65 yang didukung dengan kurikulum berdasarkan kompetensi kerja competency
based training, tenaga pengajar yang berpengalaman lapangan, sesuai standar kurikulum yang digunakan, serta memiliki sarana prasarana pendidikan sesuai
dengan STCW-F 1995 dari IMO. Pengukuhan yang diberikan kepada lulusan pendidikan menengah belum seluruhnya dilakukan oleh seluruh lembaga
pendidikan yang ada. Hal ini selain belum adanya kesadaran pada pengelola pendidikan, juga disebabkan oleh keterbatasan sarana, prasarana serta dana
penyelenggaraan ujian. Oleh karenanya diperlukan suatu penetapan kebijakan terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan harus dikukuhkan dengan sertifikasi.
Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan SDM pembangunan sektor kelautan dan perikanan khususnya kebutuhan tenaga yang berkualifikasi
nahkoda dan perwira kapal penangkap ikan, baik untuk beroperasi di perairan Indonesia maupun perairan bebas unlimited water, dan untuk persiapan
ratifikasi STCW-F 1995 dari IMO oleh Pemerintah Indonesia, maka telah ditetapkan suatu ketentuan oleh pihak yang berwenang yang berisi pengaturan
tentang pengujian dan sertifikasi keahlian pelaut serta pengawakan kapal penangkap ikan sesuai dengan ketentuan STCW-F.
5.4.2.4 Strategi pengembangan kerjasama
Kerjasama merupakan salah satu instrumen dalam pelaksanaan penyaluran tenaga kerja yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan kejuruan
kelautan dan perikanan. Melalui kerjasama diharapkan lembaga pendidikan dapat mengetahui kelemahan ataupun kekurangan terhadap hasil lulusan atau
tenaga kerja siap pakai yang dihasilkan sehingga dapat segera dilakukan perbaikan atau melengkapinya sesuai kebutuhan pasar.
Kerjasama yang baik dilakukan terhadap semua unsur yang berkaitan dengan lembaga pendidikan tersebut, yaitu baik pengguna lulusan dalam hal ini
adalah pengusaha atau pemilik perusahaan maupun pemerintah penentu kebijakan dalam hal pendidikan nasional dan kebijakan dalam hal pengaturan
tenaga kerja. Pemilik perusahaan memilki peranan yang sangat penting karena mereka merupakan pasar yang akan menggunakan tenaga-tenaga yang telah
terdidik dilembaga pendidikan selama 3 tahun, sehingga penyerapan lulusan sangatlah bergantung kepada perusahaan-perusahaan penangkapan ikan
tersebut. Adapun penentu kebijakan dalam pendidikan nasional merupakan lembaga pemerintah yang menetapkan ketentuan terkait dengan
66 penyelenggaraan pendidikan diantaranya pendidikan kejuruan perikanan.
Sedangkan lembaga pemerintah yang mengatur tentang tenaga kerja merupakan penentu kebijakan yang mengatur ketentuan yang menyangkut hubungan kerja
antara pemilik dan pekerja. Permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama antara lembaga
pendidikan dan pengguna lulusan adalah belum berstandarnya kemampuan atau mutu lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan kejuruan. Keadaan ini
memharuskan pengguna hanya menggunakan tenaga-tenaga yang mereka nilai memiiki kemampuan yang dibutuhkan. Disamping itu belum adanya standarisasi
upah tenaga kerja perikanan pada kapal-kapal penangkap ikan menyebabkan masih lemahnya posisi para lulusan untuk melakukan penawaran pendapatan
yang lebih layak. Oleh karena nya dibutuhkan suatu kesamaan terhadap tenaga yang yang dihasilkan disamping diperlukannya suatu wadah untuk menampung
aspirasi dan menjadi pintu utama potensi penawaran terhadap pengguna tenaga kerja untuk mendapatkan pendapatan dan fasilitas pekerja yang lebih layak.
Salah satu negara yang banyak menerima tenaga kerja pelaut perikanan pada armada kapal penangkapan ikannya adalah Jepang. Para pelaut
penangkap ikan Indonesia ternyata dapat diterima dengan baik oleh pengusaha perikanan Jepang. Data statistik menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 terjadi
kenaikan secara signifikan jumlah pelaut Indonesia pada kapal penangkap ikan Jepang. Pada tahun 1990 pelaut Indonesia yang bekerja pada kapal tuna di
Jepang masih berjumlah 759 orang dan pada tahun 2002 sudah mencapai 4.867 orang. Menurunnya minat pemuda Jepang, sejak dua puluh tahun belakangan
ini untuk bekerja di laut membuka peluang lebih besar untuk mengisi tenaga kerja yang dibutuhkan. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah pelaut
penangkap ikan Jepang tahun 1990 sebanyk 10.155 orang dan pada tahun 2002 tinggal 2.943 orang. Karena kondisi seperti ini perusahaan penangkapan ikan
Jepang mulai kesulitan untuk memperoleh tenaga pelaut Jepang. Jumlah kapal penangkap ikan tuna Jepang saat ini lebih dari 422 kapal dengan jumlah awak
kapal crew per unit kapal antara 20 - 22 orang. Perbandingan crew Indonesia dan crew Jepang adalah 13,9 dibanding 8,4 atau 65 adalah dari Indonesia.
Selanjutnya untuk kesinambungan penggunaan tenaga pelaut perikanan pada kapal-kapal ikan di Jepang maka kiranya perlu dibangun kerjasama yang
saling menguntungkan kedua belah pihak. Pelaut perikanan Indonesia mendapat kesempatan kerja serta meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan
67 pengalaman dari kemajuan industri penangkapan ikan Jepang, adapun pihak
Jepang mendapat dukungan tenaga kerja penangkap ikan dari Indonesia.
5.4.2.5 Strategi peraturan tenaga kerja