Diskusi jurnalisme sehat dalam penanggul
Diskusi Jurnalisme Sehat Dalam Penanggulangan Bencana Erupsi
Merapi yang di prakarsai oleh Jalin Merapi dan BPPTKG (Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi Geologi) Membahas soal bagaimana masyarakat
melihat media memberitakan perubahan status dan bencana erupsi yang
di timbulkan oleh gunung Merapi. Acara tersebut di selenggarakan di
kantor BPPTKG padahari Selasa pada tanggal 10 Juni 2014 dengan
rangkaian acaranya adalah sambutan pembukaan dari kepala BPPTKG
Bapak Drs. Subandriyo, field trip melihat dapurnya BPPTKG dalam
memantau gunung Merapi dari waktu ke waktu, selanjutnya diadakan
diskusi dan dialog. Di hadiri dari berbagai jurnalis lokal, media komunitas
dan admin media sosial.
Bpptk sudah melalui perubahan sejak 2013 kemudian berganti
nama menjadi BPPTKG yang awalnya menangani hanya kegunung apian
saja tetapi sekarang juga menangani bencana geologi yang lain seperti
memantau tanah longsor, gempa bumi dan tsunami. BPPTKG dan Jalin
Merapi sudah lama merasa kerepotan terkait dengan berita terkait merapi
yang dipolitisir, artinya tidak sesuai dengan keadaan apa yang ada
dilapangan, bahwa kemudian banyak sekali akses dari masyarakat yang
masuk membuat keawalahan dalam memberikan kebenaran kepada
masyarakat yang telah masuk meanyakan keadaan yang sebenarnya dari
pemberitaan yang sedikit di pelintir dari media mainstream. Diskusi kami
dengan teman-teman di JALIN Merapi, bagaimana agar di kemudian hari
tidak muncul gejala itu lagi di media mainstream. Dalam pertemuan
diskusi berseri ini memang sengaja tidak mengundang media mainstream
tetapi mengundang komunitas peduli Merapi dan masyarakat sekitar
lingkar Merapi berharap dapat mengawali dengan pemahaman yang sama
terkait pemberitaan yang sedikit di plelintir oleh media massa. Di hadiri
pula mas Ahmad Arif sebagai narasumber dari jurnalis yang menulis
Ekspedisi Cincin Api di KOMPAS. Beliau akan berbagi, di satu sisi sebagai
jurnalis, dan sisi lain sebagai relawan. Narasumber yang kedua Mas
Jenarto sebagai pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi FM yang akan
berbagi tentang pemberitaan yang salah dari media massa dan
dampaknya kepada masyarakat.
Acara diskusi ini di buka oleh Pak Subandiyo, kesempatan bertemu
ini dalam rangka diskusi Jurnalisme Sehat Dalam Penanggulangan
Bencana Erupsi Gunung Merapi agar jurnalisme memang sehat, sehat itu
yang bagaimana dan untuk siapa juga dari siapa. Jurnalisme adalah
sebuah tools/alat untuk menyampaikan menginformasikan dalam hal ini
adalah soal kebencanaan gunung Merapi kepada masyarakat disekitarnya.
Tentu saja jurnalisme sehat menurutnya, “menyehatkan masyarakat
secara psikologis, membuat masyarakat sehat dalam kebencanaan dalam
menerima informasi dari jurnalis sehingga menjadi lebih tenang dan lebih
antisipatif sehingga bisa melalukan dan merespon aktivitas gunung
Merapi secara lebih efektif dan terukur tanpa ada kepanikan meskipun
badan pemerintah tidak bisa menjamin masyarakat untuk tidak panik”,
tandasnya.
Tetapi jika berfikir secara rasional dengan landasan pemahaman
aktivias gunung merapi dengan baik, masyarakat akan lebih tenang, jadi
jurnalisme yang sehat itu yang menenangkan warga disekitar Merapi.
Berbicara merapi memang sangat kompleks, Merapi itu bukan hanya
sekedar gunung api, ketika berbicara merapi aspeknya sangat banyak
tetapi jika melihat Merapi dan segala implikasinya ketika mulai bergolak,
gaungnya sangat besar, Merapi sangat berbeda dengan gunung lain.
