Peran Harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Fathan Nur Hamidi

NIM: 107051002570

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 5 September 2011


(3)

(4)

(5)

v

Pluralitas merupakan pengakuan terhadap kondisi keberagaman yang terdapat dalam suatu masyarakat dengan menghormati dan menghargai karakteristik dan perbedaan masing-masing. Gagasan pluralitas ini begitu populer dalam kajian diskusi publik internasional dan disambut baik oleh berbagai pihak, khususnya di Indonesia yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Terlebih kondisi bangsa Indonesia akhir-akhir ini tengah dilanda beberapa konflik bernuansa SARA, sehingga gagasan pluralitas ini kian marak didengungkan. Oleh karena itu untuk meredam konflik yang terjadi, sudah seharusnya setiap elemen bangsa memelihara pluralitas tersebut, khususnya media massa dalam hal ini surat kabar sebagai media informasi dan edukasi. Harian Kompas sebagai surat kabar hendaknya menyajikan artikel pemberitaan yang mendidik terkait pentingnya memelihara pluralitas.

Dengan demikian, pertanyaannya adalah, Bagaimana peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia? Kemudian bagaimana perilaku, pelaku, kedudukan, dan kaitan harian Kompas dalam memelihara pluralitas tersebut?

Harian Kompas merupakan surat kabar nasional terbesar di Indonesia yang berperan sebagai media informasi, dan edukasi, khususnya terkait pentingnya memelihara pluralitas di Indonesia. Hal ini terlihat dari wujud perilaku yang telah direalisasikan harian Kompas melalui artikel pemberitaan terkait pluralitas tersebut. Dalam pemberitaannya, harian Kompas

menekankan pentingnya memelihara pluralitas dengan hidup rukun, saling menghormati dan menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pemberitaan terkait pluralitas yang disajikan ini tidak terlepas dari keinginan harian Kompas untuk menjadikan pluralitas sebagai refrensi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam pemberitaannya, harian Kompas melibatkan narasumber dari berbagai tokoh yang konsen terhadap isu pluralitas seperti Komaruddin Hidayat, Moeslim Abdurrahman, Magnis Suseno, Musdah Mulia, Djohan Effendi, Amin Abdullah dan sebagainya.

Teori yang dibangun dalam penelitian ini yaitu mengenai pluralitas. Pluralitas tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu kelompok mayoritas, dan kelompok minoritas. Kemudian dari kedua kelompok tersebut terdiri atas pluralitas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Dan dari beberapa elemen tersebut dapat dijabarkan lagi secara lebih detail menjadi pusat dan daerah, pribumi dan pendatang, Islam dan non Islam, sipil dan militer, sekular dan religius, modern dan tradisional, serta laki-laki dan perempuan.

Metodologi penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif dengan menjabarkan data-data ke dalam tulisan yang lebih luas dan mendalam. Kemudian dianalisis dengan teori peran (role theory) melalui empat pendekatan yang terdiri atas perilaku peran, pelaku peran, kedudukan orang yang berperan, serta kaitan antara orang dan perilaku.

Dari data tersebut, pemberitaan terkait pluralitas yang disajikan harian Kompas sudah cukup baik. Namun pemberitaan tersebut belum proporsional karena terlalu mengangkat kelompok minoritas yang dikhawatirkan dapat mencederai kelompok mayoritas. Selain itu, harian Kompas masih sering menyamakan pluralitas dengan pluralisme. Padahal dalam penerapannya kedua istilah tersebut berbeda, bahkan bertentangan.

Harian Kompas sangat konsen dan menaruh perhatian yang besar terhadap pluralitas di Indonesia. Hal ini diwujudkan dalam pemberitaan terkait pluralitas dengan intensitas yang cukup banyak. Harian Kompas mendidik masyarakat untuk terus hidup rukun, saling menghormati, dan menghargai dalam keberagaman tersebut demi terciptanya persatuan bangsa.


(6)

vi

Bismillahirrahmannirrahim

Alhamdulillahirabbil ‘Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas ridha-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Peran Harian Kompas dalam Memelihara Pluralitas di Indonesia” sebagai persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan semua umatnya. Semoga kelak kita mendapatkan syafa’atnya di yaumil kiamat.

Penulis sangat menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini banyak sekali hambatan dan rintangan yang menghadang. Mulai dari persoalan teknis pengumpulan data, sampai persoalan pribadi yang kerap muncul. Namun pada akhirnya penulis tetap gigih dan semangat sehingga semua persoalan tersebut dapat teratasi dengan baik. Hal ini tentu saja atas bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Dosen Pembimbing Skripsi, Prof. Andi Faisal Bakti, MA, PhD yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing dan memberikan ilmunya serta memotivasi penulis dalam proses penyelesaian skripsi.

2. Dr. H. Arief Shubhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta stafnya.

3. Drs. Jumroni, M.Si selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.


(7)

vii

dan kemudahan lainnya dalam menyelesaikan perkuliahan ini.

5. Dosen Penasehat Akademik, Drs. H. Tarmi, MM yang telah membimbing kami selama masa perkuliahan berlangsung.

6. Segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mendidik dan memberikan ilmunya pada masa perkuliahan.

7. Kedua orang tua tercinta Bpk. Wiyono dan Ibu. Sri Hartiningsih, serta keluarga yang telah memberikan motivasi dan do’a serta pengorbanannya demi mewujudkan harapan dan cita-cita penulis.

8. Teman-teman perkuliahan Komunikasi Penyiaran Islam angkatan 2007, khususnya teman-teman kelas 7 KPI B, dan adinda Husnul Khotimah yang telah berbagi bersama dalam segala hal selama masa perkuliahan dan turut serta membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Pimpinan dan seluruh staf Redaksi Harian Kompas yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan informasi atau data yang berkaitan dengan penelitian.

Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan dan jasa serta segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat untuk semua. Amin.

Jakarta, 20 Agustus 2011 FNH


(8)

viii

ABSTRAK………...………...……..v

KATA PENGANTAR………..vi DAFTAR ISI………..………...…..viii

BAB I PENDAHULUAN……...………....1

A. Latar Belakang Masalah…………...……….1

B. Batasan dan Rumusan Masalah………...………...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….….7

D. Metodologi Penelitian...………...9

E. Tinjauan Kepustakaan………..………14 F. Sistematika Penulisan………..………...16

BAB II KAJIAN TEORI..………..………….17 A. Peran………..………...17

1. Subjek dan Target………..………...18

2. Perilaku………...19

3. Kedudukan Orang yang Berperilaku………...…….20

4. Kaitan Orang dan Perilaku……….………..21

B. Surat Kabar………..………....22

1. Sejarah Singkat Surat Kabar………..22

2. Fungsi atau Peran Surat Kabar………...25

3. Karakteristik Surat Kabar………...27

C. Pluralisme dan Pluralitas………..………...….27

1. Pengertian Pluralisme dan Pluralitas………..27

2. Sejarah Perkembangan Pluralisme dan Pluralitas………..30 3. Islam, Pluralisme dan Pluralitas……….33

4. Pluralitas di Indonesia………39

BAB III GAMBARAN UMUM PROFIL HARIAN KOMPAS………...…….48

A. Sejarah Berdirinya Harian Kompas…..………....48

B. Visi dan Misi Harian Kompas………..51

1. Visi Harian Kompas………...51


(9)

ix

D. Pangsa Pasar Harian Kompas………..……….56

E. Strategi Perusahaan dan Pengembangan Produk……….………57 BAB IV ANALISIS PERAN HARIAN KOMPAS DALAM MEMELIHARA PLURALITAS DI INDONESIA…………..…………..…....………….………59

A. Perilaku Peran………..…………...59

1. Harapan (Expectation)………59

2. Norma (Norm)………..……..62

3. Wujud Perilaku (Performance)……….…….65

4. Penilaian (Evaluation) dan Sanksi (Sanction)………..……..78

B. Pelaku Peran………...……….…….81

1. Subjek (pelaku)………..……81

2. Target (sasaran).……….……83

C. Kedudukan Orang-orang yang Berperilaku……….87

D. Kaitan Orang dan Perilaku……….……..89

BAB V PENUTUP……….95

A. Kesimpulan………...…...95

B. Saran………...……96

DAFTAR PUSTAKA………98


(10)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terbentang dari Sabang hingga Merauke. Wilayah Indonesia yang luas ini tentu memiliki beragam suku, agama, ras, maupun golongan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip oleh Jawa Pos National Network (JPNN), terdapat 1.128 suku bangsa di Indonesia.1 Keragaman ini merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan Indonesia sejak masa silam. Bahkan lebih-lebih lagi pada masa kini hingga di waktu-waktu mendatang.2

Keragaman yang biasa disebut kemajemukan adalah sebuah sunnatullah.3 Hukum alam sekaligus keberuntungan yang dimiliki bangsa dan negara ini, dan tidak banyak dimiliki oleh bangsa dan negara lain. Tak ada sebuah bangsa dan negara Indonesia jika tidak ada kemajemukan yang penuh dengan kekayaan sosial budaya yang tak ternilai ini. Oleh karena itu bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemunculan gagasan pluralitas tidak terlepas dari sejarah perkembangan pluralisme. Pluralisme bermula dari masa pergolakan pemikiran modern di Barat. Ketika itu di Eropa terjadi konflik antara gereja dengan kehidupan nyata di luar gereja. Hal ini disebabkan oleh tindakan diskriminasi dari gereja terhadap

1

Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa, diakses pada 02 Juni 2011 dari http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455.

