Saluran Pemasaran Gambir di Kecamatan Kapur IX

73 adalah sebesar Rp 38 000 hingga Rp 40 000 setiap kg-nya. Berdasarkan tujuan akhirnya, petani yang melakukan penjualan gambir untuk eksportir 71.14 memilih pedagang pedagang pengumpul sebagai lembaga pemasaran selanjutnya dalam pemasaran gambir sedangkan 28.86 lainnya memilih untuk menyalurkan hasil kempaan gambirnya ke pedagang besar. Secara umum, saluran pemasaran yang terdapat pada dua kecamatan ini tidaklah berbeda dengan saluran yang ditemukan pada pembahasan Kecamatan Kapur IX. Perbedaannya terletak pada perhitungan biaya pemasaran pada masing-masing kecamatan ini. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau merupakan kecamatan yang melakukan transaksi penjualan gambir seperti komoditas pertanian lainnya yaitu pembelian dari petani langsung dilakukan di rumah petani sehingga petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran, sedangkan pada Kecamatan Kapur IX pembelian dilakukan di pasar sehingga memberikan beban kepada petani berupa biaya pemasaran. Selain itu, perbedaan lokasi penjualan ini juga menyebabkan kecenderungan petani untuk memperoleh informasi harga serta pemilihan lembaga pemasaran yang lebih beragam dibandingkan di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau. Pedagang pengumpul pada dua kecamatan ini merupakan pedagang pengumpul yang memiliki 2 jenis gambir yang berbeda. Lima orang pedagang pengumpul di dua kecamatan ini melakukan pembelian gambir kualitas ekspor yaitu gambir yang memiliki campuran sedangkan 2 pedagang pengumpul lainnya merupakan pedagang pengumpul yang memilki tujuan penjualan dalam negeri. Diatara 2 pedagang pengumpul tersebut, terdapat 1 pedagang pengumpul yang melakukan pembelian 2 jenis gambir yaitu jenis gambir campuran untuk tujuan ekspor dan gambir murni untuk tujuan dalam negeri Pulau Jawa. Sebenarnya dalam kegiatan perdagagangan, pedagang pengumpul yang mengambil 2 jenis gambir tersebut beberapa tahun yang lalu dapat dikategorikan sebagai pedagang besar, akan tetapi untuk saat ini kegiatan perdagangan untuk tujuan eksportir telah diserahkan kepada penerusnya sehingga saat ini pedagang pengumpul tersebut hanya bergerak dalam perdagangan gambir untuk tujuan Pulau Jawa. Berbeda halnya dengan Kecamatan Kapur IX, dua kecamatan ini memiliki frekuensi pembelian dan penjualan gambir yang sama. Perbedaan dari 2 kecamatan ini dibandingkan kecamatan lainnya terletak pada jenis gambir yang diperdagangkan serta adanya pengolah gambir yang melakukan pembelian daun gambir dari petani. Pengolah dalam penelitian ini diartikan sebagai orang yang melakukan pembelian daun dan ranting gambir dari petani yang kemudian selanjutnya diolah atau di kempa pada rumah kempa skala industri kecil. Pengolah ini memiliki keleluasaan dalam menyalurkan barang hasil olahannya ke konsumen akhir dalam hal ini eksportir dan pedagang besar di Pulau Jawa. Untuk melihat aktivitas perdagangan yang dilakukan lembaga pemasaran di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau akan disuguhkan dalam Tabel 21. 74 Tabel 21 Aktivitas perdagangan gambir yang dilakukan lembaga pemasaran No Lembaga Pemasaran No Responden Sumber Frekuensi Pembelian Bulan Kuanitas Pembelian Bulan Ton Frekuensi Penjualan Bulan Kuanitas Penjualan Bulan Ton 1 Pengolah 1 Petani 30 80 ton daun 1 25-30 2 Pedagang Pengumpul 1 Petani 4 2.4 4 2.4 2 Petani 4 2 4 2 3 Petani 4 2-2.4 4 2-2.4 4 Petani 4 2-4 4 2-4 5 Petani 8 4-6 4 10 6 Petani 4 1.8 1 kali2 bulan 1-2 3 Pedagang Besar 1 Petani 8 16 2 24 Pedagang 8 2 Petani 8 20 2 36 Pedagang 16 3 Petani 8 14-16 4 24-26 Pedagang 8 4 Eksportir 1 Pedagang 4 100-350 1 100-350 2 Pedagang 3 21-45 1 21-45 3 Pedagang 8 24 2 24-50 Eksportir yang menjadi tujuan dari lembaga pemasaran di 2 kecamatan ini merupakan eksportir yang sama dengan Kecamatan Kapur IX. Oleh karena itu, jumlah eksportir yang menjadi responden masih sama yaitu 3 perusahaan ekspor. Mekanisme Pembentukan Harga Dalam pembentukan harga gambir, eksportir memiliki kontribusi yang besar sebagai penentu harga gambir. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketergantungan lembaga pemasaran dibawahnya. Posisi pedagang dibawah eksportir sebagai kaki tangan eksportir, membuat mekanisme harga menjadi linear dari eksportir hingga petani. Terlihat besarnya power pedagang perantara dalam hal ini eksportir dalam kegiatan pemasaran gambir dan memperbesar kemungkinan adanya kolusi antar lembaga pemasaran gambir. Dilain pihak, eksportir juga memiliki ketergantungan dari segi harga berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap dollar, keadaan ekonomi dan regulasi pemerintah di negara tujuan ekspor serta kuantitas yang dibutuhkan ketika penandatangan kontrak dilakukan dengan buyers. Secara teknis penentuan harga gambir tentunya berdasarkan kualitas gambir yang dihasilkan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa eksportir merupakan lembaga yang paling dominan dalam penentuan harga. Nilai kontrak ekspor biasanya berbasis FOB free on board, yaitu barang diatas kapal di pelabuhan eksportir. Kesepakatan harga antara eksportir dengan buyers sangat bergantung pada kondisi permintaan dan penawaran gambir. Selain itu, kesepakatan harga juga berkaitan dengan mutu gambir. Setiap gambir yang dibeli oleh eksportir akan dilakukan pengecekan kadar abu dan kadar air. Jika kadar air dan kadar abu semakin tinggi, itu artinya kualitas gambir tidak bagus.