Gunung lain jika terjadi perubahan status pada peningkatan level
aktivitasnya, nampaknya berimplikasi tidak begitu luas. Tetapi jika Merapi,
barangkali berbeda, saat kenaikan status waspada saja gagap gempitanya
sudah luar biasa. Ketika beberapakali terjadi letusan minor, BPPTKG
menetapkan untuk bertahan pada kondisi status normal, dan mendapati
respon masyarakat yang bermacam-macam. Bagi BPPTKG tidak ada
masalah, yang penting masyarakat bisa memahami.
Menurut Pak Subandriyo, “perbedaan persepsi dalam
menginterpretasi suatu aktivitas gunung api itu sudah biasa, interpretasi
itu tidak tunggal dan setiap ahlipun mempunyai pendapat yang berbedabeda”, ungkapnya. Jangankan dari luar, dari internal BPPTKG sendiri
sangat tajam perbedaannya setiap kali membahas mengenai Merapi.
Interpretasi atau prediksi itu tidak unik dalam artian benar, tunggal itu
tidak mungkin, jika kita melihat dari folosofi geofisika kita hanya tau dan
mengutkur parameter secara kimia, fisika dipermukaan saja. Inilah
menjadi konsums menarik bagi i jurnalis dan media, ketika ada para ahli
yang berbeda pendapat tetapi dampaknya yang tidak menarik karena
masyarakat menajdi bingung.
Kami harapkan kedepan, informasi yang berkaitan dengan
peringatan dini mengenai status merapi itu seharusnya tunggal, jika
menginterprestasinya berbeda itu mestinya dalam hal proses bukan
dalam hal pengambilan keputusan. Mengenai sumber berita soal aktivitas
dan status merapi, badan geologi menginginkannya adalah dari Badan
Geologi Kementrian SDM tetapi BPPTKG hanya menginformasikan
informasi lokal saja terkait Merapi.
Pada tahun 2006, Lintas Merapi FM mengenai informasi, terkait
dengan media, dicap sebagai provokator, pembangkang. Pemerintah saat
itu melakukan perintah untuk pengungsian dilakukan sebelum waktunya.
Teman-teman Lintas Merapi FM saat itu sudah belajar bahwa evakuasi
dilakukan pada saat status “Awas”, padahal situasi itu masih “Waspada”.
Pegiat Lintas Merapi FM saat itu dianggap pembangkang dan dianggap
provokasi masyarakat. Pada tahun 2010, Lintas Merapi FM bisa
menunjukkan bahwa radio komunitas bisa berperan baik di ranah onair
maupun di offair. Teman-teman media mainstream masih banyak dalam
penggunaan istilah kebencanaan saja tidak benar dalam penulisannya.
Sampai saat ini, oleh masyarakat menjadi penyebab kebingungan. Untuk
menjelaskan, Lintas Merapi FM harus sampai mendatangkan BPPTKG
untuk menjelaskan langsung kepada masyarakat untuk meluruskan
pemberitaan soal kondisi Merapi yang benar sesuai apa yang terjadi
dilapangan.
Komunitas-komunitas yang baru bermunculan banyak
menggunakan media sosial ini terkadang tidak mengunggah fakta, tetapi
opini. Ketakutan Lintas Merapi FM bahwa hal ini akan menjadi
pengkotakan komunitas/masyarakat. Masyarakat akan bingung jika terjadi
letusan, masyarakat harus bergantung informasi yang benar kepada
siapa. Di Cangkringan dan Klaten, pasca 2010 ini muncul ratusan
komunitas baru yang mengklaim paling akurat menginformasikan Merapi.
Namun, sayangnya, informasinya tidak sehat, karena sering sumbernya
dihilangkan. Jadi, masyarakat yang membaca jadi bingung, sumber
informasi ini dari mereka sendiri atau dari sumber yang benar? Kami
punya beban besar di Lintas Merapi FM. Pemerintah sendiri mendukung
komunitas-komunitas baru tadi yang merasa paling hebat dalam
menginformasikan Merapi. Pemerintah mulai memberikan fasilitas,
sehingga ada persaingan yang kurang tidak sehat. Ada puluhan radio
pancar ulang, membuat informasi semakin simpang siur dalam
pemberitaannya dan menganggap semua paling benar.