2

Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,

2007), h. 19. 3

Nur Achmad, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Kompas,


(11)

beberapa sekte Kristen yang mengakibatkan pertumpahan darah antar etnis dan sektarian tersebut. Kemudian muncullah gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19 dalam gerakan Liberal Protestantism.4 Dari sinilah awal kemunculan gagasan pluralisme yang pada awalnya digunakan sebagai landasan umat Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain.

Pada masa perkembangannya, muncullah istilah pluralitas yang sering dikaitkan dengan pluralisme, meskipun kedua kata tersebut masih sering diperdebatkan maknanya. Adakalanya pluralisme dan pluralitas diartikan sama, yakni sebuah keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak.5 Namun adakalanya pluralisme dan pluralitas diartikan berbeda, yakni pluralisme merupakan keberagaman yang tampak secara formal pada tataran luar belaka, tetapi pada tataran esensi atau hakikatnya berupaya untuk diseragamkan.6 Sedangkan pluralitas adalah pengakuan akan eksistensi yang beragam dengan seluruh karakteristik dan kekhususannya masing-masing.7

Menurut Furnivall, “masyarakat plural” adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih unsur atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446). Berdasarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural di Asia Tenggara, khususnya

4

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), Cet. Ke-1, h.17-18.

5

Umi Sumbulah, Islam “Radikal” Dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial

Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 48.

6

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), Cet. Ke-1, h. 142.

7


(12)

di Indonesia akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944:468-469).8

Pluralitas sangat bertentangan dengan sinkretisme yang mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Sinkretisme adalah suatu ideologi yang mencoba mencampurkan dan merekonsiliasi berbagai unsur yang berbeda-beda dalam satu wadah tertentu.9 Sehingga semua paham dan keyakinan dianggap sama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi ini disebutkan paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, dan keseimbangan.

Di antara bentuk gerakan sinkretisme adalah Gnosticisme yang mencampurkan antara filsafat Yunani, agama Yahudi, dan agama Kristen di Eropa dan Amerika Utara. Ada juga aliran Buddha Mahayana yang merupakan pencampuran antara ajaran agama Budha dengan Hindu pemuja Dewa Syiwa. Sinkretisme agama jelas bertentangan dan dilarang oleh semua agama, terlebih dalam agama Islam.10

Pada masa lalu, nilai-nilai pluralitas atau kemajemukan bangsa Indonesia dirangkum dalam wawasan nusantara. Konsep wawasan nusantara mampu menjadi wadah pluralitas yang terdapat dalam masyarakat beragam suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Adapun penerapannya dalam bentuk "Sumpah Pemuda,” dan setelah merdeka lebih dikenal dengan ideologi Pancasila. Pancasila

8

Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,

2007), h. 10. 9

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005),

Cet. Ke-1, h. 90.

10

Media Dakwah Menebar Dakwah Dengan Hikmah, diakses pada 24 Maret 2011 dari http://dakwah.net46.net/?p=125.


(13)

dengan “Bhineka Tunggal Ika”nya yang merupakan alat pemersatu kemajemukan masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu kemajemukan yang terdapat pada bangsa dan negara ini harus dipelihara, dirawat, dan dimanfaatkan untuk hari ini dan masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Namun untuk memelihara kemajemukan tersebut tidaklah mudah. Sejak negara ini terbentuk melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menunjukkan betapa tidak mudahnya memelihara kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia.

Kemajemukan bangsa Indonesia yang awalnya dibangga-banggakan cenderung mengalami disintegrasi sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut “era reformasi.” Krisis moneter, ekonomi dan politik yang terjadi pada masa itu telah mengakibatkan terjadinya krisis sosial budaya. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) seolah tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.11

Krisis sosial budaya yang meluas ini dapat terlihat dalam berbagai bentuk disintegrasi sosial politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesabaran sosial dalam menghadapi kehidupan yang semakin sulit karena terpaan krisis multidimensi yang begitu dahsyat. Dalam suasana ini masyarakat mudah melakukan kekerasan dan anarkis serta tidak mematuhi hukum, etika, serta moral yang berlaku. 12

Penyakit-penyakit sosial ini mengakibatkan timbulnya beberapa benturan-benturan yang mengarah kepada konflik. Beberapa konflik yang pernah terjadi sedikitnya bernuansa suku, agama, ras, maupun antargolongan tertentu (SARA).

11

Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 7.

12


(14)

Seperti yang tejadi di Aceh, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, Ambon, Poso, Papua, dan sebagainya.

Adapun untuk mengatasi konflik-konflik suku, agama, ras maupun antargolongan yang akhir-akhir ini terjadi, maka perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya memelihara pluralitas di tengah kemajemukan bangsa. Hal ini betujuan agar terciptanya persatuan Indonesia. Salah satunya melalui pemanfaatan media massa yang kian marak dewasa ini.

Kehadiran media di era perkembangan teknologi yang begitu pesat dapat mempermudah upaya penyebaran informasi yang mendidik terkait pentingnya memelihara pluralitas. Media harus mampu menjadi agen perubahan di masyarakat untuk selalu menghormati kemajemukan yang tercermin dalam pluralitas bangsa.

Bukan sebaliknya media bebas memublikasikan sesuatu dengan mengesampingkan kode etik demi memperoleh keuntungan yang berlipat. Sehingga media justru menjadi sarana untuk menghancurkan bangsa, bahkan cenderung provokatif untuk memecah persatuan bangsa.

Media massa yang ingin penulis teliti yaitu surat kabar harian Kompas. Surat kabar ini merupakan surat kabar nasional yang telah lama terbit dan dikenal luas oleh masyarakat. Kelebihan lain yang dimiliki oleh harian Kompas juga paling diminati masyarakat. Hal ini terlihat dari jumlah pembaca yang mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia.13 Serta oplah penjualannya yang tinggi sebanyak 600.000 eksemplar per-hari.14 Hal ini dikarenakan isi pemberitannya yang netral

13

FA Santoso, Sejarah, Organisasi, dan Visi Misi Kompas, diakses pada 01 Juli 2011 dari Pusat Informasi Kompas.

14

Kompas Gramedia, The Strongest of Foundations, diakses pada 25 Mei 2011 dari


(15)

dan akurat, serta harganya pun terjangkau dikalangan masyarakat kelas menengah ke atas.

Karena penyebarannya yang secara nasional ini, maka surat kabar ini sangat berperan aktif dalam setiap pemberitaanya. Khususnya pemberitaan yang terkait isu pluralitas yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Harian

Kompas sangat konsen dalam memberitakan isu terkait pluralitas. Hal ini terlihat dari cukup banyaknya intensitas pemberitaan terkait pluralitas yang disajikan. Begitu setiap saat ada kesempatan dan aktual, persoalan ini selalu diangkat. Bahkan harian Kompas menjadikan pluralitas sebagai referensi dalam mencoba ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.15

Maka berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penulis ingin menyusun suatu proposal penelitian secara ilmiah dengan judul: “Peran Harian

Kompas dalam Memelihara Pluralitas di Indonesia.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Harian Kompas terbit setiap hari dengan berbagai macam pemberitaan baik berita nasional maupun internasional. Sehingga telah banyak artikel yang diberitakan oleh surat kabar tersebut. Maka, agar penelitian ini lebih terarah dan pembahasan tidak terlalu meluas, peneliti merasa perlu memberikan pembatasan masalah.

Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu hanya pada peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia. Hal ini tentu berkaitan dengan pemberitaan terkait pluralitas pada harian Kompas

15

Wawancara via email dengan Wakil Pemimpin Umum Kompas - St. Sularto pada 26


(16)

edisi Januari sampai Maret 2011. Kemudian untuk analisisnya dengan menggunakan teori peran (role theory).

2. Rumusan Masalah

Sedangkan rumusan masalah yang diangkat adalah:

Bagaimana peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan terkait isu pluralitas tersebut?

Adapun pertanyaan turunannya adalah:

a. Bagaimana perilaku atau kegiatan yang dilakukan harian Kompas dalam perannya memelihara pluralitas di Indonesia?

b. Siapa saja subjek (pelaku) yang ikut berperan dalam memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan pada harian Kompas

tersebut?

c. Bagaimana kedudukan orang yang berperilaku dalam perannya memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan pada harian

Kompas tersebut?

d. Bagaimana kaitan antara orang dan perilaku tersebut dalam perannya memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan pada harian

Kompas?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas


(17)

b. Untuk mengetahui perilaku atau kegiatan yang dilakukan harian

Kompas dalam perannya memelihara pluralitas di Indonesia.

c. Untuk mengetahui aktor (pelaku) yang ikut berperan dalam memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan pada harian

Kompas tersebut.

d. Untuk mengetahui kedudukan orang yang berperilaku dalam perannya memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan pada harian

Kompas tersebut.

e. Untuk mengetahui kaitan antara orang dan perilaku tersebut dalam perannya memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan pada harian Kompas.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam perkembangan kajian penelitian komunikasi mengenai media dan komunikasi massa, serta memberikan pandangan mengenai teori peran

(role theory) untuk mengetahui peran media massa, khususnya surat kabar dalam setiap pemberitaannya.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan menjadi bahan informasi bagi peneliti lain di masa mendatang dalam melakukan kajian media massa khususnya media massa cetak (surat kabar) terutama dilihat dari teori peran (role theory).


(18)

Menjadi kajian yang cukup menarik bagi praktisi media massa yang bersifat membangun serta mengembangkan sebuah media massa sebagai wadah bagi terciptanya keharmonisan masyarakat antar suku, agama, ras maupun golongan yang ada di Indonesia.

D. Metodologi Penelitian 1. Bingkai Teori

Penelitian ini menggunakan bingkai teori peran (role theory). Teori peran (role theory) adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran (role theory) berawal dari dan masih digunakan dalam sosiologi dan antropologi. Dalam ketiga bidang ilmu tersebut, istilah “peran” diambil dari dunia teater.16

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori peran (role theory) untuk menjelaskan peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia. Hal ini dapat dilihat melalui pemberitaan terkait pluralitas yang disajikan oleh harian Kompas. Dengan teori peran (role theory) tersebut juga dapat diketahui subjek (pelaku), perilaku, kedudukan orang-orang yang berperilaku, dan kaitan antara orang yang berperilaku dalam perannya memelihara pluralitas di Indonesia. Untuk memudahkan penelitian ini, maka berikut bagan penelitian yang terdiri atas teori dan metode penelitian yang digunakan:

16

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT. Rajawali Pers,


(19)

BAGAN 1.1. METODE DAN TEORI

Sumber: Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial & Andi Faisal Bakti,

Identity, Culture and Politics an afro-asian dialogue; Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia, diformat oleh Fathan Nur Hamidi: 2011.

Aktor  Subjek (Pelaku)  Target (Sasaran)

Berita Terkait Isu Pluralitas Pada Harian Kompas

Teori Peran

(Role Theory)

(Biddle & Thomas: 1966)

Perilaku Peran  Expectation (Harapan)  Norm (Norma)

Performance (Wujud Perilaku)  Evaluation (Penilaian) dan

Sanction (Sanksi)

Teori Pluralitas (Bakti: 2008)  Mayoritas  Minoritas

Peran Harian Kompas Dalam Memelihara Pluralitas

Di Indonesia Kedudukan Orang

yang Berperilaku

Kaitan Antara Orang dan Perilaku

Agama  Islam - Non Islam

Suku dan Ras  Pusat - Daerah  Pribumi - Pendatang

Antar Golongan  Sipil - Militer  Sekular - Religius  Laki-laki - Perempuan  Modern - Tradisional


(20)

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta keadaan, variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi. Metode deskriptif merupakan penggambaran, pemahaman, penamaan, interpretasi, penafsiran, pengembangan dan eksplorasi terhadap suatu masalah penelitian. Metode ini mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan serta pengaruh dari suatu fenomena.

Dalam penelitian ini, penulis memaparkan peran harian Kompas

dalam memelihara pluralitas di Indonesia dengan menggunakan metode deskriptif dan teori peran (role theory). Dengan metode deskriptif dan teori peran (role theory) ini dapat diketahui bagaimana peran harian Kompas

dalam memelihara pluralitas di Indonesia melalui pemberitaan yang disajikan terkait dengan isu pluralitas tersebut.

3. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang tidak berdasarkan pada prosedur statistik, melainkan pada nilai dan kualitas. Untuk menilai kualitas objek, maka digunakan wawancara kepada pihak Kompas, pengamatan, atau melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain. Pendekatan kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari sesuatu yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif dalam pelaksanaannya lebih dilakukan pada pemaknaan teks, dari pada penjumlahan kategori.


(21)

Dalam penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan untuk menemukan peran media dalam memelihara pluralitas di Indonesia melalui teori peran (role theory). Dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara kepada pihak harian Kompas, pengamatan, buku, dan naskah pemberitaan terkait pluralitas yang disajikan pada harian Kompas dapat menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis

4. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian di rumah, kampus, dan kantor harian Kompas

yang beralamat di Jl. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena dapat mempermudah penulis dalam memperoleh data penelitian. Di antaranya melalui wawancara kepada redaksi harian Kompas, pengamatan, dan melalui buku, serta teks pemberitaan terkait pluralitas pada surat kabar tersebut. Sedangkan waktu penelitian dimulai dari bulan Maret 2011 sampai Juli 2011.

5. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah surat kabar nasional yaitu harian Kompas. Sedangkan objek penelitiannya adalah peran media tersebut dalam memelihara pluralitas di Indonesia, yang dalam hal ini melalui pemberitaan terkait pluralitas pada surat kabar tersebut.

6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis melakukan pengumpulan data dengan menggunakan metode:


(22)

a. Wawancara

Penulis melakukan wawancara langsung dengan redaksi dan wartawan harian Kompas yang berkaitan dengan pemberitaan terkait isu pluralitas dan peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia. Wawancara dilakukan di kantor harian Kompas.

b. Observasi

Teknik observasi yang dilakukan penulis yaitu dengan mengamati tim redaksi harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia. Dalam hal ini yaitu melalui pemberitaan terkait isu pluralitas tersebut pada harian Kompas.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknis yang digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil wawancara, yaitu mengumpulkan buku-buku, makalah, artikel, bulletin, majalah dan dokumen tertulis lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

7. Teknik Pengolahan Data

Adapun teknik pengolahan data dengan menggunakan penjelasan metode deskriptif, yaitu masalah yang dibahas dideskripsikan dengan menggunakan dokumen-dokumen yang telah didapatkan. Setelah data-data tersebut terkumpul, maka data tersebut disajikan dan diolah dengan cara menghubungkan antara satu data dengan data yang lainnya dengan menggunakan teori-teori tertentu yang berkaitan dengan penelitian.


(23)

8. Teknik Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca. Setelah itu peneliti berusaha menganalisa data dengan menyusun ke dalam tulisan yang lebih luas. Analisis data kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing, dan sering kali melukiskannya di dalam kata-kata daripada angka-angka. 17

Dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan analisis data dengan menggunakan teori peran (role theory). Analisis data yang disajikan berasal dari dokumen-dokumen pemberitaan, wawancara, buku dan sebagainya. Kemudian data tersebut dituangkan ke dalam tulisan secara luas dan detail yang mencakup perilaku peran, pelaku peran, kedudukan orang-orang yang berperilaku, dan kaitan antara orang-orang yang berperilaku. Sehingga dapat diketahui secara komprehensif peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia.

