MEREVISI JURNALISME SEBAGAI PROFESI DI E

MEREVISI JURNALISME SEBAGAI PROFESI DI ERA DIGITAL:
TELAAH PENGARUH TEKNOLOGI MEDIA BARU
DALAM PRAKTIK JURNALISTIK DI INDONESIA
Ambang Priyonggo, M.A.
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara
Boulevard Gading Serpong, Tangerang
ambang@umn.ac.id

ABSTRAK
Upaya mendefinisikan wartawan sebagai sebuah profesi seakan makin sulit di tengah dinamika teknologi media baru yang
terus berkembang. Teknologi digital ini memang telah memberi akses wartawan atas new tools (alat-alat baru) yang
membantu kerja mereka serta sarana atau platform baru sebagai channel menyampaikan berita dan informasi ke publik.
Namun media baru telah mengubah relasi media dengan audiens, dalam arti kini wartawan tidak lagi memiliki posisi
eksklusif atas narasumber berita dan ruang publik. Baik narasumber berita dan audiens bahkan bisa membangun „ channel‟
sendiri di ruang publik lewat fitur berbasis user generated content (UGC), sehingga makin menggerus peran dan tugas
wartawan sebagai gate keeper . Makalah ini mencoba memberikan penelaahan awal tentang pengaruh teknologi media baru
terhadap kerja wartawan dan keprofesian wartawan. Koran Sindo sebagai subsidiari dari jaringan media terbesar di
Indonesia, Media Nusantara Citra (MNC), dipilih sebagai “laboratorium”. Dengan mengimplementasikan Teori Aktor
Jaringan (Actor Network Theory/ANT) serta metode focused group discussion (FGD), makalah ini menguak aspek-aspek
potensi perubahan dalam tiga dimensi budaya profesi. Pertama, terkait keahlian penggunaan perangkat lunak dan media
sosial (dimensi kognitif). Kedua, pandangan wartawan terhadap potensi penggunaan teknologi internet dalam pembuatan

berita (dimensi evaluatif). Ketiga, kemunculan praktik-praktik baru yang diadaptasi dalam model jaringan pembuatan berita
serta proses diseminasinya (dimensi performatif).
Kata kunci: Teknologi Media Baru, Wartawan, Profesi, Teori Aktor Jaringan

1.

Pendahuluan

Dalam dua dasawarsa terakhir, lingkungan media massa telah banyak dihiasi berbagai diskusi tentang
internet. Kehadiran teknologi dunia maya yang menyeruak hebat pada 1990-an—terutama di negara-negara maju
di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang—ini telah mengubah bentuk praktik jurnalisme dari yang
„konvensional‟ menjadi „digital‟ atau sering disebut jurnalisme dalam jarigan (daring).
Perkembangan jurnalisme daring ini makin pesat seiring dengan terus bertambahnya user (pengguna)
internet. Data per 31 Desember 2013 dari Internet World Statistic mengungkapkan pengguna internet di dunia
sudah mencapai angka 360.985.492. Angka ini setara dengan 39% dari total populasi di bumi yang mencapai 7
miliar lebih. Akses yang makin mudah, terutama dengan lahirnya teknologi mobile, menjadi salah satu poin
penyebab meningkatnya user, dengan penetrasi menembus 676.3% dari periode 2000-2014.
Lebih lanjut Internet World Statistics juga mengungkapkan jumlah user internet di Indonesia per 31
Desember 2013 yang sudah mencapai angka 55 juta pengguna, atau sekitar 21,7% dari total populasi sebanyak
253.609.643 penduduk.

Wartawan memang banyak dimudahkan dalam beragam aktivitas saat menjalankan kerja profesionalnya
dengan kehadiran teknologi internet ini. Ada dua kemudahan yang didapat wartawan dengan hadirnya media
baru, yaitu, pertama, terkait aspek pengumpulan bahan berita (news gathering); dan kedua, dalam aspek
mengonstruksi dan memublikasikan (mengirim luas produk berita) (Ward, 2002: 17-18). Dengan internet, proses
ini telah tersimplifikasi dengan tanpa mengurangi kualitas dari prosesnya.
Saat menjalankan proses riset untuk suatu berita, wartawan sering bertumpu pada banyak sumber materi
yang dapat berupa laporan terdahulu, dokumen-dokumen asli, data, siara pers, atau informasi dari individu.
Teknologi internet telah membuat semua sumber materi itu mampu terdigitalkan dan terpublikasikan dalam
jaringan sehingga memberi keuntungan bagi wartawan untuk mengakses segala informasi yang mereka butuhkan
lewat apa yang populer disebut “riset dalam jaringan” (online research ).
Lebih lanjut, internet juga pada dasarnya telah mentransformasi proses riset dalam jaringan itu sendiri.
Dengan internet, wartawan tidak hanya mampu menjangkau ragam akses sumber mereka (entah itu orang,

dokumen, data atau arsip berita), tetapi juga dapat menembus ruang debat, diskusi, dan opini pakar melalui
mailist, chat, thread forum, blog, tweets—untuk selalu update terhadap informasi tentang isu-isu tertentu.
Di bawah aspek dan potensi penting dari internet, akhirnya, banyak organisasi media massa, yang
mengharuskan staf mereka untuk belajar, mengadopsi, dan mengimplementasikan keahlian komputer, tentang
bagaimana menggunakan internet dalam metode reportase yang populer disebut “CAR” (Computer-Assisted
Reporting). “Keahlian baru” ini diharapkan dapat mendukung dan memberi nilai lebih dari metode kuno news
gathering mereka yang selalu mengandalkan teknik bertemu dan mengunjungi nara sumber atau tempat kejadian