Rujukan masyarakat nomor satu memang media TV sebagai
sumber informasi. Tetapi berita di TV dan koran seringkali menayang
informasi yang salah dan selalu membesar-besarkan, tidak sesuai apa
yang terjadi dilapangan. Di TV ada tayangan orang ke pasar naik pick up
terkadang di beritakan masyarakat sudah melakukan pengungsian.
Rujukan masyarakat nomor satu memang media TV sebagai sumber
informasi. Teman-teman radio komunitas, kita sering terjun ke RT/warga
untuk menyampaikan agar masyarakat lebih kritis, bukan anti TV tetapi
memberikan pengertian dan pemahaman pemberitaan yang tidak benar,
mengenai antisipasi ancaman, menenangkan masyarakat, serta meredam
kepanikan atas bencana Merapi jika terjadi. Menurut Mas Jack, “warga
harusnya menjadi sumber informasi utama tentang Merapi, bukan lah
media massa yang seharusnya dipercaya yang pertama oleh masyarakat”
cetusnya.
Wartawan juga menjadi kelompok rentan dalam bencana. Ada
teman wartawan yang juga kehilangan keluarganya ketika sedang meliput
tsunami di Aceh saat ituyang dikira banjir biasa, dia memang dapat
kepuasan batin sebagai wartawan foto, tapi dia tidak menyadari akan
bahaya jiwanya sendiri saat ertugas. Hal yang sama terjadi ketika
wartawan juga kurang memiliki pengetahuan tentang bencana, seperti
ketika ada wartawan masuk ke zona bahaya erupsi gunung api khususnya
di Merapi. Ahmad Arif mengatakan, “pengalamanku tiga tahun di Aceh
lebih sebagai pengakuan dosa, otokritik dalam praktik jurnalisme di Aceh.
Jurnalisme bencana bisa jadi bencana baru. Ada beberapa catatan dalam
praktik di Aceh saat itu. Kabar buruk itu memang jadi kabar baik bagi
media. Sampai sekarang itu masih dominan” tandasnya. Bencana juga
menjadi komoditi, tidak hanya bagi media massa, tetapi juga media sosial.
Kesedihan masyarakat juga dieksploitasi.
Dalam industri media ada banyak bias, praktik itu sangat
mengemuka sekarang ketika media sangat syarat dengan kepentingan
politik pemilik medianya. Saat ini kita lihat media di Indonesia, sulit
menemukan media yang netral. Ada kecenderungan media di Indonesia
dimiliki oleh penguasa tunggal atau pemegang saham mayoritas. Menarik
melihat praktik-praktik adanya corporate social responsibility (CSR)
terselubung, ketika media juga menyalurkan bantuan. Dramatisasi di media
juga karena media massa terlibat dalam penyaluran bantuan. Hal ini masif dalam
kejadian tsunami 2004 dan juga di Merapi. Media massa tidak selalu
mengawal proses pemulihan/rehabilitasi pasca bencana yang sebenarnya
vital juga. Selain itu, ada bias desentralisasi dalam pemberitaan. Misal,
kejadian Mentawai yang berlangsung berbarengan dengan Merapi
menjadikan Mentawai hampir terlupakan. Situasi pascabencana juga
berpotensi besar menjadi bencana kembali. Sembilan bulan usai erupsi
Sinabung, itu sebenarnya menjadi puncak krisis karena proses yang lama.
Berbeda dengan Merapi yang warganya mungkin lebih punya resiliensi
dibandingan dengan Sinabung. Di sana, PVMBG sudah persilakan pulang,
tapi warga tidak berani pulang, selain karena memang ada masalah
infrastruktur, ada banyak hal tentang konflik dan korupsi pada situasi
pascabencana. Hal ini juga harus dikawal oleh media massa.