E. Tinjauan Kepustakaan

Sebelum melakukan penelitian, penulis telah melakukan tinjauan pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta terhadap penelitian terdahulu yang mempunyai judul, subjek, objek penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang akan diteliti oleh penulis. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui bahwa penelitian yang akan penulis teliti tidak sama dengan penelitian terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang penulis teliti, yaitu:

17

Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo


(24)

1. Skripsi dengan judul “Peran Wahid Institut dalam Mengampanyekan Pemikiran Islam, Pluralisme, dan Demokrasi di Indonesia” karya M. Jazuli, mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta pada tahun 2008. Dalam skripsi ini penulis meneliti tentang peran suatu lembaga yakni Wahid Institut dalam mengampanyekan Islam, pluralisme, dan demokrasi di Indonesia. Adapun teori yang digunakan dalam skripsi ini yaitu teori peran

(role theory) yang digunakan dalam analisis data untuk menemukan peran Wahid Institut dalam mengampanyekan Islam, pluralisme, dan demokrasi di Indonesia.

2. Skripsi dengan judul “Peran Media Dalam Sosialisasi Pluralisme Keberagamaan (Analisis Wacana Majalah Syir’ah)” karya Fathuri, mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta pada tahun 2006. Dalam skripsi ini penulis meneliti tentang peran media dalam sosialisasi pluralisme keberagamaan yakni majalah Syir’ah. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan analisis wacana untuk menemukan peran majalah Syir’ah dalam sosialisasi pluralisme keberagamaan.

Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan penulis teliti. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti tentang peran media dalam memelihara pluralitas dengan menggunakan analisis teori peran (role theory) untuk menemukan peran media yang dalam hal ini harian


(25)

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam penyusunan penelitian ini menjadi skripsi, penulis akan memberikan sistematika sesuai pedoman penulisan skripsi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai berikut:

Bab 1 berisi pendahuluan. Dalam bab ini penulis menguraikan antara lain tentang latar belakang masalah yang menjadi landasan dalam melakukan penelitian ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.

Kemudian dilanjutkan bab II yang membahas mengenai kajian teori. Dalam bab ini penulis memaparkan tentang definisi dan ruang lingkup peran, surat kabar, serta pluralisme dan pluralitas.

Selanjutnya disusul bab III yang menjelaskan tentang gambaran umum profil harian Kompas. Dalam bab ini penulis memaparkan tentang sejarah berdirinya harian Kompas, visi dan misi harian Kompas, stuktur organisasi harian

Kompas, pangsa pasar harian Kompas, serta strategi perusahaan dan pengembangan produk.

Setelah itu dilanjutkan bab IV yang memaparkan analisis tentang peran harian Kompas dalam memelihara pluralitas di Indonesia. Dalam bab ini penulis menguraikan analisis data yang telah dikumpulkan antara lain tentang perilaku peran, pelaku peran, kedudukan orang-orang yang berperilaku, dan kaitan antara orang yang berperilaku.

Kemudian diakhiri bab V sebagai penutup. Dalam bab ini penulis menguraikan antara lain kesimpulan hasil penelitian dan saran kepada media tersebut yang dalam hal ini harian Kompas.


(26)

17

LANDASAN TEORI

A. Peran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran berarti perangkat tingkah laku yang diharapkan dan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.1 Pada dasarnya peran tidak bisa dipisahkan dengan status kedudukan, walaupun kedudukannya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya ibarat dua sisi mata uang yang berbeda.2 Dengan kata lain, seseorang dapat dikatakan berperan apabila mampu memainkan perannya dengan baik sesuai dengan statusnya di masyarakat.

Sedangkan Gross, Mason, dan A.W McEachern, sebagaimana dikutip oleh David Berry, mendefinisikan peran yaitu sebagai berikut:

“Peran berfungsi sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Menurutnya pula bahwa harapan-harapan tersebut merupakan imbangan-imbangan dari norma-norma sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, maksudnya; kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh “masyarakat” di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan-peranan lainnya.”3

Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan seseorang berperan apabila telah memiliki status di masyarakat. Di dalam status tersebut terdapat tugas-tugas yang sebelumnya disusun berdasarkan harapan-harapannya, namun

1

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2008), h. 1051. 2

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. Ke-8, h. 214.

3

David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), h.


(27)

harus sesuai dengan harapan masyarakat. Sehingga, apabila dalam tugas-tugasnya yang semula disesuaikan dengan harapan orang atau lembaga yang berperan kemudian tidak sesuai harapan masyarakat, maka dapat dikatakan belum berhasil.

Dalam teorinya, Biddle dan Thomas seperti dikutip Sarlito W Sarwono membagi peristilahan teori peran dalam empat golongan, yaitu:

1. Orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial. 2. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut. 3. Kedudukan orang-orang yang berperilaku. 4. Kaitan antara orang dan perilaku.4

Jadi peran adalah seperangkat tindakan atau perbuatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang berkedudukan di masyarakat dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sedang terjadi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berikut ini hal-hal yang terkait dengan peran:

1. Subjek dan Target

Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan sebagai berikut:

a. Subjek (pelaku); yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti suatu peran tertentu.

b. Target (sasaran); yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya.5

Aktor maupun target dapat berupa individu maupun kelompok yang saling berhubungan. Secord dan Backman menyatakan bahwa aktor

4

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984), h. 234.

5

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984), h. 234.


(28)

menempati posisi pusat (focal position), sedangkan target menempati posisi padanan dari posisi pusat tersebut (counter position).6 Dengan demikian aktor dan target merupakan partner dalam melakukan suatu peran.

2. Perilaku

Menurut Biddle dan Thomas ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran:

a. Expectation (harapan); adalah harapan-harapan orang pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas ditunjukkan oleh seorang yang mempunyai peran tertentu.

b. Norm (norma); adalah salah satu bentuk harapan yang menyertai suatu peran dan merupakan suatu tuntutan peran (role demand). Tuntutan peran melalui proses internalisasi dapat menjadi norma bagi peran yang bersangkutan.

c. Performance (wujud perilaku); adalah perwujudan perilaku secara nyata dalam suatu peran oleh aktor kepada target sasaran.

d. Evaluation (penilaian) dan sanction (sanksi); adalah segala sesuatu yang didasarkan pada harapan masyarakat tentang norma. Berdasarkan norma tersebut, orang memberikan penilaian berupa kesan positif atau negatif terhadap suatu perilaku. Sedangkan sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan nilai positif agar perwujudan perilaku dalam peran diubah sedemikian rupa sesuai dengan harapan dan norma di masyarakat.7

6

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, h. 235. 7


(29)

Dengan demikian expectation (harapan), norm (norma),

performance (wujud perilaku), evaluation (penilaian) dan sanction (sanksi) saling berkaitan dalam perilaku peran. Harapan dan norma merupakan segala sesuatu yang berisi harapan atau keinginan masyarakat tentang perilaku yang menyertai suatu peran. Kemudian muncullah wujud perilaku sebagai realisasi dari harapan dan norma tersebut. Sehingga timbullah penilaian dan sanksi terhadap perilaku yang telah diwujudkan tersebut.

3. Kedudukan Orang yang Berperilaku

Secord & Backman dan Biddle & Thomas memberikan definisi yang saling melengkapi tentang kedudukan (posisi). Dari ke-dua definisi mereka dapat disimpulkan bahwa kedudukan adalah sekumpulan orang yang secara bersama-sama diakui perbedaannya dari kelompok-kelompok yang lain berdasarkan sifat-sifat yang mereka miliki bersama, perilaku yang sama-sama mereka perbuat, dan reaksi orang-orang lain terhadap mereka bersama.

Dengan demikian ada 3 (tiga) faktor yang mendasari penempatan seseorang dalam posisi tertentu. Pertama, sifat-sifat yag dimiliki bersama seperti jenis kelamin, suku bangsa, usia, atau ketiga sifat itu sekaligus. Semakin banyak sifat yang dijadikan dasar kategori kedudukan, maka semakin sedikit orang yang dapat ditempatkan dalam kedudukan itu.8 Ke dua adalah perilaku yang sama seperti penjahat, olahragawan, pemimpin, dan sebagainya. Ke tiga adalah reaksi orang lain terhadap mereka.