secara langsung.
Selanjutnya, pada tataran proses mengonstruksi dan memublikasikan suatu karya berita, internet telah kokoh
menjadi medium alternatif untuk menyebarkan informasi ke ruang publik. Teknologi dunia maya sebagai
platform publikasi ini bahkan dapat dikatakan lebih dinamis dan interaktif dibandingkan dengan modalitas yang
lain, khususnya media konvensional. Teknologi media baru memungkinkan untuk proses mengupdate materimateri berita dan informasi secara simultan dan berulang-ulang, menit demi menit tanpa terjadi interupsi
antarhalaman (Ward, 2002: 21). Di sinilah keunggulan sejati internet dibanding medium-medium yang lainnya
seperti koran, televisi atau radio. Teknologi media baru di dunia maya terbukti mampu menawarkan suatu cara
khas mengirim pesan kepada audiens dengan cara kerja yang lebih fungsional.
Namun terlepas dari aspek-aspek positif itu, kehadiran teknologi media baru dalam konteks jurnalisme
mengindikasikan beberapa persoalan krusial yang berujung pada degradasi nilai keprofesian wartawan. Jamak
diketahui, perdebatan tentang jurnalisme sebagai sebuah profesi atau bukan tak kunjung selesai hingga kini.
Banyak wartawan yang menyebut pekerjaan mereka lebih tepat disebut sebagai keterampilan ( craft) daripada
profesi seperti layaknya dokter, pengacara, atau insinyur. Sementara kalangan akademisi mencoba menjawab
perdebatan ini dengan tinjauan lain, mencocokkan pekerjaan wartawan dengan kriteria sosiologi profesi seperti
adanya landasan teori yang sistematis atas „ilmu jurnalistik‟, keberadaan otoritas profesional, penerapan sanksi
masyarakat, keberadaan kode etik, serta budaya profesional.
Kehadiran media baru semakin memperkeruh perdebatan ini. Media baru dinilai menimbulkan tendensi ke
arah yang dapat mengaburkan batasan antara jurnalistik dan non-jurnalistik. Apa yang penulis maksud, dengan
makin berkembangnya teknologi media baru, merangkai informasi dan mempublikasikannya dalam segala
entitas media (cetak, elektronik, atau bahkan daring) bukan menjadi suatu skill eksklusif yang dimiliki wartawan.

Kita bisa menyaksikan, betapa piawainya “orang biasa” merangkai informasi—berita tertulis hingga berita
audio-visual digital—lewat situs, blog, atau media sosial. Tak jarang pula mereka mengirimkan karya-karya
mereka itu ke berbagai media lewat apa yang kini popular disebut “jurnalisme warga.”
Artinya, setiap orang di era media baru ini bisa mengakses “profesi” wartawan dari mana pun. Tak kurang,
karya-karya jurnalistik para pseudo journalist ini begitu menakjubkan, setara atau bahkan bisa melebihi apa yang
dikerjakan oleh “jurnalis sejati.” Dari beberapa aspek pekerjaan, pelatihan atau pendidikan khusus bisa jadi tidak
dibutuhkan, dan bagi sebagian yang lain bisa langsung praktik.
Lebih lanjut, media baru telah mengubah relasi media dengan audiens mereka. Kini wartawan tidak lagi
memiliki posisi eksklusif atas narasumber berita dan ruang publik. Baik narasumber berita dan audiens bahkan
bisa membangun „channel‟ sendiri di ruang publik lewat fitur berbasis user generated content seperti media
sosial yang beragam (Youtube, Facebook, Twitter ). Hal ini tentu makin menggerus peran dan tugas wartawan
sebagai gate keeper . Oleh karena itu, telaah untuk melihat tentang pengaruh teknologi media baru terhadap kerja
wartawan dan keprofesian wartawan perlu untuk dilakukan, terutama dalam konteks Indonesia. Sejumlah
pertanyaan yang menyangkut aspek kognitif, evaluatif dan performatif dalam kaitan dengan penelitian ini adalah
(i) Bagaimana level keahlian penggunaan perangkat lunak dan media sosial para wartawan? (ii) Bagaimana
pandangan wartawan terhadap potensi penggunaan teknologi internet dalam pembuatan berita? (iii) Serta apa
saja praktik-praktik baru yang muncul dan diadaptasi oleh wartawan dalam model jaringan pembuatan berita
serta proses diseminasinya?

2.


Konsep Terkait
2.1 Jurnalisme dalam Media Baru
Pandangan awal tentang dampak inovasi teknologi pada jurnalisme lebih banyak membicarakan
pengaruh deterministik teknologi terhadap peran dan praktik kerja para wartawan. Dalam kaitan ini,
setidaknya terdapat tiga dampak teknologi media baru terhadap profesi jurnalisme; pertama, media baru
membuka potensi peran bagi wartawan sebagai jembatan penghubung dalam konteks aliran deras
demokrasi (Bardoel, 1996); kedua, media baru banyak menawarkan sumber daya (resources) dan
pemanfaatan teknologi untuk membantu proses kerja mereka (Quin, 1998; Pavlik 1999); ketiga, media

baru mampu menciptakan semacam medium baru, sebuah tipe baru jurnalistik berplatform internet yang
disebut jurnalisme dalam jaringan (Singer, 19980; Deuze, 1999).
Menurut Deuze, ada tiga paradigma jurnalisme dalam jaringan yang sudah terlihat bahkan saat
internet masih di fase web 1.0: hipertekstualitas, multimedialitas, dan interaktivitas (Deuze, 2001).
Hipertekstualitas, dalam konteks jurnalisme dalam jaringan, adalah mengkoneksi audiens dengan links
(dapat bersifat internal atau eksternal) tentang berita atau artikel, materi, arsip terkait. Sementara istilah
multimedialitas merujuk pada ide bahwa audiens terlayani dengan beragam metode untuk mengakses
informasi pada laman Internet dengan berbagai format. Contoh terbaik dan—termasuk pioner—soal ini
adalah laman berita BBC News Service yang menyediakan audiens mereka dengan tiga format dalam
jaringan (konvergensi): material tertulis, streaming audio, dan streaming video. Format ini kini pun

popular diterapkan media dalam jaringan lainnya, termasuk yang dari Indonesia seperti detik.com,
kompas.com, atau vivanews.com.
Paradigma terakhir, interaktivitas, berarti bahwa jurnalisme dalam jaringan memberi celah bagi
user/audiens untuk merespons, berinteraksi, atau bahkan mengatur sesuai keinginan tentang berita mana
yang perlu diakses. Interaktivitas ini dapat berformat navigasi (lewat banyak bar seperti next page, back
page); fungsi (lewat email, links, papan diskusi); dan adaptasi (lewat menu customization pribadi
melalui “smart webdesign.”) (ibid). Khusus terkait interaktivitas ini makin berkembang saat internet
memasuki era web 2.0, di mana muncul fitur-fitur baru yang bersifat user-generated content.
Segala aspek khas dari internet, terutama dalam penggunaannya dalam jurnalisme dalam jaringan,
telah melahirkan berbagai penilaian. Dari perspektif komunikasi politik, jurnalisme dalam jaringan
dipandang telah melahirkan optimisme dalam upaya mengembangkan demokrasi. Hal terkait ini telah
terbukti di banyak negara di mana rezim otoriter bernaung dan ruang mengemukakan pendapat telah
terkekang. Sebagai contoh, di Malaysia, di mana media massa mengalami kontrol ketat dan intervensi
dari pemerintah lewat perizinan dan sensor, ternyata tampilnya media dalam jaringan Malaysiakini.com,
dapat memberi oase segar kebebasan berpendapat di ruang publik di Negeri Jiran itu. Contoh lainnya
terjadi di Indonesia di era Soeharto. Kita bisa melihat betapa Majalah Tempo yang dibredel pada 1994
akibat laporan kritisnya tentang pembelian kapal perang eks-Jerman, ternyata masih bisa menyiasati
untuk tetap hadir ke pembacanya dengan terbit secara daring lewat Tempo Interaktif. Bahkan lewat
Internet ini, Tempo Interaktif turut berandil secara konsisten dan kritis melaporkan “ketidakberesan”
pemerintah yang, sedikit-banyak, berkontribusi pula pada kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 (Send