Ahmad Arif juga membandingkan antara media di Indoensia
dengan media di Jepang dalam pemberitaan tanggap darurat bencana.
Dari sisi media, ada bedanya. Mereka punya NHK yang dalam UU
diwajibkan untuk menyampaikan soal tanggap darurat. Ketika terjadi
gempa langsung ada black-out. Dokumentasi terbaik tsunami adalah di
media Jepang karena sebelum tsunami datang, TV sudah sorot gelombang
yang datang. Dibandingkan di Aceh, berita pertama 12 jam setelah
kejadian, itu pun dengan data yang salah. Di Sendai, Jepang, hampir tidak
ada jeda dalam pemberitaan. Media Jepang punya hubungan langsung
dengan infrastruktur pemantauan bencana dan terhubung dengan
lembaga yang berwenang. Media di Indonesia harus andalkan tebengan
untuk bisa sampai ke lokasi bencana yang pelosok. Kejadian di Mentawai
pun terlambat 1 hari untuk dikabarkan. Media Jepang cenderung kabarkan
semangat untuk bangkit daripada mengabarkan tentang kesedihan. Berita
yang ada secara substansi lebih untuk dorong publik untuk bangkit.
Substansi pemberitaannya didesain untuk dorong masyarakat lebih
semangat.
Bagaimana media meliput bencana? Masalah paling serius adalah
minimnya pengetahuan tentang bencana pada pelaku media di Indonesia.
Banyak media massa yang juga tak punya Standard Operational and
Procedure (SOP) dalam peliputan bencana. Andi Arif menceritakan, “Dulu
juga ada TV yang tak bisa bedakan awan panas dengan abu vulkanik.
Banyak media yang gunakan lokasi bencana sebagi lokasi magang bagi
wartawan baru yang akhirnya salah dalam liputan bencana”, ungkapnya.
Seharusnya, liputan bencana itu harus diawali dengan belajar dari
bencana sebelumnya. Meliput bencana itu sekarang tendensinya hanya
meliput kejadian saja. Ada tiga tahap yang harus dilakukan. Pertama, pra
bencana untuk dorong kesiapsiagaan. Kedua, tanggap darurat. Ketiga,
mengawal proses rekonstruksi dan rehabilitasi untuk cegah munculnya
bencana baru. Komunitas juga harus didorong. Masyarakat lupa, jurnalis
abai, dan pemerintah katrok, jadikan situasi tidak sehat.
Ada tantangan dan peluang dalam media alternatif atau media komunitas.
Harus ada upaya secara simultan untuk kuatkan media komunitas. Ini
adalah ruang wacana yang harus diperebutkan yang tidak bisa dikuasai
oleh media massa mainstream saja. Media sosial di Jepang dapat porsi
yang besar juga. Dengan twitter banyak korban yang bisa diselamatkan
usai tsunami. Media mainstream kebanyakan lumpuh, kecuali beberapa
radio. Radio komunikasi dan twitter menjadi sangat efektif di sana dan di
Merapi sudah dipraktikkan sejak lama. Di Merapi, sangat jelas berdayanya
media sosial di Merapi. Kini pun hal itu banyak digunakan oleh kampanye
politik. Kini kita masih gunakan radio komunikasi sebagai media yang
paling efektif. Potensi Indonesia di media sosial sangat besar. Sangat
digdaya jika itu dipakai dalam ranah ini. Namun, munculnya media baru
juga munculkan budaya baru; budaya berbagi dan komentar. Namun, juga
bisa muncul berbagi hal yang sesat.
Dengan media konvensional, seperti radio pun, informasi sampah
atau hoax pun sangat umum. Masalah tentang kesalahan informasi ke
publik ini bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya media massa, juga
media sosial. Saringannya adalah individu masing-masing. Saringan di
media mainstream sebenarnya sudah ada pada editor. Ini juga peluang
yang juga harus diperbaiki. Masyarakat Indonesia kadang belum siap
ketika diberi pisau informasi. Media mainstream, media sosial itu juga
medan laga untuk berebut ruang. Publik rentang dapat informasi sampah
ketika pegiat media sosial dikuasai lebih banyak yang tidak sehat.