8


(30)

4. Kaitan antara Orang dan Perilaku

Biddle dan Thomas mengemukakan bahwa kaitan (hubungan) yang dapat dibuktikan ada atau tidak adanya dan dapat diperkirakan kekuatannya adalah kaitan antara orang dengan perilaku dan perilaku dengan perilaku. Kaitan antara orang dengan orang dalam teori peran ini tidak banyak dibicarakan.9 Kriteria untuk menetapkankan kaitan-kaitan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Derajat kesamaan atau ketidak samaan antara bagian-bagian yang saling berkaitan tersebut. Derajat kesamaan memiliki kriteria yang disebut konsesus yang berarti kaitan antara perilaku-perilaku yang berupa kesepakatan mengenai suatu hal tertentu. Contoh: semua orang setuju bahwa ayah harus mengayomi anak-anaknya. Sedangkan derajat ketidaksamaan disebut disensus. Ada 2 (dua) disensus menurut Biddle dan Thomas. Pertama, disensus yang tidak terpolarisasi, yaitu ada beberapa pendapat yang berbeda-beda. Contoh: ada beberapa murid yang berpendapat wali kelas mereka terlalu disiplin, dan ada yang menilai wali kelas tersebut kurang sabar, dan sebagainya. Kedua, disensus yang terpolarisasi, yaitu ada dua pendapat yang saling bertentangan. Contoh: sebagian murid di kelas itu menilai wali kelasnya negatif karena terlalu ketat, sedangkan sebagian murid yang lain menilai wali kelasnya positif karena disiplin.

b. Derajat saling menentukan atau saling ketergantungan antara bagian-bagian tersebut. Di sini suatu hubungan orang-perilaku akan

9


(31)

memengaruhi, menyebabkan atau menghambat hubungan orang-perilaku yang lain. Misalnya orang-perilaku ayah akan memengaruhi orang-perilaku anak.

c. Gabungan antara derajat kesamaan dan saling ketergantungan. Hal ini terdiri atas konformitas, penyesuaian, dan kecermatan. Konformitas

(conformity) adalah kesesuaian antara perilaku seseorang dengan perilaku orang-orang lain, atau perilaku seseorang dengan harapan orang lain tentang perilakunya. Sedangkan penyesuaian (adjustment)

adalah perbedaan perilaku seseorang dengan yang diharapkan orang lain, sehingga butuh penyesuaian perilakunya sesuai dengan harapan orang lain. Kemudian kecermatan (accuracy) yaitu ketepatan penggambaran suatu peran. Deskripsi peran yang cermat adalah deskripsi yang sesuai dengan harapan-harapan peran itu, dan sesuai dengan perilaku nyata yang ditunjukkan oleh orang yang memegang peran itu.10

B. Surat Kabar

1. Sejarah Singkat Surat Kabar

Surat kabar merupakan media massa tertua dibandingkan dengan jenis media massa lain. Surat kabar mengandung isi yang sangat beragam berupa editorial, berita, saran, komik, opini, teka-teki silang, iklan, dan data. Surat kabar sangatlah penting bagi kehidupan manusia dan sebagai medium yang terus beradaptasi dengan gaya hidup yang selalu berubah.11 Keberadaan surat kabar dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh

10

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, h. 246-251. 11


(32)

Johann Guternberg di Jerman. Surat kabar pertama yang diterbitkan di Bremen Jerman pada tahun 1609. Kemudian pada tahun 1620 terbit surat kabar di Frankfrut, Berlin, Humberg, Vienna, Amsterdam, dan Antwerp.12 Kemudian di Inggris terbit surat kabar pertama pada tahun 1621. Dan secara resmi terbit surat kabar Oxford Gazette pada tahun 1665 yang kemudian berubah namanya menjadi London Gazette. Sedangkan surat kabar harian yang pertama terbit adalah Daily Courant.13

Selanjutnya surat kabar harian yang pertama di Amerika Serikat adalah Pennsylvania Evening Post dan Daily Advertiser yang terbit pada tahun 1783.14 Kemudian pada tahun 1833 terbit surat kabar New York Sun

yang menandai era surat kabar sebagai media massa karena harganya yang murah. Pada akhir abad 19, surat kabar di Amerika mengalami kejayaan karena surat kabar menjadi arena bisnis dan gencar melakukan promosinya. Keberadaan surat kabar terus berkembang hingga ke Indonesia yang dimulai sejak zaman Belanda. Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan

Javasche Courant. Pada tahun 1835 di Surabaya terbit Soerabajasch Advertentiebland yang kemudian diganti namanya menjadi Soerabajasch Niews en Advertentiebland. Kemudian pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa Melayu di antaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (Bogor), Selompret Melayu dan

12

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2007), h. 105. 13

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, h. 105. 14


(33)

Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa Bromartini yang terbit di Solo.15

Ketika zaman Jepang, surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih dan disatukan. Hal ini bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih yang kemudian diteruskan oleh kantor berita Yashima. Surat kabar pada saat itu digunakan sebagai alat propaganda pemerintah dan tentara Jepang.

Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan dengan menerbitkan surat kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeraedi. Surat kabar ini digunakan sebagai propaganda bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan kepada Jepang. Akibatnya Berita Indonesia berulang kali dibredel, dan selama pembredelan para tenaga redaksinya ditampung oleh surat kabar Merdeka.

Surat kabar perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat, Soeara Indonesia, Soeara Merdeka, Kedaulatan Rakjat, dan Demokrasi.16

Kemudian pada zaman orde lama, persyaratan mendapat Surat Izin Terbit (SIT) diperketat. Hal ini dimanfaatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan memengaruhi karyawan surat kabar untuk mogok kerja secara halus. Hal ini mengakibatkan banyaknya kolom surat kabar yang tidak terisi dengan berita, melainkan diisi iklan gratis sebagaimana yang dialami Soerabaja Post dan harian Pedoman di Jakarta.

Selanjutnya ketika zaman Orde Baru, pers tumbuh bebas tidak seperti zaman orde lama. Namun surat kabar yang nakal memberitakan

15

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, h. 107. 16


(34)

kejelekan pemerintah pada saat itu, diberi ganjaran berupa pencabutan Surat Izin Terbit dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), seperti

Sinar Harapan, Detik, dan Tempo.

Pada zaman reformasi mengalirnya kebebasan pers yang ditandai dengan tumbuh suburnya media massa. Ketika itu pemerintah memberikan kemudahan memperoleh SIUPP. Kemudian pada masa pasca reformasi, SIUPP dihapuskan. Akibatnya jumlah penerbitan pers di Indonesia meningkat drastis mencapai 1800-2000 penerbit.17

2. Fungsi atau Peran Surat Kabar

Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agen perubahan sosial. Dalam menjalankan paradigmanya tersebut, media massa berperan sebagai media informasi, edukasi, hiburan, dan persuasif.18 Dari empat fungsi atau peran media massa (informasi, edukasi, hiburan, dan persuasif), peran yang paling utama pada surat kabar adalah sebagai pemberi informasi.19 Hal ini sesuai dengan sebagian besar rubrik surat kabar terdiri atas berbagai jenis berita.

Peran surat kabar sebagai media informasi, yaitu surat kabar setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat dalam periode terbit tertentu. Dengan informasi yang terbuka, jujur, dan benar disampaikan oleh surat kabar kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang informatif yang terbuka dan kaya dengan informasi. Melalui surat kabar memungkinkan informasi dari institusi publik tersampaikan kepada

17

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, h. 110. 18

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007), h. 85. 19

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa


(35)

masyarakat secara luas dalam waktu cepat sehingga fungsi informatif tercapai dalam waktu singkat dan cepat.20

Namun demikian, peran surat kabar sebagai hiburan juga tidak dapat terabaikan, walaupun dalam skala yang rendah dibanding media massa lain. Hiburan pada surat kabar tersedia dalam rubrik artikel ringan,

feature, rubrik cerita bergambar atau komik. Fungsi media massa sebagai penghibur bertujuan untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak agar segar kembali.21

Begitu pun dengan fungsi atau peran mendidik pada surat kabar akan ditemukan pada artikel ilmiah, tajuk rencana, dan rubrik opini. Media sebagai institusi pencerahan masyarakat berperan sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.22

Fungsi utama dari komunikasi massa melalui media massa dalam hal ini surat kabar adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Media massa bertugas untuk memberikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat di mana komunikasi massa itu berlangsung. Komunikasi massa dimaksudkan agar proses pencerahan itu berlangsung efektif dan efisien dan menyebar secara bersamaan di masyarakat luas.23 Kemudian fungsi memengaruhi pada surat kabar secara implisit terdapat dalam tajuk rencana, feature, iklan, artikel, dan sebagainya.

