik. Peningkatan MMPA terjadi ketika dilakukan koreksi overbite, kemudian MMPA menurun setelah overjet
terkoreksi William dkk., 2000. Koreksi overjet dan overbite pada maloklusi Klas II
17 divisi 1 dengan deep overbite disertai rotasi mandibula ke belakang, akan terhambat jika
dilakukan secara bersamaan. Retraksi gigi anterior atas dapat dilakukan jika terdapat ruang yang cukup untuk pergerakan gigi tersebut. Overbite yang besar dapat mencegah
pengurangan overjet, maka koreksi overbite harus dilakukan sebelum overjet dikoreksi Jenner,1995. Koreksi overjet dan overbite pada perawatan ortodontik maloklusi Angle
Klas II divisi 1, juga berkaitan dengan intrusi insisivus. Overjet, overbite dan tinggi vertikal gigi berkurang setelah perawatan aktif ortodontik selesai. Tinggi vertikal gigi
berkurang seiring dengan perawatan ortodontik, namun perubahan overjet dan overbite tidak dipengaruhi oleh perubahan sudut bidang mandibula Kader,1983.
Penelitian Farida 2002 pada perawatan ortodontik cekat teknik Begg menyatakan bahwa perubahan sudut interinsisal tidak berpengaruh terhadap tinggi keseluruhan anterior
wajah dan menurut Indra 2012 tidak ada pengaruh perubahan sudut interinsisal terhadap perubahan rasio tinggi wajah anterior atas-bawah serta LAFH. Sangcharearn and Ho
2007 membuktikan bahwa pada MMPA tetap konstan, apabila inklinasi insisivus atas - bawah besar maka overjet serta overbite menjadi besar dan apabila inklinasi insisivus
atas-bawah normal maka overjet serta overbite menjadi normal. Penelitian pada usia tumbuh kembang yang dilakukan oleh Ceylan dkk.2002,
membuktikan bahwa peningkatan sudut interinsisal dan overbite terjadi sesuai dengan bertambahnya usia tanpa disertai peningkatan overjet, sedangkan Bishara dkk.1994
sebelumnya telah meneliti bahwa pada usia dewasa perubahan sudut interinsisal terjadi tanpa disertai perubahan overjet, overbite serta posisi insisivus atas-bawah.
18
B. Landasan Teori