Merapi yang di prakarsai oleh Jalin Merapi dan BPPTKG (Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi Geologi) Membahas soal bagaimana masyarakat
melihat media memberitakan perubahan status dan bencana erupsi yang
di timbulkan oleh gunung Merapi. Acara tersebut di selenggarakan di
kantor BPPTKG padahari Selasa pada tanggal 10 Juni 2014 dengan
rangkaian acaranya adalah sambutan pembukaan dari kepala BPPTKG
Bapak Drs. Subandriyo, field trip melihat dapurnya BPPTKG dalam
memantau gunung Merapi dari waktu ke waktu, selanjutnya diadakan
diskusi dan dialog. Di hadiri dari berbagai jurnalis lokal, media komunitas
dan admin media sosial.
Bpptk sudah melalui perubahan sejak 2013 kemudian berganti
nama menjadi BPPTKG yang awalnya menangani hanya kegunung apian
saja tetapi sekarang juga menangani bencana geologi yang lain seperti
memantau tanah longsor, gempa bumi dan tsunami. BPPTKG dan Jalin
Merapi sudah lama merasa kerepotan terkait dengan berita terkait merapi
yang dipolitisir, artinya tidak sesuai dengan keadaan apa yang ada
dilapangan, bahwa kemudian banyak sekali akses dari masyarakat yang
masuk membuat keawalahan dalam memberikan kebenaran kepada
masyarakat yang telah masuk meanyakan keadaan yang sebenarnya dari
pemberitaan yang sedikit di pelintir dari media mainstream. Diskusi kami
dengan teman-teman di JALIN Merapi, bagaimana agar di kemudian hari
tidak muncul gejala itu lagi di media mainstream. Dalam pertemuan
diskusi berseri ini memang sengaja tidak mengundang media mainstream
tetapi mengundang komunitas peduli Merapi dan masyarakat sekitar
lingkar Merapi berharap dapat mengawali dengan pemahaman yang sama
terkait pemberitaan yang sedikit di plelintir oleh media massa. Di hadiri
pula mas Ahmad Arif sebagai narasumber dari jurnalis yang menulis
Ekspedisi Cincin Api di KOMPAS. Beliau akan berbagi, di satu sisi sebagai
jurnalis, dan sisi lain sebagai relawan. Narasumber yang kedua Mas
Jenarto sebagai pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi FM yang akan
berbagi tentang pemberitaan yang salah dari media massa dan
dampaknya kepada masyarakat.
Acara diskusi ini di buka oleh Pak Subandiyo, kesempatan bertemu
ini dalam rangka diskusi Jurnalisme Sehat Dalam Penanggulangan
Bencana Erupsi Gunung Merapi agar jurnalisme memang sehat, sehat itu
yang bagaimana dan untuk siapa juga dari siapa. Jurnalisme adalah
sebuah tools/alat untuk menyampaikan menginformasikan dalam hal ini
adalah soal kebencanaan gunung Merapi kepada masyarakat disekitarnya.
Tentu saja jurnalisme sehat menurutnya, “menyehatkan masyarakat
secara psikologis, membuat masyarakat sehat dalam kebencanaan dalam
menerima informasi dari jurnalis sehingga menjadi lebih tenang dan lebih
antisipatif sehingga bisa melalukan dan merespon aktivitas gunung
Merapi secara lebih efektif dan terukur tanpa ada kepanikan meskipun
badan pemerintah tidak bisa menjamin masyarakat untuk tidak panik”,
tandasnya.
Tetapi jika berfikir secara rasional dengan landasan pemahaman
aktivias gunung merapi dengan baik, masyarakat akan lebih tenang, jadi
jurnalisme yang sehat itu yang menenangkan warga disekitar Merapi.
Berbicara merapi memang sangat kompleks, Merapi itu bukan hanya
sekedar gunung api, ketika berbicara merapi aspeknya sangat banyak
tetapi jika melihat Merapi dan segala implikasinya ketika mulai bergolak,
gaungnya sangat besar, Merapi sangat berbeda dengan gunung lain.