20

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007), h. 80-85. 21

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2007), h. 17. 22

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007), h. 85. 23


(36)

Khalayak atau pembaca dapat terpengaruh oleh segala sesuatu yang ditayangkan dalam surat kabar. Selanjutnya surat kabar pada perkembangannya juga berperan sebagai alat kontrol sosial yang konstruktif.24

3. Karakteristik Surat Kabar

Surat kabar sebagai media massa memiliki beberapa karakteristik. Pertama, publisitas yaitu penyebarannya pada publik di berbagai tempat. Hal ini agar berita-berita yang dicetak penting untuk diketahui publik dan menarik bagi khalayak luas. Ke dua, periodesitas yang menunjuk pada keteraturan terbitnya seperti harian, mingguan, dan sebagainya. Ke tiga, universalitas yang menunjuk pada isi beritanya yang beragam meliputi seluruh aspek kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, dan sebagainya. Ke empat, aktualitas beritanya yang menunjuk pada kekinian atau berita terbaru. Dan yang ke lima, beritanya selalu terdokumentasikan setiap terbit.25

C. Pluralisme dan Pluralitas

1. Pengertian Pluralisme dan Pluralitas

Istilah pluralisme memiliki pengertian yang beragam, bahkan saling bertolak belakang di berbagai kalangan. Sehingga masih sering diperdebatkan dan menimbulkan salah faham karena masih mengandung pengertian yang kabur, meskipun istilah ini begitu populer dan banyak disambut baik secara luas.

24

Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa

Rekatama Media, 2007), h. 112. 25


(37)

Secara etimologis kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris dari dua kata yaitu plural dan isme. Plural berarti jamak atau banyak.26 Dan isme berarti ide atau faham. Pluralisme dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan yaitu orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang satu atau lebih secara bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan.

Ke-dua, pengertian filosofis berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan yang ke-tiga, pengertian sosio-politis ialah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keanekaragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.27

Maka dari ketiga pengertian tersebut dapat disederhanakan dalam satu makna pluralisme yaitu, koeksistensinya sebagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.28 Dari pengertian ini dapat juga dipahami bahwa pluralisme adalah paham yang menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan, keragaman sekaligus memberikan penghormatan

26John M. Echols dan Hassan Shadily, (ed), “

Plural,” Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:

Gramedia, 2002) Cet. Ke-26, h. 435. 27 Lihat “Pluralism” dalam

The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and edited by C.T. Onions (Oxford: The Calendron Press, 1952).

28

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif,


(38)

dan saling toleransi terhadap perbedaan tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sedangkan pluralitas dapat berarti keanekaragaman, sehingga pluralitas merupakan kondisi objek dalam suatu masyarakat yang terdapat sejumlah grup saling berbeda, baik strata ekonomi, ideologi, keimanan maupun latar belakang etnis.

Namun dari segi konteks “pluralisme” khususnya pluralisme agama sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana diskusi pada saat ini telah menunjukkan definisi yang berbeda dari definisi etimologisnya. Berikut berbagai definisi pluralisme dari beberapa tokoh: John Hick menegaskan bahwa:

“Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respons yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut, dan terjadi sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.”29

Nurcholis Madjid berpendapat bahwa:

“Pluralisme agama adalah semua agama adalah jalan kebenaran menuju Tuhan.”30 Dia menyatakan bahwa keragaman agama tidak hanya sekadar realitas sosial, tetapi keragaman agama justru menunjukkan bahwa kebenaran memang beragam. Tidak ada seseorang pun yang berhak memonopoli kebenaran Tuhan karena hal ini akan menjadi bibit permusuhan terhadap agama lain.

29

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif,

2005), Cet. Ke-1, h. 15. 30

Umi Sumbulah, Islam “Radikal” Dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial

Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 49.


(39)

Saat ini, pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, yaitu: a. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural. b. Pluralisme digunakan sabagai alasan pencampuran antara ajaran agama. c. Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu

agama agar sesuai dengan ajaran agama lain.31

Dari berbagai bahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pluralisme merupakan ideologi yang menyuarakan toleransi dalam keberagaman tanpa batas dengan jalan menghilangkan perbedaan tersebut dan berupaya menyeragamkan atau menyamakannya. Sedangkan pluralitas merupakan sebuah pemahaman berbeda sekaligus dalam arti kemajemukan, menjalani kehidupan bersama dalam kesadaran akan sikap saling menghargai dan menghormati serta memahami berbagai perbedaan dan karakteristik masing-masing baik suku, agama, ras, dan antargolongan.

2. Sejarah Perkembangan Pluralisme dan Pluralitas

Gagasan pluralisme agama muncul pada masa pencerahan

(Enlightenment) di Eropa pada abad ke-18 Masehi. Masa ini sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern yang berorientasi pada superioritas akal dari belenggu agama.32 Di tengah hiruk pikuk konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, kemudian muncul suatu paham liberalisme yang unsurnya terdiri atas kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.

31

Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme Di Yogya, (Yogyakarta: Kanisius,

2007), h. 28. 32

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif,


(40)

Kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dalam kemasan “pluralisme politik” yang merupakan produk dari “liberalisme politik”. Jelas, “liberalisme” merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural. 33 Maka dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya umat Kristen untuk berinteraksi dan hidup secara toleran dengan agama lain. Pada abad ke-20 gagasan pluralisme tersebut berkembang ke seluruh dunia. Tokoh pemula yang mengedepankan gagasan ini adalah seorang teolog Kristen Liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Troeltsch mengemukakan pendapatnya mengenai pluralisme agama yaitu:

“Bahwa dalam semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran mutlak, dan konsep ketuhanan di muka bumi ini tidak hanya satu, melainkan beragam.”34

Selama dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah berkembang pesat dalam pemikiran teologi modern. John Hick telah merekonstruksi landasan teoritis pluralisme agama sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer yang sangat kental melekat dengan namanya. Seperti dalam bukunya An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent yang diangkat dari serial kuliahnya, yaitu

Gifford Lecture pada tahun 1986-1987.35

Namun gagasan pluralisme yang muncul akibat dari gerakan ”Protestantism” ini ditolak oleh kalangan Kristen Katolik yang tetap berpegang teguh pada doktrin “extra eccelesiam nulla salus” (di luar gereja

33

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 17-18. 34

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 18. 35


(41)

tidak ada keselamatan).36 Meskipun gagasan pluralisme agama ini muncul dalam masyarakat Kristen, tetapi pada dasarnya pemikiran ini juga ditemukan dalam faham-faham humanisme sekular pada gerakan Hindu Brahma Samaj, Masyarakat Teosofi, dan pemikiran kebenaran abadi.

Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya gagasan pluralisme sebenarnya bukan hanya dominasi pemikiran Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India. Cikal bakal pluralisme agama lebih dahulu muncul di India pada abad ke-15 dalam gagasan kabir (1440-1518) dan muridnya yaitu Guru Nanak (1469-1538) yang merupakan pendiri agama “Sikhisme”.37

Rammohan Ray (1772-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama.38

Sri Ramakrishna (1834-1886) telah mengarungi pengembaraan spiritual dari Hindu ke Islam dan Kristen serta kembali lagi ke Hindu. Dia menyatakan perbedaan dalam setiap agama tidaklah berarti, karena pada hakikatnya semua agama sama mengantarkan kepada satu tujuan yang sama. Kemudian gagasan ini berkembang dan diterima di dunia Barat khususnya. Menyusul kemudian tokoh-tokoh India lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishnan (1888-1975) yang juga menyuarakan gagasan pluralisme agama yang sama.

Ada perbedaan yang cukup menonjol antara gagasan pluralisme agama yang muncul pada abad pra-modern dan pada abad modern di India.

36

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 20. 37

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 20. 38


(42)

Pada masa pra-modern, pluralisme tersebut ditandai dengan munculnya agama baru “Sikhisme” yang merupakan perpaduan antara Hindu dan Islam. Sedangkan pada masa modern, pluralisme tersebut mencetuskan gagasan pluralisme agama yang lebih bercorak Hindu.39

Kemudian juga terdapat perbedaan mendasar antara gagasan pluralisme agama yang dicetuskan oleh teolog-teolog India dengan yang dicetuskan oleh Barat, khususnya Eropa. Gagasan pluralisme agama India lebih memiliki akar teologisnya, karena kerangka dasarnya bersumber dari ajaran kitab suci Hindu, seperti saling dimilikinya kebenaran oleh jalan-jalan yang mengantarkan kepada Tuhan. Sedangkan di Barat gagasan ini lebih merupakan produk filsafat atheisme modern yang muncul pada pencerahan Eropa.40

3. Islam, Pluralisme dan Pluralitas

Dalam pemikiran Islam, pluralisme masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme, khususnya pluralisme agama yang muncul lebih merupakan pemikiran baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa gagasan pluralisme agama dalam Islam baru muncul pada masa-masa pasca perang Dunia Kedua.