dan Hill, 1999).
Di samping menyediakan medium alternatif, internet dengan aspek interaktivitasnya melalui papan
diskusi antara pengguna atau pengguna ke wartawan dipandang dapat pula meningkatkan partisipasi
warga negara dalam mengaspirasikan pendapat, komentar, serta opini (interaksi sipil)—faktor yang
sangat menunjang demokrasi. Pandangan penuh optimisme atas kehadiran media baru terkait demokrasi
ini sangat relevan dengan istilah yang dikemukakan oleh Peter Dahlgren (1999:60), yaitu
“cybereuphoria.”
Namun sayangnya di balik aspek positif kehadiran Internet di dunia jurnalistik, pandangan bernada
pesimistis juga muncul. Dahlgren menyatakan bahwa penggunaan Internet oleh user untuk mencari
informasi serius, termasuk jurnalisme, “ternyata hanya sambilan, terutama jika dibandingkan dengan
arus mega dari hal-hal sepele, hiburan, chatting, permainan dan games, transaksi komersial, dan tak
luput pula terkait pornografi” (ibid:61). Situasi itu disebut Dahlgren sebagai ”digital dystopia.”
Pandangan pesimisme Dahlgren ini belum cukup. Jurnalistik dalam jaringan sejatinya telah
menggerogoti praktik ideal seorang wartawan dalam melakukan kerja profesionalnya. Kecepatan untuk
menyajikan berita dalam hitungan menit demi menit (salah satu yang dianggap menjadi keunggulan
jurnalisme dalam jaringan) sangat berpotensi menimbulkan masalah keberimbangan dan akurasi.
Tantangan besar wartawan media dalam jaringan adalah menyeimbangkan usaha menyajikan berita ke
audiens secara cepat menit demi menit dengan standar tradisi jurnalistik yang ideal seperti adil,
lengkap, seimbang, dan akurat (Lasica, 2001:4). Namun tantangan itu cenderung tidak mudah untuk
ditaklukkan karena realitanya, “kecepatan seringkali dinilai lebih penting dari verifikasi (ibid).”

Sementara, isu etika muncul ketika wartawan tidak mengidentifikasi dirinya sebagai wartawan
dalam chatroom atau papan diskusi. Wartawan juga dituduh melanggar etika ketika mengutip dari
papan buletin dalam format apapun (audio, video, tertulis) tanpa meminta izin dari pemiliknya—hanya
sekedar menulis sumber link atau alamat situsnya.
Lebih lanjut, isu negatif berikutnya dari dampak teknologi media baru berfokus pada nilai
keprofesian wartawan. Spyridou et. al. (2013) menyatakan media baru telah menyebabkan jurnalisme
berada pada suatu fase ketidakjelasan (state of flux) karena sedang mengalami perubahan cepat dan
terstruktur hingga berdampak tidak hanya pada praktik, produk, namun juga pada keprofesian.
Aspek keprofesian ini menjadi terimbas terutama tatkala jurnalisme bersentuhan dengan teknologi
media baru di era web 2.0 yang lebih menekankan engagement, ekspresi diri, dan moda baru audiens

dalam mengonsumsi informasi (termasuk berita)—termasuk munculnya fitur user generated content
(UGC). Teknologi media baru ini dianggap menjadi faktor yang membongkar kembali pola pertukaran
pesan (dalam konteks ini adalah berita); bagaimana pesan itu dinilai memiliki signifikansi; dan
bagaimana pesan itu dapat membentuk opini publik (Lloyd dan Seaton, 2006: 1). Teknologi dengan
segala konsensus yang terus berevolusi dan berdampak pada aspek kualitas dan keahlian wartawan,
seperti diungkapkan oleh Zelizer (2004: 23), menjadi jaminan utama terhadap akses kriteria apa dan
siapa yang layak disebut wartawan. Tak hanya itu, teknologi media baru telah menyebabkan budaya
profesional dalam jurnalisme menjadi lebih beragam, terbuka, dan dinamis, teutama kala wartawan
sekadar disebut sebagai “pekerja media” yang berbasis hasil (portofolio) dan multi-keahlian—dua

atribut yang kini disandang jurnalis pada lingkungan media baru (Deuze, 2007).
Perkembangan teknologi media baru, menurut Witschge dan Nygren (2009), juga telah mengubah
relasi jurnalis dengan audiens. Jurnalis tidak lagi memiliki posisi akses eksklusif kepada narasumber
berita dan ruang publik. Dewasa ini, dengan kehadiran media baru berfitur UGC, baik sumber berita
dan audiens dapat membangun „channel‟ sendiri untuk masuk ke ruang publik sehingga makin
menggerus fungsi jurnalis sebagai gate keeper .

2.2 Jurnalisme dan Sosiologi Profesi
Seperti diketahui, di kalangan media dan akademisi, perdebatan untuk mengkategorikan wartawan
sebagai profesi tak kunjung usai. Sejatinya, mengkategorikan wartawan sebagai profesi merupakan sesuatu
yang tak jelas dan meragukan. Di kalangan insan pers sendiri, terutama di Indonesia, banyak yang
menganggap pekerjaan mereka sekadar sebuah craft (keterampilan) daripada sebuah ”profesi” seperti
dokter, pengacara, arsitek, atau insinyur yang memiliki skill teramat khusus berbasis intelektualitas
keilmuwan yang sangat distinctive.
Witschge dan Nygren (2009) mengutip Freidson (2001) menguraikan bahwa dalam perspektif sosiologi
profesi, terdapat beragam logika sebagai pendekatan atas sebuah pekerjaan yang layak disebut sebagai
profesi: logika professional, logika birokrasi, dan logika pasar. Pertama, logika profesional, yaitu sebuah
cara mengontrol aturan dan standar yang ditentukan oleh kalangan kaum profesional itu sendiri. Kedua,
logika birokrasi, bahwa kontrol atas kerja kaum professional yang berupa aturan-aturan dan standar
ditentukan oleh negara atau organisasi-organisasi. Ketiga, logika pasar yang berarati bahwa aturan-aturan