Gunung lain jika terjadi perubahan status pada peningkatan level
aktivitasnya, nampaknya berimplikasi tidak begitu luas. Tetapi jika Merapi,
barangkali berbeda, saat kenaikan status waspada saja gagap gempitanya
sudah luar biasa. Ketika beberapakali terjadi letusan minor, BPPTKG
menetapkan untuk bertahan pada kondisi status normal, dan mendapati
respon masyarakat yang bermacam-macam. Bagi BPPTKG tidak ada
masalah, yang penting masyarakat bisa memahami.
Menurut Pak Subandriyo, “perbedaan persepsi dalam
menginterpretasi suatu aktivitas gunung api itu sudah biasa, interpretasi
itu tidak tunggal dan setiap ahlipun mempunyai pendapat yang berbedabeda”, ungkapnya. Jangankan dari luar, dari internal BPPTKG sendiri
sangat tajam perbedaannya setiap kali membahas mengenai Merapi.
Interpretasi atau prediksi itu tidak unik dalam artian benar, tunggal itu
tidak mungkin, jika kita melihat dari folosofi geofisika kita hanya tau dan
mengutkur parameter secara kimia, fisika dipermukaan saja. Inilah
menjadi konsums menarik bagi i jurnalis dan media, ketika ada para ahli
yang berbeda pendapat tetapi dampaknya yang tidak menarik karena
masyarakat menajdi bingung.
Kami harapkan kedepan, informasi yang berkaitan dengan
peringatan dini mengenai status merapi itu seharusnya tunggal, jika
menginterprestasinya berbeda itu mestinya dalam hal proses bukan
dalam hal pengambilan keputusan. Mengenai sumber berita soal aktivitas
dan status merapi, badan geologi menginginkannya adalah dari Badan
Geologi Kementrian SDM tetapi BPPTKG hanya menginformasikan
informasi lokal saja terkait Merapi.
Pada tahun 2006, Lintas Merapi FM mengenai informasi, terkait
dengan media, dicap sebagai provokator, pembangkang. Pemerintah saat
itu melakukan perintah untuk pengungsian dilakukan sebelum waktunya.
Teman-teman Lintas Merapi FM saat itu sudah belajar bahwa evakuasi
dilakukan pada saat status “Awas”, padahal situasi itu masih “Waspada”.
Pegiat Lintas Merapi FM saat itu dianggap pembangkang dan dianggap
provokasi masyarakat. Pada tahun 2010, Lintas Merapi FM bisa
menunjukkan bahwa radio komunitas bisa berperan baik di ranah onair
maupun di offair. Teman-teman media mainstream masih banyak dalam
penggunaan istilah kebencanaan saja tidak benar dalam penulisannya.
Sampai saat ini, oleh masyarakat menjadi penyebab kebingungan. Untuk
menjelaskan, Lintas Merapi FM harus sampai mendatangkan BPPTKG
untuk menjelaskan langsung kepada masyarakat untuk meluruskan
pemberitaan soal kondisi Merapi yang benar sesuai apa yang terjadi
dilapangan.
Komunitas-komunitas yang baru bermunculan banyak
menggunakan media sosial ini terkadang tidak mengunggah fakta, tetapi
opini. Ketakutan Lintas Merapi FM bahwa hal ini akan menjadi
pengkotakan komunitas/masyarakat. Masyarakat akan bingung jika terjadi
letusan, masyarakat harus bergantung informasi yang benar kepada
siapa. Di Cangkringan dan Klaten, pasca 2010 ini muncul ratusan
komunitas baru yang mengklaim paling akurat menginformasikan Merapi.
Namun, sayangnya, informasinya tidak sehat, karena sering sumbernya
dihilangkan. Jadi, masyarakat yang membaca jadi bingung, sumber
informasi ini dari mereka sendiri atau dari sumber yang benar? Kami
punya beban besar di Lintas Merapi FM. Pemerintah sendiri mendukung
komunitas-komunitas baru tadi yang merasa paling hebat dalam
menginformasikan Merapi. Pemerintah mulai memberikan fasilitas,
sehingga ada persaingan yang kurang tidak sehat. Ada puluhan radio
pancar ulang, membuat informasi semakin simpang siur dalam
pemberitaannya dan menganggap semua paling benar.
Rujukan masyarakat nomor satu memang media TV sebagai
sumber informasi. Tetapi berita di TV dan koran seringkali menayang
informasi yang salah dan selalu membesar-besarkan, tidak sesuai apa
yang terjadi dilapangan. Di TV ada tayangan orang ke pasar naik pick up
terkadang di beritakan masyarakat sudah melakukan pengungsian.
Rujukan masyarakat nomor satu memang media TV sebagai sumber
informasi. Teman-teman radio komunitas, kita sering terjun ke RT/warga
untuk menyampaikan agar masyarakat lebih kritis, bukan anti TV tetapi
memberikan pengertian dan pemahaman pemberitaan yang tidak benar,
mengenai antisipasi ancaman, menenangkan masyarakat, serta meredam
kepanikan atas bencana Merapi jika terjadi. Menurut Mas Jack, “warga
harusnya menjadi sumber informasi utama tentang Merapi, bukan lah
media massa yang seharusnya dipercaya yang pertama oleh masyarakat”
cetusnya.
Wartawan juga menjadi kelompok rentan dalam bencana. Ada
teman wartawan yang juga kehilangan keluarganya ketika sedang meliput
tsunami di Aceh saat ituyang dikira banjir biasa, dia memang dapat
kepuasan batin sebagai wartawan foto, tapi dia tidak menyadari akan
bahaya jiwanya sendiri saat ertugas. Hal yang sama terjadi ketika
wartawan juga kurang memiliki pengetahuan tentang bencana, seperti
ketika ada wartawan masuk ke zona bahaya erupsi gunung api khususnya
di Merapi. Ahmad Arif mengatakan, “pengalamanku tiga tahun di Aceh
lebih sebagai pengakuan dosa, otokritik dalam praktik jurnalisme di Aceh.
Jurnalisme bencana bisa jadi bencana baru. Ada beberapa catatan dalam
praktik di Aceh saat itu. Kabar buruk itu memang jadi kabar baik bagi
media. Sampai sekarang itu masih dominan” tandasnya. Bencana juga
menjadi komoditi, tidak hanya bagi media massa, tetapi juga media sosial.
Kesedihan masyarakat juga dieksploitasi.
Dalam industri media ada banyak bias, praktik itu sangat
mengemuka sekarang ketika media sangat syarat dengan kepentingan
politik pemilik medianya. Saat ini kita lihat media di Indonesia, sulit
menemukan media yang netral. Ada kecenderungan media di Indonesia
dimiliki oleh penguasa tunggal atau pemegang saham mayoritas. Menarik
melihat praktik-praktik adanya corporate social responsibility (CSR)
terselubung, ketika media juga menyalurkan bantuan. Dramatisasi di media
juga karena media massa terlibat dalam penyaluran bantuan. Hal ini masif dalam
kejadian tsunami 2004 dan juga di Merapi. Media massa tidak selalu
mengawal proses pemulihan/rehabilitasi pasca bencana yang sebenarnya
vital juga. Selain itu, ada bias desentralisasi dalam pemberitaan. Misal,
kejadian Mentawai yang berlangsung berbarengan dengan Merapi
menjadikan Mentawai hampir terlupakan. Situasi pascabencana juga
berpotensi besar menjadi bencana kembali. Sembilan bulan usai erupsi
Sinabung, itu sebenarnya menjadi puncak krisis karena proses yang lama.
Berbeda dengan Merapi yang warganya mungkin lebih punya resiliensi
dibandingan dengan Sinabung. Di sana, PVMBG sudah persilakan pulang,
tapi warga tidak berani pulang, selain karena memang ada masalah
infrastruktur, ada banyak hal tentang konflik dan korupsi pada situasi
pascabencana. Hal ini juga harus dikawal oleh media massa.
Ahmad Arif juga membandingkan antara media di Indoensia
dengan media di Jepang dalam pemberitaan tanggap darurat bencana.