Anis Malik Thoha mengatakan:

“Terminologi pluralisme tidaklah dikenal secara populer di kalangan Islam, kecuali sejak abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika Barat berupaya menyebarkan ideologi modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM, dan pasar bebas

39

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 22. 40


(43)

untuk berbagai kepentingannya. Atas dasar superioritas ras dan kultur Barat terus meremehkan dan menghina segala sesuatu yang bukan Barat, khususnya Islam dengan tuduhan intoleran, fundamentalis, anti demokrasi, dan sebagainya.”41

Lebih lanjut Anis mengatakan bahwa:

“Dalam Al-Qur’an maupun Sunnah serta kitab-kitab klasik karya para ulama tidak ada terminologi pluralisme agama secara verbal. Namun dalam pandangan para ulama Islam lebih membahas pluralitas agama dalam berinteraksi sosial dalam keragaman suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis, sedangkan Islam memberikan solusi praktis sosiologis.”42

Masalah kehidupan bersama antar agama dalam masyarakat Islam merupakan masalah sosial yang sangat penting sekaligus sensitif. Islam memberikan aturan-aturan terhadap masalah ini yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dasar-dasar teoritis ini meliputi Tauhid, pluralitas adalah sunnatullah, kebebasan beragama, dan pluralitas mengandaikan

frame of reference.43

a. Tauhid

Sentralitas Tauhid dalam Islam terhadap gagasan pluralisme agama sangat jelas bagaimana Islam melihat hakikat Tuhan, wahyu, manusia, dan masyarakat. Keempat hakikat ini berkaitan dengan hakikat agama lain, karena akan menentukan posisi agama lain dalam Islam.44 Dalam

Tauhid ini hakikat ketuhanan hanya dimiliki Allah swt, sebagaimana al-Qur’an menegaskan hakikat ini dengan sangat jelas.

41

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 181. 42

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 183. 43

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 184. 44


(44)

Anis mengatakan:

“Hakikat wahyu dalam Tauhid yaitu manusia dapat mengenal Allah swt dengan adanya wahyu yang merupakan rahmat kepada seluruh umat manusia. Wahyu dan kenabian merupakan hal umum dan universal yang diturunkan Allah kepada setiap umat atau golongan sebagai petunjuk keimanan dan penyelamat mereka dari kesesatan.”45

Selanjutnya hakikat manusia dalam Tauhid adalah sama di hadapan Allah swt. Mereka diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dengan menyembah Allah swt. Islam menyatakan fitrah manusia ketika dilahirkan ke dunia, tanpa membawa dosa keturunan. Dengan konsep “agama fitrah” Islam telah meletakkan landasan universal yang lebih kuat dan luas bagi humanisme yang sebenarnya bagi seluruh umat manusia dengan berbagai latar belakang agama, dan sebagainya.

Kemudian Tauhid dan hakikat masyarakat meliputi seperangkat sistem, aturan, hukum, etika, dan nilai yang sistematis saling melengkapi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif Tauhid, masyarakat merupakan ekspresi riil sosiologis bagi teori, kepercayaan, atau mazhab.46 Hal ini berarti Islam menginginkan agar kehidupan Islam merambah ke segala aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Islam memandang seluruh manusia, Muslim dan non-Muslim yang hidup berdampingan di masyarakat Islami sebagai “ummah wahidah” (umat yang satu) seperti yang tertuang dalam “Piagam Madinah”.47 Semua ini menunjukkan bahwa non-Muslim menikmati otonomi dalam

45

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 190. 46

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 203. 47


(45)

masyarakat Islami. Islam telah meletakkan dasar dan prinsip toleran dan kebebasan agama yang belum ada tandingannya sampai sekarang.

b. Pluralitas adalah Sunnatullah

Konsep dan pemahaman pluralitas seperti ini berdasarkan naql (teks wahyu), akal, dan kenyataan. Menurut logika akal bahwa tidak ada pluralitas atau keberagaman antara beberapa hal, kecuali jika masing-masing memiliki karakteristik khusus yang membedakan satu dengan yang lainnya. Tanpa itu, tiada yang terwujud melainkan keseragaman

(uniformity) bukan keragaman.48 Begitu juga dalam hal adanya keberagaman agama karena masing-masing agama memiliki ciri atau karakteristik yang berbeda.

Fakta-fakta riil kesejarahan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat mendasar antar agama-agama. Sejarah mencatat terjadinya peperangan dan konflik berdarah yang bernuansa agama, suku, dan sebagainya. Contoh nyata adalah perang salib yang dikobarkan gereja Kristen selama hampir dua abad.49 Ditambah perang peradaban yang melanda, yaitu perang antara peradaban Islam dan Kristen yang didukung sekularisme.

Namun perlu diperhatikan bahwa mengakui eksistensi praktis agama-agama lain yang beragam, dalam pandangan Islam bukan berarti mengakui legalitas dan kebenarannya seperti yang diajarkan kaum pluralis. Dengan demikian, pluralitas dalam pandangan Islam sangat unik dan memiliki karakteristik dengan kemampuannya mengapresiasi,

48

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 209. 49


(46)

menghargai, dan menghormati perbedaan penting dan mendasar antar agama beserta karakteristiknya masing-masing.

c. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Islam melihat keberagamaan sebagai pilihan, kemantapan dan keyakinan yang tidak boleh dipaksakan. Hal ini dijelaskan dengan tegas dalam QS. Al-Baqarah: 256. Pada ayat Al-Qur’an di atas merupakan pandangan Islam terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi manusia yang paling utama.













Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Prinsip ini kemudian dikenal dengan istilah “tolerance” (toleransi) yang merupakan istilah modern produk Barat. Dalam Islam istilah ini diterjemahkan dengan menggunakan istilah “tasamuh”.50 Namun perkembangan konsep toleransi dalam pemikiran politik dan keagamaan Barat telah bergeser seperti yang diungkapkan oleh kaum pluralis dengan mengedepankan persamaan. Jika persamaan yang dikedepankan oleh kaum pluralis, maka sebenarnya apa yang harus ditolerir jika

50


(47)

semuanya sama. Karena toleransi baru dapat terwujud jika ada perbedaan yang mendasarinya.

Muhammad Legenhausen dalam karyanya Misgivings about the Religious Pluralism of Seyyed Hossein Nasr and John Hick menjelaskan bahwa:

“Toleransi agama yang sebenarnya hanya akan terwujud ketika manusia belajar menghargai keyakinan-keyakinan agama yang mereka anggap salah, kunci toleransi bukanlah membuang atau merelativisasi ketidaksepakatan, tapi kemauan untuk menerima ketidaksepakatan yang genuine.51

d. Pluralitas Butuh Frame of Reference

Pandangan Islam yang realistis terhadap gagasan pluralitas agama harus memiliki sebuah rujukan yang bisa digunakan bersama. Isu pluralitas agama dalam pandangan Islam adalah pengakuan adanya keberagaman dan menerima kenyataan ini serta mengakui hak untuk berbeda agama tanpa berusaha mengeliminir perbedaannya dengan Islam. Islam mengukuhkan rujukan ini kepada Allah swt dan Rasulullah saw, seperti yang tertuang dalam Piagam Madinah.

Lain halnya dengan rujukan yang digunakan kaum Pluralis Barat khususnya, yang menggunakan teori-teori pluralisme agama yang tampak netral tidak mengunggulkan satu agama di atas agama lain. Namun pada hakikatnya teori pluralisme agama ini telah mengeksploitasi semua agama secara dahsyat dan menghilangkan dari karakteristiknya masing-masing agar mengarah kepada sistem sekular.52

51

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, h. 213. 52


(48)

Dengan demikian tujuan perbedaan dan keragaman atau yang lebih dikenal dengan pluralitas, pada dasarnya sebuah sistem yang mampu menghargai perbedaan tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing perbedaan dan keragaman tersebut agar menjadi seragam. Sehingga terwujudlah pluralitas yang sebenarnya sesuai kehendak Allah swt dalam penciptaan alam semesta ini. Hal ini terkandung dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan:

















Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat :13)

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia telah berkehandak untuk menciptakan manusia beragam. Keberagaman itu tidak lain dan tidak bukan ditujukan untuk saling kenal, saling dialog, dan saling bekerja sama. Karena, dengan mengenal, berdialog, dan bekerja sama akan tercipta keselarasan dan keharmonisan dalam kehidupan umat manusia.

4. Pluralitas di Indonesia

Indonesia telah memiliki keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan sejak masa silam. Hal ini merupakan salah satu kekayaan yang layak dibanggakan oleh bangsa ini. Namun, di sisi lain pluralitas ini bagaikan pisau bermata dua. Apabila pluralitas tersebut dikelola dengan


(49)

baik dan benar tentu akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi Indonesia. Tetapi sebaliknya , jika pluralitas tersebut tidak dikelola dengan tepat, maka akan menimbulkan konflik yang mengarah pada perpecahan bangsa.