sebagai kontrol atas pekerjaan mereka ditentukan oleh konsumen. Logika-logika ini merupakan tipe model
ideal dan kebanyakan sebuah pekerjaan yang dikategorikan profesi dikontrol melalui kombinasi tiga logika
ini.
Agar bisa dikategorikan sebagai profesi, para sosiolog menekankan pentingnya kamun profesional
menguasai pekerjaan mereka sendiri, memiliki otonomi dalam praktik kesehariannya. Dalam konteks
pekerjaan wartawan, akademisi lalu menganjurkan agar melihat nature kerja wartawan dan mutlak
mensinkronkannya dengan ciri dasar sosiologi profesi.
Black dan Bryant (1995) mencoba memaparkan tujuh karakteristik yang digunakan selama bertahunbertahun untuk mendefinisikan nature sebuah profesi, termasuk dalam konteks memberikan kerangka
mengkategorikan pekerjaan wartawan.
Suatu pekerjaan dapat disebut profesi jika memenuhi seluruh ciri berikut: (1) berdasarkan kerangka
teori sistematik bersifat esotorik (dipahami khusus oleh orang-orang tertentu) namun dapat dipelajari dan
dikuasai dalam waktu tertentu lewat sertifikasi khusus melalui test ”keprofesian”; (2) sebuah aktivitas
praktisi independen yang memiliki klien, bukan customer, dengan hubungan timbal balik berdasar
kompensasi profesional berupa ”fee” atau ”tarif khusus”; (3) pelayanan yang diberikan bersifat penting bagi
kepentingan publik dan tak mengenal hubungan-hubungan ”pertemanan” khusus; (4) dalam hubungan
dengan klien yang kompleks, pemegang profesi lebih menjadi authority (pemegang otoritas); (5) sanksi
masyarakat atas kekuasaan dan privilege kaum profesional harus ada; (6) kaum profesional memiliki kode
etik yang menjamin mereka di hadapan publik untuk tidak menyalahgunakan praktik keprofesiannya; (7)
kaum profesional menjalankan praktiknya berdasarkan norma dan ekspektasi yang diperkuat lewat
keanggotaan dalam budaya keprofesian, jaringan formal-informal—seperti asosiasi—yang menaungi praktik

mereka.
Secara lebih singkat, pakar sosiologi media Oliver Boyd-Barret (1970) juga turut memaparkan ciri-ciri
profesi dalam lima atribut utama: (i) kerangka teori sistematik; (ii) otoritas profesional; (iii) sanksi
masyarakat; (iv) kode etik; (v) budaya keprofesian.
Melihat paparan teoritis definisi profesi di atas, tak mengherankan jika suara yang mempertanyakan
tentang keprofesian wartawan pun terus terlontar. Pekerjaan wartawan ternyata hanya sebagian memenuhi
unsur-unsur keprofesian tersebut. Lebih lanjut, dalam kaitan day-to-day practice di era media baru kini,

kalangan wartawan sudah terbukti sering menghadapi kenyataan bahwa ”kehormatan” mereka makin
terkikis akibat kehilangan kontrol nature dari skill mereka hari demi hari.
Sosiolog anglo-Amerika, seperti dipaparkan oleh Witschge dan Nygren (2009) mengutip Freidson
(2001) dan Evett (2003), mencoba mengidentifikasi penyebab deprofesionalisasi sebagai berikut. 1) sebuah
profesi mengalami kehilangan kepercayaan dari publik dan kondifensi; 2) sebuah profesi mengalami
tekanan keuangan hingga harus mengesampingkan ideologi profesi mereka di prioritas kedua; 3) pembagian
pekerjaan menjadi kabur dan profesi itu semakin heterogen.

2.3 Teori Aktor Jaringan
Literatur-literatur akademis belakangan ini mencoba menekankan pentingnya mencari teori yang tepat
untuk menelaah dampak teknologi terhadap praktik jurnalisme. Usaha ini kemudian memunculkan
pendekatan Aktor Jaringan dalam kajian jurnalistik. Digagas oleh sosiolog Latour (2005) dan Law
(1992/1999), Actor Network Theory/ANT (Teori Aktor Jaringan) adalah sebuah kerangka konseptual untuk
memahami proses dari suatu inovasi teknologi. Teori ini mengasumsikan bahwa terdapat pembentukan yang
bersifat mutual (saling menguntungkan) antara teknologi dan entitas society (masyakarat). Dua konsep kunci
dari ANT adalah adanya aktor dan network (jaringan). Aktor dalam konteks ini dapat berupa manusia
(human) atau pun bukan manusia (non human) seperti alat-alat teknologi atau sebuah organisasi dengan
segala nilai, prosedur, dan atribut-atribut lainnya.
Menurut Law (1999), aktor-aktor ini membentuk dirinya dan mendapatkan atribut-atributnya sebagai
sebuah hasil dari hubungan dengan pihak lain baik manusia atau pun non manusia. Artinya sebuah proses
pembentukan yang terjadi pada satu diri itu merupakan hasil yang dipengaruhi dan disebabkan oleh
hubungan dengan aktor-aktor lain dalam lingkungannya.
Networks (jaringan-jaringan), dalam konsep ANT, merupakan entitas yang selalu berproses, sebuah
aktivitas yang terbentuk oleh aktor-aktor yang ada di dalamnya. ANT mengklaim bahwa relasi di antara
aktor-aktor tadi secara simultan bersifat material (antara benda) dan semiotik (antara konsep). Bersama
relasi-relasi yang terbentuk ini kemudian menjadi jaringan tunggal (single network). Yang menjadi penting
dalam ANT ini adalah konsep pemaknaan, baik berupa proses dan efek. Jaringan aktor-jaringan aktor dan
juga relasi-relasi yang mengikatnya dimaknai. Dalam setiap tahapan-tahapan khusus pembentukan jaringan
tunggal ini—yang disebut “momen”, beragam aktor akan menegosiasikan atribut-atribut, peran-peran, dan
tujuan-tujuan mereka dalam rangka meraih hasil tertentu.
Satu hal lagi yang perlu dipahami dari konsep ANT, yaitu konsep intermediator dan mediator.
Intermediator adalah sebuah entitas jaringan dari hal-hal yang minor atau kurang penting; sementara
mediator adalah entitas jaringan yang lebih berperan memberikan pengaruh besar. Menurut Latour
(2005:12), mediator berperan besar karena dapat mentransformasi, menerjemahkan, mengacuhkan,
memodifikasi makna atau elemen yang seharusnya mereka bawa.
Aksi pengaruh-mempengaruhi (interplay) antara beragam jaringan aktor dan relasi-relasi di dalamnya
akan membentuk sebuah pola, menghasilkan hirarki-hirarki, membentuk organisasi-organisasi, agen-agen,
dan keteraturan. Gangguan atas keteraturan “sosial” dalam jaringan ini bisa saja terjadi jika terdapat
penolakan keteraturan dan juga akibat aktor-aktor jaringan melawan hirarki dan melawan relasi kuasa
jaringan yang ada.

Figur 1. Diagram ANT yang Menggambarkan Jaringan Redaksi
Sumber: Spyridou et. al. (2013)

Dalam konteks jurnalisme dan teknologi media baru, terdapat sebuah Aktor Jaringan yang kompleks.
Seperti dipaparkan oleh Spyridou et. al. (2013), di antara aktor-aktor human dan non-human, wartawan
dapat berperan baik sebagai intermediator ataupun mediator, dan dapat memaknai jaringan itu,
memengaruhi praktik dan hasil dari jaringan (produk jurnalistik) dengan cara bernegosiasi dengan aktor
human lain (sebagai contoh wartawan yang lain, redaktur, staf teknis, dan pengguna) dan aktor non-human
lain (seperti teknologi, peralatan, pengetahuan dan keterampilan, struktur, protokol, serta aturan-aturan).

3.

Metodologi Penelitian

Dalam penelitian awal ini, penulis menggunakan metode Focused Group Discussion (FGD) terhadap empat
redaktur Koran Seputar Indonesia (Sindo). Para narasumber dalam FGD ini sebagai berikut.
1. M. Ridwan (narasumber 1)
Redaktur senior di halaman nasional/nusantara dan sebelumnya pernah menjadi redaktur olahraga.
Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama lebih kurang 15 tahun.
2. Sugeng Wahyudi (narasumber 2)
Redaktur madya di desk internasional dan sebelumnya pernah menjadi asisten redaktur di desk
olahraga dan nasional. Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama lebih kurang 9 tahun
3. Syarifudin (narasumber 3)
Redaktur madya di desk ekonomi dan sebelumnya pernah menjadi wartawan dan asisten redaktur
di desk internasional. Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama lebih kurang 9 tahun.
4. Pangeran Ahmad Nurdin (narasumber 4)
Redaktur madya di desk tajuk rencana dan opini. Pengalaman kerja di dunia jurnalistik selama
lebih kurang 7 tahun.
Pemilihan empat narasumber ini berdasarkan latar belakang, pengalaman, serta aktivitas kerja sehari-hari
yang sangat dipengaruhi oleh teknologi media baru. Sindo sendiri dipilih sebagai „laboratorium‟ pada penelaahan
awal dengan kerangka studi kasus mengingat media ini bernaung dalam sebuah induk korporasi media terbesar
di Asia Tenggara yang terintegrasi satu sama lain dalam kerangka MNC News Network.

4.

Pembahasan

Pada subbab ini akan dibahas hasil temuan FGD dengan empat narasumber yang merupakan jurnalis senior
Koran Sindo. Dalam FGD ini terkuak tiga aspek potensi perubahan dalam budaya profesi wartawan akibat
pengaruh teknonologi media baru. Yang pertama, meliputi dimensi kognitif wartawan terkait keahlian
penggunaan perangkat lunak dan media sosial untuk mendukung kerja jurnalistik mereka. Kedua, meliputi
dimensi evaluatif terkait pandangan wartawan terhadap potensi penggunan teknologi media baru (internet) dalam
proses pembuatan berita. Ketiga, meliputi dimensi performatif, terkait kemunculan praktik-praktik baru yang
diadaptasi dalam model jaringan pembuatan berita serta proses diseminasinya.
a.

Literasi Teknologi dan Keahlian yang Dibutuhkan
Penguasaan atas teknologi komputer dan internet telah menjadi sebuah kemampuan yang
penting bagi wartawan di era jurnalisme digital ini. Keahlian jurnalistik tradisional—daya endus
nilai berita, riset dan reportase lapangan, serta teknik penulisan—dirasa masih perlu ditambah
dengan keahlian lain untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja jurnalistik yang kini makin
didikte oleh teknologi.
Dari empat narasumber, kesemuanya setuju bahwa literasi teknologi mutlak diperlukan. Tak
hanya kemampuan penggunaan perangkat lunak, keahlian perangkat keras (gawai) juga
dibutuhkan. Hasil FGD mengungkap bahwa semua narasumber dapat menggunakan perangkat
lunak terkait sistem operasional ( Windows, Mac, dan Open source) dan perangkat lunak terkait
pekerjaan mereka di dunia cetak ( Word, Excel, Adobe Indesign, Adobe Photoshop ). Berikut kutipan
komentar narasumber 4, Pangeran Ahmad Nurdin.
Kita setidaknya perlu mengerti [Indesign dan Photoshop] karena untuk mengarahkan
[layouter] sehingga bisa mengecek berita .
(FGD, 2/11/14).

Sementara terkait perangkat lunak penyuntingan suara dan gambar (Adobe Premier, Audition ),
semua narasumber mengatakan bahwa mereka kurang menguasainya karena faktor “habit”
pekerjaan mereka sehari-hari yang masih belum terlalu menuntut keahlian itu. Namun demikian,
mereka menyadari bahwa lambat laun, keahlian ini akan diperlukan, terutama karena alasan bahwa
media akan makin konvergen.
Tabel 1. Level Literasi Perangkat Lunak

Sistem Operasi
(windows, mac)
Microsoft office
InDesign
Photoshop
Perangkat lunak suara
(Audition)
Perangkat lunak suara
dan video (Premier)
Content Management
System
WWW
Surat Elektronik (Surel)
Blogging
Media Sosial
(Facebook, Twitter,
Path, Pinterest,
Instagram)
Chat (BBM, Line,
WhatsApp)

Narasumber 1
Menguasai

Narasumber 2
Menguasi

Narasumber 3
Menguasai

Narasumber 4
Menguasai

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Kurang

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Kurang

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Kurang

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Kurang

Kurang

Kurang

Kurang

Kurang

Kurang

Kurang

Kurang

Kurang

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Menguasai

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Menguasai

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Menguasai

Menguasai
Menguasai
Menguasai
Menguasai

Menguasai

Menguasai

Menguasai

Menguasai

Dalam FGD terkuak bahwa semua narasumber menguasai pengetahuan dan menggunakan
perangkat lunak dan keras terkait internet dan media sosial. Bahkan kesadaran menggunakan sosial
media dan blog dirasakan cukup tinggi. Dalam konteks yang lebih personal, mereka menyadari
perlunya keahlian mengembangkan dan mengelola media sosial dan blog di luar konteks formal
mereka sebagai wartawan yang telah disediakan platform (cetak dan daring) oleh redaksi tempat
mereka bekerja. Narasumber 2 (Sugeng Wahyudi) menguraikan pendapatnya sebagai berikut.
Skill bagaimana mengembangkan sosial media sendir ya.. Sekarang banyak kesempatan dari
new media itu untuk mengembangkan diri ya… lebih pada soal misalnya bagaimana kita bisa
upload video sendiri secara bagus.. karena itu mau-nggak mau membantu pekerjaan di media
mainstream juga kan dengan semakin punya keahlian yang banyak di new media kita akan
dapat misalnya ketika menulis blog tidak hanya berisi tulisan [artikel berita] kita, tapi bisa
menambahkan foto, gambar, agar jadi lebih menarik…
(FGD, 2/11/14)

b.

Potensi Penggunan Teknologi Media Baru
Perangkat yang ditawarkan oleh teknologi media baru telah sedikit banyak menghasilkan
potensi positif terhadap proses kerja jurnalistik. Empat narasumber FGD dalam penelitian ini
menuturkan pandangannya terhadap potensi ini. Mereka sepakat bahwa teknologi media baru
sejatinya membuat kerja mereka lebih cepat; lebih efisien; juga memudahkan mereka untuk
melakukan riset dan analisis; memudahkan mereka, sesama wartawan, untuk dapat berkolaborasi
menghasilkan produk jurnalistik; memudahkan mereka untuk membagun jaringan, melakukan
kontak dan berinteraksi dengan narasumber atau pun audiens.
Kecepatan dan efisiensi tercipta karena adanya akses yang mudah dan luas atas sumber-sumber
berita, baik orang ataupun data dokumen lewat media baru. Bahkan penggunaan gawai dan
software tertentu, makin memberikan efisiensi dan kecepatan misalnya dalam merekam atau pun
menulis transkrip secara langsung saat wawancara dengan narasumber. Teknik ini dinilai lebih

cepat ketimbang menggunakan steno atau pun catatan lewat buku saku kecil. Seperti dituturkan
oleh narasumber 1, M. Ridwan.
Tidak ada lagi yang bisa melakukan steno[graph] . Sekarang tinggal rekam dengan gadget,
HP, atau bahkan ketik langsung saat wawancara lewat BB [Blackberry]
(FGD, 2/11/14)

Dalam konteks berkomunikasi antar wartawan, dengan narasumber berita, dan dengan audiens
dalam hal memperoleh feedback (umpan balik), teknologi media baru dipandang oleh keempat
narasumber memberikan dampak sangat positif bagi praktif jurnalistik. Feedback langsung via
teknologi media baru juga dinilai berpotensi menciptakan ruang diskusi yang berguna, khususnya,
untuk mengembangkan ide tulisan.
Namun ada satu catatan yang diberikan oleh narasumber 4, Pangeran Ahmad Nurdin, terkait
feedback ini. Sebagai redaktur opini, dia menuturkan pengalamannya tentang feedback yang
kadang berpotensi menjadi bias negatif. Sebagai contoh, dia menjelaskan terkait kasus opini
dengan judul yang sama „Revolusi Mental‟ dan keluar di hari yang sama pada 10 Mei 2014 di
Sindo dan Kompas. Sindo memuat tulisan dari Romo Benny Susetyo, sementara Kompas memuat
tulisan dari Jokowi. Feedback yang luar biasa muncul lewat media sosial dan penuh dengan
kontroversi serta tudingan bahwa Romo Benny merupakan „ghost writer ‟ Jokowi yang saat itu
sedang menjadi capres. Tudingan lalu bergeser bahwa Jokowi memplagiat Romo Benny.

Nggak ada [kesengajaan]. Sekarang logika aja, mana mungkin Sindo janjian sama
Kompas. Waktu itu ada di kutub yang berbeda. Dan juga kalo andai kata, misalkan
ada janjian, janjiannya siapa yang dituntungkan? Kalo janjiannya kayak gitu pasti
Jokowi yang dirugikan, kan? Nggak mungkin juga Kompas melakukan itu.
(FGD, 2/11/14)
Menurut Pangeran, dua artikel itu jelas sekali berbeda isinya, walaupun judulnya sama.
Daripada memperkeruh suasana, Pangeran Ahmad Nurdin memilih untuk „menghindar‟ dari
polarisasi diskusi/informasi di sosial media karena kondisinya secara politik saat itu sangat
“spinning” atau penuh plintiran. Laporan berita terkait isu ini di media lain, termasuk media dalam
jaringan pun menjadi tidak obyektif dan akurat.
Tidak ada kaitannya sama sekali. Jadi Romo Benny membahas apa itu revolusi mental. Nggak
sama persis. Sama sekali berbeda. Jadi Romo Benny ini menulis apa itu revolusi mental yang
sering disebut-sebut sama Jokowi. Jadi apa sih ini, calon ini ngomongnya revolusi mental
terus? Dibahaslah revolusi mental menurut versi dia. Yang dia tahu. Dia membahas revolusi
mental dalam konsepnya Romo Mangun Wijaya. Jadi dia membahas revolusi mental dari
konsep Romo Mangun yang sangat berbeda dengan konsep revolusi mental ala Trisaktinya
Bung Karno. Sangat jauh berbeda.
(FGD, 2/11/14)

Lebih jauh, pandangan negatif terkait pengaruh teknologi media baru pada praktik kerja
jurnalistik yang diungkap oleh keempat narasumber adalah terkait akurasi dan obyektivitas produk
jurnalistik dalam platform media baru. Menurut mereka, media mainstream masih lebih baik terkait
hal ini dan masih dinilai lebih kredibel secara umum karena setidaknya masih bisa memainkan
peran gatekeeper atas informasi.
Mereka mengakui ada sedikit kegalauan soal makin menipisnya peran gatekeeper wartawan
sebagai satu-satunya pihak ekslusif yang bisa menembus narasumber dan ruang publik. Namun,
seperti disampaikan oleh narsumber 1, M. Ridwan, selama media mainstream dapat memegang
teguh aspek kredibilitas serta kemasan informasi dengan sudut pandang berbeda, lebih lengkap dan
dalam, serta dikombinasikan dengan strategi bisnis yang tepat (termasuk adaptasi platform daring
atau pun e-paper) maka asa atas kesinambungan eksistensi media tradisional akan tetap tumbuh.
Ridwan kemudian memberikan penekanan atas kecenderungan praktik yang sekarang ini terjadi di
media konvensional yang sering mengutip sumber-sumber dari berita dalam jaringan.
Kalo kebiasaan seperti ini terus dilakukan, nah sudah pasti kita akan tergerus.
(FGD, 2/11/2014).

Fenomena lain ditangkap juga oleh narasumber 3, Pangeran Ahmad Nurdin. Dia melihat pola
isu yang seringkali berawal di dalam jaringan (termasuk media sosial) hingga membesar, namun
tetap berkonklusi di media konvensional. Artinya, media baru masih cenderung menjadi platform
beredarnya informasi yang masih dangkal dan kurang komprehensif. Orang masih akan mencari
media konvensional untuk kemudian mencari konklusi lengkapnya.

Tabel 2.Pandangan terkait Pengaruh Media Baru pada Praktik Jurnalistik

PANDANGAN POSITIF
Kerja lebih cepat
Kerja lebih efisien
Meningkatkan akses riset dan analisis
Memfasilitasi kolaborasi antarwartawan

PANDANGAN NEGATIF
Akurasi dan obyektivitas produk jurnalistik
Feedback langsung: polarisasi informasi/diskusi
atas berita/artikel yang diturunkan
Kredibilitas informasi
User bisa menjadi gatekeeper sendiri untuk
menyebarkan informasi/berita

Feedback langsung: memperkuat hubungan
dengan audiens, narasumber, dan
antarwartawan
Feedback langsung: membuka pekuang diskusi
dengan audiens, narasumber, dan
antarwartawan

c.

Kemunculan Praktik-Praktik Baru
Keempat narasumber menekankan sebuah kesepahaman bahwa teknologi media baru
memberikan suatu budaya baru dalam beberapa aspek terkait praktik kerja jurnalistik.
a.

Tweet menjadi Artikel Opini
Mereka sepakat bahwa teknologi media baru merupakan alat efektif untuk menggali
ide penulisan berita. Isu yang beredar di internet baik di blog dan media sosial, dapat
dijadikan sumber ide untuk menulis.
Bagi Pangeran Ahmad Nurdin, media sosial tidak hanya mempermudah akses
terhadap narasumber, namun lebih jauh dapat digunakan sebagai semacam “tools for
ideas” atau alat untuk menggali ide. Sebagai redaktur opini, dia memaparkan bahwa sosial
media, seperti twitter dapat digunakannya untuk mengetahui gagasan seorang narasumber
(mulai dari ekonom, pakar politik hingga politisi) yang berpotensi untuk diminta
mengembangkan tweet-tweetnya menjadi sebuah artikel opini menarik di Koran Sindo.
Misalnya saya melihat kayak orang-orang [pakar, ekonom, politisi] biasa nulis begitu.
Mereka ngetweet-ngetweet pendek begitu. Waktu itu sepuluh tweet begitu dan menarik,
[lalu] saya telpon.. ‘tolong dong kembangkan yang di tweet jadikan tulisan’ misalnya.
Dan itu sering seperti begitu. Bahkan itu jadi cara saya untuk tahu mereka lagi
mikirin[gagasan] itu..
(FGD, 2/11/14)

Pangeran mengakui bahwa era media baru yang memungkinkan narasumber memiliki
akses langsung ke publik turut berimbas bagi desk opini. Kehadiran blog pribadi, atau note
di media sosial membuat siapa pun dapat menyebarkan gagasan berupa artikel opininya
kepada khalayak luas tanpa dimediasi atau dijembatani oleh kehadiran media. Namun, dia
tidak pesimistis terhadap kondisi ini.
Menurut Pangeran, permasalahan yang sering muncul di laman internet, blog ataupun
sosial media adalah terkait kredibilitas. Pembaca, menurutnya, tentu akan lebih percaya
terhadap tulisan atau pun informasi yang diturunkan oleh media konvensional. Proses
gatekeeping berupa seleksi yang ketat atas kualitas tulisan karena keterbatasan ruang di
surat kabar justru menjadi sebuah prestise dan tantangan tersendiri bagi para penulis opini.
Jika pun dia menemukan sebuah artikel yang bagus dari penulis opini yang terkenal,
dia lantas menghubungi sang penulis tersebut, sekadar berbicara untuk mengingatkan agar

sebaiknya tulisan itu ditawarkan terlebih dulu di koran, lalu baru ditampilkan di blog. Hal
ini dapat meningkatkan kredibilitas penulis dan tulisannya.
Kadang-kadang saya ngontak beberapa [penulis opini] , saya becandain begini ‘mas,
masak itu dipasang di blog doang? Harusnya dorong di saya dulu, baru posting di blog
juga, pasang di Sindo.
(FGD, 2/11/14)

b.

Memberitakan Newsmaker di Dunia Maya
Menurut narasumber 1, M. Ridwan, wilayah peliputan wartawan sekarang makin luas
tidak hanya melaporkan peristiwa dan gagasan di dunia nyata saja namun juga di dunia
maya. Dalam kaitan dengan hal ini, dia mengungkapkan perlunya bagi wartawan untuk
mengamati perilaku-perilaku para user di dunia maya yang justru kemudian memiliki nilai
berita. Menurut Ridwan, user seringkali kemudian menjadi newsmaker akibat perilaku dan
„tutur-katanya‟ di media sosial. Dia mencontohkan salah satu kasus terbaru, yaitu kasus
Arsyad, seorang pekerja warung sate yang berurusan dengan polisi akibat mengunggah
meme Jokowi yang bernuansa asusila.
User itu sebenarnya bisa menjadi newsmaker.. new media adalah newsmaker. Orang
yang tidak dikenal sekalipun bisa menjadi terkenal.
(FGD, 2/11/14)

c.

Mengakses narasumber dari dunia maya
Teknologi media baru telah menyediakan akses luas atas sumber berita yang beragam.
Dalam praktik jurnalistik tradisional saat mengumpulkan bahan mentah berita, misalnya,
wartawan sering harus mengalami proses yang tidak mudah. Wawancara dengan
narasumber berita misalnya, harus dilakukan dengan prosedur yang berbelit, memakan
waktu, dan tidak efisien. Namun, sekarang, wartawan dapat memiliki akses lebih mudah
terhadap narasumbernya dengan melakukan kontak via chat, email, atau sosial media.
Narasumber 2, Sugeng Wahyudi, menuturkan manfaat yang besar memiliki beragam akun
sosial media atas dasar alasan memperoleh peluang akses menembus beragam
narasumber.
Tapi sekarang.. sosial media banyak orang buka twitter.. pejabat-pejabat segala macam..
kalau kita menjadi follower-nya dan sering mengikuti perkembangannya dan dekat,
dengan kita sekadar [tanya] ‘Pak, boleh nggak kita wawancara? ’ Biasanya direspon,
‘Oh ya silakan.’ Nah, dengan cara seperti itu, wawancara tidak perlu bertemu tetapi bisa
lewat inbox di twitter atau kemudian cara-cara yg lain.
(FGD, 2/11/14)

Demikian pula narasumber 3, Syarifudin yang mengakui manfaat menggunakan
internet, termasuk sosial media untuk mendapatkan akses sumber berita yang tak terbatas.
Namun dia mengingatkan untuk tetap melakukan verifikasi serta cek dan ricek atas akun
atau pun informasi yang dia dapatkan melalui internet, termasuk sosial media.
Narasumber 4 (Pangeran Ahmad Nurdin) dan narasumber 1 (M. Ridwan) menegaskan
bahwa soal “verified account” di media sosial ini harus benar-benar dapat dibuktikan
sebelum wartawan dapat menjadikannya sumber berita, termasuk jika harus mengutip
pernyataan dari sebuah tweet atau status narasumber berita melalui akun media sosial
mereka.
d.

Diseminasi portofolio via media sosial
Dampak viral yang dimiliki oleh media sosial sering pula dimanfaatkan oleh keempat
narasumber terutama untuk diseminasi portofolio jurnalistik mereka. Memanfaatkan
jejaring sosial di dunia maya seperti Twitter, Facebook, Path, dan bahkan blog pribadi
menjadikan akses yang lebih luas ke para user. Di satu sisi ini juga merupakan sebuah
bentuk „promosi‟ ke khalayak atas produk jurnalistik yang mereka hasilkan.

e.

Feedback sebagai ruang diskusi
Interaktivitas dan kesegeraan (immediacy) umpan balik (feedback) yang ditawarkan
oleh teknologi media baru kini banyak dimanfaatkan oleh wartawan. Keempat narasumber
mengakui bahwa mereka sering memanfaatkan platform media baru untuk melakukan
interaksi dan diskusi dengan narasumber, audiens, atau dengan wartawan lain. Mereka
mengakui bahwa dari interaksi dan diskusi inilah kemudian justru sering mendapatkan
ide-ide baru untuk topik liputan atau tulisan.
Narasumber 4, Syarifudin menilai perlunya kemudian media konvensional
membolehkan wartawannya untuk mencantumkan akun email atau jejaring sosial sebagai
pelengkap “byline” agar dapat beinteraksi dengan pembaca. Sayangnya koran besar seperti
Sindo masih belum mengeluarkan kebijakan itu.

5.

Kesimpulan
Kehadiran teknologi baru tak bisa dimungkiri berdampak pada praktik kerja jurnalistik hingga ada nilai-nilai
keprofesian yang tergerus. Di aspek kognitif, wartawan di era sekarang mutlak memerlukan penguasaan piranti
lunak dan keras untuk dapat mempermudah proses kerja mereka mulai dari tahapan penggalian ide, akses
sumber berita, diseminasi, hingga memperoleh umpan balik.
Secara umum, terdapat pandangan positif atas dampak dari teknologi media baru terhadap praktik kerja
jurnalistik. Sementara pendapat yang negatif muncul lebih pada aspek akurasi, obyektivitas, kredibilitas, dan
fungsi gatekeeper yang terdegradasi karena semua bisa menjadi wartawan era media baru ini.
Praktik-praktik baru sebagai dampak dari teknologi media baru muncul dalam ragam bentuk aktivitas yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan, terutama dalam praktik media tradisional. Dalam penelitian ini juga
terungkap pengakuan atas tergerusnya nilai-nilai keprofesian wartawan akibat dampak media baru. Salah satu
cara yang dinilai mampu melanggengkan eksistensi adalah penguatan dan ketajaman jurmalistik yang dalam dan
komprehensif.

Daftar Pustaka
Bardoel, J. (1996). The Internet, Journalism and Public Communication Policies pada International Communication Gazette
October 2002, 64 (5), 501-511
Black, Jay and Jennings Bryant. (1995). Introduction to Communication . Fourth Edition, Brown and Benchmark Publisher
Boyd-Barret, Oliver. (1970). “Journalism and Training: Problems in Professionalization” dalam Jeremy Tunstall, The
Sociology of Social Welfare Series-Media Sociology. Redwood Burn Limited-Trowbridge & Esher. Hlm. 181-201
Dahlgren, P. (1996). “Media Logic in Cyber Space: Repositioning Journalism and Its Public ” dalam Javnost/The Public, 3
(3), 59-62.
Deuze, Mark (1999). Journalism and the Web: An Analysis of Skills and Standards in an Online Environment, Gazette, 61
(5): 373-390
Deuze, Mark. (2001). Online Journalism: Modelling the First Generation of News Media on the World Wide Web .
Akses: 25 April 2009.
Deuze, M. et al. (2007). „Preparing for an Age of Participatory News,‟ Journalism Practice, 1(3):322-338
Hill, David T and Krishna Sen. (2000). Media, Culture and Politics in Indonesia . South Melbourne: Oxford University Press.
Latour, B. (2005), Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network Theory, Oxford, UK: Oxford University Press
Law, J. (1999), „After ANT: Topology, Naming and Complexity‟ dalam J. Law and J. Hassard (editor) Actor Network Theory
and After, Oxford and Keele, Blackwell and the Sociological Review, 1-14
Lasica, J. D. (2001). “Taking Ethics to the Net” in Quill, July/August 2001, 89 (6).
Lloyd, J., & Seaton, J. (2006). What can be done? Making the media and politics better . Oxford: Blackwell.
Pavlik, J. (2001), Journalism and New Media , New York: Columbia University Press
Quinn, S. (2004), „Convergence's fundamental question‟, Journalism Studies, 6(1), 29-38
Singer, J. (2011), Journalism and Digital Technologies dalam Lowrey W. and P. Gade (editor) Changing the News – The
Forces Shaping Journalism in Uncertain Times , New York: Routledge, 213-229
Schudson, M. (2005). „Four approaches to the sociology of news.‟ dalam J. Curran & M. Gurevitch (editor). Massmedia and
Society (4th edition) London: Hodder Arnold., 172-197.
Spyridou, Lia Paschalia et. al. “Journalism in a state of Flux: Journalists as Agents of Technology Innovation and Emerging
News Practices” dalam International Communication Gazette. February 2013, 75 (1), 76-98.
Ward, Mike (2002). Journalism Online. Oxford: Focal Press
Witschge, Tamara dan Nygren, Gunnar. (2009). „Journalism: A Profession under pressure?‟ dalam Journal of Media
Business Studies 6 (1), 37-59.