Dari sisi media, ada bedanya. Mereka punya NHK yang dalam UU
diwajibkan untuk menyampaikan soal tanggap darurat. Ketika terjadi
gempa langsung ada black-out. Dokumentasi terbaik tsunami adalah di
media Jepang karena sebelum tsunami datang, TV sudah sorot gelombang
yang datang. Dibandingkan di Aceh, berita pertama 12 jam setelah
kejadian, itu pun dengan data yang salah. Di Sendai, Jepang, hampir tidak
ada jeda dalam pemberitaan. Media Jepang punya hubungan langsung
dengan infrastruktur pemantauan bencana dan terhubung dengan
lembaga yang berwenang. Media di Indonesia harus andalkan tebengan
untuk bisa sampai ke lokasi bencana yang pelosok. Kejadian di Mentawai
pun terlambat 1 hari untuk dikabarkan. Media Jepang cenderung kabarkan
semangat untuk bangkit daripada mengabarkan tentang kesedihan. Berita
yang ada secara substansi lebih untuk dorong publik untuk bangkit.
Substansi pemberitaannya didesain untuk dorong masyarakat lebih
semangat.
Bagaimana media meliput bencana? Masalah paling serius adalah
minimnya pengetahuan tentang bencana pada pelaku media di Indonesia.
Banyak media massa yang juga tak punya Standard Operational and
Procedure (SOP) dalam peliputan bencana. Andi Arif menceritakan, “Dulu
juga ada TV yang tak bisa bedakan awan panas dengan abu vulkanik.
Banyak media yang gunakan lokasi bencana sebagi lokasi magang bagi
wartawan baru yang akhirnya salah dalam liputan bencana”, ungkapnya.
Seharusnya, liputan bencana itu harus diawali dengan belajar dari
bencana sebelumnya. Meliput bencana itu sekarang tendensinya hanya
meliput kejadian saja. Ada tiga tahap yang harus dilakukan. Pertama, pra
bencana untuk dorong kesiapsiagaan. Kedua, tanggap darurat. Ketiga,
mengawal proses rekonstruksi dan rehabilitasi untuk cegah munculnya
bencana baru. Komunitas juga harus didorong. Masyarakat lupa, jurnalis
abai, dan pemerintah katrok, jadikan situasi tidak sehat.
Ada tantangan dan peluang dalam media alternatif atau media komunitas.
Harus ada upaya secara simultan untuk kuatkan media komunitas. Ini
adalah ruang wacana yang harus diperebutkan yang tidak bisa dikuasai
oleh media massa mainstream saja. Media sosial di Jepang dapat porsi
yang besar juga. Dengan twitter banyak korban yang bisa diselamatkan
usai tsunami. Media mainstream kebanyakan lumpuh, kecuali beberapa
radio. Radio komunikasi dan twitter menjadi sangat efektif di sana dan di
Merapi sudah dipraktikkan sejak lama. Di Merapi, sangat jelas berdayanya
media sosial di Merapi. Kini pun hal itu banyak digunakan oleh kampanye
politik. Kini kita masih gunakan radio komunikasi sebagai media yang
paling efektif. Potensi Indonesia di media sosial sangat besar. Sangat
digdaya jika itu dipakai dalam ranah ini. Namun, munculnya media baru
juga munculkan budaya baru; budaya berbagi dan komentar. Namun, juga
bisa muncul berbagi hal yang sesat.
Dengan media konvensional, seperti radio pun, informasi sampah
atau hoax pun sangat umum. Masalah tentang kesalahan informasi ke
publik ini bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya media massa, juga
media sosial. Saringannya adalah individu masing-masing. Saringan di
media mainstream sebenarnya sudah ada pada editor. Ini juga peluang
yang juga harus diperbaiki. Masyarakat Indonesia kadang belum siap
ketika diberi pisau informasi. Media mainstream, media sosial itu juga
medan laga untuk berebut ruang. Publik rentang dapat informasi sampah
ketika pegiat media sosial dikuasai lebih banyak yang tidak sehat.