Konflik bernuansa SARA tersebut setidaknya terjadi di 40 kota yang disebabkan oleh ketidakpuasan dan kemarahan yang telah ditekan dan tidak disalurkan dengan cara yang konstruktif sejak tahun 1997. Bermula di Pontianak (Kalimantan Barat) terjadi konflik antara Dayak dan Madura (dari provinsi Jawa Timur) sejak awal 1997. Pada pertengahan-1997 di Makassar, Sulawesi, ratusan toko Cina dibakar. Kemudian pada Januari 1999, ribuan orang Kristen dan Muslim telah tewas, ratusan tempat ibadah dibakar, dan ribuan non-Maluku melarikan diri kembali ke tanah asal mereka, menyusul konflik etnis-agama di Maluku.53

Data yang diperoleh dari Andi Faisal Bakti menyebutkan bahwa: “Pada awal tahun 2000, ratusan baik Muslim dan Kristen kehilangan nyawa mereka dalam konflik serupa di Poso, Sulawesi Tengah. Sementara Timor Timur telah merdeka sejak tahun 1999, sedangkan Aceh (di Sumatera) melalui Gerakan Aceh Merdeka menuntut kemerdekaan, sampai pada 15 Agustus 2005 terjadi kesepakatan damai yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Begitu juga Papua (Irian Jayans) dan minoritas lainnya yang tidak puas dengan pemerintah pusat.”54

Andi Faisal Bakti mengatakan bahwa:

“Hal ini juga diperparah oleh faktor-faktor sejarah yang membuat Indonesia rentan terhadap konflik-konflik bernuansa SARA. Ada 7 (tujuh) faktor utama yang terkait konflik pluralitas tersebut, yaitu

53

Andi Faisal Bakti, “Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia, Identity, Culture and

Politics an afro-asian dialogue;” Vol. 9, no. 1 (Juli 2008): h. 75.

54 Andi Faisal Bakti, “

Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 75.


(50)

proselitisasi, sentralisasi, militerisasi, sinocization, sekularisasi, modernisasi, dan maskulinasi.”55

a. Proselitisasi

Proselitisasi ini berkaitan dengan agama, khususnya Islam dengan Kristen. Pada abad ke-7, Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang Muslim yang berasal dari Arab. Sambil berdagang, mereka menyebarkan ajaran yang mereka bawa, yaitu Islam kepada penduduk nusantara. Kemudian pada abad ke-10, umat Islam mulai membangun tempat tinggal di wilayah pesisir melalui pernikahan campuran dengan penduduk setempat.

Semenjak ini, Islam kian berkembang popular di tengah-tengah masyarakat seiring dengan didirikannya pusat-pusat keagamaan, termasuk masjid. Selanjutnya Islam membangun politik dari abad ke-13 sampai ke-17. Hal ini terlihat oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, Mataram, Gowa-Tallo, dan sebagainya.

Namun proses ini kemudian dipengaruhi oleh kedatangan orang Eropa pada abad ke-19. Tujuan mereka adalah untuk menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk (Gospel), untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara untuk kesejahteraan ekonomi mereka (Gold), dan menundukkan kekuasaan politik Islam, melalui kolonisasi (Glory). Kehadiran mereka inilah yang menandai awal dari sebuah percampuran konflik agama dan etnis.56

55 Andi Faisal Bakti, “

Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 76.

56 Andi Faisal Bakti, “

Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 77.


(51)

Belanda menerapkan kebijakan diskriminatif dalam semua aspek kehidupan. Sebuah stratifikasi sosial baru ditetapkan, terdiri dari: 1) para elit, termasuk semua Eropa dan Indo-Eropa keturunan, 2) kelas menengah, termasuk warga asal Timur Jauh, kebanyakan Cina; dan 3) penduduk pribumi, terlepas dari (strata sosial anggota keluarga kerajaan, bangsawan serta rakyat jelata). Hal ini menyebabkan protes serius dari penduduk asli.57

Tindakan diskriminatif pun terus berlanjut ketika rezim Soeharto, orang Kristen sebagai minoritas banyak menduduki posisi penting di kabinet dan pemerintahan. Hal ini bertujuan agar minoritas tidak menentang dan menggulingkan pemerintahannya. Selain itu Soeharto memberikan perhatian lebih kepada etnis Cina yang memegang 70% perekenomian dalam negeri pada saat itu.

Namun Soeharto berusaha untuk mengelola dan mengatur proselitisasi demi stabilitas nasional dan keamanan. Dakwah dan upaya untuk mengkonversi keyakinan orang dengan demikian dilarang, apalagi melalui coerseduction. Akibatnya, semua bantuan asing yang diterima di Indonesia, harus mengikuti jalur resmi. Karena bantuan asing yang datang dalam jumlah besar dipandang sebagai upaya untuk mengkristenkan Muslim Indonesia. Muslim yang tinggal di daerah pedesaan yang kumuh telah menjadi Kristen. Hal ini diyakini sebagai akibat dari coerseduction terkait dengan bantuan asing.58

b. Sentralisasi atau Jawanisasi

57 Andi Faisal Bakti, “

Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 77-78.


(52)

Pulau Jawa memiliki luas tujuh persen dari total wilayah Indonesia. Namun penduduknya, mencapai hampir 70 % dari total populasi negeri tersebut. Sejak pemerintah kolonial Belanda, pusat politik dan administrasi ekonomi telah di Jakarta (Batavia) yang terletak di pulau Jawa. Banyak pemimpin muda yang berasal dari Jawa. Sebagai salah satu hasil sentralisasi yaitu Soekarno, Soeharto dan beberapa presiden Indonesia hingga saat ini merupakan orang Jawa.

Sentralisasi atau Jawanisasi pun kian meluas dengan lahirnya program kontrol kelahiran (keluarga berencana) dan transmigrasi yang disponsori pemerintah. Hal ini disertai dengan penciptaan perusahaan-perusahaan di daerah yang dirancang untuk mengeksploitasi sumber daya alam daerah yang berlimpah.59

Namun masyarakat menolak program keluarga berencana tersebut, karena masyarakat percaya bahwa anak akan mendatangkan rezeki. Untuk mengatasi argumen ini, pemerintah menggunakan semua alat yang mungkin, fasilitas dan jaringan untuk mencapai tujuannya. Salah satunya melalui pemuka agama, pemerintah mengajak para pemimpin agama untuk berdialog kepada warga. Kemudian mencari hukum agama yang sesuai dengan program tersebut agar masyarakat dapat lebih menerima program keluarga berencana tersebut.

Meskipun demikian, beredar isu bahwa program keluarga berencana bertujuan mengurangi penduduk Muslim, sebagai lawan dari non-Muslim. Selain itu, etnis Cina pun tidak mengambil bagian dalam

59 Andi Faisal Bakti, “

Communication and Violence: Communicating Human Integrity


(53)

program ini, sehingga dikhawatirkan dapat meningkatkan jumlah mereka. Program ini disubsidi oleh Barat sebagai strategi Kristen untuk menghilangkan Muslim di Indonesia.

Transmigran menimbulkan ketakutan penduduk lokal akan kehilangan mata pencaharian mereka sendiri. Selain itu juga menyebabkan ketakutan penduduk lokal oleh dominasi transmigran baru. Akibatnya, timbul kebencian penduduk lokal yang sering mengarah pada tindak kekerasan.60

c. Militerisasi

Keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Hal ini melibatkan keluarga anggota pemerintah, termasuk presiden, militer, dan Etnis Cina. Pengusaha Cina yang kaya terlihat bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto. Cina memiliki akses ke berbagai kegiatan komersial dan perekonomian.61

Kolusi dan persekongkolan masuk ke dalam birokrat pemerintah yang digunakan untuk mempertahankan kekuatan finansial. Lim Sioe Liong (Soedono Salim), misalnya telah menggunakan hubungan istimewa dengan Soeharto untuk memperoleh monopoli atas multi-juta dolar bisnis impor cengkeh. Kelompok Lim juga merupakan pemegang saham terbesar di Indonesia yang memiliki bank pribadi terbesar. Begitu juga banyak jenderal, terutama Soeharto dan keluarga dan

60 Andi Faisal Bakti, “

Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 82.

61 Andi Faisal Bakti, “

Communication and Violence: Communicating Human Integrity Characteristics is Necessary for Horizontal Conflict Resolution in Indonesia,” h. 83.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran